KEBIJAKAN PENGUPAHAN*
Saprudin**
Abstract
The government’s intervention in wage policies started during the Old Order era with the enactment
of Act Number 33 of 1947 on Accidents. During the New Order era the government expanded its
intervention in wage policies by taking into effect Government Regulation Number 8 of 1981 on Wage
Protection. Subsequently, during the Reformation era the government imposed further limitations to
the administration of rules Private Law in matters of wage. As an impact of the socialisering process
undertaken from period to period, the government has established various laws on wages intended to
SURYLGH OHJDO SURWHFWLRQ WR ZRUNHUV ,Q RWKHU ZRUGV WKURXJKRXW WKRVH SHULRGV WKHUH KDV EHHQ D VLJQL¿FDQW
progress in terms of legal protection to workers in matters of wages.
Keywords: socialisering process, labor law, wage policies.
Intisari
Campur tangan pemerintah di bidang pengupahan diawali pada era Orde Lama, yakni pada saat
diundangkannya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan. Di era Orde Baru, peran
pemerintah di bidang pengupahan semakin besar yaitu dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor
8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah. Selanjutnya, di era reformasi pemerintah semakin membatasi
ketentuan-ketentuan yang bersifat Hukum Privat di bidang pengupahan. Akibat socialisering process
ialah di setiap periodisasi pemerintah telah menetapkan berbagai peraturan perundang-undangan di
bidang pengupahan yang bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi pekerja/buruh. Dengan
kata lain, di setiap periodisasi tersebut telah terjadi upaya peningkatan perlindungan hukum bagi pekerja/
buruh di bidang pengupahan.
Kata Kunci: socialisering process, hukum perburuhan, kebijakan pengupahan.
Pokok Muatan
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................................................... 543
B. Metode Penelitian ..................................................................................................................... 545
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan .............................................................................................. 545
1. Perkembangan Socialisering Process pada Hukum Perburuhan dalam Aspek Kebijakan
Pengupahan ......................................................................................................................... 545
2. Akibat Socialisering Process terhadap Perlindungan Hukum bagi Pekerja/Buruh di
Bidang Pengupahan ............................................................................................................. 551
D. Kesimpulan ................................................................................................................................ 552
*
Hasil Penelitian Tesis pada Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Tahun 2009.
**
Alamat korespondensi: saprudin.fhunlam@ymail.com
Saprudin, Socialisering Process Hukum Perburuhan dalam Aspek Kebijakan Pengupahan 543
1
Iman Soepomo, 2003, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, hlm. 14-22.
2
Lalu Husni, 2003, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan 5DMD*UD¿QGR 3HUVDGD -DNDUWD KOP
544 MIMBAR HUKUM Volume 24, Nomor 3, Oktober 2012, Halaman 377 - 569
lemah. Berdasarkan hal tersebut pemerintah Agus Yudha Hernoko,6 Hukum Perdata sedang
perlu melakukan campur tangan dengan cara mencari bentuk baru melalui campur tangan
menetapkan berbagai peraturan perundang- pemerintah. Akhir-akhir ini pemerintah cenderung
undangan di bidang pengupahan. untuk memperbanyak peraturan-peraturan hukum
Di Indonesia, khususnya dalam bidang pemaksa (dwingend recht) demi kepentingan
Hukum Perburuhan yang menyangkut hubungan umum untuk melindungi kepentingan pihak yang
kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha, lemah.
