Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN

INDUSTRIAL DILUAR PENGADILAN

Dibuat Oleh :
Kelompok 2 (Kelas 3LB)

1. Anggis Cindy Carend (061930310027)


2. Ayu Mutiyara (061930310029)
3. Rhada Oktarisella (061930310039)
4. Adhitya Surya P (061930310476)
5. Adinda Tiara A.S (061930310477)
6. Ika Paksi Cakra Buana (061930310480)
7. Usi Manik (061930310489)
8. Willy Alfikri (061930310490)

Dosen Pengampuh :
Ayu Puspasari S.H.,M.Hum

JURUSAN TEKNIK ELEKTRO


PROGRAM STUDI TEKNIK LISTRIK
POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA
TAHUN AKADEMIK
2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Diluar Pengadilan” ini tepat pada
waktunya. Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
ibu Ayu Puspasari S.H.,M.Hum pada mata kuliah Hukum Ketenagakerjaan. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Perselisihan Hubungan
Industrial (PHI) bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada ibu Ayu Puspasari S.H.,M.Hum selaku
dosen mata kuliah Hukum Ketenagakerjaan yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah pengetahuan dan wawasan .
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.

Palembang, 10 Januari 2021

Kelompok 2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.................................................................................... 1
1.2 Rumusan masalah............................................................................... 1
1.3 Tujuan................................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 2
2.1 Mekanisme PPHI di luar Pengadilan melalui Bipartit dan Mediasi
menurut UU No. 2 Tahun 2004................................................................. 2
2.2 Mekanisme PPHI di luar Pengadilan melalui Konsiliasi dan Arbitrase
menurut UU No. 2 Tahun 2004................................................................. 3
2.3 Contoh Kasus Perselisihan Hubungan Industrial dan Penyelesaiannya
.......................................................................................................... 4

BAB III PENUTUP................................................................................................ 7


3.1 Kesimpulan......................................................................................... 7
3.2 Saran................................................................................................... 7

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 8

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Asas pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan berdasarkan atas keterpaduan
dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. Pembangunan
ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan dengan berbagai pihak
yaitu antara pemerintah, pengusaha dan pekerja. Oleh sebab itu, pembangunan
ketenagakerjaan dilaksanakan secara terpadu dalam bentuk kerja sama yang saling
mendukung.
Tidak dapat dipungkiri dalam hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan
terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK), bahkan timbul perselisihan antar kedua pihak.
Dalam hal perundingan benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya
dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja setelah memperoleh penetapan dari
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Perselisihan hubungan kerja
penyelesaiannya dapat ditempuh di luar pengadilan (melalui bipartit, mediasi, konsiliasi
dan arbitrase) dan melalui pengadilan, hal ini tergantung kepada para pihak mengambil
jalan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang disepakatinya sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka rumusan masalahnya sebagai berikut:
1. Bagaimana mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar
pengadilan melalui bipartit dan mediasi menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 ?
2. Bagaimana mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar
pengadilan melalui konsiliasi dan arbitrase menurut Undang-Undang No. 2 Tahun
2004 ?
1.3 Tujuan
Berdasarkan permasalahan di atas, penulis bertujuan melakukan suatu penelitian dan
pembahasan tentang :
1. Untuk mengetahui mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar
pengadilan melalui bipartit dan mediasi menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 ?
2. Untuk mengetahui mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar
pengadilan melalui konsiliasi dan arbitrase menurut Undang-Undang No. 2 Tahun
2004 ?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Luar Pengadilan


Melalui Bipartit dan Mediasi Menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2004
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 mekanisme
penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui bipartit dilakukan melalui
perundingan yang melibatkan kedua belah pihak yang berselisih yaitu antara pihak
pengusaha atau gabungan pengusaha dengan buruh atau serikat buruh. Perundingan
bipartit dilakukan dengan cara musyawarah untuk mencapai suatu mufakat bersama. Bila
dalam perundingan bipartit mencapai kata sepakat mengenai penyelesaiannya, maka para
pihak membuat surat perjanjian bersama yang kemudian didaftarkan pada pengadilan
hubungan industrial setempat. Apabila kedua belah pihak tidak mencapai kesepakatan
dalam perundingan bipartit, maka salah satu pihak atau para pihak mencatatkan
perselisihannya pada instansi ketenagakerjaan setempat. Perselisihan hubungan industrial
wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara
musyawarah untuk mencapai mufakat. Penyelesaian perselisihan melalui bipartit harus
diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan.
Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari salah satu pihak menolak untuk
berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka
perundingan bipartit dianggap gagal.
Mediasi hubungan industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian
perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui
musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Perselisihan
yang dapat diselesaikan melalui mediasi adalah:
(1) Perselisihan hak;
(2) Perselisihan kepentingan;
(3) PHK;
(4) Perselisihan antar serikat buruh dalam satu perusahaan.
Bila dalam mediasi para pihak bersepakat dalam menyelesaikan masalah, maka para
pihak membuat perjanjian bersama disaksikan oleh mediator yang kemudian didaftarkan
pada pengadilan hubungan industrial setempat, dan jika perundingan mediasi tidak
menemukan kata sepakat, maka mediator akan mengeluarkan anjuran tertulis.

