Anda di halaman 1dari 5

1.

Berserikat dan berkumpul merupakan hak konstitusional yang dijamin dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Implementasi hak berserikat
terlihat dalam sejarah perkembangan hukum perburuhan baik pada saat pemerintahan orde
lama, orde baru dan orde reformasi mempunyai pengaturan dan karakter yang berbeda-
beda.

Pertanyaan :
Bagaimana karakteristik pengaturan mengenai berserikat dan berkumpul di bidang
ketenagakerjaan di masa orde lama, orde baru dan orde reformasi dan produk hukum yang
ditetapkan sebagai acuan pelaksanaan ?

Jawaban : Dalam perjalanannya, hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia


mengalami berbagai perubahan. Perubahan itu dimulai dari era penjajahan Belanda yang
memberlakukan hukum perbudaan, era orde lama, orde baru, dan masa reformasi.
• Zaman Belanda
Pada zaman penjajahan Belanda, terdapat 4 hukum perburuhan dan ketenagakerjaan yang
diberlakukan. Empat hukum tersebut adalah perbudakan, perhambaan, kerja rodi,
dan Poenale Sanctie.
Hukum yang pertama adalah perbudakan. Pada masa ini, masyarakat Indonesia yang menjadi
budak tidak memiliki hak apapun, termasuk hak hidup. Beberapa aturan yang dibuat terkait
perbudakan pada masa ini antara lain adalah peraturan pendaftaran budak, pajak atas
kepemilikan budak, ataupun penggantian nama untuk para budak.
Berikutnya adalah hukum perhambaan. Sekilas, hukum ini memiliki kesamaan dengan
perbudakan, hanya saja agak lebih ringan. Seorang hamba, menurut hukum ini, merupakan
barang jaminan karena adanya utang yang belum bisa dilunasi. Alhasil, selama utangnya
belum lunas, seorang hamba bakal terus mengabdi kepada majikan.
Setelah hukum perhambaan, muncul hukum rodi, yang dalam praktiknya juga tidak jauh
berbeda dengan perbudakan. Pada hukum rodi, masyarakat dipaksa untuk bekerja demi
kepentingan penguasa. Salah satu wujud kekejaman dari hukum rodi di zaman penjajahan
Belanda ini adalah pembangunan Jalan Daendels sejauh 1.000 km yang menghubungkan
antara Panarukan di Jawa Timur dengan Anyer di Banten.
Poenale Sanctie menjadi hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia yang berlaku
setelah hukum rodi. Kemunculan hukum ini diawali dengan adanya Agrarische Wet alias
Undang-Undang Agraria pada tahun 1970. Pada masa ini, muncul banyak perusahaan
perkebunan swasta berskala besar. Oleh karena itu, hukum yang mengatur perburuhan
berperan sentral.
Pada awalnya, pada Poenale Sanctie diberlakukan Politie Straaf reglement alias Peraturan
Pidana Polisi. Peraturan ini lebih menitikberatkan pada kepentingan majikan, dan akhirnya
dihapus pada tahun 1879. Keberadaannya digantikan oleh Koeli Ordonantie (1880) yang
kemudian dikenal dengan nama Poenale Sanctie.
Dalam hukum terbaru ini, Pemerintah Belanda melarang adanya pemaksaan, ancaman, atau
pemerasan dalam hubungan perburuhan. Selain itu, perjanjian antara buruh dan majikan
harus dilakukan secara tertulis pada rentang waktu tertentu. Ketika aturan ini dilanggar, bakal
ada sanksi yang dijatuhkan kepada pelanggarnya, baik majikan ataupun buruh.

• Orde Lama
Ketika memasuki masa kemerdekaan, kondisi buruh dan tenaga kerja di Indonesia mengalami
perbaikan. Pemerintah Orde Lama yang berada di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno
mengeluarkan beberapa aturan yang memberi perlindungan kepada para tenaga kerja.
Sebagai buktinya, beberapa aturan yang pernah dirilis antara lain adalah:
1. UU Nomor 33 Tahun 1947 Tentang Kecelakaan Kerja
2. UU Nomor 12 tahun 1948 Tentang Kerja
3. UU Nomor 23 Tahun 1948 Tentang Pengawasan Perburuhan
4. UU Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan
Majikan
5. UU Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
6. UU Nomor 18 Tahun 1956 Tentang Persetujuan Konvensi ILO Nomor 98 mengenai
Dasar-dasar dari Hak Untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama
7. Permenaker No. 90 Tahun 1955 Tentang Pendaftaran Serikat Buruh

• Orde Baru
Pada masa Orde Baru, pemerintah berusaha untuk meningkatkan pembangunan dengan tetap
menjaga stabilitas nasional. Hasilnya, lahirlah aturan yang disebut dengan Hubungan
Industrial Pancasila atau Hubungan Perburuhan Pancasila. Sesuai dengan namanya, aturan ini
dibuat dengan berlandaskan pada Pancasila. Di lapangan, ada lembaga bipartit, tripartit, serta
kesepakatan kerja bersama yang keanggotaannya diambil dari pihak-pihak terkait.

