Anda di halaman 1dari 25

HUKUM KETENAGAKERJAAN

A. PENGANTAR

Pembahasan dan pemahaman tentang praktik-praktik ketenagakerjaan dalam


tatanan perekonomian global dan alam demokrasiyang semakin heterogen serta hukum-
hukum positif yang mengaturnya perlu mendapatkan perhatian. Tidak dapat dimungkiri
dalam bidang ketenagakerjaan sering memunculkan permasalahan yang perlu diselesaikan
dengan baik agar terciptanya penegakan hukum yang adil dan bijaksana. Prinsip sederhana
dalam penegakan hukum adalah keterwujudan hak yang seimbang dengan kewajibannya,
dan pemahaman akan substansi aturan sebagai hukum positif yang berlaku agar
pengenjawantahan hak dan/atau kewajiban tidak berlebihan yang pada akhirnya
memunculkan kondisi ketidakadilan dalam tatanan praktis tersebut. Pemahaman terhadap
tatanan praktis tersebut dapat diperoleh dari aspek-aspek normatif maupun empiris setiap
pelaku dalam praktik-praktik ketenagakerjaan dengan cukup, kalaupun tidak mau
disebutkan harus lebih banyak, memahami hal-hal yang dasar-dasar saja.

Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan praktik ketenagakerjaan yang tidak hanya
sebagai suatu fondasi pemahaman terhadap hukumhukum positif yang berlaku, tetapi juga
diperkaya dengan aspek empiris dan filosofis dalam mengedepankan substansi keilmuan
hukum dalam tatanan norma, asas, dan nilai, serta empiris. Aspek normatif sudah barang
tentu merupakan penyajian terhadap hukum positif yang sering dan menjadi substansi
hukum yang digunakan dalam penyelesaian permasalahan-permasalahan ketenagakerjaan
yang berkisar kepada perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan hak dan
diikuti kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja maupun serikat pekerja dengan
pengusaha, penghentian hubungan kerja serta penyelesaian perselisihan hubungan
industrial. Sedangkan aspek empiris yang disajikan adalah landasan dari pengamatan dan
pengalaman para penulis sebagai praktisi hukum dan personalia/ human capital di
perusahaan Iron Sarira selama ini menggeluti bidang ketenagakerjaan dalam lingkup
mikro kondisional (syarat kerja) dan makro minimal (norma kerja) dalam tugas dan
fungsinya sebagai pelaksana di perusahaan pada bagian personalia hingga Human Capital
sejak tahun 1985. Penulis lainnya, Erna Ratnaningsih adalah advokat yang telah memiliki
pengalaman dalam menangani kasus-kasus ketenagakerjaan termasuk mengajukan
permohonan hak uji materiel (judicial review) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013
tentang Ketenagakerjaan.

B. PENGERTIAN DAN KEDUDUKAN HUKUM KETENAGAKERJAAN


1. Pengertian Hukum Ketenagakerjaan

Pengertian atau definisi hukum ketenagakerjaan/perburuhan berbeda-beda, hal ini


tergantung pada cara pandang melihat dari satu sisi saja tanpa memperhatikan sisi
lainnya yang tidak kalah penting untuk dijelaskan. Misalkan ada yang melihat dari
sudut subjek hukum saja atau segi materi atau permasalahan yang diatur saja. Tanpa
melihat dari sudut pandang ruang lingkup waktunya (tijdsgebied) atau dari sudut
pandang ruang lingkup wilayah (ruimtegebied). A.N. Molenaar menyatakan hukum
perburuhan adalah suatu bagian dari hukum yang berlaku yang mengatur hubungan
antara buruh dengan buruh, buruh dengan pengusaha, buruh dengan penguasa dan
penguasa dengan pengusaha. Imam Soepomo mendefinisikan hukum perburuhan
adalah himpunan peraturan baik tertulis maupun tidak bekerja tertulis yang berkenaan
dengan suatu kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima
upah. Adapun yang dimaksud dengan ketenagakerjaan di dalam pasal 1 angka (1) UU
Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu
sebelum, selama dan sesudah masa kerja.

Hukum ketenagakerjaan adalah dan suatu sistem hukum yang tersusun dalam
pihak sekumpulan pasal-pasal dan ayat-ayat yang diuat oleh pohak-pihak yang
memiliki kompetensi dan kewenangan untuk mengatur dan menjadikan sistem
ketenagakerjaan menjadi lebih dapat diterima oleh pihak-pihak yang terlibat dalam
mekanisme hubungan industrial yang berwawasan keadilan, penuh tanggung jawab,
dan bermartabat. Keterlibatan pihak-pihak kompeten tersebut dalam merumuskan
peraturan ketenagakerjaan diharapkan dapat mewujudkan produktivitas individu dan
nasional yang mempunyai daya saing dan nilai tambah dalam pencapaian tingkat
kesejahteraan hidup dan ketenteraman berusaha.

Seperangkat sistem hukum ketenagakerjaan adalah hukum-hukum positif yang


mengatur aspek-aspek ketenagakerjaan yang meliputi syarat kerja, norma kerja, dan
pengawasan kerja. Peraturan tersebut harus berwawasan keadilan, bertanggung jawab
dan bermartabat yang berlandaskan kepada UUD 1945 dan Pancasila. Hubungan kerja
yang dilakukan oleh masing-masing subjek hukum dalam suatu perbuatan hukum mesti
mewakili kepentingan hak dan kewajiban mereka masing-masing. Hal ini bertujuan
agar pekerja, sebagai subjek hukum yang melakukan pemberian pikiran dan tenaganya,
mendapatkan balas jasa yang sesuai untuk diri dan keluarganya, sementara perusahaan,
sebagai suatu badan hukum yang melakukan kegiatan produksi barang dan jasa, bisa
mendapatkan keuntungan dari proses produksi tersebut. Apabila kesejahteraan dan
keuntungan dari masing-masing subjek hukum tersebut terpenuhi, maka dapat
mewujudkan nilai-nilai keselarasan dan keseimbangan nasional dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.

Oleh sebab itu, ruang lingkup hukum ketenagakerjaan harus mencakup hal-hal
sebagai berikut:

a. Seperangkat sistem Hukum: hukum-hukum positif yang mengatur aspek-aspek


ketenagakerjaan yang meliputi syarat kerja, norma kerja, dan pengawasan kerja.
b. Subjek Hukum yang memiliki kompetensi dan kewenangan: pihak pemerintah
bersama DPR.
c. Mengatur aspek-aspek ketenagakerjaan: syarat kerja adalah sejak terjadinya
hubungan kerja; norma kerja adalah dalam proses hubungan kerja yang
mengejawantahkan aspek hak dan kewajiban yang seimbang; pengawasan kerja
adalah keterlibatan instansi pemerintah dalam pelaksanaan hubungan kerja agar
terciptanya keselarasan dan keseimbangan antara para pihak.
d. Berwawasan keadilan, bertanggung jawab, dan bermartabat: bahwa hubungan
industrial yang berlandaskan kepada UUD 1945 dan Pancasila harus merupakan
pelaksanaan dari amanat UUD 45 dan manifestasi dari nilai-nilai Pancasila.
e. Keseimbangan hak dan kewajiban para pihak: bahwa hubungan kerja merupakan
suatu bentuk perhubungan hukum yang dilakukan oleh masing-masing subjek
hukum dalam suatu perbuatan hukum yang mewakili kepentingan atas hak dan
kewajiban masing-masing subjek hukum.
f. Bertujuan untuk individu dan nasional: bahwa secara individu pekerja merupakan
subjek hukum yang melakukan pemberian pikiran dan tenaganya guna mendapatkan
balas jasa berupa penikmatan untuk diri dan keluarganya, sementara perusahaan
sebagai suatu badan hukum yang melakukan kegiatan produksi barang dan jasa
berharap mendapatkan keuntungan dari proses produksi tersebut. dalam kajian
tersebut, jika kesejahteraan dan keuntungan dari masing-masing subjek hukum
terpenuhi, maka dapat mewujudkan nilai-nilai keselaran dan keseimbangan nasional
dalam kehidupan berangsa dan bernegara.
g. Kesejahteraan hidup dan ketenteraman berusaha: terhadap imbalan atas jasa yang
diberikan maka pekerja diharapkan dapat menggapai tingkat kesejahteraan hidup
yang layak, sementara perusahaan dalam kondisi hubungan kerja yang kondusif
dapat melangsungkan kegiatan produksinya secara tenteram dan terhindar dari hal-
hal yang dapat menimbulkan konflik dan pertikaian.

