Anda di halaman 1dari 17

TUGAS

PROBLEMATIKA IMPLEMENTASI
HUKUM KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA

Dosen:
Hendra Dhinatha,S.H.,M.H

Nama :Lafran Gibran Abd.Rahim


Nim :2021330050011

JURUSAN HUKUM
UNIVERSITAS JAYABAYA
2023
I.PENDAHULUAN

Pembangunan nasional, khususnya bidang ketenagakerjaan


diarahkan untuk sebesar- besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan
masyarakat pekerja. Oleh karena itu hukum ketenagakerjaan harus
dapat menjamin kepastian hukum, nilai keadilan, asas kemanfaatan,
ketertiban, perlindungan dan penegakan hukum.
Seiring dengan pembangunan bidang ketenagakerjaan, tampak
maraknya para pelaku dunia usaha berbenah diri pasca krisis ekonomi
dan moneter untuk bangun dari mimpi yang buruk, serta terpaan
gelombang krisis ekonomi global yang melanda asia tenggara, di mana
Indonesia tidak lepas dari terpaan gelombang tersebut. Pemerintah
dalam upaya mengatasi krisis ekonomi global bersama dengan
masyarakat, terutama para pelaku usaha, salah satu alasan pokok
untuk menstabilkan perekonomian dan menjaga keseimbangan moneter
serta menghindari kebangkrutan sebagian besar perusahaan yang
berdampak terhadap sebagian besar nasib para pekerja pabrikan dan
berujung pada pemutusan hubungan kerja.
Sarana yang cukup efektif dalam upaya menjaga kesinambungan
antara pelaku usaha dan pekerja dalam hubungan kerja, yakni
eksistensi hukum ketenagakerjaan yang mengatur pelbagai hak,
kewajiban serta tanggungjawab para pihak. Selain sarana tersebut,
perjanjian kerja bersama (PKB), lembaga bipartit, tripartit, serikat
pekerja, organisasi pengusaha, serta mediasi yang diperankan
pemerintah merupakan wujud eksistensi hukum ketenagakerjaan.
Pemerintah selaku pembina, pengawas, dan penindakan hukum
melaksanakan aturan hukum dengan hati-hati mengingat posisi
pengusaha dan pekerja merupakan aset potensial bagi negara,
sekaligus subyek pembangunan nasional yang berkedudukan sama
dihadapan hukum. Aturan hukum sebagai pedoman tingkah laku wajib
dipatuhi para pihak dan dengan penuh rasa tanggung-jawab. Kepatuhan
bukan merupakan paksaan, melainkan budaya taat terhadap ketentuan
hukum.
Pada dasarnya hukum ketenagakerjaan mempunyai sifat melindungi
dan menciptakan rasa aman, tentram, dan sejahtera dengan mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Hukum ketenagakerjaan dalam
memberi perlindungan harus berdasarkan pada dua aspek, Pertama,
hukum dalam perspektif ideal diwujudkan dalam peraturan perundang-
undangan (heterotom) dan hukum yang bersifat otonom. Ranah hukum ini
harus dapat mencerminkan produk hukum yang sesuai cita-cita keadilan
dan kebenaran, berkepastian, dan mempunyai nilai manfaat bagi para
pihak dalam proses produksi.
Hukum ketenagakerjaan tidak semata mementingkan pelaku usaha,
melainkan memperhatikan dan memberi perlindungan kepada pekerja yang
secara sosial mempunyai kedudukan sangat lemah, jika dibandingkan
dengan posisi pengusaha yang cukup mapan. Hukum memberi manfaat
terhadap prinsip perbedaan sosial serta tingkat ekonomi bagi pekerja
yang kurang beruntung, antara lain seperti tingkat kesejahteraan,
standar pengupahan serta syarat kerja, sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan dan selaras dengan makna keadilan
menurut ketentuan Pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, bahwa :
“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan”. Demikian pula ketentuan Pasal 28 D ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945, bahwa : “Setiap orang berhak untuk bekerja
serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja” ; Kedua, hukum normatif pada tingkat implementasi
memberikan kontribusi dalam bentuk pengawasan melalui aparat penegak
hukum dan melaksanakan penindakan terhadap pihak-pihak yang tidak
mematuhi ketentuan hukum.
Hukum dasar memberikan kedudukan kepada seseorang pada derajat
yang sama satu terhadap lainnya. Hal ini berlaku pula bagi pekerja
yang bekerja pada pengusaha, baik lingkungan swasta (murni), badan
usaha milik negara maupun karyawan negara dan sektor lainnya. Hal
ini tersurat dalam ketentuan Pasal 28I UUD 1945, yakni : “Setiap
orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
dasar apapun...”, bahkan Pasal 28I ini memberikan perlindungan bagi
mereka, meluputi pula pekerja atas perlakuan diskriminatif.1
II. ASPEK FILOSOFIS

