BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hubungan industrial Pancasila atau sering dengan sebutan hubungan
industrial1 rawan konflik dan tidak selamanya harmonis. Perselisihan atau konflik
mengingat subjek hukum pun telah lama mengenal badan hukum maka para pihak
yang terlibat dalamnya pun semakin banyak.2 Dengan semakin kompleksnya corak
politik.3
1
Satu sistem hubungan yang terbentuk antara pelaku dalam proses produksi barang dan
jasa yangterdiri dari unsur pengusaha ,pekerja/buruh dan pemerintah yang didasarkan atas nilai-nilai
yang merupakan manifestasi dari keseluruhan sila-sila dari Pancasila dan UUD 1945, yang tumbuh
dan berkembang diatas kepribadian bangsa dan kebudayaan nasional Indonesia.
2
Di Indonesia badan hukum antara lain terdiri dari perusahaan terbatas, badan hukum milik
negara, perusahaan umum, perusahaan jawatan, yayasan, koperasi.
3
Ari Hernawan, 2011, Hak Dan Kewajiban Pekerja Dan Pengusaha Dalam Mogok Kerja
di Indonesia, Disertasi Program Doktor, UGM, Yogyakarta, hlm. 369
2
pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja karena
pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja hanya dalam satu
sesuatu yang tidak dapat dihindari, sekarang yang penting adalah bagaimana
Industrial. PHI dibentuk dengan asas yang tidak beda dengan peradilan lainnya
yaitu asas peradilan yang cepat, tepat, adil dan berbiaya murah. Pembentukan PHI
tentang lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan saat ini secara
yuridis PHI dibentuk melalui UU Nomor 2 Tahun 2004. Pasal 24 ayat (5) UUD N
3
Mahkamah Agung serta badan peradilan dibawahnya diatur dengan UU”. Oleh
karena itu apabila berpegang pada ketentuan tersebut bahwa setiap pembentukan
Nomor 22 Tahun 1957 hanya terdapat dua jalan yang dapat ditempuh , yaitu :
1957);atau
4
(P4P), bilamana putusan tidak bisa banding lagi, tidak ditaati secara sukarela, dan
meliputi tempat kedudukan pihak terhadap siapa putusan itu akan dijalankan, dalam
hal ini menurut Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, namun
sebagai lembaga arbitrase wajib merupakan pilihan karena para pihak berdasarkan
UU Nomor 22 Tahun 1957 wajib terlebih dahulu menggunakan jasa perantara yang
melaksanakan fungsi mediasi wajib dan konsiliasi wajib, pada akhirnya mereka
4
S.F.Marbun. 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia,
Liberty , Yogyakarta, hlm. 49.
5
diperlukan biaya, disamping itu sejak tahun 1980 berdasarkan SEMA Republik
lagi perselisihan perburuhan atas dasar perselisihan hak. Hal ini dipertegas dalam
Surat Edaran MA No. 1 Tahun 1980 dalam butir kelima sub a bahwa Pengadilan
Negeri hanya dapat menyetujui atau menolak fiat eksekusi keputusan Panitia
optimal hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan adil antara pihak
pengusaha dengan pekerja/buruh sesuai dengan nilai-nilai Pancasila hal ini ada
khusus yang berada di bawah lingkungan peradilan umum baru berumur kurang
lebih 9 tahun, namun demikian ternyata sudah banyak menuai kritik dan
permasalahan.
peradilan cepat belum tercapai. Hal yang positif dari UU Nomor 2 Tahun 2004
perburuhan dapat memakan waktu 3 sampai 4 tahun, hal ini dapat dibayangkan
jangka waktu yang dibutuhkan para pihak guna mendapatkan putusan yang
6
berkekuatan hukum bila salah satu pihak merasa belum mendapatkan keadilan,
Pusat (P4P) masih dapat diajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
(PTTUN) karena ptusan P4P dianggap sebagai keputusan Tata Usaha Negara dan
dari kondisi tersebut maka eksistensi PHI sangat diharapkan sebenarnya untuk
keadilan substansial (hukum materiil) yang ada dalam UU Nomor 2 Tahun 2004
yang secara nyata telah mengatur batas waktu yang harus ditaati oleh lembaga
peradilan yaitu paling lama 50 hari kerja di tingkat pertama dan paling lama 30 hari
tidak sesuai dengan asas peradilan yang cepat, sederhana, serta murah dan dengan
jumlah perkara yang masuk PHI di tahun 2006, sebanyak 142 perkara hanya 77
(54,2%) yang diputus tahun 2007 perkara masuk 208 ditambah sisa perkara tahun
2006 adalah 65, jadi total 273 yang dapat diputus 198 (72,5%) jumlah ini tidak
signifikan terhadap proses cepat, tepat, murah dan adil sebagaimana amanat
undang-undang, selain itu para pihak yang berperkara masih bisa mengupayakan
kasasi pada tahun 2006 sebanyak 44 perkara yang memohonkan kasasi. Hal ini
7
menunjukan bahwa berperkara di PHI masih memakan waktu cukup lama sehingga
sepanjang tahun 2011 terdapat 1.198 perkara yang masuk ke PHI, dan sisa perkara
tahun 2010 terdapat 448 perkara, sehingga jumlah perkara yang ditangani oleh PHI
sebanyak 1.646 perkara. Perkara yang masuk ke PHI pada tahun 2010 terdapat
1.147 perkara yang berhasil diselesaikan oleh PHI sejumlah 1.069 perkara,
sebanyak 997 perkara selesai karena diputus dan 72 perkara selesai karena dicabut,
sehingga sisa perkara pada akhir Desember 2011 berjumlah 557 perkara (35,05%),
Tabel 1
Perkara Perselisihan Hubungan Industrial Yang Masuk
Pengadilan Hubungan Industrial Tahun 2010 – 2011
Tahun Perkara Perkara Berhasil diselesaikan Sisa Perkara
jumlah perkara yang diselesaikan dengan perkara yang ditangani selama tahun
5
Surya Perdana, 2008, Mediasi Merupakan Salah Satu Cara Penyelesaian Perselisihan
Pemutusan Hubungan Kerja Pada Perusahaan di Sumatera Utara, Disertasi, USU, Medan, hlm.
170-171.
6
Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Laporan Tahunan 2011”,www.mari.com,
diakses tanggal 11 Juni 2013
8
PHI sebesar 64,95%. Perhitungan rasio penyelesaian perkara oleh PHI tahun 2011
melalui MA selama ini justru oleh sebagian masyarakat memberatkan MA dan hal
dan arbitrasi tidak maksimal, artinya penyelesaian diluar pengadilan yang gagal
hari. Hal ini bisa dilihat dari PHI Medan dari total perkara yang masuk PHI dari
tahun 2006-2009 sebanyak 599 kasus, 329 kasus di antaranya kasasi tetapi hingga
April 2010 hanya sekitar 30 kasus yang diputus oleh MA. Dari 30 kasus yang
diputus oleh MA tersebut dan tidak satupun di antaranya yang berhasil dieksekusi
oleh pengadilan sampai bulan April 2010, padahal eksekusi adalah ujung tombak
keberhasilan PHI dalam menegakkan hukum dan kepastian hukum.7 Ini dapat
hubungan industrial sampai ke MA, dan keadilan bagi para yustisiabel semakin
7
CN.N.Megawati Tobing, "Catatan Otokritik Tentang Pengadilan Hubungan Industrial”,
http//www.marhaennews.com, diakses 27 April 2011.
9
biaya resmi dan upah pengacara yang harus ditanggung. Melihat biaya perkara yang
membutuhkan waktu yang lama padahal penyelesaian sengketa bisnis dituntut suatu
penyelesaian yang cepat dan biaya murah serta bersifat informal procedure.
biaya tinggi bahkan dapat menguras segala potensi dan sumber daya perusahaan
sengketa dan beratnya biaya yang harus dikeluarkan melalui proses litigasi, muncul
peradilan.9
Hoc dalam setiap pengadilan khusus serta adanya pembatasan jangka waktu
8
Peter Lovenheim, 1989, Mediate Don’t Litigate, Mc. Graw Hill Publishing Comp , New
York, hlm. 23
9
Susanti Adi Nugroho. cp. cit., hlm. 160.
10
imparsial dalam pengambilan putusan. Susunan Hakim di PHI yang terdiri 1 hakim
karir dan 2 hakim Ad Hoc adalah mewakili dua kepentingan yang bukan saja
pekerja/buruh dan hakim Ad Hoc yang mewakili pengusaha. Dua kepentingan yang
berbeda ini tidak jarang menyulitkan perkara. Sementara itu kebanyakan hakim Ad
pendidikan yang relatif singkat kurang lebih 3 bulan. Hal ini ikut mempersulit
Jumlah hakim PHI sejak tahun 2006 baru memiliki tidak kurang dari 155
Hakim Ad Hoc di seluruh Indonesia dan 6 Hakim Ad Hoc di tingkat MA. Berbeda
susunan majelis hakim pada pengadilan niaga yang terdiri dari dua hakim karir dan
hakim Ad Hoc di pengadilan khusus ini ternyata tidak efektif.12 Sebagai contoh
misalnya pada waktu dibentuknya pengadilan niaga telah dilantik 13 hakim Ad Hoc,
namun demikian dari ketiga belas hakim Ad Hoc yang dilantik tersebut yang
10
Wawancara dengan Sugeng Santoso, Hakim Ad Hoc pada PHI Surabaya, 26 Maret 2014.
11
Tata Wijayanta, ” Pelaksanaan Pasal 302 ayat (3) UU RI Nomor 37 Tahun 2004 Berkaitan
Dengan Pelantikan Hakim Ad Hoc Dalam Perkara Kepailitan,” ”Legality” Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Vol. 15 No. 1, Maret - Agustus, 2007, hlm. 128-141.
12
Tata Wijayanta, 2004, Hakim Ad Hoc Dalam Penyelesaian Perkara Kepailitan di
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Setelah Berlakunya Perma RI Nomor 2 Tahun 2000, Laporan
penelitian Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM), Universitas Gadjah Mada
(UGM), hlm. 32.
13
Tata Wijayanta, 2008, Penyelesaian Kes Kebankrapan di Pengadilan Niaga Indonesia
dan Mahkamah Tinggi Malaysia: Suatu Kajian Perbandingan, Tesis Doktor Falsafah Universiti
Kebangsaan Malaysia, Bangi: Tidak Diterbitkan, hlm. 110.
11
acara perdata juga menjadi persoalan karena perkara perdata dengan perselisihan
jawab dan menjamin agar setiap pekerja/buruh tidak mudah kehilangan pekerjaanya
memerlukan penanganan khusus dengan hukum acara yang khusus bukan dengan
hukum acara perdata .15 Hal yang lain hukum acara perdata digunakan secara kaku,
hakim sering memposisikan diri layaknya hakim perdata di pengadilan umum yang
14
Ibid.
15
Gindo Napdapdap,”Bubarkan Pengadilan Hubungan Industrial,”
http,//kpsmedan.org./indekx. php?optin + com conyent &view=article&id…diakes tanggal 23 juli
2009.
12
Konstitusi yang intinya hakim PHI juga harus aktif untuk menemukan keadilan.
Dapat dikatakan bahwa pengadilan hubungan industrial menganut asas hakim aktif.
Kritik muncul terhadap peradilan ini bukan hanya gejala yang tumbuh di
pencari keadilan, terutama dari kelompok ekonomi jauh lebih gencar. Kalangan
mengemukakan bahwa Law Has Become a Very Big American Bussines and That
industrial, walaupun ada batasan pengaturan dibawah 150 juta tanpa biaya (pro
bono).
hubungan industrial yaitu melalui PHI, bagi pekerja/buruh tidak serta merta berarti
16
Thony Mc. Adams, 1992, Law Bussines and Society, third edition, Irwin, Boston,
hlm.195.