2. Kedudukan Hukum Ketenagakerjaan

Permasalahan awal dari hukum ketenagakerjaan adalah terkait perjanjian kerja


antara buruh dan pengusaha, yakni hanya menyangkut kepentingan perdata, yang dalam
hal ini berarti terkait dengan aspek hukum perdata. Permasalahan-permasalahan
ketenagakerjaan yang kemudian muncul dalam suatu perselisihan atau permasalahan
yang dirasakan perlu untuk intervensi dan otoritas dari pemerintah, hal ini menjadikan
kondisi bahwa hukum ketenagakerjaan sudah masuk ke dalam ranah hukum publik,
baik dalam aspek hukum tata usaha negara dan/atau hukum pidana. Di bawah ini akan
digambarkan skema dan penjelasan mengenai hukum ketenagakerjaan dalam Sistem
Hukum Indonesia, sebagai berikut :

Perjanjian kerja antara pihak pekerja


dengan pengusaha
Hukum Perdata

Perjanjian kerja yang tidak


Hukum ketenagakerjaan Hukum Pidana mengikutsertakanpekerja ke dalam
program Jamsostek

Hukum TUN Pengusaha wajib melaporkan


keberadaan perusahaan berdasarkan
UU WL No. 7/81

SKEMA 6.1. Kedudukan Hukum Ketenagakerjaan dalam Sistem Hukum Indonesia


a. Hukum Ketenagakerjaan Ditinjau dari Hukum Perdata

Pada saat para pihak sepakat menandatangani perjanjian kerja untuk suatu
waktu tertentu, maka pada saat tersebut telah dilaksanakan suatu implementasi
terhadap Pasal 1320 KUH Perdata sebagai syarat sah pelaksanaan suatu bentuk
hubungan hukum untuk memberikan dan menerima suatu objek hukum berupa
pekerjaan yang tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku.
Perjanjian merupakan undang-undang bagi para pihak yang mengikatkan dirinya
dalam suatu perjanjian termaksud, hal ini selaras dengan apa yang disebutkan pada
Pasal 1338 KUH Perdata di mana perjanjian sepanjang telah memenuhi syarat
sahnya (1320 KUH Perdata), maka wajib dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh
para pihak yang berjanji selayaknya suatu undangundang bagi mereka. Hal
manakala terjadi pengingkaran atas perjanjian ini, maka dapat diartikan sebagai
suatu bentuk wanprestasi (ingkar janji) atau perbuatan melawan hukum (PMH).

Ilustrasi contoh kasusnya adalah seorang tenaga kerja telah mengikatkan


dirinya dalam suatu perjanjian kerja dengan status hubungan kerja kontrak (PKWT)
dan telah menyepakati dengan penandatanganan perjanjian kerja tersebut pada
tanggal 1 November 2016 untuk jangka waktu 1 tahun. Dalam salah satu isi pasal
perjanjian disebutkan bahwa hubungan kerja dimulai pada tanggal 1 Desember
2016. Pada perjalanannya, si tenaga kerja sebelum pelaksanaan tanggal hubungan
kerja dimulai memberikan informasi secara verbal kepada pihak perusahaan bahwa
dirinya tidak jadi untuk bekerja dengan alasan tidak disetujui oleh pimpinan
perusahaan yang lama untuk keluar, dan ditawarkan dengan remunerasi yang lebih
berupa promosi dan peningkatan gaji dan benefit. Si tenaga kerja menuliskan
pengunduran dirinya secara tertulis dan menyerahkan ke calon atasannya melalui
pihak ke-3 (cleaning service) pada perusahaan tersebut dan terserahkan sudah pada
saat tanggal hubungan kerja dimulai (di atas tanggal 7 bulan Desember 2016). HRD
perusahaan calon tenaga kerja berdasarkan informasi dan koordinasi dengan atasan
calon karyawan tersebut meminta untuk dikirimkan surat panggilan pertama atas si
calon karyawan karena tidak hadir pada hari pertama dan seterusnya, sehingga
dilakukan pengiriman surat panggilan kedua atas ketidakhadiran yang melebihi 5
hari kerja sehingga apabila tidak hadir sesuai dengan waktu yang ditentukan dalam
surat panggilan kedua, maka akan dikualifikasikan bahwa calon tenaga kerja
tersebut melakukan pengunduran diri akibat kemangkiran 5 hari kerja. Atas
konsekuensi ini, maka pengunduran diri si calon tenaga kerja tersebut mempunyai
implikasi terhadap konsekuensi penalty atas kontrak yang telah ditandatangani, dan
wajib membayar atas tidak terpenuhinya bulan selama kontrak dikalikan upah yang
disepakati.

Dalam penanganan kasus ini, setelah pelayangan surat panggilan ke-2 tidak
terealisasi dengan pertemuan sesuai dengan tanggal dan tempat yang telah
disepakati, maka pihak perusahaan masih dapat melakukan pemanggilan secara
verbal melalui kontak telepon atau email ke calon tenaga kerja untuk membicarakan
permasalahan yang terjadi dan mencari jalan keluarnya bagaimana berdasarkan asas
musyawarah untuk mufakat. Perusahaan akan mempertanyakan kewajiban tenaga
kerja atas perjanjian yang telah disepakatinya dan apabila tidak dapat dipenuhi,
maka tenaga kerja tersebut wajib memenuhi kewajibannya atas konsekuensi penalty
yang diatur dalam perjanjian yang telah disepakati. Apabila penanganan secara
bipartit ini tidak dapat diselesaikan, maka pihak perusahaan dapat meneruskan
permasalahan ini dengan mengajukan permohonan untuk proses mediasi pada
tingkat keterlibatan pihak pemerintah yang dalam hal ini dapat diajukan ke Kantor
Suku Dinas Tenaga Kerja di wilayah kabupaten atau kotamadya atau langsung ke
tingkat Kantor Dinas Provinsi setempat, berdasarkan tempat terjadinya perkara atau
locus delicti. Perlu diingatkan bahwa proses mediasi merupakan salah satu cara dari
proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau Alternative Dispute Resolution
(ADR) yang wajib dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa hingga
dikeluarkannya suatu anjuran dari mediator sebagai akhir proses bahwa apakah
proses berakhir secara sepakat atau tidak sepakat. Manakala proses tersebut berakhir
secara tidak sepakat, maka salah satu pihak dapat melanjutkan permasalahan ini ke
tingkat Pengadilan Hubungan Industrial di wilayah terjadinya proses sengketa
melalui Pengadilan Negeri setempat. Hingga akhirnya permasalahan
ketenagakerjaan dalam kasus yang disebutkan di atas dapat saja masuk hingga pada
tingkat pengajuan kasasi di Mahkamah Agung atau permohonan dari pihak yang
melakukan permohonan ke tingkat kasasi tersebut. Penulis tidak akan menjelaskan
secara detail bagaimana proses dalam fase mediasi, Pengadilan Hubungan Industrial,
dan Mahkamah Agung karena akan dibahas dalam bagian E. Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial. Tetapi dalam kesempatan ini penulis akan
menginformasikan bahwa pada fase mediasi dan Pengadilan Hubungan Industrial,
keputusan yang dihasilkan belum memiliki kekuatan hukum tetap sehingga masih
dapat diajukan gugatan dalam bentuk Kasasi ke Mahkamah Agung yang apabila
tidak dihadirkan bukti baru atau Nouvum maka Putusan Mahkamah Agung menjadi
Inkrach (mempunyai kekuatan untuk dilakukan eksekusi).

b. Hukum Ketenagakerjaan Ditinjau dari Hukum Pidana

Pada praktiknya dalam pelaksanaan suatu perjanjian kerja atau pada saat
dimulainya suatu hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha, banyak terdapat
penyimpangan dalam penerapan program Jamsostek sesuai UU No. 3/1992 di mana
pada Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa program jamsostek wajib dilakukan oleh
semua perusahaan dengan semua tenaga kerja sejak dimulainya hubungan kerja.
Selanjutnya, pada Pasal 29 ayat (1) menjelaskan bahwa ancaman terhadap
pelanggaran (salah satunya) adalah Pasal 4 ayat (1) adalah kurungan selama 6 bulan
atau denda sebanyak Rp 50.000.000 ,- dan apabila masih terjadi pengulangan
terhadap pelanggaran tersebut, maka pada ayat (2) disebutkan mengenai peningkatan
hukuman kurungan menjadi 8 bulan masa kurungan dengan jenis pelanggaran adalah
pidana.

Tidak sebagaimana yang tertulis dalam skema I di atas di mana kedudukan


hukum ketenagakerjaan dapat bersinggungan dengan ranah hukum pidana manakala
adanya pihak pengusaha yang tidak mendaftarkan pekerjanya ke dalam program
Jamsostek sebagai sesuatu hal yang wajib yang diatur oleh Undang-Undang No. 3
Tahun 1992 tentang Jamsostek pada Pasal 4 ayat (1). Dalam kasus ketenagakerjaan
yang masuk ke dalam ranah hukum pidana yang penulis sampaikan dalam penulisan
ini mengangkat suatu kajian tentang terjadinya suatu penggelapan yang dilakukan
oleh pekerja yang diakibatkan karena adanya kewenangan yang dimilikinya dalam
suatu posisi tersebut.

