Anda di halaman 1dari 4

1.

Sejak Pandemi Corona Virus Desiase 19 (Covid-19) melanda Indonesia banyak


perusahaan yang terdampak dan merugi sehingga melakukan Pemutusan Hubungan Kerja
yang berujung pada terjadi perselisihan antara Perusahaan dan Pekerja. Dalam Undang-
undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), PHK
adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan
berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. Salah satu
perselisihan terjadi antara Riyadi dengan PT. Securty Aman Terkendali (PT. SAT). Riyadi
yang telah bekerja sejak 2010 hingga saat ini dengan tanpa ada penandatanganan kontrak
kerja diberhentikan begitu saja hanya dengan memberikan uang pisah sebesar Rp.
1.000.000,- (satu juta rupiah).

Pertanyaan :
a. Mengacu pada Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial, maka perselisihan apakah yang terjadi antara Riyadi dengan PT.
Securty Aman Terkendali (PT. SAT) ?
Menurut saya perselisihan yg terjadi yaitu perselisihan pemutusan hubungan kerja
Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak
adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan
oleh salah satu pihak. Kasus yang sering terjadi adalah ketika perusahaan memutuskan
hubungan kerja secara sepihak dengan pekerjanya dan pekerja tersebut tidak setuju
dengan keputusan perusahaan tersebut.

b. Selain jenis perselisihan yang dialami Riyadi dengan PT. Securty Aman Terkendali
(PT. SAT) masihkah terdapat perselisihan hubungan industrial yang lain jika mengacu
pada Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial?

2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan


Industrial menjelaskan ada tahapan yang harus dilakukan dalam menyelesaikan
perselisihan hubungan industrial baik perselisihan hak, kepentingan, pemutusan hubungan
kerja dan perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan. Tahapan penyelesaian
tersebut adalah bipartit, Tripartit (Konsiliasi, Arbitrase dan Mediasi) dan melalui
Pengadilan Hubungan Industrial. Salah satu proses Tripartit yang sering digunakan para
pihak dalam menyelesaikan perselisihan sebelum masuk ke Pengadilan Hubungan
Industrial adalah Mediasi yaitu suatu proses penyelesaian yang menggunakan pihak ketiga
netral yang disebut dengan Mediator.

Pertanyaan :
a. Apa dan bagaimana kekuatan hukum dari produk hukum yang dikeluarkan
Mediator dalam proses penyelesaian melalui Mediasi Hubungan Industrial ? dan
bagaimana para pihak menyikapi produk hukum yang dikeluarkan Mediator
tersebut ?.
Penyelesaian perselisihan melalui mediasi ini diatur dalam pasal 8 sampai 16 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2004 yang dilakukan melalui musyawarah yang ditengahi
oleh seorang Mediator, yang merupakan Pegawai Negeri Sipil (ASN) pada Instansi
yang membidangi Urusan Ketenagakerjaan. Berdasarkan Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : PER/06/M.PAN/4/2009 Tentang Jabatan
Fungsional Mediator Hubungan Industrial dan Angka Kreditnya, Jabatan Mediator
Hubungan Industrial termasuk kedalam rumpun Hukum dan Peradilan (ketentuan
Pasal 2). Tugas pokok Pejabat Fungsional Mediator Hubungan lndustrial adalah
melakukan Pembinaan, Pengembangan Hubungan Industrial serta Penyelesaian
Perselisihan Hubungan lndustrial diluar Pengadilan.

Anjuran merupakan penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Mediator Hubungan


Industrial sebagai akibat tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan
hubungan industrial melalui mediasi. Mediator dalam menerbitkan Anjuran dengan
bersumber atau berlandaskan pada ketentuan hukum dan perundang-undangan yang
berlaku. Anjuran menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak dan menimbulkan
akibat hukum bagi pihak lainnya. Namun Anjuran Mediator dibuat tidak berdaya
oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial, sebab Mediator tidak mempunyai upaya paksa kepada pihak
yang menolak Anjuran yang juga tidak melanjutkan penyelesaian perselisihan ke
Pengadilan Hubungan Industrial untuk mematuhi dan melaksanakan isi Anjuran.
Mediator dapat mengeluarkan Putusan Final berupa Anjuran Tertulis, tetapi Mediator
tidak dapat menegakkan Anjurannya. Mediator yang menerbitkan putusan berupa
Anjuran Tertulis tidak punya kewenangan untuk memaksa pihak yang menolak
Anjuran untuk mematuhi dan melaksanakan Anjuran apabila pihak yang menolak
Anjuran tidak melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan
Industrial. Oleh sebab itu, untuk mencegah kondisi seperti ini, seharusnya Undang-
Undang menetapkan batas waktu untuk dapat melanjutan penyelesaian perselisihan ke
Pengadilan Hubungan Industrial. Apabila batas waktu yang telah ditetapkan tidak
digunakan oleh pihak yang menolak atau apabila batas waktu yang telah ditetapkan
telah lewat, maka anjuran Mediator mempunyai kekuatan hukum tetap. Inilah anomali
hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang seharusnya bisa dicegah
apabila terdapat aturan khusus mengenai kekuatan hukum dari Anjuran Mediator.
Dengan demikian, harapannya adanya aturan yang mengikat bagi pihak yang tidak
melaksanakan Anjuran Mediator, perselisihan hubungan industrial yang sedang
terjadi dapat selesai dengan me-minimalisir waktu, biaya, dan tenaga, sehingga tetap
terjaga hubungan industrial yang harmonis.

