Anda di halaman 1dari 9

Lembar Jawaban Ujian Hukum Ketenagakerjaan

BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

1. a. Jenis perjanjian kerja dalam hubungan industrial, yaitu:


1) Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tetap (PKWTT), yaitu jenis kontrak kerja yang ditujukan pada
pegawai tetap. Karna waktu tidak tetap yang dimaksudkan adalah tidak adanya batasan
waktu kerjasama yang dijalin antara karyawan dengan perusahaan. Biasanya untuk
mendapatkan PKWTT biasanya karyawan telah menyelesaikan masa percobaan selama 3
bulan.
2) Perjanjian Kerja Waktu Tetap (PKWT), yaitu jenis kontrak kerja yang bersifat sementara
dengan jangka waktu yang telah ditentukan. Biasanya perjanjian seperti ini memiliki
kekuatan hukum dengan bukti tertulis yang dibubuhi materai.
3) Perjanjian Kerja Paruh Waktu, kontrak kerja ini dibuat untuk pekerjaan yang memiliki durasi
kerja kurang dari 8 jam setiap harinya.
4) Perjanjian Pemborongan Pekerjaan, perjanjian ini dibuat saat pihak perusahaan bekerja
sama dengan penyedia jasa kerja. Biasanya digunakan untuk jumlah pekerjaan dalam skala
yang besar seperti di pabrik. Untuk menguatkan hukum kontrak kerja ini, perusahaan juga
membuat PKWTT dan PKWT.
Mengenai hak serta tanggung jawab baik dari pihak pekerja maupun pengusaha sudah dimuat
dalam Perjanjian Kerja Bersama serta Perjanjian Kerja yang dibuat sebelumnya. Sehingga dalam
perselisihan yang dikarenakan salah satu pihak mengabaikan hak pihak lain serta kewajibannya
merupakan salah satu pelanggaran terhadap perjanjian yang sudah dibuat. Salah satu pihak
yang merasa dirugikan akibat peristiwa tersebut dapat berdiskusi terlebih dahulu dengan
pengusaha mengenai kekecewaannya atas pengabaian hak yang dilakukan atau mengajukan
pengaduan kepada serikat buruh atau badan public yang bersangkutan apabila tanggapan yang
didapat dari pihak pengusaha dirasa kurang memuaskan.
Untuk kasus tersebut memang benar jika pengusaha telah melakukan pengabaian hak
pekerjanya, namun yang dilakukan oleh pekerja pun tidak dapat dibenarkan karena melakukan
tindakan yang berlebihan dalam menyampaikan kekecewaannya yang mungkin saja dapat
memprovokasi karyawan lain atau dapat merusak nama baik industry tersebut. Lebih baik jika
pekerja dan pengusaha mendiskusikannya terlebih dahulu untuk mencapai kesepakatan.
b. Dijelaskan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003, ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi agar
perjanjian kerja sah. Syarat sahnya perjanjian kerja tersebut, yakni:
1) kesepakatan kedua belah pihak;
2) kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
3) adanya pekerjaan yang diperjanjikan;
4) dan pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan,
dan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Dimuat dalam KUHPerdata ketentuan mengenai kewajiban buruh/pekerja diatur dalam Pasal
1603, 1603a, 1603b dan 1603c yang pada intinya adalah sebagai berikut:
1) Buruh/Pekerja wajib melakukan pekerjaan; melakukan pekerjaan adalah tugas utama dari
seorang pekerja yang harus dilakukan sendiri, meskipun demikian dengan seizin pengusaha
dapat diwakilkan.
2) Buruh/Pekerja wajib menaati peraturan dan petunjuk majikan/pengusaha; dalam melakukan
pekerjaan buruh/pekerja wajib menaati petunjuk yang diberikan oleh pengusaha. Aturan
yang wajib ditaati oleh pekerja sebaiknya dituangkan dalam peraturan perusahaan sehingga
menjadi lebih jelas ruang lingkup dari petunjuk tersebut.
3) Kewajiban membayar ganti rugi dan denda; jika buruh/pekerja melakukan perbuatan yang
merugikan perusahaanbaik karena kesengajaan atau kelalaian, maka sesuatu dengan prinsip
hukum pekerja wajib membayar ganti rugi dan denda”.
c. Dalam suatu perusahaan sah-sah saja jika terdapat lebih dari satu serikat buruh. Untuk
menentukan serikat buruh mana yang dapat mengikuti perundingan dengan pengusaha, yaitu
serikat buruh yang memenughi ketentuan sebagai berikut:
1) SP/SB yang memiliki anggota lebih dari 50% dari jumlah seluruh buruh yang ada di
perusahaan.
2) Apabila tidak memiliki jumlah anggota lebih dari 50% maka SP/SB tersebut dapat
mewakili pekerja/buruh dalam perundingan PKB setelah mendapat dukungan dari
pekerja/buruh lain di luar anggota SB hingga memenuhi syarat lebih dari 50%, melalui
