A. PENGANTAR
Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan praktik ketenagakerjaan yang tidak hanya
sebagai suatu fondasi pemahaman terhadap hukumhukum positif yang berlaku, tetapi juga
diperkaya dengan aspek empiris dan filosofis dalam mengedepankan substansi keilmuan
hukum dalam tatanan norma, asas, dan nilai, serta empiris. Aspek normatif sudah barang
tentu merupakan penyajian terhadap hukum positif yang sering dan menjadi substansi
hukum yang digunakan dalam penyelesaian permasalahan-permasalahan ketenagakerjaan
yang berkisar kepada perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan hak dan
diikuti kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja maupun serikat pekerja dengan
pengusaha, penghentian hubungan kerja serta penyelesaian perselisihan hubungan
industrial. Sedangkan aspek empiris yang disajikan adalah landasan dari pengamatan dan
pengalaman para penulis sebagai praktisi hukum dan personalia/ human capital di
perusahaan Iron Sarira selama ini menggeluti bidang ketenagakerjaan dalam lingkup
mikro kondisional (syarat kerja) dan makro minimal (norma kerja) dalam tugas dan
fungsinya sebagai pelaksana di perusahaan pada bagian personalia hingga Human Capital
sejak tahun 1985. Penulis lainnya, Erna Ratnaningsih adalah advokat yang telah memiliki
pengalaman dalam menangani kasus-kasus ketenagakerjaan termasuk mengajukan
permohonan hak uji materiel (judicial review) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013
tentang Ketenagakerjaan.
Hukum ketenagakerjaan adalah dan suatu sistem hukum yang tersusun dalam
pihak sekumpulan pasal-pasal dan ayat-ayat yang diuat oleh pohak-pihak yang
memiliki kompetensi dan kewenangan untuk mengatur dan menjadikan sistem
ketenagakerjaan menjadi lebih dapat diterima oleh pihak-pihak yang terlibat dalam
mekanisme hubungan industrial yang berwawasan keadilan, penuh tanggung jawab,
dan bermartabat. Keterlibatan pihak-pihak kompeten tersebut dalam merumuskan
peraturan ketenagakerjaan diharapkan dapat mewujudkan produktivitas individu dan
nasional yang mempunyai daya saing dan nilai tambah dalam pencapaian tingkat
kesejahteraan hidup dan ketenteraman berusaha.
Oleh sebab itu, ruang lingkup hukum ketenagakerjaan harus mencakup hal-hal
sebagai berikut:
Pada saat para pihak sepakat menandatangani perjanjian kerja untuk suatu
waktu tertentu, maka pada saat tersebut telah dilaksanakan suatu implementasi
terhadap Pasal 1320 KUH Perdata sebagai syarat sah pelaksanaan suatu bentuk
hubungan hukum untuk memberikan dan menerima suatu objek hukum berupa
pekerjaan yang tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku.
Perjanjian merupakan undang-undang bagi para pihak yang mengikatkan dirinya
dalam suatu perjanjian termaksud, hal ini selaras dengan apa yang disebutkan pada
Pasal 1338 KUH Perdata di mana perjanjian sepanjang telah memenuhi syarat
sahnya (1320 KUH Perdata), maka wajib dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh
para pihak yang berjanji selayaknya suatu undangundang bagi mereka. Hal
manakala terjadi pengingkaran atas perjanjian ini, maka dapat diartikan sebagai
suatu bentuk wanprestasi (ingkar janji) atau perbuatan melawan hukum (PMH).
