KETENAGAKERJAAN
1. PENGERTIAN HUKUM KETENAGAKERJAAN
Indonesia ialah negara hukum, hal ini tentunya kita telah mengetahuinya karena dalam
Undang-Undang Dasar Negra Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya Pasal 1 ayat (3)
telah menyatakan demikian. Sebagai negara hukum segala aspek kehidupan bangsa Indonesia
diatur oleh hukum termasuk dalam hubungan industrial yang menyangkut tenaga kerja.
Pengaturan ini demi terpenuhinya hak para tenaga kerja agar tidak terjadi eksploitasi dan
pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia tenaga kerja.
Pengertian itu identik dengan pengertian hukum perburuhan. Ruang lingkup hukum
ketegakerjaan saya lebih luas dari pada hukum perburuhan. Hukum ketenagakerjaan
dalam arti luas tidak hanya meliputi hubungan kerja dimana pekerjaan dilakukan di
bawah pimpinan pengusaha, tetapi juga pekerjaan yang dilakukan oleh swapekerja yang
melakukan pekerjaan atas tanggung jawab dan resiko sendiri. Di Indonesia pengaturan
tentang ketenagakerjaan diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Disebutkan dalam undang-undang itu bahwa hukum ketenagakerjaan
ialah himpunan peraturanmengenai segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja
pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
Peraturan perundang-undangan,
Kebiasaan,
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial,
Traktat
Perjanjian, terdiri atas perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama, dan perjanjian
perusahaan.Sifat hukum ketenagakerjaan sendiri dapat privat maupun publik. Privat dalam
arti bahwa hukum ketenagakerjaan mengatur hubungan antara orang dengan orang atau
badan hukum, yang dimaksudkan di sini ialah antara pekerja dengan pengusaha. Namun,
hukum ketenagakerjaan juga bersifat publik, yaitu negara campur tangan dalam hubungan
kerja dengan membuat peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa bertujuan
untuk melindungi tenag kerja dengan membatasi kebebasan berkontrak.
Melihat realitas penyelesaian melalui PHI di atas, maka sesuai dengan UU Ketenagakerjaan
Nomor 13 tahun 2003 harapan buruh satu-satunya untuk mendapatkan keadilan dan kepastian
hukum adalah melalui Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan (PPK) dan Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (PPNS).
Sesuai Pasal 176 UUK PPK/PPNS mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin
pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagkerjaan. Untuk menjaga kompetensi dan
independesi inilah maka UUK menetapkan bahwa pengangkatan PPK ditetapkan oleh
Menteri atau pejabat yang ditunjuknya.
Dengan demikian PPK dapat independen dari pengaruh-pengaruh kebijakan politik yang
berkembang di daerah-daerah (termasuk kabupaten/kota). Jadi PPK dapat ”menolak”
kepentingan-kepentingan yang dipesan oleh siapapun penguasa dan pengusaha di daerahnya.
1. KEWENANGAN PPK/PPNS
Kewenangan PPK sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) secara khusus adalah
melakukan penyidikan di bidang ketenagakerjaan (sama dengan dengan kewenangan dari
Penyidik Pejabat POLRI) sebagaimana diatur pada pasal 182 (2) UUK, yaitu :
1. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak
pidana di bidang ketenagakerjaan ;
2. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di
bidang ketenagakerjaan ;
3. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan
dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan ;
4. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam pekara tindak
pidana di bidang ketenagakerjaan ;
5. melakukan pemeriksaan atas surat dan / atau dokumen lain tentang tindak pidana di
bidang ketenagakerjaan ;
6. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas penyidikan tindak
pidana di bidang ketenagakerjaan ; dan
7. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan
tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.
Menjalankan kewenangan tersebut tentulah tidak mudah, karena yang diawasi adalah
pengusaha yang memiliki kekuasaan (uang). Sehingga dengan kekuasaan yang dimiliki
pengusaha dapat mempengaruhi berbagai pihak demi kepentingannya. Sudah menjadi rahasia
umum, bahwa selama ini pengusaha mengeluarkan biaya siluman demi kelancaran usahanya
baik secara terpaksa maupun dengan sukarela.
