Anda di halaman 1dari 28

TUGAS INDIVIDU

Nama : Alfia Audry Sharanita

NBI : 1231900058

Mata Kuliah : Ekonomi Sumber Daya Manusia (M)

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN KERJA DI


PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Oleh

Maswandi

Fakultas Hukum Universitas Medan Area, Indonesia

Abstrak

Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha antar buruh berdasarkan


perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah berdasarkan
perjanjian kerja antara pekerja dan pengusaha. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
merupakan suatu hal yang pada beberapa tahun yang lalu merupakan suatu
kegiatan yang sangat ditakuti oleh karyawan yang masih aktif bekerja.
Permasalahan adalah, bagaimana mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan
industrial dan bagaimana proses hukum penyelesaian perselisihan hubungan kerja
di pengadilan hubungan industrial. Perselisihan hubungan kerja terdiri dari
perselisihan hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja.
Perselisihan hubungan kerja pada dasarnya diselesaikan di Pengadilan
Perselisihan Hubungan Industrial (Pengadilan PHI). Sebelum mencapai tahap atau
tingkat Pengadilan PHI dapat menempuh tahap-tahap awal atau alternatife yang
terdiri dari: 1. Lembaga Bipartit, 2. Mediasi, 3. Konsilsasi, dan 4. Arbitrase.
Dengan cara tersebut, pengadilan memutuskan untuk menghukum pengusaha
(tergugat), untuk membayar uang pesangon, uang THR 2013 dan uang pengganti
hak yang seharusnya diterima oleh penggugat, sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat
(1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Kata Kunci: Pemutusan Hubungan Kerja, Penyelesaian Hubungan Industri.

PENDAHULUAN

Dalam era industralisasi di atas kemajuan pengetahuan dan teknologi informasi,


perselisihan hubungan industrial menjadi semakin kompleks, untuk
penyelesaiannya diperlukan institusi yang mendukung mekanisme penyelesaian
perselisihan yang cepat, tepat, adil dan murah. Undang - Undang Nomor 22
Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perburuhan dan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta sudah
tidak sesuai lagi dengan perkermbangan keadaan dan kebutuhan tersebut di atas.
Perselisihan hubungan industrial umumnya terjadi karena terdapat
ketidaksepahaman dan perbedaan kepentingan antara pelaku usaha dan pekerja.
Dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang
ketenagakerjaan menyebutkan bahwa : H
̄ ubungan kerja adalah hubungan antara
pengusaha antar buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur
pekerjaan, upah dan perintah berdasarkan perjanjian kerja antara pekerja dan
pengusaha (Husni, 2004: 63).

Hubungan industrial pada dasarnya adalah suatu hubungan hukum yang


dilakukan antara pengusaha dengan pekerja. Dalam hubungan tersebut memang
tidak selamanya akan berjalan lancar-lancar saja dalam arti tidak ada
permasalahan yang timbul dari hubungan industrial. Ini terbukti dengan
banyaknya pemberitaan di media massa saat ini yang memberitakan perselisihan-
perselisihan di dalam hubungan industrial tersebut. Banyaknya faktor yang
menjadi penyebab dalam permasalahan atau perselisihan hubungan industrial
antara pekerja dan pengusaha, yang antara lain adalah pemutusan hubungan kerja
(PHK) atau karena tidak adanya pemenuhan hakhak bagi pekerja. Namun tidak
hanya itu, permasalahan hubungan industrial juga bisa terjadi antara para pekerja
sendiri. Misalkan antara serikat pekerja dalam saat perusahaan. (Husni, 2004: 41-
42).

Karena banyaknya perselisihanperselisihan yang timbul dalam hubungan


industrial tersebut, maka perlu dicari cara terbaik dalam menyelesaikan
permasalahan atau perselisihan hubungan industrial antara pekerja dengan
pengusaha atau pekerja dengan pekerja. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah
bagaimana menyelesaikan masalah tersebut? Hal ini perlu dikaji secara
komprenhensif sehingga dalam hubungan industrial antara pekerja dengan
pengusaha tercipta sebuah hubungan yang harmonis dalam upaya mewujudkan
suasana ketenagakerjaan yang baik dan harmonis di negeri ini.

Hubungan Industrial pada dasarnya adalah proses terbinanya komunikasi,


konsultasi musyawarah serta berunding ditopang oleh kemampuan dan komitmen
yang tinggi dari semua elemen yang ada dalam perusahaan. Undang-Undang
ketenagakerjaan telah mengatur prinsip-prinsip dasar yang perlu kita kembangkan
dalam bidang hubungan industrial. Arahnya adalah untuk menciptakan sistem dan
kelembagaan yang ideal, sehingga tercipta kondisi kerja yang produktif, harmonis,
dinamis dan berkeadilan.

Sebagai Undang-Undang yang bersifat khusus, Undang-Undang Nomor 2


Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial memberikan
pengertian Arbitrase Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbitrase
adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan dan perselisihan antarserikat
pekerja serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, diluar Pengadilan Hubungan
Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk
menyelesaikan perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak
dan bersifat final.

Sebelum diberlakukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang


Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, penyelesaian perselisihan
hubungan industrial dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1957 Tentang Penyesuaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 1964 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja di perusahaan Swasta.
Penyelesaian berdasarkan kedua Undang-Undang tersebut ternyata dirasakan
sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat, karena tidak dapat lagi
mengakomodasi perkembangan yang terjadi terutama mengenai hak-hak para
pekerja/buruh. (Mulyadi dan Agus Subroto, 2011: 61).

PEMBAHASAN

Perselisihan hubungan kerja terdiri dari perselisihan hak, perselisihan


kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja. Perselisihan hubungan kerja
pada dasarnya diselesaikan di Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial
(Pengadilan PHI). Sebelum mencapai tahap atau tingkat Pengadilan PHI dapat
menempuh tahap - tahap awal atau alternatife yang terdiri dari: 1. Lembaga
Bipartit, 2. Mediasi, 3. Konsiliasi, dan 4. Arbitrase. (Sudjana, 2005: 12).

