Anda di halaman 1dari 14

PENYELESAIAN HUBUNGAN INDUSTRIAL di LUAR

PENGADILAN (PHI) BERDASARKAN UU 2/2004

Di Susun Oleh:

Bayu Hadi Saputra : 061440211626


Faisal Anhar : 061440211629
M Sagitra Pranata : 061440211632
M Azizi : 061440211635
Rhomadhan R : 061440211642
Roby Anggara : 061440211643
Ulfiansyah : 061440212028

JURUSAN TEKNIK MESIN


POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

B. PERMASALAHAN

C. MAKSUD DAN TUJUAN

BAB II PEMBAHASAN..

A. MEKANISME PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN


INDUSTRIAL DI LUAR PENGADILAN

B. CONTOH KASUS

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA..
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang
penyelesaian hubungan industrial di luar pengadilan (PHI) berdasarkan UU 2/2004

Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang penyelesaian hubungan industrial di
luar pengadilan (PHI) berdasarkan UU 2/2004
ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Palembang, 18 Mei 2017

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perselisihan atau perkara dimungkinkan terjadi dalam setiap hubungan antar manusia,
bahkan mengingat subjek hukumpun telah lama mengenal badan hukum, maka para pihak yang
terlibat di dalamnya pun semakin banyak. Dengan semakin kompleksnya corak kehidupan
masyarakat, maka ruang lingkup kejadian atau peristiwa perselisihanpun meliputi ruang lingkup
semakin luas, diantaranya yang sering mendapat sorotan adalah perselisihan hubungan industrial.
Perselisihan hubungan industrial biasanya terjadi antara pekerja/buruh dan perusahaan atau
antara organisasi buruh dengan organisasi perusahaan. Dari sekian banyak kejadian atau
peristiwa konflik atau perselisihan yang penting adalah solusi untuk penyelesaiannya yang harus
betul-betul objektif dan adil.

Penyelesaian perselisihan pada dasarnya dapat diselesaikan oleh para pihak sendiri, dan
dapat juga diselesaikan dengan hadirnya pihak ketiga, baik yang disediakan oleh negara atau
para pihak sendiri. Dalam masyarakat modern yang diwadahi organisasi kekuatan publik
berbentuk negara, forum resmi yang disediakan oleh negara untuk penyelesaian perkara atau
perselisihan biasanya adalah lembaga peradilan.

Sejalan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia, pada saat ini penyelesaian hubungan industrial
secara normatif telah mengalami banyak perubahan, yang terakhir dengan diundangkannya
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
(UU PPHI). Berdasarkan UU ini telah ada peradilan khusus yang menangani penyelesaian
perselisihan hubungan industrial, yaitu Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), Seperti yang
dimaksud oleh UU PPHI ini, bahwa Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat
yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan
pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh
dalam satu perusahaan.

Sejak diberlakukannya UU PPHI ini dalam pelaksanaannya timbul permasalahan hukum


yang mengakibatkan proses penyelesaian perselisihan industrial yang berlangsung lama dan ini
berarti mahal. Hal ini dapat disebabkan antara lain :

1. UU PPHI ini berparadigma konflik karena hanya memberikan kesempatan kepada pihak-pihak
yang ingin memenangkan perkara, sedangkan pihakpihak yang ingin menyelesaikan pesoalan
tidak diberi keleluasaan dalam menggunakan mekanisme yang ditawarkan oleh UU ini. Hal ini
tercermin dari perbedaan kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial dibandingkan dengan
kewenangan Arbitrase. Menurut UU PPHI ini, PHI diberi kewenangan untuk menyelesaikan
semua jenis perselisihan hubungan industrial (yaitu perselisihan hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja. Pihak-pihak yang
ingin memenangkan perkara jalurnya melalui pengadilan (litigasi), sedangkan pihak-pihak yang
ingin menyelesaikan persoalan tidak melalui pengadilan (non litigasi) melainkan ke arbitrase
sebagai alternative dispute solution. Demikian juga para pihak yang menyelesaikan perselisihan
pemutusan hubungan kerja atau perselisihan hak tidak dapat menyelesaikannya melalui arbitrase
(mereka harus menempuh jalur PHI). Padahal menurut Prof. A. Uwiyono 99,9% perselisihan
perburuhan adalah perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan hak.

