PERTANYAAN
1. Uraikan perkembangan Peraturan Perundang-undangan penyelesaian hubungan industrial
yang pernah dan masih berlaku di Indonesia !
2. Uraikan bagaimana prosedur dan tahapan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial !
JAWABAN
Nomor 1
Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
dalam satu perusahaan.
Dengan itu perlu peraturan mengatur hal tersebut. Perkembangan Perundang-
undangan penyelesaian hubungan industrial yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957
tentang Penyelesaian Perburuhan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang
Pemutusan hubungan Kerja di Perusahaan Swasta, namun saat ini peraturan tersebut sudah
tidak sesuai lagi dengan perkermbangan keadaan dan kebutuhan.
Selanjutnya Pemerintah bersama dengan DPR RI membahas dan menyetujui suatu
rancangan undang-undang PenyelesaianPerselisihan Hubungan Industrial menjadi Undang-
undang dengan latar belakang sebagai berikut
a. Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, maka putusan P4P yang semula bersifat final, oleh pihak yang tidak
menerima putusan tersebut dapat diajukan gugatan pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara, yang selanjutnya dapat dimohonkan Kasasi pada Mahkamah Agung. Proses ini
membutuhkan waktu relatif lama yang tidak sesuai untuk diterapkan dalam kasus
ketenagakerjaan (hubungan industrial) yang memerlukan penyelesaian yang cepat,
karena berkaitan dengan proses produksi dan hubungan kerja. P4D/P4P selama ini
dikenal sebagai quasi-peradilan atau “peradilan semu”, karena institusi ini mempunyai
kewenangan “memutus” perkara-perkara dalam hubungan industrial, namun “semu”
karena institusi ini bukan lembaga peradilan yang dimaksudkan dalam Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam
kelembagaan P4D/P4P ini duduk wakil-wakil dari Pemerintah, berdasarkan hal itu maka
putusannya kemudian dikategorikan menjadi putusan pejabat tata usaha negara, yang
dapat menjadi obyek pengadilan TUN.
b. Adanya kewenangan Menteri untuk menunda atau membatalkan putusan P4P atau biasa
disebut Hak Veto. Hak Veto ini merupakan campur tangan Pemerintah, dan tidak sesuai
lagi paradigma yang berkembang dalam masyarakat, dimana peran pemerintah
seharusnya sudah harus dikurangi.
c. Dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 1957 yang dapat menjadi pihak dalam
penyelesaian perselisihan hubungan industrial hanyalah serikat pekerja/serikat buruh.
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh yang dijiwai oleh Konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan
Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi, yang telah diratifikasi oleh Indonesia,
maka terbuka kesempatan untuk setiap pekerja/buruh membentuk/mengikuti organisasi
yang disukainya. Namun di pihak lain hak pekerja/buruh untuk tidak berorganisasi juga
harus dihargai.
Nomor 2
Tata cara penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) sesuai UU Nomor 2
Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PHI), yaitu:
1. Perundingan Bipartit
Perundingan dua pihak antara pengusaha atau gabungan pengusaha dan buruh atau
serikat buruh. Bila dalam perundingan bipartit mencapai kata sepakat mengenai
penyelesaiannya maka para pihak membuat perjanjian bersama yang kemudian
didaftarkan pada PHI setempat. Namun apabila dalam perundingan tidak mencapai kata
sepakat, maka para pihak yang berselisih harus melalui prosedur penyelesaian
Perundingan Tripartit.
2. Perundingan Tripartit
Perundingan antara pekerja, pengusaha dengan melibatkan pihak ketiga sebagai
fasilitator dalam penyelesaian PHI diantara pengusaha dan pekerja. Perundingan tripartit
bisa melalui mediasi, konsiliasi dan arbitrase.
a. Mediasi
Penyelesaian melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih
mediator dari pihak Depnaker, yang antara lain mengenai perselisihan hak,
kepentingan, PHK dan perselisihan antar serikat buruh dalam satu perusahaan.
Dalam mediasi, bilamana para pihak sepakat maka akan dibuat perjanjian bersama
yang kemudian akan didaftarkan di PHI. Namun bilamana tidak ditemukan kata
sepakat, maka mediator akan mengeluarkan anjuran secara tertulis. Jika anjuran
diterima, kemudian para pihak mendaftarkan anjuran tersebut ke PHI. Di sisi lain,
apabila para pihak atau salah satu pihak menolak anjuran maka pihak yang menolak
dapat mengajukan tuntutan kepada pihak yang lain melalui PHI.
b. Konsiliasi
Penyelesaian melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang konsiliator
(yang dalam ketentuan UU PHI adalah pegawai perantara swasta bukan dari
Depnaker sebagaimana mediasi) yang ditunjuk oleh para pihak. Seperti mediator,
Konsiliator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta kesepakatan antar
keduanya. Bila tidak dicapai kesepakatan, Konsiliator juga mengeluarkan produk
berupa anjuran.
c. Arbitrase
Penyelesaian perselisihan di luar PHI atas perselisihan kepentingan dan
perselisihan antar serikat buruh dalam suatu perusahaan dapat ditempuh melalui
kesepakatan tertulis yang berisi bahwa para pihak sepakat untuk menyerahkan
perselisihan kepada para arbiter. Keputusan arbitrase merupakan keputusan final dan
mengikat para pihak yang berselisih, dan para arbiter tersebut dipilih sendiri oleh
para pihak yang berselisih dari daftar yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja.
3. Pengadilan Hubungan Industrial
Bagi pihak yang menolak anjuran mediator dan juga konsiliator, dapat mengajukan
gugatan ke PHI. Tugas PHI antara lain mengadili perkara Perselisihan Hubungan
Industrial, termasuk perselisihan PHK, serta menerima permohonan dan melakukan
eksekusi terhadap Perjanjian Bersama yang dilanggar.
SUMBER REFERENSI :
Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.