Anda di halaman 1dari 5

TUGAS 3 HUKUM KETATANEGARAAN

NAMA : SANDY HARDIAN NURDIN


NIM : 044600146

PERTANYAAN
1. Uraikan perkembangan Peraturan Perundang-undangan penyelesaian hubungan industrial
yang pernah dan masih berlaku di Indonesia !
2. Uraikan bagaimana prosedur dan tahapan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial !

JAWABAN
Nomor 1
Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
dalam satu perusahaan.
Dengan itu perlu peraturan mengatur hal tersebut. Perkembangan Perundang-
undangan penyelesaian hubungan industrial yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957
tentang Penyelesaian Perburuhan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang
Pemutusan hubungan Kerja di Perusahaan Swasta, namun saat ini peraturan tersebut sudah
tidak sesuai lagi dengan perkermbangan keadaan dan kebutuhan.
Selanjutnya Pemerintah bersama dengan DPR RI membahas dan menyetujui suatu
rancangan undang-undang PenyelesaianPerselisihan Hubungan Industrial menjadi Undang-
undang dengan latar belakang sebagai berikut
a. Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, maka putusan P4P yang semula bersifat final, oleh pihak yang tidak
menerima putusan tersebut dapat diajukan gugatan pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara, yang selanjutnya dapat dimohonkan Kasasi pada Mahkamah Agung. Proses ini
membutuhkan waktu relatif lama yang tidak sesuai untuk diterapkan dalam kasus
ketenagakerjaan (hubungan industrial) yang memerlukan penyelesaian yang cepat,
karena berkaitan dengan proses produksi dan hubungan kerja. P4D/P4P selama ini
dikenal sebagai quasi-peradilan atau “peradilan semu”, karena institusi ini mempunyai
kewenangan “memutus” perkara-perkara dalam hubungan industrial, namun “semu”
karena institusi ini bukan lembaga peradilan yang dimaksudkan dalam Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam
kelembagaan P4D/P4P ini duduk wakil-wakil dari Pemerintah, berdasarkan hal itu maka
putusannya kemudian dikategorikan menjadi putusan pejabat tata usaha negara, yang
dapat menjadi obyek pengadilan TUN.
b. Adanya kewenangan Menteri untuk menunda atau membatalkan putusan P4P atau biasa
disebut Hak Veto. Hak Veto ini merupakan campur tangan Pemerintah, dan tidak sesuai
lagi paradigma yang berkembang dalam masyarakat, dimana peran pemerintah
seharusnya sudah harus dikurangi.
c. Dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 1957 yang dapat menjadi pihak dalam
penyelesaian perselisihan hubungan industrial hanyalah serikat pekerja/serikat buruh.
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh yang dijiwai oleh Konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan
Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi, yang telah diratifikasi oleh Indonesia,
maka terbuka kesempatan untuk setiap pekerja/buruh membentuk/mengikuti organisasi
yang disukainya. Namun di pihak lain hak pekerja/buruh untuk tidak berorganisasi juga
harus dihargai.

Dengan latar belakang diatas dapat disimpulkan Undang-undang Nomor 22 Tahun


1957 yang mensyaratkan pihak yang berperkara harus serikat pekerja/serikat
buruh,menjadi tidak sesuai lagi dengan paradigma baru di bidang hubungan industrial
yaitu demokratisasi di tempat kerja.
Apabila Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tetap dipertahankan maka
pekerja/buruh perseorangan hanya dapat ber”perkara” di hadapan pengadilan umum
dengan beracara secara perdata.
Maka dari itu peraturan tersebut diubah sehingga diberlakukan Undang-undang
Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Namun peraturan tersebut
masih banyak kekurangan sehingga peraturan dilengkapi menjadi Undang-undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun dengan Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan masih banyak menimbulkan problematika sehingga
perlu adanya kebijakan baru sehingga diberlakukan peraturan baru yang saat ini
digunakan yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial pada tanggal 14 Januari 2004. Undang-undang tersebut telah
melengkapi instrumen hukum ketenagakerjaan disamping Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan. Ketiga undang-undang ini merupakan paket dalam labour
law reform yang dimulai sejak tahun 1998. Namun dalam perkembangannya Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2004 tersebut mengalami penundaan masa berlakunya sampai
dengan tanggal 14 Januari 2006. Penundaan tersebut dilakukan melalui Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2005 tentang Penangguhan Mulai
Berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial.
Dapat disimpulkan perkembangan Peraturan Perundang-undangan penyelesaian
hubungan industrial yang pernah dan masih berlaku di Indonesia yaitu Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perburuhan, Undang-undang Nomor 12
Tahun 1964 tentang Pemutusan hubungan Kerja di Perusahaan Swasta, Undang-undang
Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Nomor 2
Tata cara penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) sesuai UU Nomor 2
Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PHI), yaitu:
1. Perundingan Bipartit
Perundingan dua pihak antara pengusaha atau gabungan pengusaha dan buruh atau
serikat buruh. Bila dalam perundingan bipartit mencapai kata sepakat mengenai
penyelesaiannya maka para pihak membuat perjanjian bersama yang kemudian
didaftarkan pada PHI setempat. Namun apabila dalam perundingan tidak mencapai kata
sepakat, maka para pihak yang berselisih harus melalui prosedur penyelesaian
Perundingan Tripartit.
2. Perundingan Tripartit
Perundingan antara pekerja, pengusaha dengan melibatkan pihak ketiga sebagai
fasilitator dalam penyelesaian PHI diantara pengusaha dan pekerja. Perundingan tripartit
bisa melalui mediasi, konsiliasi dan arbitrase.
a. Mediasi
Penyelesaian melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih
mediator dari pihak Depnaker, yang antara lain mengenai perselisihan hak,
kepentingan, PHK dan perselisihan antar serikat buruh dalam satu perusahaan.
Dalam mediasi, bilamana para pihak sepakat maka akan dibuat perjanjian bersama
yang kemudian akan didaftarkan di PHI. Namun bilamana tidak ditemukan kata
sepakat, maka mediator akan mengeluarkan anjuran secara tertulis. Jika anjuran
diterima, kemudian para pihak mendaftarkan anjuran tersebut ke PHI. Di sisi lain,
apabila para pihak atau salah satu pihak menolak anjuran maka pihak yang menolak
dapat mengajukan tuntutan kepada pihak yang lain melalui PHI.
b. Konsiliasi
Penyelesaian melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang konsiliator
(yang dalam ketentuan UU PHI adalah pegawai perantara swasta bukan dari
Depnaker sebagaimana mediasi) yang ditunjuk oleh para pihak. Seperti mediator,
Konsiliator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta kesepakatan antar
keduanya. Bila tidak dicapai kesepakatan, Konsiliator juga mengeluarkan produk
berupa anjuran.
c. Arbitrase
Penyelesaian perselisihan di luar PHI atas perselisihan kepentingan dan
perselisihan antar serikat buruh dalam suatu perusahaan dapat ditempuh melalui
kesepakatan tertulis yang berisi bahwa para pihak sepakat untuk menyerahkan
perselisihan kepada para arbiter. Keputusan arbitrase merupakan keputusan final dan
mengikat para pihak yang berselisih, dan para arbiter tersebut dipilih sendiri oleh
para pihak yang berselisih dari daftar yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja.
3. Pengadilan Hubungan Industrial
Bagi pihak yang menolak anjuran mediator dan juga konsiliator, dapat mengajukan
gugatan ke PHI. Tugas PHI antara lain mengadili perkara Perselisihan Hubungan
Industrial, termasuk perselisihan PHK, serta menerima permohonan dan melakukan
eksekusi terhadap Perjanjian Bersama yang dilanggar.

SUMBER REFERENSI :
Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Muzni Tambusa.2005. Kepastian Hukum Dan Penyelesaian Perselisihan Hubungan


Industrial. Kantor Perburuhan Internasional: Jakarta.

JDIH.BPK. 2017. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. UU No. 2 Tahun 2004


tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial [JDIH BPK RI]. Diakses pada
tanggal 30 Mei 2023.

BPLAWYER. 2017. 3 TATA CARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN


INDUSTRIAL. 3 TATA CARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL YANG WAJIB ANDA KETAHUI - Kantor Pengacara Terbaik Di
Indonesia (bplawyers.co.id). Diakses pada tanggal 30 Mei 2023.

Anda mungkin juga menyukai