Anda di halaman 1dari 107

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Hubungan industrial Pancasila atau sering dengan sebutan hubungan

industrial1 rawan konflik dan tidak selamanya harmonis. Perselisihan atau konflik

senantiasa dimungkinkan terjadi dalam setiap hubungan antar manusia, bahkan

mengingat subjek hukum pun telah lama mengenal badan hukum maka para pihak

yang terlibat dalamnya pun semakin banyak.2 Dengan semakin kompleksnya corak

kehidupan masyarakat maka ruang lingkup kejadian atau peristiwa perselisihan

pun semakin kompleks.

Ketidakharmonisan dalam hubungan industrial antara lain disebabkan karena

adanya ketidaksetaraan hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha.

Ketidaksetaraan hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha menjadikan

hubungan tersebut sebagai sebuah hubungan yang cenderung eksploitatif dan

bersifat sepihak. Kesenjangan hubungan antara pekerja dan pengusaha semakin

menguat karena mendapatkan pengaruh eksternal seperti ekonomi, sosial dan

politik.3

Ketidakharmonisan hubungan pekerja/buruh dan pengusaha diwujudkan

dalam bentuk perselisihan hubungan industrial. Menurut Pasal 1 angka 22 UU

1
Satu sistem hubungan yang terbentuk antara pelaku dalam proses produksi barang dan
jasa yangterdiri dari unsur pengusaha ,pekerja/buruh dan pemerintah yang didasarkan atas nilai-nilai
yang merupakan manifestasi dari keseluruhan sila-sila dari Pancasila dan UUD 1945, yang tumbuh
dan berkembang diatas kepribadian bangsa dan kebudayaan nasional Indonesia.
2
Di Indonesia badan hukum antara lain terdiri dari perusahaan terbatas, badan hukum milik
negara, perusahaan umum, perusahaan jawatan, yayasan, koperasi.
3
Ari Hernawan, 2011, Hak Dan Kewajiban Pekerja Dan Pengusaha Dalam Mogok Kerja
di Indonesia, Disertasi Program Doktor, UGM, Yogyakarta, hlm. 369

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bahwa perselisihan hubungan

industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara

pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja karena

adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan

pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja hanya dalam satu

perusahaan. Berdasarkan pengertian tersebut bahwa perselisihan hubungan

industrial dapat bersifat perorangan dan kolektif.

Banyaknya perselisihan yang muncul dalam hubungan industrial, adalah

sesuatu yang tidak dapat dihindari, sekarang yang penting adalah bagaimana

perselisihan hubungan indutrial tersebut dapat diselesaikan dan dicari solusinya

dengan jalan damai sehingga tidak berlarut-larut yang dapat mengakibatkan

stabilitas ekonomi terganggu, sehingga pada akhirnya yang dirugikan

pekerja/buruh sebagai golongan yang lemah.

Pada tanggal 14 Januari 2006 Mahkamah Agung bersama Departemen

Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) meresmikan Pengadilan

Hubungan Industrial (selanjutnya ditulis PHI) pertama di Padang sebagai realisasi

Pasal 55 UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan

Industrial. PHI dibentuk dengan asas yang tidak beda dengan peradilan lainnya

yaitu asas peradilan yang cepat, tepat, adil dan berbiaya murah. Pembentukan PHI

tidak secara tegas diperintahkan oleh UUD N RI 1945 maupun UU Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. UU Nomor 13 Tahun 2003 hanya mengatur

tentang lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan saat ini secara

yuridis PHI dibentuk melalui UU Nomor 2 Tahun 2004. Pasal 24 ayat (5) UUD N

RI menyatakan bahwa “Susunan, Kedudukan, Keanggotaan, dan Hukum Acara

Mahkamah Agung serta badan peradilan dibawahnya diatur dengan UU”. Oleh

karena itu apabila berpegang pada ketentuan tersebut bahwa setiap pembentukan

lembaga pengadilan dilakukan dengan UU tersendiri.

PHI sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 17 UU Nomor 2 Tahun 2004

adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang

berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan

hubungan industrial. Selanjutnya Pasal 1 angka 1 menyatakan perselisihan

hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan

antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat

pekerja/buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan,

perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh

dalam satu perusahaan.

Kehadiran PHI yang diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial adalah untuk mengoptimalkan

hubungan industrial yang harmonis dalam penyelesaian perselisihan sebagai

pengganti dari proses penyelesian perselisihan perburuhan yang diatur dalam UU

Nomor 22 Tahun 1957. Penyelesian perselisihan perburuhan berdasarkan UU

Nomor 22 Tahun 1957 hanya terdapat dua jalan yang dapat ditempuh , yaitu :

a. Menyerahkan penyelesaian perselisihan mereka secara sukarela kepada juru

pemisah (perorangan ) atau sebuah badan/dewan pemisah untuk di selesaikan

secara arbitrase sukarela (Pasal 19 sampai dengan Pasal 22 UU Nomor 22 Tahun

1957);atau

b. Menyerahkan penyelesaian perselisihan itu kepada pegawai perantara (Pasal 3

UU Nomor 22 Tahun 1957).

UU hanya membedakan perselisihan hak dan kepentingan dan

menitikberatkan penyelesaian perselisihan perburuhan antara serikat buruh atau

gabungan serikat buruh dengan majikan atau gabungan majikan, mengandung

maksud bahwa perselisihan perburuhan perseorangan tidak mendapatkan

perlindungan pada UU ini.

Existing Pengadilan Negeri pada UU Nomor 22 Tahun 1957 sebagai fiat

eksekutoria terhadap putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat

(P4P), bilamana putusan tidak bisa banding lagi, tidak ditaati secara sukarela, dan

pelaksanaanya dapat dimintakan kepada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya

meliputi tempat kedudukan pihak terhadap siapa putusan itu akan dijalankan, dalam

hal ini menurut Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, namun

kemudian berdasarkan SEMA Nomor 1 Tahun 1980 dilaksanakan sesuai wilayah

hukum pihak-pihak yang akan melaksanakan putusan.4

Pada umumnya penyelesaian perselisihan perburuhan oleh Panitia

Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4) yang diselenggarakan oleh Pemerintah

sebagai lembaga arbitrase wajib merupakan pilihan karena para pihak berdasarkan

UU Nomor 22 Tahun 1957 wajib terlebih dahulu menggunakan jasa perantara yang

melaksanakan fungsi mediasi wajib dan konsiliasi wajib, pada akhirnya mereka

tetap melanjutkan ke arbitrase wajib karena penyelesaian melalui P4 (arbitrase

4
S.F.Marbun. 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia,
Liberty , Yogyakarta, hlm. 49.

wajib) tanpa dipungut biaya (prodeo), sedangkan penyelesaian melalui pengadilan

diperlukan biaya, disamping itu sejak tahun 1980 berdasarkan SEMA Republik

Indonesia Nomor 1 Tahun 1980 Pengadilan Negeri tidak dibenarkan menangani

lagi perselisihan perburuhan atas dasar perselisihan hak. Hal ini dipertegas dalam

Surat Edaran MA No. 1 Tahun 1980 dalam butir kelima sub a bahwa Pengadilan

Negeri hanya dapat menyetujui atau menolak fiat eksekusi keputusan Panitia

Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Dengan demikian Surat Edaran MA itu

disamping memberikan kemudahan untuk mendapatkan fiat eksekusi dari

Pengadilan Negeri juga memberikan kedudukan yang kuat bagi Panitia

Penyelesaian Perselisihan Perburuhan saat itu.

Tujuan pembentukan UU Nomor 2 Tahun 2004 adalah terciptanya secara

optimal hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan adil antara pihak

pengusaha dengan pekerja/buruh sesuai dengan nilai-nilai Pancasila hal ini ada

dalam konsiderans UU Nomor 2 Tahun 2004. Keberadaan PHI sebagai peradilan

khusus yang berada di bawah lingkungan peradilan umum baru berumur kurang

lebih 9 tahun, namun demikian ternyata sudah banyak menuai kritik dan

permasalahan.

Lambannya penyelesaian PHI dan upaya hukum ke MA terkait dengan asas

peradilan cepat belum tercapai. Hal yang positif dari UU Nomor 2 Tahun 2004

adalah semakin dipersingkatnya waktu penyelesaian perselisihan. Menurut

peraturan sebelumnya yaitu UU Nomor 22 Tahun 1957, penyelesaian perselisihan

perburuhan dapat memakan waktu 3 sampai 4 tahun, hal ini dapat dibayangkan

jangka waktu yang dibutuhkan para pihak guna mendapatkan putusan yang

berkekuatan hukum bila salah satu pihak merasa belum mendapatkan keadilan,

demikian juga terhadap putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan

Pusat (P4P) masih dapat diajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara

(PTTUN) karena ptusan P4P dianggap sebagai keputusan Tata Usaha Negara dan

akhirnya memperpanjang proses penyelesaian perburuhan saat itu. Mendasarkan

dari kondisi tersebut maka eksistensi PHI sangat diharapkan sebenarnya untuk

terwujudnya Speed Administration of justice dengan tetap berpedoman pada

keadilan substansial (hukum materiil) yang ada dalam UU Nomor 2 Tahun 2004

yang secara nyata telah mengatur batas waktu yang harus ditaati oleh lembaga

peradilan yaitu paling lama 50 hari kerja di tingkat pertama dan paling lama 30 hari

pada tingkat Mahkamah Agung.

Selama ini proses pemeriksaan di pengadilan memakan waktu cukup lama

tidak sesuai dengan asas peradilan yang cepat, sederhana, serta murah dan dengan

alasan inilah pembentuk UU memberikan jangka waktu yang pasti pada

pengadilan-pengadilan khusus tersebut termasuk PHI. Apabila dilihat dari data

jumlah perkara yang masuk PHI di tahun 2006, sebanyak 142 perkara hanya 77

(54,2%) yang diputus tahun 2007 perkara masuk 208 ditambah sisa perkara tahun

2006 adalah 65, jadi total 273 yang dapat diputus 198 (72,5%) jumlah ini tidak

signifikan terhadap proses cepat, tepat, murah dan adil sebagaimana amanat

undang-undang, selain itu para pihak yang berperkara masih bisa mengupayakan

kasasi pada tahun 2006 sebanyak 44 perkara yang memohonkan kasasi. Hal ini

menunjukan bahwa berperkara di PHI masih memakan waktu cukup lama sehingga

pihak yang berperkara masih memilih jalan penyelesaian melalui Mediasi.5

Fakta hukum menunjukkan banyaknya penyelesaian perselisihan hubungan

industrial melalui PHI di 33 wilayah PHI tersebar di masing-masing ibukota

provinsi di seluruh Indonesia. Perselisihan hubungan industrial berdasarkan data

sepanjang tahun 2011 terdapat 1.198 perkara yang masuk ke PHI, dan sisa perkara

tahun 2010 terdapat 448 perkara, sehingga jumlah perkara yang ditangani oleh PHI

sebanyak 1.646 perkara. Perkara yang masuk ke PHI pada tahun 2010 terdapat

1.147 perkara yang berhasil diselesaikan oleh PHI sejumlah 1.069 perkara,

sebanyak 997 perkara selesai karena diputus dan 72 perkara selesai karena dicabut,

sehingga sisa perkara pada akhir Desember 2011 berjumlah 557 perkara (35,05%),

sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 1
Perkara Perselisihan Hubungan Industrial Yang Masuk
Pengadilan Hubungan Industrial Tahun 2010 – 2011
Tahun Perkara Perkara Berhasil diselesaikan Sisa Perkara

2010 1.147 1.069 78


2011 1.198 641 557
Sumber: Mahkamah Agung Republik Indonesia 2012.6

Memperhatikan dari tabel tersebut menunjukkan adanya perbandingan

jumlah perkara yang diselesaikan dengan perkara yang ditangani selama tahun

5
Surya Perdana, 2008, Mediasi Merupakan Salah Satu Cara Penyelesaian Perselisihan
Pemutusan Hubungan Kerja Pada Perusahaan di Sumatera Utara, Disertasi, USU, Medan, hlm.
170-171.
6
Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Laporan Tahunan 2011”,www.mari.com,
diakses tanggal 11 Juni 2013

2010, tergambar bahwa rasio penyelesaian perkara yang berhasil diselesaikan di

PHI sebesar 64,95%. Perhitungan rasio penyelesaian perkara oleh PHI tahun 2011

mengalami penurunan sampai 15,46% dibandingkan tahun 2010, karena kondisi

perekonomian semakin membaik pada tahun 2011, sehingga berpengaruh pada

terjadinya perselisihan antara pengusaha dengan pekerja di perusahaan.

Terkait dengan upaya hukum ke MA bahwa proses penyelesaian kasasi

melalui MA selama ini justru oleh sebagian masyarakat memberatkan MA dan hal

ini ditengarai karena usaha penyelesaian perselisihan melalui mediasi, konsiliasi

dan arbitrasi tidak maksimal, artinya penyelesaian diluar pengadilan yang gagal

akhirnya melimpah ke PHI yang dapat berakhir sampai ke MA. Sementara

penyelesaian kasasi selambat-lambatnya 30 hari sejak penerimaan kasasi adalah

suatu yang tidak mungkin dilakukan karena berkas dikirim ke MA selambatnya 14

hari. Hal ini bisa dilihat dari PHI Medan dari total perkara yang masuk PHI dari

tahun 2006-2009 sebanyak 599 kasus, 329 kasus di antaranya kasasi tetapi hingga

April 2010 hanya sekitar 30 kasus yang diputus oleh MA. Dari 30 kasus yang

diputus oleh MA tersebut dan tidak satupun di antaranya yang berhasil dieksekusi

oleh pengadilan sampai bulan April 2010, padahal eksekusi adalah ujung tombak

keberhasilan PHI dalam menegakkan hukum dan kepastian hukum.7 Ini dapat

menggambarkan beban semakin berat bagi MA apabila perkara perselisihan

hubungan industrial sampai ke MA, dan keadilan bagi para yustisiabel semakin

jauh dengan tidak berhasilnya eksekusi putusan.

7
CN.N.Megawati Tobing, "Catatan Otokritik Tentang Pengadilan Hubungan Industrial”,
http//www.marhaennews.com, diakses 27 April 2011.

Biaya berperkara yang mahal apalagi apabila dikaitkan dengan lamanya

penyelesaian perselisihan juga menjadi masalah, karena makin lama penyelesaian

perselisihan mengakibatkan semakin tinggi biaya yang harus dikeluarkan, seperti

biaya resmi dan upah pengacara yang harus ditanggung. Melihat biaya perkara yang

mahal, membuat orang berperkara di pengadilan menjadi terkuras segala sumber

daya, waktu, dan pikiran (Litigation Paralyze People).8 Demikian juga

penyelesaian perselisihan hubungan industrial bersifat formal dan teknis sering

mengakibatkan penyelesaian perselisihan (sengketa) yang berlarut-larut, sehingga

membutuhkan waktu yang lama padahal penyelesaian sengketa bisnis dituntut suatu

penyelesaian yang cepat dan biaya murah serta bersifat informal procedure.

Penyelesaian yang lambat dalam dalam dunia bisnis mengakibatkan timbulnya

biaya tinggi bahkan dapat menguras segala potensi dan sumber daya perusahaan

yang bersangkutan. Menghadapi kenyataan lambatnya proses penyelesaian

sengketa dan beratnya biaya yang harus dikeluarkan melalui proses litigasi, muncul

kegiatan-kegiatan yang diarahkan kepada pemikiran upaya memperbaiki sistem

peradilan.9

Rekruitmen Hakim Ad Hoc dan integritas Hakim PHI diragukan. Dampak

pembentukan pengadilan khusus tercermin dari mulai diperkenalkannya Hakim Ad

Hoc dalam setiap pengadilan khusus serta adanya pembatasan jangka waktu

pemerikasaan di pengadilan disamping objek perkara. Rekruitmen Hakim yang

8
Peter Lovenheim, 1989, Mediate Don’t Litigate, Mc. Graw Hill Publishing Comp , New
York, hlm. 23
9
Susanti Adi Nugroho. cp. cit., hlm. 160.
10 

berasal dari unsur pekerja/buruh dan unsur pengusaha berpengaruh terhadap

imparsial dalam pengambilan putusan. Susunan Hakim di PHI yang terdiri 1 hakim

karir dan 2 hakim Ad Hoc adalah mewakili dua kepentingan yang bukan saja

berbeda tetapi dapat bertentangan yaitu hakim Ad Hoc yang mewakili

pekerja/buruh dan hakim Ad Hoc yang mewakili pengusaha. Dua kepentingan yang

berbeda ini tidak jarang menyulitkan perkara. Sementara itu kebanyakan hakim Ad

Hoc pada umumnya belum berpengalaman beracara di pengadilan karena masa

pendidikan yang relatif singkat kurang lebih 3 bulan. Hal ini ikut mempersulit

penegakkan hukum secara cepat.10

Jumlah hakim PHI sejak tahun 2006 baru memiliki tidak kurang dari 155

Hakim Ad Hoc di seluruh Indonesia dan 6 Hakim Ad Hoc di tingkat MA. Berbeda

susunan majelis hakim pada pengadilan niaga yang terdiri dari dua hakim karir dan

satu hakim Ad Hoc11. Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa keberadaan

hakim Ad Hoc di pengadilan khusus ini ternyata tidak efektif.12 Sebagai contoh

misalnya pada waktu dibentuknya pengadilan niaga telah dilantik 13 hakim Ad Hoc,

namun demikian dari ketiga belas hakim Ad Hoc yang dilantik tersebut yang

berperan aktif terlibat dalam pemeriksaan perkara hanya satu hakim13.

10
Wawancara dengan Sugeng Santoso, Hakim Ad Hoc pada PHI Surabaya, 26 Maret 2014.
11
Tata Wijayanta, ” Pelaksanaan Pasal 302 ayat (3) UU RI Nomor 37 Tahun 2004 Berkaitan
Dengan Pelantikan Hakim Ad Hoc Dalam Perkara Kepailitan,” ”Legality” Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Vol. 15 No. 1, Maret - Agustus, 2007, hlm. 128-141.
12
Tata Wijayanta, 2004, Hakim Ad Hoc Dalam Penyelesaian Perkara Kepailitan di
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Setelah Berlakunya Perma RI Nomor 2 Tahun 2000, Laporan
penelitian Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM), Universitas Gadjah Mada
(UGM), hlm. 32.
13
Tata Wijayanta, 2008, Penyelesaian Kes Kebankrapan di Pengadilan Niaga Indonesia
dan Mahkamah Tinggi Malaysia: Suatu Kajian Perbandingan, Tesis Doktor Falsafah Universiti
Kebangsaan Malaysia, Bangi: Tidak Diterbitkan, hlm. 110.
11 

Ketidakterlibatan hakim Ad Hoc tersebut dalam pemeriksaan perkara diantaranya

dikarenakan kurangpahamnya para hakim Ad Hoc yang dilantik tersebut tentang

hukum acara di pengadilan.14

Pemberlakuan Hukum Acara Perdata menjadi problematik. Pada

kenyataanya dengan sistem beracara di PHI yang menggunakan hukum acara

perdata menjadi problematik, akan tidak mungkin dilakukan dengan cepat

walaupun tanpa upaya banding untuk perselisihan tertentu. Pemberlakuan hukum

acara perdata juga menjadi persoalan karena perkara perdata dengan perselisihan

perburuhan sangatlah berbeda. Perkara perdata umumnya menyangkut harta benda,

sedangkan perselisihan hubungan industrial menyangkut pekerjaan dan

penghidupan buruh beserta keluarganya. Seharusnya pemerintah bertanggung

jawab dan menjamin agar setiap pekerja/buruh tidak mudah kehilangan pekerjaanya

dan penghidupannya. Oleh karena itu penanganan masalah ketenagakerjaan

memerlukan penanganan khusus dengan hukum acara yang khusus bukan dengan

hukum acara perdata .15 Hal yang lain hukum acara perdata digunakan secara kaku,

hakim sering memposisikan diri layaknya hakim perdata di pengadilan umum yang

menganggap dirinya bersifat pasif di pengadilan. Padahal kalau merujuk pada

ketentuan Pasal 83 ayat (2 ) UU PPHI,” Hakim berkewajiban untuk memeriksa isi

gugatan dan bila terdapat kekurangan hakim meminta penggugat untuk

menyempurnakan gugatanya”. Ketentuan ini mirip dismissal proses (pemeriksaaan

14
Ibid.
15
Gindo Napdapdap,”Bubarkan Pengadilan Hubungan Industrial,”
http,//kpsmedan.org./indekx. php?optin + com conyent &view=article&id…diakes tanggal 23 juli
2009.
12 

pendahuluan) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) maupun di Mahkamah

Konstitusi yang intinya hakim PHI juga harus aktif untuk menemukan keadilan.

Dapat dikatakan bahwa pengadilan hubungan industrial menganut asas hakim aktif.

Kritik muncul terhadap peradilan ini bukan hanya gejala yang tumbuh di

Indonesia melainkan terjadi di seluruh dunia. Kritik yang dilontarkan masyarakat

pencari keadilan, terutama dari kelompok ekonomi jauh lebih gencar. Kalangan

ekonomi Amerika, menuduh bahwa hancurnya perekonomian nasional disebabkan

oleh mahalnya biaya peradilan. Thony Mc. Adams dalam tulisannya

mengemukakan bahwa Law Has Become a Very Big American Bussines and That

Litigation Cost May be Doing Demage To Nations Company.16 Kenyataan atas

kritik yang menganggap bahwa mahalnya biaya perkara ikut mempengaruhi

kehidupan perekonomian bukan hanya terjadi di Amerika melainkan terjadi di

semua negara termasuk Indonesia dalam penyelesaian perselisihan hubungan

industrial, walaupun ada batasan pengaturan dibawah 150 juta tanpa biaya (pro

bono).

Selanjutnya bahwa berhadapan dengan lembaga penyelesaian perselisihan

hubungan industrial yaitu melalui PHI, bagi pekerja/buruh tidak serta merta berarti

dapat memperjuangkan keadilan dengan mudah. Putusan hakim yang berdasarkan

pasal-pasal normatif menjadikan hak buruh sering terabaikan. Pekerja/buruh

memerlukan energi ekstra, waktu serta biaya untuk memperjuangkan hak-haknya,

termasuk apabila pekerja/buruh ternyata berhasil memenangkan gugatannya di PHI.

