Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara historis lahirnya hukum perburuhan di dunia terkait erat dengan revolusi
industri yang terjadi di Eropa, khususnya di Inggris pada abad ke-19. Revolusi
industri yang ditandai dengan penemuan mesin uap telah mengubah secara
permanen hubungan buruh dan majikan. Penemuan mesin juga telah
mempermudah proses produksi. Revolusi industri menandai munculnya zaman
mekanisasi yang tidak dikenal sebelumnya. Ciri utama mekanisasi ini adalah
hilangnya industri kecil, jumlah buruh yang bekerja dipabrik meningkat, anak-
anak dan perempuan ikut diterjunkan ke pabrik dalam jumlah massal, kondisi
kerja yang berbahaya dan tidak sehat, jam kerja panjang, upah yang rendah dan
perumahan yang sangat buruk. Keprihatinan utama yang didasari lahirnya hukum
perburuhan adalah buruknya kondisi kerja dimana buruh anak dan perempuan
bekerja terutama dipabrik tenun/tekstil dan pertambangan yang sangat
membahayakan kesehatan dan keselamatannya. Di Indonesia dalam literatur
hukum perbluruhan yang ada, riwayat hubungan perburuhan diawali dengan suatu
masa yang suram yakni zaman perbudakan, rodi dan poenale sanksi (sanksi
poenale). Pada awal kemerdekaan keadaan hukum kerja tidaklah begitu berarti
atau kurang diperhatikan meskipun dalam Undang-Udang Dasar 1945 secara jelas
diatur masalah ketenagakerjaan, khususnya dalam pasal 27 ayat (2): “tiap-tiap
warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan”.
Namun hal ini terjadi karena perhatian pemerintah lebih condong untuk
mempertahankan kemerdekaan yang ingin direbut kembali oleh belanda. Dengan
demikian tidak ada sama sekali peraturan perundangan yang dikeluarkan pada
awal kemerdekaan tersebut. Baru kemudian setelah Indonesia mempertahankan
kedaulatannya pada tahun 1948 pemerintah mulai memerhatikan masalah
ketenagakerjaan dengan mengeluarkan berbagai peraturan. Kemudian dalam era
tahun 2000 sebagian besar dari peraturan undang-undang tersebut dicabut dan
diganti yang kemudian lahirlah
peraturan-peratuaran sebagai berikut:
a. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang serikat pekerja/serikat buruh.
b. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
c. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.
Dalam berbagai tulisan dibidang ketenagakerjaan sering dijumpai adagium yang
berbunyi pekerja/buruh adalah tulang punggung perusahaan. Adagium ini
tampaknya biasa saja seperti tidak mempunyai makna tetapi kalau dikaji lebih
jauh akan kelihatan kebenarannya. Pekerja/buruh dikatakan sebagai tulang
punggung karena memang dia mempunyai peranan yang penting. Tanpa adanya
pekerja/buruh perusahaan tersebut tidak akan bisa berjalan dan tidak akan bisa
pula ikut berpartisipasi dalam pembangunan nasional. Pembangunan nasional
dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat
yang sejahtera, adil, makmur yang merata baik materil maupun spiritual
berdasarkan pancasila dan undangundang dasar Negara Indonesia tahun 1945.
Dalam pelaksanaan pembanguan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan
kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan. Jumlah
penduduk Indonesia yang melimpah apabila dapat didayagunakan secara optimal
dan efisien akan menjadi aset yang sangat menguntungkan dalam pelaksanaan
pembangunan. Kondisi demikian sudah menjadi fakta sejarah dinegara-negara
yang memulai dan menyelenggarakan pembangunan nasionalnya. Sebagai contoh
yang tidak dapat dipungkiri yaitu Negara Jepang dengan restorasi meizi yang
memulai pembangunan nasionalnya dengan sumber daya alam yang minim dan
bermodalkan puingpuing akibat kalah dalam perang dunia ke II melawan sekutu.
Namun dengan bermodalkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas tinggi
disertai etos kerja yang tinggi, dewasa ini jepang menjadi raksasa kekuatan
ekonomi didunia yang sulit ditandangi oleh Negara lain. Dalam peraturan
perundang-undangan nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pasal 1 angka
1 yang dimaksud dengan ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan
dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
Sedangkan yang dikatakan dengan tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu
melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk
memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyrakat. Pengertian tenaga kerja
ini lebih luas dari pengertian pekerja/buruh karena pengertian tenaga kerja
mencakup pekerja/buruh yaitu tenaga kerja yang sedang terikat dalam suatu
hubungan kerja dan tenaga kerja yang belum bekerja. Pekerja /buruh adalah setiap
orang yang berkerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Dengan kata lain pekerja/buruh adalah tenaga kerja yang sedang dalam ikatan
hubungan kerja. Kemudian dalam peraturan pemerintah No. 78 Tahun 2015
tentang pengupahan pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan
menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pengertian setiap orang yang
mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk
memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat dapat meliputi setiap
orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain atau
setiap orang yang bekerja sendiri dengan tidak menerima upah atau imbalan.
Tenaga kerja meliputi pegawai negeri, pekerja formal, pekerja informal dan orang
yang belum bekerja atau pengangguran. Dengan kata lain pengertian tenaga kerja
adalah lebih luas dari pada pekerja atau buruh. Imam Soepomo memberikan
batasan pengertian hukum perburuhan adalah suatu himpunan peraturan baik
tertulis maupun tidak yang berkenaan dengan kejadian diamana seseorang bekerja
pada orang lain dengan menerima upah. Kemudian pengertian hukum perburuhan
ini dapat dikatakan
mengandung tiga unsur, yaitu:
a. Adanya peraturan
b. Bekerja pada orang lain dan
c. Upah