Lembaga Bipatrit adalah suatu bentuk perundingan antara pekerja buruh


atau serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan
kerja. Penyelesaian secara musyawarah ini juga diamanahkan oleh
UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketengakerjaan yaitu Pasal 136
Ayat (1) yang menyebutkan bahwa penyelesaian perselisihan hubungan kerja
wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja atau serikat secara musyawarah
untuk mufakat. Dan dalam Ayat 2 menyebutkan bahwa dalam hal penyelesaian
secara musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, maka pengusaha dan
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan
hubungan kerja yang diatur dengan undang – undang.

Lembaga Bipatrit terdiri dari wakil pengusaha dan wakil pekerja dan atau
serikat pekerja. Bila dalam perusahaan belum terbentuk serikat pekerja, wakil
pekerja dilembaga Bipatrit dipilih mewakili unit-unit kerja dan atau kelompok
profesi. Bila terdapat lebih dari satu serikat pekerja, wakil mereka dilembaga
Bipatrit ditetapkan secara proporsional. Walaupun tidak diatur secara khusus
dalam undang-undang serikat-serikat pekerja di suatu perusahaan dapat
membentuk Forum Komunikasi antara serikat pekerja. Penyeselaian perselisihan
antara serikat pekerja dianjurkan dilakukan secara bipartite dalam forum ini bila
mereka enggan menyelesaikan di Lembaga bipatrit yang telah ada.

Penyelesaian secara bipartite ini wajib dilaksanakan dan dibuat risalah


yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak. Proses bipartite harus selesai dalam
waktu 30 hari dan jika melewati 30 hari salah satu pihak menolak untuk
berunding atau perundingan tidak mencapai kesepakatan maka perundingan
bipartite dianggap gagal. Jika perundingan mencapai kesepakatan, maka dibuat
perjanjian bersama yang mengikat dan menjadi hukum bagi pihak. Perjanjian
bersama tersebut harus didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri di wilayah para pihak yang mengadakan perjanjian bersama
dan jika tidak dilaksanakan dilaksanakan oleh satu pihak, maka pihak yang
dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan
Industrial pada pengadilan negeri di wilayah perjanjian bersama didaftarkan.

Mediasi hubungan kerja selanjutnya disebut Mediasi adalah penyelesaian


perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
kerja dan perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan yang ditengahi oleh seseorang atau lebih mediator yang netral. Jadi
mediasi ini merupakan lembaga yang berwenang menyelesaikan segala jenis
perselisihan. Penyelesaian perselisihan melalui mediasi ini dilakukan di bidang
ketenagakerjaan Kabupaten/Kota atau dengan kata lain yang menjadi mediator
adalah pegawai Dinas Tenaga Kerja.

Pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketengakerjaan diangkat


beberapa orang pegawai sebagai mediator yang berfungsi melakukan mediasi
menyelesaikan perselisihan antara pengusaha dengan pekerja. (Sudjana, 2005:16)

Perbedaannya degan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 adalah jika


sebelumnya setiap perselisihan wajib melalui proses perantaraan (mediasi)
terlebih dahulu, maka berdasarkan Undang-Undang PPHI (selain perselisihan
hak), pihak dinas tenaga kerja terlebih dahulu menawarkan kepada para pihak
untuk dapat memilih konsiliasi atau arbitrase (tidak langsung melakukan mediasi),
jika para pihak tidak menetapkan pilihan melalui konsiliasi atau arbitrase dalam
waktu 7 (tujuh) hari, maka penyelesaian kasus akan dilimpahkan kepada mediator.

Dalam 7 (tujuh) hari setelah menerima permintaan penyelesaian


perselisihan, mediator sudah harus mempelajari dan menghimpun informasi yang
diperlukan, kemudian segera paling lambat pada hari kedelapan mengadakan
pertemuan atau sidang mediasi. Untuk itu, mediator dapat memanggil saksi dan
atau saksi ahli.

Bila pengusaha dan pekerja dan serikat pekerja mencapai kesepakatan,


kesepakatan tersebut dirumuskan dalam persetujuan bersama yang ditandatangani
oleh para pihak yang berselisih diketahui oleh mediator.

Bila pengusaha dan pekerja tidak mencapai kesepakatan, dalam paling


lama 14 hari setelah siding mediasi pertama, mediator harus sudah membuat
anjuran tertulis tersebut, para pihak yang berselisih harus sudah menyampaikan
pendapat secara tertulis kepada mediator menyatakan menyetujui atau menolak.

Bila pihak-pihak yang berselisih menerima anjuran mediator, kesepkatan


tersebut dirumuskan dalam persetujuan bersama. Bila anjuran tertulis ditolak,
maka pihak yang mengajukan gugatan kepada pengadilan PHI setempat. Untuk
itu mediator menyelesaikan dokumen yang diperlukan dalam 5 hari kerja.

Dengan demikian seluruh proses mediasi diselesaikan paling lama dalam


40 hari kerja. Telah dijelaskan sebelumnya dalam perundingan bipartit, jika para
pihak gagal menyelesaikannya secara bipartit maka para pihak harus mencatatkan
hal tersebut dan kemudian instansi yang bertanggung jawab ketenaga kerjaan
setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih
penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase.

Konsiliator adalah masyarakat yang telah berpengalaman dibidang


hubungan kerja dan menguasai peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan
yang ditunjuk oleh Menteri melakukan konsiliasi dan anjuran tertulis kepada
pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja menyelesaikan perselisihan
kepentingan dan perselisihan pemutusan hubungan kerja. (Sudjana, 2005:16).
Daftar konsiliator untuk satu wilayah kerja disediakan di kantor pemerintah yang
bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan. Atas kesepakatan para pihak yang
berselisih pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja memilih dan meminta
konsiliator dari daftar konsiliator setempat untuk menyelesaikan perselisihan
mereka mengenai kepentingan atau PHK.

Arbitrase oleh Arbiter, berasal dari kata arbitrase (latin), arbitrage


(Belanda dan Perancis), arbitration (Inggris), yang berarti kekuasaan untuk
menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau damai oleh arbiter atau wasit.

Pasal 1 (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase


Alternatif Penyelesaian sengekta menyebutkan: Arbitrase adalah cara
penyelesaian sengketa perdata diluar pengadilan yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Sanusi bintang mengutip pendapat R. Subekti yang mengartikan arbitrase


adalah penyelesaian atau pemutusan untuk seorang hakim atau para hakim
didasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk atau menaati keputusan
yang diberikan oleh hakin yang mereka pilih atau tunjuk tersebut. (Bintang dan
Dahlan, 2000; 118).

