Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Hubungan industrial merupakan suatu sistem hubungan yang terbentuk antara


pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha,
pekerja dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD
1945.Hubungan industrial adalah keseimbangan antaara tujuan dan kepentingan bagi
pekerja dan pengusaha dalam proses produksi barang dan jasa di perusahaan. Artinya
para pekerja dan pengusaha secara individu dan kolektif mempunyai tujuan dan
tanggung jawab yang sama, karena dengan sukses hubungan industrial, baik pekerja
maupun pengusaha akan mendapat manfaat baik secara individual maupun bagi
organisasi perusahaan.
Pelaksanaan hubungan industrial di perusahaan selalu dipengaruhi oleh dinamika
masyarakat sehingga dalam pelaksanaannya selalu menghadapi tantangan dan
rintangan dan berpengaruh pada kondisi hubungan kerja yang selalu berubah dari
waktu ke waktu. Secara garis besar, permasalahan yang terjadi dalam hubungan kerja
berpengaruh kepada hubungan industrial, antara lain meliputi pemahaman teknis
undang-undang bidang hubungan industrial tentang hakekat hubungan kerja,
mengenai permasalahan perjanjian kerja yang menjadi dasar terbitnya hubungan kerja
yang diatur tentang hak dan kewajiban para pihak, penggunaan perjanjian kerja waktu
tertentu untuk semua jenis pekerjaan dan kecenderungan menggunakan pekerja
outsourcing, dan upaya-upaya perbaikan syarat kerja yang diatur dalam ketentuan
normatif.
Aloysius Uwiyono memandang hubungan kerja dalam konteks hukum Indonesia
adalah bahwa hubungan kerja berkaitan dengan hubungan kontraktual yang dibuat
antara pekerja dengan pengusaha. Oleh karenanya hubungan kerja didasarkan pada
perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama dan peraturan perusahaan. Hubungan
hukum yang berdasarkan pada hubungan kontraktual sebenarnya telah dianut di
Indonesia sejak berlakunya Burgelijk Wetboek (BW) atau yang lazim sekarang
disebut dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Berdasarkan prinsip
kebebasan berkontrak dalam hukum perdata/hukum privat, dinyatakan bahwa
siapapun yang memenuhi syarat berhak melakukan  perjanjian dengan pihak lain dan

1
perjanjian tersebut berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang
membuatnya.
Dalam hukum perburuhan di Indonesia, harus dibedakan antara hubungan
kerja dengan hubungan industrial. Beberapa negara baik yang termasuk di dalam
sistem hukum Kontinental (Continental Law) maupun Common Law membedakan
kedua bentuk hubungan ini. Judge Bartolome` Rios Salmeron mengatakan bahwa
hubungan kerja (labour relationship) selalu didasarkan pada adanya perjanjian kerja
(labour contract). Sedangkan Bruce E.Kaufmann menggaris bawahi bahwa walaupun
di Amerika Serikat, industrial relation telah ada sejak akhir tahun 1920an, ada 3
perdebatan yang terjadi dalam masalah perburuhan berkaitan dengan industrial
relation, salah satunya adalah ketergantungan dan posisi tawar yang lemah dari
pekerja maupun serikat pekerja pada peraturan pemerintah (government regulation in
the form protective labor legislation). Di Jerman, sebagai bagian dari Civil Code,
dalam the Protection Against Dismissal Act and the Employment Promotion Act,
disebutkan bahwa batasan kontrak merupakan hal yang utama dalam labour relations.
Argumen-argumen di atas jelas menekankan perbedaan hubungan kerja dengan
hubungan industrial. Dalam hubungan industrial, tidak terdapat hubungan hukum
akan tetapi peran serta Negara (dalam hal ini Pemerintah) diatur di dalamnya.
Sedangkan dalam konteks hubungan kerja, terdapat hubungan hukum yang jelas yaitu
hubungan hukum privat atau hubungan hukum keperdataaan, karena hubungan kerja
di dasarkan pada kontrak kerja atau perjanjian kerja.
Indonesia sebagai negara yang menganut sistem Civil Law yang menempatkan
peraturan perundang-undangan menjadi sumber hukum perburuhan yang utama maka
syarat-syarat kerja dan kondisi kerja ditetapkan oleh Pemerintah. Dalam situasi
demikian, dinamika perubahan hukum perburuhan sangat bergantung pada
Pemerintah selaku pembuat maupun pelaksana hukum.

