Anggota kelompok 2
Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas untuk menyelesaikan mata kuliah “Hukum
Acara Hubungan Industrial”. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak luput
dari bantuan rekan satu kelompok yang memberikan kritik dan saran sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.
Kami selaku penulis menyadari sepenuhnya bahwasanya makalah ini jauh dari kata sempurna
dikarenakan terbatasanya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh sebab itu kami
berharap kepada para pembaca agar kiranya bisa memberikan dukungan kepada kami berupa
kritik dan saran yang bersifat membangun. Agar kedepannya kami bisa membuat makalah yang
lebih baik lagi.
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................................................iii
BAB I.........................................................................................................................................................1
Pendahuluan..............................................................................................................................................1
1.1. Latar belakang...........................................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.....................................................................................................................1
1.3. Tujuan........................................................................................................................................2
BAB II........................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................3
2.1. Jenis Perselisihan dan Penyelesaian Hubungan Industrial....................................................3
2.2. Perselisihan pemutusan hubungan kerja.................................................................................9
BAB III.....................................................................................................................................................17
Penutup....................................................................................................................................................17
3.1. KESIMPULAN.............................................................................................................................17
Daftar Pustaka.........................................................................................................................................18
iii
BAB I
Pendahuluan
1.1. Latar belakang
Negara Indonesia sebagai negara yang berlandaskan hukum undang-undang dasar 1945
yang memiliki tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa.Pembangunan
perekonomian bangsa Indonesia sangat saat ini merupakan salah satu dampak dari
perkembangan industrial di Indonesia. Di sisi lain bangsa Indonesia juga menerapkan proses
demokratisasi dan transparansi dalam proses menuju masyarakat adil dan makmur yang merata,
materiil dan spiritual serta guna peningkatan kesejahteraan dan harkat martabat manusia, yang
berdasarkan pancasila dan undang-undang dasar 1945. Dari Pembangunan industrial tersebut
juga tidak terlepas dari permasalahan tenaga kerja yang menimbulkan konflik pada buruh, seperti
kasus konflik perburuhan, kekerasan, penipuan, upah tidak sesuai standar pemecatan yang
semena-mena, yang mana permasalahan terkait hubungan industrial semakin hari semakin
kompleks.
Kasus tersebut penting mendapatkan perspektif perlindungan hak-hak asasi tenaga kerja
dalam Undang-Undang yang tegas memberikan perlindungan bagi hak-hak tenaga kerja yang
mana merupakan tantangan tersendiri bagi pemerintah dan para pengusaha serta para pekerja.
Dalam hal ini merupakan wewenang dinas Ketenagakerjaan penyelesaian sengketa hubungan
industrial Yang pada umumnya diatur dalam undang-undang nomor 13 tahun 2003 Dan Pada
kesempatan kali ini penulis akan sedikit membahas mengenai perselisihan hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat
pekerja/buruh dalam satu perusahaan menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Dengan tujuan agar kita sama-sama mengetahui
apa itu perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan hubungan kerja dan perselisihan
antar Serikat pekerja atau buruh dalam satu perusahaan menurut undang-undang nomor 2 tahun
2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
1.3. Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Jenis Perselisihan dan Penyelesaian Hubungan Industrial
Dalam sebuah perusahaan, baik itu pengusaha maupun pekerja pada dasarnya memiliki
kepentingan atas kelangsungan usaha dan keberhasilan perusahaan. Meskipun keduanya
memiliki kepentingan terhadap keberhasilan perusahaan, tidak dapat dipungkiri
konflik/perselisihan masih sering terjadi antara pengusaha dan pekerja. Prinsip hubungan
industrial didasarkan pada persamaan kepentingan semua unsur atas keberhasilan dan
selangsungan perusahaan. Dengan demikian, hubungan industrial mengandung prinsip-prinsip
bahwa pengusaha dan pekerja, serta pemerintah dan masyarakat pada umumnya, sama-sama
mempunyai kepentingan atas keberhasilan dan kelangsungan perusahaan. Perusahaan merupakan
sumber penghasilan bagi banyak orang. Pengusaha dan pekerja mempunyai hubungan fungsional
dan masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda dalam pembagian kerja atau pembagian
tugas
Perselisihan dalam hubungan industrial merupakan hal yang kerap terjadi dalam dunia.