Arbitrase adalah penyelesaian perselisihan oleh seorang atau tiga orang


arbiter, yang atas kesepakatan para pihak yang berselisih diminta menyelesaikan
perselisihan kepentingan, perselisihan PHK dan perselisihan antara serikat
pekerja. Dalam hal pihak yang berselisih memilih 3 orang arbiter dan paling
lambat 7 hari sesudah itu, kedua arbiter tersebut menunjuk arbiter ketiga sebagai
ketua mejelis arbiter.

Dalam paling lama 30 hari sejak keputusan arbiter, salah satu pihak dapat
mengajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, hanya
apabila: 1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan diakui atau
terbukti palsu, 2. Pihak lawan terbukti secara sengaja menyembunyikan dokumen
yang bersifat menentukan dalam pengambilan keputusan, 3. Keputusan arbitrase
didasarkan pada tipu muslihat pihak lawan, 4. Putusan melampaui kewenangan
arbiter, 5. Putusan bertentangan dengan peraturan undang - undangan.

Prosedur Penyelesaian Perselisihan terdapat dalam Pasal Undang-Undang


Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
menyebutkan, yang redaksinya selengkapnya dikutip berikut ini: 1. Peselisihan
hak, 2. Perselisihan kepentingan, 3. Peselisihan pemutusan hubungan kerja 4.
Perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.

Adapun tahapan cara penyelesaian perselisihan lembaga industrial melalui


Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri setempat adalah dilakukan
dengan cara: 1. Pengajuan Gugatan 2. Proses Pemeriksaan, Pengajuan gugatan
perselisihan hubungan industrial diajukan kepada pengadilan hubungan industrial
pada pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh
bekerja.

Pengajuan gugatan tersebut wajib dilampiri risalah penyelesaian melalui


mediasi atau konsiliasi. Kalau tidak lampiri risalah penyelesaian melalui mediasi
atau konsiliasi berkas dikembalikan kepada para pihak yang mengajukan gugatan.

Gugatan dapat dicabut penggugat sebelum tergugat member jawaban.


Dalam keadaan ini maka proses peradilan selanjutnya tidak dilakukan. Hal ini
dapat disebabkan adanya perdamaian antara tergugat dengan penggugat meskipun
penggugat telah memasukkan gugatannya ke pengadilan.

Dengan adanya gugatan tersebut maka Pengadilan Negeri dalam 7 (tujuh)


hari kerja menetapkan Majelis Hakim yang terdiri dari 1 (satu) orang hakim
sebagai ketua majelis dan 2 (dua) orang hakim adhoc sebagai anggota majelis
yang memeriksa dan memutus perselisihan. Dalam proses pemeriksaan perkara
pada Pengadilan Hubungan Industrial pemeriksaan dapat dilakukan dengan dua
cara yaitu: a). Pemeriksaan dengan acara biasa, dan b). Pemeriksaan dengan acara
cepat.

Pada pemeriksaan dengan acara biasa Majelis Hakim dalam 7 (tujuh) hari
kerja menetapkan sidang, pemanggilan saksi atau saksi ahli. Saksi atau saksi ahli
wajib memberikan kesaksian dibawah disumpah dan Hakim wajib merahasiakan
semua keterangan yang diminta. Sidang pemeriksaan dengan acara biasa terbuka
untuk umum, kecuali mejelis hakim menetapkan lain. Dalam hal salah satu pihak
tidak menghadiri sidang tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan, majelis
hakim dapat menetapkan hari sidang berikutnya.

Pelaksanaan hari sidang berikutnya selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari


terhitung sejak tanggal penundaan. Penundaan sidang karena salah satu atau para
pihak diberikan sebanyak - banyaknya 2 kali penundaan. Dalam hal penggugat
atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil secara patut tidak datang
menghadap pengadilan pada sidang penundaan terakhir maka majelis hakim dapat
memeriksa dan memutus perselisihan tanpa dihadiri tergugat. Undang - Undang
Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
juga menjelaskan bahwa setiap orang yang hadir dalam persidangan wajib
menghormati persidangan.

Pemeriksaan dengan Acara Cepat, dilakukan apabila terdapat kepentingan


para pihak dan atau salah satu pihak yang cukup mendesak yang harus dapat
disimpulkan dari alasan-alasan permohonan dari yang berkepentingan, para pihak
atau salah satu pihak dapat memohon kepada pengadilan hubungan industrial
supaya pemeriksaan sengketa dipercepat ketua pengadilan negeri mengeluarkan
penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut
selama 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya permohonan terhadap penetapan
pemeriksaan dengan acara pemeriksaan cepat tidak digunakan upaya hukum.

Dalam hal permohonan dengan acara pemeriksaan cepat dikabulkan ketua


pengadilan negeri dalam jangka 7 hari kerja, setelah dikeluarkannya penetapan
menentukan Majelis Hakim, Hari, Tempat dan Waktu Sidang tanpa melalui
prosedur pemeriksaan. Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian kedua
belah pihak masing-masing ditentukan tidak melebihi 14 hari kerja.

Sudikno Mertokusumo mengatakan putusan sela adalah putusan yang


bukan putusan akhir atau disebut juga putusan antara, yang fungsinya tidak lain
untuk memperlancar pemeriksaan perkara. (Mertokusumo, 2002: 222) Putusan
sela ini menurut Pasal 185 Ayat (1) HIR (Oasal 196 Ayat (1) Rbg) sekalipun
harus diucapkan didalam persidangan tidak dibuat secara terpisah, tetapi ditulis
dalam berita acara persidangan.

Menurut M. Nur Rasaid putusan sela adalah putusan yang diadakan


sebelum hakim memutus perkaranya, yaitu untuk memungkinkan atau
mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. (Rasaid, 2003: 49) Jadi putusan
sela ini merupakan putusan yang diambil oleh hakim sebelum ia menjatuhkan
putusan akhir.