2
2. Tujuan
1. Untuk menambah pemahaman mengenai hubungan industrial antara para
pelaku usaha didalam dunia kerja
2. Mengetahui apa-apa saja kewajiban yang harus dilakukan oleh masing-
masing pelaku usaha didalam lingkungan kerja baik antara pelaku usaha
pemberi kerja kepada tenaga kerja maupun pelaku usaha pemberi kerja
kepada tenaga kerja.
3. Mengetahui syarat-syarat legalitas pelaku usaha penyedia jasa tenaga kerja

3
BAB II
PEMBAHASAN

1. Kewajiban Yang Harus Dilakukan Oleh Masing - Masing Pelaku Usaha


(Pemberi Kerja dan Penyedia Jasa)

A. Kewajiban Pemberi Kerja


a. Membayar upah.

Pasal 1 angka 30 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang


Ketenagakerjaan, upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam
bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh
yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau
peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan
keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Maka,
yang dimaksud dengan upah adalah imbalan yang berupa uang dan juga termasuk
tunjangan.

b. Memberi waktu istirahat dan hari libur resmi.

Hal ini diatur dalam Paragraf 4 Bagian Kesatu Bab X Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, yaitu:
1) Pasal 79 ayat (2) yaitu Istirahat antara jam kerja, istirahat mingguan, cuti
tahunan, istirahat panjang.
2) Pasal 80 yaitu pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya
kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh
agamanya. Maksudnya adalah menyediakan tempat untuk melaksanakan
ibadah yang memungkinkan pekerja/buruh dapat melaksanakan ibadahnya
secara baik, sesuai dengan kondisi dan kemampuan perusahaan. Pekerja/buruh
tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi, tetapi pengusaha dapat
mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur resmi apabila

4
jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan secara
terus-menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara
pekerja/buruh dengan pengusaha. Hal ini untuk melayani kepentingan dan
kesejahteraan umum, dan disamping itu bahwa pekerjaan yang karena sifat
dan jenis pekerjaannya tidak memungkinkan pekerjaan itu dihentikan.

c. Mengatur tempat kerja dan alat kerja.

Kewajiban mengatur tempat kerja dan alat kerja ini adalah agar kecelakaan
kerja pada pekerja/buruh dapat dihindari. Sebagaimana diatur dalam Pasal 86
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, bahwa pekerja
berhak atas perlindungan mengenai Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), serta
Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja yang mengatur
alat-alat kerja.

d. Bertindak sebagai pengusaha yang baik.

Meskipun kewajiban ini tidak tertulisdalam perjanjian kerja, namun menurut


kepatutan atau kebiasaan serta peraturan perundang - undangan, seharusnya
pengusaha wajib untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Hal ini sesuai
dengan ketentuan tentang akibat perjanjian yang diatur dalam Pasal 1339 KUH
Perdata yaitu perjanjian - perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan
tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifatnya
perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.

e. Memberi surat keterangan.

Didalam praktik, biasanya pengusaha memberi surat keterangan (Refrensi)


tentang pekerjaan pekerja/buruh sewaktu hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan
pengusaha telah berakhir. Surat keterangan/surat pengalaman kerja biasanya berisi
mengenai:
1) Macam pekerjaan
2) Cara melakukan pekerjaan
3) Lama melakukan pekerjaan
5
4) Cara berakhirnya hubungan kerja

Biasanya cara berakhirnya hubungan kerja oleh pengusaha dinyatakan dengan baik
atau dengan hormat meskipun tidak baik.