• Masa Reformasi
Pada masa reformasi, peraturan terkait perburuhan dan ketenagakerjaan mengalami
perubahan secara dinamis. Apalagi, terjadi pergantian pemerintahan dalam kurun yang
singkat, mulai dari Pemerintahan Presiden B.J. Habibie (1998-1999), Presiden Abdurrahman
Wahid (1999-2001), Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004), hingga Presiden Soesilo
Bambang Yudhoyono (SBY) yang memerintah pada rentang 2004-2014.
Presiden Habibie pada awal kepemimpinannya meluncurkan Keputusan Presiden Nomor 83
Tahun 1998 yang memberi perlindungan hak berorganisasi. Selain itu, ada pula ratifikasi
aturan ILO terkait usia minimum untuk bekerja. Tidak ketinggalan, pada masa pemerintahan
ini juga diluncurkan perpu yang mengatur tentang pengadilan HAM.
Sementara itu, pada masa Pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid, dilakukan perlindungan
terhadap para pekerja atau serikat buruh. Upaya perlindungan itu dilakukan dengan
peluncuran UU nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja. Selain sebagai upaya
perlindungan, UU ini juga dipakai sebagai sarana untuk memperbaiki iklim demokrasi saat
itu.
Selanjutnya, pada masa Pemerintahan Presiden Megawati, aturan hukum perburuhan dan
ketenagakerjaan di Indonesia mengalami perubahan drastis. Alasannya adalah peluncuran UU
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Keberadaan UU ini menjadi pengganti dari
15 aturan ketenagakerjaan yang sebelumnya telah ada.
Keberadaan UU Ketenagakerjaan tersebut juga menjadi landasan atas keluarnya aturan
perundang-undangan lain di masa Pemerintahan Megawati. Terdapat 2 UU yang dibuat
dengan berdasarkan UU Ketenagakerjaan, yakni UU Nomor 2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial serta UU Nomor 39 Tentang Perlindungan
dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

2. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), terjadi pertumbuhan jumlah tenaga
kerja perempuan dari 2018 ke 2019. Pada 2018, tercatat 47,95 juta
orang perempuan yang bekerja. Jumlahnya meningkat setahun setelahnya menjadi 48,75
juta orang. Begitu juga pekerja anak di Indonesia mengalami peningkatan dalam kurun
waktu tiga tahun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada 2017 terdapat 1,2
juta pekerja anak di Indonesia dan meningkat 0,4 juta atau menjadi sekitar 1,6 juta pada
2019. Namun meningkatnya jumlah tenaga kerja tersebut tidak diimbangi dengan
pengawasan yang baik sehingga sering terjadi pelanggaran dalam pelaksanaan dalam
mempekerjakan anak dan perempuan tersebut. Padahal Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan mengamanatkan bahwa setiap tenaga kerja baik laki-laki
maupun perempuan dan juga pekerja anak di Indonesia berhak untuk dilindungi dan
mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pekerjaan.

Pertanyaan :
a. Bagaimana bentuk perlindungan pekerja perempuan dan anak dalam Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ?
Jawaban :
• pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan
yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00,
Hak untuk diperlakukan sama dengan pekerja laki-laki, mendapatkan cuti hamil dan
melahirkan (1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan), pekerja
yang menyusui minimal diberi waktu untuk menyusui atau memompa ASI pada
waktu jam kerja,
• perjanjian kerja yang disepakati oleh orang tuan anak, dan waktu maksimal 3 jam per
hari, pekerja Anak Bekerja Untuk Pengembangan Bakatnya, pekerjaan yang
diberikan langsung diawasi oleh orang tua, tidak mempengaruhi jam belajar dan
waktu kerja paling lama 3 jam per hari, dan lingkungan kerja ditadi menggangu
pertumbuhan mental anak dan sosial, Pekerja Perlindungan Hukum Pekerja Wanita
dan Anak (Primahaditya Putra Bintang Adi Pradana) 50 Anak Dipekerjakan Bersama
Buruh Dewasa, menurut Porsi kerjanya sanagat berbeda dengan buruh dewasa
sehingga harus di pisahkan anatara buruh anak dengan buruh dewasa, maksud dari
situasi terburuk adalah pekerjaan yang sangat berat bisa diartikan sebagai budak atau
lain sebagainya, hal ini sangat tidak boleh dilakukan, dengan kata lain anak yang
merupakan generasi penerus bangsa sudah sewajarnya tidak diperbolehkan untuk
dipekerjakan sebagai budak.

