Anda di halaman 1dari 8

JAWABAN THE HUKUM KETENAGAKERJAAN ADBI4336

NOMOR 1

a. Uraikanlah oleh saudara mengenai jenis perjanjian kerja apa saja yang berlaku dalam
hubungan industrial? Dan berikan pandangan saudara mengenai sikap yang dilakukan
oleh pekerja tersebut!

Jawaban :

Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 angka 14, Perjanjian Kerja adalah suatu
perjanjian antara pekerja dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak
dan kewajiban kedua belah pihak. Perjanjian kerja dapat dilakukan dengan dua cara, yakni secara
lisan antara pekerja dan pengusaha, dan secara tertulis yaitu melalui surat perjanjian yang
ditandatangani kedua belah pihak. Sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya, perjanjian
kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320 Kitab
UndangUndang Hukum Perdata (KUHPer).

Jenis Perjanjian Kerja ada 2 (dua) menurut pasal 50 UU Ketenagakerjaan, yaitu :

1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)


Pekerjanya sering disebut karyawan kontrak, dibuat berdasarkan jangka waktu tertentu atau
berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu. Suatu PKWT wajib dibuat secara tertulis dan
didaftarkan pada Disnaker.

2. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)


Adalah perjanjian kerja yang tidak ditentukan waktunya, bersifat tetap dan berlaku untuk
selamanya sampai terjadi PHK. Selain tertulis, PKWTT juga dapat dibuat secara lisan.

Menurut pandangan saya, apa yang dilakukan oleh pekerja itu benar karena si pekerja itu sudah
mengabdi pada perusahaan selama 10 tahun dan banyak prestasi yang dia dapatkan dan dihargai
oleh perusahaan, tidak seharusnya perusahaan memberhentikan pekerja itu dengan alasan
kecewa terhadap perkataan si pekerja, seperti yang kita ketahui bahwa ada yang namanya serikat
pekerja dan itu digunakan sebagai wadah agar para pekerja bisa menyampaikan kritiknya kepada
pengusaha perusahaan itu.
b. Uraikan mengenai syarat-syarat perjanjian kerja yang harus dipenuhi oleh pekerja
dengan pemberi kerja dalam hubungan industrial di atas?

Jawaban :

Suatu perjanjian kerja dianggap sah atau tidak maka wajib untuk memperhatikan ketentuan
dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang menyatakan
bahwa supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;

1. Kesepakatan para pihak yang mengikatkan dirinya


2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu pokok persoalan tertentu
4. Suatu sebab yang tidak terlarang

Pasal 52 ayat 1 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga menegaskan bahwa:

1. Perjanjian kerja dibuat atas dasar:


2. Kesepakatan kedua belah pihak
3. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum
4. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan
5. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan
peraturan perundang undangan yang berlaku.

c. Bagaimana bila dalam suatu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat
pekerja/buruh? Dalam hal penyelesaian perselisihan tersebut serikat pekerja mana yang
dapat mewakilkan dan berunding dengan perusahaan?

Jawaban :

Bila dalam perusahaan memiliki lebih dari 1 Serikat Pekerja / Serikat Buruh, maka yang dapat
berunding, adalah maksimal 3 (tiga) Serikat Pekerja / Serikat Buruh atau gabungan Serikat
Pekerja / Serikat Buruh yang jumlah anggotanya minimal 10% dari seluruh buruh yang ada di
perusahaan. 3 Serikat Pekerja / Serikat Buruh yang dimaksud ditentukan sesuai peringkat
berdasarkan jumlah anggota yang terbanyak (Permenaker 28/2014).  

Serikat pekerja/serikat buruh yang dapat berunding dengan perusahaan adalah

1. Serikat Pekerja / Serikat Buruh yang memiliki anggota lebih dari 50% dari jumlah seluruh
buruh yang ada di perusahaan.
2. Apabila tidak memiliki jumlah anggota lebih dari 50% maka Serikat Pekerja / Serikat Buruh
tersebut dapat mewakili pekerja/buruh dalam perundingan Perjanjian Kerja Bersama setelah
mendapat dukungan dari pekerja/buruh lain di luar anggota Serikat Buruh hingga memenuhi
syarat lebih dari 50%, melalui sebuah pemungutan suara (pasal 18 Peraturan Menteri
Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2014 Tentang Tata Cara Pembuatan dan
Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama
(Permenaker 28/2014).

NOMOR 2

a. Analisa oleh saudara mengenai langkah dan upaya yang dapat dilakukan oleh pekerja,
serikat pekerja atau pengusaha apabila terjadi perselisihan hubungan industrial?

Jawaban :

Dalam sebuah perusahaan, baik itu pengusaha maupun pekerja pada dasarnya memiliki
kepentingan atas kelangsungan usaha dan keberhasilan perusahaan.Meskipun keduanya memiliki
kepentingan terhadap keberhasilan perusahaan, tidak dapat dipungkiri konflik/perselisihan masih
sering terjadi antara pengusaha dan pekerja.  Bila sampai terjadi perselisihan antara pekerja dan
pengusaha, perundingan bipartit bisa menjadi solusi utama agar mencapai hubungan industrial
yang harmonis.

Aturan Ketenagakerjaan menegaskan penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib


dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melalui
perundingan bipartit secara musyawarah untuk mufakat. Namun dalam hal penyelesaian secara
musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/ buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undang-undang yakni
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial (UU 2/2004).

Prosedur yang disediakan antara lain melalui mediasi hubungan industrial atau konsiliasi
hubungan industrial atau arbitrase hubungan industrial. Bila masih juga gagal, maka perselisihan
hubungan industrial dapat dimintakan untuk diselesaikan pada Pengadilan Hubungan Industrial
yang ada pada setiap Pengadilan Negeri Kabupaten/Kota yang berada di setiap Ibukota Provinsi,
yang daerah hukumnya meliputi tempat kerja pekerja.

Berdasarkan pasal 3 ayat 1 UU No. 2 Tahun 2004, perundingan bipartit adalah perundingan
antara pengusaha atau gabungan pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja / serikat buruh atau
antara serikat pekerja / serikat buruh dan serikat pekerja / serikat buruh yang lain dalam satu
perusahaan yang berselisih. Perundingan Bipartit adalah perundingan secara musyawarah untuk
mencapai mufakat.

Penyelesaian melalui perundingan bipartit harus diselesaikan paling lama 30 hari kerja sejak
perundingan pertama dilaksanakan. Apabila perundingan bipartit mencapai kesepakatan maka
para pihak wajib membuat Perjanjian Bersama dan didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan
Hubungan Industrial. Bila bipartit gagal, maka perselisihan hubungan industrial harus
dimintakan untuk diselesaikan melalui mediasi hubungan industrial, atau konsiliasi hubungan
industrial, atau arbitrase hubungan industrial sebelum dapat dibawa ke Pengadilan Hubungan
Industrial. 

b. Berikan penilaian saudara mengenai kedudukan masing-masing pihak dalam


perselisihan hubungan industrial?

Jawaban :

1. Pemerintah
menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan
penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
2. Pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruhnya
menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan
produksi, menyalurkan aspirasi secara
demokratis, mengembangkan keterampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan
dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.
3. Pengusaha dan organisasi pengusahanya
menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja, dan memberikan
kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan

NOMOR 3

a. Uraikan oleh saudara mengenai dasar penyelenggaraan peralihan pelaksanaan


pekerjaan (outsourcing) kepada prusahaan lain berdasarkan perjanjian pekerjaan
borongan dalam penyediaan tenaga kerja/buruh?

Jawaban :

pada UU No. 11 Tahun 2020 jo PP No. 35 Tahun 2021, Alih Daya tidak lagi dibedakan antara
Pemborongan Pekerjaan (job supply) atau Penyediaan Jasa Pekerja (labour supply). Alih Daya
tidak lagi dibatasi hanya untuk pekerjaan penunjang (non core business process) sehingga tidak
ada lagi pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan. Jenis pekerjaan yang bisa
dialihdayakan, tergantung pada kebutuhan sektor.

Dalam PKWT harus mensyaratkan pengalihan pelindungan hak bagi Pekerja/Buruh apabila
terjadi pergantian Perusahaan Alih Daya dan sepanjang obyek pekerjaan tetap ada. Pesyaratan
tersebut merupakan jaminan atas kelangsungan bekerja bagi Pekerja/Buruh. Jika Pekerja/ Buruh
tidak memperoleh jaminan atas kelangsungan bekerja, maka Perusahaan Alih Daya bertanggung
jawab atas pemenuhan hak Pekerja/Buruh Berdasarkan PP No. 35 Tahun 2021 Pasal 19.
b. Uraikan mengenai kualifikasi suatu badan usaha yang dapat menjadi penyedia
outsourcing?

Jawaban :

Untuk mendapatkan izin operasional, perusahaan penyedia tenaga kerja wajib melakukan
beberapa hal, yaitu:

1. Perusahaan harus memiliki akta pendirian yang telah mendapatkan pengesahan dari
Kemenkumham.
2. Mendirikan PT dengan beberapa badan usaha yang memiliki kesamaan bidang tentunya
diperbolehkan. Selama perusahaan bisa menyiapkan salinan anggaran dasar.
3. Menyiapkan salinan Surat Izin Usaha Perdagangan sesuai dengan Tanda Daftar Perusahaan.
4. Salinan yang menyatakan perusahaan outsourcing telah melaporkan kegiatan usahanya kepada
Dinas Ketenagakerjaan.

c. Berdasarkan uraian soal di atas, bagaimana kedudukan penggunaan jasa outsourcing


dari perusahaan A kepada Perusahaan B termasuk dalam pekerjaan yang dapat
dikerjakan dalam lingkup outsourcing?

Jawaban :

Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang untuk pertama
kali membuka sistem kerja outsourcing di Indonesia menyebut, Outsourcing atau Alih Daya
sebagai kondisi dimana perusahaan menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh
yang dibuat secara tertulis. Aturan ini dicabut oleh UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja jo.
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang  Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih
Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP 35/2021) yang
menyebut alih daya adalah pengalihan pekerjaan tertentu berdasarkan perjanjian yang disepakati
antara perusahaan alih daya dengan Perusahaan pemberi pekerjaan

Pekerjaan yang dapat dikerjakan dalam lingkup outsourcing adalah Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Ketentuan ini berbeda
dengan UU 13/2003 yang menyebut perjanjian kerja hanya menggunakan PKWT. Meski
kemudian mengenai hal ini telah dicabut oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No.
27/PUU-IX/2011 tanggal 17 Januari 2012 kemudian diterbitkan Permenaker No. 19/2012 jo
Permenaker No. 11/2019 yang dimaksudkan untuk merevisi aturan outsourcing sesuai putusan
Mahkamah Konstitusi.
NOMOR 4

a. Analisa dan uraikan mengenai indikator kesalahan berat yang menjadi alasan PHK
secara sepihak sebagaimana ketentuan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan?

Jawaban :

Dalam Pasal 158 ayat (1) UU Ketenagakerjaan terdapat indikator kesalahan berat yang menjadi
alasan PHK secara sepihak, yang berisi:

(1) Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan
pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut :

a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik


perusahaan;
b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha
di lingkungan kerja;
f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan;
g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang
milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan
bahaya di tempat kerja;
i. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan
kecuali untuk kepentingan negara; atau
j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5
(lima) tahun atau lebih.
Alasan kesalahan berat pada pokoknya mengatur tentang perbuatan pidana yang telah diatur
dalam KUHP, sehingga untuk menyatakan pekerja telah melakukan kesalahan berat harus atas
dasar pekerja tertangkap tangan, ada pengakuan pekerja yang bersangkutan atau bukti lain
berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak berwenang, di perusahaan yang bersangkutan,
dengan didukung oleh dua orang saksi.

Apabila hal tersebut terpenuhi maka pengusaha diberi kewenangan oleh undang-undang untuk
melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak tanpa wajib membayar uang penggantian
hak, uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja.

Undang-Undang Ketenagakerjaan sendiri tidak memberikan pengertian “kesalahan berat”,


sehingga dalam praktik kualifikasi kesalahan berat yang diatur dalam Pasal 158 ayat (1) menjadi
terbatas. Atau dengan perkataan lain, tidak boleh ada kualifikasi perbuatan lain yang
digolongkan menjadi kesalahan berat. Padahal umumnya setiap sektor industri atau jasa memiliki
kualifikasi kesalahan berat di luar ketentuan Pasal 158 ayat (1).

b. Setelah diadakan judicial review maka status pasal 158 dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku. Analisa oleh saudara mengenai pertimbangan Mahkamah Konstitusi mengenai
pencabutan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan apakah tidak bertentangan dengan
pertimbangan Pasal 159 UU Ketenagakerjaan?