2. Menumpuknya perkara PPHI di PHI (di Pengadilan Negeri) dan di Mahkamah Agung. Hal ini
disebabkan antara lain kurang berfungsinya lembaga bipartit dan lembaga mediasi dalam PPHI.
Secara yuridis lembaga mediasi lemah, karena pendapat mediator yang berupa anjuran tidak
mengikat para pihak, dan para pihak dapat menolaknya, pada akhirnya perkara tersebut bergulir
ke PHI. Selain itu ketentuan beracara yang berlaku pada PHI adalah Hukum Acara Perdata
sebagaimana yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkup peradilan umum.

3. Adanya penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang mencakup lintas kabupaten/kota


maupun provinsi, sehingga mediator hubungan industrial yang berkedudukan di provinsi dan
pusat tidak memiliki kewenangan.

4. Banyaknya putusan P4P (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat) yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap tidak dapat di eksekusi, hal ini terjadi karena tidak diatur
secara tegas dalam UU PPHI. Berdasarkan uraian permasalahan di atas, Badan Pembinaan
Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM menganggap perlu untuk melakukan kegiatan
Analisis dan Evaluasi terhadap Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial.

B. Permasalahan
1. Bagaimana Penyelesaian Perselisihan Hubungan industrial diluar pengadilan (PHI)
Berdasarkan UU 2/2004.

C. Maksud dan Tujuan


Kegiatan ini bertujuan memberikan penjelasan mengenai penyelesaian PPHI diluar
pengeadilan yang berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2004.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial di


luar pengadilan.
Berikut 4 (empat) bentuk penyelesaian diluar pengadilan
a. Penyelesaian Melalui Bipartit Adalah proses penyelesaian perselisihan melalui perundingan
antara Pekerja / Buruh atau Serikat Pekerja / Serikat Buruh dengan Pengusaha untuk
menyelesaikan Perselisihan. Penyelesaian melalui perundingan ini bersifat WAJIB.

Alur Proses Penyelesaian Bipartit

- Pekerja / Buruh atau SP / SB melakukan perundingan dalam kurun waktu 30 hari.

- Dalam perundingan dibuat risalah perundingan yang ditanda tangani kedua belah pihak yang memuat,
identitas para pihak, tanggal dan tempat perundingan, pokok masalah, pendapat para pihak dan
kesimpulan.

- Apabila perundingan menghasilkan kesepakatan maka dibuat Perjanjian Bersama (PB) dan
ditandatangani para pihak

- Perjanjian bersama tersebut didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada Pengadilan
Negeri

- Apabila salah satu pihak melakukan ingkar janji, maka bisa dimintakan eksekusi kepada PHI.

- Dalam hal Perundingan Bipartit gagal, maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihan
tersebut pada Kantor Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) setempat dengan melampirkan Bukti Perundingan
Bipartit.

- Setelah menerima pencatatan dari para pihak yang berselisih, petugas dari Kantor DISNAKER tersebut
wajib menawarkan kepada para pihak untuk memilih alternatif penyelesaian, yaitu : 1. Jika Perselisihan
Kepentingan, melalui :

a) MEDIASI

b) KONSILIASI

c) ARBITRASE

2. Jika Perselisihan PHK, melalui :

a) MEDIASI

b) KONSILIASI

3. Jika Perselisihan antar Serikat Pekerja, melalui:


a) MEDIASI

b) KONSILIASI

c) ARBITRASE

4. Jika Perselisihan HAK, langsung dilimpahkan ke MEDIASI

b. Penyelesaian Melalui Mediasi / Konsiliasi Adalah proses penyelesaian perselisihan hak,


