Anda di halaman 1dari 3

ALAT BUKTI PADA SISTEM PEMBUKTIAN

DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA


Oleh :
Atina Lailil Isro’iyyah (1602056039)
Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,
Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang
2018/2019

Dalam suatu proses beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), pihak yang
bersengketa haruslah melakukan pembuktian untuk menjelaskan apa yang dialami. Untuk itu
diperlukan alat bukti. Di PTUN alat bukti diatur dalam pasal 100-107 UU No. 5 tahun 1986
jo. UU No. 51 Tahun 2009 yang dikenal dengan lima macam alat bukti, yaitu bukti
surat/tulisan, keterangan saksi, keterangan ahli, pengakuan para pihak, dan pengetahuan
hakim.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Pasal 101 menyatakan, surat sebagai alat bukti
terdiri atas tiga jenis, yakni (1) Akta otentik, yakni surat yang dibuat oleh atau di hadapan
seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat
surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau
peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya, (2) Akta di bawah tangan, yakni surat yang
dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk
dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di
dalamnya, (3) Surat-surat lainnya yang bukan akta.
Bilamana salah satu pihak yang bersengketa membantah keaslian alat bukti surat yang
diajukan, hakim dapat melakukan pemeriksaan terhadap bantahan itu kemudian
mempertimbangkan dalam putusan akhir nilai pembuktiannya. Apabila dalam pemeriksaan
persidangan ternyata alat bukti tertulis tersebut ada pada badan atau pejabat TUN, maka
hakim dapat memerintahkan badan atau pejabat TUN tersebut untuk segera menyediakan alat
bukti tersebut.
Dalam UU Nomor 5 Tahun 1986 Pasal 102, disebutkan, keterangan ahli adalah
pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia
ketahui, menurut pengalaman dan pengetahuannya. Kehadiran seorang ahli di persidangan
atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya hakim ketua
sidang dapat menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli untuk memberikan keterangan,

1|Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara


baik dengan surat maupun dengan lisan, dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut
kebenaran sepanjang pengetahuan yang sebaik-baiknya (Pasal 103).
Keterangan ahli diperlukan untuk menambah keyakinan hakim mengenai suatu
persoalan di bidang tertentu, yang memang hanya bisa dijelaskan oleh ahli di bidang
bersangkutan. Saksi adalah orang yang memberikan keterangan di muka sidang dengan
memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar,
dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut.
Pada saksi dikenal adanya asas unus testis nullus testis (satu saksi bukan berarti
saksi), yaitu keterangan seorang saksi saja tanpa adanya alat bukti yang lain, tidak cukup
untuk membuktikan, harus dilengkapi dengan bukti-bukti lain. Berbeda dengan ahli, asas
unus testis nullus testis tidak dikenal pada ahli, sehingga dengan keterangan seorang ahli saja
hakim membangun keyakinannya dengan alat-alat bukti yang lain.
Berdasarkan Pasal 105 UU Nomor 5 Tahun 1986, pengakuan para pihak tidak dapat
ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh hakim.
Pengakuan yang diberikan di depan persidangan oleh pihak yang bersengketa sendiri atau
oleh wakilnya yang diberi kuasa secara khusus, untuk itu mempunyai kekuatan bukti yang
sempurna terhadap pihak yang memberikan pengakuan itu.
Hal ini berarti hakim harus menganggap bahwa dalil-dalil yang telah diakui itu benar,
kendati belum tentu benar. Pengakuan yang diberikan di luar persidangan, nilai
pembuktiannya diserahkam kepada pertimbangan hakim. Pengakuan yang diberikan di luar
persidangan merupakan alat bukti bebas dan konsekuensinya hakim leluasa untuk menilai
alat bukti tersebut, atau bisa juga hakim hanya menggangap itu sebagai alat bukti permulaan
saja. Terserah kepada hakim untuk menerima atau tidak menerimanya.
Pasal 106 UU Nomor 5 Tahun 1986 menyatakan, pengetahuan hakim adalah hal yang
olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya. Melihat pada pengertian ini, maka
pengetahuan hakim dapat juga diartikan sebagai apa yang dilihat, didengar, dan disaksikan
oleh hakim dalam persidangan. Tetapi pengetahuan hakim mengenai para pihak yang
diperoleh di luar persidangan tidak dapat dijadikan bukti dalam memutus perkara.
Ada perbedaan sistem antara sistem hukum pembuktian dalam Hukum Acara Perdata
dengan Hukum Acara TUN. Dalam Hukum Acara TUN, dengan memperhatikan segala
sesuatu yang terjadi dalam pemeriksaan tanpa bergantung pada fakta dan hal yang diajukan
oleh para pihak, hakim TUN bebas menentukan. Sistem pembuktian yang dianut dalam
Hukum Acara TUN adalah sistem Vrij beswijsleen, yakni suatu ajaran pembuktian bebas
dalam rangka memperoleh kebenaran materil.
2|Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
Apabila dibaca Pasal 100 UU Nomor 5 Tahun 1986, dapatlah disimpulkan bahwa
Hukum Acara TUN menganut ajaran pembuktian bebas yang terbatas, karena alat-alat bukti
yang digunakan itu sudah ditentukan secara limitatif. Dalam Pasal 107, hakim dibatasi
kewenangannya menilai sahnya pembuktian, yakni paling sedikit dua alat bukti berdasarkan
keyakinannya. Sedangkan pembuktian dalam Hukum Acara Perdata dilakukan dalam rangka
memperoleh kebenaran formal.

3|Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Anda mungkin juga menyukai