Anda di halaman 1dari 13

ANALISIS KASUS PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DALAM PUTUSAN

NOMOR 10/PDT.SUS-PHI/2021/PN-DPS
KASUS POSISI
Salah satu hak manusia adalah untuk mendapatkan perlindungan hukum, dimana
manusia sebagai subjek hukum baik dalam keadaan perorangan maupun ketika berada dalam
suatu komunitas/kelompok atau dalam keadaan lainnya. Perlindungan hukum merupakan
salah satu perlindungan yang diberikan kepada masyarakat untuk mendapat hak-hak yang
sepantasnya didapatkan dari hukum tersebut. Perlindungan hukum dapat dilihat sebagai salah
satu upaya hukum untuk mempertahankan harkat dan martabat serta hak-hak asasi manusia
guna memberikan rasa aman dan nyaman dalam kehidupan bernegara.
Perlindungan tenaga kerja merupakan suatu sistem hubungan kerja secara harmonis
tanpa adanya tekanan dari pihak manapun dan tak ada tekanan dari pihak yang kuat kepada
pihak lemah. Perlindungan hukum sesuai dengan peratusan perundangaan yang berlaku. Hak
buruh berupa uang pisah, uang ganti rugi perumahan dan pengobatan, uang penghargaan
masa kerja, dan uang pesangon. Sesuatu hubungan hukum antara pengusaha dan pekerja atau
karyawan suatu hal abstrak merupakan hubungan kerja. Kata lain tidak ada persamaan paham
dalam hubungan kerja yang kedua belah pihak sepakati bersama. Hak-hak yang tidak
terpenuhi dengan baik dapat menimbulkan adanya perselisihan hak, hal ini disebabkan dari
adanya selisih pendapat mengenai pelaksaan atau penafsiran terhadap ketentuan yang telah
tertuang dalam peraturan perundang-undangan, dalam peraturan perusahan maupun dalam
perjanjian kerja, perselisihan hak ini juga sering disebut sebagai perselisihan normatif.
Penyelesaian perselisihan dalam hubungan industrial dapat melalui penyelesaian
bipartit menjadi salah satu jalan menyelesaian perselisihan dalam hubungan industrial yang
dapat diselesaikan dengan cara non ajudikasi melaui form antara pihak pekerja melalui
serikat buruh dengan perusahan dan dengan melibatkan pihak lain. Jika bipatrit tidak juga
dengan kata sepakat antara kedua belah pihak maka selanjutnya dengan cara tripartit
penyelesaian tetap di jual pengadilan berupa mediasi, konsliasi, dan bisa arbitrase dengan
cara ini sering disebut non litigasi atau penyelesaian di luar pengadilan, sedangkan kasus
ketenagakerjaan dengan pemutusan hubungan kerja tetap melalui litigasi di dalam
pengadilan. PKWT merupakan perjanjian kerja antara pihak pemberi kerja dengan penerima
kerja bersangkutan akan terjadi hubungan kerja untuk pekerja terterntu atau waktu tertentu,
PKWT berupa tertulis memakai bahasa indonsia dan bahasa asing, sehingga di butuhkan
seorang juru bahasa. Sedangkan PKWTT merupakan bentuk perjanjian kerja anatara kedua
belah pihak anatra pengusaha dengan pekerja/ karyawan untuk hubungan kerja yang sifatnya
tepat.
Duduk perkara KMBP, laki-laki, Warga Negara Indonesia, jabatan terakhir sebagai
Management Consultant beralamat di xxx, dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya
IBAM S.H., DPL, S.H., M.H. dan IWGY, S.H., M.H., Para Advokat dan Konsultan Hukum,
pada kantor xxx, beralamat di Jalan Danau XXX Denpasar - Bali, untuk selanjutnya disebut
sebagai penggugat. Lawan Yayasan GMISB Berkantor Cabang di Jl. Tukadxxx Nomor xxx,
Kec.Denpasar XXX, Kota Denpasar, Bali dan Berkantor Pusat di Jl.xxx, Jakarta dalam hal ini
diwakili oleh kuasa hukumnya IWR, S.H., C.N., M.H., Advokat/Penasihat Hukum pada
kantor Law FirmXXX, alamat Jl.XXX Jakarta Pusat, surat kuasa tertanggal 20 juli 2021 dan
sebagai tergugat.