Dalam hubungannya dengan Peradilan Hubungan Industrial maka


keberadaan putusan ini adalah:

a. Apabila dalam persidangan pertama secara nyata-nyata pihak pengusaha


terbukti tidak melaksanakan kewajibannya membayar upah dan hak-hak yang
biasa di terima pekerja, hakim ketua sidang harus segera menjatuhkan putusan
sela berupa perintah kepada pengusaha untk melaksanakan kewajibannya kepada
pekerja/buruh;

b. Putusan sela dapat dijatuhkan pada hari persidangan itu juga atau pada hari
persidangan kedua;

c. Dalam hal selama pemeriksaan sengketa masih berlangsung dan putusan sela
tidak juga dilaksanakan oleh pengusaha hakim ketua sidang memerintah sita
jaminan dalam sebuah penetapan Pengadilan Hubungan Industrial;

d. Putusan sela dan penetapan pengadilan hubungan industrial tidak dapat


diajukan perlawanan dan atau tidak dapat digunakan upaya hakim.

Putusan Akhir, dilakukan pada setiap putusan yang dijatuhkan oleh hakim
dalam perkara hubungan industrial harus mempertimbangkan hukum, perjanjian
yang ada, kebiasaan dan keadilan. Majelis hakim wajib menyelesaikan selambat-
lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja sejak sidang pertama. Putusan pengadilan
hubungan industrial mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan
hubungan kerja dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung dalam waktu 14
(empat belas) hari kerja.

Putusan pengadilan hubungan industrial ditandatangani oleh hakim,


Hakim Ad. Hoc dan panitra pengganti. Panitra pengganti hubungan industrial
selambat-lambatnya menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang
tidak hadir dalam sidang. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial merupakan rangkaian dari
UndangUndang yang mengatur kedudukan dan kekuasaan Peradilan di Negara
Republik Indonesia. Selain itu undang-undang tersebut juga merupakan lanjutan
yang melengkapi Undang-Undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985
Tentang Mahkamah Agung yang selanjutnya diubah dengan Undang - Undang
Nomor 5 Tahun 2004.

Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, setiap lingkungan


peradilan yang disebut dalam Pasal 10 Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman yang berbunyi: 1. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dan oleh sebuah
mahkamah konstitusi. 2. Badan peradilan yang berada dibawah mahkamah agung
meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer dan peradilan tata usaha.

Hal lainnya yang diatur secara khusus dalam undang-undang penyelesaian


perselisihan hubungan industrial adalah ketentuan mengenai hakim ad Hoc dan
kepanitraan dalam pengadilan hubungan industrial. Selain itu terdapat pula hal -
hal yang baru yang tidak lazim, dalam undang - undang penyelesaian perselisihan
hubungan industrial ini seperti misalnya terdapat ketentuan pembebasan biaya
perkara dan juga pembebasan biaya eksekusi bagi gugatan yang nilainya dibawah
Rp. 150 juta. Ketentuan mengenai pembebasan biaya perkara ini seharusnya
dipertimbangkan dengan matang, karena harus diatur alokasi pembiayaan yang
tidak sedikit bagi pengadilan hubungan industrial dalam memproses suatu
perkara.
SIMPULAN

Mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan kerja atau hubungan


industrial pada dasarnya diselesaikan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Sebelum mencapai tahap atau tingkatan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)
dapat ditempuh tahap-tahap awal atau alternatif yang terdiri dari: lembaga,
bipartite, mediasi, konsilisai dan abitrase. Lembaga bipartit adalah suatu bentuk
perundingan antara pekerja buruh atau serikat buruh dengan pengusaha untuk
menyelesaikan perselisihan hubungan kerja.

Mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan,


perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antara serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang ditengahi oleh seseorang
atau lebih mediator yang netral. Konsiliasi adalah masyarakat yang telah
berpengalaman dibidang hubungan kerja dan menguasai peraturan atau serikat
pekerja menyelesaikan perselisihan kepentingan dan perselisihan pemutusan
hubungan kerja. Arbitrase adalah penyelesaian perselisihan oleh seorang atau tiga
orang arbiter, yang atas kesepakatan para pihak yang berselisihan diminta
menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan PHK dan perselisihan antara
serikat pekerja.

Proses hukum atau tahapan dan cara penyelesaian hukum pemutusan


hubungan kerja yaitu: Proses pengajuan gugatan di pengadilan Hubungan
Industrial di wilayah hukum pengadilan Negeri setempat. Proses pemeriksaan
perkara pada Pengadilan Hubungan Industrial. Putusan oleh majelis hakim
Pengadilan Hubungan Industrial yang menyatakan hubungan kerja antara
perusahaan dengan karyawannya putus karena pemutusan hubungan kerja dan
menghukum perusahaan yang digugat untuk membayar hak-hak karyawannya,
sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat (1), (2), (3) dan (4) Undang - Undang Nomor 13
Tahun 2003. Perundang - undangan ketenagakerjaan yang ditunjuk oleh Menteri
melakukan konsiliasi dan anjuran tertulis kepada pengusaha dan pekerja.
DAFTAR PUSTAKA
Sunggono, B., 1997, “Metodologi Penelitian Hukum”, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.

Sudjana, E., 2005, “Bayarlah Upah Sebelum Keringatnya Mengering”, PPMI, Jakarta.

Husni, L., 2000, “Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia”, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.

, 2000, “Dasar-Dasar Hukum Perburuhan”, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

, 2004, “Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan


Diluar Pengadilan”, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

, 2010, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia”, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Mulyadi, L dan Agus S., 2011, “Penyelesaian Perkara Pengadilan Hubungan Industrial dalam
Teori dan Praktik”, PT. Alumni, Bandung.

Simorangkir, J.C.T, “Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia”, Pustaka Yuridis, Jakarta.

Poerwadarminta, W.J.S., 2004, “Kamus Umum Bahasa Indonesia”, Penerbit Balai Pustaka,
Jakarta.

Asyhadi, Z., 2007, “Hukum Kerja, Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja”
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial
KUH Perdata
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan
MENANGGAPI :

Artikel yang berjudul “PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN


KERJA DI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL”

Sumber Kutipan : Maswandi, M. (2017). PENYELESAIAN PERSELISIHAN


HUBUNGAN KERJA DI PENGADILAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL. Publikauma: Jurnal Administrasi Publik Universitas Medan
Area, 5(1), 36-42.