Perselisihan hubungan industrial menurut UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) ialah perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh. Hubungan industrial yang merupakan keterkaitan kepentingan antara
pekerja dengan pengusaha, berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat, bahkan perselisihan
antara kedua belah pihak.1
1
Penjelasan Umum Undang–Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
3
berpokok pangkal karena adanya perasaan-perasaan kurang puas tersebut. Pengusaha
memberikan kebijaksanaan yang menurut pertimbangannya sudah mantap dan akan diterima
oleh para pekerja.2 Pasal 2 UU PPHI mengatur empat jenis perselisihan hubungan industrial,
yaitu perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Berikut pengertian
dan perbedaannya yaitu:
1. Perselisihan hak ialah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat
adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-
undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Hak
yang dimaksud dalam perselisihan ini adalah hak normatif, yang sudah ditetapkan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama atau peraturan
perundang-undangan. Perselisihan ini dapat terjadi ketika misalnya pekerja menolak gaji
yang dibe rikan oleh perusahaan karena masing-masing pihak mempunyai definisi atas
gaji yang berbeda dari perjanjian kerja yang telah dibuat.
2. Perselisihan kepentingan Adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena
tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat
kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama. Misalnya adalah jika perusahaan mengubah isi dari perjanjian kerja tanpa
adanya kesepakatan dari karyawan.
3. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak
adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh
salah satu pihak. Kasus yang sering terjadi adalah ketika perusahaan memutuskan
hubungan kerja secara sepihak dengan pekerjanya dan pekerja tersebut tidak setuju
dengan keputusan perusahaan tersebut.
4. Perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan adalah perselisihan antar serikat
pekerja dalam satu perusahaan karena tidak adanya persesuaian paham mengenai
keanggotaan pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikat pekerjaan.
Undang-undang No.2 Tahun 2004 memberikan beberapa pilihan atau alternatif untuk
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, yaitu dapat melakukan perundingan secara
2
Gunawi Kartasapoetra, et. al., Hukum Perburuhan di Indonesia Berlandaskan Pancasila, Sinar Grafika Persada,
Jakarta, 1994, hlm. 246-247.
4
bipatrit, tripatrit, dan dapat pula dilakukan melalui pengadilaan hubungan industrial (PHI). Pada
dasarnya, perundingan tripatrit dilakukan dengan melibatkan orang ketiga melalui mediasi,
konsiliasi dan arbitrase atau lazim disebut sebagai tahap di luar pengadilan atau non litigasi.
Apabila penyelesaian perundingan secara bipatrit dan tripatrit gagal dilaksanakan atau
perundingan tidak mencapai kata sepakat, baru perkara perselisihan hubungan industrial tersebut
dapat dilakukan melalui pengadilan hubungan industrial (PHI) atau melalui jalur secara litigasi
(Mulyasi. L, 2011).
1. Penyelesaian Melalui Bipatrit Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (10) UU No.2 Tahun 2004
menyatakan bahwa perundingan bipatrit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau
serikat pekerja/buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial. Bipatrit merupakan langkah pertama untuk menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) UU No.2 Tahun 2004. Jadi dari beberapa ketentuan
diatas dapat dipahami bahwa apabila terjadi perselisihan hubungan industrial maka wajib
terlebih dahulu diupayakan penyelesaiannya secara bipatrit. Tetapi apabila secara bipatrit
gagal maka sesuai Pasal 4 ayat (1) UU No.2 Tahun 2004 : “Dalam hal perundingan bipatrit
gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), salah satu atau kedua belah pihak
mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian
melalui perundingan bipatrit telah dilakukan.” Lebih dari itu sesuai Pasal 4 ayat (2) UU No.2
Tahun 2004 apabila bukti-bukti tidak dilampirkan maka dinas yang terkait wajib
mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak
tanggal diterimanya pengembalian berkas. Penyelesaian perselisihan secara bipatrit tersebut
dimaksudkan untuk mencari jalan keluar atas perselisihan hubungan industrial dengan cara
musyawarah untuk mencapai kata mufakat secara internal, dalam arti kata tidak melibatkan
pihak lain, di luar pihak-pihak yang berselisih. Penyelesaian perselisihan secara bipatrit ini
harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal dimulainya perundingan.
