Anda di halaman 1dari 12

SOCIALISErING PrOCESS HUKUM PERBURUHAN DALAM ASPEK

KEBIJAKAN PENGUPAHAN*

Saprudin**

Bagian Hukum Perdata, Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin


Jalan Brigjend H. Hasan Basry, Banjarmasin, Kalimantan Selatan 70123

Abstract
The government’s intervention in wage policies started during the Old Order era with the enactment
of Act Number 33 of 1947 on Accidents. During the New Order era the government expanded its
intervention in wage policies by taking into effect Government Regulation Number 8 of 1981 on Wage
Protection. Subsequently, during the Reformation era the government imposed further limitations to
the administration of rules Private Law in matters of wage. As an impact of the socialisering process
undertaken from period to period, the government has established various laws on wages intended to
provide legal protection to workers. In other words, throughout those periods there has been a
significant progress in terms of legal protection to workers in matters of wages.
Keywords: socialisering process, labor law, wage policies.

Intisari
Campur tangan pemerintah di bidang pengupahan diawali pada era Orde Lama, yakni pada saat
diundangkannya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan. Di era Orde Baru, peran
pemerintah di bidang pengupahan semakin besar yaitu dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah. Selanjutnya, di era reformasi pemerintah semakin
membatasi ketentuan-ketentuan yang bersifat Hukum Privat di bidang pengupahan. Akibat
socialisering process ialah di setiap periodisasi pemerintah telah menetapkan berbagai peraturan
perundang-undangan di bidang pengupahan yang bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum
bagi pekerja/buruh. Dengan kata lain, di setiap periodisasi tersebut telah terjadi upaya peningkatan
perlindungan hukum bagi pekerja/ buruh di bidang pengupahan.
Kata Kunci: socialisering process, hukum perburuhan, kebijakan pengupahan.

Pokok Muatan
A. Latar Belakang Masalah.............................................................................................................543
B. Metode Penelitian.......................................................................................................................545
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan..............................................................................................545
1. Perkembangan Socialisering Process pada Hukum Perburuhan dalam Aspek Kebijakan
Pengupahan............................................................................................................................545
2. Akibat Socialisering Process terhadap Perlindungan Hukum bagi Pekerja/Buruh di
Bidang Pengupahan................................................................................................................551
D. Kesimpulan.................................................................................................................................552

*
**
Hasil Penelitian Tesis pada Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Tahun 2009.
Alamat korespondensi: saprudin.fhunlam@ymail.com
Saprudin, Socialisering Process Hukum Perburuhan dalam Aspek Kebijakan
Pengupahan
543

A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ketenagakerjaan merupakan


bagian integral dari pembangunan nasional untuk dipekerjakan di perusahaan-perusahaan
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang milik pemerintah Belanda. Para budak tersebut
Dasar 1945. Pembangunan tersebut dilaksanakan dalam melakukan pekerjaan tanpa diberikan hak
dalam rangka pembangunan manusia Indonesia apapun, termasuk hak atas kehidupannya. Selain
seutuhnya dan untuk meningkatkan harkat, itu, terjadi kerja paksa (rodi) yang dilakukan oleh
martabat, dan harga diri pekerja/buruh serta rakyat untuk kepentingan penguasa/kolonial atau
untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, pihak lain, tanpa adanya pemberian upah.
adil dan makmur, baik materiel maupun spiritual. Pada awal kemerdekaan, ketentuan mengenai
Bidang ketenagakerjaan itu sendiri, telah Hukum Perburuhan sepenuhnya diberlakukan
diatur dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang hukum kolonial yakni Burgerlijke Wetboek
Dasar 1945 yang menyatakan ”Tiap-tiap warga atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan (selanjutnya disingkat KUHPerdata). Ketentuan
yang layak bagi kemanusiaan”. Selanjutnya, mengenai perburuhan dalam KUHPerdata diatur
Pasal 28D ayat (2) menyatakan “Setiap orang dalam Buku III, Bab 7A tentang Perjanjian-
berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan Perjanjian untuk Melakukan Pekerjaan. Akan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan tetapi peraturan perburuhan yang diatur dalam
kerja”. Dari ketentuan kedua pasal tersebut, KUHPerdata tersebut dianggap bersifat liberal
berarti kedudukan bidang ketenagakerjaan di dan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa
Indonesia mempunyai landasan yuridis yang kuat Indonesia.2 Sebagai contoh, konsepsi
karena telah diatur secara khusus dalam KUHPerdata memandang pekerja/buruh sebagai
konstitusi. “barang” yang apabila tidak berproduksi, tidak
Di Indonesia permasalahan bidang ketenaga- akan diberi upah. Hal tersebut dinyatakan dalam
kerjaan mengandung berbagai dimensi yakni,
Pasal 1602b KUHPerdata, “Tiada upah yang
dimensi ekonomi, hukum, sosial dan politik.
harus dibayar untuk jangka waktu selama si
Dimensi ekonomi pembangunan ketenagakerjaan
buruh tidak melaksanakan pekerjaan”.
di antaranya mencakup penyediaan para tenaga
Demikian halnya dengan hak-hak lain
ahli dan terampil sesuai dengan kebutuhan
yang sepenuhnya diserahkan kepada majikan,
pasar kerja. Dari dimensi hukum, pembangunan
karena masalah perburuhan merupakan masalah
ketenagakerjaan dimaksudkan untuk mewujud-
keperdataan. Di dalam ketentuan-ketentuan
kan keadilan dan kesejahteraan bagi para pihak
tersebut sama sekali tidak terdapat campur tangan
yang terlibat dalam hubungan industrial. Untuk
pemerintah, khususnya di bidang pengupahan.
mewujudkan hal tersebut ditetapkan berbagai
Ketentuan tersebut hanya mengatur tentang
kebijakan, antara lain di bidang produksi,
hubungan kerja antara pemberi kerja (majikan)
moneter, fiskal dan upah.
dengan penerima kerja (buruh).
Indonesia sebagai bangsa yang pernah
Apabila hubungan kerja sepenuhnya diserah-
dijajah tidak terlepas dari riwayat hubungan
kan kepada para pihak (buruh dan majikan), maka
perburuhan yang sangat suram. Riwayat
tujuan Hukum Perburuhan untuk menciptakan
hubungan perburuhan di Indonesia diawali
keadilan sosial di bidang perburuhan akan sangat
dengan adanya zaman perbudakan, rodi dan
sulit tercapai. Majikan sebagai pihak yang kuat
Poenale Sanctie.1 Pada zaman tersebut telah
secara sosial dan ekonomi akan selalu menekan
terjadi jual-beli budak
buruh yang selalu berada pada posisi yang