sebuah pemungutan suara (pasal 18 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik
Indonesia Nomor 28 tahun 2014 Tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan
Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama
(Permenaker 28/2014).
3) Bila dalam perusahaan memiliki lebih dari 1 SP/SB, maka yang dapat berunding,
adalah maksimal 3 (tiga) SP/SB atau gabungan SP/SB yang jumlah anggotanya minimal
10% dari seluruh buruh yang ada di perusahaan. 3 SP/SB yang dimaksud ditentukan
sesuai peringkat berdasarkan jumlah anggota yang terbanyak (Permenaker 28/2014).
2. a. Cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial tertuang dalam UU No. 2 Tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yaitu:
1) Perundingan Bipartit, merupakan perundingan antara pekerja atau serikat pekerja
dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Dalam
penyelesaiannya wajib untuk melakukan perundingan bipartite secara musyawarah
guna mencapai mufakat. Jika perselisihan dapat diselesaikan dan dicapai kesepakatan
Bersama maka dibuatlah perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh pihak
yangterlibat dan wajibuntuk didaftarkan di pengadilan hubunngan industrial. Nam un
bila perundingan yang dilakukan ternyata tidak dapat mencapai kesepakatan
Bersama, maka dapat dilakukan perundingan dengan melibatkan pihak ketiga melalui
mediasi atau konsiliasi.
2) Mediasi, merupakan penyelesaian perselisihan melali musyawarah yang diten gahi
oleh mediator dari Dinas Tenaga Kerja Kota/Kabupaten. Semua jenis perselisihan
hubungan industrial tidak dapat lepas dari mediasi sebagai upaya penyelesaiannya.
3) Konsiliasi, merupakan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui
musyawarah yang ditengahi oleh konsiliator yang terdaftar pada Dinas Tenaga Kerja
Kota/Kabupaten setempat. Konsiliator tersebut telah diberi legitimasi oleh Menteri
Ketenagakerjaan atau pejabat berwenang. Konsiliasi sendiri merupakan penyelesaian
untuk perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Jika melalui mediasi atau konsiliasi tidak juga didapatkan kesepakatan, maka:
➢ mediator atau konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis;
➢ para pihak harus memberikan jawaban secara tertulis kepada mediator atau konsiliator yang
isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis;
➢ pihak yang tidak memberikan pendapatnya dianggap menolak anjuran tertulis;
➢ jika para pihak menyetujui anjuran tertulis, maka mediator atau konsiliator membuat perjanjian
bersama yang didaftarkan di pengadilan hubungan industrial;
➢ jika anjuran tertulis ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka para pihak atau salah
satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke pengadilan hubungan industrial.
4) Arbitrase, merupakan penyelesaian perselisihan diluar pengadilan melalui
kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penye lesaian
perselisihan kepada arbiter. Putusannya memiliki kekuatan hukum yang cukup
mengikat bagi para pihak yang berselisih dan merupakan putusan yang bersifat akhir
dan tetap. Penyelesaian melalui arbitrase atau oleh arbiter haruslah mendamaikan
kedua belah pihak, kemudian bila tercapai perdamaian maka arbiter wajib
membuatkan akta perdamaian apabila tidak maka akan ditetapkan putusan oleh
arbiter untuk pihak yang terlibat. Perselisihan hubungan industrial yang sedang atau
telah selesai melalui arbitrase tidak dapat diajukan ke pengadilan hubungan
industrial.
5) Pengadilan hubungan industrial, merupakan pengadilan khusus yang dibentuk
dilingkungan pengadilannegeri. Berwenang memeriksa, mengadili dan memberi
putusab terhadap perselisihan hubungan industrial.
Pengadilan hubungan industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:
➢ di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
➢ di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
➢ di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;
➢ di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
dalam satu perusahaan.
Hukum acara yang berlaku pada pengadilan hubungan industrial adalah hukum acara
perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang
diatur secara khusus.

b. Kedudukan masing-masing pihak dalam perselisihan hubungan industrial harus diperhatikan


dengan baik oleh pemberi kerja dan pekerja.