Apabila dalam 30 hari salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan
perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, perundingan bipatrit dianggap gagal. Tetapi
apabila perundingan bipatrit tersebut dapat mencapai kesepakatan penyelesaian, dibuat
perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan mengikatdan menjadi hukum
serta wajib dilaksanakan oleh para pihak. Perjanjian bersama tersebut wajib didaftarkan oleh
5
para pihak yang melakukan perjanjian dalam PHI pada pengadian negeri di wilayah para
pihak mengadakan perjanjian bersama.
2. Penyelesaian Melalui Triparit Pada dasarnya, perundingan tripatrit merupakan perundingan
yang melibatkan pihak ketiga yang netral. Dalam UU No.2 Tahun 2004 pihak ketiga yang
dilibatkan untuk menyelesaikan suatu perselisihan hubungan industrial tersebut adalah
mediator, atau kosiliator, atau arbiter. Upaya penyelesaian secara tripatrit ini baru dapat
dilakukan apapbilaa usaha tripatrit telah dilakukan. Adapun proses penyelesaian secara
tripatrit melalui mediasi, konsiliasi dan arbitrase sebagaimana diuraikan secara lebih
terperinci dibawah ini :
a. Penyelesaian Melalui Mediasi Mediasi ialah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan PHK, dan perselisihan antar serikat pekerja atau serikat buruh
hanya dalam satu perusahaan, melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang mediator
yang netral, sebagaimana tercantum dalam pasal 1 angka 1 UUPPHI). Penyelesaian
melalui mediasi pada dasasrnya mempunyai karakteristik yang bersifat unggulan sebagai
berikut (Mulyadi. L, 2011) :
1. Voluntary
Keputusan untuk bermediasi diserahkan kepada kesepakatan para pihak sehingga
dapat diciptakan suatu putusan yang merupakan kehendak dari para pihak. Karena
dikehendaki para pihak, putusan yang dihasilkan bersidat win-win solution.
2. Informal dan Fleksibel
Bila diperintahkan, para pihak sendiri dengan bantuan mediator dapat mendesain
sendiri prosedur, tata cara, prosedur maupun mekanisme sangat berbeda jauh antara
litigasi dengan mediasi.
3. Interested based
Di dalam mediasi tidak dicari siapa yang salah atau siapa yang benar, tetapi yang
lebih diu tamakan adalah bagaimana mediasi tersebut menghasilkan dan mencapai
kepentingan masing-masing pihak.
4. Future Looking Karena hakikat mediasi lebih menjaga kepentingan masing-masing
pihak, sehingga lebih menekankan untuk menjaga hubungan para pihak yang
bersengketa ke depan dan tidak berorientasi ke masa lalu.
6
5. Parties oriented
Orientasi mediasi yang bersifat prosedur yang informal, para pihak lebih aktif
berperan dalam proses mediasi tanpa tergantung pada peran pengacara.
6. Parties control
Mediator tidak dapat memaksakan kehendak atau pendapatnya untuk mencapai
kesepakatan karena penyelesaian sengketa melalui mediasi merupakan keputusan
dari pihak-pihak itu sendiri.