Dalam penanganan kasus ini, setelah pelayangan surat panggilan ke-2 tidak
terealisasi dengan pertemuan sesuai dengan tanggal dan tempat yang telah
disepakati, maka pihak perusahaan masih dapat melakukan pemanggilan secara
verbal melalui kontak telepon atau email ke calon tenaga kerja untuk membicarakan
permasalahan yang terjadi dan mencari jalan keluarnya bagaimana berdasarkan asas
musyawarah untuk mufakat. Perusahaan akan mempertanyakan kewajiban tenaga
kerja atas perjanjian yang telah disepakatinya dan apabila tidak dapat dipenuhi,
maka tenaga kerja tersebut wajib memenuhi kewajibannya atas konsekuensi penalty
yang diatur dalam perjanjian yang telah disepakati. Apabila penanganan secara
bipartit ini tidak dapat diselesaikan, maka pihak perusahaan dapat meneruskan
permasalahan ini dengan mengajukan permohonan untuk proses mediasi pada
tingkat keterlibatan pihak pemerintah yang dalam hal ini dapat diajukan ke Kantor
Suku Dinas Tenaga Kerja di wilayah kabupaten atau kotamadya atau langsung ke
tingkat Kantor Dinas Provinsi setempat, berdasarkan tempat terjadinya perkara atau
locus delicti. Perlu diingatkan bahwa proses mediasi merupakan salah satu cara dari
proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau Alternative Dispute Resolution
(ADR) yang wajib dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa hingga
dikeluarkannya suatu anjuran dari mediator sebagai akhir proses bahwa apakah
proses berakhir secara sepakat atau tidak sepakat. Manakala proses tersebut berakhir
secara tidak sepakat, maka salah satu pihak dapat melanjutkan permasalahan ini ke
tingkat Pengadilan Hubungan Industrial di wilayah terjadinya proses sengketa
melalui Pengadilan Negeri setempat. Hingga akhirnya permasalahan
ketenagakerjaan dalam kasus yang disebutkan di atas dapat saja masuk hingga pada
tingkat pengajuan kasasi di Mahkamah Agung atau permohonan dari pihak yang
melakukan permohonan ke tingkat kasasi tersebut. Penulis tidak akan menjelaskan
secara detail bagaimana proses dalam fase mediasi, Pengadilan Hubungan Industrial,
dan Mahkamah Agung karena akan dibahas dalam bagian E. Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial. Tetapi dalam kesempatan ini penulis akan
menginformasikan bahwa pada fase mediasi dan Pengadilan Hubungan Industrial,
keputusan yang dihasilkan belum memiliki kekuatan hukum tetap sehingga masih
dapat diajukan gugatan dalam bentuk Kasasi ke Mahkamah Agung yang apabila
tidak dihadirkan bukti baru atau Nouvum maka Putusan Mahkamah Agung menjadi
Inkrach (mempunyai kekuatan untuk dilakukan eksekusi).
Pada praktiknya dalam pelaksanaan suatu perjanjian kerja atau pada saat
dimulainya suatu hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha, banyak terdapat
penyimpangan dalam penerapan program Jamsostek sesuai UU No. 3/1992 di mana
pada Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa program jamsostek wajib dilakukan oleh
semua perusahaan dengan semua tenaga kerja sejak dimulainya hubungan kerja.
Selanjutnya, pada Pasal 29 ayat (1) menjelaskan bahwa ancaman terhadap
pelanggaran (salah satunya) adalah Pasal 4 ayat (1) adalah kurungan selama 6 bulan
atau denda sebanyak Rp 50.000.000 ,- dan apabila masih terjadi pengulangan
terhadap pelanggaran tersebut, maka pada ayat (2) disebutkan mengenai peningkatan
hukuman kurungan menjadi 8 bulan masa kurungan dengan jenis pelanggaran adalah
pidana.
Dalam penanganan kasus ini, penulis telah beberapa kali menangani kasus-
kasus seperti ini di mana hasilnya dapat diakhiri dengan pengunduran diri oleh
pekerja. Selanjutnya, bagaimana jika pekerja tidakmaumelakukan pengunduran diri?
Penulis dengan bertindak sebagai eksekutor dalam kasus-kasus seperti ini
melakukan pendekatan persuasif kepada pelaku agar dapat memberikan pernyataan
bahwa si pelaku mengakui telah melakukan hal penggelapan dalam kewenangan
yang dimilikinya. Apabila dua bukti penggelapan telah dimiliki maka akan
dilakukan ancaman kepada pelaku bahwa apabila tidak mau mengundurkan diri,
maka permasalahan ini akan dilaporkan kepada pihak kepolisian untuk diusut lebih
lanjut berdasarkan hukum yang berlaku. Biasanya penulis selalu memberikan
gambaran terkait lamanya proses dan hal-hal yang perlu diinformasikan terkait
adanya tekanan sosial, materiel, dan ancaman hukum yang akan dilalui oleh pelaku.
Apabila pilihannya adalah melalui proses hukum secara tuntutan pidana melalui
delik aduan ke pihak Kepolisian, maka penulis meminta pihak pelapor untuk datang
ke Kantor Polisi setempat dan dilakukan penangkapan terhadap pelaku untuk
dilakukan proses BAP di Kepolisian. Dalam proses BAP ini, pihak pelapor meminta
untuk dilakukan penahanan selama waktu yang diperlukan hingga proses tersebut
dapat diserahkan ke Kejaksaan Tinggi dan menghasilkan salinan keputusan yang
dapat diterima dan lengkap atau P-21 sebagai bukti bahwa BAP tersebut dapat
ditindaklanjuti olen Tim Kejaksaan untuk dituntut dipengadilan dan selanjutnya
mengikuti proses persidangan di Pengadilan Negeri dan/atau proses-proses
peradilan yang lebih tinggi hingga mempunyai kekuatan hukum tetap manakala
terjadi banding dan/atau kasasi.