perselisihan kepentingan, perselisihan PHK dan perselisihan antar SP / SB dalam suatu
Perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih MEDIATOR yang
Netral dan merupakan Pegawai Dinas Tenaga Kerja (DISNAKER).
1. Mediator, adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh menteri.
2. Tugas Mediator, memberi anjuran tertulis kepada pihak yang berselisih dan membantu
membuat perjanjian bersama apabila telah tercapai kesepakatan antara pihak yang berselisih.
3. Tugas Mediator meliputi penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
PHK dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
4. Mediator menyelesaikan tugasnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja, meliputi kegiatan :
- Penelitian tentang duduknya perkara : 7 hari
- Sidang Mediasi/Konsiliasi : 10 hari
- Pembuatan anjuran berdasarkan sikap para pihak : 10 hari
- Membantu membuat perjanjian bersama : 3 hari

Alur Proses Mediasi


1. Setelah menerima Pelimpahan Perselisihan, maka Mediator wajib menyelesaikan tugasnya
selambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung mengadakan sidang MEDIASI.
2. Mediator dapat memanggil satu saksi ahli guna diminta dan didengar kesaksiannya jika
diperlukan, saksi atau saksi ahli harus menunjukan serta membukakan buku-buku atau surat-
surat yang diperlukan.
3. Apabila tercapai kesepakatan, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani kedua
belah Pihak serta didaftarkan ke PHI.
4. Apabila salah satu Pihak melakukan ingkar janji, maka bisa diminta Eksekusi kepada PHI.
5. Apabila tidak tercapai Kesepakatan, maka Mediator mengeluarkan anjuran tertulis yang
dilimpahkan kepada kedua belah Pihak.
6. Apabila anjuran telah diterima oleh kedua belah Pihak maka dibuat Perjanjian Bersama dan
didaftarkan ke PHI.
7. Apabila Anjuran Mediator tidak diterima salah satu Pihak, maka Pihak yang bersangkutan
dapat meneruskan Proses Penyelesaian Perselisihan dengan mengajukan gugatan kepada PHI.

CATATAN : Konsep mediasi yang diperkenalkan dalam UU PPHI ini tidak akan menimbulkan
mediasi yang memfasilitasi para pihak yang bersengketa untuk dapat berunding. Tetapi mediator
yang menjadi figur sentral dikarenakan adanya bentuk quasi putusan anjuran yang dikeluarkan
oleh mediator. Dalam pengalaman praktis, mediasi yang selama ini dipraktekkan melalui
lembaga tripartit lebih berfungsi sebagai quasi hakim dibandingkan bertindak sebagai fasilitator.
Hal ini akan lebih rumit dengan munculnya PERMA tentang mediasi yang mengharuskan adanya
mediasi dalam pengadilan sebelum pemeriksaan pokok perkara. Jadi akan ada dua mediasi yang
dua-duanya tidak memfasilitasi.
Di ranah hukum, mediasi tidak mengenal anjuran. Peran mediator hanya sebatas memfasilitasi,
para pihaklah yang diharapkan menemukan solusi atas permasalahan yang sedang dihadapi.
Peran mediator haruslah pasif. Mediasi dalam UU PPHI ini berperan sangat aktif dan tidak pasif
serta menjadi titik sentral bagi para pihak, karena filosofi yang dianut oleh mediasi dalam UU
PPHI adalah filosofi zero sum game

c. Penyelesaian Melalui Konsiliasi Adalah proses penyelesaian perselisihan kepentingan,