pemerintah telah ikut campur tangan terhadap isi Indikator semakin banyaknya pembatasan-
perjanjian yang dibuat oleh pengusaha dengan pembatasan terhadap kebebasan individu dan
pekerja/buruh.3 Diantaranya mengenai penetapan semakin banyaknya ketentuan-ketentuan yang
upah minimum, dalam hal ini seorang pengusaha bersifat memaksa dalam tataran mikro dapat di-
dilarang untuk membayar upah kepada pekerja/ amati pada pelaksanaan hubungan kerja antara
buruh di bawah ketentuan upah minimum. pekerja/buruh dengan pengusaha. Hubungan
Campur tangan pemerintah di bidang kerja yang pada awalnya merupakan hubungan
perburuhan khususnya mengenai pengupahan kontraktual biasa yang diatur dengan mekanisme
semakin lama makin menguat, sehingga terjadi keperdataan berdasarkan asas kebebasan
perubahan di dalam sifat perjanjian kerja antara berkontrak (freedom of contract) tereduksi
pekerja/buruh dengan pengusaha. Hubungan sifat keperdataannya setelah negara melakukan
hukum antara kedua pihak yang awalnya bersifat kontrol7. Salah satu contoh konkret campur tangan
hubungan keperdataan, kemudian bergeser pemerintah tersebut dalam bidang pengupahan
menjadi hubungan yang bersifat publik. adalah ditetapkannya Peraturan Pemerintah
Campur tangan pemerintah tersebut secara Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan
logis akan berpengaruh terhadap dominasi Upah. Peraturan Pemerintah tersebut pada
sifat privat dalam Hukum Perburuhan. Proses pokoknya mengatur mengenai perlindungan
pergeseran Hukum Perburuhan dari Hukum upah secara umum yang berpangkal tolak kepada
Privat ke Hukum Publik dalam konteks yuridis fungsi upah yang harus mampu menjamin
dikenal dengan istilah ”Socialisering Process”. kelangsungan hidup bagi pekerja/buruh dan
Mariam Darus Badrulzaman menyebut istilah keluarganya.
Socialisering Process dengan istilah ”proses Campur tangan pemerintah dalam bidang
pemasyarakatan” (Vermaatschappelijking) yaitu pengupahan, dilakukan dari penetapan peraturan
proses pergeseran Hukum Perdata ke Hukum perundang-undangan, pengawasan, sampai pada
Publik karena campur tangan pemerintah di dalam penegakan hukum. Hal ini menunjukkan komit-
lapangan Hukum Perdata.4 men yang kuat dari pemerintah terhadap masalah
Menurut Pitaya, Socialisering Process pengupahan. Pemerintah menganggap masalah
merupakan proses ikut campur tangannya pengupahan sebagai hal yang sangat krusial
pemerintah dalam kehidupan keperdataan untuk dalam bidang ketenagakerjaan. Berdasarkan
melindungi pihak yang lemah (pekerja).5 Menurut hal tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk
Mariam Darus Badrulzaman sebagaimana dikutip melakukan penelitian dengan judul: “Sociali-
3
Sutan Remy Syahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank
di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, hlm. 61.
4
Mariam Darus Badrulzaman, 1991, Perjanjian Kredit Bank, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 44-45.
5
Pitaya, “Dilematika Penetapan Upah Minimum”, Mimbar Hukum, Vol. 18, No. 2, Juni 2006, hlm. 179.
6
Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, LaksBang Mediatama, Yogyakarta, hlm.
98.
7
R. Goenawan Oetomo, 2004, 3HQJDQWDU +XNXP 3HUEXUXKDQ +XNXP 3HUEXUXKDQ GL ,QGRQHVLD, Grhadhika Press, Depok, hlm. 24.
Saprudin, Socialisering Process Hukum Perburuhan dalam Aspek Kebijakan Pengupahan 545
sering Process pada Hukum Perburuhan dalam dokumen merupakan suatu alat pengumpulan
Aspek Kebijakan Pengupahan”. data yang dilakukan melalui data tertulis. Pene-
Berdasarkan latar belakang yang dikemu- litian ini menggunakan analisis deskriptif
kakan di atas, maka permasalahan dalam kualitatif. Data yang diperoleh kemudian diurai-
penelitian ini: (1) Bagaimana perkembangan kan secara deskriptif dan dianalisis secara
Socialisering Process pada Hukum Perburuhan kualitatif.
dalam aspek kebijakan pengupahan? dan (2)
Bagaimana akibat Socialisering Process terhadap C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
perlindungan hukum bagi pekerja/buruh di bidang 1. Perkembangan Socialisering Process
pengupahan? pada Hukum Perburuhan dalam Aspek
Kebijakan Pengupahan
B. Metode Penelitian a. Sejarah Perkembangan Hukum Perburuh-
Penelitian ini menggunakan pendekatan an di Eropa
yuridis normatif, yang meliputi penelitian ter- Perkembangan perburuhan di Eropa,
hadap asas hukum, pengertian hukum dan ke- ditandai dengan adanya Revolusi Industri dan
tentuan-ketentuan hukum. Sebagai penelitian yang Revolusi Perancis. Kedua revolusi tersebut, telah
bersifat normatif, penelitian ini menitikberatkan melahirkan paham individualisme. Paham tersebut
pada penelitian kepustakaan. Penelitian hukum diadopsi dalam Hukum Perjanjian sebagai “asas
normatif dapat dilakukan (terutama) terhadap kebebasan berkontrak” (contractvrijheid/freedom
bahan hukum primer dan sekunder, sepanjang of contract). Di bidang ekonomi, berkembang
bahan-bahan tadi mengandung kaidah- aliran laissez faire11 yang dipelopori oleh Adam
8
kaidah hukum. Penelitian tersebut bertujuan Smith. Aliran ini menekankan prinsip non
untuk mencari kaidah atau norma. Penelitian intervensi pemerintah terhadap kegiatan ekonomi
hukum normatif menggunakan data sekunder, dan bekerjanya pasar.12
penelitiannya bersifat deskriptif dan analisisnya Untuk mengimbangi berkembangnya doktrin
bersifat kualitatif.9 tersebut, selanjutnya berkembang teori sosial.
