PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
1
perjanjian tersebut berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang
membuatnya.
Dalam hukum perburuhan di Indonesia, harus dibedakan antara hubungan
kerja dengan hubungan industrial. Beberapa negara baik yang termasuk di dalam
sistem hukum Kontinental (Continental Law) maupun Common Law membedakan
kedua bentuk hubungan ini. Judge Bartolome` Rios Salmeron mengatakan bahwa
hubungan kerja (labour relationship) selalu didasarkan pada adanya perjanjian kerja
(labour contract). Sedangkan Bruce E.Kaufmann menggaris bawahi bahwa walaupun
di Amerika Serikat, industrial relation telah ada sejak akhir tahun 1920an, ada 3
perdebatan yang terjadi dalam masalah perburuhan berkaitan dengan industrial
relation, salah satunya adalah ketergantungan dan posisi tawar yang lemah dari
pekerja maupun serikat pekerja pada peraturan pemerintah (government regulation in
the form protective labor legislation). Di Jerman, sebagai bagian dari Civil Code,
dalam the Protection Against Dismissal Act and the Employment Promotion Act,
disebutkan bahwa batasan kontrak merupakan hal yang utama dalam labour relations.
Argumen-argumen di atas jelas menekankan perbedaan hubungan kerja dengan
hubungan industrial. Dalam hubungan industrial, tidak terdapat hubungan hukum
akan tetapi peran serta Negara (dalam hal ini Pemerintah) diatur di dalamnya.
Sedangkan dalam konteks hubungan kerja, terdapat hubungan hukum yang jelas yaitu
hubungan hukum privat atau hubungan hukum keperdataaan, karena hubungan kerja
di dasarkan pada kontrak kerja atau perjanjian kerja.
Indonesia sebagai negara yang menganut sistem Civil Law yang menempatkan
peraturan perundang-undangan menjadi sumber hukum perburuhan yang utama maka
syarat-syarat kerja dan kondisi kerja ditetapkan oleh Pemerintah. Dalam situasi
demikian, dinamika perubahan hukum perburuhan sangat bergantung pada
Pemerintah selaku pembuat maupun pelaksana hukum.
2
2. Tujuan
1. Untuk menambah pemahaman mengenai hubungan industrial antara para
pelaku usaha didalam dunia kerja
2. Mengetahui apa-apa saja kewajiban yang harus dilakukan oleh masing-
masing pelaku usaha didalam lingkungan kerja baik antara pelaku usaha
pemberi kerja kepada tenaga kerja maupun pelaku usaha pemberi kerja
kepada tenaga kerja.
3. Mengetahui syarat-syarat legalitas pelaku usaha penyedia jasa tenaga kerja
3
BAB II
PEMBAHASAN
Hal ini diatur dalam Paragraf 4 Bagian Kesatu Bab X Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, yaitu:
1) Pasal 79 ayat (2) yaitu Istirahat antara jam kerja, istirahat mingguan, cuti
tahunan, istirahat panjang.
2) Pasal 80 yaitu pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya
kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh
agamanya. Maksudnya adalah menyediakan tempat untuk melaksanakan
ibadah yang memungkinkan pekerja/buruh dapat melaksanakan ibadahnya
secara baik, sesuai dengan kondisi dan kemampuan perusahaan. Pekerja/buruh
tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi, tetapi pengusaha dapat
mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur resmi apabila
4
jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan secara
terus-menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara
pekerja/buruh dengan pengusaha. Hal ini untuk melayani kepentingan dan
kesejahteraan umum, dan disamping itu bahwa pekerjaan yang karena sifat
dan jenis pekerjaannya tidak memungkinkan pekerjaan itu dihentikan.
Kewajiban mengatur tempat kerja dan alat kerja ini adalah agar kecelakaan
kerja pada pekerja/buruh dapat dihindari. Sebagaimana diatur dalam Pasal 86
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, bahwa pekerja
berhak atas perlindungan mengenai Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), serta
Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja yang mengatur
alat-alat kerja.
Biasanya cara berakhirnya hubungan kerja oleh pengusaha dinyatakan dengan baik
atau dengan hormat meskipun tidak baik.
Pasal 27
(1) Setiap perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh wajib membuat perjanjian kerja
secara tertulis dengan pekerja/buruh.
(2) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicatatkan kepada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota
tempat pekerjaan dilaksanakan.
(3) Dalam hal perjanjian kerja tidak dicatatkan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi
mencabut izin operasional berdasarkan rekomendasi dari instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.
(4) Pencatatan perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
dikenakan biaya.
Pasal 28
Setiap perjanjian kerja penyediaan jasa pekerja/buruh wajib memuat ketentuan yang
menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh dalam hubungan kerja sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan.
6
Pasal 29
Pasal 30
Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu tidak memuat ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) dan ayat (3), maka hubungan kerja antara
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruh berubah menjadi
hubungan kerja yang didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu sejak
ditandatanganinya perjanjian kerja yang tidak memenuhi persyaratan.
7
Pasal 31
Pasal 32
8
berlaku di seluruh Indonesia untuk jangka waktu 5 (lima) tahun, dan (selanjutnya)
dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama.
Dengan demikian suatu perusahaan yang beroperasi di bidang penyedia jasa
pekerja/buruh, selain harus memiliki tanda daftar perusahaan (TDP) dari “Dinas
Perdagangan“ (sesuai pasal 5 dan 22 jo. pasal 11 dan pasal 12 UU No. 3 Tahun
1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan), juga harus memiliki izin operasional
sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dari Dinas Ketenagakerjaan di
Kabupaten/Kota sesuai lokasinya. Jadi bukan “sertifikat penyedia jasa tenaga kerja
dari Depnaker” sebagaimana disebutkan dalam surat (pertanyaan) Saudara. Demikian
juga, “izin dari Kadin” sebagaimana yang Saudara sebutkan dalam surat dimaksud,
menurut hemat kami hanya sebagai bukti keanggotaan perusahaan Saudara dalam
organisasi “Kamar Dagang dan Industri”, dan bukan sebagai persyaratan untuk
beroperasi di bidang penyedia jasa pekerja/buruh.
Untuk mendapatkan izin operasional dimaksud, perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh menyampaikan permohonan kepada Dinas Ketenagakerjaan setempat
dengan melampirkan persyaratan-persyaratan sebagai berikut :
c. Copy SIUP sesuai dengan TDP (sebagai badan usaha yang melakukan
kegiatan usaha bisnis); dan
Dasar hukum:
9
3. Undang-Undang No. 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan
di Perusahaan;
Pada dasarnya hubungan kerja, yaitu hubungan antara pekerja dan pengusaha
terjadi setelah diadakan perjanjian oleh pekerja dengan pengusaha di mana pekerja
menyatakan kesanggupannya untuk menerima upah dan pengusaha menyatakan
kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja dengan membayar upah.Di dalam
Pasalo 50 UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa hubungan kerja
terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja.
Pengertian perjanjian kerja diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, dalam Pasal 1601 a KUH Perdata disebutkan kualifikasi agar suatu perjanjian
dapat disebut perjanjian kerja. Kualifikasi yang dimaksud adalah adanya pekerjaan, di
bawah perintah, waktu tertentu dan adanya upah. Kualifikasi mengenai adanya
pekerjaan dan di bawah perintah orang lain menunjukkan hubungan subordinasi atau
juga sering dikatakan sebagai hubungan diperatas (dienstverhouding), yaitu pekerjaan
yang dilaksanakan pekerja didasarkan pada perintah yang diberikan oleh pengusaha.
Undang-undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan
definisi tentang perjanjian kerja dalam Pasal 1 Ayat (14) yaitu : perjanjian kerja
adalah perjanjian antara pekerja dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat
syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.
Di dalam perjanjian kerja ada 4 unsur yang harus dipenuhi yaitu adanya
unsure work atau pekerjaan, adanya servis atau pelayanan, adanya unsur time atau
waktu tertentu, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Sedangkan perjanjian
kerja akan menjadi sah jika memenuhi ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata
yaitu :
Arti kata sepakat adalah bahwa kedua subyek hukum yang mengadakan perjanjian
10
harus setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan. Perjanjian
tersebut dikehendai secara timbal balik
Subyek hukum yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya
setiap orang harus sudah dewasa atau akil baliq dan sehat pikirannya disebut cakap
menurut hukum. Di dalam Pasal 1330 KUH Perdata dijelaskan orang yang tidak
cakap untuk membuat perjanjian adalah orang yang belum dewasa, mereka yang
berada di bawah pengampuan, dan orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan
oleh dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat
perjanjian tertentu.
Suatu hal tertentu adalah sesuatu yang diperjanjikan. Barang yang dimaksudkan
dalam perjanjian, paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Barang tersebut harus
sudah ada atau sudah berada atau sudah ada atau berada di tangan si berhutang pada
waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh undang-undang.
Sebab yang dimaksud dari suatu perjanjian adalah isi dari perjanjian itu sendiri.
Sebagai bagian dari perjanjian pada umunnya, maka perjanjian kerja harus memenuhi
syarat sahnya perjanjian kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana
diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Ketentuan secara khusus yang mengatur
tentang perjanjian kerja adalah dalam Pasal 52 Ayat (1) UU No 13/2003 tentang
Ketenagakerjaaan, yaitu :
a. Kesepakatan kedua belah pihak
Kesepakatan keduia belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi yang
mengikatkan dirinya maksudnya bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian
kerja harus setuju/sepakat, seia sekata megenai hal-hal yang diperjanjikan
b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum
Kemampuan dan kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian maksudnya
adalah pihak pekerja maupun pengusaha cakap membuat perjanjian. Seseorang
11
dipandang cakap membuat perjanjian jika yang bersangkutan telah cukup umur.
Ketentuan hukum ketenagakerjaan memberikan batasan umur minimal 18 tahun
(Pasal 1 Ayat 26) UU No. 13/2003. Selain itu seseorang dikatakan cakap membuat
perjanjian jika orang tersebut tidak terganggu jiwa dan mentalnya
c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan
Pekerjaan yang diperjanjikan merupakan obyek dari perjanjian kerja antara pekerja
dengan pengusaha yang akibat hukumnya melahirkan hak dan kewajiban para
pihak.Pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban
umum, kesusilaan dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Obyek perjanjian harus halal yakni tidak boleh bertentangan dengan undang-
undang. ketertiban umum dan kesusilaan. Jenis pekerjaan yang diperjanjikan
merupakan salah satu unsure perjanjian kerja yang harus disebutkan secara jelas.
Bentuk hubungan kerja di Indonesia yang dikenal saat ini dapat dibedakan atas :
a. Hubungan kerja permanen.
b. Hubungan kerja menurut jangka waktu tertentu (hubungan kerja kontrak).
c. Hubungan kerja penempatan (outsource).
Ad. a. Hubungan kerja permanen atau istilah UU adalah Perjanjian Kerja Waktu
Tidak Tertentu (PKWTT) adalah hubungan kerja yang tidak ditetapkan jangka
waktunya. Menurut Pasal 50 UU No. 13 Tahun 2003
12
BAB III
PENUTUP
13
DAFTAR PUSTAKA
F.X. Djulmiaji, Perjanjian Kerja Edisi Revisi, Jakarta: Sinar Grafika, 2008
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 2.
www.Hukumonline.com
14