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan gejala diatas terkait pelaksanaan Undang-Udang
No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, dan peraturan pemerintah No. 78
Tahun 2015 tentang pengupahan pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja
dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. maka penulis melihat ada
beberapa hal dalam penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana pelaksanaan pemerintah yang terdapat di UU No 13 Tahun
2003?
2. Isi dari peraturan pemerintah No. 78 Tahun 2015 ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian pada dasarnya merupakan jawaban yang ingin dicari dari
rumusan masalah dalam penelitian . Karena itu, terlihat hubungan fungsional
antara permasalahan dan tujuan penelitian akan terlihat adanya hal yang diperoleh
setelah penelitian selesai dilaksanakan.
1. yang dikatakan dengan tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu
melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk
memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyrakat. Pengertian tenaga
kerja ini lebih luas dari pengertian pekerja/buruh karena pengertian tenaga
kerja mencakup pekerja/buruh yaitu tenaga kerja yang sedang terikat
dalam suatu hubungan kerja dan tenaga kerja yang belum bekerja.
Pekerja /buruh adalah setiap orang yang berkerja dengan menerima upah
atau imbalan dalam bentuk lain.
2. tentang pengupahan pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja
dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pengertian setiap
orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang
dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk
masyarakat dapat meliputi setiap orang yang bekerja dengan menerima
upah atau imbalan dalam bentuk lain atau setiap orang yang bekerja
sendiri dengan tidak menerima upah atau imbalan. Tenaga kerja meliputi
pegawai negeri, pekerja formal, pekerja informal dan orang yang belum
bekerja atau pengangguran. Dengan kata lain pengertian tenaga kerja
adalah lebih luas dari pada pekerja atau buruh.

BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Hukum Perburuhan
Hukum perburuhan adalah seperangkat aturan dan norma, baik tertulis maupun
tidak tertulis, yang mengatur pola hubungan industrial antara pemberi kerja
(pengusaha, perusahaan, atau badan hukum) di satu sisi dan penerima kerja
(pekerja atau buruh) di sisi yang lain.
Hukum perburuhan terletak di antara hukum publik dan hukum privat. Dikatakan
hukum privat karena mengatur hubungan antara dua individu (pemberi kerja dan
penerima kerja), dan dikatakan hukum publik karena negara melakukan campur
tangan melalui pengikatan aturan yang mengurus hubungan antara dua individu.
Hukum perburuhan terbagi menjadi:
hukum perburuhan individu (mengenai kontrak kerja), dan
hukum perburuhan kolektif (mengenai serikat buruh, pemogokan, dan lain-lain),
yang secara bersama-sama membentuk hukum sosial.
Pengertian Hukum Perburuhan Menurut Para Ahli
1.Menurut Molenaar, hukum perburuhan adalah bagian hukum yang berlaku,
yangpokoknya mengatur hubungan antara tenaga kerja dan pengusaha, antara
tenagakerja dan tenaga kerja.
2.Menurut Mok, hukum perburuan adalah hukum yang berkenaan dengan
pekerjaanyang dilakukan oleh swapekerja yang melakukan pekerjaan atas
tanggung jawab danrisiko sendiri.
3.Menurut Soetikno, hukum perburuhan adalah keseluruhan peraturan
hukummengenai hubungan kerja yang mengakibatkan seseorang secara
pribadiditempatkan dibawah perintah/pimpinan orang lain dan mengenai keadaan-
keadaanpenghidupan yang langsung bersangkutpaut dengan hubungan kerja
tersebut.
4.Menurut Imam Sopomo, hukum perburuhan adalah himpunan peraturan,
baiktertulis maupun tidak tertulis, yang berkenaan dengan kejadian saat
seseorangbekerja pada orang lain dengan menerima upah.
5.Menurut M.G. Levenbach, hukum perburuhan adalah hukum yang
berkenaandengan hubungan kerja, yakni pekerja di bawah pimpinan dan dengan
keadaan penghidupan yang langsung bersangkutpaut dengan hubungan kerja itu.
6.Menurut N.E.H. Van Esveld, hukum perburuhan adalah tidak hanya
meliputihubungan kerja dengan pekerjaan dilakukan di bawah pimpinan,
tetapi juga meliputipekerjaan yang dilakukan oleh swapekerja atas tanggung
jawab dan risiko sendiri.
7.Menurut Halim, hukum perburuhan adalah peraturan-peraturan hukum
yangmengatur hubungan kerja yang harus diindahkan oleh semua pihak, baik
pihakburuh/pekerja maupun pihak majikan.
8.Menurut Daliyo, hukum perburuhan adalah himpunan peraturan, baik yang
tertulismaupun yang tidak tertulis yang mengatur hubungan kerja antara buruh
dan majikandengan mendapat upah sebagai balas jasa.
9.Menurut Syahrani, hukum perburuhan adalah keseluruhan peraturan hukum
yangmengatur hubungan-hubungan perburuhan, yaitu hubungan antara buruh
danmajikan dengan perintah (penguasa)
Ada 6 jenis sumber hukum yang diakui dan dijalankan. Enam sumber
hukum tersebut adalah:
 Undang-undang
Undang-undang merupakan aturan yang ditetapkan oleh presiden dengan disetujui
oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ada pula Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang memiliki hukum setara dengan undang-
undang. Berbeda dengan undang-undang, penetapan perpu bisa dilakukan secara
langsung oleh presiden tanpa harus memperoleh persetujuan DPR. Namun, perpu
harus diajukan pada persidangan DPR berikutnya dalam rangka penetapan aturan
tersebut menjadi undang-undang.
 Peraturan lain
Peraturan lain merupakan aturan yang secara hukum posisinya berada di bawah
undang-undang. Ada beberapa jenis peraturan yang masuk dalam kategori ini, di
antaranya adalah Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, serta peraturan atau
keputusan instansi.
Karena mencakup banyak pihak, tidak heran kalau peraturan lain yang
menyangkut tentang perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia sangat banyak.
Sebagai contoh di antaranya adalah, Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012,
Permendag Nomor 50 Tahun 2010, Perpres Nomor 12 tahun 2013, dan lain-lain.
 Kebiasaan
Sumber hukum perburuhan dan ketenagakerjaan berikutnya di Indonesia adalah
kebiasaan. Suatu kebiasaan dianggap sebagai hukum tak tertulis ketika menjadi
hal yang telah dilakukan berulang-ulang. Apalagi, banyak pihak yang menaati
aturan tak tertulis dan menerimanya tanpa ada keluhan.
 Putusan hukum
Putusan hukum menjadi aturan hukum yang harus ditaati berikutnya. Hanya saja,
putusan hukum berlaku secara terbatas. Sebagai contoh, pada kasus putusan
Mahkama Konstitusi (MK) terhadap gugatan hukum pada isi UU
Ketenagakerjaan. Sebagian gugatan diterima oleh hakim, tapi putusan ini tidak
mengubah isi undang-undang.
 Perjanjian
Perjanjian kerja antara pemilik usaha dengan karyawan juga menjadi salah satu
bentuk sumber hukum perburuhan dan ketenaga kerjaan. Hanya saja, secara
umum perjanjian hanya mengikat kepada pihak yang berkaitan secara langsung.
Selain itu, isi dari perjanjian biasanya boleh diketahui oleh pihak terkait. Apalagi,
perjanjian ketenagakerjaan yang melibatkan serikat pekerja dengan perkumpulan
pengusaha.
 Traktat
Sumber hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia yang terakhir adalah
traktat, perjanjian yang dilaksanakan oleh dua atau beberapa negara. Konvensi
yang merupakan perjanjian internasional oleh lembaga dunia menjadi salah satu
jenis traktat, misalnya konvensi ILO.
Hanya saja, di Indonesia, konvensi ILO tidak secara otomatis menjadi sumber
hukum perburuhan dan ketenagakerjaan. Agar aturan pada konvensi itu bisa
diberlakukan di Indonesia, pemerintah harus melakukan ratifikasi. Contoh
ratifikasi yang pernah dilakukan antara lain adalah, UU Nomor 20 Tahun 1999
tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 138 Mengenai Usia Minimum Untuk
Diperbolehkan Bekerja Tahun 1973.
Terdapat 4 aturan perundang-undangan terkait perburuhan dan ketenagakerjaan
yang berlaku di Indonesia, yaitu:
 UU Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial
Undang-undang ini mengatur terkait perselisihan yang muncul dalam hubungan
industrial. Berdasarkan aturan hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di
Indonesia ini, terdapat 4 jenis perselisihan yang bisa terjadi, yaitu:
1. Perselisihan hak
Perselisihan ini timbul disebabkan oleh tidak dipenuhinya hak yang merupakan
akibat adanya perbedaan pemahaman atau pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama.
 
