Anda di halaman 1dari 12

SOCIALISERING PROCESS HUKUM PERBURUHAN DALAM ASPEK

KEBIJAKAN PENGUPAHAN*

Saprudin**

Bagian Hukum Perdata, Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin


Jalan Brigjend H. Hasan Basry, Banjarmasin, Kalimantan Selatan 70123

Abstract
The government’s intervention in wage policies started during the Old Order era with the enactment
of Act Number 33 of 1947 on Accidents. During the New Order era the government expanded its
intervention in wage policies by taking into effect Government Regulation Number 8 of 1981 on Wage
Protection. Subsequently, during the Reformation era the government imposed further limitations to
the administration of rules Private Law in matters of wage. As an impact of the socialisering process
undertaken from period to period, the government has established various laws on wages intended to
SURYLGH OHJDO SURWHFWLRQ WR ZRUNHUV ,Q RWKHU ZRUGV WKURXJKRXW WKRVH SHULRGV WKHUH KDV EHHQ D VLJQL¿FDQW
progress in terms of legal protection to workers in matters of wages.
Keywords: socialisering process, labor law, wage policies.

Intisari
Campur tangan pemerintah di bidang pengupahan diawali pada era Orde Lama, yakni pada saat
diundangkannya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan. Di era Orde Baru, peran
pemerintah di bidang pengupahan semakin besar yaitu dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor
8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah. Selanjutnya, di era reformasi pemerintah semakin membatasi
ketentuan-ketentuan yang bersifat Hukum Privat di bidang pengupahan. Akibat socialisering process
ialah di setiap periodisasi pemerintah telah menetapkan berbagai peraturan perundang-undangan di
bidang pengupahan yang bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi pekerja/buruh. Dengan
kata lain, di setiap periodisasi tersebut telah terjadi upaya peningkatan perlindungan hukum bagi pekerja/
buruh di bidang pengupahan.
Kata Kunci: socialisering process, hukum perburuhan, kebijakan pengupahan.

Pokok Muatan
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................................................... 543
B. Metode Penelitian ..................................................................................................................... 545
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan .............................................................................................. 545
1. Perkembangan Socialisering Process pada Hukum Perburuhan dalam Aspek Kebijakan
Pengupahan ......................................................................................................................... 545
2. Akibat Socialisering Process terhadap Perlindungan Hukum bagi Pekerja/Buruh di
Bidang Pengupahan ............................................................................................................. 551
D. Kesimpulan ................................................................................................................................ 552

*
Hasil Penelitian Tesis pada Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Tahun 2009.
**
Alamat korespondensi: saprudin.fhunlam@ymail.com
Saprudin, Socialisering Process Hukum Perburuhan dalam Aspek Kebijakan Pengupahan 543

A. Latar Belakang Masalah untuk dipekerjakan di perusahaan-perusahaan


Pembangunan ketenagakerjaan merupakan milik pemerintah Belanda. Para budak tersebut
bagian integral dari pembangunan nasional dalam melakukan pekerjaan tanpa diberikan hak
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang apapun, termasuk hak atas kehidupannya. Selain
Dasar 1945. Pembangunan tersebut dilaksanakan itu, terjadi kerja paksa (rodi) yang dilakukan oleh
dalam rangka pembangunan manusia Indonesia rakyat untuk kepentingan penguasa/kolonial atau
seutuhnya dan untuk meningkatkan harkat, pihak lain, tanpa adanya pemberian upah.
martabat, dan harga diri pekerja/buruh serta untuk Pada awal kemerdekaan, ketentuan mengenai
mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan Hukum Perburuhan sepenuhnya diberlakukan
makmur, baik materiel maupun spiritual. hukum kolonial yakni Burgerlijke Wetboek
Bidang ketenagakerjaan itu sendiri, telah atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
diatur dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang (selanjutnya disingkat KUHPerdata). Ketentuan
Dasar 1945 yang menyatakan ”Tiap-tiap warga mengenai perburuhan dalam KUHPerdata diatur
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan dalam Buku III, Bab 7A tentang Perjanjian-
yang layak bagi kemanusiaan”. Selanjutnya, Perjanjian untuk Melakukan Pekerjaan. Akan
Pasal 28D ayat (2) menyatakan “Setiap orang tetapi peraturan perburuhan yang diatur dalam
berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan KUHPerdata tersebut dianggap bersifat liberal
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan dan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa
kerja”. Dari ketentuan kedua pasal tersebut, berarti Indonesia.2 Sebagai contoh, konsepsi KUHPerdata
kedudukan bidang ketenagakerjaan di Indonesia memandang pekerja/buruh sebagai “barang”
mempunyai landasan yuridis yang kuat karena yang apabila tidak berproduksi, tidak akan
telah diatur secara khusus dalam konstitusi. diberi upah. Hal tersebut dinyatakan dalam Pasal
Di Indonesia permasalahan bidang ketenaga- 1602b KUHPerdata, “Tiada upah yang harus
kerjaan mengandung berbagai dimensi yakni, dibayar untuk jangka waktu selama si buruh tidak
dimensi ekonomi, hukum, sosial dan politik. melaksanakan pekerjaan”.
Dimensi ekonomi pembangunan ketenagakerjaan Demikian halnya dengan hak-hak lain
di antaranya mencakup penyediaan para tenaga yang sepenuhnya diserahkan kepada majikan,
ahli dan terampil sesuai dengan kebutuhan karena masalah perburuhan merupakan masalah
pasar kerja. Dari dimensi hukum, pembangunan keperdataan. Di dalam ketentuan-ketentuan
ketenagakerjaan dimaksudkan untuk mewujud- tersebut sama sekali tidak terdapat campur tangan
kan keadilan dan kesejahteraan bagi para pihak pemerintah, khususnya di bidang pengupahan.
yang terlibat dalam hubungan industrial. Untuk Ketentuan tersebut hanya mengatur tentang
mewujudkan hal tersebut ditetapkan berbagai hubungan kerja antara pemberi kerja (majikan)
kebijakan, antara lain di bidang produksi, moneter, dengan penerima kerja (buruh).
¿VNDO GDQ XSDK Apabila hubungan kerja sepenuhnya diserah-
Indonesia sebagai bangsa yang pernah kan kepada para pihak (buruh dan majikan), maka
dijajah tidak terlepas dari riwayat hubungan tujuan Hukum Perburuhan untuk menciptakan
perburuhan yang sangat suram. Riwayat hubungan keadilan sosial di bidang perburuhan akan sangat
perburuhan di Indonesia diawali dengan adanya sulit tercapai. Majikan sebagai pihak yang kuat
zaman perbudakan, rodi dan Poenale Sanctie.1 secara sosial dan ekonomi akan selalu menekan
Pada zaman tersebut telah terjadi jual-beli budak buruh yang selalu berada pada posisi yang