Tinjauan filosofis Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang


Cipta Kerja khususnya pada Bab IV Ketenagakerjaan yang secara
spesifik terkait dengan perubahan-perubahan Undang-Undang No.13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dengan tujuan penelitian untuk
mengetahui secara jelas dan sistematis tentang tinjauan filosofis
dan problematika dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja khusus klaster ketenagakerjaan. Penelitian ini merupakan
penelitian hukum normatif atau studi dokumen atau kepustakaan yang
dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan perundang-undangan
yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain dan dilakukan dengan
cara meneliti bahan-bahan kepustakaan atau data pendamping lain
(data sekunder) yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tersier dengan menggunakan logika berpikir
deduktif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute
approach).
Dalam konteks tinjauan filosofis peraturan perundang-undangan
di Indonesia maka dapat dipahami bahwa didalam pembentukan peraturan
perundang-undangan haruslah mempertimbangkan cita-cita dan falsafah
bangsa Indonesia yang bersumber pada Pancasila dan UUD RI 1945.
Bahwa perubahan peraturan tentang ketenagakerjaan yang secara
filosofi untuk memberikan peningkatan perlindungan dan kesejahteraan
pekerja adalah hal sulit diterima karena secara substansi lebih
menguntungkan pengusaha atau pemberi kerja dan menurunkan
(mendegradasi) kesejahteraan pekerja serta bertolak belakang dengan
filosofi dan tujuan negara.2

1
https://www.google.com/url?sa=i&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&ved=0CAIQw7AJahcKEwjIhIXt--3-
AhUAAAAAHQAAAAAQAw&url=https%3A%2F%2Fhukum.unik-kediri.ac.id%2Fwp-
content%2Fuploads%2F2019%2F04%2FFINAL-3-ANALISIS-HUKUM-KETENAGAKERJAAN-DI-INDONESIA-JURNAL-
2
https://www.google.com/url?sa=i&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&ved=0CAIQw7AJahcKEwi4-obA_u3-
AhUAAAAAHQAAAAAQAw&url=https%3A%2F%2Fhukum.unik-kediri.ac.id%2Fwp-
content%2Fuploads%2F2019%2F04%2FFINAL-3-ANALISIS-HUKUM-KETENAGAKERJAAN-DI-INDONESIA-JURNAL-
INSPIRASI-EDISI-APRIL-2007-NO.-1-VOL.-2-ISSN-NO.-1907-2015-BY-STKIP-
TA.pdf&psig=AOvVaw3y1GqvG5zyZucTLc9TYZbM&ust=1683919335448542
III. ASPEK TEORITIS HUKUM KETENAGAKERJAAN

A. Pengertian Ketenagakerjaan.
Dengan digantinya istilah buruh dengan istilah pekerja/buruh,
konsekuensi istilah hukum perburuhan menjadi tidak sesuai lagi.
Perburuhan berasal dari kata “buruh”, yang secara etimologis dapat
diartikan dengan keadaan memburuh, yaitu keadaan dimana seorang
buruh bekerja pada orang lain (pengusaha).3
Dalam pasal 1 angka 1 undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang ketenagakerjaan adalah hal yang berhubungan dengan tenaga
kerjapada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja. Berdasarkan
pengertian ketenagakerjaan tersebut dapat dirumuskan hukum ketenaga
kerjaan adalah semua peraturan hukum yang berkaitan dengan tenaga
kerja baik sebelum pekerja, selama atau dalam hubungan kerja, atau
sesudah hubungan kerja.4

B. Pihak Dalam Ketenagakerjaan.


1. Pekerja/Buruh
Istilah pekerja/buruh muncul sebagai pengganti istilah
buruh. Pada zaman feudal atau zaman penjajahan belanda dahulu yang
dimaksudkan dengan buruh adalah orang-orang pekerja kasar seperti
kuli, mandor, tukang, dan lain-lain5 buruh/pekerja adalah setiap
orang yang bekerja denagan menerima upah atau imbalan dalam bentuk
lain. Pemberi kerja adalah setiap orang perseorangan, pengusaha,
badan hukum, atau badan-badan lainya yang mempekerjakan tenaga kerja
dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