Kewenangan atas suatu jabatan merupakan otoritas yang dimiliki oleh


seorang pekerja manakala dia dipercayakan memegang suatu jabatan yang
didasarkan atas suatu Perjanjian Kerja dan/atau Surat Keputusan. Dalam
kewenangan ini terkandung suatu nilai dan moralitas5 atas suatu profesi yang
dilakukan oleh pekerja atas kedudukan yang dimilikinya. Dalam buku Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada Pasal 374 Bab XXIV tentang
Penggelapan yang menyebutkan bahwa penggelapan yang dilakukan oleh orang
yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau
karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, di ancam dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun. Seorang pekerja yang atas kewenangan dimiliki
sebagai akibat dari adanya huungan kerja yang melaukan tindakan penggelapan
denga telah memiliki 2 dari 3 syarat pembuktian yakni : adanya barang bukti, adanya
saksi, dan adanya pengakuan dari sipelaku, maka diminta untuk melakukan
pengunduran diri dari perusahaan. Hal ini (meminta untuk melakukan pengunduran
diri) adalah sesuatu yang sulit untuk dilaksanakan mengingat bahwa memaksa
seseorang untuk melakukan pengunduran diri adalah sesuatu hal yang memerlukan
usaha dan trik yang jitu dalam proses negosisasi yang dilakukan.

Dalam penanganan kasus ini, penulis telah beberapa kali menangani kasus-
kasus seperti ini di mana hasilnya dapat diakhiri dengan pengunduran diri oleh
pekerja. Selanjutnya, bagaimana jika pekerja tidakmaumelakukan pengunduran diri?
Penulis dengan bertindak sebagai eksekutor dalam kasus-kasus seperti ini
melakukan pendekatan persuasif kepada pelaku agar dapat memberikan pernyataan
bahwa si pelaku mengakui telah melakukan hal penggelapan dalam kewenangan
yang dimilikinya. Apabila dua bukti penggelapan telah dimiliki maka akan
dilakukan ancaman kepada pelaku bahwa apabila tidak mau mengundurkan diri,
maka permasalahan ini akan dilaporkan kepada pihak kepolisian untuk diusut lebih
lanjut berdasarkan hukum yang berlaku. Biasanya penulis selalu memberikan
gambaran terkait lamanya proses dan hal-hal yang perlu diinformasikan terkait
adanya tekanan sosial, materiel, dan ancaman hukum yang akan dilalui oleh pelaku.
Apabila pilihannya adalah melalui proses hukum secara tuntutan pidana melalui
delik aduan ke pihak Kepolisian, maka penulis meminta pihak pelapor untuk datang
ke Kantor Polisi setempat dan dilakukan penangkapan terhadap pelaku untuk
dilakukan proses BAP di Kepolisian. Dalam proses BAP ini, pihak pelapor meminta
untuk dilakukan penahanan selama waktu yang diperlukan hingga proses tersebut
dapat diserahkan ke Kejaksaan Tinggi dan menghasilkan salinan keputusan yang
dapat diterima dan lengkap atau P-21 sebagai bukti bahwa BAP tersebut dapat
ditindaklanjuti olen Tim Kejaksaan untuk dituntut dipengadilan dan selanjutnya
mengikuti proses persidangan di Pengadilan Negeri dan/atau proses-proses
peradilan yang lebih tinggi hingga mempunyai kekuatan hukum tetap manakala
terjadi banding dan/atau kasasi.

Perlu diingat, manakala terjadi tuntutan pidana ke Kepolisian atas kasus-


kasus penggelapan, maka permasalahan ini sudah menjadi permasalahan antara
negara melawan sipelaku (subjek hukum) yang akan diproses sehingga akan
mengurangi atau tidak hak konstitusi pelaku terkait bersalah atau tidak. Artinya,
permasalahan di tingkat hubungan kerja yang terjadi akan terputus manakala dari
pihak yang berwajib (di tingkat Kepolisian) ditetapkan status pelaku menjadi
tersangka.

c. Hukum Ketenagakerjaan Ditinjau dari Hukum Tata Usaha Negara

Salah satu kewajiban pengusaha dalam pelaksanaan praktik ketenagakerjaan


adalah sebagaimana diatur dalam UU No. 7/1981 tentang Wajib Lapor
Ketenagakerjaan di mana dalam Pasal 4 ayat (1) yang menyebutkan bahwa
pengusaha atau pengurus wajib melaporkan secara tertulis setiap mendirikan,
menghentikan, menjalankan kembali, memindahkan atau membubarkan perusahaan
kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk; dan, Pasal 6 ayat (1) yang juga
menyebutkan bahwa pengusaha atau pengurus wajib melaporkan secara tertulis
kepada menteri atau pejabat yang ditunjuk selambat-lambatnya dalam jangka waktu
30 (tiga puluh) hari setelah mendirikan, menjalankan kembali atau memindahkan
perusahaan.

Melalui suatu kewajiban yang diatur dalam undang-undang tersebut di atas,


maka terhadap penerapannya, perusahaan wajib mengimplementasikan ketentuan
mengenai wajib lapor dalam pelaksanaan praktik ketenagakerjaan dalam rangka
memberikan data dan keadaan perusahaan yang mana dapat dan merupakan data
yang dapat diolah oleh pemerintah dalam menentukan atau menggambarkan keadaan
ketenagakerjaan di dalam perusahaan secara mikro maupun di wilayah otoritas
pemerintah terkait secara makro.

Dalam hal ini hukum ketenagakerjaan terkait penerapan fungsi pelaporan


terhadap data perusahaan telah melibatkan ornamen-ornamen pemerintah baik dalam
bentuk formulir maupunpihak-pihakyang berkepentingan untuk melaksanakan
fungsi hukum ketatausahaan negara (TUN) sebagai bagian yang fundamental dalam
pelaksanaan praktik-praktik ketanagkerjaan tersebut.

Salah satu hal yang wajib dilaksanakan dalam praktik ketenagakerjaan dari
aspek pelaksanaan suatu operasional perusahaan di mana menjadi hal yang wajib
dilakukan oleh pengusaha sebagai syarat operasional suatu badan usaha adalah
melaksanakan Undang-Undang No. 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor
Ketenagakerjaan, di mana substansi wajib lapor ini selalu menjadi salah satu poin
yang dimintakan oleh petugas pengawas ketenagakerjaan untuk disiapkan oleh
pejabat suatu perusahaan.

Formulir wajib lapor wajib diisi oleh perusahaan dan diperlihatkan pada saat
proses pengawasan dan mempunyai waktu masa berlaku yakni selama 1 tahun,
sehingga diartikan bahwa wajib lapor harus dilakukan perpanjangan sebelum masa
berlaku habis dan menjelaskan hal-hal yang menjadi peruahan dalam tahun-tahun
berjalan, seperti : jumlah tenaga kerja, upah tenaga kerja (tertinggi dan terendah),
jumlah pekerja yang terdaftar di jamsostek, komposisi tenaga kerja baik
lokalmaupun tenaga kerja asing, fassilitas-fasilitas kesejahteraan, rencana
penambahan dan pengembangan tenaga kerja, dan lain-lain.

Bagaimana norma sebagai implementasi konkret terhadap pelaksanaan


penerapan wajib lapor dilaksanakan berdasarkan asas-asas yang digambarkan
oleh"titiktitik air hujan" sebagai kristalisasi atas terapan-terapan yang digambar kan
dalam suatu bentuk laporan ketenagakerjaan sehingga secara abstrak dapat
menjelaskan arti pentingnya nilai dari keseluruhan fungsi wajib lapor sebagai acuan
dalam penentuan penerapan praktik ketenagakerjaan dalam suatu perusahaan sudah
dilakukan sesuai nilai perusahaan tersebut, yakni (mungkin) membentuk
tingkatkesejahteraan perusahaan dan pekerja sesuai falsafah yang terkandung dalam
UUD 1945 dan Pancasila.

Dalam analogi di atas, penulis ingin menyampaikan bahwa pelaksanaan


wajib lapor ketenagakerjaan selayaknya jangan dilihat murni dari aspek normatif
ketenagakerjaan tetapi jauh dari hal tersebut bahwa terdapat nilai yang terkandung
untuk mengukur tingkat kesejahteraan mengenai gambaran penerapan praktik
ketenagakerjaan bagi perusahaan dan pekerja. Hal ini dapat menjadi suatu bentuk
spirit bagi pengusaha untuk melaporkan hal-hal terkait ketenagakerjaan dalam suatu
laporan tahunan yang tertuang dalam isian wajib lapor ketenagakerjaan dengan
melakukan pengisian rutin setahun sekali terkait gambaran dan kondisi
ketenagakerjaan yang berlaku di dalam perusahaan tanpa keluar dari aspek-aspek
syarat dan norma kerja yang berlaku.