Pemerintah dapat mengangkat seorang Mediator yang bertugas melakukan
Mediasi atau Juru Damai yang dapat menjadi penengah dalam menyelesaikan
sengketa antara Buruh dan Majikan. Seorang Mediator yang diangkat tersebut
mempunyai syarat-syarat sebagaimana dituangkan dalam Pasal 9 Undang-undang
No.2 Tahun 2004. Pengangkatan dan akomodasi mediator ditetapkan oleh Menteri
Tenaga Kerja. Bila telah tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan melalui
Mediator tersebut dibuatkan “perjanjian bersama” yang ditandatangani para pihak
dan mediator tersebut, kemudian perjanjian tersebut didaftarkan di Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat. Tetapi apabila tidak tidak
terjadi kesepakatan antara pihak bersengketa maka dapat dilakukan mediasi. Mediasi
dapat dikatakan sebagai salah satu upaya dari pihak yang dapat dilakukan oleh para
pihak, sebelum sampai ke pengadilan. Penyelesaian masalah di tahap mediasi sangat
cepat tidak lebih dari 30 hari kerja, dan mediator wajib untuk memulai sidang
mediasi selambat-lambatnya 7 hari sejak dilimpahkan (pasal 10 dan 15 UUPHI).
7
diprakarsai oleh Konsiliator tersebut dapat didaftarkan didepan pengadilan Negeri
setempat. Demikian juga eksekusinya dapat dijalankan di Kepaniteraan Pengadilan
Negeri setempat tesebut.
Kompetensi absolut PHI yang meliputi empat macam perselisihan tersebut menurut Wijayanto
Setiawan menjadikan pertentangan dengan maksud dibuatnya undang-undang. Karakteristik
perselisihan perburuhan hanyalah 2 (dua) macam, yakni perselisihan hak (rechtsgeschil, conflick
of right) dan perselisihan kepentingan (belangengeschillen, conflick of interest).3
Penyelesaian perselisihan melalui jalur pengadilan dapat dilakukan apabila proses mediasi dan
konsiliasi mengalami kegagalan karena tidak adanya kesepakatan diantara para pihak yang
3
Wijayanto Setiawan, Pengadilan Perburuhan Indonesia, Laras, Sidoarjo: 2007, hlm. 196.
8
bersengketa. Gugatan diajukan dengan melampirkan risalah mediasi atau konsiliasi dan anjuran
tertulis dari mediator atau konsiliator. Proses beracara di Pengadilan Hubungan Industrial
menggunakan Hukum Acara Perdata.4
Salah satu jenis perselisihan hubungan industrian adalah perselisihan pemutusan hubungan
kerja. Pemutusan hubungan kerja ialah pengakhiran hubungan kerja karena suatu suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha. 5
Imam Soepomo mengatakan bahwa pemutusan hubungankerja bagi buruh merupakan permulaan
dari segala pengakhiran, permulaan dari berakhirnya mempunyai pekerjaan, permulaan dari
berakhirnya kemampuan membiayai keperluan hidup sehari-hari baginya, keluarganya,
permulaan dari berakhirnya kemampuan menyekolahkan anak-anak dan sebagainya.6 Dalam
aturan perburuhan, alasan yang mendasari PHK dapat ditemukan dalam pasal 154A ayat (1) UU
No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003) jo. Undang-undang No. 11 tahun
2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/2021) dan peraturan pelaksananya yakni pasal 36 Peraturan
Pemerintah No. 35 tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu
Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP 35/2021).
Ketentuan dalam aturan perburuhan Nasional pada prinsipnya mengenai PHK menyatakan
bahwa berbagai pihak dalam hal ini pengusaha, pekerja, serikat pekerja, dan pemerintah harus
mengupayakan agar tidak terjadi PHK (pasal 151 ayat (1) UU 13/2003 jo. pasal 37 ayat (1) PP
35/2021)
Lebih lanjut PP 35/2021 pada Bab V, khusus mengatur pemutusan hubungan kerja, dengan
rincian:
1. Pasal 36 mengenai berbagai alasan yang mendasari terjadinya PHK. Alasan PHK
mendasari ditentukannya penghitungan hak akibat PHK yang bisa didapatkan oleh
pekerja.
4
Https://learninghub.id/belajar-memahami-penyelesaian-perselisihan-hubungan-industrial-melalui-pengadilan-
hubungan-industrial/
5
Abdul khakim, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia berdasarkan UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung,hlm 108.
6
Imam Soepomo, Hukum perburuhan Bidang Pelaksanaan Hubungan Kerja, Djambatan, 1983, hlm 115-116.
9
2. Pasal 37 sampai dengan Pasal 39 mengenai Tata Cara Pemutusan Hubungan Kerja sejak
tahap pemberitahuan PHK disampaikan hingga proses PHK di dalam perusahaan
dijalankan. Lebih lanjut bila PHK tidak mencapai kesepakatan tahap berikutnya
dilakukan melalui mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Pasal 40 sampai dengan Pasal 59 mengenai Hak Akibat Pemutusan Hubungan Kerja
yakni berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, dan
uang pisah. Penghitungannya berdasarkan alasan/dasar dijatuhkannya PHK.
a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama
waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus menerus;
d. pekerja/buruh menikah;
10
i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin,
kondisi fisik, atau status perkawinan;
j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena
hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya
berlum dapat dipastikan.
Salah satu jenis perselisihan hubungan industrian adalah perselisihan pemutusan hubungan
kerja. Pemutusan hubungan kerja ialah pengakhiran hubungan kerja karena suatu suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan 5 kewajiban antara pekerja dan
pengusaha.7
PHK demi hukum dalam praktek dan secara yuridis disebabkan oleh :
a. Sebelumnya semua pihak harus melakukan upaya untuk menghindari terjadinya PHK.
b. Bila tidak dapat dihindari, pengusaha dan serikat pekerja mengadakan perundingan.
c. Jika perundingan berhasil, buat persetujuan bersama.
d. Bila tidak berhasil, pengusaha mengajukan permohonan penetapan disertai dasar dan
alasan-alasannya kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
7
Abdul khakim, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia berdasarkan UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung,hlm 108.
11
e. Selama belum ada penetapan/putusan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial, kedua pihak tetap melaksanakan segala kewajiban masing-masing.
Khusus mengenai penanganan PHK yang disebabkan keadaan perusahaan, seperti resesi
ekonomi, rasionalisasi, sebelumnya melakukan upaya :
b. Bila upaya di atas belum berhasil, dapat dilakukan pengurangan jam kerja.
Di dalam PHK ada beberapa hak yang diterima oleh pekerja diantaranya:
a. Uang pesangon ialah pembayaran berupa uang dari pengusaha kepada pekerja sebagai
akibat adanya PHK.
b. Uang penghargaan masa kerja, ialah uang jasa sebagai penghargaan pengusaha kepada
pekerja yang dikaitkan dengan masa kerja.
c. Ganti kerugian ialah pembayaran berupa uang dari pengusaha kepada pekerja sebagai
pengantian istirahat tahunan, istirahat panjang, biaya perjalanan ke tempat dimana
pekerja diterima bekerja, fasilitaspengobatan, fasilitas perumahan, dll.
Apabila hak-hak tersebut di atas tidak diberikan oleh pengusaha atau tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, maka akan terjadi perselisihan pemutusan hubungan kerja
antara pekerja dengan pengusaha. hal ini karena pemutusan hubungan kerja bagi pihak
pekerja/buruh akan member pengaruh psikologis, ekonomis, financial sebab:
12
a. Dengan adanya pemutusan hubungan kerja, pekerja telah kehilangan mata pencaharian.
b. Untuk mencari pekerjaan yang baru sebagai penggantinya harus mengeluarkan biaya.