Link : PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN KERJA DI


PENGADILAN... - Google Cendekia

Tanggapan saya tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial


dalam hukum ketenagakerjaan setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dikenal dengan
model penyelesaian secara sukarela melalui bipartit, konsiliasi, mediasi, dan
arbitrase, dan model penyelesaian secara wajib, yaitu melalui Pengadilan
Hubungan Industrial. Untuk itu diperlukanlah peraturan yang menyeluruh antara
lain untuk mencakup perencanaan tenaga kerja, pembinaan hubungan industrial,
peningkatan perlindungan tenaga kerja, serta peningkatan produktivitas dan daya
saing tenaga kerja pada sumber daya manusia di Indonesia.

Maka pemerintah harus memberikan perhatian kepada tenaga kerja agar


mampu mengembangkan diri secara menyeluruh dan terpadu yang diarahkan pada
peningkatan kompetensi dan kemandirian yang diharapkan agar dapat bekerja
sama pekerja dengan pengusaha. Pekerja mempunyai pengadaan sebagai pelaku
peran meningkatkan produktivitas kerja dan kesehteraan masyarakat. Karena
itulah tenaga kerja harus memiliku nilai lebih dalam arti lebih mampu, lebih
trampil, dan lebih berkualitas, agar guna dapat bersaing dalam eraglobal secara
optimal. Kemampuan, keterampilan, dan keahlian tenaga kerja perlu ditingkatkan
terus menerus melalui perencanaan dan program ketenagakerjaan termasuk
pelatihan, pemagangan.
Tenaga kerja sebagai tujuan pembangunan perlu memperoleh
perlindungan dalam semua aspek, termasuk memperoleh pekerjaan, perlindungan
hak – hak dasar pekerja, perlindungan atas keselamatan dan Kesehatan kerja, serta
agar terwujudnya hubungan industrial yang optimal.

Kenyataannya tidak mudah dalam menciptakan hubungan industrial yang


haramonis bahkan tenang, karena ketegangan antara pekerja dan perusahaan
sering memicu akan perselisihan hubungan industrial yang akibatnya banyak
kepentingan yang saling bertentangan. Hubungan industrial yang merupakan
keterkaitan kepentingan antara pekerja dengan pengusaha menimbulkan
perbedaan pendapat bahkan perselisihan antara kedua belah pihak. Perselisihan
dalam hubungan industrial yang selama ini dikenal dapat terjadi mengenai hak
yang telah ditetapkan baik dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, maupun
peraturan perundang – undangan.

Undang – undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan


Hubungan Industrial merupakan perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pekerja dengan pengusaha karena adanya perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, maupun
perselisihan antara serikat perkeja atau serikat buruh dalam satu perusahaan.
Pembahasan perselisihan hubungan industrial yang melibatkan dua aspek yang
tidak bisa di pisahkan satu dari lainnya.

Pada dasarnya setiap perselisihan hubungan industrial harus diselesaikan


oleh kedua belah pihak sebelum mencapai tingkat pengadilan hubungan industrial.
Kedua belah pihak terdiri dari perwakilan pengusaha dan perwakilan pekerja.
Kesepakatan atau kompromi yang dicapai oleh dua belah pihak dituangkan dalam
bentuk kesepakatan bersama dan ditanda tangani oleh kedua pihak yang
bersangkutan. Jika salah satu kedua pihak gagal untuk melakukan perjanjian
bersama maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan penegakan ke pengadilan.
Dan jika cara kedua belah pihak gagal lagi, para pihak atau salah satu dari mereka
dapat mencari alternatif penyelesaian yaitu melalui arbitrase yang terdiri dari
mediasi, penyelesaian dan arbitrase atau kedua belah pihak dapat mengajukan
perselisihan tersebut ke pengadilan hubungan kerja yang bisa disebut penyelesaian
wajib.

Mengenai penyelesaian perselisihan hubungan industrial ini sesuai dengan


prinsipnya bahwa Undang – undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian
perselisihan dapat diberikan untuk mencapai konsekuensi masalah melalui jalur
negosiasi antara kedua belah pihak adalah langkah pertama untuk para pihak
sebelum adanya mekanisme lain. Penyelesaian perselisihan hubungan dengan
Undang – undang Nomor 2 Tahun 2004 diharapkan dapat memberikan solusi
yang adil, cepat, bagi para pihak yang bersangkutan. Dalam penerapannya
Undang – undang Nomor 2 Tahun 2004 perlu dikaji dan di tindak lanjuti guna
menyempurnakan aturan yang ada. Sebaiknya bagi perusahaan dan pekerja lebih
memperhatikan mengenai masa waktu kerja dan perjanjian kerja dikarnakan
hubungan industrial menjalankan perlindungan terhadap hak – hak untuk pekerja.
Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak

Qotrun Nida

Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Jl. Raya Jakarta KM 4 Pakupatan, Serang, Banten

email: nida@untirta.ac.id

Ahmad Rayhan

Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Jl. Raya Jakarta KM 4 Pakupatan, Serang, Banten

email: ahmadrayhan@untirta.ac.id

ABSTRAK

Fenomena pekerja anak merupakan gambaran betapa rumitnya permasalahan anak


Adanya pekerja anak berasal dari pengusaha yang ingin mendapatkan keuntungan
dengan pekerjaan yang murah, atau perusahaan tersebut merupakan perusahaan
kecil atau bahkan perusahaan keluarga yang menggunakan anak untuk tetap
bertahan aktifitasnya dengan produktifitas rendah. Alasan ini dikategorikan benar,
elain adanya sisi permintaan pasti ada sisi penawaran. Meskipun masyarakat
menyediakan tenaga kerja anak, tetapi jika tidak ada perusahaan yang
mempekerjakannya sudah pasti pekerja anak tidak akan muncul. Demikian pula
sebaliknya, bila permintaan terhadap pekerja anak tinggi, tetapi masyarakat tidak
menyediakan maka pekerja anak tidak akan adaoleh karena itu penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap pekerja
anak dan factor apasaja yang mempengaruhi adanya pekerja anak. Metode
Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Metode
penelitian hukum normatif empiris. Hasil Penelitian menunjukan Perlindungan
hukum terhadap pekerja anak tercantum pada undang-undang Ketenagakerjaan
pada pasal 74 dan pasal 75 tentang bentuk pembatasan jenis-jenis atau bentuk-
bentuk pekerjaan yang dilarang untuk dikerjakan oleh anak dan penetapan
persyaratan tertentu bagi pengusaha yang mempekerjakan anak. Serta terdapat
pula peraturan-peraturan lainnya yang ikut mengatur tentang perlindungan hukum
pekerja anak. Factor yang mempengaruhi terjadinya pekerja anak yaitu factor
ekonomi, factor pendidikan, perubahan proses produksi, serta lemahnya
pengawasan dan minimnya lembaga untuk rehabilitasi.

Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Pekerja Anak

Pendahuluan

Anak merupakan harapan dan tumpuan orang tua, harapan bangsa dan Negara
yang akan melanjutkan estafet pembangunan. Anak adalah bagian dari generasi
muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan
penerus sita-sita perjuangan bangsa. anak sebagai makhluk hidup memiliki hak
asasi semenjak lahir bahkan saat masih dalam kandungan, sehingga tidak ada
manusia atau pihak manapun yang boleh merampas hak tersebut. Hak asasi anak
diakui secara universal sesuai yang tercantum dalam piagam bangsa tahun 1948
tentang Hak Asasi Manusia, Deklarasi ILO tahun 1944 Philadelpia, Konstitusi
ILO, Deklerasi piagam Bangsa-Bangsa tahun 1959 tentang Hak Anak.

Anak mempunyai hak-hak asasi yang harus dipenuhi oleh orang tuanya,
yakni jaminan untuk tumbuh kembang secara optimal baik fisik, mental, sosial
maupun intelektual, tetapi pada kenyataannya tidak semua anak dapat terpenuhi
hak-hak asasinya, terutama baik anak yang perekonomian orangtuanya kurang
memadai sehingga anak harus ikut membantu perekonomian keluarganya dengan
cara bekerja. Banyak anak yang bekerja sebagai pekerja anak terjerumus pada
jenis-jenis pekerjaan terburuk untuk anak bahkan sampai pada perdagangan anak.
Pekerja anak sampai saat ini merupakan permasalahan dalam perlindungan anak
terutama di Negara - negara berkembang termasuk Indonesia.

Fenomena pekerja anak merupakan gambaran betapa rumitnya


permasalahan anak. Beberapa bentuk peraturan yang universal telah dikeluarkan
dalam rangka mendukung uoaya perlindungan HAM di dunia. Upaya
perlindungan juga diikuti dengan penegakan hukum demi terselenggaranya HAM
yang konsisten. Jika berbicara tentang fenomena pekerja anak, maka bidang HAM
yang langsung bersinggungan adalah hak anak. Baik di dunia internasional
maupun di Indonesia, masalah seputar kehidupan anak menjadi perhatian utama
bagi masyarakat maupun pemerintah. Sangat banyak keadaan-keadaan ideal yang
sebenarnya dapat menuntaskan permasalahan sosial ini. Namun factorfaktor lain
ekonomi, pendidikan, serta kurangnya atau lemahnya pengawasan dari pemerintah
turut menunjukan ketidakmampuan pemerintah.

Pekerja anak adalah sebuah istilah untuk mempekerjakan anak kecil.


Istilah pekerja anak memiliki konotasi pengeksploitasi anak kecil atas tenaga
mereka , dengan gaji yang kecil atau pertimbangan bagi perkembangan
kepribadian mereka, keamanannya, kesehatan, dan prospek masa depan.
Penggunaan anak kecil sebagai pekerja sekarang ini dianggap oleh Negara -
negara kaya sebagai pelanggaran hak manusia, dan melanggarnya, tetapi Negara
miskin masih mengijinkan karena keluarga seringkali bergantung pada pekerjaan
anaknya untuk bertahan hidup dan kadangkala merupakan satu - satunya sumber
pendapatan.

Adanya pekerja anak berasal dari pengusaha yang ingin mendapatkan


keuntungan dengan pekerjaan yang murah, atau perusahaan tersebut merupakan
perusahaan kecil atau bahkan perusahaan keluarga yang menggunakan anak untuk
tetap bertahan aktifitasnya dengan produktifitas rendah. Alasan ini dikategorikan
benar, elain adanya sisi permintaan pasti ada sisi penawaran. Meskipun
masyarakat menyediakan tenaga kerja anak, tetapi jika tidak ada perusahaan yang
mempekerjakannya sudah pasti pekerja anak tidak akan muncul. Demikian pula
sebaliknya, bila permintaan terhadap pekerja anak tinggi, tetapi masyarakat tidak
menyediakan maka pekerja anak tidak akan ada.

Pada hakikatnya anak tidak boleh bekerja karena waktu anak selayaknya
dimanfaatkan untuk belajar, bermain, berada dalam Susana damai, mendapatkan
kesempatan dan fasilitas untuk mencapai cita-citanya sesuai dengan
perkembangan fisik, psikologik, intelektual dan sosialnya. Namun pada
kenyataannya anak-anak dibawah umur telah terlibat aktif dalam kegatan
ekonomi, menjadi pekerja anak dengan alasan perekonomian yang dialami oleh
orang tuanya maupun factor-faktor lainnya.

Walaupun ada peraturan - peraturan yang dibuat untuk melindungi pekerja


anak, tetapi kualitas permasalahan pekerja anak dari tahun ketahun semakin
meningkat dan mengalami perkembangan yang sangat kompleks menuju bentuk-
bentuk pekerjaan terburuk yang eksploitatif dan membahayakan pertumbuhan dan
perkembangan fisik, mental, moral, sosial, dan intelektual anak. Jenis pekerjaan
terburuk semakin marak ditemukan, seperti anak yang diperdagangkan, anak
bekerja dipertambangan, dan lain-lain. Anak tidak dapat melindungi diri sendiri
dari berbagai macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial
dalam berbagai bidang kehidupan dan penghidupan. Anak harus dibatu oleh orang
lain dalam melindungi dirinya.

Anak bisa dieksploitasi dengan bekerja tanpa menimbulkan masalah,


menerima sedikit gaji tanpa protes, mudah diatur dan penurut. Fenomenanya
adalah ketika tugas pekembangan anak dipaksa oleh realisme ekonomi keluarga.
Anak dijadikan factor ekonomi yang menunjang keberlangsungan keluarga agar
mereka dapat hidup dengan mencukupi kebutuhan dsarnya. Padahal jika kita
telaah tugas perkembangan anak secara umum meliputi :

1. Mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan yang umum;

2. Membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai makhluk yang
sedang tumbuh;
3. Belajar menyesuaikan diri dengan teman-teman seusianya;

4. Mengembangkan keterampilan dasar membaca, menulis, dan berhitung;

5. Mengembangkan pengertian yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari;

6. Mengembangkan hati nurani, pengertian moral, dan tata tingkah laku moral;

7. Mengembangkan sikap terhadap kelompok sosial dan Lembaga – Lembaga;

8. Mencapai kebebasan pribadi;

Rumusan Masalah

Berdasarkan pendahuluan diatas, maka penulis merumuskan dua rumusan


masalah, yaitu:

(1) bagaimana perlindungan hukum terhadap pekerja anak?;

(2) Faktor apa saja yang mempengaruhi adanya pekerja anak?

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan Metode penelitian hukum


normatif empiris. Metode penelitian hukum normatif empiris ini pada dasarnya
merupakan penggabungan antara pendekatan hukum normatif dengan adanya
penambahan berbagai unsur empiris. Metode penelitian normatif-empiris
mengenai implementasi ketentuan hukum normatif (undang-undang) dalam
aksinya pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu
masyarakat. Penelitian hukum normative - empiris (terapan) bermula dari
ketentuan hukum positif tertulis yang diberlakukan pada peristiwa hukum in
concreto dalam masyarakat, sehingga dalam penelitiannya selalu terdapat
gabungan dua tahap kajian, yaitu:

1. Tahap pertama adalah kajian mengenai hukum yang berlaku;

2. Tahap kedua adalah penerapan pada persitiwa in concreto guna mencapai


tujuan yang telah ditentukan. Penerapan tersebut dapat iwujudkan melalui
perbuatan nyata dan dokumen hukum. Hasil penerapan akan menciptakan
pemahaman realisasi pelaksanaan ketentuan ketentuan hukum normatif yang
dikaji telah dijalankan secara patut atau tidak.

Teknik pengumpulan data di dalam penelitian ini akan dilakukan dengan


cara studi dokumen yang dilakukan terhadap data sekunder untuk mendapatkan
landasan teoritis berupa pendapat atau tulisan para ahli atau pihak lain yang
mendapatkan informasi baik dalam bentuk formil maupun data melalui data resmi
dan wawancara kepada pihak-pihak terkait. Wawancara merupakan teknik
pengumpulan data dengan cara mendapatkan keterangan atau informasi secara
langsung dari narasumber, yaitu pihak-pihak yang terkait secara langsung dengan
obyek yang diteliti.

Pembahasan

Pelindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak

Hukum diposisikan sebagai pencapaian tujuan sehingga akan mudah


dicapai jika hukum berlaku secara efektif dan sebaliknya menjadi penghambat
jika tidak efektif. Hukum dianggap efetif jika hukum mampu mengkondisikan dan
merubah kualitas dan perilaku masyarakat sesuai dengan prasyarat pembangunan.
Sejalan dengan tujuan hukum, penyelesaian persoalan penerapan hukum juga
diarahkan pada upaya untuk mewujudkan keadilan. Keadilan adalah tujuan hukum
yang berhubungan dengan kekuatan berlakunya peraturan perundang-undangan
maka dari itu harus dapat diakomodasi dalam peraturan tersebut. Perlindungan
huku terhadap pekerja anak tidak dapat lepas dari hak asasi manusia, karena
secara konstitusional Indonesia telah mengakui hak untuk bekerja. Hak asasi ini
terdapat dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Upaya perlindungan hukum pemerintah terhadap pekerja anak dilakukan
dalam bentuk pembatasan jenis-jenis atau bentuk-bentuk pekerjaan yang dilarang
untuk dikerjakan oleh anak. Larangan mempekerjakan anak tersebut terdapat pada
pasal 74 Undang-undang Ketenagakerjaan, yaitu larangan mempekerjakan atau
melibatkan anak pada pekerjaan - pekerjaan yang terburuk yaitu : 1. Segala
pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya

2. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau menawarkan anak


untuk pelacuran, produksi pornogrfi, pertunjukan porno, atau perjudian

3. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau melibatkan anak


untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika,dan zat
adiktif lainnya.

4. Semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral


anak.

Selain bentuk pembatasan jenis - jenis pekerjaan yang dilarang dikerjakan


oleh anak, terdapat juga kewajiban pemerintah untuk melakukan pencegahan dan
penanggulangan, hal tersebut diatur pada pasal 75 Undang - undang
ketenagakerjaan, yaitu :

(1) Pemerintah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak bekerja


diluar hubungan kerja

(2) Upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
peraturan pemerintah Perlindungan hukum terhadap pekerja anak dapat dilakukan
secara preventif dan represif. Perlindungan hukum preventif merupakan
perlindungan hukum yang bersifat pencegahan terhadap peristiwa yang tidak
pasti, bentuk perlindunagan preventif ini dilakukan dengan membatasi jenis-jenis
pekerjaan yang boleh atau tidak boleh dikerjakan oleh pekerja anaak, seperti yang
sudah dijelaskan sebelunmnya diatas, selain itu dapat juga melalui penetapan
persyaratan tertentu bagi pengusaha yang mempekerjakan anak. Hal ini dapat
dilihat di dalam ketentuan pasal 69 ayat (2) undang-undang ketenagakerjaan yang
menentukan :

Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan :

a. Izin tertulis dari orang tua atau wali


b. Perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali

c. Waktu kerja maksimum 3 jam

d. Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah

e. Keselamatan dan kesehatan kerja

f. Adanya hubungan kerja yang jelas

g. Menerima upah sesuai ketentuan berlaku. Hal ini masih pengecualiannya dalam
ayat (2) tersebut diatas huruf a,b,f, dan g dikecualikan bagi anak yang bekerja
pada usaha keluarganya.