13
Putusan hakim untuk mempekerjakan kembali pekerja buruh sulit dilakukan karena
dengan perusahaan penyedia jasa juga terpengaruh oleh hal ini, seperti PHK yang
dialami buruh outsourcing Koperasi Tosan Jaya yang bekerja di anak perusahaan
Bakrie.18 Demikian juga pada kasus pergantian manajemen (Pasal 163 ayat (1)
UU No. 13 Tahun 2003 yaitu yang terjadi antara Ma Kemba, dkk (4 orang) melawan
PT. Multi Nabati Sulawesi. Putusan PHI Menado No. 20/G/2009/PHI.Mdo tanggal
dengan produksi dan perusahaan telah melunasi seluruh hak karyawan sesuai Pasal
163 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003. Putusan PHI Menado ini dikuatkan oleh
17
http:/www.hukumonline.com “Putusan PHI Buruh Hanya Menang di Atas Kertas,"
diakses dari pada 2 Juni 2010.
18
Putusan Mahkamah Agung No. 192 K7PHI/2007.
19
Putusan Mahkamah Agung No. 306 K/Pdt.Sus/2011.
14
kurang memberi peluang pada lembaga non litigasi sebagai lembaga penyelesaian
formal, sehingga pekerja/ buruh cenderung merasa berat untuk berperkara; (b)
Memakan waktu, dan biaya tidak sedikit sehingga cenderung merepotkan pekerja/
atau buruh; (c) Dengan mekanisme hukum acara perdata berarti menghadapkan
pekerja/ buruh pada sistim penyelesaian konflik yang cenderung mahal dan perlu
dalam kondisi lemah. Untuk membuat surat gugatan saja masih belum paham dan
Dalam hal ini Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa untuk menyebarkan format
sangat bagus, yaitu hendaknya ada justice in many rooms.21 Demikian juga
20
Satjipto Rahardjo, “Membangun Keadilan Alternatif...,” Harian Kompas, 2011, hlm. 2
21
Marc Galanter, 2010, Keadilan di Berbagai Ruangan: Lembaga Peradilan Masyarakat
Serta Hukum Rakyat , hlm.76
15
disponsori oleh negara, akan tetapi dapat juga melalui lokasi-lokasi kegiatan
primer. Lokasi kegiatan primer tersebut dapat berwujud pranata seperti: rumah,
hubungan industrial secara litigasi melalui lembaga PHI belum mampu merangkul
pengadilan kurang tanggap dan tidak responsip atau unresponsive dalam bentuk
perilaku. Kritik ini didasarkan atas alasan bahwa pengadilan dalam memberikan
kesempatan serta keleluasaan pelayanan hanya kepada lembaga besar dan orang
PHI tidak menyelesaikan masalah, dan tidak mampu memberi kedamaian dan
bisa dijalankan atau sulit dilaksanakan karena PHI tidak mempuanyai kekuatan
memaksa untuk dilaksanakan. Hal ini antara lain mungkin disebabkan oleh berbagai
22
Satjipto Rahardjo, loc. cit.
16
a. Salah satu pihak pasti menang dan pihak lain pasti kalah (win-lose).
c. Putusan pengadilan sering tidak memberi keadilan dan tidak bisa diprediksi
(unpredictable).
kedudukan dan keberadaannya sebagai pressure valve and the last resort dalam
ungkapan yang melekat pada PHI tersebut, masih pantaskah mempertahankan PHI
sebagai the last resort penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan sengketa
Memperhatikan dari uraian diatas maka penulis tertarik untuk mengkaji dan
Perumusan Masalah
peradilan di Indonesia?
memberikan keadilan ?
Tujuan Penelitian
Sejalan dengan permasalahan maka tujuan penelitian adalah:
Indonesia.
yang tepat.
Manfaat Penelitian
Secara umum suatu kajian ilmiah ditujukan untuk memberi kemanfaatan
atau kegunaan sebagai hasil akhir dari kajian itu sendiri. Manfaat atau kegunaan
yang diperoleh dari hasil kajian tersebut mencakup manfaat teoretis dan manfaat
praktis:
a. Manfaat Teoretis
18
Manfaat teoretis akan terwujud, jika tujuan penelitian disertasi ini dapat
yang menjadi basis kajian. Secara teoretis temuan penelitian ini dapat
politik hukumnya .
b. Manfaat Praktis
ini dapat berguna sebagai bahan kajian dan masukan dalam pembinaan
19
berselisih.
Keaslian Penelitian
Keaslian penelitian berisi uraian yang menggambarkan perkembangan dari
penelitian-penelitian terdahulu untuk topik serupa atau yang terdapat relasi dengan
meneliti latar belakang lahir dan keberadaan PHI, utamanya dari segi politik hukum
argumen dibentuknya PHI melalui latar belakang dilihat dari risalah landasan
juga memberikan alasan PHI bukan sebagai pilihan yang tepat dalam penyelesaian
Hal lain yang dicari dengan penelitian ini adalah mengetahui PHI belum
industrial maka nilai-nilai sila dalam Pancasila senantiasa menjadi pedoman dalam
hubungan pekerja/buruh dengan pengusaha baik hak dan kewajiban maupun dalam
hal terjadi perselisihan antara kedua belah pihak. Disisi lain selama ini PHI
kepastian hukum, oleh karena itu masihkah PHI dapat sebagai pilihan/ alternatif
rujukan bagi para pekerja dalam mencari keadilan dalam hal ini putusan yang
hasil penelitian bahwa Pengusaha dan tenaga kerja memilih mediasi sebagai
Penelitian tersebut lebih mengkaji secara sosiologis konflik sosial antara pelaku
23
Surya Perdana, op. cit., hlm. 351
22
buruh serta dinamika kehidupan buruh dan strateginya dalam menghadapi hidup.
Indonesia.24
24
Susetiawan, 2000, Konflik Sosial, Kajian Sosiologis Hubungan Buruh, Perusahaan dan
Negara, Disertasi Program Pascasarjana FISIP Universitas Gadjah Mada , Yogyakarta, hlm. 301
23
yaitu melalui pengadilan khusus di dalam PHI dan diluar pengadilan melalui
Komersial untuk Penegakan Keadilan dan fokus kajian Forum Arbitrase dipilih
untuk penyelesaian sengketa komersil bagi kalangan atas dan para pihak akan
hubungan antara pelaku barang dan jasa yang terdiri dari unsur pengusaha,
25
Wijayanto Setiawan, 2006, Pengadilan Perburuhan di Indonesia, Disertasi Program
Doktor pada Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, hlm. 250-251
26
Erman Suparman, 2004, Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial untuk
Penegakan Keadilan, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, 2004, hlm. 279.
24
dengan berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, dan kedudukan PHI
litigasi dan secara litigasi melalui Pengadilan Hubungan Industrial yang tidak
yang ideal, yakni konstruksi yang dibentuk berdasarkan proses dialogis antara
kapitalis.28
maupun non litigasi, penulis melihat kajiannya berbeda dengan kajian peneliti ini,
27
I Made Udiana, 2013, Kedudukan dan Kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial,
Disertasi Program Doktor, Universitas Airlangga, Surabaya, hlm. 328.
28
Mashari , 2013, Rekonstruksi Model Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Berbasis Nilai Keadilan Sosial, Disertasi Pada Program Doktor, UNDIP, Semarang, hlm. 428-430.
25
yang memfokuskan pada keberadaan PHI dilihat dari latar belakang politik hukum
memenuhi kaedah keaslian penelitian sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur,
rasional dan obyektif serta terbuka, yang semua ini merupakan implikasi etika dari
penelitian ini. Penelitian melihat terhadap eksistensi PHI dan prespektif lembaga
mendatang .
Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka adalah menguraikan secara sistematis mengenai asas-asas
terdahulu yang terkait dengan materi penelitian yang diuraikan secara sistematis
sehingga membentuk pola pikir tertentu yang mengarah terbentuknya teori baru.
penelitian ini serta memberikan pegangan pada proses penelitian, maka sebelumnya
penulis menjelaskan terlebih dahulu definisi operasional dari berbagai istilah yang
1. Definisi Operasional
26
a. Eksistensi
adalah :
“suatu proses yang dinamis, suatu, menjadi atau mengada. Ini sesuai dengan asal
kata eksistensi itu sendiri, yakni exsistere, yang artinya keluar dari, melampaui
atau mengatasi. Jadi eksistensi tidak bersifat kaku dan terhenti, melainkan lentur
atau kenyal dan mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran,
tergantung pada kemampuan dalam mengaktualisasikan potensi-potensinya”.29
Menurut Nadia Juli Indrani, eksistensi dapat dikenal juga dengan satu kata
yaitu keberadaan. Dimana keberadaan yang dimaksud adalah adanya pengaruh atas
ada atau tidak adanya kita. Seperti istilah “ hukuman” merupakan istilah umum dan
konvensional yang mempunyai arti yang luas dan dapat berubah-ubah karena
istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak
hanya sering digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari
Eksistensi dalam tulisan ini juga memiliki arti yang berbeda, eksistensi
29
Abidin Zainal, www.word .com, Press.com. diakses 12 Juni 2014
30
Nadia Yuli Indriani, www.wordpress.com, diakses 15 Juni 2014.
27
ialah rekonstruksi dunia pengalaman batin.15 Jean Paul Sartre sebagai seorang
kita”, kita memiliki pilihan bagaimana kita ingin menjalani hidup kita dan
membentuk serta menentukan siapa diri kita. Esensi manusia adalah kebebasan
manusia. Di mana hal yang ada pada tiap diri manusia membedakan kita dari
apapun yang ada di alam semesta ini. Kita sebagai manusia masing-masing telah
memiliki “modal” yang beraneka ragam, namun tetap memiliki kesamaan tugas
manusia kongkrit. Kata eksistensi berasal dari bahasa latin ex-sistere ( ex berarti
keluar dan tere berarti berdiri, tampil ) kata eksistensi diartikan manusia berdiri
sendiri dengan keluar dari dirinya. Dalam pengertian inilah eksistensi mengandung
untuk menunjukkan cara benda yang unik dan khas dari manusia yang berbeda
dengan benda-benda lainnya, karena hanya manusialah yang dapat berada dalam
arti yang sebenarnya di banding mahluk-mahluk atau benda-benda lain di dunia ini
dan lebih spesifik lagi eksistensi lebih merujuk atau menunjuk pada manusia
secara individual artinya “individu yang ini” atau “individu yang itu” dan bersifat
secara umum.
Eksistensi bukanlah suatu yang sudah selesai, tapi suatu proses terus menerus
melalui tiga tahap, yaitu : dari tahap eksistensi estetis kemudian ke tahap etis, dan
28
akhir. Menurut Sukamto Satoto sampai saat kini tidak ada satupun tulisan ilmiah
bidang hukum, baik berupa buku, disertasi maupun karya ilmiah lainnya yang
dihubungkan dengan kedudukan dan fungsi hukum atau fungsi suatu lembaga
pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan
yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 25.
Memperhatikan hal tersebut maka dalam salah satu lingkungan peradilan dapat
31
Ibid.
32
Pasal 1 angka 17 UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial
29
tersebut dikenal dengan Peradilan Anak (UU Nomor 3 Tahun 1997), Pengadilan
Niaga dalam hal ini pengadilan niaga Jakarta Pusat (UU Nomor 4 Tahun 1998 jo.
UU Nomor 37 Tahun 2004), Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Nomor 26 Tahun
2000), Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor 30 Tahun 2002), Pengadilan
Hubungan Industrial (UU Nomor 2 Tahun 2004) dan Pengadilan Perikanan (UU
Menurut Bagir Manan pengertian pengadilan khusus ini bukan hanya dari
objek perkara, tetapi juga dari segi susunan majelis hakim yang terdiri hakim biasa
(karir) dan hakim Ad Hoc (ahli), beracara khusus seperti tidak adanya upaya hukum
merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkup Pengadilan Negeri. PHI
33
Website Tempo Interaktif, http://www.tempoiteractive.com, diakses 7 April 2011.