c. Kehilangan biaya hidup untuk diri dan keluarganya sebelum mendapat pekerjaan yang
baru sebagai penggantinya.8
Imam Soepomo mengatakan bahwa pemutusan hubungan kerja bagi buruh merupakan
permulaan dari segala pengakhiran, permulaan dari berakhirnya mempunyai pekerjaan,
permulaan dari berakhirnya kemampuan membiayai keperluan hidup sehari-hari baginya,
keluarganya, permulaan dari berakhirnya kemampuan menyekolahkan anak-anak dan
sebagainya.9
Pemutusan hubungan kerja secara teoritis terbagi dalam 4 macam, yaitu :
Hak berserikat bagi pekerja merupakan perwujudan dari hak-hak dasar manusia
sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke-4. Hak
berserikat dalam hukum ketenagakerjaan secara penuh memberikan kebebasan kepada pekerja
untuk berorganisasi dan membentuk serikat-serikat pekerja. Pembentukan dan kegiatan serikat
pekerja dalam hubungan industrial mendapat pengaturan secara nasional dan internasional, baik
dalam hukum ketenagakerjaan maupun dalam berbagai konvensi perburuhan internasional. 10
Perselisihan antar serikat pekerja merupakan perselisihan antara serikat pekerja yang terdapat di
dalam satu perusahaan. Jadi dalam suatu perusahaan terdapat kemungkinan memiliki lebih dari
8
Zaeny Asyhadie, Pemutusan Hubungan Kerja dalam buku Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2004, hlm 174
9
Imam Soepomo, Hukum perburuhan Bidang Pelaksanaan Hubungan Kerja, Djambatan, 1983, hlm 115-116.
10
Bahder Johan Nasution, “Fungsi Kebebasan Berserikat Bagi Pekerja Dalam Hubungan Industrial Pancasila”, Jurnal
Inovatif, Volume VIII Nomor I Januari 2015, hlm. 4.
13
satu serikat pekerja, hal ini dikarenakan untuk membentuk suatu serikat pekerja tidak
memerlukan anggota yang banyak. Sebagaimana ditentukan dalam Pasl 5 ayat 2 yang
menyatakan “Serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekuran-kurangnya 10 orang
pekerja/buruh”. Dari ketentuan syarat di atas maka sudah barang tentu besar kemungkinan dalam
suatu perusahaan yang memiliki ratusan atau ribuan akan terdapat beberapa serikat
pekerja/serikat buruh yang bernaung dibawah “bendera” yang berbeda. Penyelesaian perselisihan
pada dasarnya dapat diselesaikan oleh para pihak sendiri, dan apabila para pihak tidak dapat
menyelesaikannya maka penyelesaiannya dapat menghadirkan pihak ketiga, baik yang
disediakan oleh negara atau para pihak sendiri. Dalam masyarakat modern yang diwadahi
organisasi kekuatan publik berbentuk negara, forum resmi yang disediakan oleh negara untuk
penyelesaian sengketa atau perselisihan biasanya adalah lembaga peradilan.11
Perselisihan-perselisihan hubungan industrial tersebut oleh para pihak haruslah dilakukan agar
tidak terjadinya pelanggaran atas hak orang lain, penyelesaian dapat dilakukan melalui lembaga-
lembaga berikut:
a. Lembaga bipartit.
b. Lembaga mediasi.
c. Lembaga konsiliasi.
d. Lembaga arbitrase.
Upaya penyelesaian melalui lembaga bipartit merupakan hal yang wajib dilakukan sebelum
ditempuh upaya penyelesaian tahap berikutnya. Hal ini dapat diketahui melalui Pasal 23 ayat 1
11
Suherman Toha dan Tim, Laporan Akhir Penelitian Hukum Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial, dan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan HAM RI, Jakarta: 2010, hlm. 2.
14
Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yang
menyatakan bahwa: “Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya
terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat”.
Apabila penyelesaian perselisihan hubungan industrial tidak dapat diselesaikan melalui lembaga
bipartit maka para pihak yang berselisih dapat mengajukan penyelesaian melalui lembaga
mediasi, lembaga mediasi merupakan lembaga yang bersifat wajib apabila penyelesaian melalui
lembaga bipartit gagal. Mediasi merupakan penyelesaian perselisihan hubungan industrial
dengan bantuan pihak ketiga yaitu mediator, yakni pegawai instansi pemerintah yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Lembaga mediasi adalah bentuk baru dari pegawai perantara, yang berperan dan fungsinya wajib
mengeluarkan anjuran bilamana upaya penyelesaian melalui musyawarah tidak tercapai.
