Nim : 200200535
Mata Kuliah : Hukum Perburuhan
1
Periode 1945-1965 (Orde Lama) Awal Kemerdekaan Politik peburuhan, hanya dapat
dilihat dalam konstitusi tertulis (UUD 1945 Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3). Kaum
buruh hanya untuk kepentingan kebutuhan fisiknya (kerja), tidak pernah diperhatikan hak
hakikinya Peran Buruh dalam Merebut & mempertahankan Kemerdekaan menjamin gerakan
buruh tempat atau posisi yang baik setelah Indonesia mendapatkan kemerdekaan. Hukum
perburuhan yang bisa disebut progresif atau maju, dalam arti amat protektif atau melindungi
kaum buruh.
1
Dr. H Soedjono, M.Si, PHK PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (Termination of Employment
Relationship) Dr. H Soedjono, M.Si PHK Manajemen Sumber Daya Manusia (Human Resources Development),
akses dari https://slideplayer.info/slide/11125768/, pada tanggal 5 Maret 2022, pada pukul 12.00.
Produk Hukum Ketenagakerjaan Pada Masa Orde Lama Pada tahun 1950-an, masih
dalam suasana gerakan buruh yang sedang dinamis, dihasilkan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, disusul Undang-Undang Tahun
1964 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta yang memberikan proteksi
yang amat kuat kepada para buruh atau pekerja dengan kewajiban meminta ijin kepada Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4) untuk Pemutusan Hubungan Kerja. Sebelumnya
sudah ada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Perjanjian Perburuhan antara
Serikat Buruh dan Majikan yang sungguh amat terasa nuansa demokratis dalam ketentuan
pasal-pasalnya, termasuk sebuah Undang-Undang tahun 1956 yang meratifikasi Konvensi ILO
N0. 98 Tentang Hak Berorganisasi sekaligus menjamin lebih jauh lagi memberi serikat buruh
status hukum.
B. Orde Baru
2
Hubungan perburuhan yang dibangun pemerintah orde baru diberi nama Hubungan
Perburuhan Pancasila (HPP). Hubungan perburuhan Pancasila adalah hubungan di antara para
pihak yang berkaitan dengan proses produksi baik mengenai barang maupun jasa yang
dilandasi atas nilai-nilai yang merupakan perwujudan dari keseluruhan Pancasila dan UUD
1945.
2
Mohammad Fandrian, Adhistianto H. Dauman, Agus Purwanto, Hukum Ketenagakerjaan, 8 Maret
2021, Hal. 6-9.
sedemikian rupa mewujudkan hubungan ketenagakerjaan dengan mengacu pada Pancasila atau
yang bisa dikenal dengan Hubungan Industrial Pancasila (HIP). Hal ini pula yang menjadi
kekhususan dan keunikan dari Indonesia, karena pada faktanya setia negara di dunia memiliki
falsafaj bangsa dan negara yang berbeda-beda. Hubungan Industrial Pancasila (HIP) bertujuan
untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, penciptaan ketenangan bekerja dan berusaha,
menciptakan kondisi produksi dan produktivitas yang tinggi, peningkatan kesejahteraan
pekerja selayaknya martabat manusia seutuhnya, dan mewujudkan kemerdekaan sebagai
bagian dari ketertiban dunia.
Konsep Hubungan Industrial Pancasila (HIP) melihat pekerja sebagai manusia dengan
segala martabat yang melekat pada dirinya, dan tidak hanya semata dan sekedar sebagai faktor
produksi. Sifat gotong royong sangat mendasari dari keberlakuan konsep Hubungan Industrial
Pancasila (HIP), oleh karenanya friksi antara pekerja yang memperjuangkan kesejahteraan dan
pengusaha yang mencari keuntungan semata harusnya dapat terjawab dan terselesaikan. Dialog
dengan didasarkan pada kemampuan perusahaan menjadi prinsip utama dalam menerapkan
Hubungan Industrial Pancasila (HIP), oleh karenanya sifat gotong royong dalam mewujudkan
kesejahteraan dan keuntungan perusahaan dapat terwujud. Pemerintahan Orde Baru tetap
memberlakukan produk hukum perburuhan pada masa Orde Lama dan hanya mengeluarkan
beberapa undang-undang dan peraturan-peraturan tingkat Menteri yang pada dasarnya
hanyalah sebagai pelengkap, tetapi kenyataannya meniadakan ketiga undang-undang tersebut
serta nyata-nyata merugikan buruh.
C. Masa Reformasi
3
Perburuhan pada masa orde reformasi dimulai pasca turunnya Soeharto. Reformasi
pemerintahan membawa dampak yang sigifikan termasuk di dalam perburuhan yang salah
satunya adalah dicabutnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 oleh pemerintahan
Presiden B.J. Habibie dan kembali menggunakan undang-undang pada zaman orde lama.
Pemerintah juga meratifikasi beberapa konvensi dasar ILO termasuk didalamnya Konvensi
Nomor 87 yang menjamin kebebasan berserikat bagi buruh.
