Anda di halaman 1dari 16

Oleh :

Yonas

Pipin

Omega
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pasal 1 Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan menyatakan Ayat (2)
“Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat” dan Ayat (3) “Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang
bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”.
Batas pengertian hukum ketenagakerjaan, yang dulu disebut dengan hukum
perburuhan atau arbeidrechts sama juga dalam pengertian hukum itu sendiri,
yakni masih beragam sesuai dengan sudut pandang ahli hukum. Tidak satu pun
batas pengertian itu dapat memuaskan karena masing-masing ahli hukum
memiliki alasan tersendiri.
Mereka melihat hukum ketenagakerjaan dari berbagai sudut pandang yang
berbeda. Akibatnya, pengertiannya pun tentu berbeda antara ahli hukum yang satu
dan yang lainnya.
“Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja
pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.”Maka dari itu dalam
makalah ini kan di bahas mengenai pasal-pasal dan undang-undang apasajakah
yang mengatur tentang perburuhan dan ketenaga kerjaan.
Ketenagakerjaan pada awalnya merupakan bidang yang berada dalam
ruang lingkup hukum privat. Namun karena ketenagakerjaan dianggap menjadi
bidang yang penting untuk diatur secara langsung oleh negara. Maka negara turun
tangan langsung dengan membuat regulasi yang mengatur mengenai
ketenagakerjaan. Sehingga, ketenagakerjaan tidak lagi bagian dari hukum privat
tetapi menjadi bagian dari hukum publik. Alasan lain mengapa langkah ini
dilakukan oleh negara adalah karena banyaknya kasus yang menjadikan Tenaga
Kerja Indonesia dalam maupun luar negeri menjadi korban dan kurang mendapat
perlindungan. Pembuatan regulasi yang mengatur secara khusus ketenagakerjaan
dituangkan dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

1
Masalah yang sering terangkat ke permukaan dan menjadi berita utama serta buah
bibir dimasyarakat adalah perlakuan diskriminasi. Perlakuan tidak adil antara
sesama pekerja/buruh maupun antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Dalam
Pasal 5 dan 6 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hal ini telah diatur
agar tidak adanya diskriminasi. Masalah lain yang saat ini juga sedang menjadi
bahan pembicaraan dalam ketenagakerjaan di Indonesia adalahoutsourcing.
Dimana praktek outsourcing ini menyengsarakan pekerja atau buruh dan
menyebabkan kaburnya hubungan kerja serta industrial antara pekerja dengan
pengusaha.
Sebelum terjalinnya hubungan kerja antara pekerja dan orang yang akan
mempekerjakannya terdapat proses dalam ketenagakerjaan yang harus dijalani.
Mulai dari prakerja, hubungan kerja, menjalankan pekerjaan dan pascakerja.
Dalam menjalani proses tersebut tidak akan selalu berjalan dengan mulus. Tentu
akan dijalani berbagai rintangan demi peningkatan kerja yang lebih baik. Dalam
proses tersebut juga akan lahir berbagai masalah.
Dengan berbagai masalah yang timbul dalam ketenagakerjaan baik sebelum dan
sesudah regulasi ketenagakerjaan lahir. Perlu diketahui bagaimana tingkat
penerimaan masyarakat serta pemahaman masyarakat atas lahirnya UU No. 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Selain itu juga masih perlu dipertanyakan
bagaimana tingkat perlindungan yang diberikan oleh UU Ketenagakerjaan kepada
pekerja ataupun pengusaha. Tujuan dari regulasi tersebut juga perlu di identifikasi
untuk meningkatkan pemahaman masyarakat.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Ketenagakerjaan
Ketenagakerjaan berasal dari kata tenaga kerja, yang dalam Pasal 1 angka
2 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu “Tenaga kerja adalah
setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang
dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.”
Sedangkan pengertian dari ketenagakerjaan sesuai dengan Pasal 1 angka 1 UU
No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah “Ketenagakerjaan adalah
segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama,
dan sesudah masa kerja.”
Demi meningkatkan taraf hidup maka perlu dilakukan pembangunan
diberbagai aspek. Tidak terkecuali dengan pembangunan ketenagakerjaan yang
dilakukan atas asas keterpaduan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral
pusat dan daerah. Dalam hal ini maksudnya adalah asas pembangunan
ketanagakerjaan berlandaskan asas pembangunan nasional terkhusus asas
demokrasi pancasila, asas adil, dan merata.