b. Bagaimana sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan dalam penerapan hukum


mempekerjakan perempuan dan anak di Indonesia ?
• Sanksi pelanggaran hukum anak : sanksi pidana penjara paling singkat 1(satu) tahun
dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,-
(seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah),
sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas)
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah), sanksi berupa pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp
200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus
juta rupiah).
• Sanksi pelanggaran hukum perempuan : sanksi pidana kurungan paling singkat 1
(satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp
10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta
rupiah), sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat)
tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah).
3. Karyadi adalah karyawan Konveksi PT. LANCAR LURUS yang bekerja berdasarkan
Perjanjian Kerja selama 1 (satu) tahun sejak tahun 2018. Saat ini Karyadi masih bekerja
di PT. LANCAR LURUS dengan baik dan selalu mentaati peraturan yang berlaku di
perusahaan tersebut tanpa dilakukan penandatanganan Perjanjian Kerja seperti awal
masuk. Suatu hari karena ingin memastikan status hubungan kerjanya, Karyadi
menanyakan kepada Pimpinan Perusahaan, namun hingga saat ini tidak ada jawaban.

Pertanyaan :
a. Apakah hubungan kerja Karyadi dengan PT. LANCAR LURUS masih sah secara
hukum ?
b. Bagaimana status hubungan kerja antara Karyadi dengan PT. LANCAR LURUS ?
c. Bagaimana Karakteristik Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dengan Perjanjian
Kerja Waktu Tidak tertentu (PKWTT) ?

Jawaban :
a. Hubungan kerja Karyadi dengan PT. LANCAR LURUS tidak sah secara hukum.
b. Status hunbungan kerja antara Karyadi dengan PT. LANCAR LURUS yaitu
hungungan kerja PKWT(Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) dimana terdapat jangka
waktu selesainya suatu pekerjaan.
c. Karakteristik PKWT dengan PKWTT
KARAKTERISTIK PKWT PKWTT

Para Pihak Pekerja dan Pengusaha Pekerja dan Pengusaha


Pemberi Kerja Pemberi Kerja

Hubungan dan Masa Kerja Hubungan kerja pekerja Hubungan kerja pekerja
PKWT didasarkan dalam PKWTT bersifat tetap.
jangka waktu atau
selesainya suatu pekerjaan Masa Kerja pekerja
tertentu. PKWTT, tidak ada
batasan waktu (bisa
Masa Kerja PKWT serta sampai pekerja mencapai
perpanjangannya paling usia pensiun atau
lama 5 (lima) tahun meninggal dunia).

Bentuk Perjanjian Kerja PKWT dapat dibuat secara Perjanjian kerja dapat
tertulis atau lisan. dibuat secara tertulis atau
lisan. Meski demikian
untuk PKWTT yang
dibuat secara lisan
terdapat ketentuan wajib
bagi pengusaha yakni
untuk membuat surat
pengangkatan bagi
pekerja/buruh yang
bersangkutan (Pasal 63
ayat (1) UU 13/2003)

Jenis Pekerjaan Tidak dapat diadakan Dapat diadakan untuk


untuk pekerjaan yang segala jenis pekerjaan
bersifat tetap. PKWT
hanya dapat dibuat untuk
pekerjaan tertentu yang
menurut jenis dan sifat
atau kegiatan pekerjaannya
akan selesai dalam waktu
tertentu
Masa Percobaan Kerja Tidak ada masa percobaan Diperkenankan ada masa
kerja percobaan kerja selama 3
bulan dan persyaratan
tersebut harus dicantumkan
dalam perjanjian kerja atau
diberitahukan kepada
pekerja yang bersangkutan
dan dicantumkan dalam
surat pengangkatan apabila
perjanjian kerja dibuat
secara lisan.

Kompensasi PHK Pekerja PKWT yang telah Pekerja dengan status


mempunyai masa kerja PKWTT berhak untuk
paling sedikit 1 (satu) bulan mendapatkan uang pesangon
secara terus-menerus berhak dan/atau uang penghargaan
atas uang kompensasi saat masa kerja (UPMK), dan
berakhirnya hubungan kerja. uang penggantian hak
(UPH) yang besarannya
berbeda-beda tergantung
pada masa kerja dan alasan
terjadinya pemutusan
hubungan kerja.

Anda mungkin juga menyukai