Menurut Udiana bahwa suatu gugatan yang diajukan pekerja/buruh kepada
majikan/pemberi kerja berdasarkan Pasal 1365 BW tentang perbuatan melanggar hukum,
maka gugatan tersebut (PHK tanpa izin dan pembayaran gaji dibawah standar upah
minimum) merupakan perselisihan hak yang menjadi wewenang peradilan umum. Penggugat
telah mengajukan surat gugatan tertanggal 7 Juli 2021, sudah didaftarkan dan di terima di
kepaniteraan. Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Denpasar pada
tanggal 10 Juli 2021 dibawah register perkara nomor : 10/Pdt.Sus-PHI/2021/PN.Dps,
Gaji pokok guru swasta KMBP terakhir Rp.38.000.000/gaji di tambah tunjangan tetap
sebesar Rp2.000.000 yang dibayarkan secara bulanan, sehingga jumlah upah yang di terima
pengugat melalui tranfer bank sebesarRp.40.000.000 perbulan secara bersih setelah di potong
pajak yang di bayarkan oleh tergugat. Penggugat telah mempunyai hubungan kerja dengan
tergugat sejak tahun 1999. Segi normatif hukum telah di atur pada pasal 57 ayat (1) dan ayat
(2) UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, lebih di tegaskan pada pasal 15 ayat(1)
KEP.100/MEN/VI/2004 tentang pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu, secara terang
benderang mengatur bahwa perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan lalu
Secara terang benderang mengatur bahwa perjanjian kerja yang tidak dibuat dalam
Bahasa Indonesia dan huruf latin berubah menjadi perjanjian kerja untuk waktu tertentu
(PKWTT) sejak adanya hubungan kerja. Kata renewal dalam renewal of Agreement yang
dibuat oleh tergugat tersebut diatas dapat terlihat dengan jelas bahwa sifat pekerjaan
penggugat merupakan pekerjaan yang dibutuhkan oleh tergugat sebagai pekerjaan pokok
yang sifatnya terus menerus, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 59 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, hubungan kerja untuk sifat
pekerjaan tersebut tidak dapat didasarkan atas (PKWT). Pasal 59 ayat (7) UU
Ketenagakerjaan, PKWT untuk pekerjaan yang menurut sifat dan jenisnya adalah pekerjaan
yang terus menerus tanpa terputus-putus, maka demi hukum Perjanjian Kerja untuk Waktu
Tertentu (PKWT) tersebut menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Pada
tanggal 11 November 2020 tanpa alasan yang jelas dan berdasar hukum, tergugat
mengirimkan surat pemberitahuan kepada penggugat, yang mana dalam surat tersebut
terlampir surat pengunduran diri atas nama penggugat yang tidak pernah sama sekali dibuat
oleh penggugat. Selain itu tergugat juga melarang penggugat untuk masuk ke areal tempat
kerjanya tanpa dasar hukum dan alasan yang jelas. Tergugat yang memaksa penggugat untuk
menandatangani Surat Pengunduran Diri yang tidak pernah dibuatnya. Surat pengunduruan
diri seorang pekerja pada suatu perusahaan harus berdasarkan pada keinginan dan kehendak
sendiri, yang mana dalam ketentuan Pasal 162 ayat (3) dan Pasal 151 ayat (3) UU
Ketenagakerjaan, yakni:
a. Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambatlambatnya 30 (tiga
puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri.
b. Tidak terikat dalam ikatan dinas.
c. Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal pengunduran diri.