Dalam pelaksanaan proses hubungan kerja terdapat bagian-bagian yang


harus dijalani. Ruang lingkup dari ketenagakerjaan itu senditi adalah pra kerja,
masa dalam hubungan kerja, masa purna kerja (post employment). Cakupan dari
ketenagakerjaan terbilang luas, jangkauan hukum ketenagakerjaan lebih luas bila
dibandingkan dengan hukum perdata yang diatur dalam buku III title 7A.
Terdapat ketentuan yang mengatur penitikberatan pada aktivitas tenaga kerja
dalam hubungan kerja
Hubungan kerja Pasal 1 angka 15 UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan disebutkan bahwa : ”Hubungan kerja adalah hubungan antara
pengusaha dengan pekerja atau buruh berdasarkan perjanjian kerja yang
mempunyai unsure-unsur pekerjaan , upah dan perintah” dan “Hubungan kerja
adalah suatu hubungan pengusaha dan pekerja yang timbul dari perjanjian kerja
yang diadakan untuk waktu tertentu namun waktu yang tidak tertentu.”

3
2.2 Kajian Undang-undang No.13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Jika diidentifikasi tujuan dari UU No. 13 tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan maka dalam regulasi itu sendiri terdapat 4 (empat) tujuan yang
disebutkan pada Pasal 4 bahwa pembangunan ketenagakerjaan bertujuan :
1. Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan
manusiawi;
Penjelasan Pasal 4 huruf a UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan adalah “Pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja
merupakan suatu kegiatan yang terpadu untuk dapat memberikan
kesempatan kerja seluas- luasnya bagi tenaga kerja Indonesia. Melalui
pemberdayaan dan pendayagunaan ini diharapkan tenaga kerja Indonesia dapat
berpartisipasi secara optimal dalam Pembangunan Nasional, namun dengan
tetap menjunjung nilai-nilai kemanusiaannya.”
2. Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang
sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;

Penjelasan Pasal 4 huruf a UU No. 13 tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan adalah “Pemerataan kesempatan kerja harus diupayakan di
seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan
pasar kerja dengan memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh
pekerjaan bagi seluruh tenaga kerja Indonesia sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuannya. Demikian pula pemerataan penempatan tenaga kerja perlu
diupayakan agar dapat mengisi kebutuhan di seluruh sektor dan daerah.”
3. Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan
kesejahteran;
4. Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.

Karena bidang ketenegakerjaan dianggap penting dan menyangkut


kepentingan umum. Maka pemeritah mengaihkannya dari hukum privat menjadi

4
hukum publik. Alasan lain adalah banyaknya masalah ketenagakerjaan yang
terjadi baik dalam maupun luar negeri. Salah satu contoh adalah banyak kasus
yang masuk ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) menyangkut penggunaan
tenaga kerja asing. Setiap putusan badan peradilan PHI akan menjadi evaluasi
untuk kepentingan di bidang ketenagakerjaan.

Bagian penting dalam ketenagakerjaan yang banyak mendapat sorotan


adalah hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Hubungan kerja
ini termasuk sebagai Perjanjian. Sesuai dengan Pasal 1313 KUHPerdata yang
berbunyi “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.” Dalam Pasal 1320
KUHPerdata terdapat syarat-syarat terjadinya suatu perjanjian yang sah adalah :

 kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;


 kecakapan untuk membuat suatu perikatan
 suatu pokok persoalan tertentu
 suatu sebab yang tidak dilarang

Dari ketentuan pasal tersebut terlihat jelas bahwa perjanjian kerja yang
dilakukan antara pekerja/buruh dengan pengusaha semuanya tergantung
kesepakatan kedua belah pihak. Namun dengan batasan-batasan yang disebutkan
dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Perjanjian kerja yang
dilakukan harus menunjukkan adanya kejelasan atas pekerjaan antara
pekerja/buruh dengan pengusaha. Sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam
perjanjian yang telah disepakati dan ketentuan yang tercantum dalam UU no.13
thn. 2003 maka terdapat unsur dari hubungan kerja yaitu :

1. Adanya unsure service (pelayanan)


2. Adanya unsure time (waktu )
3. Adanya unsure pay (upah )

Masyarakat pada umumnya tahu bahwa tidak boleh adanya pemberlakuan


tidak adil (diskrimimasi) antara sesama pekerja atau antara pekerja dengan
pengusaha. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 UU No. 13 tahun 2003 tentang

5
Ketenagakerjaan yaitu “Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa
diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.” dan Pasal 6 UU No. 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yaitu “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh
perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.”
Masyarakat menerima dan memahami ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dengan berbagai masalah
yang telah terjadi sebelum lahirnya UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dan sebagian bisa teratasi setelah lahirnya regulasi tersebut.
Namun setelah lahirnya UU tersebut tidak menutup kemungkinan lahirnya
masalah baru terkait dengan ketenagakerjaan. Salah satu yang menjadi masalah
adalah masih kurangnya tingkat perlindungan terhadap pekerja/buruh dalam
hubungan kerjanya dengan pengusaha yang memperkerjakannya. Masalah
tersebut adalah outsourcing yang dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan tidak diatur secara khusus dalam penyelesaiannya.
Pemahaman masyarakat atas kurangnya perlindungan hukum terhadap
pekerja/buruh serta masih adanya celah untuk lahirnya masalah baru atas UU No.
13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Melahirkan niat dari masyarakat untuk
dilakukannya revisi atas UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Adanya
niat dari pemerintah untuk melakukan revisi atas UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Membuka pintu solusi kepada masyarakat untuk mengatasi
berbagai permasalahan telah terjadi serta sebagai langkah preventif untuk masalah
baru. Pemerintah memberikan kesempatan kepada Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) untuk melakukan kajian independen dan penyempurnaan revisi
UU Ketenagakerjaan tersebut. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh
Menakertrans Muhaimin Iskandar setelah melakukan pertemuan konsolidasi
Lembaga Kerja Sama Tripartit (LKS) Tripartit Nasional, di Jakarta, tepatnya
Senin tanggal 8 November 2010 lalu.
Dalam pertemuan tersebut dibahas pasal-pasal yang terkait dengan
outsourcing (alih daya), pengupahan, jaminan sosial dan pesangon serta dan
pelaksanan perjanjian kerja waktu tertentu. Disebutkan bahwa dalam pertemuan
tersebut adanya kesepakatan pengkajian mendalam menghenai penyempurnaan

6
dan revisi UU No. 13/2003 yang dilakukan secara komprehensif, baik itu revisi
UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan itu sendiri, ataupun terkait
dengan revisi UU No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan UU
No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Adanya wacana bahwa pada tahun 2010 lalu telah beredarnya beberapa
draft yang disebut revisi UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pada
saat itu pula Muhaimin selaku Menakertrans menegaskan bahwa draft tersebut
bukan berasal dari Kemenakertans. Maka semua pihak diharapkan tidak percaya
begitu saja dengan isi draf-draft tersebut karena akan memunculkan kekhawatiran
dan sikap saling curiga terutama diantara pekerja dan buruh. Menakertrans juga
menyebutkan bahwa pada tahun 2010 lalu pada tepatnya pada bulan November
proses penyempurnaan UU Ketenagakerjaan masih dibahas di lingkungan internal
Kemenakertrans kemudian akan dibahas lintas kementerian dan pihak lainnya.
Pada tahun 2011 ini akan dilakukan tahap pematangan. Jika materi atas revisi UU
Ketenagakerjaan tersebut sudah matang maka akan diajukan ke DPR hingga
akhirnya akan diratifikasi. Meski sampai saat ini belum terlihat adanya tanda akan
di undangkannya hasil revisi dari UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Namun langkah revisi atas UU Ketenagakerjaan adalah problem
solving atas masalah yang timbul sebelum dan setelah lahirnya regulasi tersebut.
Hal ini juga menjawab permasalahan mengapa masalah terkait ketenagakerjaan
tetap ada meski UU Ketenagakerjaan tersebut sudah lahir.
Masyarakat sudah memahami dengan jelas setiap ketentuan dari UU No.
13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pernyataan tersebut bisa dikeluarkan
karena Menakertrans yang menyebutkan setiap kalangan masyarakat terutama
kalangan pengusaha, serikat pekerja/serikat bisa memberikan sebanyak mungkin
saran, masukan dan kajian terhadap penyempurnaan dan revisi UU No. 13 tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan melalui tiga pihak yaitu, Menakertrans, LIPI dan
LKS Tripartit. Tanggapan masyarakat menunjukkan bahwa menerima dengan
baik UU tersebut ditunjukkan dengan adanya niat untuk perbaikan regulasi
tersebut. LKS Tripartit masih terbilang jarang terdengar ditelinga masyarakat
yang merupakan forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang masalah

7
ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur pemerintah, organisasi
pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh. Konsolidasi tersebut dilakukan
dengan LKS Tripartit demi memperkuat peranannya dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh, menarik investasi dan penciptaan industri yang lebih
bagus.
Banyak pendapat yang menyatakan bahwa UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan melanggar konstitusi dan ada pula yang berpendapat
sebaliknya. Dewasa ini masih menjadi perdebatan mengenai hal tersebut,
mungkin tak akan ada jawaban seragam mengenai pernyataan. Tapi yang pasti
fakta menunjukkan banyak pasal dari undang-undang itu yang “dirontokkan”
Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Tercatat sampai saat ini ada tujuh kali pengujian UU Ketenagakerjaan yang
semuanya diajukan oleh buruh atau serikat buruh. Hanya satu pengujian yang
ditolak MK. Selebihnya diterima MK dengan menyatakan pasal tertentu tak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Atau ada juga pasal yang tetap dinyatakan
konstitusional sepanjang memenuhi syarat-syarat tertentu yang ditetapkan MK.
Sedangkan dari segi aturan hukum, UU Ketengakerjaan pun menimbulkan
pro dan kontra dalam penerapannya. Berikut pasal demi pasal yang menjadi pro
dan kontra dalam penerapannya :
1. Pasal 52-54
Perjanjian Kerja/Kontrak Kerja. Memiliki kontrak kerja sangat penting
dalam hubungan profesional. Tanpa kontrak kerja, kejelasan tentang hak dan
kewajiban menjadi tak terjamin. Oleh karena itu ada hal-hal yang perlu
dicermati dalam kontrak kerja yaitu : 1) Mengikat pengusaha dan pegawai. 2)
Dibuat dengan Jelas. 3) Tambahan yang perlu diperhatikan: tunjangan dan
fasilitas, masalah pengangkatan, kontrak khusus, jadwal kerja, pemutusan
hubungan kerja, kontrak kerja masa percobaan. Kebanyakan para pengusaha
membuat perjanjian kerja yang merugikan buruh dikemudian hari, hal itu
disebabkan masih rendahnya tingkat pendidikan buruh di Indonesia.

8
2. Pasal 64; 65; 66
Outsourcing. Outsourcing tidak dapat dipandang secara jangka pendek
saja, dengan menggunakan outsourcing perusahaan pasti akan mengeluarkan
dana lebih sebagai management fee perusahaan outsourcing. Outsourcing harus
dipandang secara jangka panjang, mulai dari pengembangan karir karyawan,
efisiensi dalam bidang tenaga kerja, organisasi, benefit dan lainnya. Perusahaan
dapat fokus pada kompetensi utamanya dalam bisnis sehingga dapat
berkompetisi dalam pasar, dimana hal-hal intern perusahaan yang bersifat
penunjang (supporting) dialihkan kepada pihak lain yang lebih profesional.
Pada pelaksanaannya, pengalihan ini juga menimbulkan beberapa
permasalahan terutama masalah ketenagakerjaan. Karyawan outsourcing
selama ditempatkan diperusahaan pengguna jasa outsourcing wajib mentaati
ketentuan kerja yang berlaku pada perusahaan outsourcing, dimana hal itu
harus dicantumkan dalam perjanjian kerjasama. Mekanisme Penyelesaian
perselisihan ketenagakerjaan diselesaikan secara internal antara perusahaan
outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing, dimana perusahaan
outsourcing seharusnya mengadakan pertemuan berkala dengan karyawannya
untuk membahas masalah- masalah ketenagakerjaan yang terjadi dalam
pelaksanaan outsourcing.