Faktor Yang Mempengaruhi Adanya Pekerja Anak

Faktor yang mempengaruhi adanya pekerja anak merupakan interaksi dari


berbagai factor ditingkat mikro sampai makro, dari factor ekonomi sosial budaya
sampai factor politik. Factor-faktor yang mempengaruhi adanya pekerja anak
yaitu :

(1) faktor ekonomi,

(2) Pendidikan,

(3) perubahan proses produksi,

(4) lemahnya pengawasan dan terbatasnya tempat rehabilitasi

Rendahnya ekonomi keluarga merupakan factor utama yang menyebabkan


anak-anak terlibat bekerja. Terlibatnya anak dalam kegiatan ekonomi juga karena
adanya dorongan untuk membantu meringankan beban orang tua. Kemiskinan
secara ekonomi telah banyak menciptakan terjadinya pekerja anak. Orangtua
terpaksa memobilisasi anak-anaknya sebagai pekerja untuk membantu ekonomi
keluarga. Pekerja anak tidak hanya disebabkan oleh kemiskinan, tetapi juga
menyebabkan pemiskinan, artinya anak-anak yang bekerja dan tidak mengecap
pendidikan akan tetap hidup dalam kondisi kemiskinan dikemudian hari.
Akibatnya, generasi berikutnya akan tetap miskin dan tidak berpendidikan.
Pendidikanpun turut menjadi factor yang mempengaruhi adanya pekerja
anak, alasan utama seorang anak menjadi pekerja adalah karena mereka tidak
mengenyam pendidikan, walaupun sudah ada program pemerintah yang
mewajibkan belajar 12 Tahun, dimana program tersebut bertujuan untuk
memberikan kesempatan pendidikan seluas-luasnya kepada penduduk usia 16-18
Tahun dan pemerintahpun membiayai serta menyediakan segala fasilitasnya.

Perubahan proses produksi, perkembangan jaman juga menuntut pada


kecanggihan teknologi membuat beberapa perusahaan dalam melakukan proses
produksi menggunakan alat-alat canggih sehingga banyak sekali pekerjaan yang
seharusnya dilakukan oleh tenaga ahli menjadi lebih cepat selesai hanya dengan
hitungan waktu yang sangat singkat dikerjakan oleh alat. Yang tersisa hanyalah
pekerjaan kasar dan serabutan yang ternyata banyak anak yang diambil untuk
dipekerjakan , tentu saja dengan upah yang murah dan jaminan perlindungan
pekerjaan yang minim, karena dianggap sebagai anak yang tidak mengetahui apa-
apa dan dituntut untuk selalu menuruti aturan yang dibuat oleh perusahaan tempat
bekerja.

Adanya peraturan melakukan perlindungan terhadap pekerja anak tidak


diimbangi dengan pelaksanaan dari aturan tersebut. Sehingga sangat
memungkinkan banyak sekali masalah - masalah yang timbul pada pekerja anak
yang tidak bisa terselesaikan oleh aparat penegak hukum. Selain itu Indonesia
masih sangat kurnag sekali Lembaga - lembaga yang bisa melakukan rehabilitasi
terhadap anak agar dapat tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya, baik
secara rohani, jasmani, maupun sosial khususnya anak yang mempunyai masalah,
antaralain anak yang tidak mempunyai orang tua dan terlantar, anak terlantar,
anak yang tidak mampu, anank yang mengalami masalah kelakuan, dan anak
cacat. Usaha ini dimaksud memberikan pemeliharaan , perlindungan, asuhan,
perawatan, dan pemulihan kepada anak yang mempunyai masalah.

Kesimpulan
Perlindungan hukum terhadap pekerja anak tercantum pada undang-undang
Ketenagakerjaan pada pasal 74 dan pasal 75 tentang bentuk pembatasan jenis-
jenis atau bentuk-bentuk pekerjaan yang dilarang untuk dikerjakan oleh anak dan
penetapan persyaratan tertentu bagi pengusaha yang mempekerjakan anak. Serta
terdapat pula peraturan-peraturan lainnya yang ikut mengatur tentang
perlindungan hukum pekerja anak. Factor yang mempengaruhi terjadinya pekerja
anak yaitu factor ekonomi, factor pendidikan, perubahan proses produksi, serta
lemahnya pengawasan dan minimnya lembaga untuk rehabilitasi.
Menanggapi :

Yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak”

Sumber Kutipan : Nida, Q., & Rayhan, A. (2021). Perlindungan Hukum


Terhadap Pekerja Anak. Sultan Jurisprudence: Jurnal Riset Ilmu Hukum, 1(1).

Link : Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak | Nida | Sultan Jurisprudence:


Jurnal Riset Ilmu Hukum (untirta.ac.id)

Tanggapan saya Meskipun masyarakat menyediakan tenaga kerja untuk


anak, tetapi jika ada perusahaan yang memperkerjakannya sudah pasti pekerja
anak tidak akan muncul. Hasil dari penelitihan tentang perlindungan hukum
pekerja anak tercantum pada undang-undang Ketenagakerjaan pada pasal 74 dan
pasal 75 tentang bentuk pembatasan jenis-jenis atau bentuk-bentuk pekerjaan yang
dilarang untuk dikerjakan oleh anak dan penetapan persyaratan tertentu bagi
pengusaha yang mempekerjakan anak. Fenomena pekerja anak bentuk dari
rumitnya permasalahan anak. Upaya perlindungan hukum pada pekerja anak juga
harus diikuti dengan penegak hukum.

Namun pada kenyataanya pekerja anak telah aktif berpartisipasi dalam


kegiatan ekonomi dan menjadi pekerja karena dengan kondisi orang tua atau alas
an yang lainnya. Meskipun sudah ada peraturan tentang pekerja anak, kualitas
pekerja anak semakin meningkat dari tahun ke tahun dan menjadi perkambangan
yang sangat pesat dan kompleks.

Perlu adanya penanggulannya pekerja anak perlu adanya kebijakan


selanjutnya dari pemerintah, sehingga penanggulangan dalam pekerja anak akan
sangat berjalan dengan baik dan pekerja anak pun akan berkurang. Untuk orang
tua harus memfokuskan anak untuk sekolah hingga Pendidikan tinggi yang
dimana itu akan mendorong anak memiliki self - esteem yang menjadi lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai