NIM : 205010101111023 Kelas : Hukum Perburuhan A Presensi : 02 UTS HUKUM PERBURUHAN A 1. Uraikan latarbelakang terbitnya hukum perburuhan Jawaban :
Salah satu perwujudan komitmen negara dalam menyediakan penghidupan
yang layak bagi buruh, ialah melalui sarana pembentukan hukum melalui pembentukan peraturan perundang-undangan. Sejak tahun 1947 hingga saat ini, tidak kurang dari 13 peraturan perundang-undangan menyoal buruh telah terbit. Mulai dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1947, hingga Undang- Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan.
Akan tetapi kehadiran beragam peraturan perundang-undangan tersebut
dinilai belum dapat mengakomodir kebutuhan buruh , hingga belum dapat membawa buruh pada taraf kehidupan yang lebih baik, lahirlah kemudian Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan sebagai sebuah bentuk jalan tengah terbaik antara buruh, pengusaha, dan pemerintah. Namun, keberadaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 belum dapat mengakomodir dan justru dinilai lebih berpihak pada pengusaha, akhirnya melalui beragam perubahan dan penyempurnaan digagaslah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 sebagai pembaruan hukum di Bidang hukum perburuhan.
2. Undang-Undang 13 Tahun 2003 mengatur tentang perjanjian kerja waktu
tertentu dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu, pengaturan itu hasil kompromi yang menerima dan menolak pkwt, anda uraikan pihak yang menerima dan menolak di dalam hukum perburuhan Jawaban :
Buruh menolak keberadaan PKWT dengan alasan perumusan PKWT di
Indonesia dilakukan oleh sepihak tanpa mendengar aspirasi yang cukup yang diberikan oleh buruh. Kekhawatirannya, pasal yang terkandung dalam serangkaian perjanjian kerja nantinya hanya mengandung pasal-pasal yang menguntungkan pengusaha saja.
Sedangkan alasan penerimaan yang dilakukan oleh Pengusaha pada dasarnya
juga cukup beralasan, mengingat paradigma lebih baik bekerja dalam kontrak yang singkat daripada tidak bekerja sama sekali, namun keberadaan kewajiban kontrak tertulis dalam PKWT inilah yang menjadi jalan tengah dalam menentukan arah gerak perlindungan hak-hak buruh.
3. Undang-Undang 13 Tahun 2003 mengatur tentang alih daya/outsourcing,
pengaturan itu hasil kompromi yang menerima dan menolak alih daya (Pasal 64, 65, 66, sama UU 13/2003), anda uraikan pihak yang menerima dan menolak di dalam hukum perburuhan. Pihak yang menerima ketentuan mengenai outsourcing pada dasarnya ialah perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja tambahan untuk mengerjakan hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan perusahaan dalam hal-hal tertentu. Namun, dalam penambahan pekerja yang dibutuhkan oleh perusahaan terseut diperlukan efektivitas secara ongkos pembiayaan dan menilai dari efisiensi pekerja dalam hal produktivitas kerja. Maka dari itu, perusahaan kala itu menilai bahwa program outsourcing merupakan solusi untuk menjawab keperluan tersebut. Namun, pihak buruh kala itu jelas menolak adanya outsourcing dengan dalih bahwa keberadaan outsourcing tidak memberikan kepastian status dalam pekerjaan mereka, sebab jika kemudian Buruh mendapatkan dirinya di PHK akan sulit meminta pertanggungjawaban kepada perusahaan pengirim ia untuk melakukan outsourcing atau perusahaan tempat ia bekerja sebagai tenaga outsourcing 4. uraikan fase fase pemutusan hubungan kerja menurut uu 13 thn 2003 komparasi dgn ciptaker Fase proses atau tata cara PHK menurut Undang-Undang Cipta Kerja meliputi : 1. Pemberitahuan pengusaha pada pekerja/ buruh dan / atau serikat pekerja / serikat buruh di dalam perusahaan apabila pekerja / buruh yang bersangkutan merupakan bagian dari serikat pekerja / serikat buruh 2. Pemberitahuan PHK tersebut diberitahukan selambat-lambatnya 14 hari kerja sebelum PHK. 3. Dalam hal PHK dilakukan dalam masa percobaan, maka surat pemberitahuan diberitahukan paling lambat 7 haru kerja sebelum PHK Namun jelas dalam ketentuan Pasal 153 ayat (1) UU Cipta Kerja juga disampaikan bahwa pengusaha tidak bisa sewenang-wenang dengan memberikan pemutusan hubungan kerja pada pekerja/ buruh dengan alasan-alasan yang dipaparkan pada Undang-Undang tersebut. Perbedaan UU Ciptaker dengan Undang-Undang 13 Tahun 2003 terletak pada perundingan yang dimungkinkan dlakukan antara perusahaan dengan buruh. 5. Apa fungsi penting, perjanjian kerja bersama bagi hubungan kerja. Pentingnya keberadaan perjanjian kerja bersama diatur dalam Pasal 116 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Pasal tersebut menyatakan bahwa : 1. Hak dan kewajiban pengusaha; 2. Hak dan kewajiban serikat pekerja/buruh serta pekerja/buruh; 3. Jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya Perjanjian Kerja Bersama; dan 4. Tanda tangan para pihak pembuat Perjanjian Kerja Bersama dan Perjanjian Kerja Bersama yang telah dihasilkan melalui perundingan antara pengusaha dan serikat pekerja/buruh harus didaftarkan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Pihak yang dibebani kewajiban untuk mendaftarkan Perjanjian Kerja Bersama tersebut adalah pengusaha. Dengan demikian fungsi Perjanjian Kerja Bersama dalam hubungan industrial bagi para pelaku proses produksi yaitu pengusaha dan serikat pekerja/buruh serta pekerja/buruh adalah sebagai Undang-undang bagi mereka. Dengan begitu sejak tanggal mulai berlakunya Perjanjian Kerja Bersama pengusaha, serikat pekerja /buruh dan pekerja/buruh wajib melaksanakan isi Perjanjian Kerja Bersama tersebut. Sebagai salah satu sarana untuk membangun hubungan industrial sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 103, maka kedudukan Perjanjian Kerja Bersama adalah sebagai komponen penting dalam pelaksanaan hubungan industrial.