16
Thony Mc. Adams, 1992, Law Bussines and Society, third edition, Irwin, Boston,
hlm.195.
13 

Putusan hakim untuk mempekerjakan kembali pekerja buruh sulit dilakukan karena

pekerja/buruh sudah diperhatikan oleh pihak pengusaha selama perselisihan

berlangsung. Hal ini bisa di contohkan beberapa pengalaman pada kasus

pekerja/buruh outsourcing di Rumah Sakit Pusat Pertamina yang memenangkan

gugatan untuk diangkat menjadi pekerja tetap, menemui kesulitan dalam

pelaksanaan eksekusinya.17 Pekerja/buruh outsourcing yang pekerjaannya sangat

tergantung dengan perjanjian pemborongan pekerjaan antara perusahaan pengguna

dengan perusahaan penyedia jasa juga terpengaruh oleh hal ini, seperti PHK yang

dialami buruh outsourcing Koperasi Tosan Jaya yang bekerja di anak perusahaan

Bakrie.18 Demikian juga pada kasus pergantian manajemen (Pasal 163 ayat (1)

UU No. 13 Tahun 2003 yaitu yang terjadi antara Ma Kemba, dkk (4 orang) melawan

PT. Multi Nabati Sulawesi. Putusan PHI Menado No. 20/G/2009/PHI.Mdo tanggal

7 September 2009 adalah menolak gugatan karyawan seluruhnya. Pertimbangan

hukum majelis hakim adalah pekerjaan karyawan tidak berhubungan langsung

dengan produksi dan perusahaan telah melunasi seluruh hak karyawan sesuai Pasal

163 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003. Putusan PHI Menado ini dikuatkan oleh

Putusan MA. No. 306 K/Pdt.Sus/2011.19

Dalam hal kelembagaan, lembaga penyelesaian perselisihan hubungan

industrial belum sesuai dengan harapan masyarakat industrial khususnya

pekerja/buruh, karena cenderung mengutamakan PHI sebagai lembaga litigasi dan

17
http:/www.hukumonline.com “Putusan PHI Buruh Hanya Menang di Atas Kertas,"
diakses dari pada 2 Juni 2010.
18
Putusan Mahkamah Agung No. 192 K7PHI/2007.
19
Putusan Mahkamah Agung No. 306 K/Pdt.Sus/2011.
14 

kurang memberi peluang pada lembaga non litigasi sebagai lembaga penyelesaian

wajib. Sehingga penerapan asas musyawarah dalam mencari penyelesaian

perselisihan menjadi menyempit.

Pengaturan mekanisme penyelesaian hubungan industrial, dengan mengacu

pada UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan

Industrial kenyataannya masih ada kelemahan-kelemahannya yaitu: (a) Terlalu

formal, sehingga pekerja/ buruh cenderung merasa berat untuk berperkara; (b)

Memakan waktu, dan biaya tidak sedikit sehingga cenderung merepotkan pekerja/

atau buruh; (c) Dengan mekanisme hukum acara perdata berarti menghadapkan

pekerja/ buruh pada sistim penyelesaian konflik yang cenderung mahal dan perlu

keahlian serta keterampilan khusus, sementara kondisi pekerja/ buruh umumnya

dalam kondisi lemah. Untuk membuat surat gugatan saja masih belum paham dan

sering salah walaupun sudah melalui advokasi serikat pekerja/buruh

Memperhatikan dari beberapa kasus sebagaimana disebutkan wajarlah

apabila para pelaku bisnis mencari keadilan (justitia bellen) dengan

mengembangkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan.

Dalam hal ini Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa untuk menyebarkan format

pendistribusi keadilan tidak semestinya terkonsentrasi hanya pada satu lembaga

yang bernama pengadilan20. Sementara Marc Galanter memberikan tamsil yang

sangat bagus, yaitu hendaknya ada justice in many rooms.21 Demikian juga

20
Satjipto Rahardjo, “Membangun Keadilan Alternatif...,” Harian Kompas, 2011, hlm. 2
21
Marc Galanter, 2010, Keadilan di Berbagai Ruangan: Lembaga Peradilan Masyarakat
Serta Hukum Rakyat , hlm.76
15 

Gagasan Alternative Dispute Resolution (ADR) sudah tersimpan lama sejak

gelombang gerakan Access to Justice Movement (AJM), terutama gelombang ketiga

yang menghendaki adanya jalur alternatif di luar pengadilan.22 Masyarakat dapat

mengalami keadilan atau ketidakadilan bukan saja melalui forum-forum yang

disponsori oleh negara, akan tetapi dapat juga melalui lokasi-lokasi kegiatan

primer. Lokasi kegiatan primer tersebut dapat berwujud pranata seperti: rumah,

lingkungan ketetanggaan, tempat kerja, kesepakatan bisnis, perusahaan dan

sebagainya. Hak ini karena kenyataannya praktik penyelesaian perselisihan

hubungan industrial secara litigasi melalui lembaga PHI belum mampu merangkul

kepentingan bersama bahkan cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam

penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal dan tidak responsive.

Memperhatikan dari kenyataan, pengalaman, dan pengamatan bahwa

pengadilan kurang tanggap dan tidak responsip atau unresponsive dalam bentuk

perilaku. Kritik ini didasarkan atas alasan bahwa pengadilan dalam memberikan

kesempatan serta keleluasaan pelayanan hanya kepada lembaga besar dan orang

kaya demikian juga dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Putusan

PHI tidak menyelesaikan masalah, dan tidak mampu memberi kedamaian dan

ketentraman kepada pihak-pihak yang berperkara. Banyaknya putusan yang tidak

bisa dijalankan atau sulit dilaksanakan karena PHI tidak mempuanyai kekuatan

memaksa untuk dilaksanakan. Hal ini antara lain mungkin disebabkan oleh berbagai

hal sebagai berikut:

22
Satjipto Rahardjo, loc. cit.
16 

a. Salah satu pihak pasti menang dan pihak lain pasti kalah (win-lose).

b. Keadaan kalah menang dalam berperkara tidak pernah membawa kedamaian,

tetapi menumbuhkan bibit dendam dan permusuhan serta kebencian.

c. Putusan pengadilan sering tidak memberi keadilan dan tidak bisa diprediksi

(unpredictable). 

Sebenarnya masih banyak kritik yang dapat dideskripsikan, tetapi dari

deskripsi yang diutarakan di atas sudah dapat memberikan gambaran mengenai

kegoyahan keberadaan peradilan sebagai kekuasaan kehakiman. Meskipun

kedudukan dan keberadaannya sebagai pressure valve and the last resort dalam

mencari kebenaran dan keadilan, namun kepercayaan masyarakat hubungan

industrial sudah berkurang terhadap PHI.

Jika kecaman yang diarahkan ke pengadilan dihubungkan dengan ungkapan-

ungkapan yang melekat pada PHI tersebut, masih pantaskah mempertahankan PHI

sebagai the last resort penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan sengketa

bisnis pada masa mendatang?

Apakah tidak perlu dicari dan dikembangkan bentuk-bentuk penyelesaian

perselisihan hubungan industrial baru sebagai alternative dan lebih memberikan

keadilan kedua belah pihak?

Memperhatikan dari uraian diatas maka penulis tertarik untuk mengkaji dan

mengadakan penelitian tentang Eksistensi Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)

Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia.


17 

Perumusan Masalah

1. Bagaimana eksistensi Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dalam sistem

peradilan di Indonesia?

2. Mengapa penyelesaian perselisihan melalui PHI belum menjadi pilihan

yang tepat dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial ?

3. Bagaimana penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapat

memberikan keadilan ?

Tujuan Penelitian
Sejalan dengan permasalahan maka tujuan penelitian adalah:

1. Menganalisis dan mengkaji eksistensi PHI dalam sistem peradilan di

Indonesia.

2. Menganalisis, mengkaji dan mengevaluasi penyebab penyelesaian melalui

PHI belum sebagai pilihan penyelesaian perselisihan hubungan industrial

yang tepat.

3. Menganalisis, mengkaji dan memilih prosedur penyelesaian perselisihan

perselisihan hubungan industrial yang memberikan keadilan.

Manfaat Penelitian
Secara umum suatu kajian ilmiah ditujukan untuk memberi kemanfaatan

atau kegunaan sebagai hasil akhir dari kajian itu sendiri. Manfaat atau kegunaan

yang diperoleh dari hasil kajian tersebut mencakup manfaat teoretis dan manfaat

praktis:

a. Manfaat Teoretis
18 

Manfaat teoretis akan terwujud, jika tujuan penelitian disertasi ini dapat

dicapai. Kontribusi teoretis terkait pengembangan ilmu, yaitu ilmu hukum

yang menjadi basis kajian. Secara teoretis temuan penelitian ini dapat

memberikan kontribusi sebagai berikut:

1) Memberikan sumbangan pemikiran dalam khasanah keilmuan Hukum

Ketenagakerjaan dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan

politik hukum pembentuk perundang-undangan penyelesaian

perselisihan hubungan industrial. Khasanah keilmum hukum ini

dibangun berdasarkan penelitian yang komprehensif, baik dari sisi

filosofi, historis, sosiologis, normatif (legal), komparatif dan dari segi

politik hukumnya .

2) Penemuan hukum tentang penyelesaian perselisihan yang memberikan

keadilan dengan musyawarah mufakat dalam Bipartit sebagai cara

penyelesaian perselisihan yang mendasarkan pada hubungan industrial

Pancasila dan local wisdom. Penemuan penyelesaian ini dibangun

berdasarkan penelitian yang komprehensif, baik dari sisi normatif (legal)

, sosio-empirik maupun filosofis dan komparatif.

b. Manfaat Praktis

Kontribusi praktis terkait dengan kemanfaatan secara praktis dan

pragmatis dalam penyusunan kebutuhan pembangunan hukum

ketenagakerjaan antara lain:

1) Bagi lembaga pembuat peraturan perundang-undangan, hasil penelitian

ini dapat berguna sebagai bahan kajian dan masukan dalam pembinaan
19 

dan pembangunan hukum nasional di bidang ketenagakerjaan secara

konstruktif dan konsisten dalam pembentukan peraturan perundanga-

undangan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang bersumber

pada Pancasila dan UUD 1945. Penelitian diharapkan dapat memberikan

masukan dan arah kebijakan yang ditempuh pemerintah dalam

pengaturan masalah ketenagakerjaan pada umumnya dan penyelesaian

perselisihan hubungan industrial pada khususnya.

2) Bagi masyarakat hubungan industrial , khususnya pada pihak-pihak yang

berkepentingan (stakeholders) terkait dengan pelaku usaha dan

pekerja/buruh, hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan guna

mengantisipasi terjadinya perselisihan antar pekerja/buruh dengan

pengusaha dan menjadikan pilihan dalam penyelesaian perselisihan

hubungan industrial yang memberikan keadilan bagi pihak yang

berselisih.

3) Bagi kalangan akademisi, hasil penelitian ini dapat digunakan untuk

menambah wawasan kognitif, afektif dan spikomotor ilmiah mengenai

penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam menyelesaikan

perselisihan hubungan industrial di perusahaan yang memberikan

keadilan yang seimbang lebih khusus lagi terkait lembaga penyelesaian

perselisihan, dengan demikian penelitian dapat memperkaya khasanah

ilmu hukum ketenagakerjaan.


20 

Keaslian Penelitian
Keaslian penelitian berisi uraian yang menggambarkan perkembangan dari

penelitian-penelitian terdahulu untuk topik serupa atau yang terdapat relasi dengan

topik yang diteliti.

Setelah penulis melakukan penelusuran, pengkajian dan penelaahan berbagai

penelitian bahwa penelitian disertasi yang berjudul "Eksistensi Pengadilan

Hubungan Industrial (PHI) Dalam Sistem Peradilan di Indonesia" dengan tujuan

meneliti latar belakang lahir dan keberadaan PHI, utamanya dari segi politik hukum

pembentukannya UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

hubungan Industrial belum pernah dilakukan, yaitu penelitian akan mengkaji

argumen dibentuknya PHI melalui latar belakang dilihat dari risalah landasan

filosofi , sosiologis dan normatif pembentukan UU Nomor 2 Tahun 2004. Penelitian

juga memberikan alasan PHI bukan sebagai pilihan yang tepat dalam penyelesaian

perselisihan antara pekerja/buruh dengan pengusaha dengan membandingkan

penyelesaian perselisihan setelah berlakunya UU Nomor 2 Tahun 2004 melalui

PHI dan diluar PHI.

Hal lain yang dicari dengan penelitian ini adalah mengetahui PHI belum

menjadi pilihanyang tepat dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial

terkait dengan konteks hubungan Industrial Pancasila. Dalam konteks hubungan

industrial maka nilai-nilai sila dalam Pancasila senantiasa menjadi pedoman dalam

hubungan pekerja/buruh dengan pengusaha baik hak dan kewajiban maupun dalam

hal terjadi perselisihan antara kedua belah pihak. Disisi lain selama ini PHI

memutus perkara dengan mengedepankan asas kepastian hukum, kemanfaatan dan


21 

keadilan, sementara masalah ketenagakerjaan tidak bisa hanya didasarkan pada

kepastian hukum, oleh karena itu masihkah PHI dapat sebagai pilihan/ alternatif

rujukan bagi para pekerja dalam mencari keadilan dalam hal ini putusan yang

memberi keadilan bagi para pihak.

Berdasarkan inventarisasi yang telah dilakukan menunjukan bahwa penelitian

yang berkaitan dengan penyelesaian perselisihan hubungan industrial pernah

dilakukan oleh beberapa peneliti pendahulu sebagai berikut:

1. Surya Perdana , Disertasi Program Pascasarjana Ilmu Hukum,USU, 2008, dengan

judul Mediasi Adalah Salah Satu Cara Penyelesaian Perselisihan Pemutusan

Hubungan Kerja Pada Perusahaan Di Sumatera Utara dengan fokus kajian

Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan

hasil penelitian bahwa Pengusaha dan tenaga kerja memilih mediasi sebagai

pilihan utama dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial diluar

pengadilan karena penyelesaian dilakukan secara kekeluargaan. 23

2. Susetiawan ,Disertasi Program Pascasarjana FISIP UGM, 2000 dengan judul

Konflik Sosial, Kajian Sosiologis Hubungan Buruh, Perusahaan dan Negara.

Penelitian tersebut lebih mengkaji secara sosiologis konflik sosial antara pelaku

antar dalam hubungan Industrial, yang meliputi nilai-nilai kultular, organisasi

dan kondisi kerja di dua perusahaan tekstil di Yogyakarta. Pemaparan empiris

tentang fenomenal industri di dua pabrik tekstil tersebut lebih menguraikan

23
Surya Perdana, op. cit., hlm. 351
22 

bentuk organisasi perusahaan dan sistem kekuasaan dalam organisasi dalam

mengatur perkembangan usaha,, tekanan struktur perusahaan terhadap kinerja

buruh serta dinamika kehidupan buruh dan strateginya dalam menghadapi hidup.

Penelitian oleh Susetiawan ini juga membuka konsep perkembangan hubungan

industrial dalam prespektif sejarah di Eropa dengan situasi kehidupan politik

yang menuju arah demokrasi sedang berlangsung, juga menggagas

perkembangan industrialisasi dan konstruksi hubungan perburuhan di

Indonesia.24

3. Wijayanto Setiawan, Disertasi Program Pascasarjana Unair Tahun 2006 dengan

judul Pengadilan Perburuhan di Indonesia. Penelitian mengkaji konsepsi lama

penyelesaian perselisihan perburuhan berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1957

tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan setelah berlakunya UU Nomor 5

Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara , sebelum berlakunya UU

Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan

Konsepsi baru penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial berdasarkan UU

Nomor 2 Tahun 2004.Hasil penelitian bahwasanya Penyelesaian perburuhan

oleh P4 berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1957 dikonsepkan dengan dua cara

yakni arbitrase sukarela (voluntary Arbitration) dan arbitrase wajib (compulsary

Arbitration). Setelah lahirnya UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara , penyelesaian perselisihan perburuhan berubah konsep menjadi

KTUN, berhubung putusan P4 dikategorikan sebagai KTUN. Dan penyelesaian

24
Susetiawan, 2000, Konflik Sosial, Kajian Sosiologis Hubungan Buruh, Perusahaan dan
Negara, Disertasi Program Pascasarjana FISIP Universitas Gadjah Mada , Yogyakarta, hlm. 301
23 

perselisihan perburuhan berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dikonsepkan melalui 2 sistem,

yaitu melalui pengadilan khusus di dalam PHI dan diluar pengadilan melalui

Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrasi hubungan industrial.25

4. Erman Suparman dalam Disertasi Program Pascasarjana Ilmu Hukum UNDIP,

Semarang, 2004, dengan judul Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa

Komersial untuk Penegakan Keadilan dan fokus kajian Forum Arbitrase dipilih

untuk penyelesaian sengketa komersil bagi kalangan atas dan para pihak akan

terjamin kerahasiannya serta putusannya dianggap lebih memuaskan bila

dibandingkan dengan proses pengadilan, dengan hasil penelitian bahwa

Arbitrase merupakan salah satu penyelesaian perselisihan/ sengketa di

perusahaan, selain penyelesaian perselisihan wajib melalui Bipartit, Konsiliasi,

Mediasi, PHI, dan MA.26

5. I Made Udiana dalam Disertasi Program Pascasarajana Unair Tahun 2013,

dengan judul Kedudukan dan Kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial.

Penelitian menganalisis tentang filosofi hubungan industrial, pembentukan

pengadilan hubungan industrial, menggali kompetensi absolut antara PHI

dengan pengadilan lainnya dalam Perselisihan Hubungan industrial. Hasil

penelitian menunjukan bahwa filosofi hubungan industrial Pancasila merupakan

hubungan antara pelaku barang dan jasa yang terdiri dari unsur pengusaha,

25
Wijayanto Setiawan, 2006, Pengadilan Perburuhan di Indonesia, Disertasi Program
Doktor pada Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, hlm. 250-251
26
Erman Suparman, 2004, Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial untuk
Penegakan Keadilan, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, 2004, hlm. 279.
24 

pekerja/atau buruh dan pemerintah yang harmonis , dinamis dan berkeadilan

dengan berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, dan kedudukan PHI

secara fungsional merupakan pengadilan khusus di lingkungan PN sedangkan

kompetensi absolut PHI yaitu bertugas / berwenang memeriksa mengadili dan

memutus ditingkat pertama mengenai perselisihan hak, pertama dan terakhir

perselisihan kepentingan, pertama perselishan PHK dan pertama dan terakhir

perselisihan antar buruh dalam perlahan.27

6. Mashari dalam Disertasi dengan judul Rekonstruksi Model Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial Berbasis Nilai Keadilan Sosial, adalah

Disertasi Pada Program Pascasarjana, UNDIP Tahun 2013 dengan fokus

penelitian adalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang secara non

litigasi dan secara litigasi melalui Pengadilan Hubungan Industrial yang tidak

berbasis nilai keadilan social hasil penelitian bahwa konstruksi model

penyelesaian perselisihan hubungan industrial berbasis nilai keadilan sosial

yang ideal, yakni konstruksi yang dibentuk berdasarkan proses dialogis antara

konsep penyelesaian perselisihan hubungan industrial sosialis dengan konsep

kapitalis.28

Memperhatikan dari beberapa penelitian terkait PHI yang sudah pernah

dilakukan tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial baik litigasi

maupun non litigasi, penulis melihat kajiannya berbeda dengan kajian peneliti ini,

27
I Made Udiana, 2013, Kedudukan dan Kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial,
Disertasi Program Doktor, Universitas Airlangga, Surabaya, hlm. 328.
28
Mashari , 2013, Rekonstruksi Model Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Berbasis Nilai Keadilan Sosial, Disertasi Pada Program Doktor, UNDIP, Semarang, hlm. 428-430.
25 

yang memfokuskan pada keberadaan PHI dilihat dari latar belakang politik hukum

pembentukannya dan penyelesaian perselisihan yang bisa memberikan keadilan.

Permasalahan-permasalahan tersebut belum pernah diangkat dalam penelitian-

penelitian sebelumnya sehingga penelitian ini menurut penulis dapat dianggap

memenuhi kaedah keaslian penelitian sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur,

rasional dan obyektif serta terbuka, yang semua ini merupakan implikasi etika dari

proses menemukan kebenaran ilmiah, sehingga penelitian dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Walaupun memiliki

perbedaan, penelitian sebelumnya diharapkan menjadi pengayaan dan penguatan

penelitian ini. Penelitian melihat terhadap eksistensi PHI dan prespektif lembaga

penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang memberikan keadilan dimasa

mendatang .

Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka adalah menguraikan secara sistematis mengenai asas-asas

hukum, peraturan perundanga-undangan, pendapat pakar, dan hasil penelitian

terdahulu yang terkait dengan materi penelitian yang diuraikan secara sistematis

sehingga membentuk pola pikir tertentu yang mengarah terbentuknya teori baru.

Guna menghindari perbedaan penafsiran istilah yang digunakan dalam

penelitian ini serta memberikan pegangan pada proses penelitian, maka sebelumnya

penulis menjelaskan terlebih dahulu definisi operasional dari berbagai istilah yang

digunakan dijelaskan dalam uraian kalimat berikut.

1. Definisi Operasional
26 

a. Eksistensi

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia eksistensi adalah keberadaan,

kehadiran yang mengandung unsur bertahan. Menurut Abidin Zaenal eksistensi

adalah :

“suatu proses yang dinamis, suatu, menjadi atau mengada. Ini sesuai dengan asal
kata eksistensi itu sendiri, yakni exsistere, yang artinya keluar dari, melampaui
atau mengatasi. Jadi eksistensi tidak bersifat kaku dan terhenti, melainkan lentur
atau kenyal dan mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran,
tergantung pada kemampuan dalam mengaktualisasikan potensi-potensinya”.29

Menurut Nadia Juli Indrani, eksistensi dapat dikenal juga dengan satu kata

yaitu keberadaan. Dimana keberadaan yang dimaksud adalah adanya pengaruh atas

ada atau tidak adanya kita. Seperti istilah “ hukuman” merupakan istilah umum dan

konvensional yang mempunyai arti yang luas dan dapat berubah-ubah karena

istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak

hanya sering digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari

seperti di bidang moral, agama dan lain sebagainya.30

Eksistensi dalam tulisan ini juga memiliki arti yang berbeda, eksistensi

yang dimaksud adalah keberadaan PHI sebagai lembaga penyelesaian

perselisihan hubungan industrial dalam sistem peradilan di Indonesia, dalam

penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Ludwig Binswanger merupakan seorang yang mendefinisikan eksistensial

sebagai analisis fenomenologis tentang eksistensi manusia yang aktual. Tujuannya

29
Abidin Zainal, www.word .com, Press.com. diakses 12 Juni 2014
30
Nadia Yuli Indriani, www.wordpress.com, diakses 15 Juni 2014.
27 

ialah rekonstruksi dunia pengalaman batin.15 Jean Paul Sartre sebagai seorang

filosof dan penulis Prancis mendefinisikan, “eksistensi kita mendahului esensi

kita”, kita memiliki pilihan bagaimana kita ingin menjalani hidup kita dan

membentuk serta menentukan siapa diri kita. Esensi manusia adalah kebebasan

manusia. Di mana hal yang ada pada tiap diri manusia membedakan kita dari

apapun yang ada di alam semesta ini. Kita sebagai manusia masing-masing telah

memiliki “modal” yang beraneka ragam, namun tetap memiliki kesamaan tugas

untuk membentuk diri kita sendiri.

