Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada dasarnya hubungan kerja adalah suatu hubungan hukum

yang dilakukan oleh minimal dua subjek hukum mengenai suatu

pekerjaan.1Pekerjaan mempunyai makna yang sangat penting dalam

kehidupan manusia sehingga setiap orang membutuhkan pekerjaan.

Pekerjaan dapat dimaknai sebagai sumber penghasilan bagi seseorang

untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi dirinya dan keluarganya. Oleh

karena itu hak atas suatu pekerjaan adalah hak azazi setiap manusia

yang melekat pada diri seseorang yang wajib dihormati atau dijunjung

tinggi sebagaimana hal tersebut diatur dalam Pasal 27 ayat 2 UUD

Tahun 1945 yang mengatur bahwa setiap warga negara Indonesia

berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Setiap hubungan kerja antara pengusaha dan karyawan tentu

bersifat perdata sehingga tindakan-tindakan diantara keduanya bersifat

perdata pula, misalnya pengusaha wajib membayar upah dan karyawan

wajib melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang disepakati. Kewajiban

karyawan dan pengusaha dalam hubungan kerja adalah salah satu hal

yang dimuat dalam perjanjian kerja. Dengan demikian, dalam

hubungan kerja sudah tentu akan menimbulkan hak dan kewajiban

antara pengusaha dan karyawan.


1
Astri Wijayanti, 2009, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, penerbit sinar
grafia, Jakarta,hlm 36.

1
2

Hak dan kewajiban pengusaha dengan karyawan membutuhkan

perlindungan hukum agar terciptanya sebuah hubungan kerja yang

sehat. Dalam membahas mengenai persoalan hak-hak pekerja tentu

akan ada banyak hal yang dibahaskan terutama hak karyawan atas

tanggung jawabnya terhadap barang jual milik perusahaan. Mengenai

tanggung jawab karyawan atau kewajiban seorang karyawan tentu

termuat di dalam perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis dan

disepakati bersama oleh kedua bela pihak yakni pengusaha dan

karyawan itu sendiri. Sehingga perjanjian yang disepakati bersama oleh

kedua bela pihak berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang

membuatnya sebagaimana tercantum dalam pasal 1338 ayat 1 KUHper ,

yang selanjutnya menjadi tanda bahwa diantara keduanya terikat dalam

suatu hubungan hukum. Sementara itu, perjanjian kerja yang dibuat

secara tertulis oleh pengusaha kepada karyawan paling tidak di dalam

klausula perjanjian harus memuat beberapa hal yang telah diatur dalam

pasal 54 ayat 1 Bab IX Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan, diantaranya yaitu :2

1. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;

2. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat karyawan;

3. jabatan atau jenis pekerjaan;


4. tempat pekerjaan;

5. besarnya upah dan cara pembayarannya;


2
Indonesia (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan.
3

6. syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha

dan karyawan;

7. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;

8. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan

9. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

Adapun hubungan hukum yang lahir dari sebuah perjanjian kerja

yang disepakati bersama antara pengusaha dengan karyawan lahirlah

tanggung jawab hukum diantara keduanya baik pengusaha kepada

karyawan atau karyawan kepada pengusaha. Mengenai

pemotongan gaji yang menjadi hak dari pengusaha paling tidak harus

sesuai dengan apa yang sudah diatur dalam ketentuan Pasal 57 ayat 1

yang menjelaskan bahwa pemotongan gaji oleh pengusaha atau

perusahaan untuk denda, ganti rugi, dilakukan sesuai dengan perjanjian

kerja, peraturan perusahaan atau peraturan kerja bersama. Kemudian

dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 Tentang

Pengupahan pengusaha hanya diperbolehkan melakukan pemotongan

yang sesuai dengan ketentuan Pasal 63 Peraturan Pemerintah Nomor 78

Tahun 2015 Tentang Pengupahan yang berbunyi:3

1. Denda, ganti rugi, atau uang muka upah yang dilakukan sesuai

dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian

3
Indonesia (2) Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 Tentang
Pengupahan.
4

kerja bersama;

2. Sewa rumah, sewa barang milik perusahaan yang disewakan oleh

pengusaha kepada karyawan, atau utang/cicilan utang karyawan

yang harus dilakukan berdasarkan kesepakatan tertulis atau

perjanjian tertulis;

3. Kelebihan pembayaran upah yang dilakukan tanpa perlu

persetujuan karyawan.

Itulah bentuk dari tanggung jawab hukum seorang karyawan kepada

pengusaha, sebaliknya tanggung jawab pengusaha kepada karyawan

adalah harus memenuhi hak- hak karyawan yang bekerja di

perusahaan tersebut dan pengusaha melaksanakan apa yang menjadi

kewajibannya sesuai dengan apa yang diatur dalam ketentuan undang-

undang yang berlaku dan termuat ke dalam perjanjian kerja. Sebagai

misal, tentang pemotongan gaji yang dilakukan oleh pengusaha tidak

boleh sewenang-wenang dalam melakukan pemotongan gaji tersebut

kepada karyawan yang bekerja di perusahaannya, apabila pemotongan

gaji atas suatu denda yang dilakukan pengusaha di luar dari tanggung

jawab seorang karyawan atas hilangnya barang jual milik perusahaan.

Adapun perlindungan hukum kepada seorang karyawan

perusahaan dalam permasalahan pemotongan gaji dapat kita lihat

bersama dalam Pasal 95 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 Tentang Ketenagakerjaan Jo. Pasal 88A ayat 7 Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja sebagaimana telah diubah


5

dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja. Pasal 95

Ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa;

"Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena

kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda".