2. Pengusaha
Pengusaha adalah:

3
ZaeniAsyhadie,HukumKerja, (Jakarta : PT Raja GrafindoPersada, 2007), h.1.
4
Lalu husni,Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers,
2012), h.35.
5
ZaeniAsyhadie, Op.Cit.,h.19.
A. Orang perseoranagan, persekutuan, atau badan hukum yang
menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri.
B. Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara
berdiri menjalankan perusahaan bukan miliknya.
C. Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di
indonesia mewakili perusahaan yang berkedudukan di luar wilayah
indonesia.6

2. Organisasi Pekerja/buruh
Kehadiran organisasi pekerja dimaksudkan untuk
memeperjuangkan
hak dan kepentingan pekerja, sehingga tidak diperlakukan sewenang
wenang oleh pihak pengusaha. Keberhasilan maksud ini sangaat
tergantung dari kesadaran para pekerja untuk mengorganisasikan
dirinya, semakin baik organisasi itu, maka akan semakin kuat.
Sebagai implementasi dari amanat ketentuan pasal 28 Undang-Undang
Dasar 1945 tentang kebebasan berserikat dan berkumpul
Mengeluarkan
pikiran dengan lisan maupun tulisan yang ditetapkan dengan Undang
Undang, maka pemerintah telah meratifikasi Konvensi Organisasi
Perburuhan Internasional Nomor. 98 dengan Undang-Undang Nomor. 18
Tahun 1956 mengenai Dasar-Dasar Hak berorganisasi dan Berunding
Bersama.

3. Organisasi Pengusaha
Selanjutnya untuk meningkatkan peran serta Pengusaha nasional
Dalam kegiatan pembangunan, maka pemerintah melalui Undang-Undang
Nomor. 49 Tahun 1973 membentuk kamar dagang dan Industri (KADIN)
KADIN adalah wadah bagi pengusaha Indonesia dan bergerak dalam
bidang perekonomian.
Organisasi pengusaha yang khusus mengurus masalah yang
berkaitan
dengan ketenagakerjaan adalah Asosiasi pengusaha Indonesia
(APINDO). APINDO lahir didasari dari peran dan tangung jawabnya

6
Pasal 1 Ayat (3) PeraturanPemerintahNomor 78 Tahun 2015 TentangPengupahan.
dalam pembangunan nasional dalam rangka huruf serta mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur, maka pengusaha Indonesia harus
ikut serta secara aktif mengembangkan perananya sebagai kekuatan
sosial dan Sosial Ekonomi Pengusaha Seluruh Indonesia.

4. Pemerintah/Pengusaha
Campur tangan Pemerintah (penguasa) dalam hukum perburuhan/
ketenagakerjaan dimaksud untuk terciptanya hubungan
perburuhan/ketengakerjaan yang adil, karena jika hubungan antara
pekerja dan pengusaha yang sangat berbeda secara sosial-ekonomi
diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, maka tujuan untuk
menciptakan keadilan perburuhan/ketenagakerjaan akan sulit tercapai,
karna pihak yang kuat akan selalu ingin, menguasai yang lemah. Atas
dasar itu pemerintah turut campur tangan melalui peraturan
perundang-Undangan untuk memberikan jaminankepastian hak dan
kewajiban para pihak.
Sebagai institusi yng bertanggung jawab terhadap masalah
ketenagakerjaan, Departemen tenaga Kerja juga dilengkapi dengan
berbagai lembaga yang secara teknis membidangi hal-hal khusus yakni
:
A. Balai Latihan Kerja, menyiapkan /memberikan bekal kepada
tenaga kerja melalui tenaga kerja.
B. Balai Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (BP2TKI),
sebagai lembaga yang menangani masalah penempatan tenaga kerja
untuk bekerja baik disektor formal maupun informal di dalam
maupun diluar negri.
C. Panitia penyelesaian perselisiahan Perburuhan, menyelesaikan
perselisihan perburuhan yang terjadi antara pekerja dan
pengusaha dan sebagai lembaga perizinan dalam masalah
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).7

Setiap Tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa


diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Setiap pekerja/buruh berhak
memperoleh perlakuan perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari
pengusaha. Setiap pekerja/buruh berhak meperoleh penghasilan yang

7
Imam soepono, Pengantar Hukum perburuhan, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 36-37.
memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Untuk mewujudkan
penghasilan yang memenuhi keburuhan yang layak bagi kemanusiaan yang
dimaksud, pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi
pekerja/buruh.