Dalam filsafat eksistensi, istilah ekistensi diartikan sebagai gerak hidup

manusia kongkrit. Kata eksistensi berasal dari bahasa latin ex-sistere ( ex berarti

keluar dan tere berarti berdiri, tampil ) kata eksistensi diartikan manusia berdiri

sendiri dengan keluar dari dirinya. Dalam pengertian inilah eksistensi mengandung

corak yang dinamis. Dalam filsafat eksistensi, pengertian eksistensi digunakan

untuk menunjukkan cara benda yang unik dan khas dari manusia yang berbeda

dengan benda-benda lainnya, karena hanya manusialah yang dapat berada dalam

arti yang sebenarnya di banding mahluk-mahluk atau benda-benda lain di dunia ini

dan lebih spesifik lagi eksistensi lebih merujuk atau menunjuk pada manusia

secara individual artinya “individu yang ini” atau “individu yang itu” dan bersifat

kongkrit, kongkrit dalam arti bahwa manusia tidak diformulasikan berdasar

rekayasa ide abstrak spekulatif seseorang untuk menyatakan definisi manusia

secara umum.

Eksistensi bukanlah suatu yang sudah selesai, tapi suatu proses terus menerus

melalui tiga tahap, yaitu : dari tahap eksistensi estetis kemudian ke tahap etis, dan
28 

selanjutnya melakukan lompatan ke tahap eksistensi religius sebagai tujuan

akhir. Menurut Sukamto Satoto sampai saat kini tidak ada satupun tulisan ilmiah

bidang hukum, baik berupa buku, disertasi maupun karya ilmiah lainnya yang

membahas secara khusus pengertian eksistensi. Pengertian eksistensi selalu

dihubungkan dengan kedudukan dan fungsi hukum atau fungsi suatu lembaga

hukum tertentu. Sjachran Basah mengemukakan pengertian eksistensi

dihubungkan dengan kedudukan, fungsi, kekuasaan atau wewenang pengadilan

dalam lingkungan badan peradilan administrasi di Indonesia. Dalam penelitian ini

apa yang dimaksud dengan eksistensi adalah dihubungkan dengan kedudukan,

kewenangan, kekuasaan PHI dalam sistem peradilan di Indonesia dalam

penyelesaian perselisihan hubungan industrial.31

b. Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)

Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) adalah pengadilan khusus yang

dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili

dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.32 Berdasarkan

Pasal 27 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 selanjutnya menentukan bahwa

pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan

yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 25.

Memperhatikan hal tersebut maka dalam salah satu lingkungan peradilan dapat

dibentuk pengadilan khusus atau diferensi/spesialialisasi. Kini, pengadilan khusus

31
Ibid.
32
Pasal 1 angka 17 UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial
29 

tersebut dikenal dengan Peradilan Anak (UU Nomor 3 Tahun 1997), Pengadilan

Niaga dalam hal ini pengadilan niaga Jakarta Pusat (UU Nomor 4 Tahun 1998 jo.

UU Nomor 37 Tahun 2004), Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Nomor 26 Tahun

2000), Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor 30 Tahun 2002), Pengadilan

Hubungan Industrial (UU Nomor 2 Tahun 2004) dan Pengadilan Perikanan (UU

Nomor 31 Tahun 2004).

Menurut Bagir Manan pengertian pengadilan khusus ini bukan hanya dari

objek perkara, tetapi juga dari segi susunan majelis hakim yang terdiri hakim biasa

(karir) dan hakim Ad Hoc (ahli), beracara khusus seperti tidak adanya upaya hukum

banding dan penjadualan waktu penyelesaian perkara yang terbatas33. PHI

merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkup Pengadilan Negeri. PHI

bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perselisihan hak, perselisihan

kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antara

serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

c. Perselisihan Hubungan Industrial

Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang

mengakibatkan pertentangan antara pengusaha dan gabungan pengusaha dengan

pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisishan

mengenai hak, perselishan kepentingan , perselisihan PHK, perselisihan antara

33
Website Tempo Interaktif, http://www.tempoiteractive.com, diakses 7 April 2011.
30 

serikat buruh dalam perusahaan.34 Memperhatikan batasan tersebut maka diperoleh

pemahaman bahwa timbulnya perselisihan hubungan industrial dikarenakan adanya

pertentangan pendapat antara pekerja/buruh dengan pengusaha yang membuahkan

perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan karena pemutusan

hubungan kerja (PHK), perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam perusahaan,

empat hal itulah yang merupakan obyek perselisihan hubungan industrial.35

Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya

hak akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan

peraturan perundang-undangan , perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau


36
perjanjian kerja bersama . Perselisihan hak sering pula disebut perselisihan

normatif yaitu perselisihan terhadap hal-hal yang sudah ada pengaturan atau dasar

hukumnya37 ini terjadi karena tidak tegasnya batasan/penjelasan dalam peraturan

dan atau adanya perbedaan penilaian /penghargaan atas satu fakta hukum.38

Berdasarkan pengertian ini jelaslah bahwa perselisihan hak (rechtsgeschil)

merupakan perselisihan hukum karena perselisihan ini terjadi akibat pelanggaran

kesepakatan yang telah dibuat oleh para pihak termasuk di dalamnya hal-hal yang

sudah ditentukan peraturan perusahaan serta peratur perundang-undangan yang

berlaku. Menurut Imam Soepomo, perselisihan hak ini terjadi karena tidak adanya

34
Pasal 1 angka 1 UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial, bandingkan dengan Pasal 1 angka 22 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentag
Ketenagakerjaan.
35
Susanti Adi Nugroho, 2007, Naskah Akademis Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial, MARI, hlm. 20
36
Pasal 1 angka 1 UU Nomor 2 Tahun 2004
37
Sehat Damanik, 2006, Hukum Acara Perburuhan Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial Menurut UU Nomor 2 Tahun 2004, DSS Publising, Jakarta, hlm. 21
38
Susanti Adi Nugroho, 2007, op. cit., hlm. 21.
31 

persesuaian paham mengenai pelaksanaan hubungan39. Perselisihan hak sering

disebut hukum atau normatif, yakni perselisih kolektif atau perselisihan

perseorangan antara majikan atau serikat majikan dengan serikat mengenai

pelaksanaan hubungan kerja.40

Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan

kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau

perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan


41
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Perselisihan ini sering disebut

perselisihan tidak normatif42.

Perselisihan kepentingan atau disebut pula belangen geschil, menurut Iman

Soepomo terjadi karena ketidaksesuaian paham dalam perubahan syarat-syarat dan

atau keadaan perburuhan.43 Menurut Mumuddi Khan perselisihan kepentingan

(interest disputes) adalah "involve dissagreement over the formulation of standars

terms and condition of employment, as exist in a deadlock in collective bergaining

negosiations". 44

Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja adalah pemutusan yang timbul

karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja

39
Imam Soepomo, 1995, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, hlm. 97.
40
H.P. Rajagukguk, 2002, Peran Serta Pekerja Dalam Pengelolaan (Co Determination).
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm. 74.
41
Pasal 1 angka 34 UU Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial.
42
Susanti Adi Nugroho, loc. cit.
43
Imam Soepomo, loc. cit.
44
Mumuddi Khan, 1989, Labour Administration Profile on the Philippines, ILO Asia &
Pasific Regional Center for Labour Administration, Bangkok, hlm. 2
32 

yang dilakukan oleh salah satu pihak.45 Pada dasarnya perselisihan ini terjadi karena

adanya pertentangan pendapat atas dua hal yaitu tentang sah atau tidaknya

pemutusan hubungan kerja dan besarnya pesangon, yang diantara keduanya

mempunyai hubungan timbal balik. Jika PHK yang telah dilakukan oleh pengusaha

jelas dan kuat dasar hukumnya maka hal ini bahwa beban pengusaha untuk

menyediakan pesangon sedikit, bahkan mungkin tidak ada PHK, sebaliknya , bila

ternyata PHK tersebut dilakukan atas dasar tindakan sewenang-wenang pengusaha,

maka ini berarti pengusaha harus menyiapkan pesangon yang cukup tinggi kepada

pekerja/buruh karena ketentuan UU memang mengatur demikian.

UU sudah menetapkan bahwa pengusaha, pekerja/buruh, serikat

pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, secara bersama-sama dengan segala upaya

harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja, namun

terjadinya PHK sering kali tidak dapat dihindari. Hubungan antara pekerja dengan

pengusaha didasarkan atas kesepakatan untuk mengikat diri dalam suatu hubungan

kerja, jika salah satu tidak menghendaki lagi untuk terikat maka sulit untuk

mempertahan hubungan kerja yang harmonis di antara kedua belah pihak.

Perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam perusahaan adalah perselisihan

antara serikat pekerja/buruh dengan serikat pekerja/buruh lainnya hanya dalam satu

perusahaan, karena tidak adanya persesesuaian mengenai keanggotaan,

pelaksanaan hak dan kewajiban keserikatpekerjaan.46 Biasanya ini terjadi karena

45
Pasal 1 angka 4 UU Nomor 2 Tahun 2004.
46
Pasal 1 angka 5 UU Nomor 2 Tahun 2004
33 

tarik menarik keanggotaan serikat pekerja dan perwakilan serikat pekerja/buruh

dalam mewakili dihadapan pengusaha.47

Subjek perselisihan hubungan industrial ialah, pengusaha, pekerja/buruh

perorangan, serikat pekerja/serikat buruh dan usaha-usaha sosial dan usaha-usaha

yang tidak berbentuk perusahaan tetapi mempunyai pengurus dan mempekerjakan

orang lain dengan membayar upah. Menurut Wirawan, perselisihan hubungan

industrial terjadi karena masing-masing pihak rnempunyai kepentingan yang sering

bertentangan satu sama lain, seperti pengusaha menginginkan pekerja bekerja

dengan produktivitas setinggi mungkin dengan biaya produksi rendah. Hal ini

tercermin dengan pembayaran upah pekerja serendah mungkin agar dapat

menciptakan laba semaksimal mungkin. Pihak pekerja menginginkan upah setinggi

mungkin dengan kerja seminimal mungkin. Pemerintah menginginkan proses

barang dan jasa terpenuhi, pekerja puas dengan upah minimumnya, pengusaha

mendapatkan keuntungan, dan pemerintah mendapatkan pajak untuk membiayai

aktivitas pemerintahan. Kepentingan yang bertentangan inilah yang sering

menimbulkan konflik atau perselisihan hubungan industrial.48

Menurut Charles D. Drake dalam Aloysius Uwiyono bahwa perselisihan

antara pekerja dengan pengusaha dapat terjadi karena didahului oleh pelanggaran

47
Perselisihan antara Serikat Pekerja/Serikat Buruh sebenarnya bukan perselisihan
hubungan industrial karena pada dasarnya perselisihan hubungan industrial adalah pertentangan
antara pengusaha atau gabungan pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/ serikat buruh
bukan antar serikat pekerja/serikat buruh. Lihat juga dalam buku Dasar-Dasar Hukum
Ketenagakerjaan Indonesia Cetakan I, Edisi Ketiga, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hlm.
152.
48
Wirawan, 2010, Konflik dan Manajemen Konflik, Teori, Aplikasi, dan Penelitian,
Salemba Humanika, Jakarta, hlm. 224.
34 

hukum dan juga dapat terjadi karena bukan pelanggaran hukum. Perselisihan

perburuhan yang terjadi akibat pelanggaran hukum pada umumnya disebabkan

karena :

a. Terjadi perbedaan paham dalam pelaksanaan hukum perburuhan. Hal ini

tercermin dari tindakan pekerja/buruh atau pengusaha yang melanggar suatu

ketentuan hukum. Misalnya pengusaha tidak mempertanggungkan

pekerja/buruh pada program Jamsostek) kalua sekarang BPJS Ketenagakerjaan

dan BPJS Kesehatan , membayar upah di bawah ketentuan standar minimum

yang berlaku, tidak memberikan cuti dan sebagainya.

b. Tindakan pengusaha yang diskriminatif, misalnya jabatan, jenis pekerjaan,

pendidikan, masa kerja yang sama tetapi karena perbedaan jenis kelamin lalu

diperlakukan berbeda.49

Perselisihan hubungan industrial juga dapat terjadi dengan didahului atau

tanpa didahului suatu pelanggaran hukum yang tidak dapat didamaikan antara

pengusaha dengan pekerja. Perselisihan hubungan industrial yang diawali dengan

suatu tindakan pelanggaran hukum, perselisihan hubungan industrial demikian itu

pada umumunya disebabkan oleh beberapa faktor:

1) Sebagai akibat terjadinya perbedaan faham tentang pelaksanaan hukum

perburuhan. Hal ini tercermin dalam tindakan pengusaha atau pekerja yang

melanggar suatu ketentuan hukum. Misalnya pengusaha membayar upah

49
Aloysius Uwiyono, 2001, Hak Mogok di Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta,
hlm. 215.
35 

pekerja di bawah ketentuan hukum yang mengatur upah minimum, atau

pengusaha tidak memberikan cuti tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan atau pekerja yang

telah melakukan kerja lembur tidak dibayar upah lemburnya oleh pengusaha.

Pelanggaran hak pekerja oleh pengusaha di sini merupakan faktor penyebab

terjadinya perselisihan hubungan industrial.

2) Perselisihan hubungan industrial yang diawali dengan pelanggaran hukum ini,

juga dapat disebabkan oleh terjadinya pembedaan perlakuan yang tercermin

dalam tindakan pengusaha yang bersifat diskriminatif, karena gender, suku ,ras

atau agama yang berbeda. 50

Perselisihan hubungan industrial yang disebabkan oleh ketidaksepahaman

tentang perbedaan pelaksanaan hukum perburuhan, pembedaan perlakuan, dan

ketidaksepahaman dalam menafsirkan hukum perburuhan sebagaimana telah

diuraikan di atas, disebut perselisihan hak atau hukum (conflict of rights).51

Perselisihan hubungan industrial yang disebabkan oleh ketidaksepahaman tentang

perubahan syarat-syarat kerja dikategorikan sebagai perselisihan kepentingan

(conflict of interest ).52 Perselisihan hak hukumnya dilanggar, tidak dilaksanakan,

50
Charles D. Drake, 1981, Labor Law, 3th. ed., Sweet & Maxwell Ltd., London, hlm.
240.
51
T. Hanami dan R. Blanpain, 1987, Introduction, Remarks and A Comparative
Overview, T. Hanami, ed., dalam Industrial Conflict Resolution in Market Economies: A Study
of Canada, Great Briiain and Sweden Kluwer Law and Taxation Publishers, Deventer /
Netherlands, hlm. 6. Lihat juga Xavier Blanc-Jouvan, 1971, The Settlement of Labor Disputes
in France, Benjamin Aaron, ed., Labor Courts and Grievance Sculementin Western Europe,
University Of California Press, Berkeley Los Angeles, hlm. 8-9.
52
Dennis R. Nolan,1990, Regulation of Industrial Disputes in Australia, New Zeland,
and The United States", Whittier Law Review II ,Winter, hlm. 761.
36 

atau ditafsirkan secara berbeda, sedangkan dalam perselisihan kepentingan,

hukumnya belum ada karena dalam perselisihan kepentingan ini, para pihak

memperselisihkan hukum yang akan dibentuk.

d. Sistem Peradilan

Sistem peradilan adalah satu keseluruhan komponen peradilan pihak-pihak dalam proses

peradilan , hierarki kelembagaan peradilan, hierarki kelembagaan peradilan umum, aspek-aspek

yang bersifat prosedural yang berkaitan sedemikian sehingga terwujud satu keadilan hukum.

Pemahaman mengenai ”sistem” dapat diartikan sebagai suatu rangkaian diantara

sejumlah unsur yang saling terkait untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam

pandangan Muladi pengertian sistem harus dilihat dalam konteks, baik sebagai

physical system dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk

mencapai suatu tujuan dan sebagai abstract system dalam arti gagasan-gagasan

yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain saling ketergantungan.

Dan apabila dikaji dari etimologis, maka ”sistem” mengandung arti terhimpun

(antar) bagian atau komponen (subsistem) yang saling berhubungan secara

beraturan dan merupakan suatu keseluruhan. Sedangkan ”peradilan” merupakan

suatu mekanisme pemeriksaan perkara yang bertujuan untuk menghukum atau

membebaskan seseorang dari suatu tuduhan. Tujuan akhir dari peradilan ini tidak

lain adalah pencapaian keadilan bagi masyarakat.

Membahas sistem peradilan , maka landasan awal adanya tingkatan pada

sistem peradilan di Indonesia ditetapkan di dalam konstitusi yaitu UUD 1945.

Dalam Pasal 24 UUD 1945 dinyatakan bahwa:


37 

(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk


menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

(3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman


diatur dalam undang-undang.

Melalui Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dapat disimpulkan bahwa

terdapat tingkatan antara Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi

dan badan peradilan yang berada di bawahnya, yang kemudian akan diatur dalam

undang-undang. Undang-Undang mengenai kekuasaan kehakiman yang berlaku

pada saat ini adalah UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,

yang dalam konsiderans “Menimbang” poin b dinyatakan tujuan UU Nomor 48

Tahun 2009 adalah dimaksudkan untuk melakukan penataan sistem peradilan yang

terpadu agar mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan peradilan yang

bersih serta berwibawa.

Mengenai tingkatan sistem peradilan di Indonesia, diatur secara terperinci

dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 28 UU Nomor 48 Tahun 2009. Sesuai Pasal

24 UUD N RI 1945 jo. Pasal 18 dan Pasal 25 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009,

terdapat empat lingkungan peradilan di Indonesia: peradilan umum, peradilan

agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Keempat lingkungan

peradilan ini memiliki kompetensi yang berbeda dalam memeriksa, mengadili dan

memutus perkara. Pasal 25 ayat (2) sampai dengan ayat (5) UU Nomor 48 Tahun

2009 menjelaskan mengenai kewenangan dari tiap lingkungan peradilan yang


38 

kemudian diatur lebih lanjut melalui ketentuan perundang-undangan yang lebih

khusus. Misalnya, untuk lingkungan peradilan umum dapat ditemukan

ketentuannya dalam UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum

sebagaimana telah diubah melalui UU Nomor 8 Tahun 2004 dan UU Nomor 49

Tahun 2009. Mengenai jenjang dan proses dalam sistem peradilan di Indonesia,

Pasal 26 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa:

“Putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada


pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-
undang menentukan lain.”

Selanjutnya diatur dalam Pasal 23 UU Nomor 48 Tahun 2009:

“Putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada


Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-
undang menentukan lain.”

Lebih lanjut dinyatakan dalam Pasal 24 UU Nomor 48 Tahun 2009:

(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan
dalam undang-undang.

(2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan


kembali.

Dari rangkaian penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa jenjang pengadilan

diperlukan untuk mengantisipasi ketidakcermatan yang mungkin dilakukan oleh

hakim pada tingkatan sebelumnya dan memenuhi rasa keadilan. Jenjang pengadilan

di Indonesia adalah pengadilan dalam tingkat pertama, pengadilan dalam tingkat

banding, dan Mahkamah Agung. Badan peradilan lain yang terdapat dalam sistem

peradilan di Indonesia adalah Mahkamah Konstitusi, yang menurut Pasal 24C UUD

1945 jo. Pasal 29 UU Nomor 48 Tahun 2009 berwenang mengadili pada tingkat
39 

pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk hal: menguji undang-

undang terhadap UUD N RI 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara

yang kewenangannya diberikan oleh UUD N RI 1945; memutus pembubaran partai

politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan kewenangan lain

yang diberikan oleh undang-undang. Undang-undang tentang Mahkamah

Konstitusi yang berlaku pada saat ini adalah UU Nomor 24 Tahun 2003

sebagaimana telah diubah melalui UU Nomor 8 Tahun 2011.

2. Pendapat Pakar dan Hasil Penelitian

Pembentukan hukum di Indonesia khususnya dari segi substansi hukum

tidak hanya pada proses penyusunan dan penetapan berbagai peraturan perundang-

undangan, akan tetapi berjalan bersama pemberdayaan berbagai putusan

pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pembentukan PHI

berdasarkan landasan ontologis sebagai dasar keilmuan adalah upaya untuk

menjawab “apa” yang menurut Aristoteles merupakan the first philoshophy dan

merupakan ilmu mengenai esensi benda, istilah dari kata Yunani “on” = “being”

dan “logo” =”logic” sehingga ontologi adalah The theory of qua being atau teori

tentang “keberadaan sebagai keberadaan”.53 Sementara Poejawitna menyatakan

bahwa esensi dari sistematika filsafat sesungguhnya meliputi penyelidikan tentang

hakikat “ada”, yakni ada umum, ada mutlak, ada terbatas dan ada khusus.

Keseluruhannya meliputi hakikat adanya Tuhan, alam semesta, adanya makhluk

53
A. Mukti Fajar, 2007, Diktat Filsafat Ilmu Pengetahuan, Fak. Hukum UNIBRAW,
Malang, hlm. 23.
40 

pengetahuan Tuhan, nilai-nilai dalam kehidupan (budaya dan peradaban) dan nilai-

nilai ke Tuhanan dan keagamaan54, terkait dengan mengkaji apa yang menjadi latar

belakang hadirnya UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial.

Secara filosofis mengungkapkan dari segi kepentingan, kemanfaatan dan

suasana kebatinan hadirnya UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial saat ini yang memuat nilai-nilai keadilan,

ontologi , filosofis berkaitan dengan satu ketentuan UU untuk menjawab mengapa

ada ketentuan UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial.

Pembentukan UU Nomor 2 Tahun 2004 dibuat atas dasar asas pembentukan

peraturan perundang-undangan. UU yang mengatur tentang pembentukan peraturan

perundang-undangan adalah UU No 5 Tahun 2004 yang telah dicabut dengan UU

Nomor 12 Tahun 2011. UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara

atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Menurut Pieter M.

Marzuki bahwa peraturan yang dibentuk oleh lembaga negara yang berwenang

maksudnya adalah dalam bentuk legislasi. Adapaun peraturan tertulis yang

dibentuk oleh pejabat negara yang berwenang yang dimaksudkan adalah regulasi.

Menurut UU Nomor 12 Tahun 2011 hierarki peraturan perundang-undangan adalah

sebagai berikut:

54
Poejawitna, 1983, Pembimbing Kearah Filsafat, Bina Aksara, Jakarta, hlm. 11-19
41 

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang.

3. Peraturan pemerintah.

4. Peraturan Presiden.

5. Peraturan Daerah.

Memperhatikan uraian di atas maka pembentukan PHI harus sesuai dengan

ketentuan yang terdapat dalam UU Nomor 12 Tahun 2011. Menurut Y. Sogar

Simamora pembentukan peradilan di Indonesia beradasarkan pada asas peraturan

perundang-undangan yang baik sesuai dengan prinsip-prinsip hukum. Prinsip

hukum dalam hal ini diperlukan sebagai pembentukan aturan hukum sekaligus

sebagai dasar dalam memecahkan persoalan hukum yang timbul manakala aturan

hukum yang tersedia tidak memadai.55 Pemikiran penulis bahwa wujud

pembentukan peraturan-perundang-undangan sejalan dengan prinsip-prinsip

keadilan sosial yang mencerminkan kesejahteraan manusia baik lahir maupun batin

bagi rakyat Indonesia dan bertujuan untuk menegakkan keadilan yang merupakan

pandangan hidup bangsa. 