B. Kewajiban Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh

Menurut peraturan menteri tenaga kerja dan transmigrasi republik Indonesia


tahun 2012 tentang syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lain. Berikut Uraiannya :

Pasal 27

(1) Setiap perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh wajib membuat perjanjian kerja
secara tertulis dengan pekerja/buruh.
(2) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicatatkan kepada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota
tempat pekerjaan dilaksanakan.
(3) Dalam hal perjanjian kerja tidak dicatatkan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi
mencabut izin operasional berdasarkan rekomendasi dari instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.
(4) Pencatatan perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
dikenakan biaya.

Pasal 28

Setiap perjanjian kerja penyediaan jasa pekerja/buruh wajib memuat ketentuan yang
menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh dalam hubungan kerja sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan.

6
Pasal 29

(1) Hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan


pekerja/buruhnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dapat didasarkan atas
perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu.
(2) Dalam hal hubungan kerja didasarkan atas perjanjian kerja waktu tertentu yang
objek kerjanya tetap ada sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-
kurangnya harus memuat:
a. jaminan kelangsungan bekerja;
b. jaminan terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan yang diperjanjikan; dan
c. jaminan perhitungan masa kerja apabila terjadi pergantian perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh untuk menetapkan upah.
(3) Hak-hak pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
a. hak atas cuti apabila telah memenuhi syarat masa kerja;
b. hak atas jaminan sosial;
c. hak atas tunjangan hari raya;
d. hak istirahat paling singkat 1 (satu) hari dalam 1 (satu)
minggu;
e. hak menerima ganti rugi dalam hal hubungan kerja
diakhiri oleh pemberi kerja sebelum perjanjian kerja waktu tertentu
berakhir bukan karena kesalahan pekerja;
f. hak atas penyesuaian upah yang diperhitungkan dari
akumulasi masa kerja yang telah dilalui; dan
g. hak-hak lain yang telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan dan/atau perjanjian kerja sebelumnya.

Pasal 30

Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu tidak memuat ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) dan ayat (3), maka hubungan kerja antara
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruh berubah menjadi
hubungan kerja yang didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu sejak
ditandatanganinya perjanjian kerja yang tidak memenuhi persyaratan.
7
Pasal 31

Dalam hal pekerja/buruh tidak memperoleh jaminan kelangsungan bekerja, maka


pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.

Pasal 32

(1) Dalam hal perusahaan pemberi pekerjaan tidak melanjutkan perjanjian


penyediaan jasa pekerja/buruh dan mengalihkan pekerjaan penyediaan jasa
pekerja/buruh kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang baru, maka
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang baru, harus melanjutkan
perjanjian kerja yang telah ada sebelumnya tanpa mengurangi ketentuan yang
ada dalam perjanjian kerja yang telah disepakati.
(2) Dalam hal terjadi pengalihan pekerjaan kepada perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh yang baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka masa kerja
yang telah dilalui para pekerja/buruh pada perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh yang lama harus tetap dianggap ada dan diperhitungkan oleh
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang baru.

2. Legalitas pelaku usaha penyedia jasa tenaga kerja dan bagaimana


hubungan masing-masing pelaku usaha dengan tenaga kerja

Berdasarkan pasal 66 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan, bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk
usaha yang berbadan hukum (business entities) dan memiliki izin dari instansi yang
bertanggung-jawab di bidang ketenagakerjaan. Ketentuan tersebut dipertegas kembali
dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.Kep-101/Men/VI/2004
tentang Tata Cara Perizinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh, khususnya
dalam pasal 2 dan pasal 3, bahwa untuk dapat menjadi perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh wajib memiliki izin operasional dari instansi yang bertanggung-jawab
di bidang ketenagakerjaan (c.q. Dinas Ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota) sesuai
domisil perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang bersangkutan. Izin dimaksud