1
Iman Soepomo, 2003, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, hlm. 14-22.
2
Lalu Husni, 2003, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan 5DMD*UD¿QGR 3HUVDGD -DNDUWD KOP
544 MIMBAR HUKUM Volume 24, Nomor 3, Oktober 2012, Halaman 377 - 569

lemah. Berdasarkan hal tersebut pemerintah Agus Yudha Hernoko,6 Hukum Perdata sedang
perlu melakukan campur tangan dengan cara mencari bentuk baru melalui campur tangan
menetapkan berbagai peraturan perundang- pemerintah. Akhir-akhir ini pemerintah cenderung
undangan di bidang pengupahan. untuk memperbanyak peraturan-peraturan hukum
Di Indonesia, khususnya dalam bidang pemaksa (dwingend recht) demi kepentingan
Hukum Perburuhan yang menyangkut hubungan umum untuk melindungi kepentingan pihak yang
kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha, lemah.
pemerintah telah ikut campur tangan terhadap isi Indikator semakin banyaknya pembatasan-
perjanjian yang dibuat oleh pengusaha dengan pembatasan terhadap kebebasan individu dan
pekerja/buruh.3 Diantaranya mengenai penetapan semakin banyaknya ketentuan-ketentuan yang
upah minimum, dalam hal ini seorang pengusaha bersifat memaksa dalam tataran mikro dapat di-
dilarang untuk membayar upah kepada pekerja/ amati pada pelaksanaan hubungan kerja antara
buruh di bawah ketentuan upah minimum. pekerja/buruh dengan pengusaha. Hubungan
Campur tangan pemerintah di bidang kerja yang pada awalnya merupakan hubungan
perburuhan khususnya mengenai pengupahan kontraktual biasa yang diatur dengan mekanisme
semakin lama makin menguat, sehingga terjadi keperdataan berdasarkan asas kebebasan
perubahan di dalam sifat perjanjian kerja antara berkontrak (freedom of contract) tereduksi
pekerja/buruh dengan pengusaha. Hubungan sifat keperdataannya setelah negara melakukan
hukum antara kedua pihak yang awalnya bersifat kontrol7. Salah satu contoh konkret campur tangan
hubungan keperdataan, kemudian bergeser pemerintah tersebut dalam bidang pengupahan
menjadi hubungan yang bersifat publik. adalah ditetapkannya Peraturan Pemerintah
Campur tangan pemerintah tersebut secara Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan
logis akan berpengaruh terhadap dominasi Upah. Peraturan Pemerintah tersebut pada
sifat privat dalam Hukum Perburuhan. Proses pokoknya mengatur mengenai perlindungan
pergeseran Hukum Perburuhan dari Hukum upah secara umum yang berpangkal tolak kepada
Privat ke Hukum Publik dalam konteks yuridis fungsi upah yang harus mampu menjamin
dikenal dengan istilah ”Socialisering Process”. kelangsungan hidup bagi pekerja/buruh dan
Mariam Darus Badrulzaman menyebut istilah keluarganya.
Socialisering Process dengan istilah ”proses Campur tangan pemerintah dalam bidang
pemasyarakatan” (Vermaatschappelijking) yaitu pengupahan, dilakukan dari penetapan peraturan
proses pergeseran Hukum Perdata ke Hukum perundang-undangan, pengawasan, sampai pada
Publik karena campur tangan pemerintah di dalam penegakan hukum. Hal ini menunjukkan komit-
lapangan Hukum Perdata.4 men yang kuat dari pemerintah terhadap masalah
Menurut Pitaya, Socialisering Process pengupahan. Pemerintah menganggap masalah
merupakan proses ikut campur tangannya pengupahan sebagai hal yang sangat krusial
pemerintah dalam kehidupan keperdataan untuk dalam bidang ketenagakerjaan. Berdasarkan
melindungi pihak yang lemah (pekerja).5 Menurut hal tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk
Mariam Darus Badrulzaman sebagaimana dikutip melakukan penelitian dengan judul: “Sociali-

3
Sutan Remy Syahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank
di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, hlm. 61.
4
Mariam Darus Badrulzaman, 1991, Perjanjian Kredit Bank, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 44-45.
5
Pitaya, “Dilematika Penetapan Upah Minimum”, Mimbar Hukum, Vol. 18, No. 2, Juni 2006, hlm. 179.
6
Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, LaksBang Mediatama, Yogyakarta, hlm.
98.
7
R. Goenawan Oetomo, 2004, 3HQJDQWDU +XNXP 3HUEXUXKDQ +XNXP 3HUEXUXKDQ GL ,QGRQHVLD, Grhadhika Press, Depok, hlm. 24.
Saprudin, Socialisering Process Hukum Perburuhan dalam Aspek Kebijakan Pengupahan 545