Oleh karena itu dalam menjalankan peran dan fungsinya PPK/PPNS harus memiliki
komitment yang kuat dan konsistensi melakukan tugas-tugas pengawasannya. Kekecewaan
terhadap praktek PHI akhir-akhir ini akan memaksa buruh mencari alternatif untuk
menemukan keadilan dan kepastian hukum khususnya mengenai pelanggaran hak-hak buruh
sebagaimana diatur oleh UU.
Para PPK/PPNS tak perlu kuatir atas hal ini, karena serikat-serikat buruh pastilah mendukung
kerja PPK/PPNS untuk menegakkan pelaksanaan hak-hak buruh yang diabaikan oleh
pengusaha selama ini. Begitu banyak pelanggaran hak-hak buruh yang terjadi selama ini,
misalnya : upah dibawah UMP/UMK, buruh tidak didaftarkan menjadi peserta Jamsostek,
penggelapan dana jamsostek, dll, tetapi sampai sekarang sangat jarang (bisa dikatakan tak
pernah ada) pengusaha yang diperiksa dan diadili di pengadilan. Tumpuan harapan ini
tentulah tidak berlebihan jika ditujukan kepada PPK/PPNS.
Sebagaimana diatur dalam UUK pelanggaran atas hak-hak buruh dibagi dalam 2 kategori
tindak pidana, yaitu :
Pelanggaran atas Pasal 167 ayat (5) UUK (buruh yang diphk karena pensiun tetapi pengusaha
tidak mau membayar pesangonnya 2 x ketentuan Pasal 156 UUK;
Pelanggaran atas Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2) (larangan pekerja asing tanpa ijin dan
perorangan yang mempekerjakan pekerja asing);
Pelanggaran Pasal 68 (larangan mempekerjakan anak) ;Pelanggaran Pasal 69 ayat (2)
(mempekerjakan anak tanpa ijin orang tuanya) ;
Pelanggaran Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7) (mempekerjakan buruh yang tidak bersalah
dalam 6 bulan sebelum perkara pidana diadili dan kewajiban pengusaha membayar uang
penghargaan masa kerja bagi buruh yang diphk karena diadili dalam perkara pidana);
Tindak pidana kejahatan atas pelanggaran hak-hak buruh juga diatur pada UU No. 3 tahun
1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja ; dan
Tindak pidana kejahatan atas pelanggaran UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh
Pelanggaran Pasal 35 ayat (2) UUK (kewajiban pelaksana penempatan tenaga kerja memberi
perlindungan sejak rekruitment sampai penempatan tenaga kerja) ;
Pelanggaran Pasal 35 ayat (3) UUK (perlindungan oleh pemberi kerja atas kesejahteraan,
keselamatan dan kesehatan mental dan fisik) ;
Pelanggaran Pasal 93 ayat (2) UUK (pembayaran upah karena sakit/karena tugas
negara/pengusaha tdk mau mempekerjakan buruh sesuai perjanjian/hak istirahat buruh/tugas
melaksanakan fungsi serikat),
Pelangaran Pasal 138 ayat (1) UUK (menghalangi maksud serikat buruh untuk mogok kerja)
Pelanggaran Pasal 37 ayat (2) UUK (lembaga penempatan tenaga kerja tanpa ijin tertulis dari
Menteri/pejabat yg ditunjuk) ;
Pelanggaran Pasal 44 ayat (1) UUK (pemberi tenaga kerja asing wajib menaati standart dan
kompetensi yang berlaku) ;
Pelanggaran Pasal 45 ayat (1) UUK (tenaga kerja WNI sebagai pendamping tenaga kerja
asing) ;
Pelanggaran Pasal 67 ayat (1) UUK (pembayaran pesangon bagi buruh yang pensiun) ;
Pelanggaran Pasal 78 ayat (2) UUK (wajib bayar upah pada jama kerja Lembur)