Pengetahuan tentang kedudukan masing-masing pihak dalam perselisihan


hubungan industrial sangat vital dalam penyelesaian masalah tersebut.
Biasanya, dalam suatu perselisihan hubungan industrial, pihak-pihak yangterlibat ialah pekerja,
perusahaan serta pemerintah. Mengenai fungsi ketiganya telah diatur dalam UU No. 13 Tahun
2003 Pasal 102 tentang Ketenagakerjaan.

3. a. Alih Daya (Outsourcing) merupakan pemanfaatan pekerja/buruh untuk memproduksi atau


melaksanakan suatu pekerjaan oleh suatu perusahaan, melalui perusahaan penyedia
pekerja/buruh. Hal tersebut diatur dalam PP No. 35 Tahun 2021 tentang Alid Daya
(Outsourcing).
Ketentuan mengenai Outsourcing sebelumnya diatur dalam Pasal 64 sampai dengan Pasal 66 UU
Ketenagakerjaan. Pasal 64 UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa perusahaan dapat
menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui dua jenis/tipe
alih daya (outsourcing) yaitu pemborongan pekerjaan (job supply) atau penyediaan jasa
pekerja/buruh (labor supply). Pasal 65 dan Pasal 66 kemudian membahas pemborongan
pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh secara berturut-turut termasuk jenis dan syarat
pekerjaan penunjang yang dapat diborongkan atau kegiatan jasa penunjang yang dapat dilakukan
penyediaan jasa pekerja/buruh. Pasal 65 dan Pasal 66 juga mengatur konsekuensi dari tidak
dipenuhinya persyaratan penyerahan sebagian pekerjaan, yaitu beralihnya hubungan kerja
antara pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan atau perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi
pekerjaan.
Merujuk kepada UU Ketenagakerjaan dan Peraturan mengenai Outsourcing sebelum berlakunya
UU Cipta Kerja dan PP 35/2021, untuk pemborongan pekerjaan, maka perusahaan harus
melaporkan terlebih dahulu jenis kegiatan penunjang yang akan diserahkan ke perusahaan
penerima pemborongan pekerjaan kepada Dinas Tenaga Kerja daerah tempat pekerjaan
dilakukan (“Disnaker”), setelah itu perjanjian pemborongan pekerjaan perlu didaftarkan ke
Disnaker. Sedangkan untuk penyediaan jasa pekerja/buruh, pengusaha hanya dapat
menyerahkan sebagian kegiatan penunjang mereka kepada pengusaha penyedia jasa
pekerja/buruh untuk 5 jenis kegiatan penunjang yaitu: jasa keamanan; catering; angkutan bagi
pekerja/buruh; cleaning services; dan kegiatan jasa penunjang dalam sektor perminyakan dan
pertambangan, kemudian pengusaha perlu melakukan pendaftaran perjanjian penyediaan jasa
pekerja/buruh kepada Disnaker untuk dilakukan pemantauan. Selain itu, perusahaan
pemborongan hanya dapat menerima pengalihan pekerjaan untuk kegiatan penunjang (non-
core) yang ditetapkan berdasarkan alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan oleh asosiasi
sektor usaha yang bersangkutan. Terkait izin, perusahaan alih daya baik pemborongan atau
penyedia jasa pekerja/buruh harus mendapatkan izin dari instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan.

b. Pasal 20 PP 35/2021 menyebutkan setidaknya ada 2 hal yang menjadi syarat untuk
mendirikan perusahaan outsourcing yakni:

1) Perusahaan Alih Daya harus berbentuk badan hukum, dan


2) Wajib memenuhi perizinan berusaha, norma, standar, prosedur, dan kriteria perizinan
berusaha yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Lebih lanjut karena belum diatur dalam UU No. 11/2020 jo PP 35/2021, maka masih
berlaku ketentuan lama mengenai persyaratan perusahaan outsourcing sebagaimana
diatur dalam Permenaker No. 19 Tahun 2012 jo Permenaker No. 11 Tahun 2019 tentang
Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain,
sebagai berikut:

➢ Izin Usaha Perusahaan Jasa Penyediaan Pekerjaan (JPP) berlaku di seluruh


Indonesia dan berlaku selama Perusahaan JPP menjalankan usaha.
➢ Pendaftaran Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja antara perusahaan JPP dengan
perusahaan pemberi kerja didaftarkan pada Disnaker Kabupaten/Kota tempat
pekerjaan dilakukan
➢ Perusahaan JPP wajib membuat Perjanjian Kerja (PKWTT atau PKWT) dengan
pekerjanya dan perjanjian kerja tersebut wajib dicatatkan kepada Disnaker
Kabupaten/Kota tempat pekerjaan dilaksanakan.