2
Penyelesaian melalui Pengadilan Hubungan Industrial dalam hal tidak tercapai
penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi, maka salah satu pihak atau para pihak
dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan hubungan industrial, yang perlu diingat
bahwa penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui pengadilan ditempuh
sebagai alternatif terakhir, dan secara hukum ini bukan merupakan kewajiban bagi para
pihak yang berselisih, tetapi merupakan hak.
2.2 Mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Di Luar Pengadilan
Melalui Konsiliasi dan Arbitrase Berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi berdasarkan
ketentuan pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 meliputi tiga jenis
perselisihan, yakni perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, dan perselisihan antara
serikat pekerja dalam satu perusahaan. Konsiliasi adalah penyelesaian melalui
musyawarah yang ditengahi oleh seorang konsiliator yang memenuhi syarat-syarat
konsiliator yang ditetapkan oleh menteri. Perselisihan yang bisa diselesaikan melalui
konsiliasi adalah:
(1) Perselisihan kepentingan;
(2) PHK;
(3) Perselisihan antar serikat buruh dalam satu perusahaan.
Tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui
konsiliasi, maka dibuat PKB yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh
konsiliator dan didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di
wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta
bukti pendaftaran.
Arbitrase hubungan industrial yang diatur dalam Undang-Undang No. 2 tahun 2004
merupakan aturan khusus bagi penyelesaian sengketa di bidang hubungan industrial, dan
berlaku asas Lex specialis derogate lex generalis. Mengingat keputusan arbiter ini
mengikat para pihak dan bersifat akhir dan tetap, arbiter haruslah mereka yang kompeten
di bidangnya, sehingga kepercayaan para pihak tidak sia-sia. Penyelesaian perselisihan
hubungan industrial melalui arbiter dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak yang
berselisih. Kesepakatan para pihak yang berselisih dinyatakan secara tertulis dalam surat
perjanjian arbitrase, dibuat rangkap 3 (tiga) dan masing-masing pihak mendapatkan 1
(satu) mempunyai kekuatan hukum yang sama.