Pelanggaran Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2) UUK (waktu istirahat bagi buruh),
Pelanggaran Pasal 85 ayat (3) UUK (pembayarn upah lembur pada hari libur resmi),
Pelanggaran Pasal 144 UUK (mengganti buruh yang mogok dengan buruh yan baru)
Pelanggaran atas Pasal 14 ayat (2) UUK (perijinan bagi lembaga pelatihan kerja swasta) ;
Pelanggaran Pasal 38 ayat (2) UUK (biaya penempatan tenaga kerja oleh swasta)
Pelanggaran Pasal 63 ayat (1) UUK (PKWT secara lisan, pengusaha wajib membuat surat
pengangkatan) ;
Pelanggaran atas Pasal 78 ayat (1) UUK syarat-syarat mempekerjakan buruh di luar jam
kerja) ;
Pelanggaran Pasal 108 ayat (1) UUK (wajib membuat peraturan perusahaan dengan 10 orang
buruh) ;
Pelanggaran Pasal 111 ayat (3) UUK (masa berlaku Peraturan 2 tahun dan wajib
diperbaharui) ;
Pelanggaran Pasal 114 UUK (peraturan perusahaan wajib dijelaskan kepada buruh dan
perubahannya) ;
Pelanggaran di bidang ketenagakerjaan juga diatur pada UU No. 3 tahun 1992 tentang
Jaminan Sosial Tenaga Kerja ;
Pengaturan tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran di bidang ketenagakerjaan
tersebut adalah merupakan suatu peluang bagi kalangan pejuang buruh untuk
memperjuangkan hak-hak dari kaum buruh. Oleh karena itu aktivis buruh jangan terfokus
pada penyelesaian ala PPHI, tetapi setiap pelanggaran hak-hak buruh harus didorong melalui
jalur pidana yaitu PPK/PPNS ataupun langsung kepada Polri selaku penyidik tindak pidana
sesuai dengan KUHAP (UU No. 8 tahun 1981).
Memang pengaturan tindak pidana dalam UU tersebut belum mengatur semua kejahatan –
kejahatan yang terjadi terhadap buruh, seperti : penerapan outsourcing, kontrak, borongan
dan harian lepas secara berlebihan (tidak sesuai dengan UU).
Tetapi apa yang menjadi kewenangan dari PPK/PPNS tersebut, jika dimaksimalkan akan
dapat memberikan shock therapy bagi pengusaha untuk menghargai hukum dan buruh
sebagai tulang punggung perekonomian suatu bangsa.
Pada prakteknya pelaksanaan tugas PPK/PPNS tidak mudah. Banyak situasi internal
pemerintahan yang mengakibatkan tugas PPK tidak dapat berjalan. Antara lain : lemahnya
dukungan pemerintah mengenai fasilitas dan rendahnya tingkat profesionalisme dan
rendahnya militansi PPK dalam berhadapan dengan pengusaha (sumber : notulensi
pendidikan dan pelatihan bagi PPNS se Sumut kerja sama KOMNAS HAM dan KPS di Hotel
Garuda Plaza Medan tgl 30 – 31 Juli 2007). Untuk itu, pemerintah perlu serius mendukung
dan membenahi kinerja PPK/PPNS .
Di samping itu dalam melaksanakan tugasnya, PPK diharapkan mau bekerja sama atau
meminta informasi dan data-data secara rutin (reguler) kepada pengurus-pengurus serikat
buruh tingkat kabupaten/kota termasuk serikat buruh pada tingkat perusahaan. Informasi dan
data-data dari serikat-serikat buruh tentu akan menjadi informasi yang sangat penting tentang
ada atau tidak adanya pelanggaran hak-hak buruh di perusahaan-perusahaan.
Tugas pengawasan dan penyidikan atas pelanggaran hak-hak dari buruh di perusahaan-
perusahaan yang dilakukan oleh PPK tentu akan semakin efektif jika PPK mampu
membangun koordinasi dan kerjasama dengan Kepolisian dan Kejaksaan.
Harapan buruh kepada PPK saat ini sangat besar untuk berani bertindak tegas kepada
pengusaha-pengusaha nakal yang selalu melanggar / melawan ketentuan UU. UU
mengatakan pengusaha dapat dipenjara karena melanggar UU, bukan hanya buruh yang dapat
dipenjara. Semua orang sama kedudukannya dihadapan hukum.
Penyelesaian di luar pengadilan ditempuh melalui prosedur bipartit, dan konsiliasi atau
arbitrase atau mediasi (periksa pasal 3 sampai dengan pasal 54 Undang – undang Nomor 2
Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial).
1. Bipartit
Upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui bipartit yang dimaksud adalah
bipartit di tingkat perusahaan, dengan skala internal dan hanya melibatkan langsung pihak
yang berselisih /bersengketa, yaitu pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat buruh yang
bersangkutan.
Lingkup penyelesaian melalui bipartit mencangkup keempat jenis perselisihan hubungan
industrial :
1. Perselisihan hak
2. Perselisihan kepentingan
3. Perselisihan pemutusan hubungan kerja dan
4. Perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan
Penyelesaian perselisihan yang terbaik adalah perundingan bipartit karena tidak haru
melibatkan pihak lain, waktu singkat, dan biaya ringan. Dalam upaya penyelesaian bipartit
tidak ada istilah menang atau kalah, tetapi jalan tengah atau win – win solution.
1. Konsilisasi
Upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi merupakan salah satu
alternatif , artinya upaya ini bersifat pilihan sukarela (voluntary), bukan wajib (mandatory).
Jangka waktu upaya penyelesaian melalui konsiliasi sama dengan bipartit paling lama tiga
puluh hari kerja sejak menerima permintaan penyelesaian perselisihan.
Penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang terdaftar pada
kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota setempat.
1. Arbitrase
Upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase juga merupakan salah
satu alternatif ,artinya upaya ini sama dengan konsiliasi yang bersifat sukarela (voluntary),
bukan wajib (mandatory). Penyelesaian melalui arbitrase dilakukan oleh arbiter atas dasar
kesepakatan para pihak yang berselisih.
Lingkup penyelesaian melalui arbitrase mecangkup hanya dua jenis perselisihan hubungan
industrial:
1. Perselisihan kepentingan
2. Perselisihan antarserikat pekerja / serikat buruh dalam satu perusahaan.
Jangka waktu upaya penyelesaian melalui arbitrase sama dengan bipartit atau konsiliasi
paling lama tiga pulu hari kerja sejak penandatangan surat perjanjian penunjukan arbiter.
Penyelesaian melalui arbitrase diawali dengan upaya mendamaikan para pihak yang
berselisih. Apabila tercapai perdamaian dalam upaya arbitrase, arbiter atau majelis wajib
membuat akta perdamaian yang ditandatangi para pihak yang berselisih dan arbiter atau
majelis arbiter.
Akta perdamaian yang sudah di daftar tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak
yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan hubungan
industrial pada pengadilan negri diwilayah akta perdamaian itu didaftar.
Apabila tidak terjadi nya perdamaian, arbiter atau majelis arbiter melanjutkakn sidang
arbitrase.
Putusan arbitrase memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak yang berselisih
dan merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap sehingga tidak dapat dilakukan upaya
kasasi ke Mahkamah Agung.
Apabila putusan arbitrase yang sudah didaftarkan tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak,
maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan fiat eksekusi kepada pengadilan
hubungan industrial pada pengadilan negeri dyang daerah hukumnya meliputi tempat
kedudukan pihak terhadap siapa putusan itu harus di jalankan, agar putusan itu dapat
dijalankan.
Terhadap putusan arbitrase salah satu pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan
kepada Mahkamah Agung apabila putusan di duga mengandung unsur-unsur pelanggaran
pasal 52 ayat (1) undang-undang 2 tahun 2004 serta perselisihan yang sedang atau telah
diselesaikan melalui arbitrase tidak dapat diajukan ke pengadilan hubungan industrial.