sering Process pada Hukum Perburuhan dalam dokumen merupakan suatu alat pengumpulan
Aspek Kebijakan Pengupahan”. data yang dilakukan melalui data tertulis. Pene-
Berdasarkan latar belakang yang dikemu- litian ini menggunakan analisis deskriptif
kakan di atas, maka permasalahan dalam kualitatif. Data yang diperoleh kemudian diurai-
penelitian ini: (1) Bagaimana perkembangan kan secara deskriptif dan dianalisis secara
Socialisering Process pada Hukum Perburuhan kualitatif.
dalam aspek kebijakan pengupahan? dan (2)
Bagaimana akibat Socialisering Process terhadap C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
perlindungan hukum bagi pekerja/buruh di bidang 1. Perkembangan Socialisering Process
pengupahan? pada Hukum Perburuhan dalam Aspek
Kebijakan Pengupahan
B. Metode Penelitian a. Sejarah Perkembangan Hukum Perburuh-
Penelitian ini menggunakan pendekatan an di Eropa
yuridis normatif, yang meliputi penelitian ter- Perkembangan perburuhan di Eropa,
hadap asas hukum, pengertian hukum dan ke- ditandai dengan adanya Revolusi Industri dan
tentuan-ketentuan hukum. Sebagai penelitian yang Revolusi Perancis. Kedua revolusi tersebut, telah
bersifat normatif, penelitian ini menitikberatkan melahirkan paham individualisme. Paham tersebut
pada penelitian kepustakaan. Penelitian hukum diadopsi dalam Hukum Perjanjian sebagai “asas
normatif dapat dilakukan (terutama) terhadap kebebasan berkontrak” (contractvrijheid/freedom
bahan hukum primer dan sekunder, sepanjang of contract). Di bidang ekonomi, berkembang
bahan-bahan tadi mengandung kaidah- aliran laissez faire11 yang dipelopori oleh Adam
8
kaidah hukum. Penelitian tersebut bertujuan Smith. Aliran ini menekankan prinsip non
untuk mencari kaidah atau norma. Penelitian intervensi pemerintah terhadap kegiatan ekonomi
hukum normatif menggunakan data sekunder, dan bekerjanya pasar.12
penelitiannya bersifat deskriptif dan analisisnya Untuk mengimbangi berkembangnya doktrin
bersifat kualitatif.9 tersebut, selanjutnya berkembang teori sosial.
Bahan penelitian yang digunakan dalam Teori sosial bertitik-tolak pada pemikiran bahwa
penelitian adalah bahan kepustakaan. Bahan yang antara pemberi kerja dan penerima kerja ada
diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya ketidaksamaan kedudukan secara sosial ekonomi.
dinamakan data sekunder.10 Data sekunder Penerima kerja sangat tergantung pada pemberi
mencakup bahan hukum primer, bahan hukum kerja. Hukum Perburuhan memberi hak lebih
sekunder dan bahan hukum tersier. Di dalam banyak kepada pihak yang lemah daripada pihak
penelitian kepustakaan alat yang digunakan yang kuat.
untuk mengumpulkan data sekunder adalah Di Belanda, khususnya mengenai pengupah-
studi dokumen yaitu dengan cara mempelajari an, campur tangan pemerintah diawali saat
bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Studi disahkannnya Undang-Undang mengenai Jamin-

8
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat 5DMD*UD¿QGR 3HUVDGD -DNDUWD KOP
14.
9
Maria S.W. Soemardjono, 1997, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian Sebuah Panduan Dasar, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm.
10.
10
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.cit., hlm. 12.
11
Istilah laissez faire bukan berasal dari Adam Smith. Istilah tersebut pada awalnya dikemukakan oleh Vincent de Gournay, salah saeorang
SHORSRU PD]KDE ¿VLRNUDW ,VWLODK OHQJNDSQ\D DGDODK ³laissez faire, laissez passer, le monde va alors de lui meme´ 6HFDUD KDU¿DK EHUDUWL
“Biarkanlah berbuat, biarkanlah berlalu, dunia akan tetap berputar”. Semboyan kemudian dimaknai: “Biarkanlah orang bebuat seperti
yang mereka sukai tanpa campur tangan pemerintah”. Pemerintah hendaknya tidak memperluas campur tangannya dalam perekenomian
melebihi minimum yang benar-benar esensial untuk melindungi kehidupan, untuk mempertahankan kebebasan berkontrak. Lihat
Komaruddin, 1993, Pengantar Kebijaksanaan Ekonomi, Bumi Aksara, Jakarta, hlm. 23.
12
Peter Gilies, 1993, Business Law, The Federation Press, Sydney, hlm. 117.
546 MIMBAR HUKUM Volume 24, Nomor 3, Oktober 2012, Halaman 377 - 569

an Sosial yakni Undang-Undang Kecelakaan Berbeda dengan di Perancis, peraturan


(Ongevallenwet) dan Undang-Undang Sakit mengenai hubungan kerja tidak dimasukkan di
(=LHNWHZHW). Undang-Undang Kecelakaan dalam Code Civil, tetapi di dalam Kitab Undang-
(Ongevallenwet) disahkan pertama kali pada tahun Undang tersendiri yakni Code du Travail.
1901 dan berlaku bagi pekerja di bidang industri. Berdasarkan hal tersebut, Hukum Perburuhan
Tahun 1912, undang-undang tersebut diganti di Belanda pada awalnya merupakan bagian
dengan Undang-Undang Kecelakaan yang baru, dari Hukum Privat karena pengaturan mengenai
yang berlaku untuk semua perusahaan, kecuali di Perjanjian Kerja (Arbeidsovereenkomsten) diatur
bidang pertanian. dalam BW.
Berkaitan dengan pengupahan hal yang b. Sejarah Hukum Perburuhan di Indonesia
penting adalah disahkannya Undang-Undang Sejarah Hukum Perburuhan di Indonesia
mengenai Persetujuan Kerja Kolektif (de Wet op menurut Iman Soepomo dibagi ke dalam 3 (tiga)
de Collectieve Arbeidsovereenkomst) tahun 1927, periode, yakni Perburuhan Zaman Perbudakan,
dan Undang-Undang mengenai Pembentukan Pekerjaan Rodi dan Poenale Sanctie.
Upah (Wet op de Loonvorming) tahun 1970. 1) Zaman Perbudakan
Persetujuan Kerja Kolektif atau di dalam sistem Perbudakan merupakan hubungan kerja
Hukum Perburuhan Indonesia dikenal dengan yang pernah terjadi dalam sejarah bangsa
istilah Perjanjian Kerja Bersama, dapat dikatakan Indonesia. Perbudakan mempunyai dua unsur
menempati kedudukan yang sangat sentral dalam yaitu unsur pemberi kerja dan penerima
Hukum Perburuhan. kerja.14 Perbudakan adalah suatu peristiwa
Perjanjian Kerja Kolektif mengatur mengenai di mana seseorang yang disebut budak
syarat-syarat kerja, diantaranya mengenai upah. melakukan pekerjaan di bawah pimpinan
Selain itu, Perjanjian Kerja Kolektif sudah mulai orang lain dan mereka tidak mempunyai hak
PHUHÀHNVLNDQ XVDKD XQWXN PHQ\HLPEDQJNDQ apapun termasuk hak atas penghidupannya.15
kedudukan buruh dan majikan. Oleh karena, Pemeliharaan para budak bukan kewajiban
majikan tidak dapat lagi secara sepihak untuk pemilik budak, karena baik sosiologis maupun
mendikte persyaratan kerja kepada buruh, tetapi yuridis tidak ada aturan yang mengatur
harus terlebih dahulu dirundingkan untuk diper- mengenai hal tersebut.16
oleh kesepakatan dengan serikat buruh. 2) Pekerjaan Rodi
Usaha untuk memberikan perlindungan Rodi merupakan kerja paksa yang
hukum kepada buruh, dengan sendirinya telah dilakukan oleh rakyat untuk kepentingan
mendorong pemerintah untuk lebih banyak pihak penguasa atau pihak lain dengan
campur tangan dalam lapangan Hukum Per- tanpa pemberian upah dan dilakukan di
buruhan. Hal tersebut membawa Hukum luar batas kemanusiaan.17 Kompeni pandai
Perburuhan ke arah Hukum Publik. Menurut N.E menggunakan rodi untuk kepentingannya
Algra,13 di Belanda untuk ke depannya Hukum sendiri, sebagai contoh kerja rodi yang terjadi
Perburuhan akan diarahkan sebagai suatu sistem pada zaman Hendrik Willem Daendels (1807-
tersendiri, dalam artian bukan bagian Hukum 1811), yakni kerja paksa membuat jalan raya
Kekayaan. dari Anyer sampai Banyuwangi.

13
N.E. Algra end K. Van Duyvendijk, Rechtssaanvang, sebagaimana telah diterjemahkan oleh J.C.T. Simorangkir, 1983, Mula Hukum,
Binacipta, Bandung, hlm. 267.
14
Maimun, 2004, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 1.
15
Lalu Husni, Op.cit., hlm. 1.
16
Iman Soepomo, Op.cit., hlm. 14.
17
Lalu Husni, Op.cit., hlm. 3.
Saprudin, Socialisering Process Hukum Perburuhan dalam Aspek Kebijakan Pengupahan 547

3) Poenale Sanctie menyatakan, “majikan diwajibkan membayar


Poenale Sanctie merupakan hukuman upah kepada buruh, pada waktu yang telah
yang diberikan kepada buruh karena ditentukan”. Dari ketentuan tersebut, secara
meninggalkan atau menolak melakukan garis besar KUHPerdata sudah berusaha
pekerjaan tanpa alasan yang dapat diterima memberikan rambu-rambu mengenai
dengan pidana denda antara Rp. 16,00 (enam perlindungan hukum terhadap buruh di
belas rupiah) hingga Rp. 25,00 (dua puluh bidang pengupahan. Artinya, apabila terjadi
lima rupiah) atau dengan kerja paksa selama hubungan kerja antara majikan dan buruh,
7 (tujuh) hari hingga 12 (dua belas) hari.18 maka majikan diwajibkan untuk membayar
Dari beberapa fase perkembangan sejarah upah kepada buruh. Mengenai bentuk dan
perburuhan di Indonesia sebagaimana yang besarnya upah yang diberikan kepada buruh
dikemukakan oleh Iman Soepomo di atas, ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan
pada kenyataannya belum menunjukkan majikan atau dalam peraturan perburuhan.
adanya keseimbangan kedudukan diantara Peraturan mengenai upah yang diatur
buruh dan majikan. Artinya, kedudukan dalam KUHPerdata seperti tersebut di
buruh tidak dipandang sebagai subjek atas, masih belum menunjukkan adanya
melainkan hanya sebagai objek belaka yang keseimbangan diantara majikan sebagai
tidak menghormati atau menjunjung harkat pemberi kerja dengan buruh selaku
dan martabat buruh sebagai manusia. Kondisi penerima kerja. Hal tersebut terjadi karena
ini dikarenakan pada waktu itu terutama di mengenai masalah pengupahan, pemerintah
Indonesia masih dalam suasana penjajahan. masih belum melakukan campur tangan.
Oleh karenanya, segala sesuatu yang Ketentuan mengenai upah yang diatur dalam
berhubungan dengan perburuhan tunduk KUHPerdata merupakan bagian dari Hukum
sepenuhnya pada politik hukum kolonial. Privat. Pemerintah tidak melakukan campur
c. Perkembangan Socialisering Process di tangan terhadap hubungan kerja antara
Bidang Pengupahan buruh dan majikan mengenai pengupahan.
1) Sebelum Kemerdekaan Hubungan kerja antara buruh dan majikan
Di zaman sebelum kemerdekaan, pada dianggap sebagai hubungan yang bersifat
awalnya belum ada peraturan perundang- keperdataan.
undangan mengenai hubungan kerja yang 2) Sesudah Kemerdekaan
lengkap dan umum isinya serta berlaku bagi (a) Era Orde Lama
semua buruh dari semua warga negara di Pada awal kemerdekaan di bidang
seluruh perusahaan. Sebagai contoh, bagi Perburuhan khususnya mengenai jaminan
golongan pribumi mengenai hubungan kerja sosial, untuk pertama kalinya pada tahun 1947
sepenuhnya diatur oleh Hukum Adat. Selain diundangkan Undang-Undang Nomor 33
itu, berlaku juga apabila buruh Indonesia Tahun 1947 tentang Kecelakaan (selanjutnya
bekerja pada majikan golongan warga negara disingkat UUK). Pada intinya UUK dibuat
keturunan Eropa, yaitu dalam hubungan kerja untuk melindungi buruh yang mendapat
antar golongan. kecelakaan pada saat melakukan kerja dalam
Pada tahun 1926, mulai berlaku pada 1 hubungan kerja dengan majikan. Meskipun
Januari 1927 bagi golongan Eropa dibuat pada pokoknya UUK mengatur mengenai
peraturan baru, yaitu Buku III titel VIIA, kecelakaan kerja, akan tetapi undang-
Burgerlijk Wetboek. Pasal 1602 KUHPerdata undang tersebut juga mengatur mengenai

18
Maimun, Op.cit., hlm. 3.
548 MIMBAR HUKUM Volume 24, Nomor 3, Oktober 2012, Halaman 377 - 569

upah. Sehingga, dapat dikatakan UUK Nomor 80 Tahun 1957 tentang Persetujuan
merupakan undang-undang pertama setelah Konvensi ILO No. 100 mengenai Pengupahan
kemerdekaan yang mengatur mengenai upah. bagi Laki-laki dan Wanita untuk Pekerjaan
Artinya, pada saat itu pemerintah sudah \DQJ 6DPD 1LODLQ\D 'LUDWL¿NDVLQ\D NRQYHQVL
mulai memperhatikan mengenai masalah ILO tersebut dapat dikatakan sebagai tonggak
pengupahan. sejarah perkembangan Hukum Perburuhan di
Selanjutnya, pemerintah semakin Indonesia khususnya di bidang pengupahan.
banyak membuat peraturan perundang- Undang-Undang Nomor 80 Tahun 1957
undangan di bidang perburuhan. Diantaranya, bertujuan untuk menghapus diskriminasi
yang berkaitan dengan pengupahan ialah upah berdasarkan jenis kelamin terhadap
Undang-Undang Nomor 80 Tahun 1957 pekerjaan yang sama. Artinya, di dalam
tentang Persetujuan Konvensi ILO No. 100 Undang-undang tersebut terkandung asas
mengenai Pengupahan bagi Laki-laki dan “upah yang sama untuk pekerjaan yang sama
Wanita untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya. (equal pay for equal work)” antara buruh laki-
Semakin banyaknya peraturan perundang- laki dan buruh perempuan. Asas tersebut akan
undangan yang dibuat oleh pemerintah di dilaksanakan dengan undang-undang atau
bidang perburuhan, dengan sendirinya telah Peraturan Nasional; oleh badan penetapan
membatasi luas lapangan Hukum Privat upah yang didirikan menurut peraturan yang
dalam Hukum Perburuhan. Lambat-laun, berlaku; melalui perjanjian perburuhan atau
dominasi Hukum Publik semakin besar dalam dengan menggabungkan cara-cara tersebut
Hukum Perburuhan. Hal tersebut secara logis di atas. Berdasarkan hal tersebut, pada masa
akan membawa pengaruh terhadap semakin pemerintahan Orde Lama tidak begitu banyak
banyaknya aturan dalam KUHPerdata campur tangan di bidang pengupahan. Artinya,
mengenai hubungan kerja yang akan dihapus mengenai upah masih diserahkan kepada
dengan ketentuan peraturan perundang- buruh dan majikan berdasarkan peraturan
undangan yang dibuat oleh pemerintah. yang masih berlaku, yakni KUHPerdata.
Sebagai contoh, diundangkannya Undang- b) Era Orde Baru
Undang Nomor 12 tahun 1964 Pemutusan Pada 19 Nopember 1969 diundangkan
Hubungan Kerja (PHK) di Perusahaan Swasta, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 ten-
dengan sendirinya telah menghapus ketentuan tang Ketentuan-Ketentuan Pokok mengenai
mengenai Regeling Ontslagrecht voor Tenaga Kerja (selanjutnya disingkat UUTK).
bjpaalde neit Europese (Staatsblad 1941 No. Pada saat itu, UUTK dianggap sebagai
396) dan peraturan-peraturan lain mengenai undang-undang pokok di bidang perburuhan.
PHK seperti tersebut di dalam KUHPerdata Oleh karena itu, UUTK hanya mengatur hal-
Pasal 1601 sampai dengan 1603. hal yang bersifat pokok untuk selanjutnya
Dari beberapa ketentuan peraturan per- diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-
undang-undangan tersebut, peraturan yang undangan lainnya. Sesuai dengan judulnya,
secara khusus berkaitan dengan masalah UUTK memperkenalkan istilah baru yakni
pengupahan hanyalah Undang-Undang “tenaga kerja”.19 Oleh karena, di dalam UUK

19
Bandingkan dengan UU Kecelakaan 1947 jo. UU Kecelakaan 1951, dalam UU tersebut dijelaskan mengenai pengertian majikan dan
buruh, sedangkan di dalam UUK 1948 jo. UUK 1951 yang dikatakan sebagai UU Pokok Kerja tidak mengatur mengenai pengertian
tersebut. Seharusnya, sebagai UU Pokok harus dijelaskan mengenai pengertian-pengertian tersebut di atas, karena hal tersebut merupakan
substansi yang akan diatur oleh UU tersebut. Dinyatakan dalam Pasal 1 bahwa tenaga kerja adalah tiap orang yang mampu melakukan
pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa. Bandingkan dengan Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketanagakerjaan, dalam undang-undang tersebut secara jelas membedakan mengenai pengertian pekerja dengan
tenaga kerja.
Saprudin, Socialisering Process Hukum Perburuhan dalam Aspek Kebijakan Pengupahan 549