C. HUKUM POSITIF DI BIDANG KETENAGAKERJAAN


1. Konstitusi dan Peraturan Perundang-undangan tentang Ketenagakerjaan

Hukum positif yang mengatur sistem dalam hubungan kerja di antara pihak-pihak
yang terkait dalam mekanisme Hubungan Industrial Pancasila diartikan sebagai aspek
normatif dalam praktik-praktik ketenagakerjaan. Sebagaimana yang tertuang dalam
UUD 1945, Pasal 27 ayat 2 yang menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. UUD 1945 sebagai
perangkat hukum tertinggi dalam hierarki perundangan negara Republik Indonesia,
merupakan sumber dari segala sumber hukum positif dalam tatanan ketatanegaraan dan
kehidupan setiap warga negara Indonesia.
UUD 1945 dan Pancasila sebagai landasan dan falsafah hukum Indonesia
menetapkan kewajiban negara untuk memfasilitasi warga negaranya agar dapat
memperoleh pekerjaan dan kehidupan yang layak. Dengan pembangunan infrastruktur
dalam rangka menyediakan lapangan pekerjaan dan sistem hukum ketenagakerjaan
diharapkan dapat memenuhi kepentingan-kepentingan pihak-pihak yang terlibat guna
mewujudkan aspek penegakan hukum.

Dalam hal ini diyakini bahwa setiap aspek dalam pelaksanaan hubungan kerja
yang dituangkan dalam aturan-aturan di tingkat internal perusahaanbaik dalam
Peraturan Perusahaan atau Kesepakatan Kerja Bersama haruslah sesuai dengan
ketentuan hukum positif yang berlaku atau lebih baik adanya.

Hukum positif merupakan hukum yang sedang berlaku dalam suatu negara
(hukum dalam arti tata hukum).8 Dalam asas hukum dikenal istilah lex specially
derogate lex generally atau hukum dan aturan yang mengatur khusus membatalkan
hukum dan aturan yang berlaku umum untuk itu di bidang hukum ketenagakerjaan
banyak terdapat suatu undang-undang mempunyai peraturan menteri, keputusan
menterig sebagai suatu kebijakan pelaksana dari substansi yang diatur; atau bahkan
suatu peraturan pemerintah mempunyai suatu surat edaran oleh menteri sebagai juklak
pelaksanaannya.

Normatif (norma kerja) dalam hubungan kerja yang penerapannya dalam praktik-
praktik ketenagakerjaan selalu berbicara terhadap adanya pemenuhan antara hak dan
kewajiban dari para pihak yangterlibat, yakni Pengusaha dan Pekerja dengan sama-
sama dalam pemenuhan kepentingan atas hak dan kewajiban tersebut, dapat disebutkan
dalam tatanan pengaturan-pengaturan seperti upah minimum, waktu istirahat, wajib atas
pelaporan perusahaan, jaminan sosial, tunjangan hari raya, dan masih banyak hal-hal
lain yang diatur dalam hukum positif yang berlaku. Berdasarkan pengalaman dan
pemahaman penulis terkait dengan penerapan norma kerja dalam tatanan hukum
ketenagakerjaan terdiri dari beberapa hukum positif, antara lain:

a. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.


b. Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja.
c. Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial.
d. Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek.
e. Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
f. Undang-Undang No. 7 Tahun 1980 tentang Wajib Lapor Perusahaan.
g. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah.
h. Peraturan Pemerintah 19/MEN/2012 tentang Outsourching.
i. Permen 100/MEN/2003 tentang PKWT.
j. Peraturan Menteri Tenaga Kerja & Transmigrasi No. 19 Tahun 2012 tentang
Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan
Lain.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Pasal-pasal dalam Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Hukum Ketenagakerjaan

Sebagaimana diketahui bahwa sejak diundangkannya UndangUndang No. 13


Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan melalui Lembaran Negara Republik Indonesia
No. 29 Tahun 2003 pada tanggal 25 Maret 2003, maka hukum positif di bidang
ketenagakerjaan yang sebelumnya didasarkan kepada Kepmen No. 150/MEN/2000
beralih dengan dasar hierarki peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Tetapi
kemunculan undang-undang ini tidaklah murni mendapatkan apresiasi yang merata dari
seluruh kalangan atau pihak-pihak yang terlibat dalam bidang ketenagakerjaan,
khususnya dari kalangan buruh yang menganggap bahwa kemunculan UU No. 13/2003
merupakan produk perundangan yang syarat akan kepentingan politis dan sebagai nilai
tawar pemerintah terhadap pihak luar yang menginginkan dan mengatur perekonomian
Indonesia khususnya di bidang ketenagakerjaan secara Liberal (Liberalism).

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Hak Uji Materiel Undang-


Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar
1945, maka berikut beberapa hal yang menjadi keputusannya:

a. Khusus Pasal 137 tentang Mogok Kerja dan Pasal 138 (1) tentang mengajak
pekerja/buruh lain untuk mogok kerja dengan tidak melanggar hukum; Maka,
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap. Artinya, mogok kerja dengan
tidak melanggar hukum dan mengajak rekan pekerja/buruh merupakan hak
fundamental pekerja/buruh yang diatur dalam Standar Perburuhan Internasional.
(Status pasal-pasal tersebut tetap diberlakukan).
b. Khusus Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dinyatakan "Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan
kerja dengan alasan pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan
perkawinan dengan pekerja/ buruh lainnya di dalam satu perusahaan kecuali telah
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama".
Frasa kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama inilah yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. (Status
Pasal ini diberlakukan dengan pengecualian pada frasa dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama saja yang tidak berlaku).
c. Khusus Pasal 158 dan 158 (1) tentang PHK akibat melakukan kesalahan berat;
Maka, sepanjang mengenai anak kalimat (isi pasal termaksud) dan (didasari oleh
pengaduan pengusaha), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Artinya,
PHK yang dilakukan sepihak oleh pengusaha dengan alasan pekerja/buruh telah
melakukan kesalahan berat tanpa due process of law dari Lembaga Penyelesaian
PHI, dianggap melanggar asas presumption of innocence (Praduga Tak Bersalah).
Untuk hal tersebut, maka perlu adanya pelaporan dari pihak pengusaha atas adanya
dugaan pelanggar an pidana untuk dibuktikan sesuai dengan hukum acara materiel
(KUHAP) yang akan membuktikan apakah kesalahan tersebut melanggar atau
tidak terkait aspek pidana yang merupakan pengejawatahan dari kesalahan berat.
(Status Pasal dan ayat ini tetap diberlakukan hingga didapati hasil penyidikan pihak
yang berwajib bahwa seorang karyawan tersebut terbukti bersalah atau tidak).
d. Khusus Pasal 159 dengan jelas dinyatakan tidak berlaku lagi, apabila telah
dinyatakan bersalah oleh pihak yang berwajib (Kepolisian). (Status Pasal ini
dinyatakan tidak berlaku).
e. Khusus Pasal 160 (1) tentang pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang berwajib
karena melakukan tindak pidana (ditambahkan pada anak kalimat dengan: bukan
atas pengaduan pihak pengusaha); Maka, dinyatakan tetap berlaku yakni
pengusaha tidak wajib membayar upah pekerja/buruh, melainkan hanya
berkewajiban memberikan santunan kepada keluarga pekerja/buruh sesuai
ketentuan Pasal 160 (1) huruf a - d. (Status Pasal tetap berlaku sepanjang bukan
atas pengaduan pengusaha).
f. Khusus Pasal 170 dan Pasal 171 sepanjang menyangkut Pasal 158 (1) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Artinya, PHK dengan kesalahan berat tetap
dapat dilakukan pengusaha dengan tetap perlu memintakan izin permohonan PHK
kepada instansi terkait atau mengadukan permasalahan tindak pidana pelanggaran
kepada pihak yang berwajib untuk kemudian mendapatkan penetapan status
bersalah baru kemudian dapat dilakukan PHK. (status PasalPasal ini tetap berlaku
sepanjang tidak menyangkut Pasal 158 (1)).
g. Khusus Pasal 96, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 100/PUU-
X/2013 tanggal 19 September 2013 dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal ini
menghapuskan masa kedaluwarsa terhadap tuntutan pembayaran upah
pekerja/buruh dan segala upah yang timbul karena adanya hubungan kerja sejak
timbulnya hak tersebut. Artinya, tidak lagi terdapat masa kedaluwarsa selama 2
tahun, 100 tahun pun buruh menuntut hak atas upahnya dan lain-lain sebagaimana
termaksud, maka akan tetap dapat diproses. (Status Pasal ini dihapuskan).