C. Perjanjian Kerja

1. Pengertian Tentang Perjanjian

Jika kita membicarakan tentang defenisi perjanjian, maka


pertama pertama harus diketahui ketentuan pengertian perjanjian yang
diatur oleh KUHPerdata pasal 1313 yang berbunyi:

“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”.Dengan
adanya pengertian tentang perjanjian seperti ditentukan di atas,
biasa diambil kesimpulan bahwa kedudukan antara para pihak yang
mengadakan perjanjian adalah sama dan seimbang.8

2. Pengertian Perjanjian Kerja

Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda biasa disebut


arbeidsovereenkoms. Dapat diartikan dalam beberapa pengertian.
Pengertian yang pertama yang disebutkan dalam ketentuan pasal 1601a
KUHPerdata, mengenai perjanjian kerja disebutkan bahwa :

“Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satusi


buruh, mengikatkan dirinya untuk dibawah perintahnya pihak yang
lain, simajikan untuk suatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan
dengan menerima upah”9

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan,


pasal 1 angka 14 memberikan pengertian yakni “perjanjian kerjaadalah
suatu perjanjian antara pekerja/buruh dan pengusaha atau pemberi
kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belak
pihak”.

3. Unsur-Unsur Dalam Perjanjian Kerja

a. Adanya Unsur work atau pekerjaan

b. Adanya unsur perintah

8
Djumadi, HukumPerburuhanPerjanjianKerja( Jakarta : CV Rajawali, 1992), h.9
9
Ibid, h.23.
c. Adanya upah.

4. Syarat Sah Perjanjian Kerja

Sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya, maka perjanjian


kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjiansebagai diatur dalam
pasal 1320 KUHperdata. Ketentuan ini juga tertuang dalam pasal 52
ayat 1 Undang- undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
yang menyebutkan bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar :

1. Kesepakan dua belah pihak

2. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum

3. Adanya pekerjaan yang diperjanjiakan

4. Bentuk perjanjian kerja

D. Pengertian Hukum Perburuhan

Defenisi hukum perburuhan erat kaitannya dengan hukum positif


masing-masing Negara. Oleh karna itu tidak mengherankan kalau
definisi hukum perburuhan yang dikemukakan oleh para ahli hukum juga
berbeda, terutama yang menyangkut keluasannya. Hal yang mengikat
keluasan hukum perburuhan di masing-masing Negara juga berbeda.
Disamping itu perbedaan sudut pandang juga menyebab kanpara ahli
hukum memberikan definisi hukum perburuhan berbeda pula.10 Hukum
perburuhan adalah adalah sebagian hukum yang berlaku (segala
peraturan-peraturan) yang menjadi dasar dalammengatur hubungan kerja
antara buruh (pekerja) dengan majikan atau perusahaanya, mengenai
tata kehidupan dan tata kerja yang langsung bersangkut paut dengan
hubungan kerja tersebut.11

E. Upah

Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


menyebutkan setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang
memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (pasal 88 ayat 1).
Untuk maksud tersebut, Pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan
untuk melindungi pekerja/buruh kebijakan pengupahan ini meliputi:

10
Abdul RachmadBudiono, HukumPerburuhan, (Jakarta :PermataPutri Media , 2009),
h.12.
11
Zainal Asikin dkk,Dasar-Dasar Hukum perburuhan, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada , 2008), h.2.
1. Upah minimum
2. Upah kerja lembur
3. Upah tidak masuk kerja karena berhalangan
4. Upah tidak masuk kerja karena malakukan kegiatan lain di luar
pekerjaan
5. Upah karena menjalankan hak waktu istrihat kerjanya
6. Bentuk dan cara pembayaran upah
7. Denda dan potongan upah
8. Hal-hal yang dapat di perhitungkan dengan upah
9. Struktur dan skala pengupahan yang professional
10. Upah untuk pembayaran pesangon
11. Upah untuk perhitungan pajak pengasilan

F. Pengertian Upah

Upah adalah salah satu sarana yang di gunakan oleh pekerja


untuk meningatkan kesejahteraannya. Berdasarkan ketentuan pasal 1
angka 31 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan bahwa
kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan
dan/atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik
didalam maupun diluar hubungan kerja, yang secara langsung atau
tidak langsung dapat mempertinggi produktifitas kerja dalam
lingkungan kerja yang aman dan sehat.12 Dalam Peraturan-Pemerintah
Nomor 78 Tahun 2015 tentang pengupahan menyebutkan bahwa upah adalah
hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang
sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja
atau buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian
kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan, termasuk
tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan
dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.

G. Komponen Upah

Pemberian upah yang tidak dalam bentuk uang dibenarkan asal


tidak melebihi25% dari nilai upah yang seharusnya diterima.
Imbalan/penghasilan yang diterima oleh buruh tidak selamanya disebut

12
Ibid, h.108
sebagai upah, karena bisa jadi Imbalan tersebut bukan termasuk dalam
komponen upah. Dalam suret edaran Menteri tenaga kerja Nomor
07/MEN/1990 tentang pengelompokkan komponen upah dan pendapatan non
upah disebutkan bahwa :

A. Termasuk dalam komponen upah :


1. Upah pokok
2. Tunjangan tetap
3. Tunjangan tidak tetap
B. Tidak termasuk komponen upah :
1. Fasilitas
2. Bonus
3. Tunjangan Hari Raya

Upah pokok minimum sebagaimana diatur dalam peraturan Menteri


Tenaga Kerja Nomor 05/MEN/1996 yang telah diubah dengan peraturan
menteri tenaga kerja Nomor01/men/1996 jo. Peraturan Menteri Tenaga
Kerja Nomor 03/MEN/1997 tentang upah minimum adalah upah pokok sudah
termasuk di dalamnya tunjangan-tunjangan yang bersifat tetap.

Beberapa jenis upah pokok minimum adalah sebagai berikut:

1. Upah minimum sub sektoral regional, upah minimum yang


berlaku untuk semua perusahaan pada sub sector tertentu
dalam daerah tertentu.
2. Upah minimum sektoral regional, upah minimum yang berlaku
untuk semua perusahaan sector tertentu dalam daerah
tertentu.
3. Upah minimum regional/upah minimum Provinsi, upah minimum
yang berlaku untuk semua perusahaan dalam daerah tertentu.
Upah minimum regional (UMR)/ UMP ditiap-tiap daerah besarnya
berbeda- beda. Besar UMR/UMP didasarkan pada indek harga
konsumen, kebutuhan fisik minimum, perluasan kesempatan
kerja, upah pada umumnya yang berlaku secra regional,
kelangsungan dan perkembangan perusahaan, tingkat
perkembangan perekonomian regional dan nasional.Upah minimum
ini wajib wajib di taati oleh pengusaha, kecuali pengusaha
yang tidak mampu membayar upah minimum, dapat di kecualikan
dari kewajiban tersebut dengan cara mengajukan permohonan
permohonan kepada mentri tenaga kerja disertai dengan
rekomondasi dari kepala Dinas Tenaga Kerja setempat.
Berdasarkan permohonan tersebut Mentri Tenaga Kerja dapat
menagguhkan pelaksanaan upah minimum paling lama 12 bulan.

H. Ketentuan Pembayaran Upah

Pengusaha wajib membayar upah kepada para pekerja secara


teratur sejak terjadinya hubungan kerja sampai dengan berakhirnya
hubungan kerja sampai dengan berakhirnya hubungan kerja. Upah yang
diberikan oleh pengusaha tidak boleh diskriminasi antara pekerja
pria dan wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya (Undang-undang
Nomor 80 tahun 1957) yang merupakan retifikasi konvensi ILO Nomor
100 Tahun 1951.

KUHPerdata, pasal 1602d, buruh tidak kehilangan haknya atas


upahnya,jika ia telah bersedia melakukan pekerjaan, tetapi majikan
tidak menggunakannya baik karna salahnya sendiri maupun karna
halangan yang kebetulan mengenai dirinya.Dengan penafsiran, dalam
hal tersebut majikan wajar membayar upah. Pasal 1603, kewajiban
buruh yang terpenting melakukan pekerjaanya yang dijanjikan itu
dengan sebaik- baiknya. Pasal 1603d, buruh pada umumnya wajib
melakukan ataupun tidak melakukan segala sesuatu yang dalam keadaan
yang sama, seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan oleh seorang
buruh yang baik. Pada umumnya buruh/pekerja harus melakukan
pekerjaanya ditempat yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, sesuai
dengan kehendak majikan/pengusaha, jika tempat itu tidak di tetapkan
dalam perjanjian, pekerjaan harus dilakukan ditempat dimana menurut
keadaan dan sifat pekerjaan, pekerjaan itu harus dilakukan. Sesuai
dengan asas pokok hukum perburuhan yang menghendaki supaya
perjanjian dilaksanakan dan ditafsirkan berdasarkan iktikad baik.13

Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan


pekerjaan (pasal 93 ayat 1 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan jo. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang
perlindungan Upah ), prinsip-prinsip ini dikenal dengan asas “no
work no pay”, asas ini tidak berlaku mutlak, maksudnya dapat
dikesampingkan dalam hal-hal tertentu atau dengan kata lain pekerja
tetap mendapatkan upah meskipun tidak melakukan pekerjaan.

Adapun penyimpangan terhadap asas “no work no poy” ini adalah:

13
H. R. Abdussalam, hukum ketenagakerjaan (hukum perburuhan), (Jakarta : Restu Agung, 2009), h. 66.
1. Pekerja/buruh sakit hingga tidak dapat melakukan pekerjaan.
2. Pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua
masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan.
3. Pekerja/buruh tidak masuk kerja karena pekerja/buruh menikah,
menikahkan, mengkhitankan, membastiskan anakanya, istri
melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau istri atau
anak menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga
dalam satu rumah meninggal dunia.
4. Pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaan karna sedang
menjalankan kewajiban terhadap negara.
5. Pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaanya karena
menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya.
6. Pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah
dijanjiakan tetapi pengusaha tidak memperkerjakanya, baik
karna kesalahan sendiri maupun halangan yang dapat dihindari
pengusaha.
7. Pekerja/buruh melakukan hak istirahatnya. Pekerja/buruh
melaksakan tugas serikat pekerja/serikat buruh
8. atas persetujuan pengusaha, dan pekerja.
9. Buruh melakukan tugas pendidikan dari perusahaan.(pasal 93
ayat 2 Undang-undang Nomor 13 tahun 2003).

Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit adalah


sebagai berikut :

1. Untuk 4 (empat) bulan pertma, dibayar 100% (seratus


persen) dari upah.
2. Untuk 4 (empat) bulan kedua dibayar, 75 % (tujuh puluh
lima persen) dari upah
3. Untuk 4 (empat) bulan ke tiga di bayar 50 % (lima puluh
persen) dari upah.
4. Untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima
persen) dari upah, sebelum pemutusan hubungan kerja
dilakukan oleh pengusaha.

Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak masuk


kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 93 ayat 3 huruf c sebagai
berikut:

1. Pekerja/buruh menikah, dibayar selama 3 (tiga) hari.


2. Menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari.
3. Mengkhitankan anaknya, dibayarkan untuk selama 2 (dua) hari.
4. Membabtiskan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari.
5. Istri melahirkan atau keguguran kandungan dibayar untuk
6. selama 2 (dua) hari.
7. Suami/istri,orangtua/mertuaatauanakataumenantumeninggal
8. dunia dibayar selama 2 (dua) hari, dan
9. Anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, dibayar
untuk selama 1 (satu) hari (pasal 93 ayat 3)

Upah mempunyai kedudukan yang strategis, dalam hal perusahaan


dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan perundang-undangan
yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainya dari pekerja/buruh
merupakan utang yang harus didahulukan pembayarannya. Tentunya
pembayaran upah pekerj/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari
hubungan kerja dan kadaluarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua)
tahun senjak timbulnya hak (pasal 96).

I. Upah Lembur

Pengusaha harus mempekerjakan pekerja/buruh sesuai dengan waktu


kerja yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, jika
melebihi ketentuan tersebut harus dihitung/dibayar lembur.

Cara menghitung upah lembur telah ditetapkan dalam keputusan


Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep-72/Men/1984 tentang dasar perhitungan
upah lembur sebagai berikut :

1) Apabila jam kerja lembur dilakukan pada hari biasa :

a. Untuk jam kerja lembur pertama harus dibayarkan sebesar

1,5 kali upah sejam.

b. Bentuk tiap jam kerja berikutnya harus dibayar upah sebesar

2 kali upah sejam.

2) Apabila jam kerja lembur dilakukan pada hari istirahat

mingguan dan atau hari raya resmi :

a. Untuk setiap jam dalam batas 7 jam atau 5 jam apabila hari

raya tersebut jatuh pada hari raya terpendek pada salah satu

hari dalam 6 hari kerja seminggu harus dibayar upah

sedikit-dikitnya 2 kali upah sejam.

b. Untuk jam kerja pertama selebihnya 7 jam atau 5 jam apabila

hari raya tersebut jatuh pada hari raya terpendek pada salah

satu hari dalam 6 hari kerja seminggu, harus dibayar upah

sebesar 3 kali upah sejam.

c. Untuk jam kerja kedua setelah 7 atau 5 jam apabila hari raya

terpendek pada salah satu hari dalam 6 hari kerja seminggu,

harus dibayar upah sebesar 4 kali upah sejam.

Upah sejam dihitung dalam rumus sebagai berikut :


a. Upah sejam bagi pekerja bulanan 1/173 upah sebulan.

b. Upah sejam bagi pekerja harian 2/20 upah perhari

c. Upah sejam bagi pekerja borongan atau satuan 1/7 rata-rata

hasil kerja sehari.

14

IV. ANALISIS HUKUM PRIBADI

Pada dasarnya hukum ketenagakerjaan mempunyai sifat melindungi


dan menciptakan rasa aman, tentram, dan sejahtera dengan mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Hukum ketenagakerjaan dalam
memberi perlindungan harus berdasarkan pada dua aspek, Pertama,
hukum dalam perspektif ideal diwujudkan dalam peraturan perundang-
undangan (heterotom) dan hukum yang bersifat otonom. Ranah hukum ini
harus dapat mencerminkan produk hukum yang sesuai cita-cita keadilan
dan kebenaran, berkepastian, dan mempunyai nilai manfaat bagi para
pihak dalam proses produksi. Hukum ketenagakerjaan tidak semata
mementingkan pelaku usaha, melainkan memperhatikan dan memberi
perlindungan kepada pekerja yang secara sosial mempunyai kedudukan
sangat lemah, jika dibandingkan dengan posisi pengusaha yang cukup
mapan. Hukum memberi manfaat terhadap prinsip perbedaan sosial serta
tingkat ekonomi bagi pekerja yang kurang beruntung, antara lain
seperti tingkat kesejahteraan, standar pengupahan serta syarat
kerja, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan
selaras dengan makna keadilan menurut ketentuan Pasal 27 ayat 2
Undang-Undang Dasar 1945, bahwa : “Tiap-tiap warga negara berhak
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Demikian pula ketentuan Pasal 28 D ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945, bahwa : “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja” ;
Kedua, hukum normatif pada tingkat implementasi memberikan
kontribusi dalam bentuk pengawasan melalui aparat penegak hukum dan
melaksanakan penindakan terhadap pihak-pihak yang tidak mematuhi
ketentuan hukum.

Hukum dasar memberikan kedudukan kepada seseorang pada derajat


yang sama satu terhadap lainnya. Hal ini berlaku pula bagi pekerja
yang bekerja pada pengusaha, baik lingkungan swasta (murni), badan
usaha milik negara maupun karyawan negara dan sektor lainnya. Hal
ini tersurat dalam ketentuan Pasal 28I UUD 1945, yakni : “Setiap
orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
dasar apapun...”, bahkan Pasal 28I ini memberikan perlindungan bagi
mereka, meluputi pula pekerja atas perlakuan diskriminatif.
Pernyataan ini menegaskan adanya kewajiban bagi pengusaha untuk
memperlakukan para pekerja secara adil dan proporsional sesuai asas

14
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 2012), h. 167.
keseimbangan kepentingan. Dalam posisi ini pekerja sebagai mitra
usaha, bukan merupakan ancaman bagi keberadaan perusahaan.

Hukum ketenagakerjaan (Undang-Undang No. 13 Tahun 2003)


ditetapkan sebagai payung hukum bidang hubungan industrial dan
direkayasa untuk menjaga ketertiban, serta sebagai kontrol sosial,
utamanya memberikan landasan hak bagi pelaku produksi (barang dan
jasa), selain sebagai payung hukum hukum ketenagakerjaan
diproyeksikan untuk alat dalam membangun kemitraan. Hal ini tersurat
dalam ketentuan Pasal 102 (2) dan (3) UU. No. 13 Tahun 2003).
Ketentuan ini terlihat sebagai aturan hukum yang harus dipatuhi para
pihak (tanpa ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksudkan dengan
makna kemitraan). Sekilas dalam ketentuan Pasal 102 (3) Undang-
Undang No. 13 Tahun 2003, menyatakan bahwa : “...pengusaha mempunyai
fungsi menciptakan kemitraan...” Hal ini belum memberi kejelasan
yang konkrit bagi masyarakat industrial yang umumnya awam dalam
memahami ketentuan hukum. Ironinya hukum hanya dilihat sebagai
abstraktif semata.