Jawaban :

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 012/PUU-I/2003 bahwa ketentuan


Pasal 158 dan Pasal 170 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU
Ketenagakerjaan) dalam perkara nomor 012/PUU-I/2003 dinilai bertentangan dengan Pasal 27
ayat (1) a quo. Adapun Pasal 158 berisi perbuatanperbuatan yang karenanya buruh dapat
diputuskan hubungan kerjanya karena telah melakukan kesalahan berat dan syarat untuk
menuduh telah terjadi kesalahan berat. Sedangkan Pasal 170 menegaskan kembali bahwa
pemutusan hubungan kerja yang disebabkan kesalahan berat tidak perlu mengikuti ketentuan
dalam Pasal 151 ayat (3) yaitu "bisa tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial”.

Ketentuan dalam pasal a quo dinilai telah melanggar prinsip-prinsip pembuktian terutama asas
praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan kesamaan di depan hukum sebagaimana
dijamin oleh UUD 1945. Seharusnya, bersalah tidaknya seseorang diputuskan lewat pengadilan
dengan hukum pembuktian yang sudah ditentukan sesuai dengan Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Lebih jauh lagi, ketentuan Pasal 159 yang
menentukan bahwa “apabila pekerja/buruh tidak menerima PHK sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 158 ayat (1), pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial”, sehingga norma tersebut
mengalihkan/mencampuradukkan wewenang peradilan pidana ke peradilan perdata yang
seharusnya diselesaikan melalui peradilan pidana.

Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukum putusan perkara nomor 012/PUUI/2003


menafsirkan bahwa Pasal 158 memberi kewenangan pada pengusaha untuk melakukan
pemutusan hubungan kerja dengan alasan buruh/pekerja telah melakukan kesalahan berat tanpa
due process of law melalui putusan pengadilan yang independen dan imparsial, melainkan cukup
hanya dengan keputusan pengusaha yang didukung oleh bukti-bukti yang tidak perlu diuji
keabsahannya menurut hukum acara yang berlaku. Di lain pihak, Pasal 160 menentukan secara
berbeda bahwa buruh/pekerja yang ditahan oleh pihak yang berwajib karena diduga melakukan
tindak pidana tetapi bukan atas pengaduan pengusaha, diperlakukan sesuai dengan asas praduga
tidak bersalah (presumption of innocence) yang sampai bulan keenam masih memperoleh
sebagian dari hak-haknya sebagai buruh, dan apabila pengadilan menyatakan buruh/pekerja yang
bersangkutan tidak bersalah, pengusaha wajib mempekerjakan kembali buruh/pekerja tersebut.
Hal tersebut dipandang sebagai perlakuan yang diskriminatif atau berbeda di dalam hukum yang
bertentangan dengan UUD 1945 serta ketentuan Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa
Indonesia adalah negara hukum. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, Mahkamah
Konstitusi memutuskan Pasal 158 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Selain itu, Pasal 159 juga menimbulkan kerancuan berpikir dengan mencampuradukkan proses
perkara pidana dengan proses perkara perdata secara tidak pada tempatnya dan juga dapat
melahirkan beban pembuktian yang tidak adil dan berat bagi buruh/pekerja untuk membuktikan
ketidaksalahannya.

Akibat dari ketentuan Pasal 158 dan 159 UU Ketenagakerjaan dinyatakan bertentangan dengan
UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka hal ini juga berimbas kepada
beberapa pasal dalam UU Ketenagakerjaan yang berhubungan langsung dengan Pasal a quo,
yakni Pasal 160 ayat (1) sepanjang mengenai anak kalimat “…. bukan atas pengaduan pengusaha
...”, Pasal 170 sepanjang mengenai anak kalimat “.… kecuali Pasal 158 ayat (1), …”, dan Pasal
171 sepanjang menyangkut anak kalimat “…. Pasal 158 ayat (1) …”.

Selain itu putusan tersebut juga berdampak pada pasal 82 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang mengatur tenggang waktu 1 (satu)
tahun dalam pengajuan gugatan terhadap pemutusan hubungan kerja karena alasan pasal 159
Undang-Undang Ketenagakerjaan ini.

c. Bagaimana bentuk perlindungan kepada pekerja yang masih di PHK dikarenakan


melakukan kesalahan berat setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tentang
Pencabutan Pasal 158?

Jawaban :

Perlindungan hukum mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak telah diatur
dalam Pasal 153 Undang-Undang Cipta Kerja, yang dimana dalam pemutusan hubungan kerja
pengusaha memiliki larangan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak sangat tidak diperbolehkan dan sudah sangat jelas,
kecuali keadaan tertentu yang memaksa untuk PHK itu dilakukan, sebagaimana pengaturan
dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial.

Anda mungkin juga menyukai