1. Merujuk pada kasus serta pertannyaan diatas apakah sangketa yang
bersangkutan dapat diselesaikan diluar pengadilan, jawabanya tentu saja bisa. Hal tersebut dapat kita lihat dibawah sini. Penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial dalam Undang-undang No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial 8 (UUPPHI), memungkinkan penyelesaian sengketa Tenaga Kerja diluar pengadilan. Ada beberapa tahap serta metode yang dapat dilakukan dalam menyelesaikan sangketa tersebut yaitu;
Penyelesaian Melalui Bipartie
Menurut Pasal 6 dan Pasal 7 UUPPHI memberi jalan penyelesaian sengketa Buruh dan Tenaga Kerja berdasarkan musyawarah mufakat dengan mengadakan azas kekeluargaan antara buruh dan majikan. Pada dasarnya, lembaga bipatride ini merupakan forum komunikasi, konsultasi, dan musyawarah yang anggotanya terdiri dari unsur pekerja dan pengusaha. Dalam penyelesaiannya melalui bipatride ini, dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari. Hal ini wajib dilakukan oleh pengusaha maupun pekerja di dalam mereka menyelesaikan perselisihan. Penyelesaian Melalui Mediasi Dalam UUPPHI disebutkan bahwa mediasi adalah penyelesaian peselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikar pekerja hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator netral.15 Mediator berperan dalam proses di mana pihak ketiga berusaha mendorong serikat pekerja dan pengusaha untuk mencapai suatu perstujuan. Pemerintah dapat mengangkat seorang Mediator yang bertugas melakukan Mediasi atau Juru Damai yang dapat menjadi penengah dalam menyelesaikan sengketa antara Buruh dan Majikan. Penyelesaian Melalui Konsiliasi Definisi konsoliasi menurut UUPPHI adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antara serikat perkerja hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsoliator resmi Penyelesaian Melalui Arbitrase UUPPHI telah mengintrodusir Arbitrase sebagai media penyelesaian perselisihan yang meliputi perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja dan pengusaha di dalam suatu perusahaan, di luar pengadilan hubungan industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
Jika dalam menyelesaikan perselisihan diatas telah dilakukan, tetapi
masih belum menemukan kesepakatan bersama makan dapat dilakukan penyelesaian melalui pengadilan, yanhg mana dapat diajukan oleh salah satu penggugat yang kemudian melaporkan untuk melakukan pengajuan untuk melakukan penyelsaian melalui pengadilan. Sumber hukum yang digunakan pada Hukum Acara Hubungan Industrial yaitu;UU RI No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan UU RI No 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial .
2. menurut uu no. 13 tahun 2003, perusahaan harus memperhatikan karyawan dari
segi keselamatan dan kesehatan dengan cara memberikan jaminan asuransi kesehatan atau asuransi kecelakaan saat bekerja.Perusahaan dapat menggunakan sistem manajeman yang memberikan fasilitas tersebut seperti mendaftarkan karyawan jaminan BPJS, asuransi konvensional, atau fasilitas angkutan pulang bagi karyawan wanita yang harus lembur.
Penerapan kewajiban pengusaha dan pekerja untuk dijalani, pengawasan
menjaga ketertiban perusahaan, dan penyaluran aspirasi merupakan tugas dari hubungan industrial.jika terjadi pelanggaran terhadap perjanjian yang telah ada maka pihak pekerja dan pengusaha berhak melaporkan segala jenis pelanggaran UU Ketenagakerjaan kepada pemerintah terkait agar bisa diusut secepatnya. Penyelesaian dapat dilakukan secara musyawarah mufakat antara dua pihak tersebut atau dilanjutkan ke proses hukum.
Perusahaan harus mengikuti prosedur keselamatan kerja yang benar demi
mencegah terjadinya kecelakaan kerja. UU Ketenagakerjaan hanya memuat sanksi administratif bagi perusahaan yang tidak menerapkan sistem manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja dengan baik. Sanksi administrasi itu berupa teguran, pembatasan kegiatan usaha, peringatan tertulis, pembekuan kegiatan usaha, pembatalan pendaftaran, pembatalan persetujuan, penghentian sementara sebagian/ seluruh alat produksi, sampai dengan pencabutan izin usaha. Setiap upaya yang terkait dengan K3 hanya akan berhasil jika pemerintah, perusahaan, dan pekerja melakukan kerja sama yang harmonis dan strategis. Setiap pihak harus lebih peduli, disiplin, bertekad, dan meminimalisir jangan sampai terjadi kecelakaan di lokasi kerja. Jika sewaktu-waktu terjadi kecelakaan pada karyawan yang mengancam keselamatan dan kesehatannya, maka perusahaan wajib membayar kompensasi atas kejadian yang terjadi .
3. Surat Edaran Mahkamah Agung merupakan aturan internal Mahkamah Agung
dan tidak secara eksplisit berada dalam hierarki peraturan perundang-undangan, namun dalam praktiknya, hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan hubungan industrial (“PHI”) berpedoman pada SEMA 3/2015 dan cenderung mengabaikan Putusan MK 12/2003.namun jika pekerja melakukan kesalahan berat yang diatur dalam Pasal 158 UU Ketenagakerjaan, maka pengusaha dapat melakukan PHK tanpa harus menunggu sidang pidananya terlebih dahulu.
Telah dijelaskan di atas bahwa perbuatan yang tergolong sebagai “kesalahan
berat” diatur secara limitatif dalam UU Ketenagakerjaan. Akan tetapi setiap perusahaan diberikan hak untuk mengatur golongan atau bentuk pelanggaran dalam perusahaan (di luar isi Pasal 158 UU Ketenagakerjaan) yang dapat dimuat dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Pasal 161 UU Ketenagakerjaan. Sehingga nantinya ketika pekerja melakukan pelanggaran tersebut, pengusaha dapat melakukan PHK setelah kepada pekerja yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berurutan.serta PHK yang dilakukan oleh pengusaha kepada pekerja yang melakukan pelanggaran berat yang diatur di peraturan perusahaan. Hal ini dapat kita temui dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 684K/Pdt.Sus- PHI/2015.
Dalam Surat Edaran Nomor: SE.13/MEN/SJ-HK/I/2005. Isi pokok dari surat
edaran menteri itu adalah penyelesaian perkara pemutusan hubungan kerja karena pekerja melakukan kesalahan berat yaitu PHK dapat dilakukan setelah ada putusan pidana yang mempunyai kekuatan hukum tetap atau apabila pekerja ditahan dan tidak dapat melaksanakan pekerjaan maka berlaku ketentuan Pasal 160 UU Ketenagakerjaan