Dalam perkembangannya Pemerintahan Abdurrahman Wahid mengesahkan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh, dan pada Pemerintahan
3
Ibid, Hal. 11-13
Megawati Soekarnoputri mengesahkan: 1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan; 2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial. 3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional.
Pada awal diusulkannya ketiga rancangan undang-undang yaitu RUU Serikat Pekerja
(yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/
Serikat Buruh), RUU Pembinaan Dan Perlindungan Ketenagakerjaan (yang kemudian menjadi
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan), dan RUU Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial) mendapat reaksi keras dari
buruh. Dua pihak yang berpolemik adalah pengusaha dan buruh. Pihak buruh melihat pada
mulanya dua RUU tentang Ketenagakerjaan yang baru bila dibandingkan dengan
UndangUndang yang lama, yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 ternyata lebih
memihak kepada Pengusaha. Bahkan patut dicurigai pula dua RUU itu diajukan Pemerintah ke
DPR untuk disahkan menjadi Undang-Undang karena motif desakan International Monetary
Fund (IMF). Seperti diketahui IMF memberikan syarat supaya Pemerintah mereview semua
UndangUndang yang berkaitan dengan perburuhan akarena selama ini dinilai terlalu
memproteksi buruh dan merugikan investor. Dengan demikian jelas bahwa Undang-Undang
Ketenagakerjaan memang merupakan kelanjutan dari hasil pesanan Bank Dunia yang mewakili
kepentingan modal internasional di Indonesia yang melihat buruh semata sebagai hambatan
bagi investasi dan pembangunan ekonomi.
Jumlah tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia mencapai puncak tertingginya pada 2011
sebanyak 77.307 pekerja, yakni pada masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Seperti diketahui SBY menjabat menjadi Presiden Republik Indonesia
periode 2004-2014. Kabar bahwa jutaan TKA asal Cina menyerbu ke Indonesia sepanjang
2016 tidak didukung oleh data. Faktanya, jumlah pekerja asing yang berada di Indonesia
periode Januari-November 2016 hanya mencapai 74 ribu, menurut izin mempekerjakan tenaga
asing yang dikeluarkan oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Adapun jumlah
TKA yang berasal dari Cina hanya berjumlah 21 ribu.
Pada 1995, jumlah TKA di Indonesia telah mencapai 57 ribu pekerja. Namun, setelah
Indonesia dilanda krisis finansial, jumlah TKA di Indonesia mengalami penurunan mencatat
posisi terendahnya pada 2000 yang hanya berjumlah 14.713 pekerja. Setelah itu kembali
mengalami tren kenaikan hingga 2011.
4
Inti dari berbagai undang-undang dan peraturan yang diundangkan sepanjang masa
pertama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut adalah
mempersiapkan kelembagaan, sistem dan tenaga kerja dalam menghadapi pasar kerja yang
fleksibel, terutama dalam era perdagangan bebas.
5
Menurut data INDEF di era Jokowi-JK belum mampu mengungguli pemerintahan SBY-
Boediono. Tercatat jumlah tenaga kerja formal di era Jokowi-JK di bulan Agustus 2017 adalah
sebesar 52 juta orang, hanya bertambah 3,5 juta orang (+7,2%) dari capaian Agustus 2015
sebesar 48,5 juta orang.
Dari sisi persentase, jumlah tenaga kerja formal pada Agustus 2017 tercatat tercatat
42,97% dari total tenaga kerja, hanya meningkat tipis dari persentase Agustus 2015 sebesar
42,24%.
42,97% dari total tenaga kerja, hanya meningkat tipis dari persentase Agustus 2015 sebesar
42,24%.
Pada 3 tahun awal pemerintahan SBY-Boediono jumlah tenaga kerja formal tercatat
sebanyak 44,16 juta orang pada Agustus 2012. Jumlah tersebut mampu meningkat drastis yakni
sebesar 8,38 juta orang (23,42%). Peningkatan cukup masif dibandingkan pertumbuhan di
masa pemerintahan Jokowi-JK.Persentase tenaga kerja formal di era SBY-Boediono juga
meningkat cukup besar, yakni dari 33,07% (Agustus 2010) menjadi 39,86% (Agustus
4
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Perkembangan Ketenagakerjaan di Indonesia, (Jakarta, 11 Juni
2011), Hal. 23
5
Raditya Hanung Prakoswa, Tinjauan Ketenagakerjaan Era Jokowi-JK, diakses dari
https://www.cnbcindonesia.com/news/20180220194800-4-4934/tinjauan-ketenagakerjaan-era-jokowi-jk, pada
tanggal 5 Maret 2022, pada jam 15.00
2012).Kemudian, INDEF menggunakan dua indikator untuk menghitung rumusan Rasio
Penciptaan Kerja (RPK) yang digagas mereka pada dekade 2000-an, yakni rata-rata tambahan
jumlah penduduk bekerja dan pertumbuhan ekonomi. RPK tersebut menghitung tambahan
penduduk bekerja untuk tiap 1% pertumbuhan ekonomi.