Yonas
Pipin
Omega
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pasal 1 Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan menyatakan Ayat (2)
“Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat” dan Ayat (3) “Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang
bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”.
Batas pengertian hukum ketenagakerjaan, yang dulu disebut dengan hukum
perburuhan atau arbeidrechts sama juga dalam pengertian hukum itu sendiri,
yakni masih beragam sesuai dengan sudut pandang ahli hukum. Tidak satu pun
batas pengertian itu dapat memuaskan karena masing-masing ahli hukum
memiliki alasan tersendiri.
Mereka melihat hukum ketenagakerjaan dari berbagai sudut pandang yang
berbeda. Akibatnya, pengertiannya pun tentu berbeda antara ahli hukum yang satu
dan yang lainnya.
“Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja
pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.”Maka dari itu dalam
makalah ini kan di bahas mengenai pasal-pasal dan undang-undang apasajakah
yang mengatur tentang perburuhan dan ketenaga kerjaan.
Ketenagakerjaan pada awalnya merupakan bidang yang berada dalam
ruang lingkup hukum privat. Namun karena ketenagakerjaan dianggap menjadi
bidang yang penting untuk diatur secara langsung oleh negara. Maka negara turun
tangan langsung dengan membuat regulasi yang mengatur mengenai
ketenagakerjaan. Sehingga, ketenagakerjaan tidak lagi bagian dari hukum privat
tetapi menjadi bagian dari hukum publik. Alasan lain mengapa langkah ini
dilakukan oleh negara adalah karena banyaknya kasus yang menjadikan Tenaga
Kerja Indonesia dalam maupun luar negeri menjadi korban dan kurang mendapat
perlindungan. Pembuatan regulasi yang mengatur secara khusus ketenagakerjaan
dituangkan dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
1
Masalah yang sering terangkat ke permukaan dan menjadi berita utama serta buah
bibir dimasyarakat adalah perlakuan diskriminasi. Perlakuan tidak adil antara
sesama pekerja/buruh maupun antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Dalam
Pasal 5 dan 6 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hal ini telah diatur
agar tidak adanya diskriminasi. Masalah lain yang saat ini juga sedang menjadi
bahan pembicaraan dalam ketenagakerjaan di Indonesia adalahoutsourcing.
Dimana praktek outsourcing ini menyengsarakan pekerja atau buruh dan
menyebabkan kaburnya hubungan kerja serta industrial antara pekerja dengan
pengusaha.
Sebelum terjalinnya hubungan kerja antara pekerja dan orang yang akan
mempekerjakannya terdapat proses dalam ketenagakerjaan yang harus dijalani.
Mulai dari prakerja, hubungan kerja, menjalankan pekerjaan dan pascakerja.
Dalam menjalani proses tersebut tidak akan selalu berjalan dengan mulus. Tentu
akan dijalani berbagai rintangan demi peningkatan kerja yang lebih baik. Dalam
proses tersebut juga akan lahir berbagai masalah.
Dengan berbagai masalah yang timbul dalam ketenagakerjaan baik sebelum dan
sesudah regulasi ketenagakerjaan lahir. Perlu diketahui bagaimana tingkat
penerimaan masyarakat serta pemahaman masyarakat atas lahirnya UU No. 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Selain itu juga masih perlu dipertanyakan
bagaimana tingkat perlindungan yang diberikan oleh UU Ketenagakerjaan kepada
pekerja ataupun pengusaha. Tujuan dari regulasi tersebut juga perlu di identifikasi
untuk meningkatkan pemahaman masyarakat.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Ketenagakerjaan
Ketenagakerjaan berasal dari kata tenaga kerja, yang dalam Pasal 1 angka
2 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu “Tenaga kerja adalah
setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang
dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.”
Sedangkan pengertian dari ketenagakerjaan sesuai dengan Pasal 1 angka 1 UU
No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah “Ketenagakerjaan adalah
segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama,
dan sesudah masa kerja.”
Demi meningkatkan taraf hidup maka perlu dilakukan pembangunan
diberbagai aspek. Tidak terkecuali dengan pembangunan ketenagakerjaan yang
dilakukan atas asas keterpaduan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral
pusat dan daerah. Dalam hal ini maksudnya adalah asas pembangunan
ketanagakerjaan berlandaskan asas pembangunan nasional terkhusus asas
demokrasi pancasila, asas adil, dan merata.
3
2.2 Kajian Undang-undang No.13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
4
hukum publik. Alasan lain adalah banyaknya masalah ketenagakerjaan yang
terjadi baik dalam maupun luar negeri. Salah satu contoh adalah banyak kasus
yang masuk ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) menyangkut penggunaan
tenaga kerja asing. Setiap putusan badan peradilan PHI akan menjadi evaluasi
untuk kepentingan di bidang ketenagakerjaan.
Dari ketentuan pasal tersebut terlihat jelas bahwa perjanjian kerja yang
dilakukan antara pekerja/buruh dengan pengusaha semuanya tergantung
kesepakatan kedua belah pihak. Namun dengan batasan-batasan yang disebutkan
dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Perjanjian kerja yang
dilakukan harus menunjukkan adanya kejelasan atas pekerjaan antara
pekerja/buruh dengan pengusaha. Sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam
perjanjian yang telah disepakati dan ketentuan yang tercantum dalam UU no.13
thn. 2003 maka terdapat unsur dari hubungan kerja yaitu :
5
Ketenagakerjaan yaitu “Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa
diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.” dan Pasal 6 UU No. 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yaitu “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh
perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.”
Masyarakat menerima dan memahami ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dengan berbagai masalah
yang telah terjadi sebelum lahirnya UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dan sebagian bisa teratasi setelah lahirnya regulasi tersebut.
Namun setelah lahirnya UU tersebut tidak menutup kemungkinan lahirnya
masalah baru terkait dengan ketenagakerjaan. Salah satu yang menjadi masalah
adalah masih kurangnya tingkat perlindungan terhadap pekerja/buruh dalam
hubungan kerjanya dengan pengusaha yang memperkerjakannya. Masalah
tersebut adalah outsourcing yang dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan tidak diatur secara khusus dalam penyelesaiannya.
Pemahaman masyarakat atas kurangnya perlindungan hukum terhadap
pekerja/buruh serta masih adanya celah untuk lahirnya masalah baru atas UU No.
13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Melahirkan niat dari masyarakat untuk
dilakukannya revisi atas UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Adanya
niat dari pemerintah untuk melakukan revisi atas UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Membuka pintu solusi kepada masyarakat untuk mengatasi
berbagai permasalahan telah terjadi serta sebagai langkah preventif untuk masalah
baru. Pemerintah memberikan kesempatan kepada Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) untuk melakukan kajian independen dan penyempurnaan revisi
UU Ketenagakerjaan tersebut. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh
Menakertrans Muhaimin Iskandar setelah melakukan pertemuan konsolidasi
Lembaga Kerja Sama Tripartit (LKS) Tripartit Nasional, di Jakarta, tepatnya
Senin tanggal 8 November 2010 lalu.
Dalam pertemuan tersebut dibahas pasal-pasal yang terkait dengan
outsourcing (alih daya), pengupahan, jaminan sosial dan pesangon serta dan
pelaksanan perjanjian kerja waktu tertentu. Disebutkan bahwa dalam pertemuan
tersebut adanya kesepakatan pengkajian mendalam menghenai penyempurnaan
6
dan revisi UU No. 13/2003 yang dilakukan secara komprehensif, baik itu revisi
UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan itu sendiri, ataupun terkait
dengan revisi UU No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan UU
No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Adanya wacana bahwa pada tahun 2010 lalu telah beredarnya beberapa
draft yang disebut revisi UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pada
saat itu pula Muhaimin selaku Menakertrans menegaskan bahwa draft tersebut
bukan berasal dari Kemenakertans. Maka semua pihak diharapkan tidak percaya
begitu saja dengan isi draf-draft tersebut karena akan memunculkan kekhawatiran
dan sikap saling curiga terutama diantara pekerja dan buruh. Menakertrans juga
menyebutkan bahwa pada tahun 2010 lalu pada tepatnya pada bulan November
proses penyempurnaan UU Ketenagakerjaan masih dibahas di lingkungan internal
Kemenakertrans kemudian akan dibahas lintas kementerian dan pihak lainnya.
Pada tahun 2011 ini akan dilakukan tahap pematangan. Jika materi atas revisi UU
Ketenagakerjaan tersebut sudah matang maka akan diajukan ke DPR hingga
akhirnya akan diratifikasi. Meski sampai saat ini belum terlihat adanya tanda akan
di undangkannya hasil revisi dari UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Namun langkah revisi atas UU Ketenagakerjaan adalah problem
solving atas masalah yang timbul sebelum dan setelah lahirnya regulasi tersebut.
Hal ini juga menjawab permasalahan mengapa masalah terkait ketenagakerjaan
tetap ada meski UU Ketenagakerjaan tersebut sudah lahir.
Masyarakat sudah memahami dengan jelas setiap ketentuan dari UU No.
13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pernyataan tersebut bisa dikeluarkan
karena Menakertrans yang menyebutkan setiap kalangan masyarakat terutama
kalangan pengusaha, serikat pekerja/serikat bisa memberikan sebanyak mungkin
saran, masukan dan kajian terhadap penyempurnaan dan revisi UU No. 13 tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan melalui tiga pihak yaitu, Menakertrans, LIPI dan
LKS Tripartit. Tanggapan masyarakat menunjukkan bahwa menerima dengan
baik UU tersebut ditunjukkan dengan adanya niat untuk perbaikan regulasi
tersebut. LKS Tripartit masih terbilang jarang terdengar ditelinga masyarakat
yang merupakan forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang masalah
7
ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur pemerintah, organisasi
pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh. Konsolidasi tersebut dilakukan
dengan LKS Tripartit demi memperkuat peranannya dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh, menarik investasi dan penciptaan industri yang lebih
bagus.
Banyak pendapat yang menyatakan bahwa UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan melanggar konstitusi dan ada pula yang berpendapat
sebaliknya. Dewasa ini masih menjadi perdebatan mengenai hal tersebut,
mungkin tak akan ada jawaban seragam mengenai pernyataan. Tapi yang pasti
fakta menunjukkan banyak pasal dari undang-undang itu yang “dirontokkan”
Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Tercatat sampai saat ini ada tujuh kali pengujian UU Ketenagakerjaan yang
semuanya diajukan oleh buruh atau serikat buruh. Hanya satu pengujian yang
ditolak MK. Selebihnya diterima MK dengan menyatakan pasal tertentu tak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Atau ada juga pasal yang tetap dinyatakan
konstitusional sepanjang memenuhi syarat-syarat tertentu yang ditetapkan MK.
Sedangkan dari segi aturan hukum, UU Ketengakerjaan pun menimbulkan
pro dan kontra dalam penerapannya. Berikut pasal demi pasal yang menjadi pro
dan kontra dalam penerapannya :
1. Pasal 52-54
Perjanjian Kerja/Kontrak Kerja. Memiliki kontrak kerja sangat penting
dalam hubungan profesional. Tanpa kontrak kerja, kejelasan tentang hak dan
kewajiban menjadi tak terjamin. Oleh karena itu ada hal-hal yang perlu
dicermati dalam kontrak kerja yaitu : 1) Mengikat pengusaha dan pegawai. 2)
Dibuat dengan Jelas. 3) Tambahan yang perlu diperhatikan: tunjangan dan
fasilitas, masalah pengangkatan, kontrak khusus, jadwal kerja, pemutusan
hubungan kerja, kontrak kerja masa percobaan. Kebanyakan para pengusaha
membuat perjanjian kerja yang merugikan buruh dikemudian hari, hal itu
disebabkan masih rendahnya tingkat pendidikan buruh di Indonesia.
8
2. Pasal 64; 65; 66
Outsourcing. Outsourcing tidak dapat dipandang secara jangka pendek
saja, dengan menggunakan outsourcing perusahaan pasti akan mengeluarkan
dana lebih sebagai management fee perusahaan outsourcing. Outsourcing harus
dipandang secara jangka panjang, mulai dari pengembangan karir karyawan,
efisiensi dalam bidang tenaga kerja, organisasi, benefit dan lainnya. Perusahaan
dapat fokus pada kompetensi utamanya dalam bisnis sehingga dapat
berkompetisi dalam pasar, dimana hal-hal intern perusahaan yang bersifat
penunjang (supporting) dialihkan kepada pihak lain yang lebih profesional.
Pada pelaksanaannya, pengalihan ini juga menimbulkan beberapa
permasalahan terutama masalah ketenagakerjaan. Karyawan outsourcing
selama ditempatkan diperusahaan pengguna jasa outsourcing wajib mentaati
ketentuan kerja yang berlaku pada perusahaan outsourcing, dimana hal itu
harus dicantumkan dalam perjanjian kerjasama. Mekanisme Penyelesaian
perselisihan ketenagakerjaan diselesaikan secara internal antara perusahaan
outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing, dimana perusahaan
outsourcing seharusnya mengadakan pertemuan berkala dengan karyawannya
untuk membahas masalah- masalah ketenagakerjaan yang terjadi dalam
pelaksanaan outsourcing.
3. Pasal 35 dan 37
Masalah pada Pasal 35 ayat (1), “Pemberi kerja yang memerlukan
tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui
pelaksana penempatan tenaga kerja.” Dan ditambah dengan Pasal 37 ayat (1),
“Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
ayat (1) terdiri dari: (a) instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan; dan (b) lembaga swasta berbadan hukum.” Dan dilengkapi
dengan Pasal 56 ayat (1), “Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau
untuk waktu tidak tertentu.” Kesengsaraan yang ditimbulkan akibat pasal
tersebut : Pertama, sulit mendapatkan jenjang karir, atau mungkin tidak sama
sekali. Kedua, Pemotongan upah yang besar. Kesengsaraan ketiga, jaminan
sosial tenaga kerja tidak diurus.
9
4. Pasal 78
Lembur. Upah Kerja Lembur adalah upah yang diterima pekerja atas
pekerjaannya sesuai dengan jumlah waktu kerja lembur yang dilakukannya.
Perhitungan Upah Lembur didasarkan upah bulanan dengan cara menghitung
upah sejam adalah 1/173 upah sebulan. Berdasarkan ketentuan yang tertuang
dalam Kepmenakertrans No. 102/MEN/VI/2004.
10
5. Pasal 88-98
Struktur dan skala upah. Pada prakteknya, sering kali jumlah tunjangan
menjadi lebih besar dari gaji pokok yang diterima oleh seorang pekerja. Hal ini
tentu saja dapat menimbulkan salah pengertian di dalam hubungan kerja yang
akhirnya akan dapat mengganggu hubungan antara pengusaha dengan pekerja.
Karena tunjangan yang diberikan besar maka jumlah gaji keseluruhan (take
home pay) dirasa telah melebihi Upah Minimum, padahal Upah Minimum
hanya terdiri dari Gaji pokok + tunjangan tetap saja. Setiap tahun terjadi demo
yang dilakukan buruh untuk meminta kenaikan UMP. Pemerintah hendaknya
mengkaji ulang struktur dan skala pengupahan yang adil, bagi pengusahan
maupun buruh. Jangan hanya karena demo buruh, maka UMP naik. Perlu
diperhatikan bahwa demo buruh dan mengganggu produksi dan membuat
investor enggan berinvestasi. Kepentingan buruh dan pengusaha hendaknya
diakomodir dengan baik agar tidak saling merugikan.
6. Pasal 108-115
Peraturan Perusahaan. Peraturan perusahaan merupakan salah satu
unsur penting bagi stabilitas usaha dan pembianaa karyawan. Peraturan
perusahaan merupakan sebuah kebutuhan dasar ketika usaha mulai berkembang
dan menggaji orang sebagai karyawan. Pada pasal 108-155 Undang-undang
Tenaga Kerja No13 Tahun 2003 mengatur mengenai hal ini. Pengusaha yang
mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib
membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh
Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Peraturan perusahaan disusun oleh dan
menjadi tanggung jawab dari pengusaha yang bersangkutan. Setelah kita lihat
bahwa maksud dan fungsinya peraturan perusahaan adalah baik, seharusnya
perusahaan tidak menunda untuk membuat dan mengesahkan peraturan
perusahaannya. Akan tetapi masih banyak perusahaan yang tidak memiliki,
menunda untuk mengesahkannya dan bahkan membuatnya tapi tidak
mengesahkan dan tidak mensosialisasikannya ke karyawan. Akhirnya banyak
masalah datang, keharmonisan terganggu dan kinerja menurun.
11
tersebut belum mampu menciptakan rasa kepastian, keadilan dan kemanfaatan
hukum bagi pihak terkait. Masalah lainnya pada penerapan UU dan peraturan
terkait dalah: lemahnnya perlindungan kerja terutama TKI di luar negeri,
diskriminasi terhadap gender dan penyandang cacat, pekerja anak, pelatihan
kerja yang buruk, jaminan sosial dan kesehatan, diskriminasi pekerja lokal dan
asing, birokrasi panjang yang menyulitkan pengusaha dan investor,
demonstasi, dan masih banyak lagi permasalahan ketenagakerjaan di
Indonesia.
13
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Penting untuk kita semua baik sebagai tenaga kerja maupun pemberi
kerja untuk memahami dan mematuhi Undang-Undang Ketenagakerjaan
yang ada di Indonesia. Melalui pemahamn ini, kita dapat memastikan bahwa
setiap pekerja mendapatkan hak-haknya dan setiap pemberi kerja dapat
menjalankan kewajibannya. Undang-Undang ketenagakerjaan bukan
sekedar aturan yang harus dipatuhi tetapi juga sebagai bentuk perlindungan
dan jaminan bagi hak dan kewajiban setiap pekerja dan pemberi kerja.
Dengan demikian, setiap pelanggaran terhadap undang-undang ini bukan
hanya merugikan pihak yang bersangkutan tetapi juga dapat mengganggu
keseimbangan dan harmoni di lingkungan kerja.
Dengan demikian, marilah kita semua, sebagai tenaga kerja dan pemberi
kerja, berkomitmen untuk selalu memahami dan menjalankan hak dan kewajiban
kita semua sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dengan begitu kita
dapat bersama-sama menciptakan lingkungan kerja yang lebih baik dan adil untuk
semua pihak.
14
DAFTAR PUSTAKA
15