Salah satu hal yang wajib dilaksanakan dalam praktik ketenagakerjaan dari
aspek pelaksanaan suatu operasional perusahaan di mana menjadi hal yang wajib
dilakukan oleh pengusaha sebagai syarat operasional suatu badan usaha adalah
melaksanakan Undang-Undang No. 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor
Ketenagakerjaan, di mana substansi wajib lapor ini selalu menjadi salah satu poin
yang dimintakan oleh petugas pengawas ketenagakerjaan untuk disiapkan oleh
pejabat suatu perusahaan.
Formulir wajib lapor wajib diisi oleh perusahaan dan diperlihatkan pada saat
proses pengawasan dan mempunyai waktu masa berlaku yakni selama 1 tahun,
sehingga diartikan bahwa wajib lapor harus dilakukan perpanjangan sebelum masa
berlaku habis dan menjelaskan hal-hal yang menjadi peruahan dalam tahun-tahun
berjalan, seperti : jumlah tenaga kerja, upah tenaga kerja (tertinggi dan terendah),
jumlah pekerja yang terdaftar di jamsostek, komposisi tenaga kerja baik
lokalmaupun tenaga kerja asing, fassilitas-fasilitas kesejahteraan, rencana
penambahan dan pengembangan tenaga kerja, dan lain-lain.
Hukum positif yang mengatur sistem dalam hubungan kerja di antara pihak-pihak
yang terkait dalam mekanisme Hubungan Industrial Pancasila diartikan sebagai aspek
normatif dalam praktik-praktik ketenagakerjaan. Sebagaimana yang tertuang dalam
UUD 1945, Pasal 27 ayat 2 yang menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. UUD 1945 sebagai
perangkat hukum tertinggi dalam hierarki perundangan negara Republik Indonesia,
merupakan sumber dari segala sumber hukum positif dalam tatanan ketatanegaraan dan
kehidupan setiap warga negara Indonesia.
UUD 1945 dan Pancasila sebagai landasan dan falsafah hukum Indonesia
menetapkan kewajiban negara untuk memfasilitasi warga negaranya agar dapat
memperoleh pekerjaan dan kehidupan yang layak. Dengan pembangunan infrastruktur
dalam rangka menyediakan lapangan pekerjaan dan sistem hukum ketenagakerjaan
diharapkan dapat memenuhi kepentingan-kepentingan pihak-pihak yang terlibat guna
mewujudkan aspek penegakan hukum.
Dalam hal ini diyakini bahwa setiap aspek dalam pelaksanaan hubungan kerja
yang dituangkan dalam aturan-aturan di tingkat internal perusahaanbaik dalam
Peraturan Perusahaan atau Kesepakatan Kerja Bersama haruslah sesuai dengan
ketentuan hukum positif yang berlaku atau lebih baik adanya.
Hukum positif merupakan hukum yang sedang berlaku dalam suatu negara
(hukum dalam arti tata hukum).8 Dalam asas hukum dikenal istilah lex specially
derogate lex generally atau hukum dan aturan yang mengatur khusus membatalkan
hukum dan aturan yang berlaku umum untuk itu di bidang hukum ketenagakerjaan
banyak terdapat suatu undang-undang mempunyai peraturan menteri, keputusan
menterig sebagai suatu kebijakan pelaksana dari substansi yang diatur; atau bahkan
suatu peraturan pemerintah mempunyai suatu surat edaran oleh menteri sebagai juklak
pelaksanaannya.
Normatif (norma kerja) dalam hubungan kerja yang penerapannya dalam praktik-
praktik ketenagakerjaan selalu berbicara terhadap adanya pemenuhan antara hak dan
kewajiban dari para pihak yangterlibat, yakni Pengusaha dan Pekerja dengan sama-
sama dalam pemenuhan kepentingan atas hak dan kewajiban tersebut, dapat disebutkan
dalam tatanan pengaturan-pengaturan seperti upah minimum, waktu istirahat, wajib atas
pelaporan perusahaan, jaminan sosial, tunjangan hari raya, dan masih banyak hal-hal
lain yang diatur dalam hukum positif yang berlaku. Berdasarkan pengalaman dan
pemahaman penulis terkait dengan penerapan norma kerja dalam tatanan hukum
ketenagakerjaan terdiri dari beberapa hukum positif, antara lain:
a. Khusus Pasal 137 tentang Mogok Kerja dan Pasal 138 (1) tentang mengajak
pekerja/buruh lain untuk mogok kerja dengan tidak melanggar hukum; Maka,
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap. Artinya, mogok kerja dengan
tidak melanggar hukum dan mengajak rekan pekerja/buruh merupakan hak
fundamental pekerja/buruh yang diatur dalam Standar Perburuhan Internasional.