1948 jo. UUK 1951 tidak dikenal istilah alinea 5, 1968 alinea 3 dan 1971 sepanjang
tersebut. Pada intinya UUTK hanya mengatur yang menyangkut mengenai upah. Selain
mengenai tenaga kerja. Selanjutnya, dapat itu, ada pasal yang mengatur mengenai upah
disimpulkan setiap undang-undang pokok yang masih berlaku yaitu Pasal 1601q dan
mengenai perburuhan yang dibuat oleh Pasal 1602e.20 Dinyatakan tidak berlakunya
pemerintah baik pada masa Orde Lama sebagian pasal-pasal dalam KUHPerdata
maupun Orde Baru secara substansi belum yang mengatur mengenai upah oleh PP No. 8
menggambarkan mengenai kompleksitasnya Tahun 1981, dapat dikatakan mengenai upah
masalah yang akan diatur oleh undang-undang setelah adanya PP tersebut sudah tidak lagi
tersebut. bersifat Hukum Privat.
Selanjutnya, untuk melaksanakan ke- Pergeseran tersebut dapat dilihat melalui
tentuan UU No. 80 Tahun 1957 disahkan adanya sanksi pidana yang dinyatakan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 PP tersebut. Ancaman tersebut diantaranya
mengenai Perlindungan Upah. Setelah apabila pengusaha melakukan diskriminasi
kurang lebih 24 (dua puluh empat) tahun terhadap pembayaran upah untuk buruh
VHWHODK PHUDWL¿NDVL .RQYHQVL ,/2 1RPRU laki-laki dan buruh wanita. Pengusaha
100, Indonesia baru melaksanakan ketentuan yang melakukan diskriminasi tersebut akan
Konvensi ILO tersebut dalam peraturan diancam dengan pidana kurungan selama-
perundang-undangan, itu pun hanya sebatas lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-
dalam Peraturan Pemerintah. Hal tersebut tingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah).
merupakan cerminan kegamangan peme- Ketentuan yang diatur dalam PP No.
rintah dalam mengatur masalah perburuhan 8 Tahun 1981 telah memiliki sifat Hukum
khususnya mengenai upah. Kondisi tersebut Publik. Oleh karena itu, sejak ditetapkannya
tidak terlepas dari diundangkannya Undang- PP tersebut, mengenai masalah upah telah
Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang terjadi dinamika, yaitu pergeseran dari
Penanaman Modal Dalam Negeri. Artinya, Hukum Privat kepada Hukum Publik. Arti-
di satu sisi pemerintah dihadapkan mengenai nya, mengenai upah tidak lagi dianggap
masalah penanaman modal, tetapi di sisi lain sebagai hubungan yang bersifat privat antara
pemerintah juga dituntut untuk memperbaiki buruh dan majikan. Akan tetapi, hubungan
kondisi nasib kaum buruh. kerja antara buruh dan majikan sudah
Dasar pertimbangan disahkannya PP dianggap sebagai bagian dari kepentingan
No. 8 Tahun 1981 ialah karena sistem umum, sehingga pemerintah merasa perlu
pengupahan yang berlaku pada saat itu tidak ikut campur tangan di bidang pengupahan.
sesuai lagi dengan perkembangan keadaan. F (UD 5HIRUPDVL
Oleh karena itu, ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No-
KUHPerdata mengenai upah sejauh telah mor 25 Tahun 1997 yang diundangkan
diatur oleh PP No. 8 Tahun 1981 dinyatakan pada tanggal 3 Oktober 1997 dinyatakan
tidak berlaku. Pasal-pasal tersebut antara lain: berlakunya pada tanggal 3 Oktober 1998.
Pasal 1601p, Pasal 1601q, Pasal 1601s, Pasal Sepanjang perjalanan sejarah Hukum
1601t, Pasal 1601u, Pasal 1601v, Pasal 1602, Perburuhan inilah satu-satu undang-undang
Pasal 1602a sampai dengan Pasal 1602v di bidang perburuhan yang dibuat dan untuk

20
Hari Supriyanto, 2004, Perubahan Hukum Privat ke Hukum Publik Studi Hukum Perburuhan di Indonesia, Universitas Atma Jaya,
Yogyakarta, hlm. 64.
550 MIMBAR HUKUM Volume 24, Nomor 3, Oktober 2012, Halaman 377 - 569