1
Iman Soepomo, 2003, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, hlm. 14-22.
2
Lalu Husni, 2003, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 11.
544 MIMBAR HUKUM Volume 24, Nomor 3, Oktober 2012, Halaman 377 - 569

lemah. Berdasarkan hal tersebut pemerintah Agus Yudha Hernoko,6 Hukum Perdata sedang
perlu melakukan campur tangan dengan cara mencari bentuk baru melalui campur tangan
menetapkan berbagai peraturan perundang- pemerintah. Akhir-akhir ini pemerintah
undangan di bidang pengupahan. cenderung untuk memperbanyak peraturan-
Di Indonesia, khususnya dalam bidang peraturan hukum pemaksa (dwingend recht) demi
Hukum Perburuhan yang menyangkut hubungan kepentingan umum untuk melindungi
kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha, kepentingan pihak yang lemah.
pemerintah telah ikut campur tangan terhadap isi Indikator semakin banyaknya pembatasan-
perjanjian yang dibuat oleh pengusaha dengan pembatasan terhadap kebebasan individu dan
pekerja/buruh.3 Diantaranya mengenai penetapan semakin banyaknya ketentuan-ketentuan yang
upah minimum, dalam hal ini seorang pengusaha bersifat memaksa dalam tataran mikro dapat di-
dilarang untuk membayar upah kepada pekerja/ amati pada pelaksanaan hubungan kerja antara
buruh di bawah ketentuan upah minimum. pekerja/buruh dengan pengusaha. Hubungan
Campur tangan pemerintah di bidang kerja yang pada awalnya merupakan hubungan
perburuhan khususnya mengenai pengupahan kontraktual biasa yang diatur dengan mekanisme
semakin lama makin menguat, sehingga terjadi keperdataan berdasarkan asas kebebasan
perubahan di dalam sifat perjanjian kerja antara berkontrak (freedom of contract) tereduksi
pekerja/buruh dengan pengusaha. Hubungan sifat keperdataannya setelah negara melakukan
hukum antara kedua pihak yang awalnya bersifat kontrol7. Salah satu contoh konkret campur
hubungan keperdataan, kemudian bergeser tangan pemerintah tersebut dalam bidang
menjadi hubungan yang bersifat publik. pengupahan adalah ditetapkannya Peraturan
Campur tangan pemerintah tersebut secara Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang
logis akan berpengaruh terhadap dominasi Perlindungan Upah. Peraturan Pemerintah
sifat privat dalam Hukum Perburuhan. Proses tersebut pada pokoknya mengatur mengenai
pergeseran Hukum Perburuhan dari Hukum perlindungan upah secara umum yang berpangkal
Privat ke Hukum Publik dalam konteks yuridis tolak kepada fungsi upah yang harus mampu
dikenal dengan istilah ”Socialisering Process”. menjamin kelangsungan hidup bagi
Mariam Darus Badrulzaman menyebut istilah pekerja/buruh dan keluarganya.
Socialisering Process dengan istilah ”proses Campur tangan pemerintah dalam bidang
pemasyarakatan” (Vermaatschappelijking) yaitu pengupahan, dilakukan dari penetapan peraturan
proses pergeseran Hukum Perdata ke Hukum perundang-undangan, pengawasan, sampai pada
Publik karena campur tangan pemerintah di penegakan hukum. Hal ini menunjukkan komit-
dalam lapangan Hukum Perdata.4 men yang kuat dari pemerintah terhadap masalah
Menurut Pitaya, Socialisering Process
pengupahan. Pemerintah menganggap masalah
merupakan proses ikut campur tangannya
pengupahan sebagai hal yang sangat krusial
pemerintah dalam kehidupan keperdataan untuk
dalam bidang ketenagakerjaan. Berdasarkan
melindungi pihak yang lemah (pekerja).5 Menurut
hal tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk
Mariam Darus Badrulzaman sebagaimana dikutip
melakukan penelitian dengan judul: “Sociali-

3
Sutan Remy Syahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank
di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, hlm. 61.
4
Mariam Darus Badrulzaman, 1991, Perjanjian Kredit Bank, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 44-45.
5
Pitaya, “Dilematika Penetapan Upah Minimum”, Mimbar Hukum, Vol. 18, No. 2, Juni 2006, hlm. 179.
6
Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, LaksBang Mediatama, Yogyakarta,
hlm. 98.
7
R. Goenawan Oetomo, 2004, Pengantar Hukum Perburuhan & Hukum Perburuhan di Indonesia, Grhadhika Press, Depok, hlm. 24.
Saprudin, Socialisering Process Hukum Perburuhan dalam Aspek Kebijakan
Pengupahan
545

sering Process pada Hukum Perburuhan dalam Aspek Kebijakan Pengupahan”.