1. Mediasi
Perselisihan hak
Perselisihan kepentingan
Perselisihan pemutusan hubungan industrial
Dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan
Jangka waktu penyelesaian melalui bipartit paling lama tiga puluh hari kerja sejak menerima
pelimpahan penyelesaian perselisihan. Penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan
oleh mediator disetiap kantor instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota setempat. Mediator tersebut telah memenuhi syarat dan ditetapkan menteri.
Apabila tercapai kesepakatan dalam upaya mediasi, dibuat perjanjian bersama yang
ditandatangani para pihak dan disaksikan mediator serta didaftarkan kepengadilan hubungan
industrial.
Apabila tidak tercapai kesepakatan, mediator mengeluarkan anjuran tertulis. Para pihak wajib
memberikan tanggapan tertulis menyetujui atau menolak anjuran mediator. Apabila
perjanjian bersama tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak dirugikan dapat
mengajukan permohonan eksekusi di pengadilan hubungan industrial pada wilayah perjanjian
bersama didaftar.
1. kewenangan terbatas atau khusus, mengadili dan memeriksa serta memberi putusan
terhadapa Perselisihan hak, Perselisihan kepentingan, Perselisihan pemutusan
hubungan industrial Dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam suatu
perusahaan.
1. adanya hakim ad-hoc, hakim yang diadakan khusus untuk keperluan memeriksa,
mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.
1. adanya aturan-aturan khusus (lex specialis), seperti kuasa hukum, pengajuan gugatan,
hukum acara, pemeriksaan, jangka waktu penyelesaian, biaya perkara dan upaya
hukum.
Dalam prosedur perizinan usaha dan jasa pelayanan ketenagakerjaan biasanya dicantumkan
sanksi terhadap segala risiko yang timbul akibat kelalaian, denda, uang paksa, penghentian
sementara sebagian atau seluruh alat produksi sampai pada pencabutan izin. Disamping
Sanksi administrasi diterapkan juga kepada pengusaha, juga dapat diterapkan kepada :
1. tenaga kerja
2. serikat pekerja/serikat buruh
3. pihak lain ( badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, mediator, konsiliator
dan arbiter, panitera muda pengadilan hubungan industrial.
4. Ketentuan dan Bentuk Sanksi Administrasi Bidang Ketenagakerjaan
Ketentuan dan bentuk sanksi administrasi bidang ketenagakerjaan tersebar dalam beberapa
undang-undang seperti:
Tindak pidana adalah perbuatan yang dilanggar oleh undang-undang yang berarti bahwa
dapat disebut sebagai perbuatan pidana apabila ada ketentuan yang mengatur tentang hal
tentang perbuatan yang dilanggar tersebut (Halim, 1984:22). Sebagaimana ketentuan Pasal 1
ayat (1) KUHP disebutkan bahwa:
“Tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam
undang-undang yang terdahulu dari perbuatan itu.”
2. Unsur Tindak Pidana
4. Penyidikan
Merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat
terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 angka 2
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981).
Jadi penyidikan baru akan dimulai jika terdapat bukti permulaan yang cukup tentang telah
terjadinya suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.Penyidikan terkait kasus ketenagakerjaan
telah diatur dalam Pasal 182 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 ayat 1 dan 2;
1. Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada pegawai
pengawas ketenagakerjaan dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik pegawai
negeri sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang:
DAFTAR PUSTAKA
1. http://sentrakeadilan.blogspot.com/2012/11/penegakan-hukum-ketenagakerjaan.html
2. Bambang, R. Joni, S.H.,M.M. Hukum Ketenagakerjaan:Pustaka Setia
3. Djoko Heroe S. 2006. Eksistensi Hukum Ketenagakerjaan Dalam Menciptakan
Hubungan Kemitraan Antara Pekerja Dengan Pengusaha, Disertasi, Pascasarjana,
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
4. Tunggal, Sjahputra Iman. Hukum Ketenagakerjaan (Suatu pengantar)
5. Khakim, Abdul, S.H., M.Hum. Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan