b. Pasal 20 PP 35/2021 menyebutkan setidaknya ada 2 hal yang menjadi syarat untuk
mendirikan perusahaan outsourcing yakni:
c. Merujuk pada Undang Undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, Outsourcing
(Alih Daya) dikenal sebagai penyediaan jasa tenaga kerja seperti yang diatur pada pasal
64, 65 dan 66. Dalam dunia Psikologi Industri, tercatat karyawan outsourcing
adalah karyawan kontrak yang dipasok dari sebuah perusahaan penyedia jasa tenaga
outsourcing. Awalnya, perusahaan outsourcing menyediakan jenis pekerjaan yang tidak
berhubungan langsung dengan bisnis inti perusahaan dan tidak mempedulikan jenjang
karier. Seperti operator telepon, call centre, petugas satpam dan tenaga pembersih atau
cleaning service. Namun saat ini, penggunaan outsourcing semakin meluas ke berbagai
lini kegiatan perusahaan.
Sistem perekrutan tenaga kerja outsourcing sebenarnya tidak jauh berbeda dengan
sistem perekrutan karyawan pada umumnya. Perbedaannya, karyawan ini direkrut oleh
perusahaan penyedia tenaga jasa, bukan oleh perusahaan yang mem butuhkan jasanya
secara langsung. Nanti, oleh perusahaan penyedia tenaga jasa, karyawan akan
dikirimkan ke perusahaan lain (klien) yang membutuhkannya. Meski menguntungkan
perusahaan, namun sistem ini merugikan untuk karyawan outsourcing. Selain tak ada
jenjang karier, terkadang gaji mereka dipotong oleh perusahaan induk. Bayangkan,
presentase potongan gaji ini bisa mencapai 30 persen, sebagai jasa bagi perusahaan
outsourcing. Celakanya, tidak semua karyawan outsourcing mengetahui berapa besar
potongan gaji yang diambil oleh perusahaan outsourcing atas jasanya memberi
pekerjaan di perusahaan lain itu.
4. a. Dalam Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
mengatur tentang pemutusan hubunga kerja (PHK) akibat adanya alasan pekerja/buruh telah
melakukan kesalahan berat. Pasal ini dalam perkembangannya kemudian telah dinyatakan tidak
mengikat oleh Mahkamah Konstitusi. Secara denotatif Pasal 158 ayat (1) pada huruf a sampai j
telah memerinci jenis-jenis kesalahan berat yang dapat mengakibatkan PHK dan apa yang harus
dilakukan oleh pengusaha manakala terjadi kesalahan itu dilakukan oleh pekerja/buruh.
Walaupun perusahaan boleh melakukan PHK, Pasal 155 jo Pasal 151 dari undang-undang yang
sama melarang PHK tanpa penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial. PHK tanpa penetapan adalah batal demi hukum. Namun, ayat (3) dari Pasal 155
memungkinkan pengecualian bahwa sebelum ada penetapan pelaku usaha boleh menjatuhkan
skorsing dengan tetap membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh
tersebut.
Kesalahan berat itu harus didukung dengan bukti, yakni pekerja/buruh tertangkap tangan, atau
ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan, atau bukti lain berupa laporan kejadian
yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh
sekurang-kurangnya dua alat saksi.
b. Menurut Putusan MK, PHK atas kesalahan berat baru dapat dilakukan oleh pengusaha setelah
pelaku terbukti dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Sebagai tindak lanjut atas Putusan MK RI
No. 012/PUU-I/2003 tersebut, pada tanggal 7 Januari 2005, Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Menakertrans) juga sudah mengeluarkan Surat Edaran No. SE.13/MEN/SJ-
HKI/I/2005 yang pada intinya meminta pengusaha baru melakukan PHK kepada pekerja karena
alasan kesalahan berat setelah adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang
menyatakan bahwa pekerja benar telah melakukan kesalahan berat.
Dengan dicabutnya Pasal 158 Undang-Undang Ketenagakerjaan, berarti rincian kesalahan berat
oleh pekerja/buruh dalam rangka suatu hubungan kerja, menjadi pengaturan di luar Undang-
Undang Ketenagakerjaan. Kesalahan berat itu sepenuhnya berada dalam ranah hukum pidana.
Kesalahan berat adalah perbuatan tindak pidana yang terbukti dilakukan dan dihukum oleh
pengadilan berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sepanjang putusan itu
belum ada, PHK belum dapat dijatuhkan, kecuali berformat skorsing.
Pasal 159 sendiri berbunyi “Apabila pekerja /buruh tidak menerima pemutusan hubungan kerja
sebagaimana dimaksud dalam pasal 158 ayat (1), pekerja/buruh yang bersangkutan dapat
mengajukan gugatan ke Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Mahkamah Konstitusi menimbang bahwa meskipun Pasal 159 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 menentukan, apabila Pekerja/Buruh yang telah di PHK karena melakukan kesalahan berat
menurut Pasal 158, tidak menerima Pemutusan Hubungan Kerja, Pekerja/Buruh yang
bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial, maka di samping ketentuan tersebut melahirkan beban pembuktian yang tidak adil dan
berat bagi Pekerja/Buruh untuk membuktikan ketidaksalahannya, sebagai pihak yang secara
ekonomis lebih lemah yang seharusnya memperoleh perlindungan hukum yang lebih dibandingkan
Pengusaha. Pasal 159 tersebut juga menimbulkan kerancuan berpilir dengan mencampuradukkan
proses perkara pidana dengan proses perkara perdata secara tidak pada tempatnya.Putusan
Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal,
dan/atau bagian Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
c. Sejak tanggal 28 Oktober 2004 Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pasal 158 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga bila ada
Pekerja melakukan perbuatan kesalahan berat sebagaimana diatur dalam Pasal 158 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 maka PHK hanya dapat dilakukan jika:
1) telah ada putusan hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap bahwa Pekerja
bersalah melakukan tindak pidana; atau
2) Pekerja ditahan oleh kepolisian sehingga Pekerja tidak dapat melakukan pekerjaan
sebagaimana mestinya, maka PHK berdasarkan ketentuan Pasal 160 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 dapat dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial (Pengadilan Hubungan Industrial).
ayat (1): Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan
tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha, maka pengusaha tidak wajib membayar
upah tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi
tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut:
➢ untuk 1 (satu) orang tanggungan: 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah;
➢ untuk 2 (dua) orang tanggungan: 35% (tiga puluh lima perseratus) dari upah;
➢ untuk 3 (tiga) orang tanggungan:45% (empat puluh lima perseratus) dari upah;
➢ untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih: 50% (lima puluh perseratus) dari upah.
ayat (2): Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan untuk paling lama 6
(enam) bulan takwin terhitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang
berwajib.
ayat (3): Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap pekerja/buruh
yang setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya
karena dalam proses perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
ayat (4): Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan tidak
bersalah, maka pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh kembali.
ayat (5): Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan
berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan bersalah, maka pengusaha dapat melakukan
Pemutusan Hubungan Kerja kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
Ayat (6): Pemutusan Hubungan Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5)
dilakukan tanpa penetapan lembaga Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja Karena
Kesalahan Berat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.012/PUU-I/2004 Lex
Jurnalica,Volume 13 No.2, Agustus 2016 121 penyelesaian perselisihan hubungan
industrial.
Ayat (7): Pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh yang mengalami Pemutusan
Hubungan Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5), uang penghargaan
masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai
ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
Sumber Referensi:
Pasal 20 PP 35/2021
KUH Perdata
https://gajimu.com/garmen/hak-pekerja-garmen/omnibus-law/perubahan-aturan-mengenai-alih-
daya-outsourcing