Selain melalui lembaga mediasi, para pihak dapat mengajukan penyelesaian melalui lembaga
konsiliasi dan lembaga arbitrase yang merupakan lembaga pilihan, maksudnya apabila
penyelesaian melalui musyawarah atau bipartit tidak tercapai kesepakatan maka pihak-pihak
yang berselisih dapat memilih untuk menyelesaikan perselisihan tersebut melalui lembaga
konsiliasi atau arbitrase. Konsiliasi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 No. 13 Undang-
undang No.2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menyatakan
bahwa: “Konsiliasi hubungan industrial yang selanjutnya konsiliasi adalah penyelesaian
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antara
serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi
oleh seseorang atau lebih konsiliator netral. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial
melalui lembaga arbitrase harus dilakukan dengan kesepakatan pihak-pihak yang berselisih
secara tertulis untuk menyelesaikan melalui lembaga arbitrase. Perlunya persetujuan tertulis
dalam hal ini penyelesaian melalui lembaga arbitrase dikarenakan yang dikeluarkan oleh
arbitrase untuk menyelesaikan perselisihan bukan hanya sebuah anjuran, akan tetapi sebuah
putusan yang mengikat dan final, dan berkaitan dengan masalah yuridiksi, apabila telah dipilih
penyelesaian melalui lembaga arbitrase maka pengadilan tidak memiliki kewenangan untuk
menyelesaikan perselisihan tersebut.
15
Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari pihak yang berselisih untuk menyerahkan
penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat
final”.
Menurut ketentuan Pasal 1 di atas maka arbitrase hubungan industrial sebagai salah satu lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial tidak dapat ditempuh oleh setiap perselisihan
hubungan industrial, karena penyelesaian melalui arbitrase hanya dapat dilakukan terhadap
perselisihan sebagai berikut:
Permohonan kasasi harus disampaikan secara tertulis melalui Sub Kepaniteraan Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat, dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari
kerja. Sebenarnya keberadaan arbitrase di Indonesia sangat menarik untuk dikaji karakternya,
karena meskipun sering disebut sebagai proses ajudikasi, namun sebenarnya merupakan proses
penggabungan antara mediasi dan ajudikasi. Sifat ajudikasi terlihat dari kewenangan arbiter
untuk menetapkan keputusan yang bersifat mengikat bagi kedua belah pihak yang berselisih.
Sifat mediasi terlihat meskipun putusan arbitrase bersifat mengikat dan final, namun putusan
tersebut tetap berada ditangan para pihak yang berselisih berdasarkan perjanjian yang dibuat
sebelum proses arbitrase dimulai.12
12
Ibid, hlm. 120.
16
BAB III
Penutup
3.1. KESIMPULAN
UU Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industria
lUndang undang ini mengatur tentang Perselisihan Hubungan Industrial yakni perbedaan
pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul
karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap
ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusa-haan, atau
perjanjian kerja bersama.Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam
hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau
perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang
timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang
dilakukan oleh salah satu pihak. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah
perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya
dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan,
pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan dengan penyelesaian oleh badan hukum
yang berwenang yaitu dinas ketenagakerjaan penyelesaian sengketa hubungan industial dengan
metode metode yang telah kami jelaskan diatas.
17
Daftar Pustaka
Abdul khakim, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia berdasarkan UndangUndang Nomor
13 Tahun 2003, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,hlm 108.
Bahder Johan Nasution, “Fungsi Kebebasan Berserikat Bagi Pekerja Dalam Hubungan
Industrial Pancasila”, Jurnal Inovatif, Volume VIII Nomor I Januari 2015, hlm. 4.
Suherman Toha dan Tim, Laporan Akhir Penelitian Hukum Tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial, dan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan
HAM RI, Jakarta: 2010, hlm. 2
Wijayanto Setiawan, Pengadilan Perburuhan Indonesia, Laras, Sidoarjo: 2007, hlm. 196.
18