2. Perselisihan kepentingan
Perselisihan ini muncul dalam hubungan industrial karena tidak adanya
kesepahaman mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja pada
perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
3. Perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK)
Perselisihan yang timbul karena tidak adanya kepahaman mengenai pemutusan
hubungan kerja oleh salah satu pihak. Dalam penyelesaian perselisihan itu, pihak-
pihak yang terkait bisa memilih berbagai metode, seperti perundingan bipartit,
mediasi oleh pemerintah, penyelesaian melalui konsiliasi, penyelesaian lewat
arbitrase, ataupun pengadilan perselisihan hubungan industrial (PHI).
 

4. Perselisihan antara serikat pekerja


Perselisihan ini terjadi pada dua serikat pekerja atau lebih yang berada dalam 1
perusahaan.  Perselisihan itu bisa terjadi karena tidak adanya kesesuaian
pemahaman terkait keanggotaan, pelaksanaan hak, serta kewajiban
keserikatpekerjaan.
 UU Nomor 18 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Tahun 2017
Undang-undang ini mengatur terkait penempatan, perlindungan, serta persyaratan
para tenaga kerja Indonesia (TKI) yang ada di luar negeri. Keberadaannya
menggantikan UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Luar Negeri.
Di dalamnya, diatur secara rinci tahapan yang harus dilalui ketika seorang warga
negara ingin mengajukan diri menjadi seorang TKI. Selain itu, diatur pula terkait
perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI).
Selain itu, UU ini juga memberi perlindungan tidak hanya pada TKI, tapi juga
anggota keluarga. Hal ini sesuai dengan Konvensi Internasional tentang
Perlindungan Hak-hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya.
 UU Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja
UU Nomor 21 Tahun 2000 memberikan kesempatan bagi para buruh untuk
mendirikan organisasi buruh secara mandiri. Tidak heran kalau saat ini banyak
bermunculan serikat buruh yang memiliki visi serta misinya masing-masing.
Bahkan, dalam satu perusahaan, bisa muncul serikat buruh lebih dari 1 organisasi.
Hal ini sangat memungkinkan karena menurut aturan ini, buruh bisa mendirikan
organisasi dengan anggota minimal 10 orang.
 UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan merupakan landasan dasar
dari aturan hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia. UU ini memiliki
total sebanyak 193 pasal dan memiliki cakupan hukum yang luas. Undang-undang
ini juga mengatur tentang status hubungan industrial pada setiap jenis usaha.
Mulai dari usaha kecil, menengah, hingga usaha besar.
Undang-undang ini pun mengatur tentang hubungan kerja yang berlangsung
antara buruh dengan perusahaan, termasuk di antaranya adalah perlindungan, hak ,
serta kewajiban masing-masing pekerja dan pengusaha. Secara khusus, problem
yang kerap menjadi sorotan dari UU Ketenagakerjaan ini adalah terkait
kebijakan outsourcing, pemberian upah murah, serta PHK yang terjadi seenaknya.
ada 5 poin yang menjadi kritik untuk aturan hukum ketenagakerjaan di
Indonesia, yaitu:
1. PHK karyawan
Pasal 158 UU Ketenagakerjaan, menyebutkan bahwa perusahaan bisa memecat