Bahan penelitian yang digunakan dalam Teori sosial bertitik-tolak pada pemikiran bahwa
penelitian adalah bahan kepustakaan. Bahan yang antara pemberi kerja dan penerima kerja ada
diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya ketidaksamaan kedudukan secara sosial ekonomi.
dinamakan data sekunder.10 Data sekunder Penerima kerja sangat tergantung pada pemberi
mencakup bahan hukum primer, bahan hukum kerja. Hukum Perburuhan memberi hak lebih
sekunder dan bahan hukum tersier. Di dalam banyak kepada pihak yang lemah daripada pihak
penelitian kepustakaan alat yang digunakan yang kuat.
untuk mengumpulkan data sekunder adalah Di Belanda, khususnya mengenai pengupah-
studi dokumen yaitu dengan cara mempelajari an, campur tangan pemerintah diawali saat
bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Studi disahkannnya Undang-Undang mengenai Jamin-
8
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat 5DMD*UD¿QGR 3HUVDGD -DNDUWD KOP
14.
9
Maria S.W. Soemardjono, 1997, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian Sebuah Panduan Dasar, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm.
10.
10
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.cit., hlm. 12.
11
Istilah laissez faire bukan berasal dari Adam Smith. Istilah tersebut pada awalnya dikemukakan oleh Vincent de Gournay, salah saeorang
SHORSRU PD]KDE ¿VLRNUDW ,VWLODK OHQJNDSQ\D DGDODK ³laissez faire, laissez passer, le monde va alors de lui meme´ 6HFDUD KDU¿DK EHUDUWL
“Biarkanlah berbuat, biarkanlah berlalu, dunia akan tetap berputar”. Semboyan kemudian dimaknai: “Biarkanlah orang bebuat seperti
yang mereka sukai tanpa campur tangan pemerintah”. Pemerintah hendaknya tidak memperluas campur tangannya dalam perekenomian
melebihi minimum yang benar-benar esensial untuk melindungi kehidupan, untuk mempertahankan kebebasan berkontrak. Lihat
Komaruddin, 1993, Pengantar Kebijaksanaan Ekonomi, Bumi Aksara, Jakarta, hlm. 23.
12
Peter Gilies, 1993, Business Law, The Federation Press, Sydney, hlm. 117.
546 MIMBAR HUKUM Volume 24, Nomor 3, Oktober 2012, Halaman 377 - 569
13
N.E. Algra end K. Van Duyvendijk, Rechtssaanvang, sebagaimana telah diterjemahkan oleh J.C.T. Simorangkir, 1983, Mula Hukum,
Binacipta, Bandung, hlm. 267.
14
Maimun, 2004, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 1.
15
Lalu Husni, Op.cit., hlm. 1.
16
Iman Soepomo, Op.cit., hlm. 14.
17
Lalu Husni, Op.cit., hlm. 3.
Saprudin, Socialisering Process Hukum Perburuhan dalam Aspek Kebijakan Pengupahan 547
18
Maimun, Op.cit., hlm. 3.
548 MIMBAR HUKUM Volume 24, Nomor 3, Oktober 2012, Halaman 377 - 569
upah. Sehingga, dapat dikatakan UUK Nomor 80 Tahun 1957 tentang Persetujuan
merupakan undang-undang pertama setelah Konvensi ILO No. 100 mengenai Pengupahan
kemerdekaan yang mengatur mengenai upah. bagi Laki-laki dan Wanita untuk Pekerjaan
Artinya, pada saat itu pemerintah sudah \DQJ 6DPD 1LODLQ\D 'LUDWL¿NDVLQ\D NRQYHQVL
mulai memperhatikan mengenai masalah ILO tersebut dapat dikatakan sebagai tonggak
pengupahan. sejarah perkembangan Hukum Perburuhan di
Selanjutnya, pemerintah semakin Indonesia khususnya di bidang pengupahan.
banyak membuat peraturan perundang- Undang-Undang Nomor 80 Tahun 1957
undangan di bidang perburuhan. Diantaranya, bertujuan untuk menghapus diskriminasi
yang berkaitan dengan pengupahan ialah upah berdasarkan jenis kelamin terhadap
Undang-Undang Nomor 80 Tahun 1957 pekerjaan yang sama. Artinya, di dalam
tentang Persetujuan Konvensi ILO No. 100 Undang-undang tersebut terkandung asas
mengenai Pengupahan bagi Laki-laki dan “upah yang sama untuk pekerjaan yang sama
Wanita untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya. (equal pay for equal work)” antara buruh laki-
Semakin banyaknya peraturan perundang- laki dan buruh perempuan. Asas tersebut akan
undangan yang dibuat oleh pemerintah di dilaksanakan dengan undang-undang atau
bidang perburuhan, dengan sendirinya telah Peraturan Nasional; oleh badan penetapan
membatasi luas lapangan Hukum Privat upah yang didirikan menurut peraturan yang
dalam Hukum Perburuhan. Lambat-laun, berlaku; melalui perjanjian perburuhan atau
dominasi Hukum Publik semakin besar dalam dengan menggabungkan cara-cara tersebut
Hukum Perburuhan. Hal tersebut secara logis di atas. Berdasarkan hal tersebut, pada masa
akan membawa pengaruh terhadap semakin pemerintahan Orde Lama tidak begitu banyak
banyaknya aturan dalam KUHPerdata campur tangan di bidang pengupahan. Artinya,
mengenai hubungan kerja yang akan dihapus mengenai upah masih diserahkan kepada
dengan ketentuan peraturan perundang- buruh dan majikan berdasarkan peraturan
undangan yang dibuat oleh pemerintah. yang masih berlaku, yakni KUHPerdata.
Sebagai contoh, diundangkannya Undang- b) Era Orde Baru
Undang Nomor 12 tahun 1964 Pemutusan Pada 19 Nopember 1969 diundangkan
Hubungan Kerja (PHK) di Perusahaan Swasta, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 ten-
dengan sendirinya telah menghapus ketentuan tang Ketentuan-Ketentuan Pokok mengenai
mengenai Regeling Ontslagrecht voor Tenaga Kerja (selanjutnya disingkat UUTK).
bjpaalde neit Europese (Staatsblad 1941 No. Pada saat itu, UUTK dianggap sebagai
396) dan peraturan-peraturan lain mengenai undang-undang pokok di bidang perburuhan.
PHK seperti tersebut di dalam KUHPerdata Oleh karena itu, UUTK hanya mengatur hal-
Pasal 1601 sampai dengan 1603. hal yang bersifat pokok untuk selanjutnya
Dari beberapa ketentuan peraturan per- diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-
undang-undangan tersebut, peraturan yang undangan lainnya. Sesuai dengan judulnya,
secara khusus berkaitan dengan masalah UUTK memperkenalkan istilah baru yakni
pengupahan hanyalah Undang-Undang “tenaga kerja”.19 Oleh karena, di dalam UUK
19
Bandingkan dengan UU Kecelakaan 1947 jo. UU Kecelakaan 1951, dalam UU tersebut dijelaskan mengenai pengertian majikan dan
buruh, sedangkan di dalam UUK 1948 jo. UUK 1951 yang dikatakan sebagai UU Pokok Kerja tidak mengatur mengenai pengertian
tersebut. Seharusnya, sebagai UU Pokok harus dijelaskan mengenai pengertian-pengertian tersebut di atas, karena hal tersebut merupakan
substansi yang akan diatur oleh UU tersebut. Dinyatakan dalam Pasal 1 bahwa tenaga kerja adalah tiap orang yang mampu melakukan
pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa. Bandingkan dengan Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketanagakerjaan, dalam undang-undang tersebut secara jelas membedakan mengenai pengertian pekerja dengan
tenaga kerja.