Berdasarkan latar belakang yang dikemu- dokumen merupakan suatu alat pengumpulan
kakan di atas, maka permasalahan dalam data yang dilakukan melalui data tertulis. Pene-
penelitian ini: (1) Bagaimana perkembangan litian ini menggunakan analisis deskriptif
Socialisering Process pada Hukum Perburuhan kualitatif. Data yang diperoleh kemudian diurai-
dalam aspek kebijakan pengupahan? dan (2) kan secara deskriptif dan dianalisis secara
Bagaimana akibat Socialisering Process terhadap kualitatif.
perlindungan hukum bagi pekerja/buruh di
bidang pengupahan? C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Perkembangan Socialisering Process
B. Metode Penelitian pada Hukum Perburuhan dalam Aspek
Penelitian ini menggunakan pendekatan Kebijakan Pengupahan
yuridis normatif, yang meliputi penelitian ter- a. Sejarah Perkembangan Hukum
hadap asas hukum, pengertian hukum dan ke- Perburuh- an di Eropa
tentuan-ketentuan hukum. Sebagai penelitian Perkembangan perburuhan di Eropa,
yang bersifat normatif, penelitian ini ditandai dengan adanya Revolusi Industri dan
menitikberatkan pada penelitian kepustakaan. Revolusi Perancis. Kedua revolusi tersebut, telah
Penelitian hukum normatif dapat dilakukan melahirkan paham individualisme. Paham
(terutama) terhadap bahan hukum primer dan tersebut diadopsi dalam Hukum Perjanjian
sekunder, sepanjang bahan-bahan tadi sebagai “asas kebebasan berkontrak”
8
mengandung kaidah- kaidah hukum. Penelitian (contractvrijheid/freedom of contract). Di bidang
tersebut bertujuan untuk mencari kaidah atau ekonomi, berkembang aliran laissez faire11 yang
norma. Penelitian hukum normatif menggunakan dipelopori oleh Adam Smith. Aliran ini
data sekunder, penelitiannya bersifat deskriptif menekankan prinsip non intervensi pemerintah
dan analisisnya bersifat kualitatif.9 terhadap kegiatan ekonomi dan bekerjanya
Bahan penelitian yang digunakan dalam pasar.12
penelitian adalah bahan kepustakaan. Bahan yang Untuk mengimbangi berkembangnya doktrin
diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya tersebut, selanjutnya berkembang teori sosial.
dinamakan data sekunder.10 Data sekunder Teori sosial bertitik-tolak pada pemikiran bahwa
mencakup bahan hukum primer, bahan hukum antara pemberi kerja dan penerima kerja ada
sekunder dan bahan hukum tersier. Di dalam ketidaksamaan kedudukan secara sosial ekonomi.
penelitian kepustakaan alat yang digunakan Penerima kerja sangat tergantung pada pemberi
untuk mengumpulkan data sekunder adalah kerja. Hukum Perburuhan memberi hak lebih
studi dokumen yaitu dengan cara mempelajari banyak kepada pihak yang lemah daripada pihak
bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Studi yang kuat.
Di Belanda, khususnya mengenai pengupah-
an, campur tangan pemerintah diawali saat
disahkannnya Undang-Undang mengenai Jamin-

8
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 13-
14.
9
Maria S.W. Soemardjono, 1997, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian Sebuah Panduan Dasar, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
hlm. 10.
10
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.cit., hlm. 12.
11
Istilah laissez faire bukan berasal dari Adam Smith. Istilah tersebut pada awalnya dikemukakan oleh Vincent de Gournay, salah saeorang
pelopor mazhab fisiokrat. Istilah lengkapnya adalah: “laissez faire, laissez passer, le monde va alors de lui meme”. Secara harfiah berarti:
“Biarkanlah berbuat, biarkanlah berlalu, dunia akan tetap berputar”. Semboyan kemudian dimaknai: “Biarkanlah orang bebuat seperti
yang mereka sukai tanpa campur tangan pemerintah”. Pemerintah hendaknya tidak memperluas campur tangannya dalam perekenomian
melebihi minimum yang benar-benar esensial untuk melindungi kehidupan, untuk mempertahankan kebebasan berkontrak. Lihat
Komaruddin, 1993, Pengantar Kebijaksanaan Ekonomi, Bumi Aksara, Jakarta, hlm. 23.
12
Peter Gilies, 1993, Business Law, The Federation Press, Sydney, hlm. 117.
546 MIMBAR HUKUM Volume 24, Nomor 3, Oktober 2012, Halaman 377 - 569