karyawan ketika melakukan kesalahan berat. Hanya saja, undang-undang ini tidak
menyebutkan secara jelas kriteria yang termasuk dalam kesalahan berat tersebut.
Alhasil, buruh menjadi pihak yang dirugikan akibat aturan ini.
2. Karyawan outsourcing
Alih daya tenaga kerja (outsourcing) menjadi sumber permasalahan yang banyak
dikritik dari UU Ketenagakerjaan. Pada praktiknya, banyak perusahaan yang
menggunakan karyawan outsourcing untuk memenuhi kebutuhan tenaga pada
kegiatan utama. Namun, para pengusaha kerap beralasan bahwa UU ini tidak
menyebutkan secara jelas penafsiran dari kegiatan utama.
3. Inkonsistensi
UU ini juga memiliki inkonsistensi pada pasal-pasalnya. Hal ini diungkapkan oleh
Prof. Aloysius Uwiyono dari Universitas Indonesia seperti dikutip dari Hukum
Online. Salah satu inkonsistensi pada UU ini adalah terkait perjanjian kerja waktu
tertentu atau KKWT.
UU ini menyebutkan bahwa KKWT merupakan perjanjian yang dilakukan pada
jangka waktu tertentu. Namun, pada pasal lain, mengungkapkan bahwa perjanjian
kerja pada pekerjaan yang bersifat tetap, tidak boleh memakai aturan perjanjian
kerja waktu tertentu.
Secara khusus, inkonsistensi ini menjadi menjadi permasalahan pada UU
Ketenagakerjaan yang merugikan para pengusaha. Kritik terhadap undang-undang
ini dari kalangan pengusaha pernah dilontarkan oleh Direktur Utama PT Toyota
Motor Manufacturing Indonesia, Masahiro Nonami.
Dalam wawancaranya dengan Tempo, Nonami mengungkapkan bahwa tuntutan
upah layak, penolakan PHK, ataupun permintaan tunjangan sosial dari kalangan
buruh sudah menjadi hal yang biasa, khususnya di negara berkembang. Hal
seperti ini pernah terjadi di Jepang pada kurun 1970-an.
Menurut Nonami, permasalahan seperti itu tidak akan dihadapi pemerintah kalau
UU Ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia memiliki aturan yang jelas.
Selama ini, ujar Nonami, aturan terkait perburuhan dan ketenagakerjaan di
Indonesia dianggapnya tidak jelas. Alhasil, terjadi multitafsir dalam penerapannya
di lapangan.
4. Pengadilan PHI
Selama ini, pengadilan yang mengurusi perselisihan dalam hubungan industrial
bersifat yudikatif. Hal ini dianggap tidak tepat, karena seharusnya lembaga
tersebut secara khusus menangani permasalahan hubungan industrial. Alih-alih
lembaga yudikatif, pengadilan PHI lebih cocok adalah lembaga eksekutif.
Tidak hanya itu, pengadilan PHI juga harus menyediakan layanan pencarian
keadilan yang ramah bagi para buruh. Apalagi, saat ini dalam praktiknya,
pertikaian antara buruh melawan pengusahan di pengadilan PHI berakhir dengan
kemenangan pengusaha. Mayoritas karena masalah finansial dari para buruh.
5. Pengadilan PHI sebagai sarana buruh mencari keadilan
Dosen hukum ketenagakerjaan dari Fakultas Hukum Unair, Hadi Subhan
mengatakan pengadilan PHI tidak memberi perlindungan kepada para buruh.
Padahal, sejatinya keberadaan pengadilan PHI merupakan sarana para buruh
dalam mencari keadilan.
Oleh karena itu, pengadilan PHI seharusnya diberlakukan seperti PTUN. Di situ,
rakyat bisa menggugat pejabat negara, namun tidak berlaku sebaliknya. Kalau hal
ini diberlakukan, maka buruh bisa menggugat perusahaan, tapi perusahaan tak
bisa menuntut buruh.