perselisihan PHK, atau perselisihan antar serikat pekerja / serikat buruh dalam satu perusahaan
melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih KONSILIATOR yang netral dan
memenuhi syarat-syarat sesuai dengan ketetapan Menteri Tenaga Kerja dan wajib memberikan
anjuran tertulis kepada Pihak yang berselisih.
1. Konsiliator, adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator yang
ditetapkan oleh menteri.
2. Tugas Konsiliator meliputi penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan PHK dan
perselisihan antar serikat pekerja / serikat buruh dalam satu perusahaan.
3. Konsiliator menyelesaikan tugasnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja, meliputi
kegiatan :
- Penelitian tentang duduknya perkara : 7 hari
- Sidang Mediasi/Konsiliasi : 10 hari
- Pembuatan anjuran berdasarkan sikap para pihak : 10 hari
- Membantu membuat perjanjian bersama : 3 hari

Alur Proses Konsiliasi


1. Para Pihak memilih Konsiliator dan mengajukan penyelesaian secara tertulis kepada
Konsiliator tersebut.
2. Setelah menerima Pelimpahan Perselisihan, maka Konsiliator wajib menyelesaikan tugasnya
selambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima Pelimpahan Perselisihan.
3. Konsiliator harus mengadakan Penelitian tentang Pokok Perkara dan mengadakan Sidang
Konsiliasi.
4. Konsiliator dapat memanggil Saksi atau Saksi Ahli, guna diminta dan didengar keterangannya
jika diperlukan Saksi atau Saksi Ahli harus menunjukan serta membukakan buku-buku atau
surat-surat yang diperlukan.
5. Apabila tercapai kesepakatan, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani kedua
belah Pihak serta didaftarkan ke PHI.
6. Apabila salah satu Pihak melakukan Ingkar Janji, maka bisa diminta Eksekusi kepada PHI.
7. Apabila Anjuran diterima oleh kedua belah Pihak, maka dibuat Perjanjian Bersama dan
didaftarkan ke PHI.
8. Apabila salah satu Pihak melakukan Ingkar Janji, maka bisa dimintakan Eksekusi kepada PHI.
9. Apabila anjuran tidak dapat diterima salah satu Pihak, maka Pihak yang bersangkutan dapat
meneruskan Proses Perselisihan dengan mengajukan gugatan ke PHI.

d. Penyelesaian Melalui Arbitrase Adalah suatu Proses Penyelesaian Perselisihan Kepentingan


dan Perselisihan antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam satu Perusahaan, di luar Pengadilan
Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para Pihak yang berselisih untuk
menyerahkan Penyelesaian Perselisihan kepada Arbiter dari daftar Arbiter yang ditetapkan oleh
Menteri Tenaga Kerja yang keputusannya mengikat para Pihak dan bersifat Final.

Alur Proses Arbitrase


1. Para Pihak bersepakat untuk memilih Proses Arbitrase.
2. Kesepakatan dituangkan dalam perjanjian Arbitrase yang memuat Identitas para Pihak, Pokok
Persoalan, Jumlah Arbiter, Pernyataan para Pihak untuk tunduk dan menjalankan keputusan
Arbitrase dan Tempat, Tanggal Pembuatan Surat Perjanjian dan Tanda Tangan Para Pihak.
3. Para Pihak memilih Arbiter dari daftar Arbiter yang ditetapkan Menteri.
4. Para Pihak dapat memilih Majelis Arbiter, maka para Pihak memilih Arbiternya masing
masing dan masing-masing Arbiter akan menunjuk satu Arbiter sebagai Ketua Arbiter.
5. Dalam hal para Pihak tidak bersepakat dalam menunjuk Arbiter, maka Penunjukan diserahkan
pada Ketua Pengadilan Negeri dengan mengangkat Arbiter dari daftar Arbiter.
6. Arbiter dan para Pihak harus membuat Perjanjian Penunjukan Arbiter yang memuat Identitas
para Pihak dan Arbiter, Pokok Persoalan, Biaya Arbitrase dan Honorarium arbiter, pernyataan
para pihak untuk tunduk dan menjalankan Proses Arbitrase, tempat dan tanggal Pembuatan Surat
Perjanjian Serta tanda tangan para Pihak yang berselisih dan Arbiter, Pernyataan Arbiter atau
Para Arbiter untuk tidak melampaui Kewenangannya, dan Perrnyataan Arbiter bahwa Arbiter
tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat kedua dengan para
pihak yang berselisih.
7. Arbiter yang telah ditunjuk, Apabila salah satu Pihak atau para pihak telah menemukan cukup
bukti Otentik tentang keraguan bahwa Arbiter tidak secara bebas dan akan berpihak dalam
pengambilan keputusan maka dapat diajukan Hak Ingkar oleh Para Pihak, Hak Ingkar dapat
diajukan pada Ketua Pengadilan (apabila Arbiter diangkat oleh ketua pengadilan), Arbiter
Tunggal dan kepada Majelis Arbiter.
8. Arbiter wajib menyelesaikan Perselisihan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari dan dapat
diperpanjang satu kali untuk selama 14 hari.
9. Penyelesaian melalui Arbitrase tetap diawali upaya Perdamaian yang dilakukan oleh Arbiter.
10.Apabila upaya perdamaian berhasil maka dibuat Akta Perdamaian dan didaftarkan pada PHI
dan dapat dimintakan Eksekusi apabila salah satu pihak tidak menjalankan Akta Perdamaian
tersebut.
11.Apabila tidak tercapai perdamaaian, Maka upaya Arbitrase dilanjutkan dengan menjelaskan
Pendirian masing-masing Pihak secara tertulis atau lisan dengan mengajukan alat bukti dari
masingmasing Pihak.
12.Arbiter atau Majelis Arbiter berhak memberi penjelasan tambahan secara tertulis, Dokumen
atau bukti lainnya yang dianggap perlu.
13.Jika diperlukan Arbiter atau Majelis Arbiter dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk
didengar keterangannya.
14.Putusan sidang Arbitrase ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, perjanjian, kebiasaan, keadilan dan kepentingan umum.
15.Putusan Arbitrase mengikat para pihak dan bersifat akhir dan tetap.
16.Putusan Arbitrase dapat dimintakan pembatalannya ke MA, Apabila putusan diduga
mengandung bahwa Surat atau Dokumen selama Persidangan atau setelah putusan dinyatakan
palsu, Dokumen yang menentukan disembunyikan lawan, Putusan diambil dari tipu muslihat
yang dilakukan oleh satu pihak, Putusan melampaui kewenangan Arbiter dan bertentangan
dengan peraturan perundangunda
B. CONTOH KASUS
Ratusan buruh PT Megariamas Sentosa yang berlokasi di Jl Jembatan III Ruko 36 Q,
Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara, datang sekitar pukul 12.00 WIB. Sebelum ditemui Kasudin
Nakertrans Jakarta Utara, mereka menggelar orasi yang diwarnai aneka macam poster yang
mengecam usaha perusahaan menahan THR mereka. Padahal THR merupakan kewajiban
perusahaan sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 4
Tahun 1994 tentang THR.

Sekitar 500 buruh yang tergabung dalam Serikat Buruh Garmen Tekstil dan Sepatu-Gabungan
Serikat Buruh Independen (SBGTS-GSBI) PT Megariamas Sentosa, Selasa siang menyerbu
Kantor Sudin Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Nakertrans) Jakarta Utara di Jl Plumpang Raya,
Kelurahan Semper Timur, Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Mereka menuntut pemerintah
mengambil tindakan tegas terhadap perusahaan yang mempekerjakan mereka karena mangkir
memberikan tunjangan hari raya (THR).

Demonstrasi ke Kantor Nakertrans bukan yang pertama, sebelumnya ratusan buruh ini juga
mengadukan nasibnya karena perusahan bertindak sewenang-wenang pada karyawan. Bahkan
ada beberapa buruh yang diberhentikan pihak perusahaan karena dinilai terlalu vokal. Akibatnya,
kasus konflik antar buruh dan manajemen dilanjutkan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Karena itu, pihak manajemen mengancam tidak akan memberikan THR kepada pekerjanya.
Dalam demo tersebut para buruh menuntut perusahaan untuk mendapatkan THR sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Para demonstras mengatakan jangan dikarenakan ada konflik internal
kami tidak mendapatkan THR, karena setahu mereka perusahaan garmen tersebut tidak merugi,
bahkan sebaliknya. Sekedar diketahui ratusan buruh perusahaan garmen dengan memproduksi
pakaian dalam merek Sorella, Pieree Cardine, Felahcy, dan Young Heart untuk ekspor itu telah
berdiri sejak 1989 ini mempekerjakan sekitar 800 karyawan yang mayoritas perempuan.

Mengetahui hal tersebut, ratusan buruh PT Megariamas Sentosa mengadu ke kantor Sudin
Nakertrans Jakarta Utara. Setelah dua jam menggelar orasi di depan halaman Sudin Nakertrans
Jakarta Utara, bahkan hendak memaksa masuk ke dalam kantor. Akhirnya perwakilan buruh
diterima oleh Kasudin Nakertrans, Saut Tambunan di ruang rapat kantornya. Dalam
peryataannya di depan para pendemo, Sahut Tambunan berjanji akan menampung aspirasi para
pengunjuk rasa dan membantu menyelesaikan permasalahan tersebut. "Pasti kami akan bantu,
dan kami siap untuk menjadi fasilitator untuk menyelesaikan masalah ini," tutur Sahut. Selain
itu, Sahut juga akan memanggil pengusaha agar mau memberikan THR karena itu sudah
kewajiban. Kalau memang perusahaan tersebut mengaku merugi, pihak manajemen wajib
melaporkan ke pemerintah dengan bukti konkret, kata Saut Tambunan kepada beritajakarta.com
usai menggelar pertemuan dengan para perwakilan demonstrasi.

Berdasarkan kasus diatas dapat disimpulkan bahwa, pentingnya komunikasi yang baik antara
pekerja dengan pengusaha. Sebagai seorang pengusaha mereka harus memenuhi kewajiban para
pekerjanya agar tidak terjadi perselisihan. Karena para pekerja sudah berusaha menjalankan
kewajibannya untuk bekerja memenuhi kebutuhan perusahaan tersebut. Maka perusahaan juga
berkewajiban memberikan upah dan tunjangan kepada pekerja dan berlaku adil dan bijaksana
untuk tidak mempermainkan rakyat kecil.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Secara normatif Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 ini ditujukan untuk memberikan
perlindungan bagi pencari keadilan di bidang hubungan industrial dalam hal penyelesaian
perselisihan hubungan industrial melalui proses penyelesaian yang tepat, cepat, adil dan
murah. Walau demikian pada tahap implementasinya masih banyak yang tidak sesuai

2. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan


Industrial memberikan 2 (dua) pilihan cara menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial, yaitu dengan cara : Non Litigasi, dan Litigasi Secara filosofis penyelesaian Non-
Litigasi ini lebih baik hasilnya, karena :
a. hasil penyelesaian non litigasi bisa diterima oleh masing-masing pihak
b. tidak ada yang merasa diciderai atau dirugikan
c. mampu menghindarkan konflik berkepanjangan antara pengusaha dengan buruh atau
serikat pekerjanya

3. Setidaknya ada 4 (empat) aspek penyebab tidak terlaksananya jangka waktu penyelesaian
perkara yang direncanakan, yaitu :
a. aspek hukum
b. aspek pelaku hukum
c. aspek kelembagaan
d. aspek sarana dan prasarana.
DAFTAR PUSTAKA

http://pratiwi-19.blogspot.co.id/2012/11/kasus-perselisihan-antara-pekerja-buruh.html

Anda mungkin juga menyukai