Saprudin, Socialisering Process Hukum Perburuhan dalam Aspek Kebijakan Pengupahan 549
1948 jo. UUK 1951 tidak dikenal istilah alinea 5, 1968 alinea 3 dan 1971 sepanjang
tersebut. Pada intinya UUTK hanya mengatur yang menyangkut mengenai upah. Selain
mengenai tenaga kerja. Selanjutnya, dapat itu, ada pasal yang mengatur mengenai upah
disimpulkan setiap undang-undang pokok yang masih berlaku yaitu Pasal 1601q dan
mengenai perburuhan yang dibuat oleh Pasal 1602e.20 Dinyatakan tidak berlakunya
pemerintah baik pada masa Orde Lama sebagian pasal-pasal dalam KUHPerdata
maupun Orde Baru secara substansi belum yang mengatur mengenai upah oleh PP No. 8
menggambarkan mengenai kompleksitasnya Tahun 1981, dapat dikatakan mengenai upah
masalah yang akan diatur oleh undang-undang setelah adanya PP tersebut sudah tidak lagi
tersebut. bersifat Hukum Privat.
Selanjutnya, untuk melaksanakan ke- Pergeseran tersebut dapat dilihat melalui
tentuan UU No. 80 Tahun 1957 disahkan adanya sanksi pidana yang dinyatakan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 PP tersebut. Ancaman tersebut diantaranya
mengenai Perlindungan Upah. Setelah apabila pengusaha melakukan diskriminasi
kurang lebih 24 (dua puluh empat) tahun terhadap pembayaran upah untuk buruh
VHWHODK PHUDWL¿NDVL .RQYHQVL ,/2 1RPRU laki-laki dan buruh wanita. Pengusaha
100, Indonesia baru melaksanakan ketentuan yang melakukan diskriminasi tersebut akan
Konvensi ILO tersebut dalam peraturan diancam dengan pidana kurungan selama-
perundang-undangan, itu pun hanya sebatas lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-
dalam Peraturan Pemerintah. Hal tersebut tingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah).
merupakan cerminan kegamangan peme- Ketentuan yang diatur dalam PP No.
rintah dalam mengatur masalah perburuhan 8 Tahun 1981 telah memiliki sifat Hukum
khususnya mengenai upah. Kondisi tersebut Publik. Oleh karena itu, sejak ditetapkannya
tidak terlepas dari diundangkannya Undang- PP tersebut, mengenai masalah upah telah
Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang terjadi dinamika, yaitu pergeseran dari
Penanaman Modal Dalam Negeri. Artinya, Hukum Privat kepada Hukum Publik. Arti-
di satu sisi pemerintah dihadapkan mengenai nya, mengenai upah tidak lagi dianggap
masalah penanaman modal, tetapi di sisi lain sebagai hubungan yang bersifat privat antara
pemerintah juga dituntut untuk memperbaiki buruh dan majikan. Akan tetapi, hubungan
kondisi nasib kaum buruh. kerja antara buruh dan majikan sudah
Dasar pertimbangan disahkannya PP dianggap sebagai bagian dari kepentingan
No. 8 Tahun 1981 ialah karena sistem umum, sehingga pemerintah merasa perlu
pengupahan yang berlaku pada saat itu tidak ikut campur tangan di bidang pengupahan.
sesuai lagi dengan perkembangan keadaan. F (UD 5HIRUPDVL
Oleh karena itu, ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No-
KUHPerdata mengenai upah sejauh telah mor 25 Tahun 1997 yang diundangkan
diatur oleh PP No. 8 Tahun 1981 dinyatakan pada tanggal 3 Oktober 1997 dinyatakan
tidak berlaku. Pasal-pasal tersebut antara lain: berlakunya pada tanggal 3 Oktober 1998.
Pasal 1601p, Pasal 1601q, Pasal 1601s, Pasal Sepanjang perjalanan sejarah Hukum
1601t, Pasal 1601u, Pasal 1601v, Pasal 1602, Perburuhan inilah satu-satu undang-undang
Pasal 1602a sampai dengan Pasal 1602v di bidang perburuhan yang dibuat dan untuk
20
Hari Supriyanto, 2004, Perubahan Hukum Privat ke Hukum Publik Studi Hukum Perburuhan di Indonesia, Universitas Atma Jaya,
Yogyakarta, hlm. 64.
550 MIMBAR HUKUM Volume 24, Nomor 3, Oktober 2012, Halaman 377 - 569
diberlakukan pada masa yang berbeda. I)” diubah menjadi “Upah Minimum
Artinya, UUK 1997 merupakan produk Provinsi”, istilah “Upah Minimum
Regional Tingkat II (UMR Tk. II)” diubah
dari Orde Baru, akan tetapi keberlakuannya
menjadi “Upah Minimum Kabupaten/
tepat di awal masa reformasi. UUK Kota”, istilah Upah Minimum Sektoral
1997 masih belum jelas mengenai waktu Regional Tingkat I (UMSR Tk. I) dibuah
pemberlakuannya, pada tahun 1999 peme- menjadi “Upah Minimum Sektoral
rintah menetapkan Peraturan Menteri Tenaga Provinsi”, istilah Upah Minimum Sektoral
Regional Regional Tingkat II (UMSR
Kerja Nomor 01 Tahun 1999 tentang Upah
Tk. II) diubah menjadi “Upah minimum
Minimum. Permenaker tersebut merupa- Sektoral Kabupaten/Kota”.
kan penyempurnaan peraturan sebelumnya (2) Pejabat yang berwenang menetapkan
mengenai upah minimum. Peraturan- besarnya upah minimum, semula Menteri
peraturan tersebut diantaranya Permenaker Tenaga Kerja dan Transmigrasi diubah
menjadi Gubernur.
No. 05/MEN/1989 tentang Upah Minimum,
Campur tangan pemerintah di bidang
Permenaker Nomor 1 Tahun 1990 tentang
pengupahan mengenai kebijakan upah
Perubahan Peraturan Menteri Tenaga Kerja
minimum dengan ditetapkannya Permenaker
Nomor: PER-05/MEN/1989, Peraturan
Nomor 1 Tahun 1999 jo. Kepmenakertrans
Menteri Tenaga Kerja No. Per-03/MEN/1997
Nomor 226 Tahun 2000 telah membawa
tentang Upah Minimum Regional.
pergeseran yang lebih jauh mengenai sifat
Pada era otonomi daerah, sebagai tindak
privat dari Hukum Perburuhan mengenai
lanjut dari lahirnya Undang-Undang Nomor
upah. Dominasi Hukum Publik semakin kuat,
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
oleh karena pemerintah telah menetapkan
Daerah,21 maka dikeluarkan Peraturan
kebijakan mengenai upah minimum.
Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Pengusaha dilarang untuk memberikan
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
upah kepada buruh di bawah ketentuan
Provinsi sebagai Daerah Otonom.22 Untuk
upah minimum. Aturan tersebut bisa saja
memperlancar kewenangan tersebut, ditetap-
untuk disimpangi, dalam artian pemerintah
kan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
telah mengatur mengenai penangguhan
Transmigrasi Nomor 226 Tahun 2000 tentang
pelaksanaan upah minimum yang diatur
Perubahan Pasal 1, Pasal 3, Pasal 4, Pasal
dalam ketentuan Keputusan Menteri Tenaga
8, Pasal 11, Pasal 20 dan Pasal 21 Peraturan
Kerja dan Transmigrasi RI Nomor: KEP.231/
Menteri Tenaga Kerja Nomor 1 Tahun 1999
MEN/2003 tentang Tata Cara Penangguhan
tentang Upah Minimum.
Pelaksanaan Upah Minimum.
Terhadap peraturan tersebut di atas, lebih
Pada tanggal 25 Maret 2003, diundang-
lanjut ditegaskan oleh Pitaya, bahwa beberapa
kan Undang-Undang Nomor 13 Tahun
hal yang diubah melalui Kepmenakertrans
2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya
tersebut sebagai berikut:23
(1) Penulisan dan penyebutan istilah: “Upah disingkat UUK 2003). Di bidang pengupah-
Minimum Regional Tingkat I (UMR Tk. an, UUK 2003 mengaturnya dalam ketentuan
21
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Berdasarkan Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1) huruf h UU Nomor 32 Tahun 2004 jo Pasal 7 ayat (2) PP Nomor 38 Tahun 2007,
telah menetapkan kewenangan di bidang ketenagakerjaan kepada pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan sampai kepada pengendalian.
22
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2005 dinyatakan tidak berlaku oleh Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Berdasarkan Pasal 7
ayat (2) PP tersebut, mengenai Ketenagakerjaan merupakan Kewenangan Pemerintahan Daerah.
23
Pitaya, Op.cit., hlm. 180.
Saprudin, Socialisering Process Hukum Perburuhan dalam Aspek Kebijakan Pengupahan 551
Bab X (sepuluh), bagian kedua, Pasal 88 dikategorikan sebagai buruh dalam undang-
sampai dengan Pasal 98. Dari ketentuan undang tersebut akan dijamin oleh undang-
beberapa pasal yang mengatur mengenai undang untuk mendapatkan upah dalam hubung-
pengupahan tersebut, diantaranya mengatur an kerjanya dengan majikan. Selain itu, UUK
mengenai kebijakan pengupahan. Dari 1947 juga memberikan jaminan terhadap
ketentuan tersebut di atas, secara makro dibayarnya upah apabila buruh tidak mampu
pemerintah sudah menetapkan mengenai bekerja karena terjadinya kecelakaan kerja. Hal
kebijakan pengupahan. Dari kebijakan tersebut merupakan salah bentuk dari pengecualian
pengupahan tersebut, terlihat begitu besar asas “no work no pay”.
campur tangan pemerintah di bidang Perlindungan hukum terhadap pekerja/
pengupahan. Dapat dikatakan, mengenai buruh selayaknya lebih dikonkretkan di dalam
pengupahan hampir secara keseluruhan PP Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan
sudah diatur oleh pemerintah. Semakin Upah. Salah satu bentuk perlindungan hukum
besarnya campur tangan pemerintah di bidang terhadap pekerja/buruh di dalam PP tersebut ialah
pengupahan, mengakibatkan mengenai Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh
pengupahan hampir secara keseluruhan sudah mengadakan diskriminasi antara buruh laki-laki
dikuasai oleh Hukum Publik. dan buruh wanita untuk pekerjaan yang sama
nilainya. Hal tersebut merupakan perwujudan
2. Akibat Socialisering Process terhadap pelaksanaan ketentuan Undang-Undang Nomor
Perlindungan Hukum bagi Pekerja/Buruh 80 Tahun 1957. Pemerintah semakin memberikan
di Bidang Pengupahan Perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh,
Kebijakan di bidang ketenagakerjaan, khususnya mengenai upah minimum. Pemerintah
khususnya mengenai pengupahan erat kaitannya telah menetapkan Permenaker Nomor 1 Tahun
dengan masalah perlindungan bagi pekerja/buruh 1999 jo. Kepmenakertrans Nomor 226 Tahun
(Arbeidsbescherming). Menurut Iman Soepomo 2000 tentang upah minimum. Melalui aturan
sebagaimana dikutip Lalu Husni,24 salah satu tersebut pemerintah melarang kepada pengusaha
bentuk perlindungan terhadap pekerja/buruh ada- untuk membayar upah di bawah ketentuan upah
lah perlindungan ekonomi, yaitu pekerja/buruh minimum. Artinya, kebijakan mengenai upah
diberikan perlindungan terhadap penghasilan minimum dapat dijadikan sebagai jaring pengaman
yang cukup, termasuk bila pekerja/buruh tidak (safety net) bagi pekerja/buruh. Perlindungan
melakukan pekerjaan di luar kehendaknya. Per- hukum bagi pekerja/buruh di bidang pengupahan
wujudan perlindungan hukum terhadap pekerja/ dituangkan di dalam Undang-Undang Nomor 13
buruh tersebut dapat dianalisis dari sejarah Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Di dalam
perkembangan peraturan perundang-undangan di undang-undang tersebut, pemerintah secara tegas
bidang Hukum Perburuhan yang berkaitan dengan mengatur mengenai kebijakan pengupahan.
masalah pengupahan. Dari masa Orde Lama, Orde Berdasarkan uraian tersebut, campur tangan
Baru dan Orde Reformasi dapat dilihat semakin pemerintah di bidang Hukum Perburuhan
besarnya campur tangan pemerintah di bidang khususnya mengenai pengupahan dari satu
pengupahan. periode ke periode berikutnya mengalami
Pada awal Orde Lama, perlindungan hukum peningkatan. Peningkatan dalam arti cakupan
terhadap pekerja/buruh sudah mulai dilakukan materi peraturan perundang-undangan mengenai
dalam UUK 1947. Artinya, orang-orang yang perlindungan upah semakin luas. Hal tersebut
24
Zainal Asikin, et al., 2004, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan 5DMD*UD¿QGR 3HUVDGD -DNDUWD KOP
552 MIMBAR HUKUM Volume 24, Nomor 3, Oktober 2012, Halaman 377 - 569
DAFTAR PUSTAKA