Apabila terdapat kasus dimana PHK yang dilakukan bersifat sepihak dan pekerja yang di
PHK tidak mendapatkan hak-hak yang sudah seharusnya didapatkan, maka hal itu tentu saja
dapat merugikan para pekerja.13 Pasal 154 UU Ketenagakerjaan ditegaskan pula bahwa
pengunduran diri yang dilakukan oleh Pekerja dilakukan dengan mengajukan pengunduran
diri secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari
pengusaha. tergugat lakukan kepada penggugat, terlebih penggugat telah mengabdi dengan
profesional dan berintegritas selama 22 (dua puluh dua) tahun kepada tergugat, namun
tergugat memilih mengakhirinya dengan cara yang tidak profesional dan melanggar amanat
UU Ketenagakerjaan. Perundingan secara bipartit, yang mana telah dilaksanakan
perundingan secara bipartit antara penggugat dengan tergugat di tempat milik tergugat
(Sekolah) pada tanggal 5 januari 2021. Kemudian mengundang penggugat dan tergugat untuk
hadir dalam perundingan bipartit II (kedua) yang diselenggarakan pada tanggal 20 Januari
2021 bertempat di ruang pertemuan Dinas Tenaga Kerja Pemerintah Kota Denpasar. Jelas
tergugat tidak memenuhi undangan tersebut diatas dan tidak hadir dalam perundingan
tersebut, maka oleh karena tidak hadirnya tergugat, dinas tenaga kerja pemerintah Kota
Denpasar kemudian melimpahkan peselisihan ini kepada mediator pada dinas tenaga kerja
provinsi bali, untuk dilaksanakan Perundingan secara Tripartite.
PERTIMBANGAN-PERTIMABANGAN HUKUM DALAM PUTUSAN NOMOR
10/PDT.SUS-PHI/2021/PN-DPS
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Adapun upaya penyelesaian perselisihan di luar pengadilan dapat dilakukan melalui
cara yang tercantum dalam ketentuan Pasal 136 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan mengenai penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui
prosedur yang berlaku dalam ketentuan perundang-undangan lainnya. Berkenaan dengan
penyelesaian perselisihan hubungan industrial diatur lebih khusus dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004. Penyelesaian perselisihan hubungan Industrial dapat ditempuh melalui
pengadilan dan di luar pengadilan. Penyelesaian di Pengadilan Hubungan Industrial
dilakukan apabila penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai kesepakatan,
maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan hubungan industrial.
Adapun cara penyelesaian di luar pengadilan hubungan industrial dilakukan dengan cara
(Lestari, 2019:14-17) :
a. Penyelesaian melalui bipartit
Penyelesaian melalui bipartit merupakan penyelesaian dengan mengadakan
perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh dengan pengusaha untuk
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
b. Penyelesaian melalui mediasi
Penyelesaian melalui mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang
ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.
c. Penyelesaian melalui konsiliasi
Penyelesaian melalui konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang
ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.
d. Penyelesaian melalui arbitrase
Penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar pengadilan hubungan
industrial melalui kesepakatan tertulis dari pihak yang berselisih untuk menyerahkan
penyelesaian kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
Pemutusan Hubungan Kerja
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja, dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan
Kerja dijelaskan bahwa pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja
karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara
pekerja/buruh dan pengusaha (Khakim, 2003:32).
Adapun jenis-jenis pemutusan hubungan kerja antara lain (Rini & Kusumawati,2008:5659) :
a. Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha/perusahaan
1) Pekerja melakukan pelanggaran atau kesalahan berat;
2) Terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan
perusahaan;
3) Perusahaan tutup yang disebabkan oleh rugi terus menerus selama 2 tahun atau
adanya keadaan memaksa;
4) Perusahaan melakukan efisiensi;
5) Perusahaan pailit.
b. Pemutusan hubungan kerja oleh pekerja
1) Pekerja mengundurkan diri atas kemauan sendiri;
2) Terjadi perubahan kepemilikan dan pekerja tidak bersedia melanjutkan hubungan
kerja;
3) Pekerja mangkir (tidak masuk kerja) selama lima hari atau lebih berturut-turut;
4) Pengusaha melakukan pelanggaran/kejahatan terhadap pekerja.
c. Pemutusan hubungan kerja demi hukum atau bukan inisiatif perusahaan maupun
pekerja
1) Pekerja meninggal dunia
2) Pekerja memasuki usia pensiun
3) Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) telah selesai
d. Pemutusan hubungan kerja berdasarnya perlu tidaknya izin
1) PHK dengan izin
2) PHK tanpa izin perantara
PUTUSAN PENGADILAN DALAM PUTUSAN NOMOR 10/PDT.SUS-PHI/2021/PN-
DPS
Dengan adanya Pertimbangan hak-hak pekerja yang di dapat pemutusan hubungan
kerjanya secara sepihak berdasarkan Putusan Nomor 10/Pdt.Sus-PHI/2021/PN-Dps. Menurut
ketentuan undang-undang, bagi bekerja yang bertugas dan berfungsi tidak mewakili
kepentingan perusahan secara langsung, selain uang pengganti hak, juga diberikan uang pisah
yang besarnya dan pelaksanaanya diatur dalam perjanjian kerja atau perjanjian kerja
bersama. Keputusan hukum majelis hakim dalam Putusan Nomor 10 Pdt.Sus-PHI/2021/PN-
Dps:
1. Megabulkan gugatan penggugat untuk Sebagian.
2. Menyatakan perjanjian kerja waktu tertentu antara penggugat dengan tergugat demi
hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
3. Menyatakan hubungan kerja antara penggugat dengan tergugat berakhir karena
pemutusan hubungan kerja terhitung sejak tanggal 2 November 2020.
4. Menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara yang hingga saat ini ditetapkan
sejumlah Rp.491.000,00
Jadi keputusan majelis hakim terhadap hak-hak pekerja pada kasus Putusan Nomor
10/Pdt.SusPHI/2021/PN-Dps hak-hak pekerja yang di Pengusaha tetap wajib membayar uang
penghargaan masa kerja 1 (satu) kali dan uang penghargaan hak. Dengan rincian sebagai
berikut:
Uang Pesangon:
2 x 9 x Rp.40.000.000, = Rp. 720.000.000
Uang Penghargaan Masa Kerja
8 x Rp.40.000.000 = Rp. 320.000.000
Jumlah = Rp.1.040.000.000
Uang Penggantian Hak
15% x Rp.1.040.000.000 = Rp. 156.000.000,-
Total seluruhnya = Rp.1.196.000.000,-

Total atau jumlah total hak-hak pekerja yang di dapatkan mulai dari uang ganti rugi,
uangpenghargaan masa kerja dan uang pesangon yang wajib dibayarkan oleh pihak
perusahan kepada karyawan guru sebesar Rp 1.196.000.000.
Pertimbangan majelis hakim kepada guru swasta yang dijadikan keputusan yaitu
mendapatkan hak yang di akibatkan akibat PHK berupa mulai dari uang pesangon, uang masa
kerja dan uang ganti rugi yang berpedoman dengan aturan yang berlaku. Hak-hak pekerja
yang di peroleh, akibat hukum terjadi dan majelis hakim mengabulkan hak pekerja di PHK
secara sepihak Putusan Nomor 10/Pdt.Sus-PHI/2021/PN-Dps adalah sebesar
Rp.1.196.000.000. Pada pemutusan hubungan kerja secara sepihak hendaknya diberikan
seadil-adilnya dan aturan norma yang ada.
ANALISIS BERDASARKAN
a. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Pada Kasus ini bahwa, Pada tanggal 11 November 2020 tanpa alasan yang
jelas dan berdasar hukum, tergugat mengirimkan surat pemberitahuan kepada
penggugat, yang mana dalam surat tersebut terlampir surat pengunduran diri atas
nama penggugat yang tidak pernah sama sekali dibuat oleh penggugat. Selain itu
tergugat juga melarang penggugat untuk masuk ke areal tempat kerjanya tanpa dasar
hukum dan alasan yang jelas. Tergugat yang memaksa penggugat untuk
menandatangani Surat Pengunduran Diri yang tidak pernah dibuatnya.
Berdasarkan Menurut pasal 61 UU 13/2003 jo. UU 11/2021 perjanjian kerja
dapat berakhir, atau artinya hubungan kerja berakhir, apabila:
- Pekerja meninggal dunia
- Jangka waktu kontrak kerja telah berakhir
- Selesainya suatu pekerjaan tertentu
Adanya putusan pengadilan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan
berakhirnya hubungan kerja.
Lebih lanjut pasal 154A ayat (1) UU 13/2003 jo. UU 11/2021 dan pasal 36 PP
35/2021 juga mengatur berbagai alasan PHK dapat dilakukan/diperbolehkan.
Dalam hal PHK tidak dapat dihindari, berdasarkan pasal 37 PP 35/2021,
pengusaha diwajibkan untuk memberitahukan maksud dan alasan PHK kepada
Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh di dalam Perusahaan apabila
Pekerja/Buruh yang bersangkutan merupakan anggota dari Serikat Pekerja/Serikat
Buruh. Pemberitahuan PHK dibuat dalam bentuk surat pemberitahuan dan
disampaikan secara sah dan patut oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh dan/atau
Serikat Pekerja/Serikat Buruh paling lama 14 (empat belas) hari kerja sebelum PHK.
Bila PHK dilakukan dalam masa percobaan, surat pemberitahuan disampaikan
paling lama 7 (tujuh) hari kerja sebelum PHK.
Jelas bahwa yang dilakukan tergugat sangat melanggar karena Surat
pengunduruan diri seorang pekerja pada suatu perusahaan harus berdasarkan pada
keinginan dan kehendak sendiri, yang mana dalam ketentuan Pasal 162 ayat (3) dan
Pasal 151 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, yakni:
a. Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambatlambatnya 30
(tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri.
b. Tidak terikat dalam ikatan dinas.
c. Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal pengunduran diri.
Apabila terdapat kasus dimana PHK yang dilakukan bersifat sepihak dan pekerja
yang di PHK tidak mendapatkan hak-hak yang sudah seharusnya didapatkan, maka
hal itu tentu saja dapat merugikan para pekerja.13 Pasal 154 UU Ketenagakerjaan
ditegaskan pula bahwa pengunduran diri yang dilakukan oleh Pekerja dilakukan
dengan mengajukan pengunduran diri secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada
indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha. tergugat lakukan kepada
penggugat, terlebih penggugat telah mengabdi dengan profesional dan berintegritas
selama 22 (dua puluh dua) tahun kepada tergugat, namun tergugat memilih
mengakhirinya dengan cara yang tidak profesional dan melanggar amanat UU
Ketenagakerjaan.

b. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan


Industrial
Didalam Hubungan Industrial bisa terjadi perselisihan. Perselisihan Hubungan
Industrial menurut Undang- Undang Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial No 2 Tahun 2004 Pasal 1 angka 1 yaitu: “Perbedaan pendapat yang
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan
pekerja/buruh atau Serikat Pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan
pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar Serikat Pekerja/serikat buruh
dalam satu perusahaan”. Berdasarkan Undang-Undang No 2 Tahun 2004, terdapat
beberapa jenis perselisihan, Hubungan Industrial yaitu:
1. Perselisihan Hak
Yaitu perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya
perbedaan pelaksanaan atau penafsiran ketentuan peraturan perundang- undangan,
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (Pasal 1
angka 2 Undang-Undang No 2 Tahun 2004).
2. Perselisihan Kepentingan
Yaitu perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya
kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/ atau perubahan syarat-syarat
kerja yang diterapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama (Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No 2 Tahun 2004).
3. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Yaitu perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat
mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak
(Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No 2 Tahun 2004).
4. Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh Hanya Dalam Satu Perusahaan
Yaitu perselisihan antara Serikat Pekerja/serikat buruh dengan Serikat
Pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya
persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban
keserikat-pekerjaan (Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No 2 Tahun 2004).
Undang-undang No.2 Tahun 2004 memberikan beberapa pilihan atau alternatif
untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, yaitu dapat melakukan
perundingan secara bipatrit, tripatrit, dan dapat pula dilakukan melalui pengadilaan
hubungan industrial (PHI). Pada dasarnya, perundingan tripatrit dilakukan dengan
melibatkan orang ketiga melalui mediasi, konsiliasi dan arbitrase atau lazim disebut
sebagai tahap di luar pengadilan atau non litigasi. Apabila penyelesaian perundingan
secara bipatrit dan tripatrit gagal dilaksanakan atau perundingan tidak mencapai kata
sepakat, baru perkara perselisihan hubungan industrial tersebut dapat dilakukan
melalui pengadilan hubungan industrial (PHI) atau melalui jalur secara litigasi
(Mulyasi. L, 2011).
1. Penyelesaian Melalui Bipatrit
Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (10) UU No.2 Tahun 2004 menyatakan bahwa
perundingan bipatrit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat
pekerja/buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial. Bipatrit merupakan langkah pertama untuk menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) UU No.2 Tahun 2004. Jadi
dari beberapa ketentuan diatas dapat dipahami bahwa apabila terjadi perselisihan
hubungan industrial maka wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaiannya
secara bipatrit. Tetapi apabila secara bipatrit gagal maka sesuai Pasal 4 ayat (1)
UU No.2 Tahun 2004 : “Dalam hal perundingan bipatrit gagal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan
perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya
penyelesaian melalui perundingan bipatrit telah dilakukan.”
2. Penyelesaian Melalui Triparit
Pada dasarnya, perundingan tripatrit merupakan perundingan yang melibatkan
pihak ketiga yang netral. Dalam UU No.2 Tahun 2004 pihak ketiga yang
dilibatkan untuk menyelesaikan suatu perselisihan hubungan industrial tersebut
adalah mediator, atau kosiliator, atau arbiter. Upaya penyelesaian secara tripatrit
ini baru dapat dilakukan apapbilaa usaha tripatrit telah dilakukan. Adapun proses
penyelesaian secara tripatrit melalui mediasi, konsiliasi dan arbitrase sebagaimana
diuraikan secara lebih terperinci dibawah ini :
2.1. Penyelesaian Melalui Mediasi Mediasi ialah penyelesaian perselisihan
hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, dan perselisihan antar serikat
pekerja atau serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, melalui musyawarah
yang ditengahi oleh seorang mediator yang netral, sebagaimana tercantum
dalam pasal 1 angka 1 UUPPHI).
2.2. Penyelesaian Melalui Konsiliasi
Penyelesaian melalui Konsiliator yaitu pejabat Konsiliasi yang
diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Tenaga Kerja berdasarkan saran
organisasi serikat pekerja atau Serikat Buruh. Segala persyaratan menjadi
pejabat Konsiliator tersebut didalam pasal 19 Undang-Undang No.2 Tahun
2004. Dimana tugas terpenting dari Kosiliator adalah memangil para saksi
atau para pihak terkait dalam tempo selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak
menerima penyelesaian Konsiliator tersebut. Pejabat Konsiliator dapat
memanggil para pihak yang bersengketa dan membuat perjanjian bersama
apabila kesepakatan telah tercapai. Pendaftaran perjanjian bersama yang
diprakarsai oleh Konsiliator tersebut dapat didaftarkan didepan pengadilan
Negeri setempat. Demikian juga eksekusinya dapat dijalankan di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri setempat tesebut.
2.3. Penyelesaian Melalui Arbitrase
Penyelesaian perselisihan melalui arbitrase pada umumnya, telah diatur
di dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berlaku di bidang sengketa
perdagangan. Oleh karena itu arbitrase hubungan industrial yang diatur dalam
undang-undang ini merupakan pengaturan khusus bagi penyelesaian sengketa
di bidang hubungan industrial. Undang-undang dapat menyelesaikan
perselisihan melalui arbitrase meliputi perselisihan kepentingan dan
perselisihan antar Serikat Pekerja dan Majikan didalam suatu perusahaan.
Untuk ditetapkan sebagai seorang Arbiter sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 31 ayat (1). Para pihak yang bersengketa dapat memilih Arbiter yang
mereka sukai seperti yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja. Putusan
Arbiter yang menimbulkan keraguan dapat dimajukan tuntutan ingkar kepada
Pengadilan Negeri setempat dengan mencantumkan alasan-alasan otentik yang
menimbulkan keraguan tersebut. Putusan Pengadilan Negeri dalam Pasal 38
Undang-undang No.2 Tahun 2004, dapat membuat putusan mengenai alasan
ingkar dan dimana tidak dapat diajukan perlawanan lagi. Bila tercapai
perdamaian, maka menurut isi Pasal 44 Undang-undang No.2 Tahun 2004,
seorang arbiter harus membuat Akte Perdamaian yang ditandatangani oleh
kedua belah pihak dengan disaksikan seorang Arbiter atau Majelis Arbiter.
Pada kasus ini berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dilakukan Perundingan secara
bipartit, yang mana telah dilaksanakan perundingan secara bipartit antara penggugat
dengan tergugat di tempat milik tergugat (Sekolah) pada tanggal 5 januari 2021.
Kemudian mengundang penggugat dan tergugat untuk hadir dalam perundingan
bipartit II (kedua) yang diselenggarakan pada tanggal 20 Januari 2021 bertempat di
ruang pertemuan Dinas Tenaga Kerja Pemerintah Kota Denpasar. Jelas tergugat tidak
memenuhi undangan tersebut diatas dan tidak hadir dalam perundingan tersebut,
maka oleh karena tidak hadirnya tergugat, dinas tenaga kerja pemerintah Kota
Denpasar kemudian melimpahkan peselisihan ini kepada mediator pada dinas tenaga
kerja provinsi bali, untuk dilaksanakan Perundingan secara Tripartite.
c. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan
Kerja
Secara terang benderang mengatur bahwa perjanjian kerja yang tidak dibuat
dalam Bahasa Indonesia dan huruf latin berubah menjadi perjanjian kerja untuk waktu
tertentu (PKWTT) sejak adanya hubungan kerja. Kata renewal dalam renewal of
Agreement yang dibuat oleh tergugat tersebut diatas dapat terlihat dengan jelas bahwa
sifat pekerjaan penggugat merupakan pekerjaan yang dibutuhkan oleh tergugat
sebagai pekerjaan pokok yang sifatnya terus menerus, maka sesuai dengan ketentuan
Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
hubungan kerja untuk sifat pekerjaan tersebut tidak dapat didasarkan atas (PKWT).
Pasal 59 ayat (7) UU Ketenagakerjaan, PKWT untuk pekerjaan yang menurut
sifat dan jenisnya adalah pekerjaan yang terus menerus tanpa terputus-putus, maka
demi hukum Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu (PKWT) tersebut menjadi
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Pada tanggal 11 November 2020
tanpa alasan yang jelas dan berdasar hukum, tergugat mengirimkan surat
pemberitahuan kepada penggugat, yang mana dalam surat tersebut terlampir surat
pengunduran diri atas nama penggugat yang tidak pernah sama sekali dibuat oleh
penggugat. Selain itu tergugat juga melarang penggugat untuk masuk ke areal tempat
kerjanya tanpa dasar hukum dan alasan yang jelas.
Saat ini telah berlaku peraturan baru yang mengatur detail perhitungan
pesangon, yaitu PP No. 35 Tahun 2021. Sebelumnya, detail perhitungan
pesangon diatur lewat UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Terdapat
beberapa hal yang masih sama seperti aturan sebelumnya dan terdapat beberapa
hal yang berubah.
Ketika terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, Pengusaha wajib membayar
uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Adapun perhitungan pesangon dan uang
penghargaan masa kerja dipengaruhi oleh dua hal, yaitu: (1) masa kerja
karyawan; dan (2) alasan PHK karyawan. 
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan
Hubungan Kerja, Pertimbangan hak-hak pekerja yang di dapat pemutusan hubungan
kerjanya secara sepihak berdasarkan Putusan Nomor 10/Pdt.Sus-PHI/2021/PN-Dps.
Menurut ketentuan undang-undang, bagi bekerja yang bertugas dan berfungsi tidak
mewakili kepentingan perusahan secara langsung, selain uang pengganti hak, juga
diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaanya diatur dalam perjanjian kerja
atau perjanjian kerja bersama. Keputusan hukum majelis hakim dalam Putusan
Nomor 10 Pdt.Sus-PHI/2021/PN-Dps:
1. Megabulkan gugatan penggugat untuk Sebagian.
2. Menyatakan perjanjian kerja waktu tertentu antara penggugat dengan tergugat demi
hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
3. Menyatakan hubungan kerja antara penggugat dengan tergugat berakhir karena
pemutusan hubungan kerja terhitung sejak tanggal 2 November 2020.
4. Menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara yang hingga saat ini ditetapkan
sejumlah Rp.491.000,00
Jadi pertimbangan yang dijadikan putusan bahwa hak-hak pekerja pada kasus Putusan
Nomor 10/Pdt.SusPHI/2021/PN-Dps hak-hak pekerja yang di Pengusaha tetap wajib
membayar uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali dan uang penghargaan hak. Dengan
rincian sebagai berikut:
Uang Pesangon:
2 x 9 x Rp.40.000.000, = Rp. 720.000.000
Uang Penghargaan Masa Kerja
8 x Rp.40.000.000 = Rp. 320.000.000
Jumlah = Rp.1.040.000.000
Uang Penggantian Hak
15% x Rp.1.040.000.000 = Rp. 156.000.000,-
Total seluruhnya = Rp.1.196.000.000,-

Total atau jumlah total hak-hak pekerja yang di dapatkan mulai dari uang ganti rugi,
uangpenghargaan masa kerja dan uang pesangon yang wajib dibayarkan oleh pihak
perusahan kepada karyawan guru sebesar Rp 1.196.000.000.
KESIMPULAN
Perlindungan hukum pemutusan hubungan kerja terhadap pekerjanya secara sepihak
berdasarkan studi kasus Putusan Nomor: 10/Pdt.Sus-PHI/2021/PN-Dps adalah bahwa
Penggugat telah mengabdi dengan profesional dan berintegritas selama 22 (dua puluhdua)
tahun kepada tergugat, namun tergugat memilih mengakhirinya dengan cara yang tidak
profesional. Tergugat melarang Penggugat berada di wilayah tempat kerja, perundingan
secara bipartit, yang mana telah dilaksanakan perundingan secara bipartit antara penggugat
dengan tergugat di tempat milik tergugat (Sekolah) pada tanggal 5 januari 2021. Kemudian
mengundang penggugat dan tergugat untuk hadir dalam perundingan bipartit II (kedua) yang
diselenggarakan pada tanggal 20 Januari 2021 bertempat di ruang pertemuan Dinas Tenaga
Kerja Pemerintah Kota Denpasar. Alasan yang jelas tergugat tidak memenuhi undangan
tersebut diatas dan tidak hadir dalam perundingan tersebut, maka oleh karena tidak hadirnya
tergugat, Dinas Tenaga Kerja dan Sertifikasi Kompetensi Pemerintah Kota Denpasar
kemudian melimpahkan sengketa ini kepada mediator pada Dinas Tenaga Kerja Energi
Sumber Daya Mineral Provinsi Bali, untuk dilaksanakan Perundingan secara Tripartit.
Perlindungan hukum yang tercermin dalam Putusan Nomor 10 Pdt.SusPHI/2021/PN-Dps
adalah sebagai berikut:
a) Megabulkan gugatan penggugat untuk sebagian.
b) Menyatakan perjanjian kerja waktu tertentu antara penggugat dengan tergugat demi
hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
c) Menyatakan hubungan kerja antara penggugat dengan tergugat berakhir karena
pemutusan hubungan kerja terhitung sejak tanggal 2 November 2020.
d) Menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara yang hingga saat ini ditetapkan
sejumlah Rp.491.000,00
Pertimbangan majelis hakim kepada guru swasta mendapatkan hak yang di akibatkan
akibat PHK berupa mulai dari uang pesangon, uang masa kerja dan uang ganti rugi yang
berpedoman dengan aturan yang berlaku. Hak-hak pekerja yang di peroleh, akibat hukum
terjadi dan majelis hakim mengabulkan hak pekerja di PHK secara sepihak Putusan Nomor
10/Pdt.Sus-PHI/2021/PN-Dps adalah sebesar Rp.1.196.000.000. Pada pemutusan hubungan
kerja secara sepihak hendaknya diberikan seadil-adilnya dan aturan norma yang ada.

Anda mungkin juga menyukai