(Status pasal-pasal tersebut tetap diberlakukan).
b. Khusus Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dinyatakan "Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan
kerja dengan alasan pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan
perkawinan dengan pekerja/ buruh lainnya di dalam satu perusahaan kecuali telah
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama".
Frasa kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama inilah yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. (Status
Pasal ini diberlakukan dengan pengecualian pada frasa dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama saja yang tidak berlaku).
c. Khusus Pasal 158 dan 158 (1) tentang PHK akibat melakukan kesalahan berat;
Maka, sepanjang mengenai anak kalimat (isi pasal termaksud) dan (didasari oleh
pengaduan pengusaha), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Artinya,
PHK yang dilakukan sepihak oleh pengusaha dengan alasan pekerja/buruh telah
melakukan kesalahan berat tanpa due process of law dari Lembaga Penyelesaian
PHI, dianggap melanggar asas presumption of innocence (Praduga Tak Bersalah).
Untuk hal tersebut, maka perlu adanya pelaporan dari pihak pengusaha atas adanya
dugaan pelanggar an pidana untuk dibuktikan sesuai dengan hukum acara materiel
(KUHAP) yang akan membuktikan apakah kesalahan tersebut melanggar atau
tidak terkait aspek pidana yang merupakan pengejawatahan dari kesalahan berat.
(Status Pasal dan ayat ini tetap diberlakukan hingga didapati hasil penyidikan pihak
yang berwajib bahwa seorang karyawan tersebut terbukti bersalah atau tidak).
d. Khusus Pasal 159 dengan jelas dinyatakan tidak berlaku lagi, apabila telah
dinyatakan bersalah oleh pihak yang berwajib (Kepolisian). (Status Pasal ini
dinyatakan tidak berlaku).
e. Khusus Pasal 160 (1) tentang pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang berwajib
karena melakukan tindak pidana (ditambahkan pada anak kalimat dengan: bukan
atas pengaduan pihak pengusaha); Maka, dinyatakan tetap berlaku yakni
pengusaha tidak wajib membayar upah pekerja/buruh, melainkan hanya
berkewajiban memberikan santunan kepada keluarga pekerja/buruh sesuai
ketentuan Pasal 160 (1) huruf a - d. (Status Pasal tetap berlaku sepanjang bukan
atas pengaduan pengusaha).
f. Khusus Pasal 170 dan Pasal 171 sepanjang menyangkut Pasal 158 (1) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Artinya, PHK dengan kesalahan berat tetap
dapat dilakukan pengusaha dengan tetap perlu memintakan izin permohonan PHK
kepada instansi terkait atau mengadukan permasalahan tindak pidana pelanggaran
kepada pihak yang berwajib untuk kemudian mendapatkan penetapan status
bersalah baru kemudian dapat dilakukan PHK. (status PasalPasal ini tetap berlaku
sepanjang tidak menyangkut Pasal 158 (1)).
g. Khusus Pasal 96, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 100/PUU-
X/2013 tanggal 19 September 2013 dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal ini
menghapuskan masa kedaluwarsa terhadap tuntutan pembayaran upah
pekerja/buruh dan segala upah yang timbul karena adanya hubungan kerja sejak
timbulnya hak tersebut. Artinya, tidak lagi terdapat masa kedaluwarsa selama 2
tahun, 100 tahun pun buruh menuntut hak atas upahnya dan lain-lain sebagaimana
termaksud, maka akan tetap dapat diproses. (Status Pasal ini dihapuskan).
Syarat kerja dalam praktik ketenagakerjaan dapat diartikan sebagal suatu bentuk
pemenuhan aspek formil dalam hukum terhadap kajian teori dan praktik. Menurut
hukum ketenagakerjaan syarat kerja dalam sistem hubungan kerja haruslah memenuhi
unsur-unsur sebagai berikut:
Secara yuridis, unsur ini merupakan salah satu syarat kerja. Unsur pekerjaan
merupakan objek hukum yang dijadikan sebagai dasar dalam melakukan dan
menciptakan perbuatan dan hubungan hukum ketenagakerjaan oleh masing-masing
subjek hukum.1? Dengan kata lain, kedua belah pihak sepakat melakukan kerja
sama dengan imbalan yang telah disepakati dalam suatu perjanjian kerja. Syarat sah
perjanjian kerja, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003, menyebutkan bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar
kesepakatan kedua belah pihak, kemampuan atau kecakapan dalam melakukan
perbuatan hukum (dalam patokan usia/umur), adanya pekerjaan yang diperjanjikan,
dan pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan peraturanperundangan yang berlaku.11 Pasal ini sesuai dengan Pasal
1320 KUH Perdata, di mana perjanjian dianggap sah apabila adanya kesepakatan
para pihak, cakap, hal tertentu, dan sebab halal.
TABEL 6.1. Kesamaan UU Ketenagakerjaan dan KUH Perdata tentang Syarat Sah Perjanjian
”suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh untuk se. suotu
pekerjaan atau jasa yangtelah atau akandilakukan,dinyatakanatau dinilai dalam
bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan,atau peraturan perundang-
undangan, dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan
buruh, termasuk tunjangan baik untuk buruh sendiri maupun keluarganya.”
Melihat perjanjian kerja yang didasarkan atas waktu perjanjian, maka dapat
dibedakan terhadap perjanjian dengan kerja waktu tertentu dan perjanjian dengan
kerja waktu tidak tertentu. Terhadap hal ini penulis mempunyai pandangan yang
berbeda, di mana suatu hubungan kerja pasti akan berakhir dalam suatu waktu
tertentu, atau dapat disepakati berdasarkan suatu waktu tertentu, baik waktu tersebut
dapat ditentukan atau waktu tersebut tidak dapat ditentukan. Suatu proses kematian
merupakan hal yang pasti akan dilalui oleh setiap makhluk hidup, hal ini sebagai
contoh di mana suatu hubungan kerja yang terjadi dan manakala terjadi proses
kematian oleh pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan kerja, maka waktu tertentu
yang tidak dapat diukur tesebut menjadi tanda bahwa hubungan kerja berakhir.
Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan dalam Pasal 166
bahwa suatu hubungan kerja berakhir adalah karena salah satunya adalah suatu
ukuran waktu, seperti kematian.
2. Perjanjian Kerja
Suatu bentuk perbuatan hukum antara buruh dan pengusaha yang sama-sama
dalam suatu perikatan memunculkan hubungan hukum terhadap pemenuhan hak dan
kewajiban dengan didasari adanya perintah, upah, hal yang dipekerjakan, dan waktu
tertentu. Dalam undang-undang 13 Tahun 2003 Pasal 50 disebutkan bahwa hubungan
kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan buruh yang dibuat
atau disepakati baik secara lisan maupun tertulis. Hubungan kerja merupakan sesuatu
yang abstrak, di mana konkret dari suatu hubungan kerja adalah adanya Perjanjian
Kerja. Dengan kata lain, bahwa ikatan karena adanya perjanjian kerja inilah yang
merupakan hubungan kerja.
Hubungan kerja memunculkan suatu perjanjian kerja, baik yang tertulis maupun
lisan. Perjanjian kerja yang dibuat tersebut harus memenuhi unsur syarat sah perjanjian
dalam KUH Perdata Pasal 1320 sebagaimana yang telah tersebutkan di atas.
Pelanggaran atas tidak terpenuhinya syarat sepakat dan cakap, maka terhadap perjanjian
kerja tersebut dapat dibatalkan (syarat subjektif), sedangkan jika tidak terpenuhi salah
satu dari syarat hal tertentu dan sebab halal, maka perjanjian kerja tersebut batal demi
hukum, tanpa harus diajukan lagi untuk pembatalan (syarat objektif).
Perjanjian kerja dilihat dari jangka waktu perjanjiannya dikenal dengan adanya
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT/Kontrak) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak
Tertentu (PKWTT/Tetap). Kedua bentuk perjanjian ini merupakan bentuk atas status
pekerja yang paling lazim. dalam tatanan praktik ketenagakerjaan di Indonesia.
Beberapa hal yang membedakan bentuk status perjanjian ini ditampilkan pada Tabel
6.2. sebagai berikut:
PKWT PKWTT
Dilakukan dengan aturan dan mekanisme Dilakukan dengan melalui masa percobaan
PKWT yang berlaku (212) selama 3 bulan
Dapat diperpanjang 1 kali, mengikuti masa Dapat diperpanjang masa percobaan 3 bulan
jeda 30 hari, dan dilakukan kontrak terakhir dengan dasar adanya kesepakatan
sebanyak 1 kali
Dapat diakhiri sewaktu-waktu oleh para Pengakhiran perjanjian tidak berkonsekuensi
pihak sesuai hal-hal yang diatur dan memiliki terhadap pinalty
konsekuensi penalty atas pengakhiran
perjanjian kerja tersebut
Wajib didaftarkan jamsostek sejak Kesepakatan jamsostek umumnya terjadi
dimulainya hubungan kerja, tetapi pada pada saat telah melampaui masa percobaan
prakteknya PKWT tidak didaftarkan atas
jamsostek
Umumnya tidak dilihat tentang jenis dan sifat Praktek masa percobaan biasanya diberikan
pekerjaan dalam praktek PKWT untuk pekerjaan-pekerjaan yang dapat
terukur pencapainnya.
Selain PKWT dan PKWTT yang telah disebutkan di atas, sering kita
mendengarjugaterkaitPerjanjian Kerja Harian Lepas (part timer), Internship (magang),
Borongan Pekerjaan (outsourching). Dalam pembahasan ini, isu mengenai penyerahan
sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain menjadi hal yang saat ini (sejak
Oktober 2013) sedang diperbincangkan terkait keluarnya Permenakertrans No. 19
Tahun 2012. Secara singkat bahwa Perusahaan Pemberi Kerja yang memberikan
sebagian pekerjaan kepada Perusahaan Penerima Kerja sesual Pasal 7 Permenakertrans
ini dilarang menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan penerima
pekerjaan melalui pemborongan pekerjaan apabila belum memiliki Bukti Pelaporan
yang dikeluarkan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
Kabupaten/ Kota setempat. Manakala hal ini dilanggar ( Pasal 7 ayat (1)), maka pada
ayat (2) Pasal 7 menyebutkan bahwa tanggung Jawab hubungan kerja antara
pekerja/buruhdenganperusahaanpener ma pekerjaan menjadi beralih ke perusahaan
pemberi kerja.
Hubungan kerja yang baik antara pekerja/buruh dan pengusaha didasari pada
adanya keseimbangan antara hak-hak dan perlindungan pekerja/buruh dengan
pengembangan usaha pengusaha. Yang dimaksud hubungan industrial berdasarkan
Pasal 1angka16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi
barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah
yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD RI Tahun 1945. Dalam
melaksanakan hubungan industrial terdapat tiga fungsi utama, yaitu:
a. Pemerintah dalam hal ini mempunyai fungsi menetapkan kebijakan, memberikan
pelayanan, melaksanakan pengawasan dan melakukan penindakan terhadap
pelanggaran peraturan perundangundangan;
b. Pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh mempunyai fungsi menjalankan
pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan
produksi, menyalurkan aspirasisecara demokratis, mengembangkan keterampilan
dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan anggota
beserta keluarganya;
c. Pengusaha dan organisasi pengusaha mempunyai fungsi menciptakan kemitraan,
mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja dan memberikan
kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan.
Prof. Iman Soepomo menyebutkan dua bentuk perselisihan yang mungkin terjadi
dalam suatu hubungan kerja13 yaitu:
a. Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak
akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan, perjanjian kerja, praturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama;
b. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja
karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan dan/atau perubahan
syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja atau peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama;
c. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihanyang timbul karena
tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang
dilakukan oleh salah satu pihak;
d. Perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat
pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/ser kat buruh lain hanya dalam satu
perusahaan karenatidakadanya persesuaian paham mengenai keanggotaan,
pelaksanaan hak dar kewajiban keserikatpekerjaan.
Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan
pengusaha. Subjek, isi dan keadaan yang melingkupi perjanjian kerja bermacam-
macam. Berdasarkan atas hal ini, maka dalam kepustakaan juga dikenal beberapa
macampemutusan hubungan kerja sebagai berikut:
i. Buruh masih dalam masa percobaan kerja. Masa percobaan kerja harus
dinyatakan secara tertulis sebelumnya;
ii. Buruh mengajukan permintaan pengunduran diri secara tertulis atas kemauan
sendiri tanpa ada indikasi tekanan atau intimidasi dari pengusaha;
iii. Berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu
tertentu(PKWT);
iv. Buruh mencapai usia pensiun dengan ketetapan dalam perjanjian kerja,
perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan
v. Buruh meninggal dunia.
Hubungan kerja putus demi hukum yang terjadi dalam hal hubungan kerja
yang diadakan untuk waktu tertentu. Apabila hubungan kerja berlangsung sampai
waktu yang diperjanjikan, maka hubungan kerja akan berakhir demi hukum dengan
lewatnya waktu tersebut. Dalam hal hubungan kerja berakhir demi hukum,
dimaksudkan bahwa hubungan kerja tersebut akan berakhir dengan sendirinya dan
untuk itu tidak perlu ada perbuatan hukum tertentu misalnya harus membayar
pesangon. Kecuali jika pengusaha atau buruh/pekerja mengakhiri hubungan kerja
kontrak sebelum masa kontrak berakhir, maka mereka harus membayar sisa kontrak
kepada buruh/pekerja atau kepada pengusaha. Dalam hal alasan PHK berdasarkan
alasan pencurian atau penggelapan milik perusahaan, maka ia tidak berhak atas sisa
kontrak dimaksud.14 Apabila pekerja/buruh meninggal dunia maka hubungan kerja
putus demi hukum (Pasal 1603 j). Karena sifat hubungan kerja antara majikan
dengan buruh bersifat persoonlijk, maka jika buruh meninggal dunia dengan
sendirinya hubungan kerjanya putus.
Terutama terjadi sehubungan dengan adanya alasan penting yaitu kondisi dan
situasi yang menyebabkan hubungan kerja tidak dapat berlangsung terus. Sedang
para pekerja/buruh bersikeras tidak mau diakhiri hubungan kerjanya atau masih
terjadi perbedaan pendapat tentang besarnya pesangon yang seharusnya dibayarkan
oleh pengusaha. Dalam hal ini, harus diputuskan oleh Pengadilan Hubungan
Industrial menyangkut dapat atau tidak dapatnya pesangon, besar kecilnya pesangon
serta hak-hak lainnya dan keabsahan PHK dimaksud.
Meskipun hubungan kerja telah berakhir karena hal-hal di atas, buruh masih
mendapatkan hak-hak mereka sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu uang
pesangon, uang penghargaan dan uang penggantian hak. Selama proses penetapan
PHK, maka upah pekerja/buruh tetap dibayar oleh pengusaha sebagaimana diatur dalam
Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama.
Buruh yang diputuskan hubungan kerjanya jika dikaitkan dengan uang pesangon,
uang jasa dan ganti kerugian dapat digolongkanmenjadi tiga kelompok, yaitu:
a. Buruh yang diputuskan hubungan kerjanya tanpa uang pesangon maupun uang jasa
ialah buruh yang telah melakukan kesalahan berat, pekerja/buruh yang
mengundurkan diri atas kemauan sendiri. Selain itu dapat juga dikualifikasikan
mengundurkan diri jika pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau
lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis dengan bukti yang sah dan
teleh dipanggil oleh pengusaha dua kali secara patut dan tertulis dapat di PHK.
Yang dimaksud kesalahan berat di sini adalah melakukan penipuan, pencurian,
penggelapan barang/uang milik perusahaan, memberikan keterangan palsu
sehingga merugikan perusahaan, mabuk, minum minuman keras, narkoba,
menyerang, menganiaya, mengintimidasi teman sekerja/pengusaha, membongkar
atau membocorkan rahasia perusahaan dan lain-lain. Pekerja/ Buruh dapat
memperoleh uang penggantian hak dan uang pisah yang besarnya diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama;
b. Buruh yang diputuskan hubungan kerjanya dengan diberikan uang pesangon
sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan dan uang
penghargaan sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) UU
Ketenagakerjaan dan uang pengganti hak sesuai Pasal 156 ayat (4) UU
Ketenagakerjaan adalah: Pertama, pekerja/buruh yang melakukan pelanggaran
ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau
Perjanjian Kerja Bersama. Pengusaha dapat melakukan PHK jika telah
memberikan surat peringatan pertama, kedua dan ketiga secara berturut-turut
kepada pekerja/buruh. Kedua, pengusaha melakukan PHK terhadap pekerja/buruh
dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan atau perubahan
kepemilikan perusahaan danpekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan
kerja. Ketiga, pengusaha melakukan PHK karena perusahaan tutup yang
disebabkan perusahaan mengalami kerugian terus-menerus. Keempat. perusahaan
pailit;
c. Buruh yang diputuskan hubungan kerjanya dengan diberikanuang pesangon
sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) UU Ketengakerjaan dan uang
penghargaan sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) UU
Ketenagakerjaan dan uang pengganti hak sesuai Pasal 156 ayat (4) UU
Ketenagakerjaan adalah jika perusahaan melakukan efisiensi, pekerja/buruh
meninggal dunia, jika pengusaha tidak mengikutsertakan dalam program pensiun.
Selain pengusaha, pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan PHK kepada
lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dalam hal pengusaha
melakukan perbuatan menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam buruh,
membujuk dan/atau menyuruh pekerja melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan, tidak membayar upah tepat waktu selama 3
(tiga) bulan berturut-turut, tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan
kepada pekerja/buruh, memerintahkan pekerja/buruh melakukan pekerjaan di luar
yang diperjanjikan, memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa,
keselamatan, kesehatan dan kesusilaan pekerja/buruh, sedangkan pekerjaantersebut
tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
Jika terjadi PHK, maka pengusaha wajib membayar uang pesangon, uang
penghargaan masa kerja, uang penggantian hak yang meliput penggantian cuti tahunan
yang belum diambil, biaya perjalanan pulang ketempat buruh dan keluarganya diterima
kerja pada saat awal, uang penggantian perumahan, pengobatan dan perawatan yang
ditetapkan sebesar 15% dari uang pesangon atau penghargaan masa kerja,dan yang
berakhir adalah biaya yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
dan perjanjian kerja bersama.Berikut ini perhitungan pesangon dan penghargaan bagi
pekerja/buruh yang di PHK, yaitu:
Pesangon Penghargaan
Masa kerja Jumlah Upah Masa Kerja Jumlah Upah /
/Bulan Bulan
< 1 tahun 1 Bulan Upah >3 s/d < 6 tahun 1 Bulan
>1 s/d < 2 tahun 2 Bulan Upah >6 s/d < 9 tahun 3 Bulan
>2 s/d < 3 tahun 3 Bulan Upah >9 s/d < 12 tahun 4 Bulan
>3 s/d < 4 tahun 4 Bulan Upah >12 s/d < 15 tahun 5 Bulan
>4 s/d < 5 tahun 5 Bulan Upah >15 s/d < 18 tahun 6 Bulan
>5 s/d < 6 tahun 6 Bulan Upah >18 s/d < 21 tahun 7 Bulan
>6 s/d < 7 tahun 7 Bulan Upah >21 s/d < 24 tahun 8 Bulan
>7 s/d < 8 tahun 8 Bulan Upah >24 tahun 10 Bulan
>5 s/d < 6 tahun 9 Bulan Upah - -
Dari daftar tabel tersebut di atas, maka buruh memperolehuang pesangon dan
uang penghargaan apabila telah memenuhi dua syarat kumulatif, yaitu:
a. PHK tersebut dilakukan oleh majikan bukan karena kesalahan buruh, baik kesalahan
berat maupun kesalahan ringan;
b. Masa kerja buruh tersebut harus sudah lima tahun atau lebih.
Perselisihan hak;
Perselisihan kepentingan;
PHK;
Perselisihan antarserikat buruh dalam satu perusahaan.
Dalam hal para pihak menyetujui, maka dibuat perjanjian bersama yang
kemudian didaftarkan di PHI pada Pengadilan Negeri diwilaya hukum akta pihak-
pihak bukti pendaftaran. mengadakan Dalam perjanjian hal anjuran tertulis
ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka para pihak atau salah satu
pihak dapat melanjutkan penyelesaian PHI pada Pengadilan Negeri setempa.
Mediator menyelesaikan tugasnya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja
terhitung menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan PHI. Sifat dari anjuran
yang dikeluarkan oleh mediator tidak memiliki kekuatan hukum eksekutorial.
Anjuran berisi keterangan dan tuntutan para pihak dan pendapat atau kesimpulan
mediator.
2. Konsilliasi
Apabila perjanjian bersama tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak maka
pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan ekseksusi di PHI. Dalam
hal anjuran tertulis ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka salah satu
pihak atau para pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan di PHI.
3. Arbitrase
Gugatan akan diperiksa oleh Majelis Hakim yang terdiri atas satu orang
Ketua Majelis yang berasal dari Hakim Karir, satu orang Hakim Ad Hoc dari
perwakilan Pengusaha dan satu orang Hakim Ad Hoc dari perwakilan buruh. Majelis
Hakim sendiri wajib menyelesaikan pemeriksaan gugatan dalam jangka waktu
paling lambat 50 hari kerja terhitung sejak sidang pertama.