Adapun Pasal 88A ayat 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020

Tentang Cipta Kerja menyebutkan bahwa:

“Pekerja/buruh yang melakukan pelanggaran karena kesengajaan

atau kelalaiannya dapat dikenakan denda”

Melihat bunyi ketentuan dari peraturan perundang-undangan di

atas. Pasal 95 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan sejalan dengan ketentuan dari Pasal 88A ayat 7

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja

sebagaimana telah diubah dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2022

Tentang Cipta Kerja. Maka sudah sangat jelas dari pengusaha ketika

melakukan pemotongan gaji kepada karyawan tidak boleh bertentangan

dengan apa yang dijelaskan dalam Pasal 95 ayat 1 Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Jo. Pasal 63 Undang-

Undang Nomor 78 Tahun 2015 dengan kata lain seorang karyawan

wajib mendapatkan upah sepenuhnya jika kerugian yang

ditimbulkan bukan karna kesengajaan atau kelalaiannya.


6

Jika ketentuan Pasal 95 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 Tentang Ketenagakerjaan dihubungkan dengan Pasal 63 ayat 1

Peraturan Pemerintah Tentang Pengupahan yang telah dijelaskan di

atas, maka sudah sangat jelas diterangkan dalam Pasal 63 ayat 1

Peraturan Pemerintah Tentang Pengupahan dalam kaitanya dengan

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Jo.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja

sebagaimana telah diubah dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 Tentang

Cipta Kerja. Bahwa seorang karyawan mengenai hak-haknya wajib

dipenuhi oleh pengusaha dari perusahaan yang bersangkutan. Adapun

Pengusaha berhak untuk melakukan pemotongan gaji kepada

karyawan yang bekerja di perusahaannya, apabila karyawan tersebut

dikenakan denda atau ganti rugi yang memang disebabkan karna

kesengajaan atau kelalaian dan sebagainya.

Mengenai ketentuan pemotongan gaji tentu termuat di dalam

perjanjian kerja antara pengusaha dengan karyawan. Karena dalam

perjanjian kerja tersebut memuat tentang hak-hak karyawan dan

kewajibannya, serta hak pengusaha dan segala kewajibannya yang

dimana isi dari perjanjian tersebut yang disepakati bersama oleh kedua

belah pihak wajib dilakukan atau dilaksanakan dengan sebaik-baiknya

oleh para pihak tersebut.

Melihat ketentuan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana

dijelaskan di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam persoalan


7

tersebut, yaitu bagaimana jika terjadi suatu kasus dimana seorang

pekerja mengalami pemotongan gaji dalam kaitannya atas barang jual

yang hilang milik perusahaan. Akan tetapi barang jual yang hilang

tersebut, bukan karena kesengajaan atau kelalaian yang dilakukan

seorang karyawan yang kemudian dapat menimbulkan terjadinya Nilai

Selisih Barang (NSB)/stock opname dari barang perusahaan terkait.

Apakah tetap menjadi tanggung jawab seorang karyawan ataukah tidak

sebaliknya. Pasalnya dibeberapa perusahaan swalayan sering terjadi

kasus kebijakan pemotongan gaji yang diberlakukan oleh pengusaha

kepada karyawan akibat barang milik perusahaan hilang, yang justru

dirasa oleh karyawan yang bersangkutan bahwa kehilangan barang

tersebut diluar dari tanggung jawab karyawan itu sendiri. Dengan kata

lain, kehilangan barang milik perusahaan tersebut bukan di dasarkan

suatu alasan atas kelalaian, kesengajaan atau ketidaktelitian akan tetapi

dapat terjadi karena faktor-faktor lain.

Salah satu contoh kasus tentang informasi pemotongan gaji yang

penulis dapatkan yaitu informasi terkait data observasi awal di toko

Alfamart yang terdapat pada Skripsi milik Arif Firma Hakim berjudul,

Tinjauan Fiqih Muamalah Terhadap Ganti Rugi Oleh Karyawan

Atas Rusak Atau Hilangnya Barang Perusahaan, Mahasiswa

Universitas Islam Negeri(UIN), dalam permasalahan hukum yang

dibahaskan pada skripsi tersebut, yaitu berkaitan dengan kebijakan

pemotongan gaji oleh pengusaha kepada karyawan akibat barang jual


8

perusahaan hilang.

Kebijakan pemotongan gaji oleh pengusaha kepada karyawannya

dalam hal kehilangan barang milik perusahaan berlaku juga pada semua

karyawan di perusahaan Alfamart yang terletak di kota Mataram,

walaupun kehilangan barang jual di perusahaan tersebut di luar dari

tanggung jawab karyawan yang memiliki sift kerja yang berbeda.

Sehingga semua karyawan di perusahaan tersebut bersama-sama

menanggung kerugian yang timbul akibat barang jual yang hilang.

Pemotongan gaji tersebut bukan tanpa alasan, hal ini disebabkan karena

sudah menjadi aturan kebijakan perusahaan tersebut.

Kebijakan terkait pemotongan gaji yang dilakukan oleh

pengusaha terjadi ketika kehilangan barang milik perusahaan melebihi

anggaran yang diberikan oleh perusahaan pada toko sebagai dana

talangan bentuk ganti rugi atas rusak atau hilangnya barang. Adapun

dana talangan dari anggaran perusahaan yang diberikan untuk

mengganti kerugian atas barang jual yang hilang yaitu sebesar Rp.

