Anda di halaman 1dari 4

TUGAS 3

NAMA : WINGKI KRISTI

NIM : 042998354

UPBJJ : PALANGKARAYA

MATAKULIAH : ADBI4336.58 Hukum


Ketenagakerjaan

1. Merujuk pada kasus serta pertannyaan diatas apakah sangketa yang


bersangkutan dapat diselesaikan diluar pengadilan, jawabanya tentu saja bisa.
Hal tersebut dapat kita lihat dibawah sini.
Penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial dalam Undang-undang No.2
Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial 8
(UUPPHI), memungkinkan penyelesaian sengketa Tenaga Kerja diluar
pengadilan. Ada beberapa tahap serta metode yang dapat dilakukan dalam
menyelesaikan sangketa tersebut yaitu;

Penyelesaian Melalui Bipartie


Menurut Pasal 6 dan Pasal 7 UUPPHI memberi jalan penyelesaian
sengketa Buruh dan Tenaga Kerja berdasarkan musyawarah mufakat
dengan mengadakan azas kekeluargaan antara buruh dan majikan. Pada
dasarnya, lembaga bipatride ini merupakan forum komunikasi, konsultasi,
dan musyawarah yang anggotanya terdiri dari unsur pekerja dan
pengusaha. Dalam penyelesaiannya melalui bipatride ini, dilakukan paling
lama 30 (tiga puluh) hari. Hal ini wajib dilakukan oleh pengusaha maupun
pekerja di dalam mereka menyelesaikan perselisihan.
Penyelesaian Melalui Mediasi Dalam UUPPHI disebutkan bahwa mediasi
adalah penyelesaian peselisihan hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikar
pekerja hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang
ditengahi oleh seorang atau lebih mediator netral.15 Mediator berperan
dalam proses di mana pihak ketiga berusaha mendorong serikat pekerja
dan pengusaha untuk mencapai suatu perstujuan. Pemerintah dapat
mengangkat seorang Mediator yang bertugas melakukan Mediasi atau
Juru Damai yang dapat menjadi penengah dalam menyelesaikan
sengketa antara Buruh dan Majikan.
Penyelesaian Melalui Konsiliasi Definisi konsoliasi menurut UUPPHI
adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja atau perselisihan antara serikat perkerja hanya dalam
satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau
lebih konsoliator resmi
Penyelesaian Melalui Arbitrase UUPPHI telah mengintrodusir Arbitrase
sebagai media penyelesaian perselisihan yang meliputi perselisihan
kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja dan pengusaha di
dalam suatu perusahaan, di luar pengadilan hubungan industrial melalui
kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan
penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para
pihak dan bersifat final.

Jika dalam menyelesaikan perselisihan diatas telah dilakukan, tetapi


masih belum menemukan kesepakatan bersama makan dapat dilakukan
penyelesaian melalui pengadilan, yanhg mana dapat diajukan oleh salah
satu penggugat yang kemudian melaporkan untuk melakukan pengajuan
untuk melakukan penyelsaian melalui pengadilan. Sumber hukum yang
digunakan pada Hukum Acara Hubungan Industrial yaitu;UU RI No 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan UU RI No 2 Tahun 2004
Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial .

2. menurut uu no. 13 tahun 2003, perusahaan harus memperhatikan karyawan dari


segi keselamatan dan kesehatan dengan cara memberikan jaminan asuransi
kesehatan atau asuransi kecelakaan saat bekerja.Perusahaan dapat
menggunakan sistem manajeman yang memberikan fasilitas tersebut seperti
mendaftarkan karyawan jaminan BPJS, asuransi konvensional, atau fasilitas
angkutan pulang bagi karyawan wanita yang harus lembur.

Penerapan kewajiban pengusaha dan pekerja untuk dijalani, pengawasan


menjaga ketertiban perusahaan, dan penyaluran aspirasi merupakan tugas dari
hubungan industrial.jika terjadi pelanggaran terhadap perjanjian yang telah ada
maka pihak pekerja dan pengusaha berhak melaporkan segala jenis
pelanggaran UU Ketenagakerjaan kepada pemerintah terkait agar bisa diusut
secepatnya. Penyelesaian dapat dilakukan secara musyawarah mufakat antara
dua pihak tersebut atau dilanjutkan ke proses hukum.

Perusahaan harus mengikuti prosedur keselamatan kerja yang benar demi


mencegah terjadinya kecelakaan kerja. UU Ketenagakerjaan hanya memuat
sanksi administratif bagi perusahaan yang tidak menerapkan sistem manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja dengan baik. Sanksi administrasi itu berupa
teguran, pembatasan kegiatan usaha, peringatan tertulis, pembekuan kegiatan
usaha, pembatalan pendaftaran, pembatalan persetujuan, penghentian
sementara sebagian/ seluruh alat produksi, sampai dengan pencabutan izin
usaha. Setiap upaya yang terkait dengan K3 hanya akan berhasil jika
pemerintah, perusahaan, dan pekerja melakukan kerja sama yang harmonis dan
strategis. Setiap pihak harus lebih peduli, disiplin, bertekad, dan meminimalisir
jangan sampai terjadi kecelakaan di lokasi kerja. Jika sewaktu-waktu terjadi
kecelakaan pada karyawan yang mengancam keselamatan dan kesehatannya,
maka perusahaan wajib membayar kompensasi atas kejadian yang terjadi .

3. Surat Edaran Mahkamah Agung merupakan aturan internal Mahkamah Agung


dan tidak secara eksplisit berada dalam hierarki peraturan perundang-undangan,
namun dalam praktiknya, hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan
hubungan industrial (“PHI”) berpedoman pada SEMA 3/2015 dan cenderung
mengabaikan Putusan MK 12/2003.namun jika pekerja melakukan kesalahan
berat yang diatur dalam Pasal 158 UU Ketenagakerjaan, maka pengusaha dapat
melakukan PHK tanpa harus menunggu sidang pidananya terlebih dahulu.

Telah dijelaskan di atas bahwa perbuatan yang tergolong sebagai “kesalahan


berat” diatur secara limitatif dalam UU Ketenagakerjaan. Akan tetapi setiap
perusahaan diberikan hak untuk mengatur golongan atau bentuk pelanggaran
dalam perusahaan (di luar isi Pasal 158 UU Ketenagakerjaan) yang dapat
dimuat dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama. Pasal 161 UU Ketenagakerjaan. Sehingga nantinya ketika pekerja
melakukan pelanggaran tersebut, pengusaha dapat melakukan PHK setelah
kepada pekerja yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua,
dan ketiga secara berurutan.serta PHK yang dilakukan oleh pengusaha kepada
pekerja yang melakukan pelanggaran berat yang diatur di peraturan perusahaan.
Hal ini dapat kita temui dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 684K/Pdt.Sus-
PHI/2015.

Dalam Surat Edaran Nomor: SE.13/MEN/SJ-HK/I/2005. Isi pokok dari surat


edaran menteri itu adalah penyelesaian perkara pemutusan hubungan
kerja karena pekerja melakukan kesalahan berat yaitu PHK dapat dilakukan
setelah ada putusan pidana yang mempunyai kekuatan hukum tetap atau
apabila pekerja ditahan dan tidak dapat melaksanakan pekerjaan maka berlaku
ketentuan Pasal 160 UU Ketenagakerjaan

Anda mungkin juga menyukai