Unsur Unsur Hukum Perburuhan


 Serangkaian peraturan yang tertulis dan tidak tertulis.
 Peraturan mengenai suatu kejadian.
 Adanya orang yang bekerja pada orang lain.
 Adanya balas jasa yang berupa upah.
Tujuan Pengaturan ketenagakerjaan adalah untuk:
1. Memberdayakan dan Mendayagunakan Tenaga Kerja Secara Optimal dan
Manusiawi
Tujuan dari adanya hukum ketenagakerjaan tidak lain adalah untuk
memberdayakan dan mendayagunkan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi.
Sudah banyak kita dengar mengenai kasusu tidakana yang tidak manusiawi yang
dilakukan oleh atsana kepada para bawahannya. Hal yang masih marak terjadi
adalah pemaksaaan kerja lembur yang tidak dibayarkan oleh perusahaan. Belum
lagi hal lain seperti perlakukan dan tidakan yang tidak menyenangkan yang
meliputi kekerasan secara verbal dri atasan hingga juga kekerasan secara fisisk.
Tentu saja hal ini merupakan tindakan yang salh meskipun apapun juga alasan
dibaliknya.

Oleh sebab itu, tentu dengan adanyan hukum ketenagakerjaan maka akan dapat
meminimalisir kejadian yang demikian. Sehingga diharapkan para tenaga kerja
dapat menjalankan pekerjaannya dengan optimal. Tentunya hal ini juga
merupakan bagian dari bagaimana memberdayakan dan mendayagunakan para
pekerja sesuai dengan potensinya. Sehingga kemudian hal ini akan memberikan
dampak yang bagi bagi perkembangan baik perusahaan ataupun industri yang ada
di Indonesia. Diharapkan dengan penerapan hukum ketenagakerjaan yang tept
maka tentu akan memberikan dampak positif terhadap semua pekerja dana lemen
pendukungnya. 

2. Mewujudkan Pemerataan Kesempatan Kerja dan Penyediaan Tenaga Kerja


Sesuai Dengan Kebutuhan Pembangunan Nasional dan Daerah
Pembangunan nasional, khususnya bidang ketenagakerjaan diarahkan untuk
sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat pekerja. Oleh
karena itu hukum ketenagakerjaan harus dapat menjamin kepastian hukum, nilai
keadilan, asas kemanfaatan, ketertiban, perlindungan dan penegakan hukum.
Seiring dengan pembangunan bidang ketenagakerjaan, tampak maraknya para
pelaku dunia usaha berbenah diri pasca krisis ekonomi dan moneter untuk bangun
dari mimpi yang buruk, serta terpaan gelombang krisis ekonomi global yang
melanda asia tenggara, di mana Indonesia tidak lepas dari terpaan gelombang
tersebut. Pemerintah dalam upaya mengatasi krisis ekonomi global bersama
dengan masyarakat, terutama para pelaku usaha, salah satu alasan pokok untuk
menstabilkan perekonomian dan menjaga keseimbangan moneter serta
menghindari kebangkrutan sebagian besar perusahaan yang berdampak terhadap
sebagian besar nasib para pekerja pabrikan dan berujung pada pemutusan
hubungan kerja.

Pemerintah selaku pembina, pengawas, dan penindakan hukum melaksanakan


aturan hukum dengan hati-hati mengingat posisi pengusaha dan pekerja
merupakan aset potensial bagi negara, sekaligus subyek pembangunan nasional
yang berkedudukan sama dihadapan hukum. Aturan hukum sebagai pedoman
tingkah laku wajib dipatuhi para pihak dan dengan penuh rasa tanggung-jawab.
Kepatuhan bukan merupakan paksaan, melainkan budaya taat terhadap ketentuan
hukum.
3. Memberikan Perlindungan kepada Tenaga Kerja Dalam
Mewujudkan Kesejahteraan
Seiring perjalanan bangsa sampai memasuki era kemerdekaan, peraturan demi
peraturan dibuat untuk melindungi, dan menjamin kesejahteraan, keselamatan,
dan keberlangsungan hidup (secara kemanusiaan) para pekerja. Kini, kita sudah
lebih dari setengah abad merdeka. Namun, masalah yang menyangkut tentang
ketenagakerjaan mulai dari Upah, Kesejahteraan, dll masih menjadi sorotan.
Semuanya masih jauh dari harapan. Kita bisa melihat bahwa hampir semua aksi
Buruh memperingati hari buruh sedunia (mayday) selalu menuntut keadilan atas
dasar kemanusiaan. Para buruh selalu meneriakkan tentang sistem kerja kontrak,
upah, dll. yang semuanya berujung pada kesejahteraan para pekerja.

Namun, pada faktanya masih daja terjadi banyak pelanggaran kepad para tenaga
kerja. Mulai dari tindakan PHK yang sewenang wenang dari perusahaan,
pemotongan gaji tanpa sebab, hingga tindkan lai  yang merugikan para pekerja.
Tentu hal hal sebagaimana hal diatas merupakan bagian dari kurangnya
perlindungan bagi patra tenaga kerja sehingga mereka tidak dapat menuntut
tindakan ketidakadilan ini. Pada akhirnya kondisi yang demikian itu, dapat
berpengaruh langsung terhadap kelangsungan hidup serta juga kesejahteraan para
pekerja yang maikn tidak karuan.

4. Meningkatkan Kesejahteraan Tenaga Kerja dan Keluarga


Seiring perjalanan bangsa sampai memasuki era kemerdekaan, peraturan demi
peraturan dibuat untuk melindungi, dan menjamin kesejahteraan, keselamatan,
dan keberlangsungan hidup (secara kemanusiaan) para pekerja. Kini, kita sudah
lebih dari setengah abad merdeka. Namun, masalah yang menyangkut tentang
ketenagakerjaan mulai dari Upah, Kesejahteraan, dll masih menjadi sorotan.
Semuanya masih jauh dari harapan. Kita bisa melihat bahwa hampir semua aksi
Buruh memperingati hari buruh sedunia (mayday) selalu menuntut keadilan atas
dasar kemanusiaan. Para buruh selalu meneriakkan tentang sistem kerja kontrak,
upah, dll. yang semuanya berujung pada kesejahteraan para pekerja sebagai salah
satu sistem hukum yang berlaku di indonesia saat ini .

Dengan adanya hukum ketenagakerjaan, kesejahteraan pekerja dan keluarga


menjadi salah satu tujuan uta amengapa kemudian hukum ini dibuat. Tentunya
masalah kesejahteraan sendiri menjadi hal yang cukup krusial dan selalu saja
menjadi pembahasan serta topik yang hangat untuk dikaji. Terlebih lagi salah satu
faktor yang menyangkut kesejahteraan adlah tidak hanya mengeani upah atau
standar gaji yang diterima namun juga perlindungan kesehatan bagi pekerja dan
keluarga. Banya sekali para keluarga dari pekerja yang tidak mendapatkan
fasilitas kesehatan yang memadai sebab perusahaan tidak membackup hal ini,
tentu saja halini menjadi salah satu yang harus diuperhatikan sebagai bagian dari
prinsip demokrasi yang ada di indonesia .
BAB III
PENUTUPAN
Kesimpulan
Suatu hukum perburuhan seperangkat aturan dan norma, baik tertulis maupun tidak
tertulis, yang mengatur pola hubungan industrial antara pemberi kerja (pengusaha,
perusahaan, atau badan hukum) di satu sisi dan penerima kerja (pekerja atau
buruh) di sisi yang lain.
hukum privat karena mengatur hubungan antara dua individu (pemberi kerja dan
penerima kerja), dan dikatakan hukum publik karena negara melakukan campur
tangan melalui pengikatan aturan yang mengurus hubungan antara dua individu.
Hukum perburuhan terbagi menjadi:
hukum perburuhan individu (mengenai kontrak kerja), dan
hukum perburuhan kolektif (mengenai serikat buruh, pemogokan, dan lain-lain),
yang secara bersama-sama membentuk hukum
Ada beberapa jenis peraturan yang masuk dalam kategori ini, di antaranya adalah
Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, serta peraturan atau keputusan instansi.
Karena mencakup banyak pihak, tidak heran kalau peraturan lain yang
menyangkut tentang perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia sangat banyak.
Sebagai contoh di antaranya adalah, Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012,
Permendag Nomor 50 Tahun 2010, Perpres Nomor 12 tahun 2013, dan lain-lain.
 Kebiasaan
Sumber hukum perburuhan dan ketenagakerjaan berikutnya di Indonesia adalah
kebiasaan. Suatu kebiasaan dianggap sebagai hukum tak tertulis ketika menjadi
hal yang telah dilakukan berulang-ulang. Apalagi, banyak pihak yang menaati
aturan tak tertulis dan menerimanya tanpa ada keluhan.
 Putusan hukum
Putusan hukum menjadi aturan hukum yang harus ditaati berikutnya. Hanya saja,
putusan hukum berlaku secara terbatas. Sebagai contoh, pada kasus putusan
Mahkama Konstitusi (MK) terhadap gugatan hukum pada isi UU
Ketenagakerjaan. Sebagian gugatan diterima oleh hakim, tapi putusan ini tidak
mengubah isi undang-undang.
 Perjanjian
Perjanjian kerja antara pemilik usaha dengan karyawan juga menjadi salah satu
bentuk sumber hukum perburuhan dan ketenaga kerjaan. Hanya saja, secara
umum perjanjian hanya mengikat kepada pihak yang berkaitan secara langsung.
Selain itu, isi dari perjanjian biasanya boleh diketahui oleh pihak terkait. Apalagi,
perjanjian ketenagakerjaan yang melibatkan serikat pekerja dengan perkumpulan
pengusaha.
 Traktat
Sumber hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia yang terakhir adalah
traktat, perjanjian yang dilaksanakan oleh dua atau beberapa negara. Konvensi
yang merupakan perjanjian internasional oleh lembaga dunia menjadi salah satu
jenis traktat, misalnya konvensi ILO.
Hanya saja, di Indonesia, konvensi ILO tidak secara otomatis menjadi sumber
hukum perburuhan dan ketenagakerjaan. Agar aturan pada konvensi itu bisa
diberlakukan di Indonesia, pemerintah harus melakukan ratifikasi. Contoh
ratifikasi yang pernah dilakukan antara lain adalah, UU Nomor 20 Tahun 1999
tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 138 Mengenai Usia Minimum Untuk
Diperbolehkan Bekerja Tahun 1973.
Daftar Pustaka

https://www.lombokinsider.com/industry-news/1559407176/pantes-seragam-
baru-siswa-sd-smp-sma-ditolak-orang-tua-murid-menteri-nadiem-anwar-
mengharuskan-pakai-ini
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/10711/f
https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Hukum_perburuhan
http://repository.ubharajaya.ac.id/5363/11/Pertemuan_XI-
Hukum_Perburuhan.ppt
https://eprints.umm.ac.id/82781/3/BAB%202.pdf

Anda mungkin juga menyukai