Terkait dengan penelitian bahwa penyelesaian perselisihan antara

pengusaha dengan pekerja/buruh harus berdasarkan hukum dan keadilan. Keadilan

merupakan salah satu tujuan hukum di samping kebenaran. Keadilan pada lembaga

PHI dapat terwujud, apabila perselisihan tersebut diselesaikan oleh hakim yang

55
Y. Sogar Simamora,2005, Prinsip Hukum Kontrak Dalam Pengadaan Barang dan Jasa
oleh Pemerintah , Disertasi Program Doktor, Unair, Surabaya, hlm. 22-23
42 

memiliki sensitivitas terhadap persoalan buruh. Sensivitas ini perlu didukung

semua pemangku kepentingan (stake holders), termasuk negara dalam memberikan

perhatian kesejahteraan kepada para hakim.56 Menurut Mashari dampak

penyimpangan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang tidak berbasis nilai

keadilan sosial terhadap kesejahteraan pekerja, menimbulkan persoalan di bidang

ketenagakerjaan dan implikasinya bagi kepastian berusaha di Indonesia. Terjadinya

persoalan ini perlu dicarikan solusinya dengan membangun hubungan industrial yang

harmonis, dinamis, dan berkeadilan sosial yang mampu menyelesaikan antara

kepentingan pekerja dan pengusaha sebagai bagian dari agenda peningkatan

kesejahteraan pekerja. Kondisi hubungan industrial yang harmonis harus selalu

ditumbuh-kembangkan menjadi lebih baik, yang pada gilirannya dapat peningkatan

kesejahteraan pekerja melalui progam kepemilikan saham pekerja di perusahaan,

sehingga segala daya upaya akan dilakukan oleh pekerja untuk meningkatkan kemajuan

perusahaan dalam meraih untung sebesar-besarnya. Rasa memiliki dan rasa tanggung

jawab terhadap perusahaan dari kaum pekerja akan semakin besar, karena pekerja

merupakan salah satu pihak pemilik perusahaan sebagai tempat mereka bekerja57

Pada perkembangannya bahwa hubungan industrial dapat berlangsung

dengan baik manakala berdasarkan ketentuan sebagaimana Pasal 103 UU Nomor

13 Tahun 2003 ditentukan sarana hubungan industrial, yaitu yang terdiri dari:

serikat pekerja/serikat buruh; organisasi pengusaha; lembaga kerja sama bipartit;

56
Abdul Khakim,2010, Aspek Hukum Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
(antara Peraturan dan Pelaksanaan), PT. Cipta Aditya Bakti, Bandung, hlm. 5.
57
Mashari, op. cit., , hlm 315.
43 

lembaga kerja sama tripartit; peraturan perusahaan; perjanjian kerja bersama;

peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; dan lembaga penyelesaian

perselisihan hubungan industrial.

Hasil penelitian Susetiawan mengenai relasi atau hubungan industrial

antara buruh, pengusaha dan negara menunjukan bahwa nilai-nilai kultural

seperti “harmoni” dan “tolong menolong” telah diinstutisionalisasi dalam

hubungan industrial di Indonesia. Ideologi kontemporer mengacu pada Hubungan

Industrial Pancasila (HIP). Elemen-elemen dalam pemahaman terhadap HIP

adalah prinsip “harmoni” serta eliminasi terhadap konflik. Kedua nilai tersebut

diinterprestasikan secara cukup berbeda oleh pengusaha dan manajemen di satu

sisi dan para pekerja di sisi lain. Bagi para manajer dan pengusaha harmoni

mengandung arti kondisi ”ketentraman industrial” dimana konflik absen karena

dianggap “ deviasi patologis” dari sebuah tipe ideal hubungan industrial yang

damai sehingga harus dieliminasi. Hal tersebut telah melegitimasi kontrol

manajemen terhadap serikat pekerja/buruh pada tingkat perusahaan.58

Dalam era industrialisasi perselisihan hubungan Industrial menjadi

kompleks, untuk menyelesaikannya diperlukan institusi yang mendukung

penyelesaian perselisihan secara cepat, tepat adil dan murah. Namun dewasa ini

cara penyelesaian melalui peradilan mendapatkan kritik yang cukup tajam baik

praktisi maupun teoritis hukum. Dalam hal ini S. Susanto meyatakan bahwa

58
Ari Hernawan, op. cit., hlm.40
44 

peradilan modern syarat dengan beban formalitas, prosedur, birokrasi, serta

metodologi yang ketat, oleh sebab itu keadilan yang diperoleh masyarakat modern

tidak lain adalah keadilan birokrasi.59 Alternatif penyelesaian sengketa bisnis yang

diupayakan pihak-pihak di luar pengadilan merupakan realita perubahan

kecenderungan manusia dalam masyarakat yang harus diterima.60 Menurut Erman

Rajaguguk, masyarakat khususnya kaum bisnis lebih menyukai penyelesaian

sengketa diluar pengadilan disebabkan karena tiga alasan, yaitu: Pertama,

penyelesaian di pengadilan adalah terbuka , kaum bisnis lebih menyukai sengketa

mereka diselesaikan tertutup tanpa diketahui publik. Kedua, sebagian masyarakat

khususnya orang bisnis menganggap hakim selalu ahli dalam permasalahan

sengketa yang timbul. Ketiga, penyelesaian sengketa di pengadilan akan mencari

pihak yang mana yang salah dan mana yang benar, sedangkan putusan penyelesaian

sengketa diluar pengadilan akan dicapai melalui kompromi.61

Lahirnya UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial memberikan warna baru dalam upaya penyelesaian

perselisihan yaitu dengan melalui penyelesaian di luar pengadilan hubungan

industrial yang meliputi Bipartit, Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrasi sementara

penyelesaian perselisihan melalui pengadilan adalah PHI. Terkait penyelesaian

59
S. Susanto, “ Lembaga Peradilan dan Demokrasi”, Makalah pada seminar Nasional
tentang Pendayagunaan Sosiologi Hukum Dalam Masa Pembangunan Dan restrukturisasi Global,
FH UNDIP, 5 Pebruari 1996
60
Nevey Varida Ariani, ”Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis di luar Pengadilan
(Non Litigation Alternatives Busines Dispute Resolution),” Jurnal Rechtsvinding, Jakarta, Vol. 1
Nomor 2, 2012, hlm. 277-294
61
Erman Rajaguguk, 2001, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Chandra Pratama,
Jakarta, hlm. 30
45 

diluar pengadilan, Uwiyono menyimpulkan bahwa penyelesaian perselisihan

alternatif sebagai mekanisme perselisihan perburuhan diluar pengadilan yang

dijiwai semangat kerja sama, dapat memberikan peluang untuk menjaga

kelangsungan hubungan antara pengusaha dan buruh yang sempat terganggu oleh

terjadinya perselisihan perburuhan. Peluang untuk menjaga hubungan kerja sama

ini tidak dimiliki oleh mekanisme penyelesaian melalui pengadilan. Penyelesaian

perselsihan alternatif yang menekankan pada “win-win solutions”, bukan “ win lose

solutions” dapat menekan atau memperkecil kemungkinan terjadinya pemogokan.62

Menurut Susetiawan, konflik harus berdampingan dengan harmoni. Konflik

dapat ditangani tanpa menganggu harmoni, bilamana kepentingan-kepentingan

semua pihak diperhitungkan dan satu keseimbangan antara mereka dicapai. Hal

tersebut memerlukan sebuah pemerintahan yang serius dalam upaya mengangkat

norma-norma legal yang melindungi kepentingan para buruh maupun

pengusaha.63 Dalam hal ini Andari Yurikosari juga mengatakan bahwa untuk lebih

menjamin terciptanya rasa keadilan bagi pihak yang beperkara, menurut UU Nomor

2 Tahun 2004, penyelesaian sengketa diutamakan melalui perundingan guna

mencari musyawarah mufakat di luar pengadilan. Ada empat cara yang dapat

dilakukan dalam perundingan atau penyelesaian perselisihan di luar pengadilan,

yaitu melalui bipartit, konsiliasi, arbitrase, dan mediasi.64 Terkait dalam

62
Ari Hernawan, op. cit., hlm. 35
63
Ibid., hlm. 41
64
Jamal Wiwoho, “Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Indonesia”, Jurnal
Hukum Bisnis , Vol. 32 Nomor 2, 2013, hlm. 141-150.
46 

penyelesaian perselisihan antar pekerja dengan pengusaha, regulasi yang ada

memerintahkan kewajiban musyawarah untuk mufakat dengan memberikan

kedudukan yang seimbang dan tetap mempertahankan harmoni sebagai alternatif

penyelesaian diluar pengadilan melalui penyelesaian bipartit.

Landasan Teori
Landasan teori dalam penelitian digunakan sebagai pisau analisis. Menurut

Radburch tugas dari teori hukum adalah membikin jelas nilai-nilai oleh postulat-

postulat hukum sampai kepada dasar-dasar filsafat yang paling dalam. Dalam

penelitian ini akan digunakan Teori negara kesejahteraan, Teori Keadilan dari John

Rawls dan Teori Keadilan Pancasila.

Untuk menjawab perumusan masalah pertama terkait dengan eksistensi PHI

dalam sistem peardilan di Indonesia digunakan Teori Negara Kesejahteraan karena

negara mempunyai tugas mengatur dan mengurus. Hubungan industrial adalah

suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi

barang dan / jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja buruh dan pemerintah

yang didasarkan pada nilai - nilai Pancasila dan UUD 1945. Dari definisi hubungan

industrial yang menampakan adanya 3 pihak yaitu pekerja, pengusaha dan

pemerintah, menunjukan adanya unsur pemerintah sebagai intervensionis dalam

hubungan pekerja/buruh dan pengusaha. Negara (dalam hal ini diwakili oleh

pemerintah) adalah agency (alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan

untuk mengatur hubungan antar manusia di dalam masyarakat. Dalam tugas

mengatur negara mempunyai kewenangan membuat regulasi untuk memberikan


47 

kesejahteraan pekerja/buruh dalam hubungan industrial. Apakah PHI dalam sistem

peradilan di Indonesia sudah sesuai dengan latar belakang pembentukannya?

Perumusan masalah kedua dan ketiga terkait dengan mengapa mekanisme

penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui PHI belum menjadi pilihan

yang tepat dan bagaimana penyelesaian perselisihan yang memberikan keadilan

digunakan teori Keadilan dari John Rawls dan Teori Keadilan Pancasila karena

kedua teori tersebut menurut penulis paling tepat dalam mekanisme penyelesaian

perselisihan hubungan industrial dan bagaimana satu penyelesaian hubungan

industrial yang memberikan keadilan. John Rawls yang dipandang sebagai

perspektif “liberal-egalitarian of social justice”, berpendapat bahwa keadilan

adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions).

Akan tetapi, kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau

menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan.

Khususnya masyarakat lemah pencari keadilan.65 Rawls memandang bahwa

kesepakatan yang fair hanya bisa dicapai dengan adanya prosedur yang tidak

memihak. Hanya dengan suatu prosedur yang tidak memihak, prinsip-prinsip

keadilan bisa dianggap fair. Karenanya, bagi Rawls, keadilan sebagai fairness

adalah “keadilan prosedural murni”. Dalam hal ini, apa yang dibutuhkan oleh

mereka yang terlibat dalam proses perumusan konsep keadilan hanyalah suatu

prosedur yang fair (tidak memihak) untuk menjamin hasil akhir yang adil pula.

Rawls menegaskan pentingnya semua pihak, yang terlibat dalam proses pemilihan

65
Ibid., hlm. 139-140.
48 

prinsip-prinsip keadilan, berada dalam suatu kondisi awal yang disebutnya “posisi

asali” (the original position). Di sini, posisi asali merupakan suatu tuntutan agar

keadilan dalam arti fairness bisa didapatkan. Posisi asali ini juga berfungsi sebagai

penghubung antara konsep person moral di satu pihak, dengan prinsip-prinsip

keadilan di lain pihak.

Berikut penulis uraikan teori yang digunakan dalam hubungannya dengan

perumusan masalah dalam penelitian.

Teori Negara Kesejahteraan (Welfare State)

Teori negara kesejahteraan pertama di perkenalkan oleh J.M Keynes. Negara

kesejahteraan pertama-tama dipraktekkan di Eropa dan AS pada abad 19 yang

ditujukan untuk mengubah kapitalisme menjadi lebih manusiawi (compassionate

capitalism). Dengan sistem ini, negara bertugas melindungi golongan lemah dalam

masyarakat dari gilasan mesin kapitalisme. Teori negara kesejahteraan pertama

dianut oleh negara-negara Skandinavia seperti: Denmark, Swedia, Norwegia,

Finlandia dan Eslandia merupakan negara yang telah lama menganut faham rezim

kesejahteraan sosial demokrat. Dimana kunci perkembangannya ada pada posisi

kaum petani yang relatif kuat pada masa pra-industri, sehingga kelas petani mampu

mendiktekan agenda kebijakan sosial yang tidak hanya mencakup perlindungan

terhadap kelas pekerja urban, tetapi juga kepentingan kelas petani pedesaan. Hal

inilah yang mendorong berkembanganya rezim kesejahteraan yang lebih universal

diantara negara-negara skandinavia baik dalam etnik, agama maupun bahasa.

Paham negara kesejahteraan bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Menurut Teori Utilitarianisme dari Jeremy Bentham apa yang cocok digunakan,
49 

atau cocok untuk kepentingan individu adalah apa yang cenderung untuk

memperbanyak kebahagiaan. Apa yang cocok untuk kepentingan masyarakat

adalah apa yang cenderung menambah kesenangan individu-individu yang

merupakan anggota masyarakat itu. Hal inilah yang mesti menjadi titik total dalam

menata hidup manusia, termasuk hukum66. Hukum sebagai tatanan hidup bersama

harus diarahkan untuk menyokong perwujudan sebesar-besar kebahagiaan umat

manusia. Negara memiliki peran yang sangat strategis untuk mewujudkan

kebahagiaan atau kesejahteraan warganya melalui pelaksanaan fungsi-fungsi

negara.

Perkembangan peran negara67 telah terjadi sebagai akibat proses modernisasi

dan demokratisasi sistem pemerintahan negara. Kegagalan legal state

menyebabkan perubahan paradigma terhadap tanggung jawab negara, dari negara

sebagai penjaga malam (night-watchman state) menjadi negara kesejahteraan

(welfare state). Negara kesejahteraan adalah suatu bentuk pemerintahan

demokratis68 bahwa negara bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat yang

66
C.J. Friedrich, op. cit., hlm. 46
67
Faham negara mengalami perkembangan dari Political state menjadi Legal State dan
akhirnya Welfare State. Ketiga faham tersebut semuanya memantaatkan kekuasaan yang dimiliki
negara sebegai penentu kehendak terhadap aktifitas rakyat yang dikuasainya. Kekuasaan negara
pada Political state dipegang oleh scorang Monarch yang absolute. Pada Legal state kekuasaan
negara berada secara mutlak di tangan rakyat dalam pemerintahan liberal yang menguntungkan
kaum borjuis. Negara Welfare state muncul sebagai jawaban atas ketimpangan, sosial yang terjadi
dalam sistem ekonomi liberal. Negara memiliki freies ermessen, yaitu kebebasan untuk turut serta
dalam seluruh kegiatan sosial, politik dan ekonomi dengan tujuan akhir menciptakan kesejahteraan
umum (bestuurszorg). Lihat Mahfud dan Marbun, 1987, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara,
Liberty. Jakarta, hlm. 42.
68
Demokratis, karena dalam negara kesejahteraan tidak ada monopoli negara melainkan
justru ada jaminan kemerdekaan serta menghargai inisiatif swasta. Kerjasama antara negara dan
masyarakat menjadi kunci keberhasilan tujuan negara kesejahteraan. Lihat T. Sumargono. 1991,
Sistem Intervensi Kesejahteraan Sosial, PT Hanindita, Yogyakarta, hlm. 67. Bandingkan dengan
kerjasama negara dan masyarakat dalam Riant Nugroho Dwidjowoto,2004, Komuniasi
50 

minimal, bahwa pemerintah harus mengatur pembagian kekayaan negara agar tidak

ada rakyat yang kelaparan, dan tidak ada rakyat yang masuk rumah sakit jiwa

karena di PHK oleh pengusaha.69

Negara kesejahteraan mengandung unsur sosialisme, mementingkan

kesejahteraan di bidang politik maupun di bidang ekonomi. Negara kesejahteraan

mengandung asas kebebasan (liberty), asas kesetaraan hak (equality) maupun asas

persahabatan (fraternity) atau kebersamaan (mutuality). Asas persahabatan atau

kebersamaan dapat disamakan dengan asas kekeluargaan atau gotong royong.70

Fungsi Negara dalam bidang ekonomi, antara lain: (a) negara sebagai

penjamin (provider) kesejahteraan rakyat, (b) negara sebagai pengatur (regulator),

(c) negara sebagai pengusaha (entrepreneur) atau menjalankaa sektor-sektor

tertentu melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan (d) negara sebagai wasit

(umpire) untuk merumuskan standar yang adil mengenai sektor ekonomi termasuk

perusahaan negara (state corporation)71.

Menurut W. Friedman fungsi negara dalam faham negara kesejahteraan ,

negara boleh campur tangan dalam bidang perekonomian. Berbeda dengan negara

kesejahteraan, negara penjaga malam yang berpendirian bahwa pemerintah

Pemerintahan: Sebuah Agenda Bagi Pemimpin Pemerintahan Indonesia, PT Elex Media


Komputindo, Jakarta, hlm. 102.
69
Pembagian kekayaan. distribusinya dapat dilakukan oleh hukum melalui beberapa cara,
yaitu : In the first place it has generated a mass of laws, regulations by-law and procedure Secondly.
Poverty Law, Planning law, pensions and benefit of every kind necessitate of a large number of
tribunals and public authorities and the vesting of power in a diversity of state of officials and
agencies". Lihat. C.G. Weeramantry, 1975, The Law in Crisis-Bridges of Understanding. Capemos
Singapura, hlm 216.
70
R.M.A.B Kusuma,” Negara Kesejahteraan dan Jaminan Sosial”, Jurnal Mahkamah
Konstitusi, Vol.3, Februari 2006, Jakarta, hlm. 160-175.
71
Wolfgang Friedmann, 1971, The State and The Rule of Law in a Mixed Economy, Stevens
-and Sons, London, hlm. 3.
51 

sebaiknya tidak ikut campur dalam bidang perekonomian. Doktrinnya Laissez Faire

(Leave it alone), yakni ajaran yang menyatakan bahwa kesejahteraan rakyat dapat

meningkat bila pemerintah tidak ikut campur mengatasi perekonomian.

Semboyannya adalah pemerintah yang terbaik adalah pemerintah yang tidak

mencampuri urusan perekonomian "(The least government is the best government).

Ideologi utama negara penjaga malam adalah unsur kapitalisme.

Penganut paham demokratis yang lebih mementingkan kebebasan (liberty)

dan pada kesetaraan hak (equality). Penganut paham ini menganggap bahwa dalam

suatu negara yang demokratis, setiap individu harus bebas dari pengaruh

pemerintah agar tercapai produktivitas dan efisiensi setinggi-tingginya.

Gagasannya adalah "Makin kecil kekuasaan pemerintah berarti makin besar

kebebasan individu" (The less governmental power, the more individual liberty).

Menurut penganut paham ini, pemerintah tidak boleh ikut campur tangan untuk

menentukan upah minimum dan mengatur kesehatan para pekerja, Penganut paham

ini masalah-masalah sosial lainnya. Tokoh ekonom yang dianut adalah Thomas

Robert Malthus (1766-1834) dan David Ricardo (1772-1823) yang mengajarkan

bahwa gaji, harga barang, sewa dan keuntungan itu tergantung pada hukum

ekonomi yang tidak dapat dikontrol oleh manusia. Campur tangan pemerintah atau

serikat pekerja tidak efektif dan berakibat merusak tatanan.72

Menurut kaum kapitalis/liberalis ini pada akhir Perang Dunia Pertama mulai

berubah. Mereka tidak lagi menganggap pemerintah sebagai musuhnya karena ada

72
R.M.A.B. Kusuma, op. cit., hlm. 161.
52 

musuh baru yang harus dihadapi, yaitu perusahaan besar yang menindas saingannya

dan adanya serikat pekerja yang makin kuat dan menggunakan senjata "hak mogok"

dengan semaunya. Mereka meminta agar pemerintah ikut campur tangan mengatur

persaingan usaha dan hubungan perburuhan. Tindakan-tindakan Presiden Amerika

Serikat Franklin Delino Roosevelt tahun 1930-an yang didasarkan pokok pikiran

yang tercantum dalam Neer Deaf73 telah meninggalkan paham Night-watchman

state menup Regulatory State yang mengandung unsur Welfare State. Roosevelt

memperkuat wewenang pemerintah untuk mengatur para pengusaha swasta dengan

pernyataan bahwa "private economics is a public trust as well".

Berbicara peran dan tanggung jawab negara terhadap kesejahteraan warga

negara terjadi seiring dengan ideologi dominan yang dianut oleh masyarakat

berhadapan dengan ideologi negara. Globalisasi yang telah dimulai pada abad ke-

15 ternyata tetap melanggengkan peranan kaum liberal kapitalistik untuk

menguasai sistem perekonomian negara tertentu dan dunia. Misalnya negara-negara

Barat dengan melakukan ekspansi kekuasaan ke negara-negara Timur dalam bentuk

imperialisme.

Perkembangan pemerintahan negara RI membuktikan bahwa meskipun

beberapa kali UUD Indonesia mengalami perubahan (Kontitusi RIS (1949) UUD

Sementara (1950) dan kembali ke UUD 1945 (1959) hingga hasil amandemen UUD

73
Roosevelt merumuskan New Deal sebagai suatu program yang mereformasi akeuangan
dan perbankan dan membuat banyak program untuk membantu para penmelaksanakan jaminan
sosial yang meliputi bantuan untuk para penganggur, jaminan untukusia lanjut, orang cacat dan
sebagainya. Di dalamnya termasuk program Agricultural A. Administration Act (AAA) untuk
memberikan subsidi kepada petani dan pembentukan ;'industrial Recovery Act (NIRA) untuk
menstabilkan industri. Pada waktu itu juga dibentukEmergency Relief Administration yang dapat
memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) orang miskin.
53 

1945 tahun 2004) seiring dengan perkembangan demokrasi dan perubahan bentuk

negara, namun secara historis konstitusional dapat dibuktikan bahwa negara hukum

Indonesia menganut faham negara kesejahteraan.74 Demokrasi ekonomi menjadi

ciri khas dari negara kesejahteraan tercermin pada Penjelasan UUD 1945 Pasal 33

(sebelum perubahan) yang berbunyi:

"Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua


orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak,
tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang
banyak ditindasinya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup
orang banyak boleh di tangan orang seorang. Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab
itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat."

Pilihan Indonesia untuk berpaham negara kesejahteraan telah menjadi tekad

bulat. Indonesia sebagai negara yang menganut paham negara kesejahteraan, maka

negara dapat menggunakan hukum sebagai salah satu sarana untuk mengatur dan

menyelenggarakan serta menjamin kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan sistem

hukum nasional yang akan dipakai untuk mendukung pemenuhan tanggung jawab

tersebut. Pembangunan Sistem Hukum Nasional Indonesia (PSHNI) dihadapkan

pada fenomena kehidupan global atau gelombang globalisasi. Pernyataan-

74
Jimly Assiddiqie memerinci karaktristik negara hukum dengan menyebut 12
ciri.Karakteristik tersebut yaitu: (1) Supremasi hukum (Supremacy of Law); (2) Persamaan
dalamHukum (Equality before the Law); (3) Azas legalitas (Due Process of Law): (4)
Pembatasankekuasaan; (5) Organ-organ Eksekutif Independen: (6) Peradilan Bebas dan Tidak
Memihak(7) Adanya Peradilan 1 ata Usaha Negara: (8) Peradilan Tata Negara (Constitutional
Court): (9) Perlindungan Hak Asasi Manusia; (10) Bersifat Demokratis (Democratische
Rechtsstaat)-, (11) Berfungsi Sebagai Sarana Untuk Mewujudkan Tujuan Negera (Welfare
Rechtsstaat) dan (12)Transparansi dan Kontrol Sosial. Lihat, Jimly Asshiddigie, 2006, Konstitusi
dan Konstitusionalisme Indonesia. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, Jakarta, hlm. 151-161.
54 

pernyataan yang disebutkan dalam pasal-pasal beberapa UUD yang pernah berlaku

dan pandangan para penyelenggara negara sebelum Orde Baru menunjukkan bahwa

Indonesia menganut negara kesejahteraan dan menginginkan diadakannya

kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sehubungan engan penggunaan tenaga kerja pada satu sisi investor semakin

mengeluhkan iklim ketenagakerjaan di Indonesia yang tidak menarik bagi investor

untuk menanamkan modalnya, diantaranya adalah "kaku" nya aturan-aturan hukum

yang mengatur masalah ketenagakerjaan. Kekakuan tersebut terlihat dari aturan

hukum mengenai penggunaan tenaga kerja, kebijakan upah minimum, prosedur

PHK dan besarnya pesangon, dan lain-lain. 75

Perdagangan bebas diyakini memberi dampak negatif khususnya terhadap

rakyat miskin, dampak tersebut antara lain :

1) Upah buruh akan semakin ditekan, karena perusahaan harus menekan biaya,
buruh akan semakin diperas;
2) Menurunnya ekonomi pedesaan karena kekalahan bersaing dengan produk
pertanian internasional;
3) Meningkatnya urbanisasi ke kota;
4) Meningkatnya sektor informal yang tidak dilindungi oleh undang-undang;
5) Lingkungan akan lebih terancam, karena perdagangan meningkatkan
permintaan yang akan meningkatkan eksploitasi sumberdaya alam. 76

75
Hasil studi ILO secara konsisten mengajukan argumentasi bahwa pemerintah perlu|
memasukkan penggunaan metode produksi berbasis-tenaga kerja ketimbang metode
produksi'berbasis-peralatan' dalam kebijakan investasi publik. Selain itu kebijakan untuk
menciptakan lapangan kerja yang produktif dan langgeng merupakan salah satu pilar Agenda
Pekerjaan yang Layak (Decent Work Agenda/DWA) yang diciptakan oleh Organisasi Perburuhan
Internasional.
76
Arimbi HP dan Emmy Hafild, Membumikan Mandat Pasal 33 UUD 1945, Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia, dalam http://vvwvv.pacific.net.id/-dede_s/Membumikan.htm., diakses
tanggal 16 Januari 2014.
55 

Sementara menurut Aloysius Uwiyono jika dalam ekonomi pasar bebas kebijakan

upah murah dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang lunak, termasuk

pengekangan terhadap hak-hak fundamental kaum buruh, justru menjadi faktor

yang akan menghambat pasar bebas. Hal ini disebabkan kebijaksanaan tersebut

menjadi indikasi adanya sosial dumping yang dapat mengakibatkan gangguan

terhadap pelaksanaan fair trade dalam pasar bebas.77Akibatnya, model ekonomi

pasar demikian ini mendorong otonomi untuk berunding secara kolektif78 baik

kepada kaum buruh maupun kepada para pengusaha. Kebebasan yang dimiliki

buruh maupun pengusaha untuk merundingkan tingkat upah, syarat-syarat kerja dan

kondisi kerja lainnya.79

Penggunaan teori negara kesejahteraan pada penelitian ini pesona karena

posisi pengusaha lebih kuat daripada pekerja/buruh yang lemah atau subordinasi,

untuk itu diperlukan campur tangan negara untuk memberikan keseimbangan .

Teori ini berkaitan dengan tanggung jawab negara sebagai regulator untuk

mewujudkan pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari

pembangunan nasional yang dilaksanakan dalam pembangunan manusia Indonesia

seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk

77
Aloysius Uwiyono, “Implikasi Hukum Pasar Bebas Dalam Kerangka AFTA Terhadap
Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia ,” Jurnal Hukum Bisnis, Vol.22 Jan-Peb, Yayasan
Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 2003, hlm. 13-28
78
Berunding kolektif sebagai hak merupakan bagian dari tiga dimensi konsep yang meliputi
hak berorganisasi (right to organize), hak berunding (rights to bargain), serta hak mogok (rights to
strike), diambil dari pendapat Werner Sengenberger dan Duncan Cambell, ed.,1994, International
Labour Standarts and Economic Interdependence, International Institute for Labour Studies,Geneva,
1994. hlm. 246
79
Ibid.
56 

meningkatkan harkat, martabat dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan

kesejahteraan pekerja/buruh.

Suatu negara dapat dinyatakan sebagai negara hukum apabila negara tersebut

menggunakan instrument hukum sebagai landasan tindakan atau perbuatan

penguasa maupun warga negaranya, sehingga jelas dasar legalitasnya, berdasarkan

hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Negara hukum menempatkan hukum

sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam

segala bentuknya, serta menggunakan hukum dalam menjamin keadilan bagi

warganegaranya.80 Unsur-unsur negara hukum formal: (1) adanya jaminan terhadap

hak-hak asasi manusia;( 2) adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan; (3)

adanya asas legalitas berpemerintahan: (4) adanya prinsip peradilan yang bebas dan

tidak memihak.81

Maraknya produk legislasi dan regulasi yang beridiom kesejahteraan sosial

pada tiga masa rezim pemerintahan, menunjukan bahwa negara kesejahteraan

Indonesia masih mencari bentuk. Sebagaimana dinyatakan oleh Sudjito bahwa

sebenarnya kita masih beda dalam pencarian , konsep negara hukum seperti apa

yang cocok untuk Indonesia itu. Dengan kata lain, konsep negara hukum Indonesia

itu belum jelas , karena masih berada dalam proses pencarian.82 Dalam proses

pencarian bentuk itu, yang selanjutnya memperlihatkan tentang berdinamikanya

tipe negara kesejahteraan Indonesia, dari mininal-kolektif bergerak pada minimal-

80
Ridwan HR. 2005, Hukum Administrasi Negara, UII Press,Yogyakarta, hlm.17
81
Ibid., hlm. 4.
82
Sudjito, 2013, Hukum Dalam Pelangi Kehidupan, edisi revisi, TUGUJOGJA Pustaka,
Yogyakarta, hlm. 46-47.
57 

karitas hingga minimal-plural, dengan tampilan mainstream ideologi ekonomi dan

politik yang terbelah dua dan bergerak dalam jalannya masing-masing. Hal ini jika

dihubungkan dengan UUD 1945, maka pada periode pemerintahan tertentu terlihat

tidak presisi dengan Pancasila yang berbasis kolektif.83

Secara historis dan kebutuhan akan tugas-tugas negara yang lebih luas,

berawal dari konsep negara hukum formal kemudian berganti menjadi konsep

negara hukum modern atau negara kesejahteraan (walfare state) yang lazim disebut

sebagai negara hukum material. Perkembangan ini tidak lepas dari berkembangmya

pola kehidupan sehari-hari warganegara yang tidak bisa lepas dari pola atau

kegiatan yang dilakukan negara (pemerintah), sehingga tugas dan fungsi negara

tidak hanya sebatas sebagai pencipta hukum dan penjaga keamanan dan ketertiban

belaka. Melainkan harus ikut terlibat dalam meningkatkan kesejahteraan umum

warga negaranya serta mencampuri hampir semua segi perkehidupan.84

Konsep negara kesejahteraan seringkali dipersepsikan berbeda-beda,

tergantung dari sudut pandang dari seseorang yang tengah memperbincangkannya.

Ada yang mempersepsikan dari spektrum ekonomi (seperti Nicholas Bar),85 politik

(Briggs), Ideologi (Titmuss).86 Terhadap pandangan-pandangan itu, terdapat

elemen-elemen dasar yang dapat mempertautkan gagasan yang multi persepesi

tersebut, hingga membentuk pemahaman awal atas pengenalan konsep negara

83
Tavip, “Dinamika Konsep Negara Hukum Kesejahteraan Indonesia Dalam UUD 1945,”
Jurnal Tapi, Vol 14 Nomor 2, 2011, hlm. 20
84
Ibid., hlm. 14-15.
85
Bar,1998, The Economics Of the Welfare State, Oxford. hlm. 777
86
A Briggs,” The Welfare State in Historical Perspective,” European Journal of Sociology,
Eropa, 1961, hlm.57-70.
58 

kesejahteraan. Elemen-elemen itu adalah negara (pemerintah), pasar dan

masyarakat. Jika elemen-elemen dasar itu dielaborasi dan dikonstruksi, maka

membentuk wujud dasar untuk mengenal konsep negara kesejahteraan, yaitu suatu

konsep yang mendudukan peran pemerintah secara terukur dan berkomitmen

terhadap persamaan sosial dan keadilan dengan mengacu pada tiga prinsip berikut

ini:

1. Perbaikan dan pencegahan terhadap efek-efek yang merugikan fungsi ekonomi

pasar, khususnya yang merugikan bagi kesejahteraan pihak yang secara

ekonomi dan sosial dianggap kurang mampu;

2. Distribusi kekayaan dan kesempatan bagi semuanya secara adil dan merata; dan

3. Promosi terhadap kesejahteraan sosial dan sistem jaminan bagi yang kurang

agar mampu memperoleh manfaat yang lebih besar.

Mendasarkan pada prinsip-prinsip tersebut di atas, konsep negara

kesejahteraan memiliki enam tujuan dasar, yakni: pertumbuhan ekonomi, lapangan

kerja yang cukup, stabilitas harga, pembangunan dan ekspansi sistem jaminan

sosial serta peningkatan kondisi kerja, distribusi modal dan kesejahteraan yang

seluas mungkin, dan promosi terhadap kepentingan dan kelompok sosial dan

ekonomi yang berbeda-beda87. Untuk kepentingan analisis, konsep negara

kesejahteraan lebih ditekankan pada aspek tanggung jawab negara dalam

penyelesaian perselisihan hubungan Indonesia.

87
Memahami bahwa konsep negara kesejahteraan seperti itu, maka karakter hukum pada
negara kesejahteraan seharusnya adalah responsif (demokratis). Konsep hukum responsif
dikemukakan oleh Nonet dan Zelsnick.
59 

Paham negara kesejahteraan bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan

rakyat. Menurut Teori Utilitarianisme dari Jeremy Bentham apa yang cocok

digunakan, atau cocok untuk kepentingan individu adalah apa yang cenderung

untuk memperbanyak kebahagiaan. Apa yang cocok untuk kepentingan masyarakat

adalah apa yang cenderung menambah kesenangan individu-individu yang

merupakan anggota masyarakat itu. Hal inilah yang mesti menjadi titik total dalam

menata hidup manusia, termasuk hukum88. Hukum sebagai tatanan hidup bersama

harus diarahkan untuk menyokong perwujudan sebesar-besar kebahagiaan umat

manusia. Negara memiliki peran yang sangat strategis untuk mewujudkan

kebahagiaan atau kesejahteraan warganya melalui pelaksanaan fungsi-fungsi

negara.

Kebijakan pemberlakuan hukum ketenagakerjaan sangat dominan di negara

berkembang mengingat peraturan perundang-undangan seringkali dijadikan

instrumen politik bagi pemerintah ataupun elit penguasa. Hal ini dapat dijelaskan

sebagai rangkaian yang tak dapat dipisah antara politik, hukum dan kekuasaan.

Politik menghendaki penggunaan kekuasaan untuk mengatur kehidupan bersama,

sedang kekuasaan itu biasanya dituangkan dalam berbagai peraturan

perundangan.89 Selama ini diakui bahwa pengaruh kekuatan politik yang dominan

yang akan menentukan karakter hukum yang terbentuk, sehingga warna hukum

dapat menjelaskan kekuatan politik mana yang sedang dominan.90

88
C.J. Friedrich, op. cit., hlm. 46
89
Keterkaitan hukum, politik dan kekuasaan dapat dibaca dalam Iskandar Siahaan, 1984,
Politik Dalam Perspektif Hukum, Ind Hill Co., Jakarta, hlm 14.
90
   
60 

Achmad Ali berangkat dari hubungan antara politik dan hukum serta negara

mengemukakan hukum (khususnya hukum tertulis) sebagai alat politik, merupakan

hal yang universal. Terkait dengan fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial, maka

peranan penguasa politik terhadap hukum sangat besar. 91

Implikasi yang dapat dijadikan ukuran terhadap konsep politik hukum dalam

pengertiannya sebagai konsep kebijaksanaan negara di bidang hokum, di mana

dalam perumusannya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki wewenang dalam

satu sistem politik tertentu.92 Kebijakan negara di bidang hukum tersebut antara

lain: Pertama, kebijakan atau juga diistilahkan policy, harus lebih merupakan

tindakan yang mengarah pada tujuan daripada sebagai perilaku atau tindakan yang

serba acak dan kebetulan, melainkan tindakan yang direncanakan. Kedua, policy

pada hakikatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling berkait dan berpola yang

mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan dan

bukan merupakan keputusan-keputusan yang berdiri sendiri. Misalkan, kebijakan

untuk membai undang-undang harus diikuti oleh keputusan-keputusan yang

bersangkut paut dengan implementasi dan pemaksaan pemberlakuannya. Ketiga,

policy harus bersangkut paut dengan apa yang nyata dibutuhkan dalam

masyarakatnya, bukan hanya sekedar keinginan individu maupun kelompok

tertentu.

91
Achmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologjs),
Cet.I , Chart Pratama, Jakarta, hlm. 109.
92
Menurut David Easton, orang-orang yang terlibat tersebut antara lain para ketua
adat para ketua suku, para eksekutif, legislator, hakim, administrator, monarki dan lainnya,
sebagaimana dikutip oleh Solichin Abdul Wahab, op. cit., hlm. 15.
61 

Keberadaan hukum ketenagakerjaan sangat strategis dan mendasar, hal ini

terjadi karena muatannya bukan hanya teknis ketenagakerjaan semata, tetapi juga

penuh dengan muatan sosial, ekonomi, dan politik yang juga berkaitan dengan

masalah hak asasi manusia,93 dengan kata lain, bersifat multi dimensional.94 Selain

pengaruh kepentingan politik elit penguasa, pengaruh politik ekonomi juga sangat

menentukan hukum ketenagakerjaan: "Dalam era globalisasi perdagangan, hukum

yang berlaku adalah hukum pasar bebas yang menghendaki peraaan pemerintah

menjadi semakin berkurang dan peranan swasta menjadi lebih besar. Hukum ini

berlaku juga untuk bidang ketenagakerjaan, "95

Pada hakikatnya tidak semua hal dalam hukum ketenagakerjaan dapat

diserahkan pada mekanisme pasar,selain itu sistem hukum Indonesia juga tidak

memberi ruang yang cukup luas untuk itu. Peran pemerintah ditantang untuk

menjalankan kebijakan ketenagakerjaan yang mampu mengakomodir semua

kepentingan, baik pemodal, pekerja/buruh maupun pemerintah sendiri.

"Government policy may to varying degrees, moderate or intensify the bias of


globalization that favors capital rather than labor. Globalization challenges
labor market and workplace procedures to deliver substantive outcomes

93
Bander Johan Nasution, 2004, Hukum Ketenagakerjaan Kebebasan Berserikat bagi
Pekerja Mandar Maju, Bandung, hlm 4
94
Sebagaimana dinyatakan oleh Menakertrans Jacob Nuwa Wea, bahwa perubahan
dunia ketenagakerjaan di Indonesia saat ini bersifat multidimensional, yang berarti perubahan
itumeliputi aspek kehidupan ekonomi, sosial budaya, politik dan pemerintahan. Lihat dalam Majalah
Nakertrans Edisi 1/XXIV Pebruar.i 2004, Fenomena Baru Ketenagakerjaan,juga dapat diakses
melalui http://www.nakertrans.go.id/newsdetail.php?id=139 (akses tgl. 7 Juli 2014).
95
Aloysius Uwiyono , op. cit., hlm. 41. Globalisasi merupakan bentuk kapitalisme
global yang lahir setelah berakhirnya perang dingin di tahun 1989 dirnana banyaknya pibak yang
mengumandangkan kejayaan kapitalisme global'. Negara yang paling sukses dalam hal adalah
Amerika. Prasyarat untuk melaksanakan prinsip kapitalisme ini adalah dengan pembebasan pasar
dan peraturan pemerintah yang berlebihan, penciutan dan restrukturisasi perusahaan-perusahaan
dalam negeri.
62 

(competitive wage levels, labor practices and regulation of industrial conflict)


that are acceptable to employers and investors, employees, and goverments."96

Memasuki era globalisasi perdagangan dewasa ini, berdampak pada peran

negara dalam mengatur hubungan industrial antara pengusaha dengan pekerja.

Menurut Rossi dan Friedmann bahwa penilaian atas dampak adalah untuk

memperkirakan apakah intervensi kebijakan menghasilkan efek yang diharapkan

atau tidak. Perkiraan seperti ini tidak menghasilkan jawaban yang pasti tetapi hanya

beberapa jawaban yang mungkin masuk akal. Tujuan dasar dari penilaian dampak

adalah untuk memperkirakan "efek bersih" dari sebuah intervensi kebijakan, yaitu

perkiraan dampak intervensi yang tidak dicampuri oleh pengaruh dari proses dan

kejadian yang mungkin juga mempengaruhi perilaku atau kondisi yang menjadi

sasaran suatu program yang sedang dievaluasi itu,97 Metode yang dapat digunakan

adalah sebagai berikut :98

1) Membandingkan problem/situasi/kondisi dengan apa yang terjadi sebelum

intervensi kebijakan;

2) Melakukan eksperimen untuk menguji dampak suatu program terhadap suatu

area atau kelompok dengan membandingkan dengan apa yang terjadi di area

atau kelompok lain yang belum menjadi sasaran intervensi;

3) Membandingkan biaya dan manfaat yang dicapai sebagai hasil/kegagalan dari

intervensi kebijakan.

96
Stephen J. Frenkel dan David Peetz, “Globalization and Industrial Relations in Et Asia:
A Three Country Comparison” , Industrial Relations Journal, Vol. 37. No.3 July, H.
Blackwell Publisher, California.,1998, hlm 1-25
97
Rossi. P.H. and Friedmann, 1993, Evaluation: A Systemic Approach, Sage, Newbun. Cal,
2nd ed., hlm. 215.
98
Wayne Parsons, op. cit., hlm. 14.
63 

4) Menggunakan model untuk memahami dan menjelaskan apa yang sedang

terjadi sebagai akibat dari kebijakan masa lalu.

5) Pendekatan kualitatif dan mental untuk mengevaluasi keberhasilan/ kegagalan

kebijakan dan program.

6) Membandingkan apa yang sudah terjadi dengan tujuan atau sasaran tertentu dari

sebuah program atau kebijakan.

7) Menggunakan pengukuran kinerja untuk menilai tujuan atau targetnya sudah

terpenuhi.

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila dikaitkan dampak

kebijakan buruh murah untuk menarik para investor dapat mengakibatkan

miskinnya pekerja, banyaknya pemogokan kerja dan hubungan industrial yang

tidak harmonis serta dapat memengaruhi sistem perekonomian nasional yang lebih

luas.

Konsepsi minimnya campur tangan negara dalam penyelesaian perselisihan

hubungan industrial dari teori ekonomi klasik Adam Smith. The Wealth of Nation

(1776). Adam Smith mengemukakan sebuah model yang abstrak namun sistematik

mengenai alam, logika, struktur, dan kerja dari tata kapitalistik. Smith menyatakan

bahwa tata mekanisme pengaturan pasar otomatis menyangkut dua perkara

sekaligus, yaitu pemenuhan individual dan kompetensi dalam penyediaan

kebutuhan tata sosial. Smith, bahwa tangan tak nampak (invisible hand) bekerja

dengan keuntungan individual dan memaksimumkan kesejahteraan ekonomi


64 

masyarakat.99 Larangan campur tangannya negara dalam penyelesaian perselisihan

hubungan industrial, seharusnya dapat menciptakan kesejahteraan ekonomi

masyarakat yang dapat diartikan kesejahteraan sosial, termasuk kesejahteraan

pekerja.

Realitas ekonomi politik memberi fakta bahwa berbagai kebijakan

pembatasan negara dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial terkait

dengan liberalisme ekonomi, secara pragmatis tanpa mengingkari segi positifnya

yang mendorong perilaku manusia untuk lebih terampil dan cerdik melihat peluang

keuntungan. Suatu hal yang dikhawatirkan dari semakin luasnya pengaruh

liberalisme adalah semakin meluasnya warga masyarakat yang termarjinalkan.

Karakteristik liberalisme yang paling kedepan adalah individualisme yang jelas-

jelas bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar falsatah negara Indonesia, dan

sebagai sumber ideal dari hubungan industrial.

Teori Keadilan John Rawls

Konsep keadilan tidak menjadi monopoli pemikiran satu orang ahli saja,

banyak para pakar dari berbagai disiplin ilmu memberikan jawaban apa itu

keadilan. Thomas Aqunas, Aristoteles, John Rawls, R. Dowkrin, R. Nozick dan

Posner sebagian nama yang memberikan jawaban tentang konsep keadilan. Dari

beberapa nama tersebut John Rawls, menjadi salah satu ahli yang selalu menjadi

rujukan baik ilmu filsafat, hukum, ekonomi, dan politik di seluruh belahan dunia,

99
Hunt, EK. 1979, History of Economic Thought: A critical perspective, diterbitkan oleh
Adsworth Publishing Company, California, hlm. 38.
65 

tidak akan melewati teori yang dikemukakan oleh John Rawls (1921-2020).

Terutama melalui karyanya A Theory of Justice, Rawls dikenal sebagai salah

seorang filsuf Amerika kenamaan di akhir abad ke-20. John Rawls dipercaya

sebagai salah seorang yang memberi pengaruh pemikiran cukup besar terhadap

diskursus mengenai nilai-nilai keadilan hingga saat ini. John Rawls adalah seorang

pemikir yang memiliki pengaruh sangat besar di bidang filsafat politik dan filsafat

moral. Melalui gagasan-gagasan yang dituangkan di dalam A Theory of Justice

(1971), Rawls menjadikan dirinya pijakan utama bagi perdebatan filsafat politik

dan filsafat moral kontemporer dalam pemikirannya tentang keadilan.

Keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial, sebagaimana

kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori, betapapun elegan dan

ekonomisnya, harus ditolak atau direvisi jika ia tidak benar, demikian juga hukum

dan institusi, tidak peduli betapapun efisien dan rapihnya, harus direformasi atau

dihapuskan jika tidak adil.100 Para pemikir setelah Rawls hanya punya dua pilihan:

Menyetujui atau tidak menyetujui Rawls. Tidak ada pilihan untuk mengabaikan

Rawls sama sekali. Hal ini menurut Daniel dikarenakan jangkauan pemikiran Rawls

yang sangat luas dan dalam, yakni upaya untuk melampaui paham utilitarianisme

yang sangat dominan di era sebelum Rawls serta merekonstruksi warisan teori

100
John Rawls, 2006, Theory of Justice (Teori Keadilan )Dasar-dasar Filsafat Politik untuk
mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam Negara, Pustaka Pelajar, Jogyakarta, hlm 3-4.
66 

kontrak sosial dari Hobbes, Locke dan Kant sebagai titik tolak untuk merumuskan

sebuah teori keadilan yang menyeluruh dan sistematis 101

Pemikiran John Rawls tidaklah mudah untuk dipahami, bahkan ketika

pemikiran itu telah ditafsirkan ulang oleh beberapa ahli, beberapa orang tetap

menganggap sulit untuk menangkap konsep kedilan John Rawls. Maka, penulis

mencoba memberikan gambaran secara sederhana dari pemikiran John Rawls,

khususnya dalam buku A Theory of Justice. Kehadiran penjelasan secara sederhana

menjadi penting, ketika disisi lain orang mengangap sulit untuk memahami konsep

keadilan John Rawls. Apa sebenarnya yang dimaksud Rawls dalam bukunya itu

sebagai teori keadilan? Argumen-argumen apa yang Rawls pakai untuk mendukung

teori keadilannya itu?

Pada bagian “Keadilan sebagai Fairness” dijelaskan tujuan utama Rawls

merumuskan teori keadilannya. Selanjutnya, pada bagian “Posisi Asali” dijelaskan

argumen-argumen Rawls untuk mendukung prinsip-prinsip keadilannya. Bagian

“Prinsip-prinsip Keadilan” menjelaskan gagasan substantif Rawls tentang prinsip-

prinsip untuk menata masyarakat modern yang tertata secara baik berdasarkan

konsepsinya mengenai keadilan sebagai fairness.

101
Norman, Daniel (Ed.), 1975, Reading Rawls: Critical Studies on Rawls’ A Theory of
Justice , Oxford: Basil Blackwell, hlm. 45
67 

a. Keadilan sebagai Fairness

Apa yang memungkinkan anggota-anggota dari suatu masyarakat secara

bersama-sama menerima dan mematuhi ketentuan-ketentuan sosial yang mengatur

pembagian hak dan kewajiban di antara mereka? Apa yang bisa mendorong

anggota-anggota masyarakat tersebut untuk terlibat secara sukarela dalam berbagai

kerja sama sosial? Tentu saja, dalam suatu tatanan sosial yang totaliter, anggota-

anggota dari masyarakatnya bisa saja secara terpaksa menerima dan mematuhi

ketentuan-ketentuan sosial yang ditetapkan oleh rezim totaliter tersebut, karena

mereka mungkin merasa takut. Akan tetapi, untuk kedua kalinya dikemukakan di

sini, pertanyaannya adalah apa yang memungkinkan munculnya kesukarelaan dari

segenap anggota masyarakat untuk menerima dan mematuhi ketentuan-ketentuan

sosial yang ada? Terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, Rawls mengemukakan

bahwa kesukarelaan segenap anggota masyarakat untuk menerima dan mematuhi

ketentuan-ketentuan sosial yang ada hanya dimungkinkan jika masyarakatnya

tertata baik di mana keadilan sebagai fariness menjadi dasar bagi prinsip-prinsip

pengaturan institusi-institusi yang ada di dalamnya102 . Sampai di sini, pertanyaan

belum sepenuhnya terjawab. Lantas, apa yang Rawls maksudkan dengan keadilan

sebagai fairness? Mengapa fairness itu sedemikian penting dalam rumusan keadilan

Rawls? Apa yang memungkinkan suatu keadilan sebagai fairness bisa muncul?

102
John Rawls, op. cit., hlm.4-5
68 

Ketika berbicara tentang ketentuan-ketentuan sosial yang mengatur

kehidupan bersama, Rawls sebenarnya sedang menekankan upaya untuk

merumuskan prinsip-prinsip yang mengatur distribusi hak dan kewajiban di antara

segenap anggota suatu masyarakat. Penekanan terhadap masalah hak dan

kewajiban, yang didasarkan pada suatu konsep keadilan bagi suatu kerja sama

sosial, menunjukan bahwa teori keadilan Rawls memusatkan perhatian pada

bagaimana mendistribusikan hak dan kewajiban secara seimbang di dalam

masyarakat sehingga setiap orang berpeluang memperoleh manfaat darinya dan

secara nyata, serta menanggung beban yang sama. Karenanya, agar menjamin

distribusi hak dan kewajiban yang berimbang tersebut, Rawls juga menekankan

pentingnya kesepakatan yang fair di antara semua anggota masyarakat. Hanya

kesepakatan fair yang mampu mendorong kerja sama sosial103. Demikian,

kesepakatan yang fair adalah kunci untuk memahami rumusan keadilan Rawls.

Masalahnya, bagaimana kesepakatan yang fair itu bisa diperoleh? Rawls

memandang bahwa kesepakatan yang fair hanya bisa dicapai dengan adanya

prosedur yang tidak memihak. Hanya dengan suatu prosedur yang tidak memihak,

prinsip-prinsip keadilan bisa dianggap fair. Karenanya, bagi Rawls, keadilan


104
sebagai fairness adalah “keadilan prosedural murni” . Dalam hal ini, apa yang

dibutuhkan oleh mereka yang terlibat dalam proses perumusan konsep keadilan

103
Ibid.
104
Andrea Ata Ujan, 2001, Keadilan Dan Demokrasi (telaah Filsafat Politik John Rawls)
Kanisius, Jogyakarta, hlm. 42.
69 

hanyalah suatu prosedur yang fair (tidak memihak) untuk menjamin hasil akhir

yang adil pula105

b. Posisi Asali

Rawls sebelumnya menekankan posisi penting suatu prosedur yang fair demi

lahirnya keputusan-keputusan yang oleh setiap orang dapat diterima sebagai hal

yang adil. Adapun prosedur yang fair ini hanya bisa terpenuhi apabila terdapat iklim

musyawarah yang memungkinkan lahirnya keputusan yang mampu menjamin

distribusi yang fair atas hak dan kewajiban. Rawls menegaskan pentingnya semua

pihak, yang terlibat dalam proses musyawarah untuk memilih prinsip-prinsip

keadilan, berada dalam suatu kondisi awal yang disebutnya “posisi asali” (the

original position). Rawls memunculkan gagasan tentang posisi asali dengan

sejumlah catatan: Pertama, adalah penting untuk menegaskan terlebih dahulu

bahwa Rawls melihat posisi asali sebagai suatu prasyarat yang niscaya bagi

terjaminnya kadilan sebagai fairness. Namun, Rawls tidak pernah memandang

posisi asali sebagai suatu yang riil, melainkan merupakan sebuah kondisi awal yang

bersifat imajiner. Menurutnya, kondisi awal imajiner ini harus diandaikan dan

diterima, karena hanya dengan cara ini tercapainya keadilan sebagai prosedural

murni bisa dibayangkan. Hanya saja, kendati bersifat imajiner, bagi Rawls, posisi

105
John Rawls, op. cit., hlm 4-5
70 

asali sudah merupakan syarat yang memadai untuk melahirkan sebuah konsep

keadilan yang bertujuan pada terjaminnya kepentingan semua pihak secara fair106 .

Kedua, setiap orang yang berpartisipasi di dalam proses perumusan prinsip-

prinsip keadilan ini harus benar-benar masuk dalam situasi ideal tersebut. Hanya

saja, Rawls percaya bahwa tidak semua orang dapat masuk ke dalam posisi asali.

Hanya orang-orang tertentu yang dapat masuk ke dalam situasi hipotesis ini, yakni

mereka yang memiliki kemampuan bernalar sesuai dengan standar formal dalam

dunia ilmu pengetahuan. Ketentuan-ketentuan ilmiah ini membuka peluang bagi

semua orang untuk masuk ke dalam proses musyawarah yang fair107

Rawls menegaskan bahwa semua pihak yang berada dalam posisi asali harus

juga berada dalam keadaan “tanpa pengetahuan.” Melalui gagasan tentang

“keadaan-tanpa-pengetahuan” tersebut, Rawls ingin menegaskan bahwa semua

pihak yang ada dalam posisi asali tidak memiliki pengetahuan mengenai berbagai

alternatif yang dapat mempengaruhi mereka dalam proses perumusan dan

pemilihan prinsip-prinsip pertama keadilan. Keadaan ketidaktahuan akan hal-hal

partikular memang menjadi syarat penting untuk menjamin fairness. Oleh karena

itu, semua pihak yang terlibat dalam proses pemilihan tersebut harus mampu

106
Ibid., hlm. 120
107
Ibid., hlm. 130-135
71 

melakukan penilaian atas prinsip-prinsip keadilan yang senantiasa dipandu oleh

pertimbangan-pertimbangan yang umum sifatnya108 .

Rawls juga menggambarkan bahwa dalam posisi asali tersebut semua pihak

juga diandaikan bersikap saling-tidak-peduli dengan kepentingan pihak lain. Di sini

dimaksudkan bahwa semua pihak berusaha dengan sungguh-sungguh

memperjuangkan apa yang dianggap paling baik bagi dirinya. Pada saat yang sama,

mereka juga dianggap tidak saling mengetahui apa yang dapat diperoleh pihak lain

bagi dirinya sendiri. Gambaran ini secara sekilas menunjukan karikatur orang-

orang yang justru bertolak belakang dengan semangat kerja sama yang menjadi inti

konsep keadilan sebagai fairness. Namun demikian, penggambaran Rawls tentang

sikap saling tidak peduli di antara orang-orang yang ada dalam posisi asali tersebut

sebenarnya lebih sebagai sebuah pengandaian agar semua pihak dalam posisi asali

mampu membebaskan diri dari rasa iri terhadap apa yang mungkin didapatkan oleh

orang lain. Untuk itu, semua orang harus berkonsentrasi hanya pada apa yang

terbaik bagi dirinya sendiri. Pertanyaan yang muncul adalah: Bagaimana setiap

pihak yang berusaha mengejar kepentingannya sendiri (rasional) di dalam posisi

asali dan berada dalam keadaan “tanpa-pengetahuan” itu pada akhirnya dapat

memilih prinsip-prinsip pertama keadilan yang mampu menjamin kepentingan

semua pihak? Menurut Rawls, dalam situasi tersebut, maka orang-orang atau para

pihak akan memastikan bahwa prinsip keadilan yang akan dirumuskan bisa

108
Ibid., hlm. 136-142
72 

menjamin distribusi “nilai-nilai primer” (primary goods) yang fair. Dalam hal ini,

“nilai-nilai primer” adalah satu-satunya motivasi yang mendorong dan

membimbing semua pihak dalam usahanya memilih prinsip-prinsip pertama

keadilan. Dengan nilai-nilai primer, Rawls memaksudkan semua nilai sosial dasar

yang pasti diinginkan dan dikejar oleh semua manusia. Artinya, pelbagai manfaat

yang dilihat dan dihayati sebagai nilai-nilai sosial yang harus dimiliki oleh

seseorang agar layak disebut manusia.

Gagasan Rawls tentang posisi asali tersebut sebenarnya merupakan refleksi

dari konsep moral tentang person: setiap manusia diakui dan diperlakukan sebagai

person yang rasional, bebas, dan setara (memiliki hak yang sama). Dalam

pandangan Rawls, manusia sebagai person moral pada dasarnya memiliki dua

kemampuan moral, yakni: 1) kemampuan untuk mengerti dan bertindak

berdasarkan rasa keadilan dan dengan itu juga didorong untuk mengusahakan suatu

kerja sama sosial; dan 2) kemampuan untuk membentuk, merevisi, dan secara

rasional mengusahakan terwujudnya konsep yang baik. Rawls menyebut kedua

kemampuan ini sebagai a sense of justice dan a sense of the good. Kemampuan-

kemampuan moral itu memberikan kemungkinan bagi manusia sebagai person

moral untuk bertindak secara rasional dan otonom dalam menetapkan cara-cara dan

tujuan-tujuan yang dianggap baik bagi dirinya di satu sisi, serta bertindak

berdasarkan prinsip-prinsip keadilan di lain sisi109

109
Ibid., hlm 88
73 

Dalam kondisi awal (posisi asali) sebagaimana dijelaskan di atas, Rawls

percaya bahwa semua pihak akan bersikap rasional; dan sebagai person yang

rasional, semua pihak akan lebih suka memilih prinsip keadilan yang

ditawarkannya daripada prinsip manfaat (utilitarianisme). Prinsip itu adalah: Semua

nilai-nilai sosiai kebebasan dan kesempatan, pendapatan dan kekayaan, dan basis

harga diri harus didistribusikan secara sama. Suatu distribusi yang tidak sama atas

nilai-nilai sosial tersebut hanya diperbolehkan apabila hal itu memang

menguntungkan orang-orang yang paling tidak beruntung110.

Bertolak dari prinsip umum di atas, Rawls merumuskan kedua prinsip

keadilan sebagai berikut: 1. Setiap orang harus memiliki hak yang sama atas

kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang;

2. Ketidaksamaan sosial ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga (a)

diharapkan memberi keuntungan bagi bagi orang-oang yang paling tidak

beruntung, dan (b) semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang111. Dengan

demikian, untuk terjaminnya efektivitas dari kedua prinsip keadilan itu, Rawls

menegaskan bahwa keduanya harus diatur dalam suatu tatanan yang disebutnya

serial order atau lexical order112. Dengan pengaturan seperti ini, Rawls

menegaskan bahwa hak-hak serta kebebasan-kebebasan dasar tidak bisa ditukar

dengan keuntungan-keuntungan sosial dan ekonomi. Hal ini berarti bahwa prinsip

keadilan kedua hanya bisa mendapat tempat dan diterapkan apabila prinsip keadilan

110
Ibid., hlm. 62
111
Ibid., hlm. 60
112
Ibid., hlm. 63-64
74 

pertama telah terpenuhi. Dengan kata lain, penerapan dan pelaksanaan prinsip

keadilan yang kedua tidak boleh bertentangan dengan prinsip keadilan yang

pertama. Oleh karena itu, hak-hak dan kebebasan-kebebasan dasar dalam konsep

keadilan khusus ini memiliki prioritas utama atas keuntungan-keuntungan sosial

dan ekonomi113. Bagi Rawls, pembatasan terhadap hak dan kebebasan hanya

diperbolehkan sejauh hal itu dilakukan demi melindungi dan mengamankan

pelaksanaan kebebasan itu sendiri. Itu berarti, perlu diterima suatu pengaturan

secara kelembagaan atas praktek-praktek kebebasan agar pelaksanaan kebebasan

tidak membahayakan kebebasan yang memang menjadi hak setiap orang114

Prinsip keadilan yang kedua menuntut bahwa ketidaksamaan dalam

pencapaian nilai-nilai sosial dan ekonomi diperbolehkan apabila tetap membuka

peluang bagi pihak lain untuk mendapatkan manfaat dalam hal yang sama. Oleh

karena itu, ketidaksamaan dalam perolehan nilai sosial dan ekononomi tidak harus

selalu dimengerti sebagai ketidakadilan. Inti dari prinsip keadilan yang kedua justru

terletak pada sisi ini.

Bagi Rawls, prinsip “perbedaan” dimaksudkan untuk menjamin

berlangsungnya suatu masyarakat yang ideal di mana keterbukaan peluang yang

sama (dijamin melalui prinsip kesempatan yang adil) tidak akan menguntungkan

sekelompok orang dan pada saat yang sama merugikan kelompok orang lainnya.

Oleh karena itu, adanya prinsip “perbedaan” merupakan pengakuan dan sekaligus

113
Ibid., hlm. 120
114
Andrea Ata Ujan, op. cit., hlm.74
75 

jaminan atas hak dari kelompok yang lebih beruntung (the better off) untuk

menikmati prospek hidup yang lebih baik pula. Akan tetapi, dalam kombinasi

dengan prinsip kesempatan yang sama dan adil, prinsip itu juga menegaskan bahwa

“kelebihan” berupa prospek yang lebih baik itu hanya dapat dibenarkan apabila

membawa dampak berupa peningkatan prospek hidup bagi mereka yang kurang

beruntung atau paling tidak beruntung115.

Konsepsi keadilan dalam institusi politik , Rawls memperlihatkan dukungan

dan pengakuan yang kuat akan hak dan kewajiban manusia, baik dalam bidang

politik maupun dalam bidang ekonomi. Secara khusus, konsepsi keadilan tersebut

menuntut hak pastisipasi yang sama bagi semua warga masyarakat dalam setiap

proses pengambilan keputusan politik dan ekonomi. Dengan demikian, diharapkan

bahwa seluruh struktur sosial dasar sungguh-sungguh mampu menjamin

kepentingan semua pihak. Dari sudut politik, konsepsi keadilan Rawls

diformulasikan ke dalam tiga sendi utama:

(1) hak atas partisipasi politik yang sama;

(2) hak warga untuk tidak patuh; dan

(3) hak warga untuk menolak berdasarkan hati nurani.

Ketiga hal ini menjadi manifestasi kelembagaan dari prinsip keadilan pertama

dalam teori kedilan Rawls. Rawls memandang hak atas partisipasi politik yang

115
Ibid., hlm. 75.
76 

sama tersebut bisa terakomodasi dalam sebuah sistem politik yang tidak saja

bersifat demokratis, tapi juga konstitusional. Sistem politik demokrasi

konstitusional di sini dicirikan oleh dua hal utama: pertama, adanya suatu badan

perwakilan yang dipilih melalui suatu pemilihan yang fair dan bertanggung jawab

kepada pemilihnya, yang berfungsi sebagai badan legislatif untuk merumuskan

peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan sosial; dan kedua, adanya

perlindungan konstitusional terhadap kebebasan-kebebasan sipil dan politik, seperti

kebebasan berpikir dan berbicara, kebebasan berkumpul dan membentuk organisasi

politik116.

Bagi Rawls, sistem politik demokrasi konstitusional harus memberikan ruang

bagi hak untuk tidak patuh (pada Negara), karena hak ini adalah konsekuensi logis

dari demokrasi. Maksud hak untuk tidak patuh ini sebagai ‘suatu tindakan publik,

tanpa kekerasan, berdasarkan suara hati tetapi bersifat politis, bertentangan dengan

hukum karena biasanya dilakukan dengan tujuan menghasilkan perubahan hukum

atau kebijakan pemerintah.117. Dalam hal ini, Rawls memandang bahwa ada ruang

di mana hukum yang ditetapkan tidak bersifat adil sehingga warga negara boleh

melakukan tindakan politik untuk menentang dan mengubahnya melalui cara-cara

yang tidak menggunakan kekerasan. Jika hak untuk tidak patuh dimaksudkan

sebagai tindakan politik untuk memperbaiki hukum yang tidak adil, maka hak untuk

menolak berdasarkan hati nurani lebih dimaksudkan sebagai ruang yang diberikan

116
Ibid., hlm. 222.
117
Ibid., hlm. 364.
77 

kepada seseorang untuk tidak mematuhi hukum jika hal itu dipandang bertentangan

dengan hati nuraninya sendiri. Misalnya, jika terdapat sebuah hukum yang meminta

warganya untuk berperang sementara terdapat seorang warga yang memiliki

keyakinan bahwa membunuh bertentangan dengan prinsip keadilan yang

dipegangnya, maka dia berhak untuk menolak untuk ikut berperang 118.

Dari sudut penataan ekonomi, konsepsi keadilan Rawls menuntut suatu basis

ekonomi yang fair melalui sistem perpajakan yang proporsional (dan bahkan pajak

progresif jika diperlukan) serta sistem menabung yang adil sehingga

memungkinkan terwujudnya distribusi yang adil pula atas semua nilai dan sumber

daya sosial. Di sini perlu ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk

menikmati nilai-nilai dan sumber daya sosial dalam jumlah yang sama, tetapi juga

memiliki kewajiban untuk menciptakan kemungkinan yang membawa

kemaslahatan bagi masyarakat secara keseluruhan. Prinsip ini tidak hanya berlaku

bagi anggota masyarakat dalam generasi yang sama, tetapi juga bagi generasi yang

satu dengan generasi yang lainnya. Bagi Rawls, kekayaan dan kelebihan-kelebihan

bakat alamiah seseorang harus digunakan untuk meningkatkan prospek orang-

orang yang paling tidak beruntung di dalam masyarakat119. Pada akhirnya teori

keadilan Rawls dapat disimpulkan memiliki inti sebagai berikut:

1. Memaksimalkan kemerdekaan. Pembatasan terhadap kemerdekaan ini

hanya untuk kepentingan kemerdekaan itu sendiri,

118
Ibid., hlm. 370-380
119
Ibid., hlm. 260-285.
78 

2. Kesetaraan bagi semua orang, baik kesetaraan dalam kehidupan sosial

maupun kesetaraan dalam bentuk pemanfaatan kekayaan alam (“social

goods”). Pembatasan dalam hal ini hanya dapat dizinkan bila ada

kemungkinan keuntungan yang lebih besar.

3. Kesetaraan kesempatan untuk kejujuran, dan penghapusan terhadap

ketidaksetaraan berdasarkan kelahiran dan kekayaan.

Untuk memberikan jawaban atas hal tersebut, Rows melahirkan 3 (tiga)

prinsip kedilan, yang sering dijadikan rujukan oleh bebera ahli yakni:

1. Prinsip Kebebasan yang sama (equal liberty of principle)

2. Prinsip perbedaan (differences principle)

3. Prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle)

Rawls berpendapat jika terjadi benturan (konflik), maka: Equal liberty

principle harus diprioritaskan dari pada prinsip-prinsip yang lainnya dan Equal

opportunity principle harus diprioritaskan dari pada differences principle.

Darimana tiga prinsip tersebut dilahirkan?

Pertama, keadilan adalah kejujuran (Justice as Fairness). Masyarakat adalah

kumpulan individu yang di satu sisi menginginkan bersatu karena adanya ikatan

untuk memenuhi kumpulan individu tetapi disisi yang lain masing-masing individu

memiliki pembawaan serta hak yang berbeda yang semua itu tidak dapat dilebur

dalam kehidupan sosial. Oleh karena itu Rawls mencoba memberikan jawaban atas

pertanyaan, bagaimana mempertemukan hak-hak dan pembawaan yang berbeda

disatu pihak dengan keinginan untuk bersama demi terpenuhnya kebutuhan

bersama?
79 

Kedua, selubung ketidaktahuan (Veil of Ignorance). Setiap orang dihadapkan

pada tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk

terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu, sehingga membutakan adanya konsep

atau pengetahuan tentang keadilan yang tengah berkembang. Orang-orang atau

kelompok yang terlibat dalam situasi yang sama tidak mengetahui konsepsi-

konsepsi mereka tentang kebaikan.

Ketiga, posisi original (Original Position). Situasi yang sama dan setara

antara tiap-tiap orang di dalam masyarakat. Tidak ada pihak yang memiliki posisi

lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya. Pada keadaan ini orang-orang dapat

melakukan kesepakatan dengan pihak lainnya secara seimbang. “Posisi Original”

yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri

Rasionalitas (rationality), Kebebasan (freedom), dan Persamaan (equality). Guna

mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of society).

Keempat, prinsip kebebasan yang sama (equal liberty principle). Setiap orang

memiliki hak yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar yang paling luas dan

kompatibel dengan kebebasan-kebebasan sejenis bagi orang lain. “Setiap orang

mempunyai kebebasan dasar yang sama”. Dalam hal ini kebebasan-kebebasan

dasar yang dimaksud antara lain: kemerdekaan berpolitik (political of liberty),

kebebasan berpendapat dan mengemukakan ekspresi (freedom of speech and

expression), kebebasan personal (liberty of conscience and though). kebebasan

untuk memiliki kekayaan (freedom to hold property), Kebebasan dari tindakan

sewenang-wenang.
80 

Kelima, prinsip ketidaksamaan (inequality principle), meliputi Difference

principle (prinsip perbedaan). Ketidaksamaan sosial dan ekonomi diatur

sedemikian rupa, sehingga diperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi anggota

masyarakat yang paling tidak diuntungkan dan Equal opportunity principle (prinsip

persamaan kesempatan)- Jabatan-jabatan dan posisi-posisi harus dibuka bagi semua

orang dalam keadaan dimana adanya persamaan kesempatan yang adil. Jadi

sebenarnya ada 2 (dua) prisip keadilan Rows, yakni equal liberty

principle dan inequality principle. Akan tetapi inequality principle melahirkan 2

(dua) prinsip keadilan yakni Difference principle dan Equal opportunity principle,

yang akhirnya berjumlah menjadi 3 (tiga) prisip, dimana ketiganya dibangun dari

kontruksi pemikiran Original Position.

Teori Keadilan yang digunakan dalam penelitian ini adalah John Rawls yang

memberikan pandangannya yakni keadilan sebagai fairness, yang mengandung

asas-asas, bahwa orang-orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak untuk

mengembangkan kepentingan-kepentingannya hendaknya memperoleh suatu

kedudukan yang sama pada saat memulainya dan itu merupakan syarat yang

fundamental bagi mereka untuk memasuki perhimpunan yang mereka kehendaki

mengatakan keadilan adalah suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi

dasar dari peraturan negaara dan aturan-aturannya ini merupakan ukuran tentang

apa yang hak. Lebih jauh Rawls berpendapat keadilan dilihat dari hak dan

kewajiban dalam masyarakat. Menurut subyek utama keadilan adalah struktur

dasar masyarakat , atau lebih tepatnya, cara-cara lembaga sosial secara mendasar

bergantung pada bagaimana hak-hak dan kewajiban fundamental diterapkan pada


81 

peluang ekonomi serta kondisi sosial dalam berbagai sektor masyarakat. Pandangan

Rawls mengenai teori dan konsep keadilan diatas dapat dimaknai bahwa ;

1. Keadilan merupakan nilai kebajikan utama.

2. Negara memiliki peran yang utama menyelenggarakan keadilan, dan untuk

dapat menyelenggarakan keadilan para penyelenggara negara atau

pemerintahan dituntut memiliki moral yang baik.

3. Penyelenggara negara atau pemerintahan tidak hanya dituntut mampu

membuat peraturan perundang-undangan yang baik, melainkan dituntut

memiliki keberanian dan kemampuan untuk melaksanakan peraturan yang

diciptakan.

4. Untuk mewujudkan keadilan, tiap warga negara dituntut untuk mentaati segala

peraturan yang di susun

5. Keadilan memiliki tujuan untuk mewujudkan kebahagiaan manusia baik

secara individual maupun sosial. 120

Pendapat Rawls tersebut terlihat bahwa keadilan harus diwujudkan ke dalam

masyarakat tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat lain. Dengan

demikian keadilan merupakan salah satu hal yang penting untuk diwujudkan.

Menyangkut pengertian keadilan tidak akan pernah dikenal seluruhnya apabila

hanya dideskripsikan secara individual. Hal ini dikarenakan setiap individu hanya

akan menawarkan pendefinisiannya. Oleh karena itu, meski ada cara tunggal

120
Ibid.
82 

mendefinisikan keadilan namun tidak ada teori tunggal mengenai keadilan yang

sanggup memuaskan semua orang.121

Teori Keadilan Pancasila

Pandangan keadilan dalam hukum nasional bersumber pada dasar negara.

Pancasila sebagai dasar negara atau falsafah negara (filosofische grondslag) sampai

sekarang tetap dipertahankan dan masih tetap dianggap penting bagi negara

Indonesia. Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai

Pancasila (subcriber of values Pancasila). Bangsa Indonesia yang berketuhanan,

yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan, dan yang

berkeadilan sosial.

Sebagai pendukung nilai, bangsa Indonesialah yang menghargai, mengakui,

serta menerima Pancasila sebagai suatu bernilai. Pengakuan, penghargaan, dan

penerimaan Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai itu akan tampak merefleksikan

dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan bangsa Indonesia. Kalau pengakuan,

penerimaan, atau penghargaan itu direfleksikan dalam sikap, tingkah laku, serta

perbuatan manusia dan bangsa Indonesia dalam hal ini sekaligus adalah

pengembannya dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan manusia Indonesia. Oleh

karenanya Pancasila sebagai suatu sumber hukum tertinggi secara irasional dan

sebagai rasionalitasnya adalah sebagai sumber hukum nasional bangsa Indonesia.

121
Karen Lebacqz, 2011, Teori-Teori Keadilan, (terjemahan: Yudi Susanto), Nusa Media,
Bandung, hlm. 1-2
83 

Dalam rangka mencapai keberhasilan ide menunju keadilan sosial ini, maka

Soekarno melihat bahwa keadilan sosial tidak bisa terlepas dari usaha

mempersatukan bangsa. Demikian juga bahwa persatuan bangsa juga tidak bisa

lepas dari tata negara “Gotong Royong”. Apa yang dimaksud dengan Gotong

Royong? Menurut Soekarno :

“Gotong-royong” adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari


“kekeluargaan”, saudara-saudara! Kekeluargaan adalah salah satu faham yang
statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu
pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo: satu karyo, satu
gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan amal ini, bersama-
sama! Gotong-royong adalah pembanting tulang bersama pemerasan keringat
bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan
semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat
kepentingan bersama!Itulah gotong-royong! 122

Teks ini merupakan pernyataan Soekarno untuk mengajak masyarakat

Indonesia memahami bagaimana bangsa Indonesia harus mencapai visi-misi dan

tujuan negara Indonesia. Pernyataan ini jelas memberikan pemahaman baru dalam

aspek sosiologis, bahwa sistem Gotong-Royong adalah bagian dari nilai kehidupan

keluarga dan warisan budaya bangsa Indonesia yang berharga. Pernyataan tentang

negara Gotong Royong hendak mengarah pada nilai kebersamaan dan persatuan

bangsa. Inilah konsep negara yang dicita-citakan Soekarno, yakni membentuk suatu

komunitas yang solid dan kuat. Komunitas yang terhimpun dari berbagai macam

suku, agama, ras, bahasa, dan kebudayaan.

122
Soekarno, 1960, Pantjasila Dasar Filsafat Negara oleh Bung Karno, Jajasan Empu
Tantular, Djakarta, hlm. 92
84 

Soekarno sangat memahami karakter asli orang Indonesia yang

sesungguhnya memiliki kemampuan untuk maju dan mensukseskan pembangunan

bangsanya. Mengapa? Karena Soekarno tahu dengan persis bahwa konsep Gotong

Royong adalah milik masyarakat Indonesia sejak dahulu. Seluruh penjuru

kepulauan Indonesia memiliki warisan dari nenek moyang mereka untuk bergotong

royong. Soekarno memiliki buah pikiran yang cemerlang tentang keadilan sosial.

Gagasan keadilan sosial tidak bisa terlepas dari gerakan persatuan dan gotong

royong. Justru bangsa yang tahu bersatu dan mau berkerjasama akan dapat

memahami nilai keadilan sosial. Pernyataan ini ditegaskan lagi oleh Soekarno

dalam pidatonya yang berbicara tentang nilai kebersamaan untuk mencapai cita-

cita bangsa, yakni menciptakan masyarakat adil dan makmur.

“Di dalam penyelenggaraan masyarakat adil dan makmur semua memberikan


tenaganya. Insinyur-insiyur memberi tenaganya, dokter-dokter memberi
tenaganya, tukang-tukang gerobak memberi tenaganya, ahli-ahli ekonomi
memberi tenaganya, ahli-ahli dagang memberi tenaganya, ahli-ahli pertahanan
memberi tenaganya, semua memberi tenaganya. Bercorak macam, tetapi toh
menjadi satu harmoni menyusun satu masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila”. 123

Bangsa Indonesia tetap membutuhkan partner dalam berjuang dan

membangun negara yang adil dan makmur. Keadilan sosial tidak bisa dibangun

oleh satu pihak saja, akan tetapi keadilan sosial adalah tanggungjawab semua

bangsa

Pandangan keadilan dalam hukum nasional bangsa Indonesia tertuju pada

dasar negara, yaitu Pancasila, yang mana sila kelimanya berbunyi : “Keadilan sosial

123
Ibid., hlm. 136
85 

bagi seluruh rakyat Indonesia”. Yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah

yang dinamakan adil menurut konsepsi hukum nasional yang bersumber pada

Pancasila. Menurut Kahar Masyhur dalam bukunya mengemukakan pendapat-

pendapat tentang apakah yang dinamakan adil, terdapat tiga hal tentang pengertian

adil. 124

(1) “Adil” ialah : meletakan sesuatu pada tempatnya.

(2) “Adil” ialah : menerima hak tanpa lebih dan memberikan orang lain

tanpa kurang.

(3) “Adil” ialah : memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap tanpa

lebih tanpa kurang antara sesama yang berhak dalam keadaan yang sama, dan

penghukuman orang jahat atau yang melanggar hukum, sesuai dengan kesalahan

dan pelanggaran”.

Selanjutnya uraikan tentang keadilan dalam perspektif hukum nasional,

terdapat diskursus penting tentang adil dan keadilan sosial. Adil dan keadilan

adalah pengakuan dan perlakuan seimbang antara hak dan kewajiban. Apabila ada

pengakuan dan perlakuan yang seimbang hak dan kewajiban, dengan sendirinya

apabila kita mengakui “hak hidup”, maka sebaliknya harus mempertahankan hak

hidup tersebut denga jalan bekerja keras, dan kerja keras yang dilakukan tidak pula

menimbulkan kerugian terhadap orang lain, sebab orang lain itu juga memiliki hak

yang sama (hak untuk hidup) sebagaimana halnya hak yang ada pada diri

124
Kahar Masyhur,1985, Membina Moral dan Akhlak, Kalam Mulia, Jakarta, hlm.71.
86 

individu.125 Dengan pengakuan hak hidup orang lain, dengan sendirinya diwajibkan

memberikan kesempatan kepada orang lain tersebut untuk mempertahankan hak

hidupnya. Konsepsi demikian apabila dihubungkan dengan sila kedua dari

Pancasila sebagai sumber hukum nasional bangsa Indonesia, pada hakikatnya

menginstruksikan agar senantiasa melakukan perhubungan yang serasi antar

manusia secara individu dengan kelompok individu yang lainnya sehingga tercipta

hubungan yang adil dan beradab.

Hubungan adil dan beradab dapat diumpamakan sebagai cahaya dan api, bila

apinya besar maka cahayanya pun terang : jadi bila peradabannya tinggi, maka

keadilanpun mantap.126 Lebih lanjut apabila dihubungkan dengan “keadilan sosial”,

maka keadilan itu harus dikaitkan dengan hubungan-hubungan kemasyarakatan.

Keadilan sosial dapat diartikan sebagai :

“(1) Mengembalikan hak-hak yang hilang kepada yang berhak.


(2) Menumpas keaniayaan, ketakutan dan perkosaan dan pengusaha-
pengusaha.
(3) Merealisasikan persamaan terhadap hukum antara setiap individu,
pengusaha-pengusaha dan orang-orang mewah yang didapatnya dengan
tidak wajar”.127

Sebagaimana diketahui bahwa keadilan dan ketidakadilan tidak dapat

dipisahkan dari hidup dan kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari

sering dijumpai orang yang “main hakim sendiri”, sebenarnya perbuatan itu sama

125
Suhrawardi K. Lunis, 2000, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Cetakan Kedua,
Jakarta, , hlm. 50.
126
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1982, Renungan Tentang Filsafat Hukum,
Rajawali, Jakarta, hlm.83.
127
Kahar Masyhur, op. cit., hlm. 71.
87 

halnya dengan perbuatan mencapai keadilan yang akibatnya terjadi ketidakadilan,

khususnya orang yang dihakimi itu.Keadilan sosial menyangkut kepentingan

masyarakat dengan sendirinya individu yang berkeadilan sosial itu harus

menyisihkan kebebasan individunya untuk kepentingan Individu yang lainnya

Pandangan keadilan dalam hukum nasional bersumber pada dasar negara.

Pancasila sebagai dasar negara atau falsafah negara (filosofische grondslag) sampai

sekarang tetap dipertahankan dan masih tetap dianggap penting bagi negara

Indonesia. Konsep keadilan sosial di negara Indonesia telah mendapat tempat yang

utama oleh para bapa pendiri bangsa. Hal ini jelas sekali dapat dibuktikan dari

gagasan Soekarno dalam pembicaraannya tentang Dasar Negara Indonesia di dalam

sidang BPUPKI (1 Juni 1945). Akan tetapi dalam kenyataannya harapan Bung

Karno kepada bangsa Indonesia yang telah mengalami kemerdekaan ini malah tidak

terwujud sebagaimana mestinya. Terbukti bahwa segala bentuk ketidakadilan dan

penindasan terhadap bangsa Indonesia ternyata masih dapat kita jumpai di mana-

mana. 128

Masyarakat yang tertata baik dalam keharmonisan dan keadilan merupakan

cita-cita semua bangsa. Semua orang dalam satu negara selalu menginginkan hidup

dalam keadilan dan persamaan hak dengan berpedoman pada peri kemanusiaan.

Dengan demikian segala aspek yang melingkupi hidup masyarakat sudah tentu

harus ditata seadil mungkin. Undang-undang adalah sarana penataan semua warga

negara Indonesia, dengan demikian haruslah disusun sedemikian rupa sehingga

128
Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPKI),1995, Risalah Sidang BPUPKI, Sekretariat
Negara Republik Indonesia, Jakarta, hlm 78.
88 

dapat memenuhi norma keadilan. Termasuk dalam hal ini UU tentang penyelesaian

perselisihan hubungan industrial.

Menarik sekali bahwa konsep keadilan sosial telah menjadi salah satu

pemikiran filosofis presiden Soekarno. Hal ini ditegaskan dalam sebuah pidato

kuliah umum tentang “Pancasila”, yang diselenggarakan “Liga Pancasila” di istana

negara. Adapun menurut Soekarno arti dari kata keadilan sosial itu ialah:

“Keadilan sosial ialah satu masyarakat atau sifat satu masyarakat adil dan
makmur , berbahagia buat semua orang , tidak ada penghinaan , tidak ada
penindasan, tidak ada penghisapan. Tidak ada sebagai yang saya katakan di
dalam kuliah umum beberapa bulan yang lalu Exploration Ed l,Home bar
i,Home” 129

Pemikiran Bung Karno tentang keadilan sosial ini sungguh jelas, tepat,

sistematis dan tegas. Tampak sekali bahwa Soekarno sangat memprioritaskan nilai

keadilan dan menjunjung tinggi nilai hak-hak asasi manusia dalam konsep hidup

berbangsa dan bernegara. Sudah tentu, lahirnya gagasan tentang definisi keadilan

sosial ini merupakan hasil refleksi Soekarno tentang masa gelap sejarah bangsa

Indonesia. Bangsa Indonesia telah mengalami penderitaan, penindasan, penghinaan

dan penghisapan oleh penjajahan Belanda dan Jepang. Pernyataan teks di atas

membuktikan bahwa Soekarno ingin mencanangkan keadilan sosial sebagai

warisan dan etika bangsa Indonesia yang harus diraih.

129
Soekarno, op. cit., hlm. 145.
89 

Upaya agar keadilan sosial dapat terwujud, maka keadilan sosial itu harus

dimulai dari hidup bermasyarakat. Soekarno menyadari bahwa negara Indonesia

yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa akan mencapai keadilan sosial

asalkan rakyat Indonesia telah dipersatukan menjadi satu bangsa, yakni bangsa

Indonesia. Pemahaman aspek persatuan ini jelas tidak bisa terlepas dari aspek

“rasa” setiap orang. Rupanya konsep tentang persatuan bangsa ini sudah lama

digagas oleh Soekarno. Hal ini dapat dibaca dalam isi pidatonya: Kita hendak

mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat

satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, - tetapi

“semua buat semua”.130 Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti yang akan saya

kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja

di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi

sejak tahun 1918, 25 tahun lebih, ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar

buatan negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan.131

Salah satu tokoh yang kental dengan Pancasila adalah Notonagoro juga

memberikan pendapat tentang keadilan yaitu tentang filsafat Pancasila adalah

pengertian tentang isi pokok filsafat Pancasila itu sendiri, berikut penjabarannya

yang dimulai dari sila 1 – 5:

1. Sila I, Ketuhanan Yang Maha Esa

130
Serial Pemikiran Tokoh-tokoh UGM Prof Noto Nagoro dan Pancasila (Analisis
Tektual dan Kontekstual)
131
Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPKI), op. cit., hlm. 25.
90 

Kesesuaian sifat dan keadaan dengan hakekat Tuhan yang hanya satu dan

merupakan asal mula segala sesuatu dan bersifat abadi, maha sempurna,

dan maha kuasa.

2. Sila II, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Kesesuaian sifat dan keadaan dengan hakekat manusia sebagai makhluk yang

tersusun atas raga dan jiwa dengan daya cipta, rasa, dan karsa, serta hakekat

manusia sebagai makhluk sosial.

3. Sila III, Persatuan Indonesia

Kesesuaian sifat dan keadaan dengan hakekat yang satu, yaitu diri pribadi

dengan ciri khas tersendiri.

4. Sila IV, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan perwakilan. Kesesuaian sifat keadaan dengan hakikat

rakyat sebagai warga negara ,bukan satu golongan.

5. S i l a V , Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.Kesesuaian sifat dan

keadaan dengan hakikat adil bagi masyarakat dan negara terhadap warganya ,

keadilan warga terhadap masyarakat dan negara.

Notonagoro mengkaji Pancasila secara ilmiah, disebut Koento Wibisono

dipengaruhi oleh metode aliran filsafat barat, karena Indonesia belum memiliki

filsafat sebagai disiplin ilmu. Hal ini dilakukan oleh Prof. Notonagoro sebagai

penunjang adanya Pancasila yang berfungsi untuk menuju satu hal yang ideal.

Oleh karena itu, Notonagoro mempunyai kepedulian untuk mengembangkan

Pancasila dari sudut “filsafati”. Menurut Notonagoro, pengertian Pancasila secara

ilmiah ialah dasar negara yang mutlak dan obyektif melekat pada kelangsungan
91 

negara, tidak bisa diubah dengan jalan hukum, merupakan pengertian umum
132
abstrak dan umum universal. Notonagoro mengungkapkan hal ini karena

keinginannya untuk mencari jalan keluar dari kesulitan mengenai dasar negara RI

dalam pembicaraan di dalam konstituante.

Ada 5 keadilan legalitas menurut Notonagoro sebagai berikut:

1. Keadilan distributif (membagi)

Keadilan distributif adalah suatu kebajikan tingkah laku masyarakat dan alat

penguasaannya untuk selalu membagikan segala kenikmatan dan beban

bersama, dengan cara rata dan merata, menurut keselarasan sifat dan tingkat

perbedaan jasmani maupun rohani.

2. Keadilan Komutatif (tukar menukar)

Keadilan Komutatif adalah suatu kebajikan tingkah laku manusia untuk selalu

memberikan kepada sesamanya, suatu yang menjadi hak orang lain, atau sesuatu

yang sudah semestinya diterima oleh pihak lain. Dengan adanya keadilan tukar-

menukar terwujud interaksi saling memberi dan saling menerima. Keadilan

komutatif timbul di dalam hubungan antarmanusia sebagai orang seorang

terhadap sesamanya di dalam masyarakat.

3. Keadilan kodrat alam (sosial)

Keadilan kodrat alam adalah suatu kebajikan tingkah laku manusia di dalam

hubungannya dengan masyarakat, untuk senantiasa memberikan dan

132
Ibid., hlm. 136
92 

melaksanakan segala sesuatu yang menunjukkan kemakmuran dan

kesejahteraan bersama sebagai tujuan akhir dari masyarakat atau negara.

4. Keadilan konvensional

Keadilan konvensional keadilan yang mengikat warga negara, sebab keadilan itu

didekritkan melalui suatu kekuasaan (penguasa negara atau pejabat pemerintah).

5. Keadilan legalitas (keadilan hukum)

Keadilan legalitas adalah mengatur hubungan antara anggota dan kesatuannya

pandangan keadilan dalam hukum nasional bangsa Indonesia tertuju pada dasar

negara, yaitu Pancasila yang mana sila kelimanya sebagai berikut: “Keadilan

sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Adapun yang menjadi persoalan sekarang

adalah apakah yang dinamakan adil itu menurut konsepsi hukum nasional yang

bersumber pada Pancasila. Untuk lebih lanjut menguraikan tentang keadilan

dalam perspektif hukum nasional, terdapat diskursus penting tentang adil dan

keadilan sosial. Adil dan keadilan adalah pengakuan dan perlakuan seimbang

antara hak dan kewajiban. Konsepsi demikian apabila dihubungkan dengan sila

kedua dari Pancasila sebagai sumber hukum nasional bangsa Indonesia, pada

hakikatnya menginstruksikan agar senantiasa melakukan perhubungan yang

serasi antar manusia secara individu dengan kelompok individu yang lainnya,

sehingga tercipta hubungan yang adil dan beradab. Lebih lanjut apabila

dihubungkan dengan “Keadilan Sosial”, maka keadilan itu harus dikaitkan

dengan hubungan-hubungan kemasyarakatan. Keadilan sosial dapat diartikan

sebagai:

1. Mengembalikan hak-hak yang hilang kepada yang berhak.


93 

2. Menumpas keaniayaan, ketakutan dan perkosaan dari pengusaha-pengusaha.

3. Merealisasikan persamaan terhadap hukum antara setiap individu, pengusaha-

pengusaha dan orang-orang mewah yang didapatnya dengan tidak wajar.133 

Keadilan sosial menyangkut kepentingan masyarakat dengan sendirinya

individu yang berkeadilan sosial itu akan menyisihkan kebebasan individunya

untuk kepentingan individu yang lainnya. Hukum nasional hanya mengatur

keadilan bagi semua pihak, oleh karenanya keadilan di dalam perspektif hukum

nasional adalah keadilan yang menserasikan atau menselaraskan keadilan-keadilan

yang bersifat umum di antara sebagian dari keadilan-keadilan individu. Dalam

keadilan ini lebih menitikberatkan pada keseimbangan antara hak-hak individu

masyarakat dengan kewajiban-kewajiban umum yang ada di dalam kelompok

masyarakat hukum.

Pelaksanaan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam

menciptakan kesejahteraan pekerja perlu didasarkan pada pola pikir hukum

progresif yang sangat berbeda dengan paradigma hukum positivistik. Paradigma

hukum progresif melihat faktor utama dalam hukum adalah manusia itu sendiri,

sedangkan paradigma positivistik meyakini kebenaran hukum di atas manusia.

Manusia boleh dimarjinalkan asal hukum tetap tegak atau ditegakkan walaupun

langit akan runtuh. Paradigma hukum progresif berfikir bahwa hukum boleh

dimarjinalkan untuk mendukung eksistensialitas kemanusiaan, kebenaran, dan

keadilan.

133
Ibid.
94 

Sejalan dengan semakin meningkat dan kompleksnya permasalahan

perselisihan hubungan industrial di era industrialisasi, maka cita-cita UU Nomor 2

Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial secara normatif

amatlah penting untuk mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis,

dan berkeadilan secara optimal berdasarkan nilai-nilai Pancasila, serta perlunya

penyediaan institusi dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial

dengan asas cepat, adil, dan murah. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial

yang berasaskan cepat, adil, murah, dan berkepastian hukum sangat ditentukan oleh

kemampuan lembaga-lembaga yang ditugaskan untuk penyelesaian perselisihan

hubungan industrial. Kemampuan lembaga-lembaga ini dalam penyelesaian

perselisihan hubungan industrial sangat tergantung pada kualitas para subjek

hukum, khususnya pihak pengusaha dan pekerja. Penyelesaian perselisihan

hubungan industrial selain ditentukan oleh kualitas para pelaku hubungan

industrial, ditentukan kualitas peraturan perandang-undangan yang berlaku,

kebijaksanaan pemerintah, dan ideologi bangsa dan negara.134

Konsep penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang melibatkan tiga

unsur pendukung, yaitu pekerja, pengusaha dan pemerintah. Ketiga aspek ini saling

terkait dalam upaya penyelesaian perselisihan industrial yang memberikan

perlindungan hukum seimbang bagi para pihak. Ketiga unsur ini yang paling

penting adalah pengusaha sebagai faktor kunci yang memiliki hubungan dengan

134
Departemen Tenaga Kerja, 2000, Penelitian Peranan Multi Serikat Pekerja Dalam
Hubungan Industrial Pancasila, , Badan Perencana dan Pengembangan Tenaga Kerja Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tenaga , hlm. 5
95 

pekerja.Terjadinya perselisihan hubungan industrial disebabkan adanya

ketidakadilan dalam hal pengaturan hubungan industrial, dan ketidakadilan tersebut

juga dapat terjadi pada proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial perlu menghilangkan segala

ketidakadilan di setiap tahap jalannya hubungaan industrial, dari mulai pengaturan

hubungan industrial sampai tahapan proses penyelesaian hubungan industrial.

Pancasila sebagai dasar negara memang berkonotasi yuridis dalam arti

melahirkan berbagai peraturan perundangan yang tersusun secara hirarkhis dan

bersumber darinya, sedangkan Pancasila sebagai ideologi dapat dikonotasikan

program sosial politik tempat hukum menjadi salah satu alat dan karenanya juga

harus bersumber dari Pancasila.135 Pancasila merupakan sumber segala sumber

hukum, berarti segala bentuk hukum di Indonesia harus diukur menurut nilai-nilai

yang terkandung dalam Pancasila, dan dalam aturan hukum itu harus tercermin

kesadaran dan rasa keadilan yang sesuai dengan kepribadian dan falsafah hidup

bangsa. Pancasila juga sebagai recht idea dalam arti Pancasila sebagai sumber

inspirasi dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan, termasuk

dalam pembentukan UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial.

Menurut penulis dalam mewujudkan nilai-nilai yang terkandung dalam

Pancasila ke dalam praktik kehidupan sehari-hari antara para pelaku produksi

(pengusaha, pekerja/buruh, dan serikat pekeda/serikat buruh, dan pemerintah) tentu

135
Hamid Attamimi dalam Moh. Mahfudz MD, 2006, Membangun Politik Hukum
Menegakkan Konstitusi, Pustaka LP3ES , Indonesia, hlm. 52
96 

perlu adanya dukungan kondisi yang kondusif agar tumbuh dan berkembang sikap

mental dan sikap sosial. Dukungan yang kondusif ini harus menjadi perilaku semua

pihak secara nyata dalam pergaulan sehari-hari. Pembahasan mengenai PHI tidak

bisa lepas dengan negara hukum . Deskripsi tentang teori negara hukum sebagai

landasan teoritis dapat digambarkan hahwa lahirnya teori negara hukum muncul

dari keinginan untuk membatasi dan mengawasi kekuasaan negara yang dipicu oleh

teori kedaulatan hukum yang dipelopori antara lain adalah

Imanuel Kant.136

Hak untuk bekerja dan hak dalam pekerjaan tidak hanya merupakan inti dari

hak ekonomi, sosial dan budaya, tetapi juga dalam lingkup hak asasi yang
137
fundamental. Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya merupakan hak posistif

(positive rights) karena untuk merealisasikan hak –hak yang diakui dalam konvenan

tersebut diperlukan keterlibatan negara yang besar. Negara disini harus berperan

aktif oleh karena itu hak-hak ini dirumuskan dalam bahasan “right to” (hak atas )

hak ekonomi, sosial, budaya menuntut tanggungjawab negara dalam bentuk

obligation of result artinya pemerintah harus mengusahakan terciptanya

kesempatan untuk merealisasikan hak tersebut. Beberapa hak ekonomi bagi pekerja

yang penting meliputi hak atas keselamatan kerja, pengupahan yang adil, dan hak

136
S.F Marbun, 2003, Peradilan Administrasi dan Upaya Administrasi di Indonesia, UI
Press, Yogyakarta, hlm. 6. Lihat juga Wiratno, 1986, Ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum,
PT Pembangunan, Jakarta, hlm. 182-185, lihat juga Solly Lubis, 1981, Ilmu Negara, Alumni
Bandung, hlm. 526-528
137
Vincentius Hari Supriyanto, 2012, Kesejahteraan Pekerja Dalam Hubungan industrial
Pada Perusahaan –Perusahaan Di Daerah Istimewa Yogyakarta, Disertasi Program Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 85.
97 

untuk berpartisipasi di tempat kerja138. Pekerjaan dan penghidupan yang layak

dikonstruksikan sebagai hak warga negara, artinya pekerjaan dan penghidupan

yang layak merupakan kepentingan warga negara yang pemenuhannya dapat

dituntut kepada negara untuk dipenuhi.

Hubungan pengusaha dan pekerja adalah hubungan yang dinamis, sering

ditemui jika terjadi perselisihan , penyelesaian perselisihannyapun sering tidak

berpihak pada pekerja. Salah satu instrumen yang dapat melindungi pekerja yang

kedudukannya subordinat adalah hukum yang merepresentasikan hak dan

kepentingan pekerja dalam perselisihan hubungan industrial. Pada sisi lain dengan

kompleksitasnya permasalahan dalam hubungan industrial , akan menyulitkan

membentuk hukum yang dapat diterima oleh para pelaku dalam hubungan

industrial seperti pengusaha dengan pekerja.

Sistem hukum nasional Indonesia yang berlandaskan Pancasila bertujuan

mengayomi manusia. Hukum harus menjamin dan menegakkan nilai-nilai yang

terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan pencerminan

Pancasila.139 Pandangan Hamid S. Tamimi bahwa Pancasila dalam kedudukannya

sebagai dasar hukum dan ideologi negara, maka harus dijadikan paradigma dalam

pembangunan hukum termasuk semua upaya pembaharuannya. Pancasila sebagai

dasar negara memang berkonotasi yuridis dalam arti melahirkan berbagai peraturan

perundang-undangan yang tersusun secara hierarkis dan bersumber darinya,

138
Ibid., hlm. 22.
139
Darji Darmodiharjo dan Sidharta, 1995, Pokok-pokok Filsafat Hukum , Gramedia ,
Jakarta, hlm. 206
98 

sedangkan Pancasila sebagai ideologi dapat dikonotasikan sebagai program sosial

politik tempat hukum menjadi salah satu alat dan karenanya juga harus bersumber

pada Pancasila.140

Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum, berarti segala bentuk hukum

di Indonesia harus diukur menurut nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila .

Pancasila sebagai recht idea dalam arti Pancasila sebagai sumber inspirasi dalam

pembentukan satu peraturan perundang-undangan. Menurut peneliti dalam

mewujudkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila ke dalam praktik

kehidupan sehari-hari antara para pelaku produksi (pengusaha, buruh/pekerja dan

serikat buruh/serikat buruh, dan pemerintah) tentu perlu adanya dukungan kondisi

yang kondusif agar tumbuh dan dan berkembang sikap mental dan sikap sosial.

Dukungan yang kondusif ini harus menjadi perilaku semua pihak secara nyata

dalam pergaulan sehari-hari.

Sejalan dengan semakin meningkat perselisihan hubungan industrial, maka

cita-cita Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial secara normatif amatlah luhur dalam mewujudkan hubungan

industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan. Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2004 mengatur mekanisme penyelesaian perselisih hubungan industrial

secara non litigasi melalui lembaga Bipartit, Konsiliasi, Mediasi, Arbitrage dan

secara litigasi melalui lembaga Pengadilan Hubungan Industrial dengan asas cepat

140
Hamid Attamimi , op. cit., hlm. 52.
99 

tepat, adil. dan murah.141 Menurut Surya Tjandra,142 bahwa proses penyelesaian

perselisihan melalui lembaga PHI di Indonesia saat ini dituntut tidak hanya harus

adil dalam mengambil keputusan, tetapi juga harus sensitif dengan persoalan

pekerja/buruh, sebagai pihak yang paling lemah dalam hubungan industrial.

Karakter perselisihan hubungan industrial, semakin lama sebuah perkara selesai

maka semakin tidak adil pula bagi pekerja/buruh putusan yang akan dihasilkan.

Penyelesaian perselisihan antara pengusaha dengan pekerja/buruh harus

berdasarkan hukum dan keadilan. Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum di

samping kebenaran. Keadilan pada lembaga PHI dapat terwujud, apabila

perselisihan tersebut diselesaikan oleh hakim yang memiliki sensitivitas terhadap

persoalan buruh. Sensivitas ini periu didukung semua pemangku kepentingan (stake

holders), termasuk negara dalam memberikan perhatian kesejahteraan kepada para

hakim.143

Pembentukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 bertujuan untuk dapat

mewujudkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang sosial sesuai

dengan nilai-nilai Pancasila. Menurut Agung Hermawan spirit undang-undang ini

adalah menjamin penyelesaian perselisihan hubungan industrial menjadi adil, cepat

dan murah.144 Ada du acara menyelesaiakan perselisihan yaitu diluar pengadilan

melalui Biparti, Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrasi dan melalui PHI.

141
Abdul Khakim, op. cit., hlm. 4
142
Surya Tjandra, 2007, Praktek Hubungan Industrial Panduan Bagi Serikat Buruh,
Cetakan Penerbit Trade Union Rights Centre (TURC), Jakarta, hlm x.
143
Abdul Khakim, 2010, Aspek Hukum Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
(antara Peraturan dan Pelaksanaan), PT. Cipta Aditya Bakti, Bandung, hlm. 5.
144
Agung Hermawan, 2008, Masih Adakah Keadilan Bagi Buruh, Fikri Print Production,
, LBH Bandung, hlm. 38.
100 

Cara Penelitian
Penelitian hukum adalah penelitian yang membantu pengembangan ilmu

hukum dalam mengungkapkan suatu kebenaran hukum. Konsekuensinya untuk

melakukan penelitian hukum, seseorang harus memahami penelitian itu sendiri dan

memahami ilmu hukum.145

Penelitian mengenai Eksistensi Pengadilan Hubungan Industrial Dalam

Sistem Peradilan Di Indonesia ini merupakan jenis penelitian hukum

Doktrinal/Normatif yang didukung dengan wawancara dengan nara sumber.

Pendekatan penelitian dilakukan dengan legal opproach/ pendekatan peraturan

perundang-undangan , historis approach/sejarah dan pendekatan comparacy

approach/perbandingan.. Menurut Soetandyo selama hukum ini dibilangkan

sebagai norma entah yang telah dibentuk dan memiliki wujudnya yang positif (Ius

constitutum) entah pula yang belum dipositifkan ( ius costituendum) maka selama

itu pula penelitian hukum ini harus dibilangkan pula sebagai penelitian normatif.
146
Dalam penelitian doktrinal kebenaran konklusi dalam setiap silogisme deduksi

adalah kebenaran yang bersifat formal. Logika deduksi boleh juga disebut logika

formal, artinya kebenaran konklusi akan ditentukan semata-mata oleh kebenaran

prosedural yang secara formal ditempuh dalam penyusunan silogisme.147

1. Bahan/ Materi Penelitian

145
Sugeng Istanto, 2007, Penelitian Hukum , CV Ganda ,Yogyakarta, hlm. 29.
146
Soetandyo Wignyosoebroto, 2002, Hukum Konsep dan Metode,Setara Pess, Malang,
hlm. 77
147
Ibid., hlm. 101.
101 

Sebagai penelitian hukum doktrinal/ normatif, maka titik berat penelitian tertuju

pada penelitian sumber bahan hukum dan terdiri dari bahan hukum primer,

bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier 148 atau sering disebut penelitian

bahan pustaka dalam ilmu penelitian digolongkan sebagai data sekunder149 oleh

karena itu dalam penelitian ini banyak dilakukan telaah dan kajian terhadap data

sekunder yang diperoleh dari penelitian dan kiranya penyusunan dan perumusan

hipotesis tidak diperlukan. Fokus penelitian ditujukan terhadap substansi atau

materi dari perangkat atau kaedah hukum yang dijumpai dalam berbagai

peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia150 yang mengatur

tentang atau ada kaitannya dengan penyelesaian perselisihan hubungan

industrial dan latar belakang pembentukan PHI atau politik hukum pembentukan

peraturan penyelesaian perselisihan hubungan industrial

2. Data Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang terdiri dari

bahan hukum atau materi penelitian terdiri dari 3 macam bahan hukum151 yang

meliputi:

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat, terdiri atas

berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur pembentukan

148
Ibid., hlm. 79-87.
149
Soerdjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2002,Penelitian Hukum Normatif, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 24.
150
Ibid., hlm.15.
151
Ibid., hlm. 8.
102 

peraturan perundang-undangan, perselisihan hubungan industrial dan

pengadilan hubungan industrial.

a. Undang-Undang Dasar N RI 1945

b. Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian

Perselisihan Perburuhan.

c. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1956 tentang Ratifikasi Konvensi

Nomor 98 organisasi Perburuhan Internasional mengenai berlakuanya

Dasar-dasar dari Hak Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama.

d. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian

Perselisihan Perburuhan

e. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan –Ketentuan

Pokok Mengenai Tenaga Kerja.

f. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja.

g. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

h. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial.

i. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Tata Cara

Pengangkatan Dan pemberhentian Hakim Ad Hoc Pengadilan

Hubungan Industrial Dan Hakim Ad Hoc Pada Mahkamah Agung.

j. Peraturan Kekuasaan Militer Pusat Nomor 1 tahun 1951 tentang

Penyelesaian Pertikaian Perburuhan

k. Keputusan Presiden Nomor 123 Tahun 1963 tentang Perusahaan–

Perusahaan, Jawatan-Jawatan dan Badan-Badan yang Vital.


103 

l. Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 1998 tentang Ratifikasi

Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional Nomor 87 tentang

Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Untuk Berorganisasi.

m. Instruksi Menteri Perburuhan No. PBU 1022-45/U.4191/1950 tentang

Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.

n. Surat Edaran MA No. 1 Tahun 1980

2) Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan

mengenai bahan hukum primer diantara:

a) Berbagai kepustakaan mengenai hukum Ketenagakerjaan Indonesia.

b) Berbagai kepustakaan mengenai hubungan industrial Pancasila.

c) Berbagai kepustakaan mengenai penyelesaian perselisihan hubungan

industrial dan perbandingannya dengan negara lain.

d) Berbagai kepustakan mengenai sistem peradilan di Indonesia

e) Berbagai literature yang berisi pandangan ahli mengenai ketentuan

perselisihan hubungan industrial dan cara menyelesaikannya.

f) Berbagai berita maupun tulisan mengenai penyelesaian perselisihan

hubungan industrial melalui pengadilan hubungan industrial.

g) Buku I sampai dengan VI Pembahasan RUU RI tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI)

h) Berbagai literatur dan tulisan tentang politik hukum perundang-

undangan.

3) Bahan Hukum Tertier yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk dan

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang terdiri atas:
104 

a) Blacks Law Dictionary yang disusun oleh Henry Cambell Black

b) Kamus Umum yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun

oleh Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

3. Alat Pengumpul Data


Alat pengumpul data dalam penelitian ini dilakukan dengan studi

dokumen. Bahan penelitian ini dikumpulkan melalui berbagai pustaka dengan

menggunakan studi dokumen yaitu dengan mengumpulkan dan menganalisis

bahan hukum terkait dengan materi penelitian baik dari peraturan perundangan,

putusan hakim, laporan penelitian, dengan cara mempelajari data melalui buku

literatur, jurnal yang kemudian dikaji dan dikelompokan kedalam konsep-

konsep pokok untuk digunakan dalam menjawab permasalahan. Sebelum

tahapan penelusuran isi dokumen, terhadap dokumen secara keseluruhan

dilakukan penilaian.

4. Cara pengumpulan Data

Cara Pengumpulan Data penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara

metode dokumentasi sebagai berikut:

a. Dilakukan pengumpulan bahan hukum-bahan hukum yang meliputi bahan

hukum primer,sekunder dan tertier.

b. Dilakukan kajian mengenai ketentuan-ketentuan tentang pembentukan UU PPHI

dilihat dari risalah pembentukannya, jenis perselisihan hubungan industrial dan

prinsip-prinsip penyelesaian perselisihan di dalam Hukum Ketenagakerjaan .


105 

Dari proses pembentukan UU PPHI dapat diketahui kearah mana kebijakan

pembentukan PHI dan melalui ketentuan jenis perselisihan dan cara

penyelesaian penyelesaian perselisihan akan dapat diperoleh garis besar dari

penyelesaian perselisihan seperti:

1) Berbagai asas pembentukan perundangan-undangan terkait penyelesaian

perselisihan hubungan industrial.

2) Berbagai pengertian mengenai hubungan industrial

3) Berbagai pola hubungan industrial

4) Berbagai jenis perselisihan hubungan industrial

5) Cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial

c. Selanjutnya dilakukan penelitian mengenai:

1) Pandangan dan komentar para ahli dan nara sumber mengenai hubungan

industrial, perselisihan hubungan industrial, pembentukan PHI, penentuan

dan penegakkannya.

2) Hubungan antara materi yg diatur dalam penyelesaian perselisihan hubungan

industrial dengan ketentuan lainya dalam Hukum ketenagakerjaan maupun

bidang hukum lain yang mempunyai keterkaitan dengan ketentuan

penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

3) Putusan–putusan PHI dilihat dari jenis dan eksekusi putusan terkait hak dan

kewajiban pekerja/buruh dengan pengusaha

Memperhatikan dari hasil penelitian tersebut maka dapat diketahui politik

hukum pembentukan PHI, penentuan dan penegakkan PHI , luas dan lingkup

materi yang diatur dan bagaimana hubungan materi-materi yang diatur dengan
106 

bagian hukum ketenagakerjaan maupun bidang hukum lain yang berkaitan dengan

ketentuan penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Akhirnya penelitian

dapat diketahui tentang latar belakang pembentukan UU Nomor 2 Tahun 2004

tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, konteks hubungan

industrial Pancasila, perselisihan dan cara penyelesaiannya perselisihan hubungan

industrial yang dapat memberikan keadilan bagi pihak pekerja dengan pengusaha.

5. Analisis Data

Analisis data penelitian dilakukan dengan menggunakan analisis kualitatif.

Analisis kualitatif adalah analisis data yang didasarkan pada kualitas nilai dari data

yang diperoleh. Menurut Maria S. W Sumadjono menyatakan bahwa dalam

penelitian hukum normatif yang mempergunakan data sekunder, penelitian pada

umumnya bersifat deskriptif atau deskriptif eksploratif serta analisisnya bersifat

kualitatif.152 Terkait penelitian ini adalah eksplorasi dan pencarian data penelitian

ini didasarkan atau diukur dari kualitas nilai atau prinsip hukum tertentu.

Analisis kualitatif dilakukan dengan mengelompokan data yang berupa bahan

hukum primer , bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier yang berhubungan

dengan eksistensi PHI ditinjau dari pembentukan perundang-undangan tentang

penyelesaian perselisihan hubungan industrial dari segi norma hukum, politik

hukum atau legal policy terbentuknya PHI, mekanisme penyelesaian perselisihan

hubungan industrial melalui litigasi yaitu PHI dan melalui non litigasi yakni

Biparti Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrasi, serta bagaimana penyelesaian yang

152
Maria S.W. Soemardjono, 2001, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian Sebuah
Panduan Dasar, Cet. Ketiga ,Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 10
107 

memberi keadilan. Analisis dilakukan dengan mendiskripsikan dan

mensistematisasi data yang diperoleh terkait dengan latar belakang pembentukan

perundang-undangan, proses berperkara dalam UU PPHI, kedudukan dan

kewenangan PHI, dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial

selanjutnya dieksplikasi atau diuraikan secara naratif dan dievaluasi mengenai

keberadaan PHI dalam sistem peradilan di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai