Anda di halaman 1dari 3

F.

Landasan Yudiris
Hubungan industrial merupakan fenomena sosial yang menggambarkan pola hubungan
antara perusahaan sebagai institusi, dengan sekelompok pekerja sebagai pelaksana
pekerjaan secara kolektif. Hubungan industrial bukan merupakan hubungan individual, tetapi
hubungan kolektivitas, dimana hubungan ini hanya akan terjadi setelah didahului oleh suatu
peristiwa hukum antara perusahaan dengan seorang pekerja secara individual, dimana
masing-masing mengikatkan diri untuk melakukan dan atau menyelesaikan pekerjaan
tertentu dalam suatu hubungan kerja yang diikat melalui perjanjian kerja. Oleh karena itu,
hubungan industrial hanya akan terwujud dalam suatu hubungan kerja setelah didahului
oleh perjanjian kerja sebagai peristiwa hukum perdata. Dengan kata lain, sebuah proses
pelaksanaan pekerjaan yang tidak memenuhi syarat suatu hubungan kerja maka bukan
merupakan fenomena hubungan industrial. Dalam hubungan industrial, landasan yuridis ini
sangat penting untuk melindungi hak dan kepentingan pekerja dan pengusaha. Dengan
adanya landasan yuridis yang jelas, diharapkan hubungan industrial dapat berjalan dengan
lebih baik dan harmonis.
Oleh karena itu, sebagaimana halnya sifat spesifik dari hukum perburuhan (labor law), di
dalam hubungan industrial terdapat 3 dimensi hukum yang mengatur, yaitu:
1. Hukum Perdata
Merupakan landasan bagi proses perikatan yang bernama perjanjian kerja untuk
terwujudnya hubungan kerja, dengan mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUH Perdata) Buku III Titel 7 a, tentang perjanjian kerja. Seperti halnya dalam hukum
perikatan, konsekwensi dari perjanjian kerja adalah timbulnya hak dan kewajiban dari
pengusaha dan pekerja sebagai subyek hukum. Ada dua jenis perjanjian kerja, yaitu
perjanjian kerja perorangan (individual labor agreement-ILA) adalah perjanjian tertulis
antara seorang karyawan dan pengusaha yang membahas persyaratan dan kondisi kerja
yang relevan untuk pekerjaan yang dilakukan. ILA ditandatangani oleh karyawan dan
pengusaha sebelum pekerjaan dimulai. Dalam ILA, diatur mengenai hal-hal seperti gaji, jam
kerja, waktu cuti, tunjangan, klausul non-kompetisi, dan persyaratan lainnya yang terkait
dengan pekerjaan. Dalam hal ini, karyawan dan pengusaha dapat menegosiasikan dan
menentukan kondisi kerja yang paling cocok untuk keduanya.
Serta perjanjian kerja kolektif (collective labor agreement-CLA), dimana pihak pekerja
diwakili oleh serikat pekerja (union) adalah perjanjian tertulis antara serikat pekerja atau
serikat buruh dengan pengusaha atau perusahaan yang membahas persyaratan dan kondisi
kerja untuk anggota serikat pekerja atau serikat buruh. CLA berlaku untuk seluruh anggota
serikat pekerja atau serikat buruh yang bekerja di perusahaan atau industri tertentu.
Dalam CLA, diatur mengenai hal-hal seperti gaji, jam kerja, waktu cuti, tunjangan,
perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja, klausul non-diskriminasi, dan persyaratan
lainnya yang terkait dengan pekerjaan. Pihak serikat pekerja atau serikat buruh dapat
menegosiasikan dan menentukan kondisi kerja yang paling cocok untuk anggotanya.
CLA memiliki keuntungan bagi para pekerja karena memberikan perlindungan dan kepastian
terhadap hak-hak mereka, serta memberikan kesempatan bagi mereka untuk
memperjuangkan kepentingan mereka melalui serikat pekerja atau serikat buruh. Selain itu,
CLA juga dapat meningkatkan hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha, karena telah
disepakati bersama.
Konsekwensi logis lain dari hukum keperdataan adalah terjadinya perselisihan dalam hal
adanya pihak-pihak yang tidak melaksanakan materi perjanjian (wan prestasi), dimana
penyelesaiannya dilakukan melalui proses perdata. Untuk hal ini telah tersedia sistem hukum
dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial, termasuk lembaga peradilan yang
bersifat khusus.
2. Hukum Publik
Sebagaimana halnya asas hukum keperdataan, bahwa pihakpihak yang melaksanakan
perjanjian diasumsikan berada dalam posisi sejajar (horizontal), serta memiliki kedudukan
dan posisi tawar menawar (bargaining position) yang seimbang. Dalam hubungan kerja
kondisi tersebut sangat sulit terwujud, karena kondisi senyatanya (conditio sine qua non)
pekerja memiliki kedudukan yang lemah jika dibandingkan dengan pihak pengusaha yang
cenderung dominan melalui berbagai kelebihan kepemilikan.
Beberapa kelemahan dari pihak pekerja yaitu: 1) ketimpangan jumlah kesempatan kerja yang
tersedia dengan jumlah pencari kerja, sehingga meningkatnya angka pengangguran; 2)
kemampuan dan kompetensi kerja tidak memenuhi kualifikasi persyaratan kerja; 3) kurang
mampu melaksanakan negosiasi; 4) kelemahan dalam penguasaan aspek-aspek hukum
ketenagakerjaan. Akibatnya pekerja menjadi pihak yang termarjinalkan, tidak mampu
memenuhi kebutuhan hidup dasarnya, tidak mampu menghasilkan produktivitas
optimalnya, sehingga produktivitas dan daya saing perusahaan menjadi lemah.
Pada kondisi tersebut negara harus hadir dan bertindak sesuai kapasitasnya untuk memberi
perlindungan terhadap pihak yang dianggap lemah, sehingga tercipta keseimbangan posisi
dan mengatasi kondisi makro yang terganggu akibat rendahnya kapasitas dan produktivitas
pekerja. Langkah pemerintah dilakukan melalui berbagai kebijakan publik di sektor
ketenagakerjaan, yang secara bertahap memasuki area-area yang pada mulanya murni
diatur secara keperdataan, tetapi dengan pertimbangan memiliki dampak krusial dan masif,
bergeser masuk ke wilayah hukum publik. Beberapa contoh:
1) Peraturan Perusahaan (company regulation) yang semula merupakan kewenangan
perusahaan dan bersifat voluntary, menjadi wajib (obligation) bagi perusahaan yang
mempekerjakan pekerja 25 orang ke atas.
2) Perjanjian kerja yang bersifat opsional untuk dibuat lisan maupun tertulis, selanjutnya
menjadi wajib tertulis bagi bentuk perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT).
3) Pengupahan sepenuhnya ditetapkan melalui tawar menawar (bargaining process) dengan
berbasis kinerja/prestasi, selanjutnya ditetapkan upah minimum sebagai safety net.
4) Sistem dan model pengupahan serta cara pembayaran upah, pemutusan hubungan kerja
dengan kompensasinya (pesangon) serta banyak lagi, dengan kecenderungan makin
bertambah peran pemerintah dalam mengatur ketenagakerjaan dan hubungan industrial.
Oleh karena berada dalam ranah hukum publik, maka cara penanganannya pun sudah tentu
berbeda. Bagi poin-poin yang sudah diatur di dalam hukum publik maka penanganannya
tidak lagi melalui proses keperdataan dan melalui penyelesaian perselisihan, tetapi dilakukan
dengan pelibatan aparatur pemerintah untuk melakukan upaya-upaya penegakan hukum,
mulai yang bersifat preventif dan edukatif, hingga tidak menutup kemungkinan yang bersifat
represif bahkan pro-yustisia melalui perangkat hukum acara pidana.
3. Hukum Internasional (International law)
Selain hukum-hukum nasional baik perdata maupun publik, eksistensi dan proses hubungan
industrial juga di atur oleh hukum internasional yang ditetapkan oleh organisasi perburuhan
internasional (International Labor Organization-ILO), dalam bentuk konvensi internasional
yang harus dipatuhi oleh negara anggota melalui ratifikasi oleh perundang-undangan
nasional.
Beberapa konvensi ILO yang mengatur hubungan industrial adalah:
1. Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan atas Hak
Berorganisasi, telah diratifikasi dengan UU. No. 21 Tahun 2000.
2. Konvensi ILO No. 154 Tahun 1981 tentang Perundingan Bersama
3. Konvensi ILO No. 29 Tahun 1930 tentang Kerja Paksa atau Kerja Wajib
4. Konvensi ILO No. 98 Tahun 1949 tentang Penerapan Asas-Asas Hak untuk Berorganisasi
dan Berunding Bersama, diratifikasi dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 1956
5. Konvensi ILO No. 100 Tahun 1951 tentang Pengupahan yang Sama Bagi Pekerja Laki-laki
dan Pekerja Perempuan Untuk Pekerjaan yang Sama, diratifikasi dengan Undang-Undang No.
80 Tahun 1957.
6. Konvensi ILO No. 105 Tahun 1967 tentang Penghapusan Kerja Paksa, di ratifikasi dengan
Undang-Undang No. 19 Tahun 1999.
7. Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi Pekerjaan dan Jabatan, diratifikasi dengan
Undang-Undang No 21 Tahun 1999
8. Konvensi ILO No. 138 Tahun 1973 tentang Usia Minimum Untuk Bekerja, diratifikasi
dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 1999.

Anda mungkin juga menyukai