diberlakukan pada masa yang berbeda. I)” diubah menjadi “Upah Minimum
Artinya, UUK 1997 merupakan produk Provinsi”, istilah “Upah Minimum
Regional Tingkat II (UMR Tk. II)” diubah
dari Orde Baru, akan tetapi keberlakuannya
menjadi “Upah Minimum Kabupaten/
tepat di awal masa reformasi. UUK Kota”, istilah Upah Minimum Sektoral
1997 masih belum jelas mengenai waktu Regional Tingkat I (UMSR Tk. I) dibuah
pemberlakuannya, pada tahun 1999 peme- menjadi “Upah Minimum Sektoral
rintah menetapkan Peraturan Menteri Tenaga Provinsi”, istilah Upah Minimum Sektoral
Regional Regional Tingkat II (UMSR
Kerja Nomor 01 Tahun 1999 tentang Upah
Tk. II) diubah menjadi “Upah minimum
Minimum. Permenaker tersebut merupa- Sektoral Kabupaten/Kota”.
kan penyempurnaan peraturan sebelumnya (2) Pejabat yang berwenang menetapkan
mengenai upah minimum. Peraturan- besarnya upah minimum, semula Menteri
peraturan tersebut diantaranya Permenaker Tenaga Kerja dan Transmigrasi diubah
menjadi Gubernur.
No. 05/MEN/1989 tentang Upah Minimum,
Campur tangan pemerintah di bidang
Permenaker Nomor 1 Tahun 1990 tentang
pengupahan mengenai kebijakan upah
Perubahan Peraturan Menteri Tenaga Kerja
minimum dengan ditetapkannya Permenaker
Nomor: PER-05/MEN/1989, Peraturan
Nomor 1 Tahun 1999 jo. Kepmenakertrans
Menteri Tenaga Kerja No. Per-03/MEN/1997
Nomor 226 Tahun 2000 telah membawa
tentang Upah Minimum Regional.
pergeseran yang lebih jauh mengenai sifat
Pada era otonomi daerah, sebagai tindak
privat dari Hukum Perburuhan mengenai
lanjut dari lahirnya Undang-Undang Nomor
upah. Dominasi Hukum Publik semakin kuat,
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
oleh karena pemerintah telah menetapkan
Daerah,21 maka dikeluarkan Peraturan
kebijakan mengenai upah minimum.
Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Pengusaha dilarang untuk memberikan
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
upah kepada buruh di bawah ketentuan
Provinsi sebagai Daerah Otonom.22 Untuk
upah minimum. Aturan tersebut bisa saja
memperlancar kewenangan tersebut, ditetap-
untuk disimpangi, dalam artian pemerintah
kan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
telah mengatur mengenai penangguhan
Transmigrasi Nomor 226 Tahun 2000 tentang
pelaksanaan upah minimum yang diatur
Perubahan Pasal 1, Pasal 3, Pasal 4, Pasal
dalam ketentuan Keputusan Menteri Tenaga
8, Pasal 11, Pasal 20 dan Pasal 21 Peraturan
Kerja dan Transmigrasi RI Nomor: KEP.231/
Menteri Tenaga Kerja Nomor 1 Tahun 1999
MEN/2003 tentang Tata Cara Penangguhan
tentang Upah Minimum.
Pelaksanaan Upah Minimum.
Terhadap peraturan tersebut di atas, lebih
Pada tanggal 25 Maret 2003, diundang-
lanjut ditegaskan oleh Pitaya, bahwa beberapa
kan Undang-Undang Nomor 13 Tahun
hal yang diubah melalui Kepmenakertrans
2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya
tersebut sebagai berikut:23
(1) Penulisan dan penyebutan istilah: “Upah disingkat UUK 2003). Di bidang pengupah-
Minimum Regional Tingkat I (UMR Tk. an, UUK 2003 mengaturnya dalam ketentuan

21
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Berdasarkan Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1) huruf h UU Nomor 32 Tahun 2004 jo Pasal 7 ayat (2) PP Nomor 38 Tahun 2007,
telah menetapkan kewenangan di bidang ketenagakerjaan kepada pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan sampai kepada pengendalian.
22
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2005 dinyatakan tidak berlaku oleh Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Berdasarkan Pasal 7
ayat (2) PP tersebut, mengenai Ketenagakerjaan merupakan Kewenangan Pemerintahan Daerah.
23
Pitaya, Op.cit., hlm. 180.
Saprudin, Socialisering Process Hukum Perburuhan dalam Aspek Kebijakan Pengupahan 551

Bab X (sepuluh), bagian kedua, Pasal 88 dikategorikan sebagai buruh dalam undang-
sampai dengan Pasal 98. Dari ketentuan undang tersebut akan dijamin oleh undang-
beberapa pasal yang mengatur mengenai undang untuk mendapatkan upah dalam hubung-
pengupahan tersebut, diantaranya mengatur an kerjanya dengan majikan. Selain itu, UUK
mengenai kebijakan pengupahan. Dari 1947 juga memberikan jaminan terhadap
ketentuan tersebut di atas, secara makro dibayarnya upah apabila buruh tidak mampu
pemerintah sudah menetapkan mengenai bekerja karena terjadinya kecelakaan kerja. Hal
kebijakan pengupahan. Dari kebijakan tersebut merupakan salah bentuk dari pengecualian
pengupahan tersebut, terlihat begitu besar asas “no work no pay”.
campur tangan pemerintah di bidang Perlindungan hukum terhadap pekerja/
pengupahan. Dapat dikatakan, mengenai buruh selayaknya lebih dikonkretkan di dalam
pengupahan hampir secara keseluruhan PP Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan
sudah diatur oleh pemerintah. Semakin Upah. Salah satu bentuk perlindungan hukum
besarnya campur tangan pemerintah di bidang terhadap pekerja/buruh di dalam PP tersebut ialah
pengupahan, mengakibatkan mengenai Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh
pengupahan hampir secara keseluruhan sudah mengadakan diskriminasi antara buruh laki-laki
dikuasai oleh Hukum Publik. dan buruh wanita untuk pekerjaan yang sama
nilainya. Hal tersebut merupakan perwujudan
2. Akibat Socialisering Process terhadap pelaksanaan ketentuan Undang-Undang Nomor
Perlindungan Hukum bagi Pekerja/Buruh 80 Tahun 1957. Pemerintah semakin memberikan
di Bidang Pengupahan Perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh,
Kebijakan di bidang ketenagakerjaan, khususnya mengenai upah minimum. Pemerintah
khususnya mengenai pengupahan erat kaitannya telah menetapkan Permenaker Nomor 1 Tahun
dengan masalah perlindungan bagi pekerja/buruh 1999 jo. Kepmenakertrans Nomor 226 Tahun
(Arbeidsbescherming). Menurut Iman Soepomo 2000 tentang upah minimum. Melalui aturan
sebagaimana dikutip Lalu Husni,24 salah satu tersebut pemerintah melarang kepada pengusaha
bentuk perlindungan terhadap pekerja/buruh ada- untuk membayar upah di bawah ketentuan upah
lah perlindungan ekonomi, yaitu pekerja/buruh minimum. Artinya, kebijakan mengenai upah
diberikan perlindungan terhadap penghasilan minimum dapat dijadikan sebagai jaring pengaman
yang cukup, termasuk bila pekerja/buruh tidak (safety net) bagi pekerja/buruh. Perlindungan
melakukan pekerjaan di luar kehendaknya. Per- hukum bagi pekerja/buruh di bidang pengupahan
wujudan perlindungan hukum terhadap pekerja/ dituangkan di dalam Undang-Undang Nomor 13
buruh tersebut dapat dianalisis dari sejarah Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Di dalam
perkembangan peraturan perundang-undangan di undang-undang tersebut, pemerintah secara tegas
bidang Hukum Perburuhan yang berkaitan dengan mengatur mengenai kebijakan pengupahan.
masalah pengupahan. Dari masa Orde Lama, Orde Berdasarkan uraian tersebut, campur tangan
Baru dan Orde Reformasi dapat dilihat semakin pemerintah di bidang Hukum Perburuhan
besarnya campur tangan pemerintah di bidang khususnya mengenai pengupahan dari satu
pengupahan. periode ke periode berikutnya mengalami
Pada awal Orde Lama, perlindungan hukum peningkatan. Peningkatan dalam arti cakupan
terhadap pekerja/buruh sudah mulai dilakukan materi peraturan perundang-undangan mengenai
dalam UUK 1947. Artinya, orang-orang yang perlindungan upah semakin luas. Hal tersebut