an Sosial yakni Undang-Undang Kecelakaan Berbeda dengan di Perancis, peraturan


(Ongevallenwet) dan Undang-Undang Sakit mengenai hubungan kerja tidak dimasukkan di
(Ziektewet). Undang-Undang Kecelakaan dalam Code Civil, tetapi di dalam Kitab Undang-
(Ongevallenwet) disahkan pertama kali pada Undang tersendiri yakni Code du Travail.
tahun 1901 dan berlaku bagi pekerja di bidang Berdasarkan hal tersebut, Hukum Perburuhan
industri. Tahun 1912, undang-undang tersebut di Belanda pada awalnya merupakan bagian
diganti dengan Undang-Undang Kecelakaan yang dari Hukum Privat karena pengaturan mengenai
baru, yang berlaku untuk semua perusahaan, Perjanjian Kerja (Arbeidsovereenkomsten) diatur
kecuali di bidang pertanian. dalam BW.
Berkaitan dengan pengupahan hal yang b. Sejarah Hukum Perburuhan di Indonesia
penting adalah disahkannya Undang-Undang Sejarah Hukum Perburuhan di Indonesia
mengenai Persetujuan Kerja Kolektif (de Wet op menurut Iman Soepomo dibagi ke dalam 3 (tiga)
de Collectieve Arbeidsovereenkomst) tahun 1927, periode, yakni Perburuhan Zaman Perbudakan,
dan Undang-Undang mengenai Pembentukan Pekerjaan Rodi dan Poenale Sanctie.
Upah (Wet op de Loonvorming) tahun 1970. 1) zaman Perbudakan
Persetujuan Kerja Kolektif atau di dalam sistem Perbudakan merupakan hubungan kerja
Hukum Perburuhan Indonesia dikenal dengan yang pernah terjadi dalam sejarah bangsa
istilah Perjanjian Kerja Bersama, dapat dikatakan Indonesia. Perbudakan mempunyai dua
menempati kedudukan yang sangat sentral dalam unsur yaitu unsur pemberi kerja dan
Hukum Perburuhan. penerima kerja.14 Perbudakan adalah suatu
Perjanjian Kerja Kolektif mengatur peristiwa di mana seseorang yang disebut
mengenai syarat-syarat kerja, diantaranya budak melakukan pekerjaan di bawah
mengenai upah. Selain itu, Perjanjian Kerja pimpinan orang lain dan mereka tidak
Kolektif sudah mulai merefleksikan usaha untuk mempunyai hak apapun termasuk hak atas
menyeimbangkan kedudukan buruh dan majikan. penghidupannya.15 Pemeliharaan para budak
Oleh karena, majikan tidak dapat lagi secara bukan kewajiban pemilik budak, karena baik
sepihak untuk mendikte persyaratan kerja kepada sosiologis maupun yuridis tidak ada aturan
buruh, tetapi harus terlebih dahulu dirundingkan yang mengatur mengenai hal tersebut.16
untuk diper- oleh kesepakatan dengan serikat 2) Pekerjaan Rodi
buruh. Rodi merupakan kerja paksa yang
Usaha untuk memberikan perlindungan dilakukan oleh rakyat untuk kepentingan
hukum kepada buruh, dengan sendirinya telah pihak penguasa atau pihak lain dengan
mendorong pemerintah untuk lebih banyak tanpa pemberian upah dan dilakukan di
campur tangan dalam lapangan Hukum Per- luar batas kemanusiaan.17 Kompeni pandai
buruhan. Hal tersebut membawa Hukum menggunakan rodi untuk kepentingannya
Perburuhan ke arah Hukum Publik. Menurut N.E sendiri, sebagai contoh kerja rodi yang
Algra,13 di Belanda untuk ke depannya Hukum terjadi pada zaman Hendrik Willem
Perburuhan akan diarahkan sebagai suatu sistem Daendels (1807- 1811), yakni kerja paksa
tersendiri, dalam artian bukan bagian Hukum membuat jalan raya dari Anyer sampai
Kekayaan. Banyuwangi.

13
N.E. Algra end K. Van Duyvendijk, Rechtssaanvang, sebagaimana telah diterjemahkan oleh J.C.T. Simorangkir, 1983, Mula Hukum,
Binacipta, Bandung, hlm. 267.
14
Maimun, 2004, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 1.
15
Lalu Husni, Op.cit., hlm. 1.
16
Iman Soepomo, Op.cit., hlm. 14.
17
Lalu Husni, Op.cit., hlm. 3.
Saprudin, Socialisering Process Hukum Perburuhan dalam Aspek Kebijakan
Pengupahan
547
3) Poenale Sanctie menyatakan, “majikan diwajibkan membayar
Poenale Sanctie merupakan hukuman upah kepada buruh, pada waktu yang telah
yang diberikan kepada buruh karena ditentukan”. Dari ketentuan tersebut, secara
meninggalkan atau menolak melakukan garis besar KUHPerdata sudah berusaha
pekerjaan tanpa alasan yang dapat diterima memberikan rambu-rambu mengenai
dengan pidana denda antara Rp. 16,00 (enam perlindungan hukum terhadap buruh di
belas rupiah) hingga Rp. 25,00 (dua puluh bidang pengupahan. Artinya, apabila terjadi
lima rupiah) atau dengan kerja paksa selama hubungan kerja antara majikan dan buruh,
7 (tujuh) hari hingga 12 (dua belas) hari.18 maka majikan diwajibkan untuk membayar
Dari beberapa fase perkembangan sejarah upah kepada buruh. Mengenai bentuk dan
perburuhan di Indonesia sebagaimana yang besarnya upah yang diberikan kepada buruh
dikemukakan oleh Iman Soepomo di atas, ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan
pada kenyataannya belum menunjukkan majikan atau dalam peraturan perburuhan.
adanya keseimbangan kedudukan diantara Peraturan mengenai upah yang diatur
buruh dan majikan. Artinya, kedudukan dalam KUHPerdata seperti tersebut di
buruh tidak dipandang sebagai subjek atas, masih belum menunjukkan adanya
melainkan hanya sebagai objek belaka yang keseimbangan diantara majikan sebagai
tidak menghormati atau menjunjung harkat pemberi kerja dengan buruh selaku
dan martabat buruh sebagai manusia. penerima kerja. Hal tersebut terjadi karena
Kondisi ini dikarenakan pada waktu itu mengenai masalah pengupahan, pemerintah
terutama di Indonesia masih dalam suasana masih belum melakukan campur tangan.
penjajahan. Oleh karenanya, segala sesuatu Ketentuan mengenai upah yang diatur dalam
yang berhubungan dengan perburuhan KUHPerdata merupakan bagian dari Hukum
tunduk sepenuhnya pada politik hukum Privat. Pemerintah tidak melakukan campur
kolonial. tangan terhadap hubungan kerja antara
c. Perkembangan Socialisering Process di buruh dan majikan mengenai pengupahan.
Bidang Pengupahan Hubungan kerja antara buruh dan majikan
1) Sebelum Kemerdekaan dianggap sebagai hubungan yang bersifat
Di zaman sebelum kemerdekaan, pada keperdataan.
awalnya belum ada peraturan perundang- 2) Sesudah Kemerdekaan
undangan mengenai hubungan kerja yang (a) Era Orde Lama
lengkap dan umum isinya serta berlaku bagi Pada awal kemerdekaan di bidang
semua buruh dari semua warga negara di Perburuhan khususnya mengenai jaminan
seluruh perusahaan. Sebagai contoh, bagi sosial, untuk pertama kalinya pada tahun
golongan pribumi mengenai hubungan kerja 1947 diundangkan Undang-Undang Nomor
sepenuhnya diatur oleh Hukum Adat. Selain 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan
itu, berlaku juga apabila buruh Indonesia (selanjutnya disingkat UUK). Pada intinya
bekerja pada majikan golongan warga negara UUK dibuat untuk melindungi buruh yang
keturunan Eropa, yaitu dalam hubungan mendapat kecelakaan pada saat melakukan
kerja antar golongan. kerja dalam hubungan kerja dengan majikan.
Pada tahun 1926, mulai berlaku pada 1 Meskipun pada pokoknya UUK mengatur
Januari 1927 bagi golongan Eropa dibuat mengenai kecelakaan kerja, akan tetapi
peraturan baru, yaitu Buku III titel VIIA, undang- undang tersebut juga mengatur
Burgerlijk Wetboek. Pasal 1602 KUHPerdata mengenai
18
Maimun, Op.cit., hlm. 3.
548 MIMBAR HUKUM Volume 24, Nomor 3, Oktober 2012, Halaman 377 - 569