4.00.000 (empat ratus ribu rupiah).4 Oleh karena itu, masalah tersebut di

atas sangat serius untuk kemudian dibahaskan ke dalam proposal ini,

sehingga penulis dapat memberikan pandangan hukum penulis akan

4
Arif Firma Hakim, Tinjauan Fiqih Muamalah Terhadap Ganti Rugi Oleh

Karyawan Atas Rusak Atau Hilangnya Barang Perusahaan, Skripsi Mahasiswa

Universitas Islam Negeri (UIN).


9

bagaimana perlindungan hukum kepada karyawan akibat barang jual

milik perusahaan yang hilang dan juga dapat memberikan pandangan

hukum akan bagaimana penyelesaian hukum bila terjadi perselisihan

hak antara pengusaha dan karyawan.

Berangkat dari permasalahan tersebut di atas, maka penulis

sendiri sangat tertarik untuk membahas permasalahan ini dan

mengangkat kasus tersebut sebagai judul dalam proposal penulis

dengan judul “ANALISIS YURIDIS PEMOTONGAN GAJI

KARYAWAN AKIBAT HILANGNYA BARANG JUAL

PERUSAHAAN (Studi Kasus Alfamart di Kota Mataram)

B. Rumusan Masalah

Rumusan Masalah yang akan di jabarkan dan di jawab dalam

penelitian ini yaitu :

1) Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap karyawan

swalayan (Alfamart) atas barang jual yang hilang?

2) Bagaimana bentuk penyelesaian perselisihan antara pengusaha

swalayan(alfamart) dengan karyawan atas permasalahan barang jual

yang hilang sehingga menyebabkan nilai selisih barang (NSB)/Stock

Opname?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan


10

penelitian yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah

1) Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap karyawan

swalayan (Alfamart) atas barang jual yang hilang.

2) Untuk mengetahui bentuk penyelesaian perselisihan antar

pengusaha swalayan Alfamart terhadap karyawannya atas

permasalahan barang jual yang hilang sehingga menyebabkan nilai

selisih barang (NSB)/stock opname?

B. Manfaat Penelitian

Melalui Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bagi

semua pihak yang terkait dalam penelitian ini, diantaranya :

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini berguna untuk menambah wawasan dan

ilmu pengetahuan tentang bagaimana pemotongan gaji karyawan

oleh perusahaan apabila di tinjau dari aspek hukum positif

Indonesia.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

manfaat bagi semua pihak yang terkait dalam

penelitian ini, diantaranya :

a) Penelitian ini diharapkan dapat digunakan dalam memahami


11

hukum positif Indonesia

b) Menambah ilmu pengetahuan dan memberikan manfaat bagi

masyarakat pada umumnya mengenai bagaimana pemotongan

gaji karyawan oleh perusahan apabila ditinjau dari Aspek

Hukum Positif Indonesia.

C. Keaslian Penelitian

Dalam suatu penelitian tidak terlepas dari perolehan data

melalui referensi buku-buku dan literatur sebagai bahan

perbandingan dalam penelitian ini akan di cantumkan hasil

penelitian terlebih dahulu oleh beberapa peneliti antara lain:

1. Skripsi yang disusun oleh Bachtiar Achyat Thoha yang

berjudul perlindungan hukum pekerja dalam perjanjian kerja

waktu tertentu di PT. Sumber Alfaria Trijaya Jember, skripsi

yang disusun oleh Bachtiar Achyat Thoha ini memiliki

kesimpulan bahwa aspek perlindungan hukum PKWT di PT.

Sumber Alfatia Trijaya pada prinsipnya belum memadai

karena masih ditemui adanya ketidak seimbangan antara

pengusaha dan tenaga kerja dan lebih menguntungkan

pengusaha.

Skripsi yang disusun oleh Bachtiar Achyat Thoha ini

memfokuskan perlindungan hukum pekerja dalam perjanjian

kerja waktu tertentu di PT. Sumber Alfaria Trijaya Jember

sedang penyusun memfokuskan pada analisis kasus


12

pemotongan gaji karyawan alfamart dalam kaitanya atas

barang jual yang hilang ditinjau dari aspek hukum positif

Indonesia.5

2. Skripsi yang disusun oleh Deni Susanto, Mahasiswa

Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung yang berjudul,

Tinjauan Hukum Islam Tentang Pemotongan Gaji Karyawan

Akibat Hilangnya Barang Perusahaan. Skripsi yang disusun

Oleh Deni Susanto ini memiliki kesimpulan yaitu: perjanjian

kerja yang dibuat perusahaan dan ditanda tangan oleh karyawan

secara sukarela, jadi jika barang milik perusahaan hilang

karyawan yang ganti. dan tinjauan hukum islam tentang

pemotongan gaji karyawan itu boleh diberlakukan.

Skripsi yang disusun oleh Deni Susanto ini hampir sama

dengan skripsi penyusun, karena sama-sama menyinggung

pemotongan gaji karyawan hanya saja yang menjadi

perbedaanya adalah pada skripsi Deni Susanto memfokuskan

pada Tinjauan Hukum Islam Sementara pada penyusun lebih

memfokuskan pada Aspek Hukum Positif Indonesia.6

5
Thoha, Bachtiar Achyat, Perlindungan Hukum Pekerja Dalam
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Di PT. Sumber Alfaria Trijaya Jember,
skripsi mahasiswa Universitas Jember Fakultas Hukum, (2018).
6
Susanto, Deni Tinjauan Hukum Islam Tentang Pemotongan Gaji Akibat
Hilangnya Barang Perusahaan, Skripsi Mahasiswa Universitas Islam Negeri
Lampung, (2017).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Hubungan Kerja

1. Pengertian Hubungan Kerja

Secara konseptual, Hubungan antara pekerja dengan pengusaha

berdasarkan Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, disebut sebagai hubungan kerja

apabila antara pekerja dengan pengusaha memiliki perjanjian kerja, baik

lisan atau tertulis, perjanjian kerja yang menjadi dasar hubungan antara

pekerja dengan pengusaha harus mengandung unsur upah, perintah, dan

pekerjaan.7 Hubungan kerja adalah suatu hubungan hukum yang

dilakukan oleh minimal dua subjek hukum mengenai suatu pekerjaan.

2. Pihak Dalam Hubungan Kerja

Berdasarkan Pasal 1 angka 15 juncto Pasal 50 Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, hubungan kerja lahir

karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja. Oleh

karena itu dapat dikatakan bahwa pihak-pihak atau subjek hukum dalam

hubungan kerja terdiri dari pengusaha dan pekerja yaitu:8

7
Farianto Willy, Pola Hubungan Hukum Pemberi Kerja dan Pekerja
Hubungan kerja Kemitraan dan Keagenan, Penerbit Sinar Grafika, Tahun
2019, Cet,I,hlm 2.

13
14

a. Pengusaha

Siapa yang dimaksud dengan “pengusaha” dapat diketahui dalam


pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

1) Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang

menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;

2) Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara

berdiri sendiri menjalankan perusahaan yang bukan miliknya;

3) Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang

berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana

dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan diluar

wilayah Indonesia.”

b. Pekerja

Istilah “Pekerja” berbeda dengan istilah ” buruh”.Pekerja

adalah orang yang bekerja. Buruh adalah orang yang bekerja dengan

menerima upah. Namun dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 Tentang Ketenagakerjaan, istilah ” pekerja” dipersamakan

dengan istilah ”buruh”. Dipadankanya istilah “pekerja” dan “buruh”

merupakan kompromi setelah dalam kurun waktu yang amat panjang

dua istilah tersebut “bertarung” untuk dapat diterima oleh

masyarakat.

8
Budi Santoso, Hukum Ketenagakerjaan Perjanjian Kerja Bersama Teori, Cara
Pembuatan, dan Kasus, Penerbit UB Press, Cetakan Pertama, Tahun 2012, Hlm 7
15

3. Berakhirnya Hubungan Kerja

Hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha suatu waktu

pasti akan berakhir yang bisa disebabkan oleh alasan-alasan tertentu.

Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan merumuskan beberapa alasan yang menyebabkan

berakhirnya suatu hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja.

“Perjanjian kerja dapat berakhir apabila:

1) Pekerja meninggal dunia;

2) Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;

3) Adanya putusan pengadilan dan/putusan atau penetapan lembaga

penyelesaian persilisihan hubungan industrial yang telah memiliki

kekuatan hukum tetap;atau

4) Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam

perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja

bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

Dalam hal pekerja meninggal dunia, maka ahli waris pekerja

berhak mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian

kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Sebaliknya,

dengan meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan

yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah tidak berarti bahwa

suatu hubungan kerja berakhir.


16

Berdasarkan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan, apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan

kerja sebelum berakhirnya jangka waktu dalam perjanjian kerja waktu

tertentu, maka pihak yang mengakhir hubungan kerja tersebut diwajibkan

membayar ganti rugi kepada pihak lainya sebesar upah pekerja sampai

batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.9

B. Perjanjian Kerja

1. Pengertian Perjanjian Kerja

Perjanjian kerja adalah perjanjian antara karyawan dengan

pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja,hak,dan

kewajibanpara pihak. Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau

waktu tidak tertentu. Khusus untuk Perjanjian Waktu Kerja Untuk

Waktu Tertentu (PKWT) atau yang pekerjaanya dikenal dengan sebutan

karyawan kontrak didasarkan atas:

a) Jangka waktu; atau

b) Selesainya suatu pekerjaan tertentu.

Syarat sahnya perjanjian kerja, mengacu pada syarat sahnya

perjanjian perdata dalam pasal 1320 KUH Perdata pada umumnya

adalah sebagai berikut:

a) Adanya Kesepakatan kedua bela pihak;

9
Ibid, hlm 10
17

b) Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;

c) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan

d) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban

umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Jika perjanjian kerja tersebut tidak memenuhi syarat dalam huruf a

dan b, maka perjanjian kerja tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan jika

bertentangan dengan ketentuan dalam huruf c dan d, maka perjanjian

kerja menjadi batal demi hukum. Dan isi daripada perjanjian kerja

memuat;10

a) Syarat-syarat kerja;
b) Hak karyawan dan pengusaha; dan

c) Kewajiban karyawan dan pengusaha.

Dalam perjanjian kerja paling tidak harus memuat beberapa hal

yang telah diatur dalam pasal 54 ayat 1 Bab IX Undang-Undang

No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, diantaranya yaitu:11

1) Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;


2) Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat karyawan;

10
Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. Isi Perjanjian Kerja Yang Harus Diperhatikan
Sebelum Tanda Tangan, diakses dari https://www.hukumonline.com/klinik/a/isi-
perjanjian-kerja-yang-harus-diperhatikan-sebelum-tanda-tangan-lt5767600b3aac7,
Pada Tanggal 23 Desember 2022 pukul 22:15.
11
Indonesia (1) Loc. Cit
18

3) Jabatan atau jenis pekerjaan;

4) Tempat pekerjaan;

5) Besarnya upah dan cara pembayaranya;

6) Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha

dan karyawan

7) Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian;

8) Tempat dan tanggal perjanjian dibuat; dan

Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

2. Jenis Perjanjian Kerja

Pada dasarnya hubungan kerja merupakan hubungan yang mengatur

dan memuat hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.

Takaran hak dan kewajiban masing-masing haruslah seimbang. Dalam

konteks hubungan kerja, kewajiban para pihak berlangsung secara

timbal balik. Sebagaimana yang dinyatakan Bahder Johan Nasution

bahwa kewajiban pengusaha merupakan hak pekerja/buruh, dan

sebaliknya kewajiban pekerja/buruh adalah hak pengusaha. Untuk itu

jika terjadi pelanggaran kewajiban yang telah diatur oleh perundang-

undangan masing- masing pihak dapat menuntut pihak lainya.

Perjanjian kerja merupakan dasar hubungan kerja. Perjanjian

kerja pada awalnya diatur dalam BAB 7 BUKU III KUH Perdata serta

dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: PER 02/MEN/1993


19

Tentang Kesepakatan Kerja waktu tertentu yang sudah tidak berlaku lagi

dengan adanya undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan, yang di dalamnya diatur perjanjian kerja. Dalam

hukum ketenagakerjaan jenis perjanjian kerja dibedakan atas;12

1. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu, yaitu perjanjian kerja antar

pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja

dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu, Selanjutnya

disebut PKWT.

Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu, yaitu perjanjian kerja

antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan

kerja tetap. Selanjutnya disebut PKWTT.

C. Ketenagakerjaan

1. Pengertian Ketenagakerjaan

Menurut ketentuan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagkerjaan beserta peraturan pelaksanaanya, dari peraturan

pemerintah, peraturan menteri, hingga keputusan-keputusan menteri

terkait, dapat ditarik kesimpulan adanya beberapa pengertian

12
Fithriatus Shalihah, Implementasi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Dalam Hubungan Kerja Di Indonesia, Jurnal Selat, Volume . 4. Nomor.1,. Oktober
2016, hlm75.
20

ketenagakerjaan, sebagai berikut:13

a. Ketenagakerjaan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan

tenagkerja pada waktu sebelum, selama, dan setelah selesainya

masa hubungan kerja.

b. Tenaga kerja adalah objek, yaitu setiap orang yang mampu

melakukan pekerjaan untuk menghasilkan barang atau jasa, untuk

kebutuhan sendiri dan orang lain.

c. Pekerja atau buruh adalah setiap orang yang bekerja untuk orang

lain dengan menerima upah berupa uang atau imbalan dalam bentuk

lain.

d. Pemberi kerja adalah orang perseorangan atau badan hukum yang

mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan

dalam bentuk lain.

2. Sifat Hukum Ketenagakerjaan

Seperti diketahui bahwa tujuan hukum Ketenagakerjaan

adalah melaksanakan keadilan sosial dalam bidang Ketenagakerjaan

yang diselenggarakan dengan jalan buruh terhadap kekuasaan majikan.

Perlindungan buruh dari kekuasaan majikan terlaksana apabila

peraturan- peraturan dalam bidang Ketenagakerjaan yang

13
Wimbo Pitoyo, Panduan Praktik Hukum Ketenagakerjaan,
Jakarta:Visimedia, Tahun 2010, hlm 3.
21

mengaharuskan atau memaksakan majikan bertindak seperti dalam

perundang- undangan tersebut benar dilaksanakan semua pihak, karena

keberlakuan hukum tidak dapat diukur secara yuridis saja tetapi juga

diukur secara sosiologis dan filosofis. Peraturan-peraturan tersebut

merupakan perintah atau larangan dan memberikan sanksi terhadap

pelanggaran peraturan baik dengan tidak sah atau batalnya perbuatan

yang melanggar peraturan tersebut maupun dengan hukuman kurungan

dan denda. Dengan demikian hukum Ketenagakerjaan dapat bersifat

privat (perdata) dan dapat pula bersifat publik (pidana). Dikatakan

bersifat perdata karena hukum Ketenagakerjaan mengatur hubungan

antara orang perorangan, dalam hal ini antara tenaga kerja dengan

majikan di mana dalam hubungan kerja yang dilakukan membuat

suatu perjanjian yang lazim disebut perjanjian kerja, sedangkan

ketentuan mengenai perjanjian ini diatur dalam Buku III KUH Perdata.

Di samping bersifat perdata hukum Ketenagakerjaan juga bersifat

publik karena:14

1. Dalam hal-hal tertentu pemerintah ikut campur tangan dalam

menangani masalah-masalah ketenagakerjaan, misalnya dalam

menyelesaikan perselisihan Ketenagakerjaan dan pemutusan

14
Ida Hanifah, Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Medan: Pustaka
Prima, Tahun 2020, hlm 15
22

hubungan kerja (PHK), yakni dengan dibentuknya P4D dan P4P,

yang saat ini penyelesaian perselisihan Ketenagakerjaan diatur

dengan Undang- undang Nomor 2 Tahun 2004.

2. Adanya sanksi pidana dalam setiap peraturan perundang-undangan

Ketenagakerjaan.

D. Pengupahan

1. Pengertian Pengupahan

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78

Tahun 2015 Tentang Pengupahan, disebutkan bahwa:

“ Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam

bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada

pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian

kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk

tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan

dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan”.15

2. Prosedur Pembayaran Upah

Mengenai prosedur pembayaran upah berdasarkan Peraturan

Pemerintah No.8 Tahun 1981 Tentang Perlindungan upah dijelaskan

bahwa;16
15
Lidia Febrianti, Pelaksanaan Pengupahan Pekerja Menurut Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, UIR Law Review, Volume, 01, Nomor
01, April 2017, hlm 84
16
Peraturan pemerintah No.8 Tahun 1981 Tentang Perlindungan Upah
23

a. Bila tempat pembayaran upah tidak ditentukan dalam perjanjian

atau peraturan perusahaan, maka pembayaran upah dilakukan

ditempat buruh bisa bekerja, atau kantor perusahaan sebagaimana

terdapat dalam ketentuan pasal 16 UU Tentang Perlindungan

Upah.

b. Jangka waktu pembayaran upah secepat-cepatnya dapat dilakukan

seminggu sekali atau selambat-lambatnya sebulan sekali, kecuali

bila perjanjian kerja untuk waktu kurang dari satu minggu sesuai

ketentuan pasal 17 UU Tentang Perlindungan Upah.

c. Bilamana upah tidak ditetapkan menurut jangka waktu tertentu,

maka pembayaran upah disesuaikan pada ketentuan pasal 17 UU

Tentang Perlindungan Upah. Dalam artian bahwa upah harus

dibayar sesuai dengan hasil pekerjaan atau harus dibayar sesuai

dengan jumlah dari beberapa hari dia bekerja sebagaimana hal itu

diatur dalam ketentuan pasal 18 UU Tentang Perlindungan Upah.

E. Hubungan Industrial

1. Pengertian Hubungan Industrial

Hubungan industrial (industrial relation) menjadi salah satu

aspek penting dalam kaitan dengan hubungan ketenagakerjaan. Secara

praktis, hubungan industrial (industrial relation) itu bisa diartikan

sebagai hubungan antara semua pihak yang terkait dalam

proses produksi suatu barang dan jasa di suatu organisasi atau


24

perusahaan. Hubungan ini melibatkan pekerja/buruh dan pengusaha

serta pemerintah sebagai pihak regulator yang menjembatani dan

berkepentingan untuk pembinaan ekonomi nasional.

Hubungan industrial diartikan pula sebagai kegiatan yang

mendukung terciptanya hubungan harmonis antara pelaku bisnis yaitu

pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah sehingaa tercapai ketenangan

bekerja dan kelangsungan berusaha. Oleh karena itu, hubungan

industrial (industrial relation) tidak hanya sekedar manajemen organisasi

perusahaan, yang menempatkan pekerja/buruh sebagai pihak yang selalu

dapat diatur. Namun hubungan industrial (industrial relation) meliputi

fenomena baik didalam maupun di luar tempat kerja yang berkaitan

dengan penempatan dan pengaturan hubungan kerja.

Menurut subijanto hubungan ketenagakerjaan (industrial) atau

hubungan perburuhan pada hakikatnya merupakan hubungan antar

pihak- pihak terkait dengan kepentingan, yaitu antara pekerja/buruh dan

pengusaha (majikan), serta organisasi buruh (serikat pekerja) dan

organisasi pengusaha (Kepnaker Nomor 646/Men/1985).

Berdasarkan uraian diatas, maka jika diperinci pada dasarnya

hubungan industrial (industrial relation) meliputi hal-hal:

1) Pembentukan perjanjian kerja/perjanjian kerja bersama yang

merupakan titik tolak adanya hubungan industrial (industrial

relation).
25

2) Kewajiban pekerja /buruh melakukan pekerjaan pada atau

dibawah pimpinan pengusaha, yang sekaligus merupakan hak

pengusaha atas pekerjaan dari pekerja/buruh.

3) Kewajiban pengusaha membayar upah kepada pekerja/buruh

yang sekaligus merupakan hak pekerja/buruh atas upah.

4) Berakhirnya hubungan industrial (industrial relation) dan;

5) Caranya perselisihan antara pihak-pihak yang bersangkutan

diselesaikan dengan sebaik-baiknya.

Undang-undang No.13 Tahun 2003 Tentang Tenaga Kerja pasal 1

nomor 16 menyatakan bahwa hubungan industrial (industrial relation)

merupakan suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku

dalam proses produksi barang dan/jasa yang terdiri dari unsur pengusaha

pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai

pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.

Di tingkat perusahaan pekerja/buruh dan pengusaha adalah dua

pelaku utama hubungan industrial (industrial relation). Dalam hubungan

industrial (industrial relation) baik pihak perusahaan maupun

pekerja/buruh mempunyai hak sama dan sah untuk melindungi hal-hal

yang dianggap sebagai kepentinganya, juga untuk mengamankan tujuan-

tujuan mereka, termasuk hak untuk melakukan tekanan melalui kekuatan

bersama bila dipandang perlu. Di satu sisi, pekerja/buruh dan pengusaha


26

mempunyai kepentingan yang sama, yaitu kelangsungan hidup dan

kemajuan perusahaan, tetapi disisi lain hubungan antar keduanya juga

mempunyai potensi konflik, terutama apabila berkaitan dengan persepsi

atau interpretasi yang tidak sama tentang kepentingan masing-masing


27

pihak.17

3. Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial

Sengketa yang terjadi antara pengusaha dan pekerja dikenal dengan

perselisihan hubungan industrial. Terdapat 4 Jenis Perselisihan

hubungan industrial, yaitu:

1. Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak

dipenuhinya hak, akibat perbedaan pelaksanaan atau penafsiran

terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja,

peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Perselisihan hak ini juga bisa didefinisikan sebagai perselisihan

mengenai hak normatif yang sudah ditetapkan dalam perjanjian kerja,

peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan

perundang- undangan.

2. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam

hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai

pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan

dalam perjanjian kerja, atau perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

3. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang

timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat terkait pengakhiran

hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.

4. Perselisihan pemutusan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah

perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan


28

karena perbedaan paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan

kewajiban keserikatan pekerjaan.

Mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial terdapat

3 langkah penyelesaian perselisihan hubungan industrial yaitu melalui

upaya bipartit, tripartit, dan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.

a. Perundingan bipartit
Perundingan bipartit adalah perundingan antara pengusaha/

gabungan pengusaha dan pekerja/serikat pekerja atau antar serikat

pekerja dalam satu perusahaan yang berselisih.

Pada prinsipnya memang ketika terjadi perselisihan, upaya

yang wajib diupayakan terlebih dahulu melalui perundingan bipartit

secara musyawarah untuk mencapai mufakat.

Perundingan bipartit harus diselesaikan dalam waktu maksimal

30 hari. Namun jika dalam jangka waktu tersebut salah satu pihak

menolak berunding atau tidak mencapai kesepakatan, maka

perundingan bipartit dianggap gagal. Apabila perundingan bipartit

ternyata mencapai kesepakatan, maka dibuat perjanjian kerja bersama

yang ditandatangani oleh para pihak. Perjanjian bersama ini bersifat

mengikat dan menjadi hukum sehingga wajib dilaksanakan oleh para

pihak. Setelah itu, perjanjian bersama wajib didaftarkan ke Pengadilan

Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak

mengadakan perjanjian bersama. Sehingga, jika perjanjian tersebut


29

tidak dilaksanakan oleh salah satu piha, maka pihak yang dirugikan

dapat mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Hubungan

Industrial Tersebut.

b. Perundingan tripartit

Perundingan tripartit adalah perundingan antara pekerja dan

pengusaha dengan melibatkan pihak ketiga sebagai fasiliator dalam

menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Perundingan tripartit

bisa melalui mediasi, konsiliasi, dan arbitrase.

1. Mediasi

Mediasi dilakukan untuk kasus perselisihan hak,

perselisihan kepentingan, PHK, atau perselisihan antar serikat

pekerja dalam satu perusahaan, dengan cara musyawarah yang

ditengahi oleh mediator yang netral. Yang berasal dari kantor

instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan

kabupaten/kota.Jika dalam mediasi tercapai kesepakatan maka

dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani para pihak dan

disaksikan mediator, kemudian didaftarkan di Pengadilan

Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Wilayah hukum

para pihak mengadakan perjanjian bersama untuk mendapat akta

bukti pendaftaran.

Apabila perjanjian bersama tidak dilakukan oleh salah satu


30

pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan

permohonanan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial

pada Pengadilan Negeri di wilayah perjanjian bersama

didaftarkan untuk mendapat penetapan eksekusi. Namun, jika

melalui mediasi tidak tercapai kesepakatan, maka mediator akan

mengeluarkan anjuran dan para pihak juga harus memberikan

jawaban tertulis kepada mediator untuk menyetujui atau menolak

anjuran tertulis tersebut. Jika tidak memberikan tanggapan, maka

dianggap menolak anjuran tertulis.Apabila para pihak menyetujui

anjuran tertulis dari mediator, maka dalam waktu paling lambat 3

hari kerja, mediator membantu para pihak membuat perjanjian

bersama dan didaftarkan ke Pengadilan Hubungan

Industrial.Sedangkan, apabila para pihak atau salah satu pihak

menolak anjuran tertulis maka dapat mengajukan gugatan ke

Pengadilan Hubungan Industrial.

2. Konsiliasi

Berbeda dengan mediasi, konsiliasi dilakukan untuk

penyelesaian perselisihan kepentingan, PHK dan perselisihan

antar serikat pekerja yang dilakukan oleh konsiliator yang netral

dan terdaftar pada kantor instansi yang bertanggung jawab di

bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota. Konsiliator yang

menangani berada di wilayah kerja meliputi tempat pekerja


31

bekerja. Para pihak perlu mengajukan permintaan penyelesaian

secara tertulis kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati.

Jika melalui konsiliasi tercapai kesepakatan maka dibuat

perjanjian bersama dan didaftarkan di Pengadilan Hubungan

Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum para pihak

yang mengadakan perjanjian bersama untuk mendapatkan akta

bukti pendaftaran. Namun,apabila tidak tercapai kesepakatan

maka konsiliator akan mengeluarkan anjuran tertulis dan dijawab

oleh para pihak apakah setuju atau tidak. Jika para pihak setuju

maka akan dibuatkan perjanjian bersama dan didaftarkan ke

Pengadilan Hubungan Industrial. Dalam hal salah satu pihak tidak

melaksanakan perjanjian bersama, maka pihak yang dirugikan

dapat mengajukan permohonan eksekusi. Sedangkan jika para

pihak atau salah satu pihak menolak anjuran tertulis maka dapat

mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.

3. Arbitrase

Penyelesaian perselisihan melalui arbitrase meliputi

perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja

dalam satu perusahaan. Arbitrase adalah penyelesaian perselisihan

di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan

tertulis para pihak yang berselisih untuk menyerahkan

penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusanya mengikat


32

para pihak dan bersifat final. Selanjutnya, para pihak membuat

perjanjian arbitrase dan memilih arbiter baik tunggal maupun

majelis yang dilakukan melalui penunjukan tertulis. Perselisihan

hubungan industrial melalui arbitrase wajib diselesaikan dalam

jangka waktu 30 hari sejak penunjukan arbiter, yang dapat

diperpanjang selambat-lambatnya 1x14 hari kerja atas

kesepakatan para pihak.

Proses penyelesaian perselisihan melalui arbitrase dimulai

dengan mendamaikan para pihak. Jika terjadi kesepakatan, maka


Akan dibuat akta perdamaian. Jika tidak maka diteruskan

pemeriksaan hingga dikeluarkan putusan. Putusan arbitrase

mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak serta serta

bersifat akhir dan tetap. Putusan arbitrase tersebut kemudian

didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan

Negeri di wilayah arbiter menetapkan putusan. Jika putusan

arbitrase tidak dilaksanakan, maka diajukan fiat eksekusi di

Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri wilayah

tempat para pihak yang harus menjalankan putusan. Perlu

diketahui bahwa putusan arbitrase dapat diajukan permohonan

pembatalan ke Mahkamah Agung (“MA”) paling lambat 30 hari

kerja sejak diputuskan dengan alasan sebagaimana tercantum

dalam pasal 52 ayat 1 UU PHI. Namun demikian, jika

perselisihan telah diselesaikan melalui arbitrase maka tidak dapat

diajukan lagi ke Pengadilan Hubungan Industrial.

c. Gugatan Ke Pengadilan Hubungan Industrial

Berdasarkan penjelasan diatas, maka gugatan ke Pengadilan

Hubungan Industrial dapat diajukan apabila upaya tripartit yang

meliputi mediasi dan konsiliasi gagal. Namun tidak demikian jika

17
Marnisah,Luis, Hubungan Industrial Dan Kompensasi Teori
Dan Praktik,Yogyakarta:Deepublish, hlm 3.
perselisihan telah diselesaikan melalui arbitrase.

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Mengacu pada perumusan masalah, maka penelitian ini

menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum

yang dilakukan dengan cara mengadakan penulusuran terhadap peraturan-

peraturan dan literatur-literatur yang diteliti18. Yakni berkaitan dengan

judul Analisis Kasus Pemotongan Gaji Karyawan Dalam Kaitanya Atas

Barang Jual Yang Hilang Ditinjau Dari Aspek Hukum Positif Indonesia.

Penelitian normatif juga disebut sebagai penelitian doktriner atau

penelitian kepustakaan dikarenakan penelitian ini dilakukan dengan cara

meneliti bahan pustaka atau bahan sekunder.

B. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis cenderung menggunakan pendekatan

undang- undang (statue approach) dan (conceptual approach).

Pendekatan undang-undang (statue aproach) dilakukan dengan menelaah

18
Soerjono Soekanto & Sri Mamudja, Peneltian hukum normatif (suatu tinjauan
singkat), Rajawali Pers: Jakarta, 2001, hlm 13-14

34
semua undang- undang dan regulasi yang bersangkut-paut dengan isu

hukum yang sedang diteliti sedangkan pendekatan undang-undang

(conceptual approach) dilakukan dengan pemahaman terhadap

pandangan/doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum dapat menjadi

pijakan untuk membangun argumentasi hukum ketika menyelesaikan isu

hukum yang dihadapi.

C. Jenis Dan Sumber Bahan Hukum


Jenis data yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah data

sekunder, yaitu data pustaka yang mencakup dokumen-dokumen resmi,

buku- buku penelitian yang berwujud laporan, buku harian dan dan buku-

buku yang berkaitandengan pokok bahasan yang dikaji oleh peneliti.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini ialah mencakup:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan yang mengikat. Dalam

penelitian ini, bahan hukum primer yang digunakan terdiri dari:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan;

3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-01/Men/1998

Tentang Penyelenggaran Pemeliharaan Kesehatan Bagi Tenaga

Kerja.

4) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

5) Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan

35
Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

6) Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan


7) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia.

b. Bahan hukum sekunder

yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi

tentang hukum yang merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi

tentang hukum meliputi buku-buku yang terkait dengan masalah yang

dikaji, hasil- hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum jurnal-

jurnal hukum.

c. Bahan hukum tersier

yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder berupa

kamus hukum atau kamus bahasa indonesia untuk menjelaskan maksud

atau pengertian istilah- istilah yang sulit untuk diartikan.

D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti dalam

penelitian ini adalah studi kepustakaan atau studi dokumen. Teknik ini

merupakan teknik pengumpulan data dengan mempelajari, membaca dan

mencatat buku-buku, literatur, catatan-catatan, peraturan perundang-

36
undangan, serta artikel-artikel penting dari media internet yang erat

kaitannya dengan pokok-pokok masalah yang digunakan untuk menyusun

penulisan hukum ini yang kemudian dikategorikan menurut

pengelompokkan yang tepat.

E. Analisis Bahan Hukum

Dalam penelitian ini, data diperoleh dengan melakukan

inventarisasi sekaligus mengkaji dari penelitian studi kepustakaan, aturan

perundang- undangan beserta dokumen-dokumen yang dapat membantu

menafsirkan norma tersebut dalam mengumpulkan data, kemudian data itu

diolah dan dianalisis untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Tahap

terakhir adalah menarik kesimpulan dari data yang telah diolah.

37

Anda mungkin juga menyukai