24
Zainal Asikin, et al., 2004, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan 5DMD*UD¿QGR 3HUVDGD -DNDUWD KOP
552 MIMBAR HUKUM Volume 24, Nomor 3, Oktober 2012, Halaman 377 - 569

dilakukan untuk memberikan perlindungan peran pemerintah di bidang pengupahan semakin


hukum kepada para pihak yang terlibat di besar melalui ditetapkannya Peraturan Pemerintah
dalam hubungan industrial. Semakin banyaknya Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah.
pemerintah memerankan diri kepada fungsi Pada era reformasi pemerintah semakin mem-
legislasi di bidang Hukum Perburuhan dengan batasi ketentuan-ketentuan yang bersifat Hukum
sendirinya telah membawa pergeseran sifat Privat di bidang pengupahan melalui ditetap-
Hukum perburuhan. Pada saat ini, Hukum kannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 1
Perburuhan khususnya di bidang pengupahan Tahun 1999 jo. Keputusan Menteri Tenaga Kerja
sudah semakin banyak dikuasai oleh ketentuan dan Transmigrasi Nomor 226 Tahun 2000 tentang
Hukum Publik. Upah Minimum. Setelah itu, pemerintah secara
tegas di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun
D. Kesimpulan 2003 tentang Ketenagakerjaan menetapkan
Campur tangan pemerintah di bidang mengenai kebijakan pengupahan. Akibat
pengupahan sudah diawali pada periode Socialisering Process ialah dari setiap periodisasi
Orde Lama yakni pada saat diundangkannya pemerintah telah menetapkan peraturan per-
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1947 tentang undang-undangan tentang perlindungan hukum
Kecelakaan. Undang-undang tersebut substansi- bagi pekerja/buruh. Atau dengan kata lain, di
nya mengenai Kecelakaan Kerja, akan tetapi juga setiap periodisasi tersebut telah terjadi pening-
diatur mengenai ketentuan upah. Pemerintah pada katan perlindungan hukum bagi pekerja/buruh di
saat itu telah mengatur mengenai ketentuan upah bidang pengupahan. Cakupan materi peraturan
dikaitkan dengan ganti rugi akibat kecelakaan perundang-undangan mengenai perlindungan
kerja di dalam hubungan kerja. Di era Orde Lama, upah semakin luas.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Oetomo, R. Goenawan, 2004, Pengantar Hukum


Asikin, Zainal, et al., 2004, Dasar-Dasar Hukum 3HUEXUXKDQ +XNXP 3HUEXUXKDQ GL ,QGR
Perburuhan 5DMD*UD¿QGR 3HUVDGD -DNDUWD nesia, Grhadhika Press, Depok.
Badrulzaman, Mariam Darus, 1991, Perjanjian Soemardjono, Maria S.W, 1997, Pedoman
Kredit Bank, Citra Aditya Bakti, Bandung. Pembuatan Usulan Penelitian Sebuah
Gilies, Peter, 1993. Business Law, The Federation Panduan Dasar, Gramedia Pustaka Utama,
Press, Sydney. Jakarta.
Hernoko, Agus Yudha, 2008, Hukum Perjanjian Soekanto, Soerjono, 2005, Pengantar Penelitian
Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komer- Hukum, UI Press, Jakarta.
sial, LaksBang Mediatama, Yogyakarta. Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamudji, 2006,
Husni, Lalu, 2003, Pengantar Hukum Ketenaga- Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
kerjaan, 5DMD*UD¿QGR 3HUVDGD -DNDUWD Singkat 5DMD*UD¿QGR 3HUVDGD -DNDUWD
Khakim, Abdul, 2003, Seri Hukum Perburuhan Soepomo, Iman, 2003, Pengantar Hukum Per-
Aspek Hukum Pengupahan Berdasarkan UU buruhan, Djambatan, Jakarta.
Nomor 13 Tahun 2003, Citra Aditya Bakti, Supriyanto, Hari, 2004, Perubahan Hukum Privat
Bandung. ke Hukum Publik Studi Hukum Perburuhan
Maimun, 2004, Hukum Ketenagakerjaan Suatu di Indonesia, Universitas Atma Jaya, Yogya-
Pengantar, Pradnya Paramita, Jakarta. karta.
Saprudin, Socialisering Process Hukum Perburuhan dalam Aspek Kebijakan Pengupahan 553

B. Artikel Jurnal Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 1 Tahun


Pitaya, “Dilematika Penetapan Upah Minimum”, 1999 tentang Upah Minimum.
Mimbar Hukum, Vol. 18, No. 2, Juni 2006. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmi-
grasi RI Nomor 226 Tahun 2000 tentang
C. Peraturan Perundang-undangan Perubahan Pasal 1, Pasal 3, Pasal 4, Pasal
Undang-Undang Dasar 1945. 8, Pasal 11, Pasal 20 dan Pasal 21 Peraturan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Menteri Tenaga Kerja Nomor 1 Tahun 1999
Wetboek). tentang Upah Minimum.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmi-
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik grasi RI Nomor: KEP.231/MEN/2003 tentang
Indonesia Tahun 2003 Nomor 39). Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 Minimum.
tentang Perlindungan Upah.

Anda mungkin juga menyukai