upah. Sehingga, dapat dikatakan UUK Nomor 80 Tahun 1957 tentang Persetujuan
merupakan undang-undang pertama setelah Konvensi ILO No. 100 mengenai
kemerdekaan yang mengatur mengenai upah. Pengupahan bagi Laki-laki dan Wanita untuk
Artinya, pada saat itu pemerintah sudah Pekerjaan yang Sama Nilainya.
mulai memperhatikan mengenai masalah Diratifikasinya konvensi ILO tersebut dapat
pengupahan. dikatakan sebagai tonggak sejarah
Selanjutnya, pemerintah semakin perkembangan Hukum Perburuhan di
banyak membuat peraturan perundang- Indonesia khususnya di bidang pengupahan.
undangan di bidang perburuhan. Undang-Undang Nomor 80 Tahun 1957
Diantaranya, yang berkaitan dengan bertujuan untuk menghapus diskriminasi
pengupahan ialah Undang-Undang Nomor upah berdasarkan jenis kelamin terhadap
80 Tahun 1957 tentang Persetujuan Konvensi pekerjaan yang sama. Artinya, di dalam
ILO No. 100 mengenai Pengupahan bagi Undang-undang tersebut terkandung asas
Laki-laki dan Wanita untuk Pekerjaan yang “upah yang sama untuk pekerjaan yang sama
Sama Nilainya. Semakin banyaknya (equal pay for equal work)” antara buruh
peraturan perundang- undangan yang dibuat laki- laki dan buruh perempuan. Asas
oleh pemerintah di bidang perburuhan, tersebut akan dilaksanakan dengan undang-
dengan sendirinya telah membatasi luas undang atau Peraturan Nasional; oleh badan
lapangan Hukum Privat dalam Hukum penetapan upah yang didirikan menurut
Perburuhan. Lambat-laun, dominasi Hukum peraturan yang berlaku; melalui perjanjian
Publik semakin besar dalam Hukum perburuhan atau dengan menggabungkan
Perburuhan. Hal tersebut secara logis akan cara-cara tersebut di atas. Berdasarkan hal
membawa pengaruh terhadap semakin tersebut, pada masa pemerintahan Orde
banyaknya aturan dalam KUHPerdata Lama tidak begitu banyak campur tangan di
mengenai hubungan kerja yang akan dihapus bidang pengupahan. Artinya, mengenai upah
dengan ketentuan peraturan perundang- masih diserahkan kepada buruh dan majikan
undangan yang dibuat oleh pemerintah. berdasarkan peraturan yang masih berlaku,
Sebagai contoh, diundangkannya Undang- yakni KUHPerdata.
Undang Nomor 12 tahun 1964 Pemutusan b) Era Orde Baru
Hubungan Kerja (PHK) di Perusahaan Pada 19 Nopember 1969 diundangkan
Swasta, dengan sendirinya telah menghapus Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 ten-
ketentuan mengenai Regeling Ontslagrecht tang Ketentuan-Ketentuan Pokok mengenai
voor bjpaalde neit Europese (Staatsblad Tenaga Kerja (selanjutnya disingkat UUTK).
1941 No. Pada saat itu, UUTK dianggap sebagai
396) dan peraturan-peraturan lain mengenai undang-undang pokok di bidang perburuhan.
PHK seperti tersebut di dalam KUHPerdata Oleh karena itu, UUTK hanya mengatur hal-
Pasal 1601 sampai dengan 1603. hal yang bersifat pokok untuk selanjutnya
Dari beberapa ketentuan peraturan per- diatur lebih lanjut dalam peraturan
undang-undangan tersebut, peraturan yang perundang- undangan lainnya. Sesuai dengan
secara khusus berkaitan dengan masalah judulnya, UUTK memperkenalkan istilah
pengupahan hanyalah Undang-Undang
baru yakni “tenaga kerja”.19 Oleh karena, di
dalam UUK

19
Bandingkan dengan UU Kecelakaan 1947 jo. UU Kecelakaan 1951, dalam UU tersebut dijelaskan mengenai pengertian majikan dan
buruh, sedangkan di dalam UUK 1948 jo. UUK 1951 yang dikatakan sebagai UU Pokok Kerja tidak mengatur mengenai pengertian
tersebut. Seharusnya, sebagai UU Pokok harus dijelaskan mengenai pengertian-pengertian tersebut di atas, karena hal tersebut
merupakan substansi yang akan diatur oleh UU tersebut. Dinyatakan dalam Pasal 1 bahwa tenaga kerja adalah tiap orang yang mampu
melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa. Bandingkan dengan Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketanagakerjaan, dalam undang-undang tersebut secara jelas membedakan mengenai pengertian
pekerja dengan tenaga kerja.
Saprudin, Socialisering Process Hukum Perburuhan dalam Aspek Kebijakan
Pengupahan
549

1948 jo. UUK 1951 tidak dikenal istilah alinea 5, 1968 alinea 3 dan 1971 sepanjang
tersebut. Pada intinya UUTK hanya yang menyangkut mengenai upah. Selain
mengatur mengenai tenaga kerja. itu, ada pasal yang mengatur mengenai upah
Selanjutnya, dapat disimpulkan setiap yang masih berlaku yaitu Pasal 1601q dan
undang-undang pokok mengenai perburuhan Pasal 1602e.20 Dinyatakan tidak berlakunya
yang dibuat oleh pemerintah baik pada masa sebagian pasal-pasal dalam KUHPerdata
Orde Lama maupun Orde Baru secara yang mengatur mengenai upah oleh PP No. 8
substansi belum menggambarkan mengenai Tahun 1981, dapat dikatakan mengenai upah
kompleksitasnya masalah yang akan diatur setelah adanya PP tersebut sudah tidak lagi
oleh undang-undang tersebut. bersifat Hukum Privat.
Selanjutnya, untuk melaksanakan ke- Pergeseran tersebut dapat dilihat melalui
tentuan UU No. 80 Tahun 1957 disahkan adanya sanksi pidana yang dinyatakan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 PP tersebut. Ancaman tersebut diantaranya
mengenai Perlindungan Upah. Setelah apabila pengusaha melakukan diskriminasi
kurang lebih 24 (dua puluh empat) tahun terhadap pembayaran upah untuk buruh laki-
setelah meratifikasi Konvensi ILO Nomor laki dan buruh wanita. Pengusaha
100, Indonesia baru melaksanakan ketentuan yang melakukan diskriminasi tersebut akan
Konvensi ILO tersebut dalam peraturan diancam dengan pidana kurungan selama-
perundang-undangan, itu pun hanya sebatas lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-
dalam Peraturan Pemerintah. Hal tersebut tingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah).
merupakan cerminan kegamangan peme- Ketentuan yang diatur dalam PP No.
rintah dalam mengatur masalah perburuhan 8 Tahun 1981 telah memiliki sifat Hukum
khususnya mengenai upah. Kondisi tersebut Publik. Oleh karena itu, sejak ditetapkannya
tidak terlepas dari diundangkannya Undang- PP tersebut, mengenai masalah upah telah
Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang terjadi dinamika, yaitu pergeseran dari
Penanaman Modal Dalam Negeri. Artinya, Hukum Privat kepada Hukum Publik. Arti-
di satu sisi pemerintah dihadapkan mengenai nya, mengenai upah tidak lagi dianggap
masalah penanaman modal, tetapi di sisi lain sebagai hubungan yang bersifat privat antara
pemerintah juga dituntut untuk memperbaiki buruh dan majikan. Akan tetapi, hubungan
kondisi nasib kaum buruh. kerja antara buruh dan majikan sudah
Dasar pertimbangan disahkannya PP
dianggap sebagai bagian dari kepentingan
No. 8 Tahun 1981 ialah karena sistem
umum, sehingga pemerintah merasa perlu
pengupahan yang berlaku pada saat itu tidak
ikut campur tangan di bidang pengupahan.
sesuai lagi dengan perkembangan keadaan.
(c) Era Reformasi
Oleh karena itu, ketentuan-ketentuan dalam
Undang-Undang Ketenagakerjaan No-
KUHPerdata mengenai upah sejauh telah
mor 25 Tahun 1997 yang diundangkan
diatur oleh PP No. 8 Tahun 1981 dinyatakan pada tanggal 3 Oktober 1997 dinyatakan
tidak berlaku. Pasal-pasal tersebut antara
berlakunya pada tanggal 3 Oktober 1998.
lain: Pasal 1601p, Pasal 1601q, Pasal 1601s,
Sepanjang perjalanan sejarah Hukum
Pasal 1601t, Pasal 1601u, Pasal 1601v, Pasal
Perburuhan inilah satu-satu undang-undang
1602, Pasal 1602a sampai dengan Pasal
di bidang perburuhan yang dibuat dan untuk
1602v

20
Hari Supriyanto, 2004, Perubahan Hukum Privat ke Hukum Publik Studi Hukum Perburuhan di Indonesia, Universitas Atma Jaya,
Yogyakarta, hlm. 64.
550 MIMBAR HUKUM Volume 24, Nomor 3, Oktober 2012, Halaman 377 - 569

diberlakukan pada masa yang berbeda. I)” diubah menjadi “Upah Minimum
Artinya, UUK 1997 merupakan produk Provinsi”, istilah “Upah Minimum
dari Orde Baru, akan tetapi keberlakuannya Regional Tingkat II (UMR Tk. II)”
tepat di awal masa reformasi. UUK diubah menjadi “Upah Minimum
Kabupaten/ Kota”, istilah Upah
1997 masih belum jelas mengenai waktu
Minimum Sektoral Regional Tingkat I
pemberlakuannya, pada tahun 1999 peme- (UMSR Tk. I) dibuah menjadi “Upah
rintah menetapkan Peraturan Menteri Tenaga Minimum Sektoral Provinsi”, istilah
Kerja Nomor 01 Tahun 1999 tentang Upah Upah Minimum Sektoral Regional
Regional Tingkat II (UMSR Tk. II)
Minimum. Permenaker tersebut merupa-
diubah menjadi “Upah minimum
kan penyempurnaan peraturan sebelumnya Sektoral Kabupaten/Kota”.
mengenai upah minimum. Peraturan- (2) Pejabat yang berwenang menetapkan
peraturan tersebut diantaranya Permenaker besarnya upah minimum, semula
No. 05/MEN/1989 tentang Upah Minimum, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
diubah menjadi Gubernur.
Permenaker Nomor 1 Tahun 1990 tentang
Campur tangan pemerintah di bidang
Perubahan Peraturan Menteri Tenaga Kerja
pengupahan mengenai kebijakan upah
Nomor: PER-05/MEN/1989, Peraturan
minimum dengan ditetapkannya Permenaker
Menteri Tenaga Kerja No. Per-
Nomor 1 Tahun 1999 jo. Kepmenakertrans
03/MEN/1997 tentang Upah Minimum
Nomor 226 Tahun 2000 telah membawa
Regional.
pergeseran yang lebih jauh mengenai sifat
Pada era otonomi daerah, sebagai tindak
privat dari Hukum Perburuhan mengenai
lanjut dari lahirnya Undang-Undang Nomor
upah. Dominasi Hukum Publik semakin
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
kuat, oleh karena pemerintah telah
Daerah,21 maka dikeluarkan Peraturan
menetapkan kebijakan mengenai upah
Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
minimum. Pengusaha dilarang untuk
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
memberikan upah kepada buruh di bawah
Provinsi sebagai Daerah Otonom.22 Untuk
ketentuan upah minimum. Aturan tersebut
memperlancar kewenangan tersebut, ditetap-
bisa saja untuk disimpangi, dalam artian
kan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
pemerintah telah mengatur mengenai
Transmigrasi Nomor 226 Tahun 2000
penangguhan pelaksanaan upah minimum
tentang Perubahan Pasal 1, Pasal 3, Pasal 4,
yang diatur dalam ketentuan Keputusan
Pasal 8, Pasal 11, Pasal 20 dan Pasal 21
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 1
Nomor: KEP.231/ MEN/2003 tentang Tata
Tahun 1999 tentang Upah Minimum.
Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah
Terhadap peraturan tersebut di atas,
Minimum.
lebih lanjut ditegaskan oleh Pitaya, bahwa
Pada tanggal 25 Maret 2003, diundang-
beberapa hal yang diubah melalui
kan Undang-Undang Nomor 13 Tahun
Kepmenakertrans tersebut sebagai berikut:23
(1) Penulisan dan penyebutan istilah: “Upah 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya
Minimum Regional Tingkat I (UMR Tk. disingkat UUK 2003). Di bidang pengupah-
an, UUK 2003 mengaturnya dalam ketentuan

21
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Berdasarkan Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1) huruf h UU Nomor 32 Tahun 2004 jo Pasal 7 ayat (2) PP Nomor 38 Tahun 2007,
telah menetapkan kewenangan di bidang ketenagakerjaan kepada pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan sampai kepada pengendalian.
22
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2005 dinyatakan tidak berlaku oleh Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
Berdasarkan Pasal 7 ayat (2) PP tersebut, mengenai Ketenagakerjaan merupakan Kewenangan Pemerintahan Daerah.
23
Pitaya, Op.cit., hlm. 180.
Saprudin, Socialisering Process Hukum Perburuhan dalam Aspek Kebijakan
Pengupahan
551
Bab X (sepuluh), bagian kedua, Pasal 88 dikategorikan sebagai buruh dalam undang-
sampai dengan Pasal 98. Dari ketentuan undang tersebut akan dijamin oleh undang-
beberapa pasal yang mengatur mengenai undang untuk mendapatkan upah dalam hubung-
pengupahan tersebut, diantaranya mengatur an kerjanya dengan majikan. Selain itu, UUK
mengenai kebijakan pengupahan. Dari 1947 juga memberikan jaminan terhadap
ketentuan tersebut di atas, secara makro dibayarnya upah apabila buruh tidak mampu
pemerintah sudah menetapkan mengenai bekerja karena terjadinya kecelakaan kerja. Hal
kebijakan pengupahan. Dari kebijakan tersebut merupakan salah bentuk dari
pengupahan tersebut, terlihat begitu besar pengecualian asas “no work no pay”.
campur tangan pemerintah di bidang Perlindungan hukum terhadap pekerja/
pengupahan. Dapat dikatakan, mengenai buruh selayaknya lebih dikonkretkan di dalam
pengupahan hampir secara keseluruhan PP Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan
sudah diatur oleh pemerintah. Semakin Upah. Salah satu bentuk perlindungan hukum
besarnya campur tangan pemerintah di terhadap pekerja/buruh di dalam PP tersebut ialah
bidang pengupahan, mengakibatkan Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh
mengenai pengupahan hampir secara mengadakan diskriminasi antara buruh laki-laki
keseluruhan sudah dikuasai oleh Hukum dan buruh wanita untuk pekerjaan yang sama
Publik. nilainya. Hal tersebut merupakan perwujudan
pelaksanaan ketentuan Undang-Undang Nomor
2. Akibat Socialisering Process terhadap 80 Tahun 1957. Pemerintah semakin memberikan
Perlindungan Hukum bagi Pekerja/Buruh Perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh,
di Bidang Pengupahan khususnya mengenai upah minimum. Pemerintah
Kebijakan di bidang ketenagakerjaan, telah menetapkan Permenaker Nomor 1 Tahun
khususnya mengenai pengupahan erat kaitannya 1999 jo. Kepmenakertrans Nomor 226 Tahun
dengan masalah perlindungan bagi pekerja/buruh 2000 tentang upah minimum. Melalui aturan
(Arbeidsbescherming). Menurut Iman Soepomo tersebut pemerintah melarang kepada pengusaha
sebagaimana dikutip Lalu Husni,24 salah satu untuk membayar upah di bawah ketentuan upah
bentuk perlindungan terhadap pekerja/buruh ada- minimum. Artinya, kebijakan mengenai upah
lah perlindungan ekonomi, yaitu pekerja/buruh minimum dapat dijadikan sebagai jaring
diberikan perlindungan terhadap penghasilan pengaman (safety net) bagi pekerja/buruh.
yang cukup, termasuk bila pekerja/buruh tidak Perlindungan hukum bagi pekerja/buruh di
melakukan pekerjaan di luar kehendaknya. Per- bidang pengupahan dituangkan di dalam Undang-
wujudan perlindungan hukum terhadap pekerja/ Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
buruh tersebut dapat dianalisis dari sejarah Ketenagakerjaan. Di dalam undang-undang
perkembangan peraturan perundang-undangan di tersebut, pemerintah secara tegas mengatur
bidang Hukum Perburuhan yang berkaitan mengenai kebijakan pengupahan.
dengan masalah pengupahan. Dari masa Orde Berdasarkan uraian tersebut, campur tangan
Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi dapat pemerintah di bidang Hukum Perburuhan
dilihat semakin besarnya campur tangan khususnya mengenai pengupahan dari satu
pemerintah di bidang pengupahan. periode ke periode berikutnya mengalami
Pada awal Orde Lama, perlindungan hukum peningkatan. Peningkatan dalam arti cakupan
terhadap pekerja/buruh sudah mulai dilakukan materi peraturan perundang-undangan mengenai
dalam UUK 1947. Artinya, orang-orang yang perlindungan upah semakin luas. Hal tersebut

24
Zainal Asikin, et al., 2004, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 97.
552 MIMBAR HUKUM Volume 24, Nomor 3, Oktober 2012, Halaman 377 - 569

dilakukan untuk memberikan perlindungan peran pemerintah di bidang pengupahan semakin


hukum kepada para pihak yang terlibat di besar melalui ditetapkannya Peraturan
dalam hubungan industrial. Semakin banyaknya Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang
pemerintah memerankan diri kepada fungsi Perlindungan Upah. Pada era reformasi
legislasi di bidang Hukum Perburuhan dengan pemerintah semakin mem- batasi ketentuan-
sendirinya telah membawa pergeseran sifat ketentuan yang bersifat Hukum Privat di bidang
Hukum perburuhan. Pada saat ini, Hukum pengupahan melalui ditetap- kannya Peraturan
Perburuhan khususnya di bidang pengupahan Menteri Tenaga Kerja Nomor 1 Tahun 1999 jo.
sudah semakin banyak dikuasai oleh ketentuan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Hukum Publik. Transmigrasi Nomor 226 Tahun 2000 tentang
Upah Minimum. Setelah itu, pemerintah secara
D. Kesimpulan tegas di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun
Campur tangan pemerintah di bidang 2003 tentang Ketenagakerjaan menetapkan
pengupahan sudah diawali pada periode mengenai kebijakan pengupahan. Akibat
Orde Lama yakni pada saat diundangkannya Socialisering Process ialah dari setiap periodisasi
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1947 tentang pemerintah telah menetapkan peraturan per-
Kecelakaan. Undang-undang tersebut substansi- undang-undangan tentang perlindungan hukum
nya mengenai Kecelakaan Kerja, akan tetapi juga bagi pekerja/buruh. Atau dengan kata lain, di
diatur mengenai ketentuan upah. Pemerintah setiap periodisasi tersebut telah terjadi pening-
pada saat itu telah mengatur mengenai ketentuan katan perlindungan hukum bagi pekerja/buruh di
upah dikaitkan dengan ganti rugi akibat bidang pengupahan. Cakupan materi peraturan
kecelakaan kerja di dalam hubungan kerja. Di era perundang-undangan mengenai perlindungan
Orde Lama, upah semakin luas.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Oetomo, R. Goenawan, 2004, Pengantar Hukum


Asikin, Zainal, et al., 2004, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan & Hukum Perburuhan di Indo-
Perburuhan, RajaGrafindo Persada, Jakarta. nesia, Grhadhika Press, Depok.
Badrulzaman, Mariam Darus, 1991, Perjanjian Soemardjono, Maria S.W, 1997, Pedoman
Kredit Bank, Citra Aditya Bakti, Bandung. Pembuatan Usulan Penelitian Sebuah
Gilies, Peter, 1993. Business Law, The Federation Panduan Dasar, Gramedia Pustaka Utama,
Press, Sydney. Jakarta.
Hernoko, Agus Yudha, 2008, Hukum Perjanjian Soekanto, Soerjono, 2005, Pengantar Penelitian
Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Hukum, UI Press, Jakarta.
Komer- sial, LaksBang Mediatama, Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamudji, 2006,
Yogyakarta. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Husni, Lalu, 2003, Pengantar Hukum Ketenaga- Singkat, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
kerjaan, RajaGrafindo Persada, Jakarta. Soepomo, Iman, 2003, Pengantar Hukum Per-
Khakim, Abdul, 2003, Seri Hukum Perburuhan buruhan, Djambatan, Jakarta.
Aspek Hukum Pengupahan Berdasarkan UU Supriyanto, Hari, 2004, Perubahan Hukum
Nomor 13 Tahun 2003, Citra Aditya Bakti, Privat ke Hukum Publik Studi Hukum
Bandung. Perburuhan di Indonesia, Universitas Atma
Maimun, 2004, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Jaya, Yogya- karta.
Pengantar, Pradnya Paramita, Jakarta.
Saprudin, Socialisering Process Hukum Perburuhan dalam Aspek Kebijakan
Pengupahan
553
B. Artikel Jurnal Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 1 Tahun
Pitaya, “Dilematika Penetapan Upah Minimum”, 1999 tentang Upah Minimum.
Mimbar Hukum, Vol. 18, No. 2, Juni 2006. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmi-
grasi RI Nomor 226 Tahun 2000 tentang
C. Peraturan Perundang-undangan Perubahan Pasal 1, Pasal 3, Pasal 4, Pasal
Undang-Undang Dasar 1945. 8, Pasal 11, Pasal 20 dan Pasal 21 Peraturan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Menteri Tenaga Kerja Nomor 1 Tahun 1999
(Burgerlijk Wetboek). tentang Upah Minimum.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmi-
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara grasi RI Nomor: KEP.231/MEN/2003
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39). tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 Upah Minimum.
tentang Perlindungan Upah.

Anda mungkin juga menyukai