Demikian pula terhadap Pasal 102 ayat 2 Undang-Undang No. 13


Tahun 2003 bahwa pada intinya pekerja dalam melaksanakan hubungan
industrial berkewajiban untuk menjalankan pekerjaan demi
kelangsungan produksi, memajukan perusahaan, dan sisi lain menerima
hak sebagai apresiasi dalam melaksanakan tugas-tugasnya, selain
menjalankan fungsi lainnya, melalui serikat pekerja untuk
memperjuangkan kesejahteraan anggota serta keluarganya dengan tetap
menjaga ketertiban dan kelangsungan produksi barang dan/atau jasa
dan berupaya mengembangkan keterampilan serta memajukan perusahaan.

Secara tersirat hal ini merupakan bentuk partisipasi pekerja


dalam keikutsertanya menjaga ketertiban, memajukan perusahaan, serta
memperhatikan kesejahteraan, namun redaksi ini kurang dapat dipahami
para pihak, bahkan pemaknaan demikian kurang adanya keperdulian,
khususnya dari pihak pengusaha, sehingga hal ini sering memicu
perselisihan hak dan kepentingan yang berujung pada aksi unjuk rasa
serta mogok kerja. Jika makna ini dipahami sebagai kemitraan, maka
akan menjauhkan dari pelbagai kepentingan pribadi.

Berbeda, jika masyarakat industrial memahami sebagai aturan


hukum yang harus dipatuhi tanpa harus mendapatkan teguran dari
pemerintah sesuai ketentuan Pasal 102 (1) Undang-Undang No.13 Tahun
2003, dan memahami sebagai landasan dalam membangun hubungan
kemitraan, hanya saja ketidak patuhan dalam membangun kemitraan
tidak ada sanksi hukum yang mengikat bagi para pihak. Hal ini
sebagai kendala dalam menciptakan hubungan kemitraan.

Sekilas telah disebutkan dasar filosofis mengenai ketentuan


Pasal 102 (2) dan (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, bahwa
penanaman asas keseimbangan kepentingan dalam aturan hukum yang
mengandung nilai kejujuran, kepatutan, keadilan, serta tuntutan
moral, seperti hak, kewajiban dan tanggungjawab) dalam hubungan
antara manusia sesuai dengan sila-sila Pancasila, di mana pekerja
dan pengusaha mempunyai hubungan timbal balik yang bernilai
kemanusiaan, tidak ada diskriminasi, serta mencari penyesuaian paham
melalui musyawarah-mufakat dalam membangun kemitraan dalam hubungan
kerja antara pekerja dengan pengusaha, dan melalui bangunan
kemitraan para pihak menjaga kondisi kerja secara kondusif, dengan
tetap memperhatikan kesejahteraan para pekerja maupun keluarganya,
sebaliknya para pekerja melaksanakan kewajiban sesuai aturan yang
berlaku dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja. Hal ini
pada gilirannya akan tercipta suatu bangunan kemitraan. Keserasian
ini merupakan manifestasi, bahwa pengusaha dan pekerja harus
menerima serta percaya segala apa yang dimiliki merupakan amanah
Allah untuk dapat dimanfaatkan bagi kepentingan manusia. Perekat
pada ranah kenegaraan dan sekaligus sebagai landasan filosofis
hubungan sosial, yakni hubungan kerja antara pekerja dengan
pengusaha, yaitu Pancasila.15

VI. KESIMPULAN
Ketenagakerjaan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan setelah selesai masa
hubungan kerja, baik pada pekerjaan yang menghasilkan barang maupun
pekerjaan berupa. Dari aspek hukum ketenagakerjaan merupakan bidang
hukum privat yang memiliki aspek publik, karena meskipun hubungan
kerja dibuat berdasarkan kebebasan para pihak, namun terdapat
sejumlah ketentuan yang WAJIB tunduk pada ketentuan pemerintah dalam
artian hukum publik. dan Ketenagakerjaan di lindungin oleh undang-
undang yang bagaimana telah di jelaskan di atas.

15
Aspek perlindungan diatur dalam ketentuan Pasal 102 (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, sedangkan
daya paksa, dan sanksinya diatur dalam ketentuan Pasal 183- Pasal 190 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan.

Anda mungkin juga menyukai