b. Bagaimana implikasi hukum upaya pengajuan gugatan yang tidak melampirkan


atau menyertakan produk hukum dari Mediator sebagai pihak ketiga netral
dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial ?

Pada dasarnya, mediator wajib mengupayakan agar terjadi kesepakatan di antara


pihak yang bertikai. Dalam hal penyelesaian melalui mediasi tidak mencapai
kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan
Hubungan Industrial. Hal ini diatur dalam Pasal 5 UU PPHI. Sedangkan, jika tercapai
kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka
dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh
mediator serta didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di
wilayah hukum pihak-pihak yang mengadakan Perjanjian Bersama untuk
mendapatkan akta bukti pendaftaran [Pasal 13 ayat (1) UU PPHI]. mediator akan
mengeluarkan sebuah anjuran tertulis yang isinya meminta agar salah satu pihak
melaksanakan atau tidak melaksanakan sesuatu [Pasal 13 ayat (2) huruf a UU PPHI].
Apabila tidak ada keberatan dari para pihak atas anjuran tertulis, maka para pihak
harus menuangkan kesepakatannya kedalam perjanjian bersama. Lagi-lagi perjanjian
bersama itu harus didaftarkan ke PHI [Pasal 13 ayat (2) huruf e UU PPHI].

c. Mengapa dalam proses penyelesaian di Pengadilan Hubungan Industrial


dikecualikan dari tahapan mediasi ? sertakan dasar hukumnya.

Penyelesaian sengketa bisa dilaksanakan melalui proses litigasi maupun proses non-
litigasi. Penyelesaian sengketa melalui proses litigasi merupakan proses penyelesaian
sengketa melalui pengadilan. Sedangkan penyelesaian melalui non-litigasi merupakan
proses penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar persidangan atau sering disebut
dengan alternatif penyelesaian sengketa. Terdapat beberapa cara penyelesaian
sengketa non-litugasi, salah satunya ialah melalui Mediasi. Ketentuan mediasi diatur
dalam Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan (Selanjutnya disebut dengan PERMA No. 1/2016) yang
merupakan pengganti Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008. Dalam
penyelesaian sengketa, proses mediasi wajib dilakukan terlebih dahulu. Apabila tidak
menempuh prosedur mediasi, penyelesaian sengketa tersebut melanggar ketentuan
pasal 130 HIR dan atau pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi
hukum. Menurut PERMA No. 1/2016, mediasi merupakan cara menyelesaian
sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak
dengan dibantu oleh Mediator.

3. Kesalahan berat merupakan salah satu alasan yang dapat dijadikan dasar Pemutusan
Hubungan Kerja oleh Perusahaan. Sejak dikeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 12/PUU-I/2003 mengalami perubahan mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja,
begitu juga munculnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja dan
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021.
Pertanyaan :
Bagaimana perbedaan mekanisme pemutusan hubungan kerja karena kesalahan
berat sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-I/2003 dan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah
Nomor 35 Tahun 2021 ?
pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat dapat diselesaikan melalui proses
hukum acara penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dalam UU No. 2
Tahun 2004 tentang PPHI. Melihat kenyataan tersebut kedepan diharapkan mediator
tidak lagi menolak untuk melakukan mediasi dan hakim diharapkan bersedia memeriksa
dan mengadili gugatan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat. Berdasarkan
fakta yang terjadi dalam penerapan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat
maka sudah saatnya untuk menyamakan persepsi bahwa melakukan proses pidana
terhadap pekerja yang melakukan kesalahan berat harus ditafsirkan sebagai hak
pengusaha, sehingga mediator dan hakim tidak lagi mewajibkan kesalahan berat harus
diproses secara pidana terlebih dahulu.

Anda mungkin juga menyukai