3. Pasal 35 dan 37
Masalah pada Pasal 35 ayat (1), “Pemberi kerja yang memerlukan
tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui
pelaksana penempatan tenaga kerja.” Dan ditambah dengan Pasal 37 ayat (1),
“Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
ayat (1) terdiri dari: (a) instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan; dan (b) lembaga swasta berbadan hukum.” Dan dilengkapi
dengan Pasal 56 ayat (1), “Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau
untuk waktu tidak tertentu.” Kesengsaraan yang ditimbulkan akibat pasal
tersebut : Pertama, sulit mendapatkan jenjang karir, atau mungkin tidak sama
sekali. Kedua, Pemotongan upah yang besar. Kesengsaraan ketiga, jaminan
sosial tenaga kerja tidak diurus.

9
4. Pasal 78
Lembur. Upah Kerja Lembur adalah upah yang diterima pekerja atas
pekerjaannya sesuai dengan jumlah waktu kerja lembur yang dilakukannya.
Perhitungan Upah Lembur didasarkan upah bulanan dengan cara menghitung
upah sejam adalah 1/173 upah sebulan. Berdasarkan ketentuan yang tertuang
dalam Kepmenakertrans No. 102/MEN/VI/2004.

Yang harus dipahamin bahwa lembur bukan merupakan Penghasilan


dan Lembur itu adalah sukarela. Kedua hal itu penting untuk di”mind set” kan
sebab tidak selamanya pekerja/buruh akan melakukan kerja lembur. Setelah
bekerja beberapa tahun dapat saja pekerja/buruh memperoleh posisi yang sudah
tidak lagi membutuhkan lemburan. Selain itu tidak setiap saat pekerja/buruh
sedia melaksanakan pekerjaan melewati waktu kerja karena adanya kebutuhan
lain yang mesti dikerjakan pada saat yang bersamaan. Disamping itu ada satu
hal penting lain yang mestinya menjadi bahan pertimbangan seorang
pekerja/buruh melaksanakan lembur meski tidak mudah dilakukan adalah pada
waktu perintah untuk lembur diberikan segera sediakan Formulir Lembur untuk
diisi dan ditanda tangani oleh pekerja/buruh dengan pejabat berwenang atau
yang memerintahkan lembur disesuaikan dengan masing-masing perusahaan.
Jelas diatur dalam Kepmen bahwa untuk melakukan kerja lembur harus ada
perintah tertulis dan persetujuan tertulis dari kedua belah pihak antara
pekerja/buruh dan pejabat yang memerintahkan lembur. Dalam peraturan
ketenagakerjaan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3
jam dalam 1 hari dan 14 jam dalam 1 minggu.

Sesuai ketentuan dalam Kepmen 102/2004 Pasal 10 dalam hal upah


terdiri dari Upah Pokok dan Tunjangan Tetap maka dasar perhitungan
upah lembur adalah 100 % (seratus perseratus) dari upah. Dalam hal upah
terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap, apabila upah
pokok tambah tunjangan tetap lebih kecil dari 75 % (tujuh puluh lima
perseratus) keseluruhan upah maka dasar perhitungan upah lembur 75 %.
(tujuh puluh lima perseratus) dari keseluruhan upah. Cara perhitungan lembur
ini sekali lagi landasannya adalah Kepmen 102/2004. Apabila lebih rendah dari
ketentuan UU maka hal itu tidak diperkenankan.

10
5. Pasal 88-98
Struktur dan skala upah. Pada prakteknya, sering kali jumlah tunjangan
menjadi lebih besar dari gaji pokok yang diterima oleh seorang pekerja. Hal ini
tentu saja dapat menimbulkan salah pengertian di dalam hubungan kerja yang
akhirnya akan dapat mengganggu hubungan antara pengusaha dengan pekerja.
Karena tunjangan yang diberikan besar maka jumlah gaji keseluruhan (take
home pay) dirasa telah melebihi Upah Minimum, padahal Upah Minimum
hanya terdiri dari Gaji pokok + tunjangan tetap saja. Setiap tahun terjadi demo
yang dilakukan buruh untuk meminta kenaikan UMP. Pemerintah hendaknya
mengkaji ulang struktur dan skala pengupahan yang adil, bagi pengusahan
maupun buruh. Jangan hanya karena demo buruh, maka UMP naik. Perlu
diperhatikan bahwa demo buruh dan mengganggu produksi dan membuat
investor enggan berinvestasi. Kepentingan buruh dan pengusaha hendaknya
diakomodir dengan baik agar tidak saling merugikan.

6. Pasal 108-115
Peraturan Perusahaan. Peraturan perusahaan merupakan salah satu
unsur penting bagi stabilitas usaha dan pembianaa karyawan. Peraturan
perusahaan merupakan sebuah kebutuhan dasar ketika usaha mulai berkembang
dan menggaji orang sebagai karyawan. Pada pasal 108-155 Undang-undang
Tenaga Kerja No13 Tahun 2003 mengatur mengenai hal ini. Pengusaha yang
mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib
membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh
Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Peraturan perusahaan disusun oleh dan
menjadi tanggung jawab dari pengusaha yang bersangkutan. Setelah kita lihat
bahwa maksud dan fungsinya peraturan perusahaan adalah baik, seharusnya
perusahaan tidak menunda untuk membuat dan mengesahkan peraturan
perusahaannya. Akan tetapi masih banyak perusahaan yang tidak memiliki,
menunda untuk mengesahkannya dan bahkan membuatnya tapi tidak
mengesahkan dan tidak mensosialisasikannya ke karyawan. Akhirnya banyak
masalah datang, keharmonisan terganggu dan kinerja menurun.

Selain keenam permasalahan tersebut, masih banyak pasal demi pasal


UU Ketenagakerjaan yang perli dikritisi dan ditelaah. UU Ketenagakerjaan

11
tersebut belum mampu menciptakan rasa kepastian, keadilan dan kemanfaatan
hukum bagi pihak terkait. Masalah lainnya pada penerapan UU dan peraturan
terkait dalah: lemahnnya perlindungan kerja terutama TKI di luar negeri,
diskriminasi terhadap gender dan penyandang cacat, pekerja anak, pelatihan
kerja yang buruk, jaminan sosial dan kesehatan, diskriminasi pekerja lokal dan
asing, birokrasi panjang yang menyulitkan pengusaha dan investor,
demonstasi, dan masih banyak lagi permasalahan ketenagakerjaan di
Indonesia.

2.3 Implementasi Undang-Undang Tentang Hak dan Kewajiban Tenaga Kerja


dan Pemberi Kerja di Yayasan Don Bosco Manado Perwakilan Lembata.
A. Hak Tenaga Kerja
1. Menerima upah/honorarium dari pemberi kerja dengan ketentuan sebagai berikut :
Upah per Jam Mengajar sebesar Rp............... x Jumlah Jam Mengajar selama satu
bulan dan dibayarkan setiap tanggal 22 - 25 bulan berjalan;
2. Menerima sumbangan transportasi Rp ........... per hari kerja;
3. Menerima sumbangan BPJS Kesehatan 4% x UMP dan sumbangan BPJS
Ketenagakerjaan sebesar 6,24% untuk: jaminan hari tua, jaminan kematian, jaminan
kecelakaan dan jaminan pensiun.
4. Mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas prestasi kerja;
5. Memperoleh pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas;
6. Memperoleh pelindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan
intelektual;
7. Memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas;
B. Kewajiban Tenaga Kerja
1. Menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis,
dan dialogis;
2. Mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan;
3. Memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, kedudukan sesuai
dengan kepercayaan yang diberikan;
4. Menjaga kehormatan, martabat, persatuan dan persaudaraan di lingkungan Yayasan
Don Bosco atau Unit Kerja;
5. Tidak menyalahgunakan media sosial sebagai sarana untuk mengungkapkan
ketidakpuasan atau kekecewaan terhadap lembaga atau instansi tempat bekerja;
6. Memelihara dan bertanggung jawab atas penggunaan barang-barang milik Yayasan
Don Bosco Manado Perwakilan Lembata atau Unit Kerja dengan sebaik-baiknya;
12
7. Setia dan taat kepada Peraturan dan tata tertib yang berlaku di lingkungan Yayasan
Don Bosco Manado Perwakilan Lembata atau Unit Kerja;

C. Hak Pemberi Kerja


1. Menyeleksi, menerima, melakukan pengawasan, evaluasi terhadap kinerja tenaga
kerja dan memberhentikannya.
2. Memberikan sanksi teguran secara lisan maupun tertulis kepada tenaga kerja apabila
terjadi pelanggaran terhadap ketentuan dan perjanjian ini.
3. Membatalkan perjanjian secara sepihak apabila tenaga kerja tidak dapat
melaksanakan tugas atau meninggalkan tugas pekerjaan yang menjadi tanggung
jawabnya.
4. Menetapkan syarat-syarat perjanjian kerja sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
5. Memberhentikan tenaga kerja dengan alasan yang sah dan diatur dalam perundang-
undangan.

D. Kewajiban Pemberi Kerja


1. Membayar upah/honorarium kepada tenaga kerja dengan ketentuan sebagai berikut :
Upah per Jam Mengajar sebesar Rp............ x Jumlah Jam Mengajar selama satu
bulan dan dibayarkan setiap tanggal 22 - 25 bulan berjalan;
2. Membayar sumbangan transportasi Rp ........... per hari kerja;
3. Membayar sumbangan BPJS Kesehatan 4% x UMP dan sumbangan BPJS
Ketenagakerjaan sebesar 6,24% untuk jaminan hari tua, jaminan kematian, jaminan
kecelakaan dan jaminan pensiun.
4. Membayar THR (uang Natal) sesuai kemampuan dan kebijakan Yayasan Don Bosco
Manado Perwakilan Lembata;
5. Memberikan penghargaan atas prestasi kerja/mengajar.

13
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Penting untuk kita semua baik sebagai tenaga kerja maupun pemberi
kerja untuk memahami dan mematuhi Undang-Undang Ketenagakerjaan
yang ada di Indonesia. Melalui pemahamn ini, kita dapat memastikan bahwa
setiap pekerja mendapatkan hak-haknya dan setiap pemberi kerja dapat
menjalankan kewajibannya. Undang-Undang ketenagakerjaan bukan
sekedar aturan yang harus dipatuhi tetapi juga sebagai bentuk perlindungan
dan jaminan bagi hak dan kewajiban setiap pekerja dan pemberi kerja.
Dengan demikian, setiap pelanggaran terhadap undang-undang ini bukan
hanya merugikan pihak yang bersangkutan tetapi juga dapat mengganggu
keseimbangan dan harmoni di lingkungan kerja.

Selain itu, pemahaman dan kepatuhan terhadap Undang-Undang


Ketenagakerjaan juga berarti kontribusi aktif dalam menciptakan lingkungan kerja
yang adil, kondusif, dan produktif. Ini bukan hanya memberikan manfaat bagi
pekerja dan pemberi kerja secara individu, tetapi juga memberikan dampak positif
bagi perkembangan industri dan ekonomi nasional secara keseluruhan.

Dengan demikian, marilah kita semua, sebagai tenaga kerja dan pemberi
kerja, berkomitmen untuk selalu memahami dan menjalankan hak dan kewajiban
kita semua sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dengan begitu kita
dapat bersama-sama menciptakan lingkungan kerja yang lebih baik dan adil untuk
semua pihak.

14
DAFTAR PUSTAKA

Sutedi, Andrian, 2009. Hukum Perburuhan. Sinar Grafika. Jakarta

Husni, Lalu. 2010. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Edisi Revisi.


Jakarta :

PT Raja Grafindo Persada.

Pangaribuan, Juanda. 2012. Aneka Putusan Mahkamah Konstitusi Bidang Hukum


Ketenagakerjaan. Jakarta: Muara Ilmu Sejahtera Indonesia.
Hukum Perburuhan, Tersedia (online), http://hukumonline.com/ diakses pada hari
Jumat pukul 12:38 WIB tanggal 10 Oktober 2014

15

Anda mungkin juga menyukai