30
normatif yaitu perselisihan terhadap hal-hal yang sudah ada pengaturan atau dasar
dan atau adanya perbedaan penilaian /penghargaan atas satu fakta hukum.38
kesepakatan yang telah dibuat oleh para pihak termasuk di dalamnya hal-hal yang
berlaku. Menurut Imam Soepomo, perselisihan hak ini terjadi karena tidak adanya
34
Pasal 1 angka 1 UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial, bandingkan dengan Pasal 1 angka 22 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentag
Ketenagakerjaan.
35
Susanti Adi Nugroho, 2007, Naskah Akademis Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial, MARI, hlm. 20
36
Pasal 1 angka 1 UU Nomor 2 Tahun 2004
37
Sehat Damanik, 2006, Hukum Acara Perburuhan Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial Menurut UU Nomor 2 Tahun 2004, DSS Publising, Jakarta, hlm. 21
38
Susanti Adi Nugroho, 2007, op. cit., hlm. 21.
31
kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau
negosiations". 44
39
Imam Soepomo, 1995, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, hlm. 97.
40
H.P. Rajagukguk, 2002, Peran Serta Pekerja Dalam Pengelolaan (Co Determination).
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm. 74.
41
Pasal 1 angka 34 UU Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial.
42
Susanti Adi Nugroho, loc. cit.
43
Imam Soepomo, loc. cit.
44
Mumuddi Khan, 1989, Labour Administration Profile on the Philippines, ILO Asia &
Pasific Regional Center for Labour Administration, Bangkok, hlm. 2
32
yang dilakukan oleh salah satu pihak.45 Pada dasarnya perselisihan ini terjadi karena
adanya pertentangan pendapat atas dua hal yaitu tentang sah atau tidaknya
mempunyai hubungan timbal balik. Jika PHK yang telah dilakukan oleh pengusaha
jelas dan kuat dasar hukumnya maka hal ini bahwa beban pengusaha untuk
menyediakan pesangon sedikit, bahkan mungkin tidak ada PHK, sebaliknya , bila
maka ini berarti pengusaha harus menyiapkan pesangon yang cukup tinggi kepada
terjadinya PHK sering kali tidak dapat dihindari. Hubungan antara pekerja dengan
pengusaha didasarkan atas kesepakatan untuk mengikat diri dalam suatu hubungan
kerja, jika salah satu tidak menghendaki lagi untuk terikat maka sulit untuk
antara serikat pekerja/buruh dengan serikat pekerja/buruh lainnya hanya dalam satu
45
Pasal 1 angka 4 UU Nomor 2 Tahun 2004.
46
Pasal 1 angka 5 UU Nomor 2 Tahun 2004
33
dengan produktivitas setinggi mungkin dengan biaya produksi rendah. Hal ini
barang dan jasa terpenuhi, pekerja puas dengan upah minimumnya, pengusaha
antara pekerja dengan pengusaha dapat terjadi karena didahului oleh pelanggaran
47
Perselisihan antara Serikat Pekerja/Serikat Buruh sebenarnya bukan perselisihan
hubungan industrial karena pada dasarnya perselisihan hubungan industrial adalah pertentangan
antara pengusaha atau gabungan pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/ serikat buruh
bukan antar serikat pekerja/serikat buruh. Lihat juga dalam buku Dasar-Dasar Hukum
Ketenagakerjaan Indonesia Cetakan I, Edisi Ketiga, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hlm.
152.
48
Wirawan, 2010, Konflik dan Manajemen Konflik, Teori, Aplikasi, dan Penelitian,
Salemba Humanika, Jakarta, hlm. 224.
34
hukum dan juga dapat terjadi karena bukan pelanggaran hukum. Perselisihan
karena :
pendidikan, masa kerja yang sama tetapi karena perbedaan jenis kelamin lalu
diperlakukan berbeda.49
tanpa didahului suatu pelanggaran hukum yang tidak dapat didamaikan antara
perburuhan. Hal ini tercermin dalam tindakan pengusaha atau pekerja yang
49
Aloysius Uwiyono, 2001, Hak Mogok di Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta,
hlm. 215.
35
telah melakukan kerja lembur tidak dibayar upah lemburnya oleh pengusaha.
dalam tindakan pengusaha yang bersifat diskriminatif, karena gender, suku ,ras
50
Charles D. Drake, 1981, Labor Law, 3th. ed., Sweet & Maxwell Ltd., London, hlm.
240.
51
T. Hanami dan R. Blanpain, 1987, Introduction, Remarks and A Comparative
Overview, T. Hanami, ed., dalam Industrial Conflict Resolution in Market Economies: A Study
of Canada, Great Briiain and Sweden Kluwer Law and Taxation Publishers, Deventer /
Netherlands, hlm. 6. Lihat juga Xavier Blanc-Jouvan, 1971, The Settlement of Labor Disputes
in France, Benjamin Aaron, ed., Labor Courts and Grievance Sculementin Western Europe,
University Of California Press, Berkeley Los Angeles, hlm. 8-9.
52
Dennis R. Nolan,1990, Regulation of Industrial Disputes in Australia, New Zeland,
and The United States", Whittier Law Review II ,Winter, hlm. 761.
36
hukumnya belum ada karena dalam perselisihan kepentingan ini, para pihak
d. Sistem Peradilan
Sistem peradilan adalah satu keseluruhan komponen peradilan pihak-pihak dalam proses
yang bersifat prosedural yang berkaitan sedemikian sehingga terwujud satu keadilan hukum.
sejumlah unsur yang saling terkait untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam
pandangan Muladi pengertian sistem harus dilihat dalam konteks, baik sebagai
physical system dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk
mencapai suatu tujuan dan sebagai abstract system dalam arti gagasan-gagasan
yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain saling ketergantungan.
Dan apabila dikaji dari etimologis, maka ”sistem” mengandung arti terhimpun
membebaskan seseorang dari suatu tuduhan. Tujuan akhir dari peradilan ini tidak
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Melalui Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dapat disimpulkan bahwa
dan badan peradilan yang berada di bawahnya, yang kemudian akan diatur dalam
pada saat ini adalah UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
Tahun 2009 adalah dimaksudkan untuk melakukan penataan sistem peradilan yang
terpadu agar mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan peradilan yang
dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 28 UU Nomor 48 Tahun 2009. Sesuai Pasal
24 UUD N RI 1945 jo. Pasal 18 dan Pasal 25 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009,
agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Keempat lingkungan
peradilan ini memiliki kompetensi yang berbeda dalam memeriksa, mengadili dan
memutus perkara. Pasal 25 ayat (2) sampai dengan ayat (5) UU Nomor 48 Tahun
Tahun 2009. Mengenai jenjang dan proses dalam sistem peradilan di Indonesia,
(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan
dalam undang-undang.
hakim pada tingkatan sebelumnya dan memenuhi rasa keadilan. Jenjang pengadilan
banding, dan Mahkamah Agung. Badan peradilan lain yang terdapat dalam sistem
peradilan di Indonesia adalah Mahkamah Konstitusi, yang menurut Pasal 24C UUD
1945 jo. Pasal 29 UU Nomor 48 Tahun 2009 berwenang mengadili pada tingkat
39
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk hal: menguji undang-
politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan kewenangan lain
Konstitusi yang berlaku pada saat ini adalah UU Nomor 24 Tahun 2003
tidak hanya pada proses penyusunan dan penetapan berbagai peraturan perundang-
menjawab “apa” yang menurut Aristoteles merupakan the first philoshophy dan
merupakan ilmu mengenai esensi benda, istilah dari kata Yunani “on” = “being”
dan “logo” =”logic” sehingga ontologi adalah The theory of qua being atau teori
hakikat “ada”, yakni ada umum, ada mutlak, ada terbatas dan ada khusus.
53
A. Mukti Fajar, 2007, Diktat Filsafat Ilmu Pengetahuan, Fak. Hukum UNIBRAW,
Malang, hlm. 23.
40
pengetahuan Tuhan, nilai-nilai dalam kehidupan (budaya dan peradaban) dan nilai-
nilai ke Tuhanan dan keagamaan54, terkait dengan mengkaji apa yang menjadi latar
Hubungan Industrial.
Hubungan Industrial.
atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Menurut Pieter M.
Marzuki bahwa peraturan yang dibentuk oleh lembaga negara yang berwenang
dibentuk oleh pejabat negara yang berwenang yang dimaksudkan adalah regulasi.
sebagai berikut:
54
Poejawitna, 1983, Pembimbing Kearah Filsafat, Bina Aksara, Jakarta, hlm. 11-19
41
3. Peraturan pemerintah.
4. Peraturan Presiden.
5. Peraturan Daerah.
hukum dalam hal ini diperlukan sebagai pembentukan aturan hukum sekaligus
sebagai dasar dalam memecahkan persoalan hukum yang timbul manakala aturan
keadilan sosial yang mencerminkan kesejahteraan manusia baik lahir maupun batin
bagi rakyat Indonesia dan bertujuan untuk menegakkan keadilan yang merupakan
merupakan salah satu tujuan hukum di samping kebenaran. Keadilan pada lembaga
PHI dapat terwujud, apabila perselisihan tersebut diselesaikan oleh hakim yang
55
Y. Sogar Simamora,2005, Prinsip Hukum Kontrak Dalam Pengadaan Barang dan Jasa
oleh Pemerintah , Disertasi Program Doktor, Unair, Surabaya, hlm. 22-23
42
persoalan ini perlu dicarikan solusinya dengan membangun hubungan industrial yang
sehingga segala daya upaya akan dilakukan oleh pekerja untuk meningkatkan kemajuan
perusahaan dalam meraih untung sebesar-besarnya. Rasa memiliki dan rasa tanggung
jawab terhadap perusahaan dari kaum pekerja akan semakin besar, karena pekerja
merupakan salah satu pihak pemilik perusahaan sebagai tempat mereka bekerja57
13 Tahun 2003 ditentukan sarana hubungan industrial, yaitu yang terdiri dari:
56
Abdul Khakim,2010, Aspek Hukum Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
(antara Peraturan dan Pelaksanaan), PT. Cipta Aditya Bakti, Bandung, hlm. 5.
57
Mashari, op. cit., , hlm 315.
43
adalah prinsip “harmoni” serta eliminasi terhadap konflik. Kedua nilai tersebut
sisi dan para pekerja di sisi lain. Bagi para manajer dan pengusaha harmoni
dianggap “ deviasi patologis” dari sebuah tipe ideal hubungan industrial yang
penyelesaian perselisihan secara cepat, tepat adil dan murah. Namun dewasa ini
cara penyelesaian melalui peradilan mendapatkan kritik yang cukup tajam baik
praktisi maupun teoritis hukum. Dalam hal ini S. Susanto meyatakan bahwa
58
Ari Hernawan, op. cit., hlm.40
44
metodologi yang ketat, oleh sebab itu keadilan yang diperoleh masyarakat modern
tidak lain adalah keadilan birokrasi.59 Alternatif penyelesaian sengketa bisnis yang
pihak yang mana yang salah dan mana yang benar, sedangkan putusan penyelesaian
59
S. Susanto, “ Lembaga Peradilan dan Demokrasi”, Makalah pada seminar Nasional
tentang Pendayagunaan Sosiologi Hukum Dalam Masa Pembangunan Dan restrukturisasi Global,
FH UNDIP, 5 Pebruari 1996
60
Nevey Varida Ariani, ”Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis di luar Pengadilan
(Non Litigation Alternatives Busines Dispute Resolution),” Jurnal Rechtsvinding, Jakarta, Vol. 1
Nomor 2, 2012, hlm. 277-294
61
Erman Rajaguguk, 2001, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Chandra Pratama,
Jakarta, hlm. 30
45
kelangsungan hubungan antara pengusaha dan buruh yang sempat terganggu oleh
perselsihan alternatif yang menekankan pada “win-win solutions”, bukan “ win lose
semua pihak diperhitungkan dan satu keseimbangan antara mereka dicapai. Hal
pengusaha.63 Dalam hal ini Andari Yurikosari juga mengatakan bahwa untuk lebih
menjamin terciptanya rasa keadilan bagi pihak yang beperkara, menurut UU Nomor
mencari musyawarah mufakat di luar pengadilan. Ada empat cara yang dapat
62
Ari Hernawan, op. cit., hlm. 35
63
Ibid., hlm. 41
64
Jamal Wiwoho, “Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Indonesia”, Jurnal
Hukum Bisnis , Vol. 32 Nomor 2, 2013, hlm. 141-150.