8
berlaku di seluruh Indonesia untuk jangka waktu 5 (lima) tahun, dan (selanjutnya)
dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama.
Dengan demikian suatu perusahaan yang beroperasi di bidang penyedia jasa
pekerja/buruh, selain harus memiliki tanda daftar perusahaan (TDP) dari “Dinas
Perdagangan“ (sesuai pasal 5 dan 22 jo. pasal 11 dan pasal 12 UU No. 3 Tahun
1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan), juga harus memiliki izin operasional
sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dari Dinas Ketenagakerjaan di
Kabupaten/Kota sesuai lokasinya. Jadi bukan “sertifikat penyedia jasa tenaga kerja
dari Depnaker” sebagaimana disebutkan dalam surat (pertanyaan) Saudara. Demikian
juga, “izin dari Kadin” sebagaimana yang Saudara sebutkan dalam surat dimaksud,
menurut hemat kami hanya sebagai bukti keanggotaan perusahaan Saudara dalam
organisasi “Kamar Dagang dan Industri”, dan bukan sebagai persyaratan untuk
beroperasi di bidang penyedia jasa pekerja/buruh.
Untuk mendapatkan izin operasional dimaksud, perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh menyampaikan permohonan kepada Dinas Ketenagakerjaan setempat
dengan melampirkan persyaratan-persyaratan sebagai berikut :

a. Copy pengesahan (Akta Pendirian dan Pengesahaannya) sebagai badan


hukum berbentuk PT atau Koperasi dari Kementerian Hukum dan HAM
atau Kementerian Koperasi (sesuai bentuk entitynya);
b.  Copy Anggaran Dasar (articles of association) yang memastikan kegiatan
usahanya sebagai penyedia jasa pekerja/buruh;

c. Copy SIUP sesuai dengan TDP (sebagai badan usaha yang melakukan
kegiatan usaha bisnis); dan

d. Copy – bukti - Wajib Lapor Ketenagakarjaan di Perusahaan (berdasarkan


UU No. 7 Tahun 1981).

Dasar hukum:

1. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;


2. Undang-Undang No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan;

9
3. Undang-Undang No. 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan
di Perusahaan;

4. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.


Kep-101/Men/VI/2004 tentang Tata Cara Perizinan Perusahaan Penyedia
Jasa Pekerja/Buruh;

5. Hubungan masing-masing pelaku usaha dengan tenaga kerja

Pada dasarnya hubungan kerja, yaitu hubungan antara pekerja dan pengusaha
terjadi setelah diadakan perjanjian oleh pekerja dengan pengusaha di mana pekerja
menyatakan kesanggupannya untuk menerima upah dan pengusaha menyatakan
kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja dengan membayar upah.Di dalam
Pasalo 50 UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa hubungan kerja
terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja.
Pengertian perjanjian kerja diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, dalam Pasal 1601 a KUH Perdata disebutkan kualifikasi agar suatu perjanjian
dapat disebut perjanjian kerja. Kualifikasi yang dimaksud adalah adanya pekerjaan, di
bawah perintah, waktu tertentu dan adanya upah. Kualifikasi mengenai adanya
pekerjaan dan di bawah perintah orang lain menunjukkan hubungan subordinasi atau
juga sering dikatakan sebagai hubungan diperatas (dienstverhouding), yaitu pekerjaan
yang dilaksanakan pekerja didasarkan pada perintah yang diberikan oleh pengusaha.
Undang-undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan
definisi tentang perjanjian kerja dalam Pasal 1 Ayat (14) yaitu : perjanjian kerja
adalah perjanjian antara pekerja dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat
syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.
Di dalam perjanjian kerja ada 4 unsur yang harus dipenuhi yaitu adanya
unsure work atau pekerjaan, adanya servis atau pelayanan, adanya unsur time atau
waktu tertentu, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Sedangkan perjanjian
kerja akan menjadi sah jika memenuhi ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata
yaitu :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Arti kata sepakat  adalah   bahwa  kedua subyek   hukum yang mengadakan perjanjian

10
harus setuju  mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan. Perjanjian
tersebut dikehendai secara timbal balik

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Subyek hukum yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya
setiap orang harus sudah dewasa atau akil baliq dan sehat pikirannya disebut cakap
menurut hukum. Di dalam Pasal 1330 KUH Perdata  dijelaskan orang yang tidak
cakap untuk membuat perjanjian adalah orang yang belum dewasa, mereka yang
berada di bawah pengampuan, dan orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan
oleh dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat
perjanjian tertentu.

c. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu adalah sesuatu yang diperjanjikan. Barang yang dimaksudkan
dalam perjanjian, paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Barang tersebut harus
sudah ada atau sudah berada atau sudah ada atau berada di tangan si berhutang pada
waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh undang-undang.

d. Sebab yang halal

Sebab yang dimaksud dari suatu perjanjian adalah isi dari perjanjian itu sendiri.
Sebagai bagian dari perjanjian pada umunnya, maka perjanjian kerja harus memenuhi
syarat sahnya  perjanjian kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana
diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Ketentuan secara khusus yang mengatur
tentang perjanjian kerja adalah dalam Pasal 52 Ayat (1) UU No 13/2003 tentang
Ketenagakerjaaan, yaitu :
a. Kesepakatan kedua belah pihak
Kesepakatan keduia belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi yang
mengikatkan dirinya maksudnya bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian
kerja harus setuju/sepakat, seia sekata megenai hal-hal yang diperjanjikan
b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum
Kemampuan dan kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian maksudnya
adalah pihak pekerja maupun pengusaha cakap membuat perjanjian. Seseorang

11
dipandang cakap membuat perjanjian jika yang bersangkutan telah cukup umur.
Ketentuan hukum ketenagakerjaan memberikan batasan umur minimal 18 tahun
(Pasal 1 Ayat 26) UU No. 13/2003. Selain itu seseorang dikatakan cakap membuat
perjanjian jika orang tersebut tidak terganggu jiwa dan mentalnya
c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan
Pekerjaan yang diperjanjikan merupakan obyek dari perjanjian kerja antara pekerja
dengan pengusaha yang akibat hukumnya melahirkan hak dan kewajiban para
pihak.Pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban
umum, kesusilaan dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Obyek perjanjian harus halal yakni tidak boleh bertentangan dengan undang-
undang. ketertiban umum dan kesusilaan. Jenis pekerjaan yang diperjanjikan
merupakan salah satu unsure perjanjian kerja yang harus disebutkan secara jelas.

Bentuk hubungan kerja di Indonesia yang dikenal saat ini dapat dibedakan atas :
a. Hubungan kerja permanen.
b. Hubungan kerja menurut jangka waktu tertentu (hubungan kerja kontrak).
c. Hubungan kerja penempatan (outsource).
Ad. a. Hubungan kerja permanen atau istilah UU adalah Perjanjian Kerja Waktu
Tidak Tertentu (PKWTT) adalah hubungan kerja yang tidak ditetapkan jangka
waktunya. Menurut Pasal 50 UU No. 13 Tahun 2003

12
BAB III
PENUTUP

Pelaksanaan hubungan industrial di perusahaan selalu dipengaruhi oleh


dinamika masyarakat sehingga dalam pelaksanaannya selalu menghadapi tantangan
dan rintangan dan berpengaruh pada kondisi hubungan kerja yang selalu berubah dari
waktu ke waktu. Secara garis besar, permasalahan yang terjadi dalam hubungan kerja
berpengaruh kepada hubungan industrial, antara lain meliputi pemahaman teknis
undang-undang bidang hubungan industrial tentang hakekat hubungan kerja,
mengenai permasalahan perjanjian kerja yang menjadi dasar terbitnya hubungan kerja
yang diatur tentang hak dan kewajiban para pihak, penggunaan perjanjian kerja waktu
tertentu untuk semua jenis pekerjaan dan kecenderungan menggunakan pekerja
outsourcing, dan upaya-upaya perbaikan syarat kerja yang diatur dalam ketentuan
normatif.

13
DAFTAR PUSTAKA

F.X. Djulmiaji, Perjanjian Kerja Edisi Revisi, Jakarta: Sinar Grafika, 2008

Ningrum Natasya Sirait, Modul Perkuliahan: Hukum Kontrak Bisnis, (Medan:


Pascasarjana USU, 2010), hlm. 3.

Syahmin, Hukum Kontrak Internasional, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006),


hlm. 1.

Djumialdji, Perjanjian Kerja, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 26.

Imam Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, (Jakarta: Djambatan,


1980), hlm. 70

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 2.

Undang-undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 50

Undang-undang No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 Ayat (16)

www.Hukumonline.com

14

Anda mungkin juga menyukai