Anda di halaman 1dari 3

Optimalisasi Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja Tidak Terdidik dan Tidak

Terampil dalam Hubungan Kerja Perspektif Hukum Ketenagakerjaan Indonesia

Perlindungan hukum bagi tenaga kerja merupakan hal yang mutlak dan penting dalam
konteks perspektif hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Secara yuridis hal ini dijamin oleh
konstitusi berdasarkan ketentuan konstitusi, khususnya terkait dengan pengupahan untuk
memenuhi penghidupan yang layak bagi pekerja, baik pekerja terdidik, pekerja terampil, maupun
pekerja tidak terdidik dan tidak terampil. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 atau UUD 1945 Pasal 27 ayat (2) menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia
(Warga Negara Indonesia atau WNI) berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.

Tenaga kerja merupakan salah satu unsur dalam proses produksi, dan tenaga kerja terdiri
dari semua orang yang bekerja untuk mencari keuntungan, baik sebagai karyawan, pemberi
kerja, atau sebagai pengusaha, dan termasuk orang yang menganggur yang sedang mencari
pekerjaan (Brown & Brown, 2021). Jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Februari 2021
mencapai 139,81 juta orang, meningkat 2,61 juta orang dari Agustus 2020, dan sebanyak 78,14
juta orang (59,62 persen). sisi lain, perkembangan pasar tenaga kerja dalam beberapa tahun
terakhir telah mengubah permintaan akan tenaga kerja. Indikasi perkembangan pasar tenaga
kerja saat ini adalah banyak pengusaha cenderung mencari tenaga kerja yang dapat beradaptasi,
dengan kompetensi yang lebih transversal dan relasional, sifat keterampilan yang diperlukan
untuk dianggap efisien di tempat kerja telah berkembang sedemikian rupa. Implikasi dari situasi
ini bagi pekerja yang tidak terdidik dan tidak terampil adalah mereka lebih berisiko menjadi
pengangguran karena profil mereka tidak sesuai dengan karakteristik pekerjaan yang dibutuhkan
sehingga mereka cenderung terancam karena perubahan teknis yang mengarah pada
keterampilan.

Masalah ketenagakerjaan di Indonesia mencakup berbagai aspek, baik mengenai


pengangguran, kualitas, pengupahan, jaminan sosial, masalah tenaga kerja Indonesia (Tenaga
Kerja Indonesia atau TKI) di luar negeri, dan lain-lain (Setiawan, 2006). Menurut Wicaksono dan
Tim CNN (2021) bahwa permasalahan tenaga outsourcing sebelum berlakunya Undang-Undang
Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 atau UUCK No 11 Tahun 2020 sering mendapatkan upah di
bawah standar minimum regional dan tidak mendapatkan fasilitas kesehatan yang memadai, dan
pemutusan hubungan kerja (PHK). pemerintah dan regulator di Indonesia, khususnya dalam
konteks perlindungan hukum. Setiap pekerja berhak memperoleh penghasilan yang layak bagi
kemanusiaan, dan untuk mewujudkan penghasilan yang layak, pemerintah menetapkan
perlindungan dengan pengupahan bagi pekerja melalui penetapan upah minimum berdasarkan
kebutuhan yang layak, dan pengaturan itu ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara
pengusaha dan pekerja. Inilah pentingnya penelitian ini karena penelitian tentang masalah
perlindungan hukum bagi tenaga kerja yang tidak terdidik dan tidak terampil masih sangat
terbatas oleh peneliti. Penelitian ini berjudul: “Optimalisasi Perlindungan Hukum Bagi Tenaga
Kerja Tidak Terdidik dan Tidak Terampil Dalam Hubungan Kerja Perspektif Hukum
Ketenagakerjaan Indonesia”.
Hubungan Kerja

Hubungan kerja yang dimaksud dalam undang-undang ketenagakerjaan adalah hubungan


antara pengusaha dengan pekerja, sedangkan pengusaha yang dimaksud dalam undang-undang
adalah orang yang menjalankan perusahaan (Hamid, 2019). Saat ini, persoalan peraturan
ketenagakerjaan menimbulkan pertanyaan tentang hubungan antara analisis ekonomi dan
lingkungan hukum nasional. Pasal 1 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021 tentang
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Outsourcing, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, serta Pemutusan
Hubungan Kerja (PP No. 35/2021). Dalam PP No.35 Tahun 2021 yang dimaksud dengan hubungan
kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja,
yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. upah memiliki arti yang sangat penting
bagi pekerja/buruh, pengusaha, pemerintah, dan masyarakat pada umumnya, kaidah hukum
positif dalam analisis hubungan kerja (pandangan positif) dari perspektif hukum ketenagakerjaan
dimana hukum ketenagakerjaan dibentuk oleh budaya yuridis, khusus pada tradisi hukum
nasional tertentu, kerja yang terbentuk dalam sistem nasional yang berbeda dan yang
mencerminkan variasi dalam kondisi ekonomi dan hukum. Sedangkan dari segi hukum, hubungan
kerja didasarkan pada suatu kontrak dan sejumlah kesepakatan antara para pihak, pengusaha
dan pekerja dengan kewajiban saling bekerja dan membayar hasil pekerjaan, dan dapat dibuat
secara tertulis, atau kesepakatan lisan antara kedua belah pihak akan tetap menjadi kontrak.

Upah minimum adalah ketentuan mengenai besarnya upah minimum yang harus dibayarkan
oleh pemberi kerja kepada pekerja atas pekerjaan yang dilakukan selama waktu tertentu (Hamid
& Hasbullah, 2021). Menurut Hamid dan Hasbullah (2021), besaran upah minimum didasarkan
pada kesepakatan bersama terkait dengan persyaratan kerja dan kondisi kerja dan besarnya
sesuai dengan Upah Minimum Provinsior UMP atau kabupaten/kota. upah (Upah Minimum
Kabupaten/Kota atau UMK) yang ditetapkan oleh gubernur sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku. UU Ketenagakerjaan Indonesia UU Ketenagakerjaan
berfokus pada hubungan antara manajemen dan pekerjaan di sektor swasta, khususnya yang
berkaitan dengan undang-undang hubungan kerja/ketenagakerjaan nasional. hukum
ketenagakerjaan Indonesia diatur dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tanggal 25
Maret 2003 tentang Undang-Undang Ketenagakerjaan (Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tanggal 25 Maret 2003 tentang Ketenagakerjaanor UUK No. 13/2013), sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tanggal 2 November 2020 tentang Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tanggal 2 November 2020 tentang Cipta Kerjaor UUCK
No.11/2020), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tanggal 14 Januari 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial; dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000.
Terkait dengan undang-undang ketenagakerjaan, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah (PP) untuk melaksanakan baik UUK No.13/2003 maupun Undang-Undang
No. 11/2020.
Hukum ketenagakerjaan di Indonesia berupa bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder terkait perlindungan hukum bagi tenaga kerja yang tidak terdidik dan tidak terampil
dalam hubungan industrial. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang secara otoritatif
terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan dinas, atau risalah dalam pembuatan
peraturan perundang-undangan, Optimalisasi perlindungan hukum bagi tenaga kerja yang tidak
terdidik dan tidak terampil dalam hubungan kerja dari perspektif hukum ketenagakerjaan di
Indonesia harus dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan oleh pemerintah melalui
fungsi pengawasan. Hal ini bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi pekerja yang
tidak terdidik dan tidak terampil yang merupakan pekerja kontrak agar dapat memberikan
nafkah.

kepastian hukum, keadilan, dan manfaat bagi pekerja. Hal ini bertujuan untuk mengurangi
ketidakpatuhan pengusaha sebagai pemberi kerja dalam konteks aturan hukum yang tertuang
dalam undang-undang ketenagakerjaan yang memuat perintah atau pedoman yang sangat jelas,
baik bagi pengusaha maupun pekerja. Namun dalam implementasinya masih jauh dari upaya
pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum bagi tenaga kerja yang tidak terdidik dan
tidak terampil sebagai pekerja kontrak melalui pembuatan peraturan perundang-undangan yang
sudah cukup baik sebagaimana tercermin dalam UUCK No.11/2020, dan UUCK No. upaya
pemerintah untuk membuka kesempatan kerja di sektor infrastruktur dan konstruksi terbukti
meningkatkan elastisitas lapangan kerja. di Indonesia. Di sisi lain, upaya pemerintah untuk
memberikan perlindungan hukum bagi tenaga kerja yang tidak terdidik dan tidak terampil
sebagai pekerja kontrak cenderung minim. Hal ini merupakan tanda lemahnya fungsi
pengawasan pemerintah terhadap pengusaha yang melakukan pelanggaran terkait ketentuan
undang-undang ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia yang berdasarkan hukum perdata.
atau ancaman tindak pidana berupa sanksi pidana bagi pengusaha yang melanggar ketentuan
undang-undang ketenagakerjaan merupakan salah satu alternatif yang dapat diterapkan.
Penerapan ius punaenandi merupakan sarana kontrol sosial dalam rangka memperkuat undang-
undang, peraturan, atau bentuk lain agar dapat dipatuhi dalam kaitannya dengan hukum
perburuhan dan hukum pidana dalam sistem hukum di Indonesia. Dengan demikian, pemerintah
dan legislatif perlu melakukan penyempurnaan terhadap pasal-pasal yang sanksinya semakin
berat agar pengusaha memiliki komitmen, kemauan, dan kebijaksanaan untuk lebih melindungi
kepentingan pekerja terkait aturan hukum yang berkaitan dengan Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu (PKWT). ). Kemudian, pemerintah diharapkan dapat mengintensifkan pengembangan
sumber daya manusia, meningkatkan kompetensi dan produktivitas tenaga kerja terdidik dan
tidak terampil melalui program pendidikan dan keterampilan dengan melibatkan sejumlah
asosiasi pengusaha untuk merencanakan dan mengembangkan Sumber Daya Manusia (SDM)
siap kerja. ) sesuai revolusi industri 4.0

Anda mungkin juga menyukai