3
2.3 Contoh Kasus Perselisihan Hubungan Industrial

Pengunduran diri Karyawan P.T. Intan Pariwara


Perusahaan swasta nasional yang bergerak dibidang penerbit dan percetakan ini
berdiri sejak tahun 1984 telah menyerap banyak tenaga kerja sekitar 1.700 orang pekerja
tersebar diseluruh Indonesia, memiliki Serikat Pekerja Penerbit Percetakan dan Media
Informatika (SP PPMI) dan seluruh pekerjanya diikutsetakan dalam perlindungan
jaminan sosial tenaga kerja (Jamsotek) dan juga merupakan salah satu perusahaan besar
dan terkemuka di Kab. Klaten. Selama ini pola hubungan kerja antara perusahaan dengan
pekerjanya biasa dikenal dengan istilah kemitraan. Hal ini dimaksudkan untuk lebih
mendekatkan diri dan menghilangkan gap (jurang pemisah) antara perusahaan.
Hal yang sangat wajar apabila diantara pekerja ada yang melakukan kesalahan atau
pelanggaran Perjanjian Kerja Bersama (PKB) maka akan segera dilakukan musyawarah
penuh dengan kekeluargaan duduk bersama untuk mencari penyelesaian yang sebaik-
baiknya, tidak saling merugikan (win-win solution) melalui mekanisme bipartit. Pada
bulan Juni 2012 muncul perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja antara Sunarsih
karyawan bagian Taxation Staff yang telah bekerja selama 21 tahun, melakukan
pelanggaran ringan sebagaimana diatur dalam PKB yaitu sering terlambat masuk kerja
pada jam kerja yag telah ditentukan. Setiap kali mengulang kejadian (terlambat masuk
kerja) alasan yang sampaikan selalu sama, sibuk mengurus keperluan keluarga karena
tidak mempunyai pembantu rumah tangga, berkali-kali pula diperingatkan oleh
perusahaan baik melalui atasan langsung maupun HRD tetap saja tidak ada perubahan,
akhirnya perusahaan memandang sudah tidak pantas lagi untuk dipertahankan sebagai
karyawan, walaupun tanpa surat peringatan (I, II, III atau terakhir) yang bersangkutan
diberhentikan hubungan kerjanya terhitung mulai 21 Juni 2012 .
Awalnya Sunarsih keberatan untuk diputuskan hubungan kerjanya kecuali diberikan
uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan yang berlaku ternyata
perusahaan tidak keberatan dengan keinginan karyawan tersebut asalkan dapat
diselesaikan dalam waktu yang secepatnya, tidak menunda-nunda atau berlarut-larut.
Perusahaan juga tetap mengedepankan musyawarah untuk mufakat melalui perundingan
bipartit dan ternyata ada titik temu antara kedua belah pihak bahkan keduanya sepakat
untuk mengakhiri hubungan kerja yang dituangkan dalam bentuk PKB. Mekanisme
penyelesaian perselisihan yang dijalankan oleh perusahaan sebagaimana diamanatkan
oleh pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 telah dilakukan sebagai langkah
4
pertama dan utama pada tingkat perusahaan tanpa melibatkan pihak ketiga. Semua hak-
hak karyawan sebagaimana dimaksud dalam pasal 156 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dipenuhi. Perjanjian Bersama yang
ditandatangani oleh kedua belah pihak pada 20 Juni 2012 menganggap sudah selesai
menyangkut persoalan pemutusan hubungan kerja dengan hak-haknya yang telah
diserahterimakan sepenuhnya dari pihak perusahaan kepada pihak karyawan. Padahal
berdasarkan pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 maka Perjanjian
Bersama yang telah dibuat dan ditandatangani kedua belah pihak tersebut wajib
didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di Semarang.
Hal ini dimaksudkan agar Perjanjian Bersama yang telah didaftarkan tersebut
mendapatkan akta bukti bukti pendaftaran Perjanjian Bersama dan merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama tersebut. Dengan demikian Perjanjian
Bersama yang telah dibuat oleh Sunarsih sebagai karyawan dengan perusahaan belum
sempurna dan mempunyai kekuatan hukum yang kuat apabila ditinjau menurut UU
Nomor 2 Tahun 2004 karena Perjanjian Bersama yang telah dibuat oleh kedua belah
pihak belum didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan di
Semarang sehingga masih berpotensi menimbulkan permasalahan dikemudian hari
apabila salah satu pihak ada yang merasa dirugikan. Mekanisme lain penyelesaian
perselisihan pemutusan hubungan kerja di PT Intan Pariwara adalah dengan membuat
surat pernyataan pengunduran diri. Biasanya perusahaan ketika memanggil seorang atau
lebih karyawan yang bermasalah karena melakukan kesalahan berat, menggunakan uang
perusahaan untuk kepentingan pribadi disamping diminta untuk membuat pengakuan
atas pelanggarannya juga supaya membuat surat pernyataan pengunduran diri yang
seolah-olah atas kesadarannya ingin mengakhiri hubungan kerjanya, kemudian
perusahaan akan memproses lebih lanjut untuk diberikan hakhaknya yang meliputi uang
pesangon dan uang penghargaan masa kerja. Hak-hak tersebut akan diberikan kepada
karyawan yang bersangkutan untuk diminta kembali guna mengurangi jumlah uang
perusahaan yang pernah ia gunakan sekaligus sebagai angsuran atas kesanggupan
pengembalian uang perusahaan yang pernah dibuatnya. Perusahaan cenderung memilih
mekanisme penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja dengan jalan damai
atau kompromi walaupun sesungguhnya yang dilakukan oleh karyawan jelas-jelas
merugikan perusahaan dan dapat dikualifikasikan pelanggaran berat sebagaimana
dimaksud pasal 158 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003. Namun perusahaan yang
penting permasalahannya secepatnya selesai, tidak berlarut-larut dan segera ada upaya
5
pengembalian uangnya kembali bahkan bilamana perlu melibatkan anggota keluarga
(orang tua) untuk ikut bertanggung jawab agar uang perusahaan yang digunakan untuk
kepentingan pribadi segera kembali. Karyawan yang telah melakukan kesalahan berat
mestinya dapat diselesaikan melalui jalur hukum pidana. Namun perusahaan tidak
bersedia melakukannya kecuali apabila karyawan yang bersangkutan nyata-nyata tidak
bisa diajak kompromi secara musyawarah untuk mencapai mufakat penuh dengan
kekeluargaan, pasti akan diserahkan kasusnya kepada aparat penegak hukum setempat.
Mekanisme penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja karena melakukan
kesalahan berat melalui pengunduran diri adalah tidak tepat dan tidak sesuai dengan
mekanisme yang telah diatur di dalam UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan maupun UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan
hubungan industrial. Mekanisme pengunduran diri yang dilakukan oleh perusahaan
terhadap karyawan yang melakukan kesalahan berat bisa memberikan inspirasi kepada
karyawan lainnya untuk melakukan hal yang sama, menggunakan uang perusahaan yang
pada akhirnya hanya diminta membuat surat pernyataan kesanggupan mengembalikan
uang perusahaan yang pernah digunakan dan tetap mendapatkan uang pesangon dan
uang penghargaan masa kerja, berarti tidak ada pembelajaran sama sekali kepada
karyawan lainnya bahwa hal itu adalah pelanggaran berat yang dapat diproses melalui
hukum pidana. Surat pernyataan pengunduran diri yang dibuat oleh karyawan yang
melakukan pelanggaran berat itupun sesungguhnya bukan atas kemauannya sendiri
melainkan hasil kompromi yang dikehendaki oleh perusahaan sehingga dapat dikatakan
pengunduran diri tersebut adalah pengunduran diri tidak murni, sekedar mengikuti
kemauan perusahaan dan yang penting lolos dari jerat hukum pidana serta mendapatkan
hak-haknya.

6
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Mekanisme PPHI di luar pengadilan melalui bipartit dilakukan oleh para pihak yang
berselisih tanpa melibatkan pihak lain sebagai penengah, apabila tercapai kesepakatan
dibuat perjanjian bersama dan didaftarkan pada pengadilan hubungan industrial, apabila
tidak tercapai kesepakatan, maka salah satu pihak atau para pihak mencatatkan
perselisihan pada instansi ketenagakerjaan. Penyelesaian perselisihan melalui mediasi
dipimpin oleh seorang atau lebih mediator yang netral dari pejabat pemerintah sebagai
pihak penengah, apabila tercapai kesepakatan, dibuat perjanjian bersama dan didaftarkan
pada pengadilan hubungan industrial, apabila tidak tercapai kesepakatan maka mediator
akan mengeluarkan anjuran tertulis. Mekanisme PPHI di luar pengadilan melalui
konsiliasi ditengahi oleh konsiliator yang bukan berasal dari pegawai pemerintah, jika
tercapai kesepakatan, dibuat perjanjian bersama dan didaftarkan pada pengadilan
hubungan industrial. jika tidak tercapai kesepakatan Konsiliator akan mengeluarkan
anjuran tertulis. Apabila anjuran dari konsiliator tidak diterima, salah satu pihak dapat
mengajukan gugatan.
3.2 Saran
Kepada semua pihak yang terkait dalam hubungan industrial diharapkan dapat
menghindari terjadinya perselisihan yang timbul karena hubungan kerja. Apabila
perselisihan tidak dapat dihindari, hendaknya diselesaikan secara musyawarah mufakat
di tingkat bipartit, karena penyelesaian secara musyawarah adalah penyelesaian
perselisihan yang terbaik. Setiap perselisihan hubungan industrial sedapat mungkin
diselesaikan diluar pengadilan, melalui sarana, media dan mekanisme yang diatur dalam
UU Ketenagakerjaan pada umumnya dan khususnya UU tentang PPHI. Sangat
diharapkan kepada pemerintah khususnya yang membidangi penegakan hukum
ketenagakerjaan dalam mengambil putusan hendaknya benar-benar dapat berdiri tegak
dan bersikap netral untuk tidak memihak kepada salah satu pihak, dan diharapkan pula
secara khusus kepada pihak penengah (independen) baik yang berasal dari instansi
pemerintah (Mediator) maupun dari luar instansi pemerintah (Konsiliator atau Arbitrase)
yang diberi kewenangan menyelesaikan perselisihan hubungan industrial hendaknya
dapat berlaku adil dalam menengahi perselisihan dan mengambil keputusan.

7
DAFTAR PUSTAKA

Abby Tabrani. 2006. Hukum Perburuhan Industrial. Jakarta: YLBHI.

Husni Lalu. 2004. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui dan Di Luar
Pengadilan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi No.PER/31/MEN/XII/2008, tentang


Pedoman Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Perundingan Bipartit.

Rokhani Endang. 2004. Pengetahuan Dasar Hak-Hak Buruh. Jakarta: Yakoma PGI.

Trijono Rachmat. 2014. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan. Jakarta: Sinar Siranti.

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Jakarta, 2003 .

Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh .

Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Kerja di


Swasta, Jakarta, 2004.

https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/8528/Agus%20s%20komplit.pdf?
sequence=1&isAllowed=y

Anda mungkin juga menyukai