D. SYARAT KERJA DAN PERJANJIAN KERJA DALAM HUBUNGAN KERJA


1. Syarat Kerja (Mikro Kondisional)

Syarat kerja dalam praktik ketenagakerjaan dapat diartikan sebagal suatu bentuk
pemenuhan aspek formil dalam hukum terhadap kajian teori dan praktik. Menurut
hukum ketenagakerjaan syarat kerja dalam sistem hubungan kerja haruslah memenuhi
unsur-unsur sebagai berikut:

a. Unsur Adanya Pekerjaan

Secara yuridis, unsur ini merupakan salah satu syarat kerja. Unsur pekerjaan
merupakan objek hukum yang dijadikan sebagai dasar dalam melakukan dan
menciptakan perbuatan dan hubungan hukum ketenagakerjaan oleh masing-masing
subjek hukum.1? Dengan kata lain, kedua belah pihak sepakat melakukan kerja
sama dengan imbalan yang telah disepakati dalam suatu perjanjian kerja. Syarat sah
perjanjian kerja, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003, menyebutkan bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar
kesepakatan kedua belah pihak, kemampuan atau kecakapan dalam melakukan
perbuatan hukum (dalam patokan usia/umur), adanya pekerjaan yang diperjanjikan,
dan pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan peraturanperundangan yang berlaku.11 Pasal ini sesuai dengan Pasal
1320 KUH Perdata, di mana perjanjian dianggap sah apabila adanya kesepakatan
para pihak, cakap, hal tertentu, dan sebab halal.

TABEL 6.1. Kesamaan UU Ketenagakerjaan dan KUH Perdata tentang Syarat Sah Perjanjian

Pasal 52 ayat (1) UU No. 13/2003 Pasal 1320 KUH


Perdata
Kesepakaan kedua belah pihak Sepakat
Kemampuan taua kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum
Cakap
(dalam patokan usia/umur)
Adanya pekerjaan yang diperjanjikan Hal tertentu
Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban
Sebab halal
umum, kesusilaan, dan peraturan-peraturan yang berlaku

b. Unsur Adanya Upah

Upah merupakan suatu bentuk persetujuan atau kesepakatan yang dapat


dilakukan secara verbal atau tulisan. Menurut Pasal 1 huruf (a) Peraturan Pemerintah
No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah. upah adalah:

”suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh untuk se. suotu
pekerjaan atau jasa yangtelah atau akandilakukan,dinyatakanatau dinilai dalam
bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan,atau peraturan perundang-
undangan, dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan
buruh, termasuk tunjangan baik untuk buruh sendiri maupun keluarganya.”

Upah dalam ketentuan ketenagakerjaan minimal adalah upah minimum yang


ditetapkan oleh pemerintah daerah terkait upah minimum provinsi dan upah
minimum sektoral oleh gubernur.

Pengusaha dalam praktik hubungan kerja yang memenuhi adanya unsur


upah, tidak boleh memberikan upah kepada tenaga kerja/buruh lebih rendah dari
upah minimum yang telah ditetapkan. Hal sebagaimana pemberian upah ini telah
diatur dalam Pasal 90 ayat (1) UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 yang berbunyi
bahwa pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 89.

c. Unsur Adanya Perintah

Perintah dalam perspektif ini janganlah dilihat sebagai keunggulan yang


dimiliki oleh pengusaha sebagai bargaining position dalam pencitraan hubungan
kerja. Perintah haruslah diinisiatifkan dan diartikan sebagai bagian dari adanya
kebutuhan atas pekerjaan yang harus dilakukan terhadap jasa untuk melakukan
pekerjaan tersebut. Jadi pada prinsipnya unsur saling "membutuhkan" harus
dikedepankan dalam mewujudkan hubungan kerja, baik dalam sektor formil maupun
nonformil.

Dapat dimengerti bahwa unsur terkait adanya perintah merupakan


penggabungan atas terpenuhi syarat objektif dalam KUH Perdata, yakni adanya hal
tertentu dan adanya causa halal. Dalam pengertian tersebut, maka perintah yang
diberikan oleh 1 pihak kepada pihak lain apabila tidak memenuhi syarat obejktif
tersebut, maka akan berakibat terhadap batal demi hukum.

d. Unsur Adanya Waktu Tertentu

Melihat perjanjian kerja yang didasarkan atas waktu perjanjian, maka dapat
dibedakan terhadap perjanjian dengan kerja waktu tertentu dan perjanjian dengan
kerja waktu tidak tertentu. Terhadap hal ini penulis mempunyai pandangan yang
berbeda, di mana suatu hubungan kerja pasti akan berakhir dalam suatu waktu
tertentu, atau dapat disepakati berdasarkan suatu waktu tertentu, baik waktu tersebut
dapat ditentukan atau waktu tersebut tidak dapat ditentukan. Suatu proses kematian
merupakan hal yang pasti akan dilalui oleh setiap makhluk hidup, hal ini sebagai
contoh di mana suatu hubungan kerja yang terjadi dan manakala terjadi proses
kematian oleh pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan kerja, maka waktu tertentu
yang tidak dapat diukur tesebut menjadi tanda bahwa hubungan kerja berakhir.
Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan dalam Pasal 166
bahwa suatu hubungan kerja berakhir adalah karena salah satunya adalah suatu
ukuran waktu, seperti kematian.

2. Perjanjian Kerja

Suatu bentuk perbuatan hukum antara buruh dan pengusaha yang sama-sama
dalam suatu perikatan memunculkan hubungan hukum terhadap pemenuhan hak dan
kewajiban dengan didasari adanya perintah, upah, hal yang dipekerjakan, dan waktu
tertentu. Dalam undang-undang 13 Tahun 2003 Pasal 50 disebutkan bahwa hubungan
kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan buruh yang dibuat
atau disepakati baik secara lisan maupun tertulis. Hubungan kerja merupakan sesuatu
yang abstrak, di mana konkret dari suatu hubungan kerja adalah adanya Perjanjian
Kerja. Dengan kata lain, bahwa ikatan karena adanya perjanjian kerja inilah yang
merupakan hubungan kerja.

Hubungan kerja memunculkan suatu perjanjian kerja, baik yang tertulis maupun
lisan. Perjanjian kerja yang dibuat tersebut harus memenuhi unsur syarat sah perjanjian
dalam KUH Perdata Pasal 1320 sebagaimana yang telah tersebutkan di atas.
Pelanggaran atas tidak terpenuhinya syarat sepakat dan cakap, maka terhadap perjanjian
kerja tersebut dapat dibatalkan (syarat subjektif), sedangkan jika tidak terpenuhi salah
satu dari syarat hal tertentu dan sebab halal, maka perjanjian kerja tersebut batal demi
hukum, tanpa harus diajukan lagi untuk pembatalan (syarat objektif).
Perjanjian kerja dilihat dari jangka waktu perjanjiannya dikenal dengan adanya
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT/Kontrak) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak
Tertentu (PKWTT/Tetap). Kedua bentuk perjanjian ini merupakan bentuk atas status
pekerja yang paling lazim. dalam tatanan praktik ketenagakerjaan di Indonesia.
Beberapa hal yang membedakan bentuk status perjanjian ini ditampilkan pada Tabel
6.2. sebagai berikut:

TABEL 6.2. PKWT dan PKWTT dalam Pro-Kontra Praktik Ketenagakerjaan

PKWT PKWTT
Dilakukan dengan aturan dan mekanisme Dilakukan dengan melalui masa percobaan
PKWT yang berlaku (212) selama 3 bulan
Dapat diperpanjang 1 kali, mengikuti masa Dapat diperpanjang masa percobaan 3 bulan
jeda 30 hari, dan dilakukan kontrak terakhir dengan dasar adanya kesepakatan
sebanyak 1 kali
Dapat diakhiri sewaktu-waktu oleh para Pengakhiran perjanjian tidak berkonsekuensi
pihak sesuai hal-hal yang diatur dan memiliki terhadap pinalty
konsekuensi penalty atas pengakhiran
perjanjian kerja tersebut
Wajib didaftarkan jamsostek sejak Kesepakatan jamsostek umumnya terjadi
dimulainya hubungan kerja, tetapi pada pada saat telah melampaui masa percobaan
prakteknya PKWT tidak didaftarkan atas
jamsostek
Umumnya tidak dilihat tentang jenis dan sifat Praktek masa percobaan biasanya diberikan
pekerjaan dalam praktek PKWT untuk pekerjaan-pekerjaan yang dapat
terukur pencapainnya.

Selain PKWT dan PKWTT yang telah disebutkan di atas, sering kita
mendengarjugaterkaitPerjanjian Kerja Harian Lepas (part timer), Internship (magang),
Borongan Pekerjaan (outsourching). Dalam pembahasan ini, isu mengenai penyerahan
sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain menjadi hal yang saat ini (sejak
Oktober 2013) sedang diperbincangkan terkait keluarnya Permenakertrans No. 19
Tahun 2012. Secara singkat bahwa Perusahaan Pemberi Kerja yang memberikan
sebagian pekerjaan kepada Perusahaan Penerima Kerja sesual Pasal 7 Permenakertrans
ini dilarang menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan penerima
pekerjaan melalui pemborongan pekerjaan apabila belum memiliki Bukti Pelaporan
yang dikeluarkan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
Kabupaten/ Kota setempat. Manakala hal ini dilanggar ( Pasal 7 ayat (1)), maka pada
ayat (2) Pasal 7 menyebutkan bahwa tanggung Jawab hubungan kerja antara
pekerja/buruhdenganperusahaanpener ma pekerjaan menjadi beralih ke perusahaan
pemberi kerja.

Kekosongan hukum atas berlakunya Permenakertrans No.19/2014 ini terhadap


praktik penyerahan sebagian pekerjaan dan jasa tenaga kerja dalam suatu perusahaan
yang telah melaksanakan perjanjian kerja dengan sistem outsourching ini perlu
dipikirkan lebih lanjut mengingat kegiatan operasional atas pekerjaan tidak boleh
berhenti, sehingga menurut hemat penulis, terhadap perjanjian penyerahan pekerjaan
dan jasa tenaga kerja yang sudah berjalan dan akan berakhir perlu dibuatkan suatu
Amandemen atas Perjanjian tersebut. Hal ini menjadi perlu mengingat aturan pelaksana
dari Permenakertrans No. 19/2012 yakni Surat Edaran Menakertrans No. 04 Tahun
2013 yang dikeluarkan pada bulan Agustus 2013 menjelaskan dengan saksama dan
terperinci terkait bahwa penentuan core dan non-core dalam alur proses pekerjaan
harusdisetujui oleh asosiasi bidang usaha terkait, dan perlu adanya bukti pelaporan.
Perusahaan pemberi pekerjaan dan Jasa Tenaga Kerja harus memperhatikan persyarat
formil atas syarat-syarat yang telah ditentukan kalau tidak mau menerima suatu risiko
bahwa tanggung jawab atas hubungan kerja tersebut menjadi beralih kepada perusahaan
pemberi pekerjaan dan jasa tenaga kerja.

Sebagaimana diketahui bahwa pada tanggal 31 Oktober dan 1 November 2014


telah dilakukan pesta buruh dalam mogok kerja nasional untuk melakukan suatu aksi
demo yang menuntut hal-hal terkait Upah Minimum 2014, kebijakan kontrak dan
outsourching. Buruh menghendaki agar dalam melakukan penghitungan upah minimum
didasari dengan perhitungan komponen-komponen Kebutuhan Hidup Layak sebanyak
80-an jenis komponen, termasuk dalam hal yang diharapkan adalah bedak, lipstick.
Akan tetapi, otoritas yang mempunyai kewenangan dalam Dewan Pengupahan yang
melakukan survey atas perhitungan kebutuhan hidup layak hanya melakukan
perhitungan berdasarkan 60 komponen, sehingga sejak tanggal 1 November 2013, 12
Provinsi telah menetapkan UMP di daerah masing-masing, di mana DKI Jakarta
sebagai contoh dalam penulisan ini telah menetapkan UMP 2014 sebesar Rp 2.441.000
dengan didasari dari perhitungan KHL sebesar Rp 2.299.000 ,-.

Sistem kerja kontrak dengan berkedok pemborongan sebagian pekerjaan dan


jasa tenaga kerja merupakan hal lain yang menjadi tuntutan buruh untuk dihapuskan
karena tidak sesuai dengan semangat Hubungan Industrial Pancasila yang mengacu
kepada norma-norma kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal tersebut merupakan
bentuk dari praktik perburuhan modern yang dilakukan dengan dasar bahwa perusahaan
tidak mau menanggung uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang
penggantian hak, manakala terjadi pengakhiran hubungan kerja yang secara hukum
positif ketenagakerjaan yang berlaku menentukan atau mengatur hal tersebut.

E. PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL


1. Hubungan Industrial dan Perselisihan Hubungan Industrial

Hubungan kerja yang baik antara pekerja/buruh dan pengusaha didasari pada
adanya keseimbangan antara hak-hak dan perlindungan pekerja/buruh dengan
pengembangan usaha pengusaha. Yang dimaksud hubungan industrial berdasarkan
Pasal 1angka16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi
barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah
yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD RI Tahun 1945. Dalam
melaksanakan hubungan industrial terdapat tiga fungsi utama, yaitu:
a. Pemerintah dalam hal ini mempunyai fungsi menetapkan kebijakan, memberikan
pelayanan, melaksanakan pengawasan dan melakukan penindakan terhadap
pelanggaran peraturan perundangundangan;
b. Pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh mempunyai fungsi menjalankan
pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan
produksi, menyalurkan aspirasisecara demokratis, mengembangkan keterampilan
dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan anggota
beserta keluarganya;
c. Pengusaha dan organisasi pengusaha mempunyai fungsi menciptakan kemitraan,
mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja dan memberikan
kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan.

Fungsi-fungsi pekerja/buruh dan pengusaha di atas, sering kali tidak dipenuhi


oleh masing-masing pihak yang dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kondisi ekonomi
makro, peningkatan kebutuhan seharihari pekerja/buruh, persaingan usaha, suasana
kerja dan lain-lain dapat menyebabkan terjadinya perselisihan antara pekerja/buruh
dengan pihak pengusaha. Keinginan salah satu pihak yaitu pekerja/buruh berkaitan
dengan kenaikan gaji dan tunjangan-tunjangan lainnya sering kali tidak dapat dipenuhi
oleh pengusaha. Di sisi lain, keinginan pengusaha dengan menuntut produktivitas kerja
yang tinggi, efisien dan tepat juga tidak dapat dipenuhi oleh pekerja/buruh.
Ketidakpuasan kondisi kerja masing-masing pihak akan menimbulkan perselisihan
antara pekerja/ buruh dan pengusaha di dalam hubungan kerja. Perselisihan ini bisa
terjadi karena adanya perbedaan pendapat mengenai pelaksanaan hubungan kerja,
syarat-syarat kerja dan kondisi kerja.Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan
pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan
pengusaha dengan pekerja/buru atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya
perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan pemutusan
hubungan kerja serta perselisihan antara serikat perkerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan. (vide Pasal 1 angka 22 UU Ketenagakerjaan).

Prof. Iman Soepomo menyebutkan dua bentuk perselisihan yang mungkin terjadi
dalam suatu hubungan kerja13 yaitu:

a. Perselisihan hak (rechtsgeschillen), yaitu jika masalah yang diperselisihkan adalah


mengenai hal yang telah diatur atau ditetapkan dalam suatu perjanjian kerja,
perjanjian kerja bersama, peraturan perusahaan atau dalam suatu peraturan
perundang-undangan. Suatu perselisihan hak bisa terjadi karena perbedaan
pelaksanaan suatu aturan dan perbedaan perlakuan terhadap suatu aturan, atau
perbedaan penafsiran terhadap suatu aturan.
b. Perselisihan kepentingan (belangengeschillen) yaitu tidak adanya
persesuaianpaham mengenai perubahan syarat-syarat kerja dan/ atau keadaan
perburuhan, biasanya berupa tuntutan perubahan atau perbaikan syarat-syarat kerja
dan/atau keadaan perburuhan. Misalnya pembaruan suatu perjanjian kerja bersama,
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja.

Pengertian perselisihan hubungan industrial berdasarkan Pasal 1 angka (1)


Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau
serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh dalam satu perusahaan. Jadi dalam peraturan ini terdapat perluasan perselisihan
hubungan industrial menjadi empat kriteria sebagai berikut:

a. Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak
akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan, perjanjian kerja, praturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama;
b. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja
karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan dan/atau perubahan
syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja atau peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama;
c. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihanyang timbul karena
tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang
dilakukan oleh salah satu pihak;
d. Perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat
pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/ser kat buruh lain hanya dalam satu
perusahaan karenatidakadanya persesuaian paham mengenai keanggotaan,
pelaksanaan hak dar kewajiban keserikatpekerjaan.

2. Pemutusan Hubungan Kerja dan Larangan PHK

Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan
pengusaha. Subjek, isi dan keadaan yang melingkupi perjanjian kerja bermacam-
macam. Berdasarkan atas hal ini, maka dalam kepustakaan juga dikenal beberapa
macampemutusan hubungan kerja sebagai berikut:

a. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengusaha/Majikan

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja


karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara
buruh dan pengusaha. Semua pihak yangterkait dalam hubungan industrial harus
mengupayakan dengan segala cara untuk menghindari PHK. Bila upaya tersebut
telah dilaksanakan tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindarkan, maka
PHK baru dapat dilaksanakan setelah mendapat penetapan dari lembaga
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Tanpa penetapan dari
lembaga PPHI, maka PHK yang dilakukan dinyatakan batal demi hukum. Penetapan
PHK dari lembaga PPHI tidak diperlukan apabila:

i. Buruh masih dalam masa percobaan kerja. Masa percobaan kerja harus
dinyatakan secara tertulis sebelumnya;
ii. Buruh mengajukan permintaan pengunduran diri secara tertulis atas kemauan
sendiri tanpa ada indikasi tekanan atau intimidasi dari pengusaha;
iii. Berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu
tertentu(PKWT);
iv. Buruh mencapai usia pensiun dengan ketetapan dalam perjanjian kerja,
perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan
v. Buruh meninggal dunia.

b. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Buruh

Terdapat 2 macam PHK atas permintaan buruh: pertama, dengan alasan


mengundurkan diri atas kemauan sendiri dilakukan tanpa penetapan lembaga
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial(PPHI). Kedua, PHK atas permintaan
buruh karena adanya ancaman atau pelecehan dari pengusaha yang membutuhkan
penetapan dari lembaga PPHI. Buruh yang mengundurkan diri harus memenuhi
syarat:

i. Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya


30 hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
ii. Tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
iii. Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.

