Hubungan industrial pada dasarnya merupakan suatu hubungan hukum antara pengusaha dengan
pekerja.¹ Dalam hubungan industrial, setiap permasalahan yang terjadi ditingkat perusahaan dan
masalah-masalah ketenagakerjaan yang timbul harus diselesaikan terlebih dahulu secara
kekeluargaan atau musyawarah. Namun tidak semua perselisihan yang terjadi antara pekerja
dengan pengusaha dalam suatu perusahaan dapat diselesaikan secara kekeluargaan atau
musyawarah. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaaan pandangan tentang berbagai hal terkait
dengan hubungan kerja atau syarat-syarat kerja lain, sehingga timbulnya perselisihan hubungan
industrial tidak dapat dihindarkan.
Roda penggerak dari perusahaan adalah pekerja. Pekerja memegang peranan penting dalam
meningkatkan dan mengembangkan perusahaan. Mengingat pekerja sangat berkontribusi terhadap
perusahaan, maka kesejahteraan pekerja dipandang perlu untuk ditingkatkan terutama
kesejahteraan pekerja terhadap hak-hak tenaga kerja.
Pekerja dalam kegiatannya memiliki hak dan kewajiban dimana kewajiban pekerja adalah bekerja
sesuai dengan aturan baik aturan hukum serta aturan kerja, sedangkan hak pekerja adalah
menerima upah atas pekerjaan yang
¹ Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm.
telah dilaksanakannya. Jadi antara hak dan kewajiban itu harus berjalan secara seimbang, sehingga
tidak dibenarkan jika pekerja hanya menuntut hak sedangkan kewajibannya tidak dilaksanakan,
begitu pula sebaliknya tidak dibenarkan apabila pekerja telah melaksanakan kewajibannya namun
tidak mendapatkan haknya.
Perselisihan yang terjadi pada hubungan industrial memang tidak mudah untuk dihindari yang
menimbulkan banyak permasalahan-permasalahan semakin kompleks, yaitu meningkatnya kasus
konflik perburuhan seperti pemecatan yang semena-mena serta hak-hak pekerja yang tidak
dipenuhi. Dari banyaknya perselisihan tersebut sangat diperlukan perlindungan bagi hak-hak tenaga
kerja yang tercantum dalam undang-undang yang tegas serta memberikan perlindungan bagi hak-
hak pekerja.
Pembahasan
Menurut pasal 1 angka 16 Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan (UU
13/2003), hubungan Industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku
dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan
pemerintah yang didasarkan pada nilai nilai Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Berbeda dengan hubungan kerja yang merupakan hubungan antara
pengusaha dengan pekerja/buruh saja, hubungan industrial melibatkan pemerintah di dalamnya.
Hubungan industrial tersebut diharapkan tercipta sedemikian rupa agar aman, harmonis, serasi dan
sejalan dengan peningkatan kesejahteraan Bangsa.
Pada hakikatnya para pekerja wajib mendapatkan perlindungan serta pemenuhan dalam hak-haknya
tanpa terkecuali sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tetapi dalam
pelaksanaannya tidak jarang para pekerja tidak mendapatkan hak-haknya. Terdapat hak normatif
pekerja bedasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, meliputi:
1. Perlindungan atas hak-hak dasar pekerja atau buruh untuk berunding dengan pengusaha;
2. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja;
3. Perlindungan atas jaminan sosial tenaga kerja;
4. Perlindungan atas upah.²
²Heru Suyanto dan Andriyanto Adhi Nugroho, Perlindungan Terhadap Hak-Hak Pekerja Outsourcing
Berdasarkan Asas Keadilan”, Jurnal Yuridis Volume 3 Nomor 2, 2016, hlm.2.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial antara pengusaha dan pekerja sangat diperlukan
demi terciptanya hubungan industrial yang harmonis dan kondusif antara kedua belah pihak.
Dalam sebuah perusahaan, baik itu pengusaha maupun pekerja pada dasarnya memiliki kepentingan
atas kelangsungan usaha dan keberhasilan perusahaan.Meskipun keduanya memiliki kepentingan
terhadap keberhasilan perusahaan, tidak dapat dipungkiri konflik/perselisihan masih sering terjadi
antara pengusaha dan pekerja.
Bila sampai terjadi perselisihan antara pekerja dan pengusaha, perundingan bipartit bisa menjadi
solusi utama agar mencapai hubungan industrial yang harmonis. Hubungan industrial yang kondusif
antara pengusaha dan pekerja/buruh menjadi kunci utama untuk menghindari terjadinya
Pemutusan Hubungan Kerja, meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh serta memperluas
kesempatan kerja baru untuk menanggulangi pengangguran di Indonesia dengan pekerja/buruh saja,
hubungan industrial melibatkan pemerintah di dalamnya.hubungan industrial tersebut diharapkan
tercipta sedemikian rupa agar aman, harmonis, serasi dan sejalan dengan peningkatan
kesejahteraan Bangsa.
Untuk menciptakan hubungan industrial yang baik, pasal 103 UU 13/2003 menyebut, hubungan
industrial dapat dilaksanakan melalui sarana:
Prosedur yang disediakan antara lain melalui mediasi hubungan industrial atau konsiliasi hubungan
industrial atau arbitrase hubungan industrial. Bila masih juga gagal, maka perselisihan hubungan
industrial dapat dimintakan untuk diselesaikan pada Pengadilan Hubungan Industrial yang ada pada
setiap Pengadilan Negeri Kabupaten/Kota yang berada di setiap Ibukota Provinsi, yang daerah
hukumnya meliputi tempat kerja pekerja.
Hak dalam hal upah sesuai dengan peraturan yang ada. Oleh karena itu perlu adanya sanksi yang
tegas terhadap pengusaha yang melakukan pelanggaran hukum dalam hal merumahkan pekerjanya.
Atas permasalahan yang terjadi tersebut yakni terkait pelanggaran hak tenaga kerja, maka ada
upaya hukum yang dapat ditempuh oleh pekerja mulai dari upaya non litigasi hingga upaya litigasi,
apabila upaya non litigasi tidak berhasil.
Dasar hukum
PKWT maupun PKWTT adalah perjanjian kontrak kerja karyawan yang diterapkan dan berlaku saat
ini di Indonesia. Baik PKWT maupun PKWTT diatur dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
Pemerintah telah mengatur tata cara pemberlakuan PKWT di dalam UU Ketenagakerjaan dalam
Pasal 59 ayat (1), ketentuan tersebut adalah:
1. Perusahaan dapat memperbarui PKWT jika pekerjaan yang sedang dikerjakan oleh karyawan
terkait, belum dapat diselesaikan sesuai dengan tenggat waktu di perjanjian.
2. Pembaruan perjanjian dapat dilakukan setelah melebihi masa 30 hari setelah perjanjian
kerja berakhir.
3. PKWT diberikan untuk pekerja musiman terkait satu jenis pekerjaan tertentu yang
dikerjakan di musim tertentu.
4. PKWT bisa diberikan kepada karyawan kontrak yang sedang menjalani probation sebelum
diangkat menjadi karyawan tetap.
5. Upah karyawan berdasarkan dari jumlah kehadiran
6. Jika karyawan sudah melewati masa probation 3 bulan, maka karyawan tersebut dapat
diangkat menjadi karyawan tetap sesuai dengan keputusan perusahaan dan berubah
menjadi PKWTT.
Dengan kata lain, karyawan dengan perjanjian kerja berstatus PKWT disebut karyawan kontrak atau
hanya sementara. Meski dalam praktiknya, perjanjian kerja ini dapat diperpanjang atau
diperbaharui.
Namun, berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003, perusahaan tidak bisa memberikan status PKWT pada
semua jenis pekerjaan. PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis,
sifat, dan kegiatannya akan selesai dalam waktu tertentu.
Sesuai dengan pengertian tersebut, PKWTT bersifat terus menerus dan tidak dibatasi oleh waktu.
Dengan kata lain, karyawan yang memiliki kesempatan kerja PKWTT berstatus sebagai karyawan
tetap. Perusahaan biasanya tidak menetapkan status PKWTT secara langsung kepada karyawan baru.
Pemerintah menetapkan bahwa, perusahaan harus memberikan masa percobaan terlebih dahulu
kepada karyawan baru selama tiga bulan yang menggunakan perjanjian PKWT. Setelah masa
percobaan tersebut berakhir, karyawan baru tersebut diangkat menjadi karyawan tetap dan
menggunakan surat perjanjian PKWTT apabila karyawan dianggap telah memenuhi persyaratan.
Sistem kontrak PKWTT dapat diberlakukan secara lisan dengan klausul-klausul yang berlaku yang
tertera pada UU Ketenagakerjaan.
Perubahan Status PKWT Menjadi PKWTT Berdasarkan Pasal 15 Kepmenakertrans No. 100 Tahun
2004, PKWT dapat berubah menjadi PKWTT apabila:
1. PKWT yang tidak dibuat dalam Bahasa Indonesia dan huruf latin berubah menjadi PKWTT
sejak adanya hubungan kerja.
2. PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam jenis pekerjaan yang
dipersyaratkan, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja.
3. PKWT dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru dan menyimpang
dari ketentuan jangka waktu perpanjangan, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak
dilakukan penyimpangan.
4. Pembaharuan PKWT tidak melalui masa tenggang waktu 30 hari setelah berakhirnya
perpanjangan PKWT dan tidak diperjanjikan lain, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak
tidak terpenuhinya syarat PKWT tersebut.
5. Pengusaha yang mengakhiri hubungan kerja terhadap pekerja dengan hubungan kerja PKWT
sebagaimana dalam angka (1), (2), dan (4), maka hak-hak pekerja dan prosedur
penyelesaiannya dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan bagi PKWTT.
Berdasarkan perbedaan antara PKWT dan PKWTT, maka PKWTT lebih menguntungkan dibandingkan
dengan PKWT. Karyawan PKWTT tidak akan khawatir mengenai masa depan kariernya, sehingga
berbeda dengan PKWT yang memiliki masa kerja terbatas atau sementara.