46
Landasan Teori
Landasan teori dalam penelitian digunakan sebagai pisau analisis. Menurut
Radburch tugas dari teori hukum adalah membikin jelas nilai-nilai oleh postulat-
postulat hukum sampai kepada dasar-dasar filsafat yang paling dalam. Dalam
penelitian ini akan digunakan Teori negara kesejahteraan, Teori Keadilan dari John
suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi
barang dan / jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja buruh dan pemerintah
yang didasarkan pada nilai - nilai Pancasila dan UUD 1945. Dari definisi hubungan
hubungan pekerja/buruh dan pengusaha. Negara (dalam hal ini diwakili oleh
digunakan teori Keadilan dari John Rawls dan Teori Keadilan Pancasila karena
kedua teori tersebut menurut penulis paling tepat dalam mekanisme penyelesaian
Akan tetapi, kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau
menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan.
kesepakatan yang fair hanya bisa dicapai dengan adanya prosedur yang tidak
keadilan bisa dianggap fair. Karenanya, bagi Rawls, keadilan sebagai fairness
adalah “keadilan prosedural murni”. Dalam hal ini, apa yang dibutuhkan oleh
mereka yang terlibat dalam proses perumusan konsep keadilan hanyalah suatu
prosedur yang fair (tidak memihak) untuk menjamin hasil akhir yang adil pula.
Rawls menegaskan pentingnya semua pihak, yang terlibat dalam proses pemilihan
65
Ibid., hlm. 139-140.
48
prinsip-prinsip keadilan, berada dalam suatu kondisi awal yang disebutnya “posisi
asali” (the original position). Di sini, posisi asali merupakan suatu tuntutan agar
keadilan dalam arti fairness bisa didapatkan. Posisi asali ini juga berfungsi sebagai
capitalism). Dengan sistem ini, negara bertugas melindungi golongan lemah dalam
Finlandia dan Eslandia merupakan negara yang telah lama menganut faham rezim
kaum petani yang relatif kuat pada masa pra-industri, sehingga kelas petani mampu
terhadap kelas pekerja urban, tetapi juga kepentingan kelas petani pedesaan. Hal
Menurut Teori Utilitarianisme dari Jeremy Bentham apa yang cocok digunakan,
49
atau cocok untuk kepentingan individu adalah apa yang cenderung untuk
merupakan anggota masyarakat itu. Hal inilah yang mesti menjadi titik total dalam
menata hidup manusia, termasuk hukum66. Hukum sebagai tatanan hidup bersama
negara.
66
C.J. Friedrich, op. cit., hlm. 46
67
Faham negara mengalami perkembangan dari Political state menjadi Legal State dan
akhirnya Welfare State. Ketiga faham tersebut semuanya memantaatkan kekuasaan yang dimiliki
negara sebegai penentu kehendak terhadap aktifitas rakyat yang dikuasainya. Kekuasaan negara
pada Political state dipegang oleh scorang Monarch yang absolute. Pada Legal state kekuasaan
negara berada secara mutlak di tangan rakyat dalam pemerintahan liberal yang menguntungkan
kaum borjuis. Negara Welfare state muncul sebagai jawaban atas ketimpangan, sosial yang terjadi
dalam sistem ekonomi liberal. Negara memiliki freies ermessen, yaitu kebebasan untuk turut serta
dalam seluruh kegiatan sosial, politik dan ekonomi dengan tujuan akhir menciptakan kesejahteraan
umum (bestuurszorg). Lihat Mahfud dan Marbun, 1987, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara,
Liberty. Jakarta, hlm. 42.
68
Demokratis, karena dalam negara kesejahteraan tidak ada monopoli negara melainkan
justru ada jaminan kemerdekaan serta menghargai inisiatif swasta. Kerjasama antara negara dan
masyarakat menjadi kunci keberhasilan tujuan negara kesejahteraan. Lihat T. Sumargono. 1991,
Sistem Intervensi Kesejahteraan Sosial, PT Hanindita, Yogyakarta, hlm. 67. Bandingkan dengan
kerjasama negara dan masyarakat dalam Riant Nugroho Dwidjowoto,2004, Komuniasi
50
minimal, bahwa pemerintah harus mengatur pembagian kekayaan negara agar tidak
ada rakyat yang kelaparan, dan tidak ada rakyat yang masuk rumah sakit jiwa
mengandung asas kebebasan (liberty), asas kesetaraan hak (equality) maupun asas
Fungsi Negara dalam bidang ekonomi, antara lain: (a) negara sebagai
tertentu melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan (d) negara sebagai wasit
(umpire) untuk merumuskan standar yang adil mengenai sektor ekonomi termasuk
negara boleh campur tangan dalam bidang perekonomian. Berbeda dengan negara
sebaiknya tidak ikut campur dalam bidang perekonomian. Doktrinnya Laissez Faire
(Leave it alone), yakni ajaran yang menyatakan bahwa kesejahteraan rakyat dapat
dan pada kesetaraan hak (equality). Penganut paham ini menganggap bahwa dalam
suatu negara yang demokratis, setiap individu harus bebas dari pengaruh
kebebasan individu" (The less governmental power, the more individual liberty).
Menurut penganut paham ini, pemerintah tidak boleh ikut campur tangan untuk
menentukan upah minimum dan mengatur kesehatan para pekerja, Penganut paham
ini masalah-masalah sosial lainnya. Tokoh ekonom yang dianut adalah Thomas
bahwa gaji, harga barang, sewa dan keuntungan itu tergantung pada hukum
ekonomi yang tidak dapat dikontrol oleh manusia. Campur tangan pemerintah atau
Menurut kaum kapitalis/liberalis ini pada akhir Perang Dunia Pertama mulai
berubah. Mereka tidak lagi menganggap pemerintah sebagai musuhnya karena ada
72
R.M.A.B. Kusuma, op. cit., hlm. 161.
52
musuh baru yang harus dihadapi, yaitu perusahaan besar yang menindas saingannya
dan adanya serikat pekerja yang makin kuat dan menggunakan senjata "hak mogok"
dengan semaunya. Mereka meminta agar pemerintah ikut campur tangan mengatur
Serikat Franklin Delino Roosevelt tahun 1930-an yang didasarkan pokok pikiran
state menup Regulatory State yang mengandung unsur Welfare State. Roosevelt
negara terjadi seiring dengan ideologi dominan yang dianut oleh masyarakat
berhadapan dengan ideologi negara. Globalisasi yang telah dimulai pada abad ke-
imperialisme.
beberapa kali UUD Indonesia mengalami perubahan (Kontitusi RIS (1949) UUD
Sementara (1950) dan kembali ke UUD 1945 (1959) hingga hasil amandemen UUD
73
Roosevelt merumuskan New Deal sebagai suatu program yang mereformasi akeuangan
dan perbankan dan membuat banyak program untuk membantu para penmelaksanakan jaminan
sosial yang meliputi bantuan untuk para penganggur, jaminan untukusia lanjut, orang cacat dan
sebagainya. Di dalamnya termasuk program Agricultural A. Administration Act (AAA) untuk
memberikan subsidi kepada petani dan pembentukan ;'industrial Recovery Act (NIRA) untuk
menstabilkan industri. Pada waktu itu juga dibentukEmergency Relief Administration yang dapat
memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) orang miskin.
53
1945 tahun 2004) seiring dengan perkembangan demokrasi dan perubahan bentuk
negara, namun secara historis konstitusional dapat dibuktikan bahwa negara hukum
ciri khas dari negara kesejahteraan tercermin pada Penjelasan UUD 1945 Pasal 33
bulat. Indonesia sebagai negara yang menganut paham negara kesejahteraan, maka
negara dapat menggunakan hukum sebagai salah satu sarana untuk mengatur dan
hukum nasional yang akan dipakai untuk mendukung pemenuhan tanggung jawab
74
Jimly Assiddiqie memerinci karaktristik negara hukum dengan menyebut 12
ciri.Karakteristik tersebut yaitu: (1) Supremasi hukum (Supremacy of Law); (2) Persamaan
dalamHukum (Equality before the Law); (3) Azas legalitas (Due Process of Law): (4)
Pembatasankekuasaan; (5) Organ-organ Eksekutif Independen: (6) Peradilan Bebas dan Tidak
Memihak(7) Adanya Peradilan 1 ata Usaha Negara: (8) Peradilan Tata Negara (Constitutional
Court): (9) Perlindungan Hak Asasi Manusia; (10) Bersifat Demokratis (Democratische
Rechtsstaat)-, (11) Berfungsi Sebagai Sarana Untuk Mewujudkan Tujuan Negera (Welfare
Rechtsstaat) dan (12)Transparansi dan Kontrol Sosial. Lihat, Jimly Asshiddigie, 2006, Konstitusi
dan Konstitusionalisme Indonesia. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, Jakarta, hlm. 151-161.
54
pernyataan yang disebutkan dalam pasal-pasal beberapa UUD yang pernah berlaku
dan pandangan para penyelenggara negara sebelum Orde Baru menunjukkan bahwa
Sehubungan engan penggunaan tenaga kerja pada satu sisi investor semakin
1) Upah buruh akan semakin ditekan, karena perusahaan harus menekan biaya,
buruh akan semakin diperas;
2) Menurunnya ekonomi pedesaan karena kekalahan bersaing dengan produk
pertanian internasional;
3) Meningkatnya urbanisasi ke kota;
4) Meningkatnya sektor informal yang tidak dilindungi oleh undang-undang;
5) Lingkungan akan lebih terancam, karena perdagangan meningkatkan
permintaan yang akan meningkatkan eksploitasi sumberdaya alam. 76
75
Hasil studi ILO secara konsisten mengajukan argumentasi bahwa pemerintah perlu|
memasukkan penggunaan metode produksi berbasis-tenaga kerja ketimbang metode
produksi'berbasis-peralatan' dalam kebijakan investasi publik. Selain itu kebijakan untuk
menciptakan lapangan kerja yang produktif dan langgeng merupakan salah satu pilar Agenda
Pekerjaan yang Layak (Decent Work Agenda/DWA) yang diciptakan oleh Organisasi Perburuhan
Internasional.
76
Arimbi HP dan Emmy Hafild, Membumikan Mandat Pasal 33 UUD 1945, Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia, dalam http://vvwvv.pacific.net.id/-dede_s/Membumikan.htm., diakses
tanggal 16 Januari 2014.
55
Sementara menurut Aloysius Uwiyono jika dalam ekonomi pasar bebas kebijakan
yang akan menghambat pasar bebas. Hal ini disebabkan kebijaksanaan tersebut
pasar demikian ini mendorong otonomi untuk berunding secara kolektif78 baik
kepada kaum buruh maupun kepada para pengusaha. Kebebasan yang dimiliki
buruh maupun pengusaha untuk merundingkan tingkat upah, syarat-syarat kerja dan
posisi pengusaha lebih kuat daripada pekerja/buruh yang lemah atau subordinasi,
Teori ini berkaitan dengan tanggung jawab negara sebagai regulator untuk
77
Aloysius Uwiyono, “Implikasi Hukum Pasar Bebas Dalam Kerangka AFTA Terhadap
Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia ,” Jurnal Hukum Bisnis, Vol.22 Jan-Peb, Yayasan
Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 2003, hlm. 13-28
78
Berunding kolektif sebagai hak merupakan bagian dari tiga dimensi konsep yang meliputi
hak berorganisasi (right to organize), hak berunding (rights to bargain), serta hak mogok (rights to
strike), diambil dari pendapat Werner Sengenberger dan Duncan Cambell, ed.,1994, International
Labour Standarts and Economic Interdependence, International Institute for Labour Studies,Geneva,
1994. hlm. 246
79
Ibid.
56
meningkatkan harkat, martabat dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan
kesejahteraan pekerja/buruh.
Suatu negara dapat dinyatakan sebagai negara hukum apabila negara tersebut
hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Negara hukum menempatkan hukum
adanya asas legalitas berpemerintahan: (4) adanya prinsip peradilan yang bebas dan
tidak memihak.81
sebenarnya kita masih beda dalam pencarian , konsep negara hukum seperti apa
yang cocok untuk Indonesia itu. Dengan kata lain, konsep negara hukum Indonesia
itu belum jelas , karena masih berada dalam proses pencarian.82 Dalam proses
80
Ridwan HR. 2005, Hukum Administrasi Negara, UII Press,Yogyakarta, hlm.17
81
Ibid., hlm. 4.
82
Sudjito, 2013, Hukum Dalam Pelangi Kehidupan, edisi revisi, TUGUJOGJA Pustaka,
Yogyakarta, hlm. 46-47.
57
politik yang terbelah dua dan bergerak dalam jalannya masing-masing. Hal ini jika
dihubungkan dengan UUD 1945, maka pada periode pemerintahan tertentu terlihat
Secara historis dan kebutuhan akan tugas-tugas negara yang lebih luas,
berawal dari konsep negara hukum formal kemudian berganti menjadi konsep
negara hukum modern atau negara kesejahteraan (walfare state) yang lazim disebut
sebagai negara hukum material. Perkembangan ini tidak lepas dari berkembangmya
pola kehidupan sehari-hari warganegara yang tidak bisa lepas dari pola atau
kegiatan yang dilakukan negara (pemerintah), sehingga tugas dan fungsi negara
tidak hanya sebatas sebagai pencipta hukum dan penjaga keamanan dan ketertiban
Ada yang mempersepsikan dari spektrum ekonomi (seperti Nicholas Bar),85 politik
83
Tavip, “Dinamika Konsep Negara Hukum Kesejahteraan Indonesia Dalam UUD 1945,”
Jurnal Tapi, Vol 14 Nomor 2, 2011, hlm. 20
84
Ibid., hlm. 14-15.
85
Bar,1998, The Economics Of the Welfare State, Oxford. hlm. 777
86
A Briggs,” The Welfare State in Historical Perspective,” European Journal of Sociology,
Eropa, 1961, hlm.57-70.
58
membentuk wujud dasar untuk mengenal konsep negara kesejahteraan, yaitu suatu
terhadap persamaan sosial dan keadilan dengan mengacu pada tiga prinsip berikut
ini:
2. Distribusi kekayaan dan kesempatan bagi semuanya secara adil dan merata; dan
3. Promosi terhadap kesejahteraan sosial dan sistem jaminan bagi yang kurang
kerja yang cukup, stabilitas harga, pembangunan dan ekspansi sistem jaminan
sosial serta peningkatan kondisi kerja, distribusi modal dan kesejahteraan yang
seluas mungkin, dan promosi terhadap kepentingan dan kelompok sosial dan
87
Memahami bahwa konsep negara kesejahteraan seperti itu, maka karakter hukum pada
negara kesejahteraan seharusnya adalah responsif (demokratis). Konsep hukum responsif
dikemukakan oleh Nonet dan Zelsnick.
59
rakyat. Menurut Teori Utilitarianisme dari Jeremy Bentham apa yang cocok
digunakan, atau cocok untuk kepentingan individu adalah apa yang cenderung
merupakan anggota masyarakat itu. Hal inilah yang mesti menjadi titik total dalam
menata hidup manusia, termasuk hukum88. Hukum sebagai tatanan hidup bersama
negara.
instrumen politik bagi pemerintah ataupun elit penguasa. Hal ini dapat dijelaskan
sebagai rangkaian yang tak dapat dipisah antara politik, hukum dan kekuasaan.
perundangan.89 Selama ini diakui bahwa pengaruh kekuatan politik yang dominan
yang akan menentukan karakter hukum yang terbentuk, sehingga warna hukum
88
C.J. Friedrich, op. cit., hlm. 46
89
Keterkaitan hukum, politik dan kekuasaan dapat dibaca dalam Iskandar Siahaan, 1984,
Politik Dalam Perspektif Hukum, Ind Hill Co., Jakarta, hlm 14.
90
60
Achmad Ali berangkat dari hubungan antara politik dan hukum serta negara
hal yang universal. Terkait dengan fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial, maka
Implikasi yang dapat dijadikan ukuran terhadap konsep politik hukum dalam
satu sistem politik tertentu.92 Kebijakan negara di bidang hukum tersebut antara
lain: Pertama, kebijakan atau juga diistilahkan policy, harus lebih merupakan
tindakan yang mengarah pada tujuan daripada sebagai perilaku atau tindakan yang
serba acak dan kebetulan, melainkan tindakan yang direncanakan. Kedua, policy
pada hakikatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling berkait dan berpola yang
mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan dan
policy harus bersangkut paut dengan apa yang nyata dibutuhkan dalam
tertentu.
91
Achmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologjs),
Cet.I , Chart Pratama, Jakarta, hlm. 109.
92
Menurut David Easton, orang-orang yang terlibat tersebut antara lain para ketua
adat para ketua suku, para eksekutif, legislator, hakim, administrator, monarki dan lainnya,
sebagaimana dikutip oleh Solichin Abdul Wahab, op. cit., hlm. 15.
61
terjadi karena muatannya bukan hanya teknis ketenagakerjaan semata, tetapi juga
penuh dengan muatan sosial, ekonomi, dan politik yang juga berkaitan dengan
masalah hak asasi manusia,93 dengan kata lain, bersifat multi dimensional.94 Selain
pengaruh kepentingan politik elit penguasa, pengaruh politik ekonomi juga sangat
yang berlaku adalah hukum pasar bebas yang menghendaki peraaan pemerintah
menjadi semakin berkurang dan peranan swasta menjadi lebih besar. Hukum ini
diserahkan pada mekanisme pasar,selain itu sistem hukum Indonesia juga tidak
memberi ruang yang cukup luas untuk itu. Peran pemerintah ditantang untuk
93
Bander Johan Nasution, 2004, Hukum Ketenagakerjaan Kebebasan Berserikat bagi
Pekerja Mandar Maju, Bandung, hlm 4
94
Sebagaimana dinyatakan oleh Menakertrans Jacob Nuwa Wea, bahwa perubahan
dunia ketenagakerjaan di Indonesia saat ini bersifat multidimensional, yang berarti perubahan
itumeliputi aspek kehidupan ekonomi, sosial budaya, politik dan pemerintahan. Lihat dalam Majalah
Nakertrans Edisi 1/XXIV Pebruar.i 2004, Fenomena Baru Ketenagakerjaan,juga dapat diakses
melalui http://www.nakertrans.go.id/newsdetail.php?id=139 (akses tgl. 7 Juli 2014).
95
Aloysius Uwiyono , op. cit., hlm. 41. Globalisasi merupakan bentuk kapitalisme
global yang lahir setelah berakhirnya perang dingin di tahun 1989 dirnana banyaknya pibak yang
mengumandangkan kejayaan kapitalisme global'. Negara yang paling sukses dalam hal adalah
Amerika. Prasyarat untuk melaksanakan prinsip kapitalisme ini adalah dengan pembebasan pasar
dan peraturan pemerintah yang berlebihan, penciutan dan restrukturisasi perusahaan-perusahaan
dalam negeri.
62
Menurut Rossi dan Friedmann bahwa penilaian atas dampak adalah untuk
atau tidak. Perkiraan seperti ini tidak menghasilkan jawaban yang pasti tetapi hanya
beberapa jawaban yang mungkin masuk akal. Tujuan dasar dari penilaian dampak
adalah untuk memperkirakan "efek bersih" dari sebuah intervensi kebijakan, yaitu
perkiraan dampak intervensi yang tidak dicampuri oleh pengaruh dari proses dan
kejadian yang mungkin juga mempengaruhi perilaku atau kondisi yang menjadi
sasaran suatu program yang sedang dievaluasi itu,97 Metode yang dapat digunakan
intervensi kebijakan;
area atau kelompok dengan membandingkan dengan apa yang terjadi di area
intervensi kebijakan.
96
Stephen J. Frenkel dan David Peetz, “Globalization and Industrial Relations in Et Asia:
A Three Country Comparison” , Industrial Relations Journal, Vol. 37. No.3 July, H.
Blackwell Publisher, California.,1998, hlm 1-25
97
Rossi. P.H. and Friedmann, 1993, Evaluation: A Systemic Approach, Sage, Newbun. Cal,
2nd ed., hlm. 215.
98
Wayne Parsons, op. cit., hlm. 14.
63
6) Membandingkan apa yang sudah terjadi dengan tujuan atau sasaran tertentu dari
terpenuhi.
tidak harmonis serta dapat memengaruhi sistem perekonomian nasional yang lebih
luas.
hubungan industrial dari teori ekonomi klasik Adam Smith. The Wealth of Nation
(1776). Adam Smith mengemukakan sebuah model yang abstrak namun sistematik
mengenai alam, logika, struktur, dan kerja dari tata kapitalistik. Smith menyatakan
kebutuhan tata sosial. Smith, bahwa tangan tak nampak (invisible hand) bekerja
pekerja.
yang mendorong perilaku manusia untuk lebih terampil dan cerdik melihat peluang
jelas bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar falsatah negara Indonesia, dan
Konsep keadilan tidak menjadi monopoli pemikiran satu orang ahli saja,
banyak para pakar dari berbagai disiplin ilmu memberikan jawaban apa itu
Posner sebagian nama yang memberikan jawaban tentang konsep keadilan. Dari
beberapa nama tersebut John Rawls, menjadi salah satu ahli yang selalu menjadi
rujukan baik ilmu filsafat, hukum, ekonomi, dan politik di seluruh belahan dunia,
99
Hunt, EK. 1979, History of Economic Thought: A critical perspective, diterbitkan oleh
Adsworth Publishing Company, California, hlm. 38.
65
tidak akan melewati teori yang dikemukakan oleh John Rawls (1921-2020).
seorang filsuf Amerika kenamaan di akhir abad ke-20. John Rawls dipercaya
sebagai salah seorang yang memberi pengaruh pemikiran cukup besar terhadap
diskursus mengenai nilai-nilai keadilan hingga saat ini. John Rawls adalah seorang
pemikir yang memiliki pengaruh sangat besar di bidang filsafat politik dan filsafat
(1971), Rawls menjadikan dirinya pijakan utama bagi perdebatan filsafat politik
ekonomisnya, harus ditolak atau direvisi jika ia tidak benar, demikian juga hukum
dan institusi, tidak peduli betapapun efisien dan rapihnya, harus direformasi atau
dihapuskan jika tidak adil.100 Para pemikir setelah Rawls hanya punya dua pilihan:
Menyetujui atau tidak menyetujui Rawls. Tidak ada pilihan untuk mengabaikan
Rawls sama sekali. Hal ini menurut Daniel dikarenakan jangkauan pemikiran Rawls
yang sangat luas dan dalam, yakni upaya untuk melampaui paham utilitarianisme
yang sangat dominan di era sebelum Rawls serta merekonstruksi warisan teori
100
John Rawls, 2006, Theory of Justice (Teori Keadilan )Dasar-dasar Filsafat Politik untuk
mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam Negara, Pustaka Pelajar, Jogyakarta, hlm 3-4.
66
kontrak sosial dari Hobbes, Locke dan Kant sebagai titik tolak untuk merumuskan
pemikiran itu telah ditafsirkan ulang oleh beberapa ahli, beberapa orang tetap
menganggap sulit untuk menangkap konsep kedilan John Rawls. Maka, penulis
menjadi penting, ketika disisi lain orang mengangap sulit untuk memahami konsep
keadilan John Rawls. Apa sebenarnya yang dimaksud Rawls dalam bukunya itu
sebagai teori keadilan? Argumen-argumen apa yang Rawls pakai untuk mendukung
prinsip untuk menata masyarakat modern yang tertata secara baik berdasarkan
101
Norman, Daniel (Ed.), 1975, Reading Rawls: Critical Studies on Rawls’ A Theory of
Justice , Oxford: Basil Blackwell, hlm. 45
67
pembagian hak dan kewajiban di antara mereka? Apa yang bisa mendorong
kerja sama sosial? Tentu saja, dalam suatu tatanan sosial yang totaliter, anggota-
anggota dari masyarakatnya bisa saja secara terpaksa menerima dan mematuhi
mereka mungkin merasa takut. Akan tetapi, untuk kedua kalinya dikemukakan di
tertata baik di mana keadilan sebagai fariness menjadi dasar bagi prinsip-prinsip
belum sepenuhnya terjawab. Lantas, apa yang Rawls maksudkan dengan keadilan
sebagai fairness? Mengapa fairness itu sedemikian penting dalam rumusan keadilan
Rawls? Apa yang memungkinkan suatu keadilan sebagai fairness bisa muncul?
102
John Rawls, op. cit., hlm.4-5
68
kewajiban, yang didasarkan pada suatu konsep keadilan bagi suatu kerja sama
secara nyata, serta menanggung beban yang sama. Karenanya, agar menjamin
distribusi hak dan kewajiban yang berimbang tersebut, Rawls juga menekankan
kesepakatan yang fair adalah kunci untuk memahami rumusan keadilan Rawls.
memandang bahwa kesepakatan yang fair hanya bisa dicapai dengan adanya
prosedur yang tidak memihak. Hanya dengan suatu prosedur yang tidak memihak,
dibutuhkan oleh mereka yang terlibat dalam proses perumusan konsep keadilan
103
Ibid.
104
Andrea Ata Ujan, 2001, Keadilan Dan Demokrasi (telaah Filsafat Politik John Rawls)
Kanisius, Jogyakarta, hlm. 42.
69
hanyalah suatu prosedur yang fair (tidak memihak) untuk menjamin hasil akhir
b. Posisi Asali
Rawls sebelumnya menekankan posisi penting suatu prosedur yang fair demi
lahirnya keputusan-keputusan yang oleh setiap orang dapat diterima sebagai hal
yang adil. Adapun prosedur yang fair ini hanya bisa terpenuhi apabila terdapat iklim
distribusi yang fair atas hak dan kewajiban. Rawls menegaskan pentingnya semua
keadilan, berada dalam suatu kondisi awal yang disebutnya “posisi asali” (the
bahwa Rawls melihat posisi asali sebagai suatu prasyarat yang niscaya bagi
posisi asali sebagai suatu yang riil, melainkan merupakan sebuah kondisi awal yang
bersifat imajiner. Menurutnya, kondisi awal imajiner ini harus diandaikan dan
diterima, karena hanya dengan cara ini tercapainya keadilan sebagai prosedural
murni bisa dibayangkan. Hanya saja, kendati bersifat imajiner, bagi Rawls, posisi
105
John Rawls, op. cit., hlm 4-5
70
asali sudah merupakan syarat yang memadai untuk melahirkan sebuah konsep
keadilan yang bertujuan pada terjaminnya kepentingan semua pihak secara fair106 .
prinsip keadilan ini harus benar-benar masuk dalam situasi ideal tersebut. Hanya
saja, Rawls percaya bahwa tidak semua orang dapat masuk ke dalam posisi asali.
Hanya orang-orang tertentu yang dapat masuk ke dalam situasi hipotesis ini, yakni
mereka yang memiliki kemampuan bernalar sesuai dengan standar formal dalam
Rawls menegaskan bahwa semua pihak yang berada dalam posisi asali harus
pihak yang ada dalam posisi asali tidak memiliki pengetahuan mengenai berbagai
partikular memang menjadi syarat penting untuk menjamin fairness. Oleh karena
itu, semua pihak yang terlibat dalam proses pemilihan tersebut harus mampu
106
Ibid., hlm. 120
107
Ibid., hlm. 130-135
71
Rawls juga menggambarkan bahwa dalam posisi asali tersebut semua pihak
memperjuangkan apa yang dianggap paling baik bagi dirinya. Pada saat yang sama,
mereka juga dianggap tidak saling mengetahui apa yang dapat diperoleh pihak lain
bagi dirinya sendiri. Gambaran ini secara sekilas menunjukan karikatur orang-
orang yang justru bertolak belakang dengan semangat kerja sama yang menjadi inti
sikap saling tidak peduli di antara orang-orang yang ada dalam posisi asali tersebut
sebenarnya lebih sebagai sebuah pengandaian agar semua pihak dalam posisi asali
mampu membebaskan diri dari rasa iri terhadap apa yang mungkin didapatkan oleh
orang lain. Untuk itu, semua orang harus berkonsentrasi hanya pada apa yang
terbaik bagi dirinya sendiri. Pertanyaan yang muncul adalah: Bagaimana setiap
asali dan berada dalam keadaan “tanpa-pengetahuan” itu pada akhirnya dapat
semua pihak? Menurut Rawls, dalam situasi tersebut, maka orang-orang atau para
pihak akan memastikan bahwa prinsip keadilan yang akan dirumuskan bisa
108
Ibid., hlm. 136-142
72
menjamin distribusi “nilai-nilai primer” (primary goods) yang fair. Dalam hal ini,
keadilan. Dengan nilai-nilai primer, Rawls memaksudkan semua nilai sosial dasar
yang pasti diinginkan dan dikejar oleh semua manusia. Artinya, pelbagai manfaat
yang dilihat dan dihayati sebagai nilai-nilai sosial yang harus dimiliki oleh
dari konsep moral tentang person: setiap manusia diakui dan diperlakukan sebagai
person yang rasional, bebas, dan setara (memiliki hak yang sama). Dalam
pandangan Rawls, manusia sebagai person moral pada dasarnya memiliki dua
berdasarkan rasa keadilan dan dengan itu juga didorong untuk mengusahakan suatu
kerja sama sosial; dan 2) kemampuan untuk membentuk, merevisi, dan secara
kemampuan ini sebagai a sense of justice dan a sense of the good. Kemampuan-
moral untuk bertindak secara rasional dan otonom dalam menetapkan cara-cara dan
tujuan-tujuan yang dianggap baik bagi dirinya di satu sisi, serta bertindak
109
Ibid., hlm 88
73
percaya bahwa semua pihak akan bersikap rasional; dan sebagai person yang
rasional, semua pihak akan lebih suka memilih prinsip keadilan yang
nilai-nilai sosiai kebebasan dan kesempatan, pendapatan dan kekayaan, dan basis
harga diri harus didistribusikan secara sama. Suatu distribusi yang tidak sama atas
keadilan sebagai berikut: 1. Setiap orang harus memiliki hak yang sama atas
kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang;
beruntung, dan (b) semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang111. Dengan
demikian, untuk terjaminnya efektivitas dari kedua prinsip keadilan itu, Rawls
menegaskan bahwa keduanya harus diatur dalam suatu tatanan yang disebutnya
serial order atau lexical order112. Dengan pengaturan seperti ini, Rawls
dengan keuntungan-keuntungan sosial dan ekonomi. Hal ini berarti bahwa prinsip
keadilan kedua hanya bisa mendapat tempat dan diterapkan apabila prinsip keadilan
110
Ibid., hlm. 62
111
Ibid., hlm. 60
112
Ibid., hlm. 63-64
74
pertama telah terpenuhi. Dengan kata lain, penerapan dan pelaksanaan prinsip
keadilan yang kedua tidak boleh bertentangan dengan prinsip keadilan yang
pertama. Oleh karena itu, hak-hak dan kebebasan-kebebasan dasar dalam konsep
dan ekonomi113. Bagi Rawls, pembatasan terhadap hak dan kebebasan hanya
pelaksanaan kebebasan itu sendiri. Itu berarti, perlu diterima suatu pengaturan
peluang bagi pihak lain untuk mendapatkan manfaat dalam hal yang sama. Oleh
karena itu, ketidaksamaan dalam perolehan nilai sosial dan ekononomi tidak harus
selalu dimengerti sebagai ketidakadilan. Inti dari prinsip keadilan yang kedua justru
sama (dijamin melalui prinsip kesempatan yang adil) tidak akan menguntungkan
sekelompok orang dan pada saat yang sama merugikan kelompok orang lainnya.
Oleh karena itu, adanya prinsip “perbedaan” merupakan pengakuan dan sekaligus
113
Ibid., hlm. 120
114
Andrea Ata Ujan, op. cit., hlm.74
75
jaminan atas hak dari kelompok yang lebih beruntung (the better off) untuk
menikmati prospek hidup yang lebih baik pula. Akan tetapi, dalam kombinasi
dengan prinsip kesempatan yang sama dan adil, prinsip itu juga menegaskan bahwa
“kelebihan” berupa prospek yang lebih baik itu hanya dapat dibenarkan apabila
membawa dampak berupa peningkatan prospek hidup bagi mereka yang kurang
dan pengakuan yang kuat akan hak dan kewajiban manusia, baik dalam bidang
politik maupun dalam bidang ekonomi. Secara khusus, konsepsi keadilan tersebut
menuntut hak pastisipasi yang sama bagi semua warga masyarakat dalam setiap
Ketiga hal ini menjadi manifestasi kelembagaan dari prinsip keadilan pertama
dalam teori kedilan Rawls. Rawls memandang hak atas partisipasi politik yang
115
Ibid., hlm. 75.
76
sama tersebut bisa terakomodasi dalam sebuah sistem politik yang tidak saja
konstitusional di sini dicirikan oleh dua hal utama: pertama, adanya suatu badan
perwakilan yang dipilih melalui suatu pemilihan yang fair dan bertanggung jawab
politik116.
bagi hak untuk tidak patuh (pada Negara), karena hak ini adalah konsekuensi logis
dari demokrasi. Maksud hak untuk tidak patuh ini sebagai ‘suatu tindakan publik,
tanpa kekerasan, berdasarkan suara hati tetapi bersifat politis, bertentangan dengan
atau kebijakan pemerintah.117. Dalam hal ini, Rawls memandang bahwa ada ruang
di mana hukum yang ditetapkan tidak bersifat adil sehingga warga negara boleh
yang tidak menggunakan kekerasan. Jika hak untuk tidak patuh dimaksudkan
sebagai tindakan politik untuk memperbaiki hukum yang tidak adil, maka hak untuk
menolak berdasarkan hati nurani lebih dimaksudkan sebagai ruang yang diberikan
116
Ibid., hlm. 222.
117
Ibid., hlm. 364.
77
kepada seseorang untuk tidak mematuhi hukum jika hal itu dipandang bertentangan
dengan hati nuraninya sendiri. Misalnya, jika terdapat sebuah hukum yang meminta
dipegangnya, maka dia berhak untuk menolak untuk ikut berperang 118.
Dari sudut penataan ekonomi, konsepsi keadilan Rawls menuntut suatu basis
ekonomi yang fair melalui sistem perpajakan yang proporsional (dan bahkan pajak
memungkinkan terwujudnya distribusi yang adil pula atas semua nilai dan sumber
daya sosial. Di sini perlu ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk
menikmati nilai-nilai dan sumber daya sosial dalam jumlah yang sama, tetapi juga
kemaslahatan bagi masyarakat secara keseluruhan. Prinsip ini tidak hanya berlaku
bagi anggota masyarakat dalam generasi yang sama, tetapi juga bagi generasi yang
satu dengan generasi yang lainnya. Bagi Rawls, kekayaan dan kelebihan-kelebihan
orang yang paling tidak beruntung di dalam masyarakat119. Pada akhirnya teori
118
Ibid., hlm. 370-380
119
Ibid., hlm. 260-285.
78
goods”). Pembatasan dalam hal ini hanya dapat dizinkan bila ada
prinsip kedilan, yang sering dijadikan rujukan oleh bebera ahli yakni:
principle harus diprioritaskan dari pada prinsip-prinsip yang lainnya dan Equal
kumpulan individu yang di satu sisi menginginkan bersatu karena adanya ikatan
untuk memenuhi kumpulan individu tetapi disisi yang lain masing-masing individu
memiliki pembawaan serta hak yang berbeda yang semua itu tidak dapat dilebur
dalam kehidupan sosial. Oleh karena itu Rawls mencoba memberikan jawaban atas
bersama?
79
pada tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk
terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu, sehingga membutakan adanya konsep
kelompok yang terlibat dalam situasi yang sama tidak mengetahui konsepsi-
Ketiga, posisi original (Original Position). Situasi yang sama dan setara
antara tiap-tiap orang di dalam masyarakat. Tidak ada pihak yang memiliki posisi
lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya. Pada keadaan ini orang-orang dapat
yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri
Keempat, prinsip kebebasan yang sama (equal liberty principle). Setiap orang
memiliki hak yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar yang paling luas dan
sewenang-wenang.
80
masyarakat yang paling tidak diuntungkan dan Equal opportunity principle (prinsip
orang dalam keadaan dimana adanya persamaan kesempatan yang adil. Jadi
(dua) prinsip keadilan yakni Difference principle dan Equal opportunity principle,
yang akhirnya berjumlah menjadi 3 (tiga) prisip, dimana ketiganya dibangun dari
Teori Keadilan yang digunakan dalam penelitian ini adalah John Rawls yang
asas-asas, bahwa orang-orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak untuk
kedudukan yang sama pada saat memulainya dan itu merupakan syarat yang
dasar dari peraturan negaara dan aturan-aturannya ini merupakan ukuran tentang
apa yang hak. Lebih jauh Rawls berpendapat keadilan dilihat dari hak dan
dasar masyarakat , atau lebih tepatnya, cara-cara lembaga sosial secara mendasar
peluang ekonomi serta kondisi sosial dalam berbagai sektor masyarakat. Pandangan
Rawls mengenai teori dan konsep keadilan diatas dapat dimaknai bahwa ;
diciptakan.
4. Untuk mewujudkan keadilan, tiap warga negara dituntut untuk mentaati segala
demikian keadilan merupakan salah satu hal yang penting untuk diwujudkan.
hanya dideskripsikan secara individual. Hal ini dikarenakan setiap individu hanya
akan menawarkan pendefinisiannya. Oleh karena itu, meski ada cara tunggal
120
Ibid.
82
mendefinisikan keadilan namun tidak ada teori tunggal mengenai keadilan yang
Pancasila sebagai dasar negara atau falsafah negara (filosofische grondslag) sampai
sekarang tetap dipertahankan dan masih tetap dianggap penting bagi negara
berkeadilan sosial.
penerimaan Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai itu akan tampak merefleksikan
dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan bangsa Indonesia. Kalau pengakuan,
penerimaan, atau penghargaan itu direfleksikan dalam sikap, tingkah laku, serta
perbuatan manusia dan bangsa Indonesia dalam hal ini sekaligus adalah
pengembannya dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan manusia Indonesia. Oleh
karenanya Pancasila sebagai suatu sumber hukum tertinggi secara irasional dan
121
Karen Lebacqz, 2011, Teori-Teori Keadilan, (terjemahan: Yudi Susanto), Nusa Media,
Bandung, hlm. 1-2
83
Dalam rangka mencapai keberhasilan ide menunju keadilan sosial ini, maka
Soekarno melihat bahwa keadilan sosial tidak bisa terlepas dari usaha
mempersatukan bangsa. Demikian juga bahwa persatuan bangsa juga tidak bisa
lepas dari tata negara “Gotong Royong”. Apa yang dimaksud dengan Gotong
tujuan negara Indonesia. Pernyataan ini jelas memberikan pemahaman baru dalam
aspek sosiologis, bahwa sistem Gotong-Royong adalah bagian dari nilai kehidupan
keluarga dan warisan budaya bangsa Indonesia yang berharga. Pernyataan tentang
negara Gotong Royong hendak mengarah pada nilai kebersamaan dan persatuan
bangsa. Inilah konsep negara yang dicita-citakan Soekarno, yakni membentuk suatu
komunitas yang solid dan kuat. Komunitas yang terhimpun dari berbagai macam
122
Soekarno, 1960, Pantjasila Dasar Filsafat Negara oleh Bung Karno, Jajasan Empu
Tantular, Djakarta, hlm. 92
84
bangsanya. Mengapa? Karena Soekarno tahu dengan persis bahwa konsep Gotong
kepulauan Indonesia memiliki warisan dari nenek moyang mereka untuk bergotong
royong. Soekarno memiliki buah pikiran yang cemerlang tentang keadilan sosial.
Gagasan keadilan sosial tidak bisa terlepas dari gerakan persatuan dan gotong
royong. Justru bangsa yang tahu bersatu dan mau berkerjasama akan dapat
memahami nilai keadilan sosial. Pernyataan ini ditegaskan lagi oleh Soekarno
dalam pidatonya yang berbicara tentang nilai kebersamaan untuk mencapai cita-
membangun negara yang adil dan makmur. Keadilan sosial tidak bisa dibangun
oleh satu pihak saja, akan tetapi keadilan sosial adalah tanggungjawab semua
bangsa
dasar negara, yaitu Pancasila, yang mana sila kelimanya berbunyi : “Keadilan sosial
123
Ibid., hlm. 136
85
bagi seluruh rakyat Indonesia”. Yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah
yang dinamakan adil menurut konsepsi hukum nasional yang bersumber pada
pendapat tentang apakah yang dinamakan adil, terdapat tiga hal tentang pengertian
adil. 124
(2) “Adil” ialah : menerima hak tanpa lebih dan memberikan orang lain
tanpa kurang.
(3) “Adil” ialah : memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap tanpa
lebih tanpa kurang antara sesama yang berhak dalam keadaan yang sama, dan
penghukuman orang jahat atau yang melanggar hukum, sesuai dengan kesalahan
dan pelanggaran”.
terdapat diskursus penting tentang adil dan keadilan sosial. Adil dan keadilan
adalah pengakuan dan perlakuan seimbang antara hak dan kewajiban. Apabila ada
pengakuan dan perlakuan yang seimbang hak dan kewajiban, dengan sendirinya
apabila kita mengakui “hak hidup”, maka sebaliknya harus mempertahankan hak
hidup tersebut denga jalan bekerja keras, dan kerja keras yang dilakukan tidak pula
menimbulkan kerugian terhadap orang lain, sebab orang lain itu juga memiliki hak
yang sama (hak untuk hidup) sebagaimana halnya hak yang ada pada diri
124
Kahar Masyhur,1985, Membina Moral dan Akhlak, Kalam Mulia, Jakarta, hlm.71.
86
individu.125 Dengan pengakuan hak hidup orang lain, dengan sendirinya diwajibkan
manusia secara individu dengan kelompok individu yang lainnya sehingga tercipta
Hubungan adil dan beradab dapat diumpamakan sebagai cahaya dan api, bila
apinya besar maka cahayanya pun terang : jadi bila peradabannya tinggi, maka
sering dijumpai orang yang “main hakim sendiri”, sebenarnya perbuatan itu sama
125
Suhrawardi K. Lunis, 2000, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Cetakan Kedua,
Jakarta, , hlm. 50.
126
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1982, Renungan Tentang Filsafat Hukum,
Rajawali, Jakarta, hlm.83.
127
Kahar Masyhur, op. cit., hlm. 71.
87
Pancasila sebagai dasar negara atau falsafah negara (filosofische grondslag) sampai
sekarang tetap dipertahankan dan masih tetap dianggap penting bagi negara
Indonesia. Konsep keadilan sosial di negara Indonesia telah mendapat tempat yang
utama oleh para bapa pendiri bangsa. Hal ini jelas sekali dapat dibuktikan dari
sidang BPUPKI (1 Juni 1945). Akan tetapi dalam kenyataannya harapan Bung
Karno kepada bangsa Indonesia yang telah mengalami kemerdekaan ini malah tidak
penindasan terhadap bangsa Indonesia ternyata masih dapat kita jumpai di mana-
mana. 128
cita-cita semua bangsa. Semua orang dalam satu negara selalu menginginkan hidup
dalam keadilan dan persamaan hak dengan berpedoman pada peri kemanusiaan.
Dengan demikian segala aspek yang melingkupi hidup masyarakat sudah tentu
harus ditata seadil mungkin. Undang-undang adalah sarana penataan semua warga
128
Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPKI),1995, Risalah Sidang BPUPKI, Sekretariat
Negara Republik Indonesia, Jakarta, hlm 78.
88
dapat memenuhi norma keadilan. Termasuk dalam hal ini UU tentang penyelesaian
Menarik sekali bahwa konsep keadilan sosial telah menjadi salah satu
pemikiran filosofis presiden Soekarno. Hal ini ditegaskan dalam sebuah pidato
negara. Adapun menurut Soekarno arti dari kata keadilan sosial itu ialah:
“Keadilan sosial ialah satu masyarakat atau sifat satu masyarakat adil dan
makmur , berbahagia buat semua orang , tidak ada penghinaan , tidak ada
penindasan, tidak ada penghisapan. Tidak ada sebagai yang saya katakan di
dalam kuliah umum beberapa bulan yang lalu Exploration Ed l,Home bar
i,Home” 129
Pemikiran Bung Karno tentang keadilan sosial ini sungguh jelas, tepat,
sistematis dan tegas. Tampak sekali bahwa Soekarno sangat memprioritaskan nilai
keadilan dan menjunjung tinggi nilai hak-hak asasi manusia dalam konsep hidup
berbangsa dan bernegara. Sudah tentu, lahirnya gagasan tentang definisi keadilan
sosial ini merupakan hasil refleksi Soekarno tentang masa gelap sejarah bangsa
dan penghisapan oleh penjajahan Belanda dan Jepang. Pernyataan teks di atas
129
Soekarno, op. cit., hlm. 145.
89
Upaya agar keadilan sosial dapat terwujud, maka keadilan sosial itu harus
yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa akan mencapai keadilan sosial
asalkan rakyat Indonesia telah dipersatukan menjadi satu bangsa, yakni bangsa
Indonesia. Pemahaman aspek persatuan ini jelas tidak bisa terlepas dari aspek
“rasa” setiap orang. Rupanya konsep tentang persatuan bangsa ini sudah lama
digagas oleh Soekarno. Hal ini dapat dibaca dalam isi pidatonya: Kita hendak
mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat
satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, - tetapi
“semua buat semua”.130 Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti yang akan saya
kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja
di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi
sejak tahun 1918, 25 tahun lebih, ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar
Salah satu tokoh yang kental dengan Pancasila adalah Notonagoro juga
pengertian tentang isi pokok filsafat Pancasila itu sendiri, berikut penjabarannya
130
Serial Pemikiran Tokoh-tokoh UGM Prof Noto Nagoro dan Pancasila (Analisis
Tektual dan Kontekstual)
131
Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPKI), op. cit., hlm. 25.
90
Kesesuaian sifat dan keadaan dengan hakekat Tuhan yang hanya satu dan
merupakan asal mula segala sesuatu dan bersifat abadi, maha sempurna,
Kesesuaian sifat dan keadaan dengan hakekat manusia sebagai makhluk yang
tersusun atas raga dan jiwa dengan daya cipta, rasa, dan karsa, serta hakekat
Kesesuaian sifat dan keadaan dengan hakekat yang satu, yaitu diri pribadi
keadaan dengan hakikat adil bagi masyarakat dan negara terhadap warganya ,
dipengaruhi oleh metode aliran filsafat barat, karena Indonesia belum memiliki
filsafat sebagai disiplin ilmu. Hal ini dilakukan oleh Prof. Notonagoro sebagai
penunjang adanya Pancasila yang berfungsi untuk menuju satu hal yang ideal.
ilmiah ialah dasar negara yang mutlak dan obyektif melekat pada kelangsungan
91
negara, tidak bisa diubah dengan jalan hukum, merupakan pengertian umum
132
abstrak dan umum universal. Notonagoro mengungkapkan hal ini karena
keinginannya untuk mencari jalan keluar dari kesulitan mengenai dasar negara RI
Keadilan distributif adalah suatu kebajikan tingkah laku masyarakat dan alat
bersama, dengan cara rata dan merata, menurut keselarasan sifat dan tingkat
Keadilan Komutatif adalah suatu kebajikan tingkah laku manusia untuk selalu
memberikan kepada sesamanya, suatu yang menjadi hak orang lain, atau sesuatu
yang sudah semestinya diterima oleh pihak lain. Dengan adanya keadilan tukar-
Keadilan kodrat alam adalah suatu kebajikan tingkah laku manusia di dalam
132
Ibid., hlm. 136
92
4. Keadilan konvensional
Keadilan konvensional keadilan yang mengikat warga negara, sebab keadilan itu
pandangan keadilan dalam hukum nasional bangsa Indonesia tertuju pada dasar
negara, yaitu Pancasila yang mana sila kelimanya sebagai berikut: “Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Adapun yang menjadi persoalan sekarang
adalah apakah yang dinamakan adil itu menurut konsepsi hukum nasional yang
dalam perspektif hukum nasional, terdapat diskursus penting tentang adil dan
keadilan sosial. Adil dan keadilan adalah pengakuan dan perlakuan seimbang
antara hak dan kewajiban. Konsepsi demikian apabila dihubungkan dengan sila
kedua dari Pancasila sebagai sumber hukum nasional bangsa Indonesia, pada
serasi antar manusia secara individu dengan kelompok individu yang lainnya,
sehingga tercipta hubungan yang adil dan beradab. Lebih lanjut apabila
sebagai:
keadilan bagi semua pihak, oleh karenanya keadilan di dalam perspektif hukum
masyarakat hukum.
hukum progresif melihat faktor utama dalam hukum adalah manusia itu sendiri,
Manusia boleh dimarjinalkan asal hukum tetap tegak atau ditegakkan walaupun
langit akan runtuh. Paradigma hukum progresif berfikir bahwa hukum boleh
keadilan.
133
Ibid.
94
dengan asas cepat, adil, dan murah. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial
yang berasaskan cepat, adil, murah, dan berkepastian hukum sangat ditentukan oleh
unsur pendukung, yaitu pekerja, pengusaha dan pemerintah. Ketiga aspek ini saling
perlindungan hukum seimbang bagi para pihak. Ketiga unsur ini yang paling
penting adalah pengusaha sebagai faktor kunci yang memiliki hubungan dengan
134
Departemen Tenaga Kerja, 2000, Penelitian Peranan Multi Serikat Pekerja Dalam
Hubungan Industrial Pancasila, , Badan Perencana dan Pengembangan Tenaga Kerja Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tenaga , hlm. 5
95
program sosial politik tempat hukum menjadi salah satu alat dan karenanya juga
hukum, berarti segala bentuk hukum di Indonesia harus diukur menurut nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila, dan dalam aturan hukum itu harus tercermin
kesadaran dan rasa keadilan yang sesuai dengan kepribadian dan falsafah hidup
bangsa. Pancasila juga sebagai recht idea dalam arti Pancasila sebagai sumber
Hubungan Industrial.
135
Hamid Attamimi dalam Moh. Mahfudz MD, 2006, Membangun Politik Hukum
Menegakkan Konstitusi, Pustaka LP3ES , Indonesia, hlm. 52
96
perlu adanya dukungan kondisi yang kondusif agar tumbuh dan berkembang sikap
mental dan sikap sosial. Dukungan yang kondusif ini harus menjadi perilaku semua
pihak secara nyata dalam pergaulan sehari-hari. Pembahasan mengenai PHI tidak
bisa lepas dengan negara hukum . Deskripsi tentang teori negara hukum sebagai
landasan teoritis dapat digambarkan hahwa lahirnya teori negara hukum muncul
dari keinginan untuk membatasi dan mengawasi kekuasaan negara yang dipicu oleh
Imanuel Kant.136
Hak untuk bekerja dan hak dalam pekerjaan tidak hanya merupakan inti dari
hak ekonomi, sosial dan budaya, tetapi juga dalam lingkup hak asasi yang
137
fundamental. Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya merupakan hak posistif
(positive rights) karena untuk merealisasikan hak –hak yang diakui dalam konvenan
tersebut diperlukan keterlibatan negara yang besar. Negara disini harus berperan
aktif oleh karena itu hak-hak ini dirumuskan dalam bahasan “right to” (hak atas )
kesempatan untuk merealisasikan hak tersebut. Beberapa hak ekonomi bagi pekerja
yang penting meliputi hak atas keselamatan kerja, pengupahan yang adil, dan hak
136
S.F Marbun, 2003, Peradilan Administrasi dan Upaya Administrasi di Indonesia, UI
Press, Yogyakarta, hlm. 6. Lihat juga Wiratno, 1986, Ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum,
PT Pembangunan, Jakarta, hlm. 182-185, lihat juga Solly Lubis, 1981, Ilmu Negara, Alumni
Bandung, hlm. 526-528
137
Vincentius Hari Supriyanto, 2012, Kesejahteraan Pekerja Dalam Hubungan industrial
Pada Perusahaan –Perusahaan Di Daerah Istimewa Yogyakarta, Disertasi Program Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 85.
97
berpihak pada pekerja. Salah satu instrumen yang dapat melindungi pekerja yang
kepentingan pekerja dalam perselisihan hubungan industrial. Pada sisi lain dengan
membentuk hukum yang dapat diterima oleh para pelaku dalam hubungan
sebagai dasar hukum dan ideologi negara, maka harus dijadikan paradigma dalam
dasar negara memang berkonotasi yuridis dalam arti melahirkan berbagai peraturan
138
Ibid., hlm. 22.
139
Darji Darmodiharjo dan Sidharta, 1995, Pokok-pokok Filsafat Hukum , Gramedia ,
Jakarta, hlm. 206
98
politik tempat hukum menjadi salah satu alat dan karenanya juga harus bersumber
pada Pancasila.140
Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum, berarti segala bentuk hukum
Pancasila sebagai recht idea dalam arti Pancasila sebagai sumber inspirasi dalam
serikat buruh/serikat buruh, dan pemerintah) tentu perlu adanya dukungan kondisi
yang kondusif agar tumbuh dan dan berkembang sikap mental dan sikap sosial.
Dukungan yang kondusif ini harus menjadi perilaku semua pihak secara nyata
secara non litigasi melalui lembaga Bipartit, Konsiliasi, Mediasi, Arbitrage dan
secara litigasi melalui lembaga Pengadilan Hubungan Industrial dengan asas cepat
140
Hamid Attamimi , op. cit., hlm. 52.
99
tepat, adil. dan murah.141 Menurut Surya Tjandra,142 bahwa proses penyelesaian
perselisihan melalui lembaga PHI di Indonesia saat ini dituntut tidak hanya harus
adil dalam mengambil keputusan, tetapi juga harus sensitif dengan persoalan
maka semakin tidak adil pula bagi pekerja/buruh putusan yang akan dihasilkan.
berdasarkan hukum dan keadilan. Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum di
persoalan buruh. Sensivitas ini periu didukung semua pemangku kepentingan (stake
hakim.143
141
Abdul Khakim, op. cit., hlm. 4
142
Surya Tjandra, 2007, Praktek Hubungan Industrial Panduan Bagi Serikat Buruh,
Cetakan Penerbit Trade Union Rights Centre (TURC), Jakarta, hlm x.
143
Abdul Khakim, 2010, Aspek Hukum Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
(antara Peraturan dan Pelaksanaan), PT. Cipta Aditya Bakti, Bandung, hlm. 5.
144
Agung Hermawan, 2008, Masih Adakah Keadilan Bagi Buruh, Fikri Print Production,
, LBH Bandung, hlm. 38.
100
Cara Penelitian
Penelitian hukum adalah penelitian yang membantu pengembangan ilmu
melakukan penelitian hukum, seseorang harus memahami penelitian itu sendiri dan
sebagai norma entah yang telah dibentuk dan memiliki wujudnya yang positif (Ius
constitutum) entah pula yang belum dipositifkan ( ius costituendum) maka selama
itu pula penelitian hukum ini harus dibilangkan pula sebagai penelitian normatif.
146
Dalam penelitian doktrinal kebenaran konklusi dalam setiap silogisme deduksi
adalah kebenaran yang bersifat formal. Logika deduksi boleh juga disebut logika
145
Sugeng Istanto, 2007, Penelitian Hukum , CV Ganda ,Yogyakarta, hlm. 29.
146
Soetandyo Wignyosoebroto, 2002, Hukum Konsep dan Metode,Setara Pess, Malang,
hlm. 77
147
Ibid., hlm. 101.
101
Sebagai penelitian hukum doktrinal/ normatif, maka titik berat penelitian tertuju
pada penelitian sumber bahan hukum dan terdiri dari bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier 148 atau sering disebut penelitian
bahan pustaka dalam ilmu penelitian digolongkan sebagai data sekunder149 oleh
karena itu dalam penelitian ini banyak dilakukan telaah dan kajian terhadap data
sekunder yang diperoleh dari penelitian dan kiranya penyusunan dan perumusan
materi dari perangkat atau kaedah hukum yang dijumpai dalam berbagai
industrial dan latar belakang pembentukan PHI atau politik hukum pembentukan
2. Data Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang terdiri dari
bahan hukum atau materi penelitian terdiri dari 3 macam bahan hukum151 yang
meliputi:
1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat, terdiri atas
148
Ibid., hlm. 79-87.
149
Soerdjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2002,Penelitian Hukum Normatif, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 24.
150
Ibid., hlm.15.
151
Ibid., hlm. 8.
102
Perselisihan Perburuhan.
Perselisihan Perburuhan
undangan.
3) Bahan Hukum Tertier yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang terdiri atas:
104
bahan hukum terkait dengan materi penelitian baik dari peraturan perundangan,
putusan hakim, laporan penelitian, dengan cara mempelajari data melalui buku
dilakukan penilaian.
1) Pandangan dan komentar para ahli dan nara sumber mengenai hubungan
dan penegakkannya.
3) Putusan–putusan PHI dilihat dari jenis dan eksekusi putusan terkait hak dan
hukum pembentukan PHI, penentuan dan penegakkan PHI , luas dan lingkup
materi yang diatur dan bagaimana hubungan materi-materi yang diatur dengan
106
bagian hukum ketenagakerjaan maupun bidang hukum lain yang berkaitan dengan
industrial yang dapat memberikan keadilan bagi pihak pekerja dengan pengusaha.
5. Analisis Data
Analisis kualitatif adalah analisis data yang didasarkan pada kualitas nilai dari data
kualitatif.152 Terkait penelitian ini adalah eksplorasi dan pencarian data penelitian
ini didasarkan atau diukur dari kualitas nilai atau prinsip hukum tertentu.
hukum primer , bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier yang berhubungan
hubungan industrial melalui litigasi yaitu PHI dan melalui non litigasi yakni
152
Maria S.W. Soemardjono, 2001, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian Sebuah
Panduan Dasar, Cet. Ketiga ,Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 10
107