Buruh yang di PHK atas permintaan buruh karena diancam ataupun


dilecehkan membutuhkan penetapan lembaga PPHI.Selama menunggu penetapan
lembaga tersebut, buruh dan pengusaha harus melaksanakan kewajibannya.

c. Pemutusan Hubungan Kerja Demi Hukum

Hubungan kerja putus demi hukum yang terjadi dalam hal hubungan kerja
yang diadakan untuk waktu tertentu. Apabila hubungan kerja berlangsung sampai
waktu yang diperjanjikan, maka hubungan kerja akan berakhir demi hukum dengan
lewatnya waktu tersebut. Dalam hal hubungan kerja berakhir demi hukum,
dimaksudkan bahwa hubungan kerja tersebut akan berakhir dengan sendirinya dan
untuk itu tidak perlu ada perbuatan hukum tertentu misalnya harus membayar
pesangon. Kecuali jika pengusaha atau buruh/pekerja mengakhiri hubungan kerja
kontrak sebelum masa kontrak berakhir, maka mereka harus membayar sisa kontrak
kepada buruh/pekerja atau kepada pengusaha. Dalam hal alasan PHK berdasarkan
alasan pencurian atau penggelapan milik perusahaan, maka ia tidak berhak atas sisa
kontrak dimaksud.14 Apabila pekerja/buruh meninggal dunia maka hubungan kerja
putus demi hukum (Pasal 1603 j). Karena sifat hubungan kerja antara majikan
dengan buruh bersifat persoonlijk, maka jika buruh meninggal dunia dengan
sendirinya hubungan kerjanya putus.

d. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengadilan

Terutama terjadi sehubungan dengan adanya alasan penting yaitu kondisi dan
situasi yang menyebabkan hubungan kerja tidak dapat berlangsung terus. Sedang
para pekerja/buruh bersikeras tidak mau diakhiri hubungan kerjanya atau masih
terjadi perbedaan pendapat tentang besarnya pesangon yang seharusnya dibayarkan
oleh pengusaha. Dalam hal ini, harus diputuskan oleh Pengadilan Hubungan
Industrial menyangkut dapat atau tidak dapatnya pesangon, besar kecilnya pesangon
serta hak-hak lainnya dan keabsahan PHK dimaksud.

Pengusaha yang melakukan PHK dengan alasan-alasan sebagaimana terdapat


di dalam Pasal 153 ayat (1) UU Ketenagakerjaan adalah batal demi hukum dan
pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan. Adapun
alasan-alasan yang dilarang untuk di PHK adalah sebagai berikut:

i. Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter


selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas)bulan secara terus-menerus;
ii. Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi
kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
iii. Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
iv. Pekerja/buruh menikah;
v. Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan atau menyusui
bayinya;
vi. Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan
pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan kecuali telah diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama;
vii. Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat
pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat
buruh di luar jam kerja atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha atau
berdasarkan ketentuan yang diatur di dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama;
viii. Pekerja/buruhyangmengadukanpengusahakepadayangberwajib mengenai
perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
ix. Karena perbedaan paham, agama,aliranpolitik,suku,warnakullt, golongan, jenis
kelamin, kondisi fisik atau status perkawinan;
x. kerja Pekerja/buruh atau sakit dalam karena keadaan hubungan cacat kerja tetap,
yang sakit menurut akibat kecelakaansurat keterangan dipastikan dokter yang
jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
3. Hak Buruh Setelah PHK

Meskipun hubungan kerja telah berakhir karena hal-hal di atas, buruh masih
mendapatkan hak-hak mereka sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu uang
pesangon, uang penghargaan dan uang penggantian hak. Selama proses penetapan
PHK, maka upah pekerja/buruh tetap dibayar oleh pengusaha sebagaimana diatur dalam
Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama.

Buruh yang diputuskan hubungan kerjanya jika dikaitkan dengan uang pesangon,
uang jasa dan ganti kerugian dapat digolongkanmenjadi tiga kelompok, yaitu:

a. Buruh yang diputuskan hubungan kerjanya tanpa uang pesangon maupun uang jasa
ialah buruh yang telah melakukan kesalahan berat, pekerja/buruh yang
mengundurkan diri atas kemauan sendiri. Selain itu dapat juga dikualifikasikan
mengundurkan diri jika pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau
lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis dengan bukti yang sah dan
teleh dipanggil oleh pengusaha dua kali secara patut dan tertulis dapat di PHK.
Yang dimaksud kesalahan berat di sini adalah melakukan penipuan, pencurian,
penggelapan barang/uang milik perusahaan, memberikan keterangan palsu
sehingga merugikan perusahaan, mabuk, minum minuman keras, narkoba,
menyerang, menganiaya, mengintimidasi teman sekerja/pengusaha, membongkar
atau membocorkan rahasia perusahaan dan lain-lain. Pekerja/ Buruh dapat
memperoleh uang penggantian hak dan uang pisah yang besarnya diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama;
b. Buruh yang diputuskan hubungan kerjanya dengan diberikan uang pesangon
sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan dan uang
penghargaan sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) UU
Ketenagakerjaan dan uang pengganti hak sesuai Pasal 156 ayat (4) UU
Ketenagakerjaan adalah: Pertama, pekerja/buruh yang melakukan pelanggaran
ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau
Perjanjian Kerja Bersama. Pengusaha dapat melakukan PHK jika telah
memberikan surat peringatan pertama, kedua dan ketiga secara berturut-turut
kepada pekerja/buruh. Kedua, pengusaha melakukan PHK terhadap pekerja/buruh
dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan atau perubahan
kepemilikan perusahaan danpekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan
kerja. Ketiga, pengusaha melakukan PHK karena perusahaan tutup yang
disebabkan perusahaan mengalami kerugian terus-menerus. Keempat. perusahaan
pailit;
c. Buruh yang diputuskan hubungan kerjanya dengan diberikanuang pesangon
sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) UU Ketengakerjaan dan uang
penghargaan sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) UU
Ketenagakerjaan dan uang pengganti hak sesuai Pasal 156 ayat (4) UU
Ketenagakerjaan adalah jika perusahaan melakukan efisiensi, pekerja/buruh
meninggal dunia, jika pengusaha tidak mengikutsertakan dalam program pensiun.
Selain pengusaha, pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan PHK kepada
lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dalam hal pengusaha
melakukan perbuatan menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam buruh,
membujuk dan/atau menyuruh pekerja melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan, tidak membayar upah tepat waktu selama 3
(tiga) bulan berturut-turut, tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan
kepada pekerja/buruh, memerintahkan pekerja/buruh melakukan pekerjaan di luar
yang diperjanjikan, memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa,
keselamatan, kesehatan dan kesusilaan pekerja/buruh, sedangkan pekerjaantersebut
tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.

Jika terjadi PHK, maka pengusaha wajib membayar uang pesangon, uang
penghargaan masa kerja, uang penggantian hak yang meliput penggantian cuti tahunan
yang belum diambil, biaya perjalanan pulang ketempat buruh dan keluarganya diterima
kerja pada saat awal, uang penggantian perumahan, pengobatan dan perawatan yang
ditetapkan sebesar 15% dari uang pesangon atau penghargaan masa kerja,dan yang
berakhir adalah biaya yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
dan perjanjian kerja bersama.Berikut ini perhitungan pesangon dan penghargaan bagi
pekerja/buruh yang di PHK, yaitu:

TABEL 6.3. Perhitungan Pesangon dan Penghargaan Pesangon

Pesangon Penghargaan
Masa kerja Jumlah Upah Masa Kerja Jumlah Upah /
/Bulan Bulan
< 1 tahun 1 Bulan Upah >3 s/d < 6 tahun 1 Bulan
>1 s/d < 2 tahun 2 Bulan Upah >6 s/d < 9 tahun 3 Bulan
>2 s/d < 3 tahun 3 Bulan Upah >9 s/d < 12 tahun 4 Bulan
>3 s/d < 4 tahun 4 Bulan Upah >12 s/d < 15 tahun 5 Bulan
>4 s/d < 5 tahun 5 Bulan Upah >15 s/d < 18 tahun 6 Bulan
>5 s/d < 6 tahun 6 Bulan Upah >18 s/d < 21 tahun 7 Bulan
>6 s/d < 7 tahun 7 Bulan Upah >21 s/d < 24 tahun 8 Bulan
>7 s/d < 8 tahun 8 Bulan Upah >24 tahun 10 Bulan
>5 s/d < 6 tahun 9 Bulan Upah - -

Dari daftar tabel tersebut di atas, maka buruh memperolehuang pesangon dan
uang penghargaan apabila telah memenuhi dua syarat kumulatif, yaitu:

a. PHK tersebut dilakukan oleh majikan bukan karena kesalahan buruh, baik kesalahan
berat maupun kesalahan ringan;
b. Masa kerja buruh tersebut harus sudah lima tahun atau lebih.

4. Penyelesaian Perselisihan Ketenagakerjaan/Perburuhan

Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapatyang


mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai
hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta
perselisihan antara serikat perkerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 22 UU Ketenagakerjaan. Penyelesaian
perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha danpekerja/buruh
atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat. Dalam hal
penyelesaian secara musyawarah mufakat tidak tercapai, maka pengusaha dan
pekerja/buruh atau serikat pekerja/ buruh menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial melalui prosedurpenyelesaianperselisihan hubungan industrial yang diatur
dalam undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial (PPHI). UU ini memungkinkan adanya penyelesaian perselisihan
hubungan industrial melalui pengadilan, yaitu PengadilanHubunganIndustrial (PHI).

Mekanisme penyelesaian perselisihanhubunganindustrialterda pat dua sistem,


yaitu:

a. Penyelesaian Perselisihan di Luar Pengadilan


1. Mediasi

Ketentuan tentang mediasi diatur dalam UUNomor2Tahun2004 tentang


Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial danPeraturan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi RepublikIndonesiaNomor 17 Tahun 2014 tentang
PengangkatandanPemberhentianMediator Hubungan Industrial serta Tata Kerja
Mediasi. Yang dimaksudmediasi di sini adalah penyelesaian melalui musyawarah
yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Mediator adalah
pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidangketenagakerjaan
yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh menteri
untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan
anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan
perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
kerja dan perselisihan antarserikat pekerja/ serikat buruh dalam satu perusahaan.
Jadi Perselisihan yang dapat diselesaikan melalui Pegawai mediator dari dinas
tenaga kerja setempat adalah:

 Perselisihan hak;
 Perselisihan kepentingan;
 PHK;
 Perselisihan antarserikat buruh dalam satu perusahaan.

Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan


industrial melalui mediasi, maka dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani
oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftar di Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak
mengadakanperjanjianbersamauntuk mendapatkan akta pendaftaran. Jika tidak
tercapai kesepakatan maka mediator mengeluarkan anjuran tertulisselambat-
lambatnya10(sepuluh) hari kerja sejak sidang mediasi pertama harus sudah
disampaikan kepada para pihak. Para pihak memberikan jawaban secara tertulis
ke pada mediator yang isinya menyetujui atau menolakanjurantertulis dalam
waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran
tertulis. Pihak yang tidakmemberikanpendapatnyadianggap menolak anjuran
tertulis.

Dalam hal para pihak menyetujui, maka dibuat perjanjian bersama yang
kemudian didaftarkan di PHI pada Pengadilan Negeri diwilaya hukum akta pihak-
pihak bukti pendaftaran. mengadakan Dalam perjanjian hal anjuran tertulis
ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka para pihak atau salah satu
pihak dapat melanjutkan penyelesaian PHI pada Pengadilan Negeri setempa.
Mediator menyelesaikan tugasnya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja
terhitung menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan PHI. Sifat dari anjuran
yang dikeluarkan oleh mediator tidak memiliki kekuatan hukum eksekutorial.
Anjuran berisi keterangan dan tuntutan para pihak dan pendapat atau kesimpulan
mediator.

2. Konsilliasi

Konsiliasi adalah penyelesaian melalui musyawarah yang ditengahi oleh


seorang konsiliator yang memenuhi syarat-syarat konsiliator yang ditetapkan oleh
Menteri (Vide UU Nomor 2 Tahun 2004 adalah pegawai perantara swasta).
Perselisihan yang bisa diselesaikan oleh pegawai perantaraswastaadalah
perselisihan kepentingan, PHK, dan perselisihan antarserikat buruh dalam satu
perusahaan. Penyelesaian oleh konsiliator dilaksanakan setelah para pihak
mengajukan permintaan penyelesaian secara tertulis kepada konsiliator yang
ditunjuk dan disepakati oleh para pihak.

Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan


industrial melalui konsiliasi, maka dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani
oleh para pihak dan disaksikan oleh konsiliator dan didaftar di Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak
mengadakan perjanjian bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.

Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan


industralia, maka konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis dalam waktu
selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang konsiliasi pertama harus
disampaikan kepada para pihak. Para pihak sudah memberikan jawaban tertulis
kepada konsiliator yang isinya menyetujui atau menolak ajuran tertulis. Pihak
yang tidak memberikan jawabannya dianggap menolak anjuran tertulis. Dalam
hal para pihak menyetujui, maka konsiliator membantu para pihak membuat
perjanjian bersama untuk didaftarkan di PHI pada PN di wilayah pihakpihak
mengadakan perjanjian bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.

Apabila perjanjian bersama tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak maka
pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan ekseksusi di PHI. Dalam
hal anjuran tertulis ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka salah satu
pihak atau para pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan di PHI.

3. Arbitrase

Merupakan perselisihan yang diselesaikan di luar pengadilan hybungan


industrial yang dapat ditempuh melalui kesepakatan tertulis Isinya adalah para
pihak yang berselisih bersepakat untuk menyerahkan perselisihan kepada arbiter.
Arbitrase dipimpin oleh Arbiter yang dapat ditunjuk oleh para pihak yang
berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh menteri. Penyelesaian
perselisihan hubungan industrial oleh Arbiter atau Majelis Arbiter dilakukan
secara tertutup kecuali para pihak yang berselisih menghendaki lain. Dalam
sidang arbitrase, parapihak yang berselisih dapat diwakili oleh kuasanya dengan
surat kuasa khusus.

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial oleh Arbiterharus diawali


dengan mendamaikan kedua belah pihak yang berselisih. Jika tercapai
kesepakatan maka dibuatkan akta perdamaian yang didaftarkan di Pengadilan
Hubungan Industrial pada PN di wilayah Arbiter mengadakan perdamaian.
Apabila upaya perdamian gagal, maka sidang arbitrase diteruskan. Dalam
persidangan arbitrase para pihak diberi kesempatan untuk menjelaskan secara
tertulis maupun lisan pendirian masing-masing serta mengajukan bukti yang
dianggap perlu untuk menguatkan pendirian.

Keputusan arbitrase adalah mengikat para pihak yang berselisih dan


bersifat final. Perselisihan yang bisa diselesaikan melalui arbitrase adalah:
perselisihan kepentingan, dan perselisihan antarserikat buruh dalam satu
perusahaan. Putusan Arbiter bersifat final dan mengikat para pihak. Setelah
Arbiter menetapkan putusan, maka putusan tersebut didaftarkan ke PHI setempat.
Dalam hal putusan arbitrase tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak
yang dirugikan dapat mengajukan fiat eksekusi di Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi kedudukan
pihak siapa putusan itu harus dijalankan, agar putusan diperintahkan untuk
dijalankan.

b. Penyelesaian Perselisihan Melalui Pengadilan

Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) adalah forum penyelesaian


perselisihan melalui pengadilan, yakni pengadilan khusus yang dibentuk di
lingkungan pengadilan negeri. Hukum acara yang berlaku pada pengadilan
hubungan industrial adalah hukum acara perdata, kecual ditentukan lain oleh UU.

Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) merupakan pengadilan tingkat


pertama dan terakhir bagi perselisihan,baikperselisihankepentingan maupun
perselisihan antarserikat buruh. Untukperselisihan hak dan perselisihan PHK, PHI
merupakan pengadilan tingkat pertama, namun bukanlah tingkat terakhir. Para pihak
masih boleh mengajukan kasasi, bahkan kemudian peninjauan kembali PK ke
Mahkamah Agung. Untuk perselisihan kepentingan dan perselisihan antarserikat
pekerja/ serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan pengadilan tingkat pertama
dan tingkat terakhir.

Buruh atau serikat buruh yang hendak mengajukan tuntutan kepada


pengusaha melalui PHI, terlebih dahulu membuatan gugatan kemudian
mendaftarkannya ke PHI. Buruh dapat bertanya tata cara pembuatan gugatan kepada
Panitera PHI. Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan
Hubungan Industrial yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja
dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya putusan dari pihak pengusaha.
Pengajuan gugatan yang tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau
konsiliasi, maka hakim PHI wajib mengembalikan gugatan kepada penggugat.

Gugatan akan diperiksa oleh Majelis Hakim yang terdiri atas satu orang
Ketua Majelis yang berasal dari Hakim Karir, satu orang Hakim Ad Hoc dari
perwakilan Pengusaha dan satu orang Hakim Ad Hoc dari perwakilan buruh. Majelis
Hakim sendiri wajib menyelesaikan pemeriksaan gugatan dalam jangka waktu
paling lambat 50 hari kerja terhitung sejak sidang pertama.

Anda mungkin juga menyukai