c. Merujuk pada Undang Undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, Outsourcing
(Alih Daya) dikenal sebagai penyediaan jasa tenaga kerja seperti yang diatur pada pasal
64, 65 dan 66. Dalam dunia Psikologi Industri, tercatat karyawan outsourcing
adalah karyawan kontrak yang dipasok dari sebuah perusahaan penyedia jasa tenaga
outsourcing. Awalnya, perusahaan outsourcing menyediakan jenis pekerjaan yang tidak
berhubungan langsung dengan bisnis inti perusahaan dan tidak mempedulikan jenjang
karier. Seperti operator telepon, call centre, petugas satpam dan tenaga pembersih atau
cleaning service. Namun saat ini, penggunaan outsourcing semakin meluas ke berbagai
lini kegiatan perusahaan.

Sistem perekrutan tenaga kerja outsourcing sebenarnya tidak jauh berbeda dengan
sistem perekrutan karyawan pada umumnya. Perbedaannya, karyawan ini direkrut oleh
perusahaan penyedia tenaga jasa, bukan oleh perusahaan yang mem butuhkan jasanya
secara langsung. Nanti, oleh perusahaan penyedia tenaga jasa, karyawan akan
dikirimkan ke perusahaan lain (klien) yang membutuhkannya. Meski menguntungkan
perusahaan, namun sistem ini merugikan untuk karyawan outsourcing. Selain tak ada
jenjang karier, terkadang gaji mereka dipotong oleh perusahaan induk. Bayangkan,
presentase potongan gaji ini bisa mencapai 30 persen, sebagai jasa bagi perusahaan
outsourcing. Celakanya, tidak semua karyawan outsourcing mengetahui berapa besar
potongan gaji yang diambil oleh perusahaan outsourcing atas jasanya memberi
pekerjaan di perusahaan lain itu.

Dengan menggunakan tenaga kerja outsourcing, perusahaan tidak perlu repot


menyediakan fasilitas maupun tunjangan makan, hingga asuransi kesehatan/BPJS
Kesehatan. Sebab, yang bertanggung jawab adalah perusahaan outsourcing itu sendiri.

4. a. Dalam Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
mengatur tentang pemutusan hubunga kerja (PHK) akibat adanya alasan pekerja/buruh telah
melakukan kesalahan berat. Pasal ini dalam perkembangannya kemudian telah dinyatakan tidak
mengikat oleh Mahkamah Konstitusi. Secara denotatif Pasal 158 ayat (1) pada huruf a sampai j
telah memerinci jenis-jenis kesalahan berat yang dapat mengakibatkan PHK dan apa yang harus
dilakukan oleh pengusaha manakala terjadi kesalahan itu dilakukan oleh pekerja/buruh.
Walaupun perusahaan boleh melakukan PHK, Pasal 155 jo Pasal 151 dari undang-undang yang
sama melarang PHK tanpa penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial. PHK tanpa penetapan adalah batal demi hukum. Namun, ayat (3) dari Pasal 155
memungkinkan pengecualian bahwa sebelum ada penetapan pelaku usaha boleh menjatuhkan
skorsing dengan tetap membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh
tersebut.

Beberapa contoh yang dimaksud dengan kesalahan berat tersebut, yaitu:

1) apabila pekerja/buruh melakukan penipuan, pencurian, atau pengggelapan barang dan/atau


uang milik perusahaan;
2) atau buruh memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan
perusahaan; atau mabuk, meminum minuman keras;
3) atau melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
4) atau menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha
di lingkungan kerja;
5) dan seterusnya.

Kesalahan berat itu harus didukung dengan bukti, yakni pekerja/buruh tertangkap tangan, atau
ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan, atau bukti lain berupa laporan kejadian
yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh
sekurang-kurangnya dua alat saksi.

b. Menurut Putusan MK, PHK atas kesalahan berat baru dapat dilakukan oleh pengusaha setelah
pelaku terbukti dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Sebagai tindak lanjut atas Putusan MK RI
No. 012/PUU-I/2003 tersebut, pada tanggal 7 Januari 2005, Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Menakertrans) juga sudah mengeluarkan Surat Edaran No. SE.13/MEN/SJ-
HKI/I/2005 yang pada intinya meminta pengusaha baru melakukan PHK kepada pekerja karena
alasan kesalahan berat setelah adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang
menyatakan bahwa pekerja benar telah melakukan kesalahan berat.

Dengan dicabutnya Pasal 158 Undang-Undang Ketenagakerjaan, berarti rincian kesalahan berat
oleh pekerja/buruh dalam rangka suatu hubungan kerja, menjadi pengaturan di luar Undang-
Undang Ketenagakerjaan. Kesalahan berat itu sepenuhnya berada dalam ranah hukum pidana.
Kesalahan berat adalah perbuatan tindak pidana yang terbukti dilakukan dan dihukum oleh
pengadilan berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sepanjang putusan itu
belum ada, PHK belum dapat dijatuhkan, kecuali berformat skorsing.

Pasal 159 sendiri berbunyi “Apabila pekerja /buruh tidak menerima pemutusan hubungan kerja
sebagaimana dimaksud dalam pasal 158 ayat (1), pekerja/buruh yang bersangkutan dapat
mengajukan gugatan ke Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Mahkamah Konstitusi menimbang bahwa meskipun Pasal 159 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 menentukan, apabila Pekerja/Buruh yang telah di PHK karena melakukan kesalahan berat
menurut Pasal 158, tidak menerima Pemutusan Hubungan Kerja, Pekerja/Buruh yang
bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial, maka di samping ketentuan tersebut melahirkan beban pembuktian yang tidak adil dan
berat bagi Pekerja/Buruh untuk membuktikan ketidaksalahannya, sebagai pihak yang secara
ekonomis lebih lemah yang seharusnya memperoleh perlindungan hukum yang lebih dibandingkan
Pengusaha. Pasal 159 tersebut juga menimbulkan kerancuan berpilir dengan mencampuradukkan
proses perkara pidana dengan proses perkara perdata secara tidak pada tempatnya.Putusan
Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal,
dan/atau bagian Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.

c. Sejak tanggal 28 Oktober 2004 Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pasal 158 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga bila ada
Pekerja melakukan perbuatan kesalahan berat sebagaimana diatur dalam Pasal 158 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 maka PHK hanya dapat dilakukan jika:

1) telah ada putusan hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap bahwa Pekerja
bersalah melakukan tindak pidana; atau
2) Pekerja ditahan oleh kepolisian sehingga Pekerja tidak dapat melakukan pekerjaan
sebagaimana mestinya, maka PHK berdasarkan ketentuan Pasal 160 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 dapat dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial (Pengadilan Hubungan Industrial).

Ketentuan Pasal 160 tersebut menyatakan sebagai berikut :

ayat (1): Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan
tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha, maka pengusaha tidak wajib membayar
upah tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi
tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut:

➢ untuk 1 (satu) orang tanggungan: 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah;
➢ untuk 2 (dua) orang tanggungan: 35% (tiga puluh lima perseratus) dari upah;
➢ untuk 3 (tiga) orang tanggungan:45% (empat puluh lima perseratus) dari upah;
➢ untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih: 50% (lima puluh perseratus) dari upah.

ayat (2): Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan untuk paling lama 6
(enam) bulan takwin terhitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang
berwajib.

ayat (3): Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap pekerja/buruh
yang setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya
karena dalam proses perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

ayat (4): Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan tidak
bersalah, maka pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh kembali.
ayat (5): Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan
berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan bersalah, maka pengusaha dapat melakukan
Pemutusan Hubungan Kerja kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.

Ayat (6): Pemutusan Hubungan Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5)
dilakukan tanpa penetapan lembaga Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja Karena
Kesalahan Berat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.012/PUU-I/2004 Lex
Jurnalica,Volume 13 No.2, Agustus 2016 121 penyelesaian perselisihan hubungan
industrial.

Ayat (7): Pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh yang mengalami Pemutusan
Hubungan Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5), uang penghargaan
masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai
ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).

Sumber Referensi:

BMP ABDI4336 Hukum Ketenagakerjaan

Putusan Mahkamah Konstitusi No.012/PUU-I/2004 Lex Jurnalica,Volume 13 No.2

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Pasal 20 PP 35/2021

UUD NRI tahun 1945

KUH Perdata

https://gajimu.com/garmen/hak-pekerja-garmen/omnibus-law/perubahan-aturan-mengenai-alih-
daya-outsourcing

Anda mungkin juga menyukai