Dalam suatu proses beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), pihak yang
bersengketa haruslah melakukan pembuktian untuk menjelaskan apa yang dialami. Untuk itu
diperlukan alat bukti. Di PTUN alat bukti diatur dalam pasal 100-107 UU No. 5 tahun 1986
jo. UU No. 51 Tahun 2009 yang dikenal dengan lima macam alat bukti, yaitu bukti
surat/tulisan, keterangan saksi, keterangan ahli, pengakuan para pihak, dan pengetahuan
hakim.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Pasal 101 menyatakan, surat sebagai alat bukti
terdiri atas tiga jenis, yakni (1) Akta otentik, yakni surat yang dibuat oleh atau di hadapan
seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat
surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau
peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya, (2) Akta di bawah tangan, yakni surat yang
dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk
dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di
dalamnya, (3) Surat-surat lainnya yang bukan akta.
Bilamana salah satu pihak yang bersengketa membantah keaslian alat bukti surat yang
diajukan, hakim dapat melakukan pemeriksaan terhadap bantahan itu kemudian
mempertimbangkan dalam putusan akhir nilai pembuktiannya. Apabila dalam pemeriksaan
persidangan ternyata alat bukti tertulis tersebut ada pada badan atau pejabat TUN, maka
hakim dapat memerintahkan badan atau pejabat TUN tersebut untuk segera menyediakan alat
bukti tersebut.
Dalam UU Nomor 5 Tahun 1986 Pasal 102, disebutkan, keterangan ahli adalah
pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia
ketahui, menurut pengalaman dan pengetahuannya. Kehadiran seorang ahli di persidangan
atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya hakim ketua
sidang dapat menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli untuk memberikan keterangan,