Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH HUKUM KETENAGAKERJAAN

“Prosedur Dan Tata Cara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial”

Oleh:
Kelompok 4

Tegar Rahman Baatana (1510111072)

Farhanda Fikri (18101111320)

Alfindo Pratama (1810112049)

Mirna Desrita (1810112110)

Rafki Rahmat Sepdian (1810112162)

Ilhazah Hilalhamda (1810112181)

Nabil Wiranda (1810112195)

Nopria Wardani (1810113033)

Adjietama Ghiffari (1810113052)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, ats berkah dan rahmat-Nyalah
penulis dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah hukum
ketenagakerjaan dengan judul “ Prosedur dan Tata Cara Penyelesaian Hubungan Industrial”.

Pertama-tama penulis ingin mengucapkan terimakasih kedapa dosen pengampu mata kuliah
ketenagakerjaan ibuDarnis SH. MH. berkat beliau kami dipercaya untuk menyampaikan materi serta
menyusun makalah tentang pemerikasaan setempat dan peradilan niaga dalam hukum ketenagakerjaan.

Dalam makalah ini kelompok kami akan membahas tentang prosedur dan tata cara penyelesaian
hubungan industrial dalam hukum ketenagakerjaan,pemeriksaan makalah ini bermanfaat dalam
melakukan pemahaman pada mata kuliah hukum acara perdata.

Tentunya makalah ini sangat jauh dari kata sempurna, untuk itu kepada dosen pengampu dan
teman-teman kami minta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah selanjutnya.

Padang, 11 November 2019

KELOMPOK 4
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................................

DAFTAR ISI.................................................................................................................................................

BAB 1 PENDAHULUAN.............................................................................................................................

A. Latar Belakang...................................................................................................................................

B. Rumusan Masalah..............................................................................................................................

C. Tujuan................................................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................................................

A. Pengertian dan dasar Hukum Hubungan Industrial............................................................................

B. Prinsip-prinsip penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.........................................................

C. Objek dan Subjek Perselisihan Hubungan Industrial.........................................................................

D. Penyelesaian Hubungan Industrial di Luar pengadilan......................................................................

E. Sanksi Administratif dan Ketentuan Pidana.......................................................................................

BAB III PENUTUP.......................................................................................................................................

A. Kesimpulan........................................................................................................................................

B. Saran..................................................................................................................................................
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Permasalahan tenaga kerja dari tahun ketahun menarik perhatian banyak pihak. Permasalahan
tenaga kerja yang menimbulkan konflik-konflik pada buruh, seperti kasus konflik perburuhan,
kekerasan, penipuan, pemecatan yang semena-mena, upah yang tidak sesuai standar, semakin hari
semakin kompleks. Kasus tersebut penting mendapatkan perspektif perlindungan hak-hak asasi
tenaga kerja dalam Undang-Undang yang tegas memberikan perlindungan bagi hak-hak tenaga kerja.

Timbulnya perbedaan pendapat atau pandangan maupun pengertian antar pihak pekerja dan
pengusaha terhadap hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan kondisi kerja, akan menimbulkan
Perselisihan Hubungan Industrial, bahkan sampai akhirnya terjadi Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK). Bahwa masalah ketenagakerjaan tidak semata-mata bersifat perdata, tetapi juga mempunyai
sifat pidana, bahkan ada segi politik praktisnya. Hal ini dapat kita lihat dari peraturan-peraturan
ketenagakerjaan, dimana dibuat ancaman. Hukuman bagi yang melanggar peraturan tersebut, dimana
masalah ketenagakerjaan sangat sensitive baik nasional bahkan internasional.

Terjadinya perselisihan diantara manusia merupakan masalah yang lumrah karena telah menjadi
kodrat manusia itu sendiri. Oleh karena itu, yang penting dilakukan adalah cara mencegah atau
memperkecil perselisihan tersebut atau mendamaikan kembali mereka yang berselisih. Perselisihan
perburuhan juga terjadi sebagai akibat wanprestasi yang dilakukan pihak buruh atau oleh pihak
pengusaha. keinginan dari salah satu pihak (umumnya pekerja) tidak selalu dapat dipenuhi oleh pihak
lainnya (pengusaha), demikian pula keinginan pengusaha selalu dilanggar atau tidak selalu dipenuhi
oleh pihak buruh atau pekerja.

Perselisihan Hubungan Industrial menurut Undang-Undang Tentan Penyelesaian Perselisihan


Hubungan Industrial No 2 Tahun 2004 Pasal 1 angka 1 yaitu: “Perbedaan pendapat yang
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau
Serikat Pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan
antar Serikat Pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan”.
B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dan dasar Hukum Hubungan Industrial?


2. Bagaimana prinsip-prinsip penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial?
3. Apa yang menjadi Objek dan Subjek Perselisihan Hubungan Industrial?
4. Bagaimanna penyelesaian Hubungan Industrial di Luar pengadilan?
5. Apa saja yang menjadi sanksi Administratif dan Ketentuan Pidana perselisihan hubungan
industrial?
C. Tujuan

Makalah in ditulis untuk penjelasan singkat mengenai prosedur dan tata cara penyelesaian
perselisihan dalam hubungan industrial yang semakin marak terjadi pada massa searang ini. Makalah
ini berisikan penjelasan mengenai pengertian hubungan industrial itu sendiri yang mana mepunyai
dasar hukum yang berkaitan dengan penyelesaian perselisahan hubungan industrial. Dan memaparkan
bagaimana prosedur dari penyelesaian perseisihan hubungan industrial baik dalam lingkungan
peradilan maupun di luar peradilan tersebut. Di makalah ini juga terdapat hal yang menjelaskan
tentang sanksi administrative dan ketentuan pidana perselisihan hubungan industrial.

Dan makalah ini tak lain tujuannya adalah sebagai penambahan acuan atau sekedar penambahan
wawasan dari pembaca agar mengetahui sedikit hal tentan prosedur dan tata cara penyelsaian pada
perselisihan dalam hubungan industrial.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Hubungan Industrial


Pengertian hubungan industrial berdasarkan Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) adalah suatu sistem hubungan yang berbentuk
antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha,
pekerja/buruh dan pemerintah yang berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Pasal 103 UU Ketenagakerjaan mengatur bentuk-bentuk sarana hubungan industrial adalah:

1. Serikat pekerja/serikat buruh

Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja/buruh baik di
perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan
bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh
serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.

2. Organisasi pengusaha

Sama halnya dengan pekerja, para pengusaha juga mempunyai hak dan kebebasan untuk membentuk atau
menjadi anggota organisasi atau asosiasi pengusaha. Asosiasi pengusaha sebagai organisasi atau
perhimpunan wakil pimpinan perusahaan-perusahaan merupakan mitra kerja serikat pekerja dan
Pemerintah dalam penanganan masalah-masalah ketenagakerjaan dan hubungan industrial. Asosiasi
pengusaha dapat dibentuk menurut sektor industri atau jenis usaha, mulai dari tingkat lokal sampai ke
tingkat kabupaten, propinsi hingga tingkat pusat atau tingkat nasional.

3. Lembaga kerja sama bipartit

Lembaga kerja sama bipartit adalah forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh yang sudah tercatat instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau
unsur pekerja/buruh. Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/buruh atau
lebih wajib membentuk lembaga kerja sama bipartit.

4. Lembaga kerja sama tripartit

Lembaga kerja sama tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang masalah
ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh
dan pemerintah. Lembaga Kerja sama Tripartit terdiri dari:
— Lembaga Kerja sama Tripartit Nasional, Provinsi dan Kabupataen/Kota; dan

— Lembaga Kerja sama Tripartit Sektoral Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.

— Peraturan perusahaan;

Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-
syarat kerja dan tata tertib perusahaan. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-
kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan
oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk.

5. Perjanjian kerja bersama

Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat
pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau
perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.

6. Peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan

Peraturan-perundangan ketenagakerjaan pada dasarnya mencakup ketentuan sebelum bekerja, selama


bekerja dan sesudah bekerja. Peraturan selama bekerja mencakup ketentuan jam kerja dan istirahat,
pengupahan, perlindungan, penyelesaian perselisihan industrial dan lain-lain.

7. Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial

Perselisihan hubungan industrial diharapkan dapat diselesaikan melalui perundingan bipartit, Dalam hal
perundingan bipartit gagal, maka penyelesaian dilakukan melalui mekanisme mediasi atau konsiliasi. Bila
mediasi dan konsiliasi gagal, maka perselisihan hubungan industrial dapat dimintakan untuk diselesaikan
di Pengadilan Hubungan Industrial.

Peraturan yang mengatur mengenai Hubungan Industrial terdapat dalam Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial.dalam pasal 1 angka 1 UU No. 2 Tahun
2004”perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapatyang mengakibatkan pertentangan
antara pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan
mengenai hak.

b. Prinsip Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Undang-undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sebagaimana diatur dalam


Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, penyelesaian perselisihan hubungan
industrial menganut prinsip-prinsip dalam menyelesaian perselisihan menganut beberapa prinsip
penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagai berikut:
1. Musyawarah Untuk Mufakat
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial dilakukan melalui musyawarah untuk mufakat
secara bipartit adalah wajib sebelum menempuh penyelesaian lebih lanjut. Dan begitu pula dalam
penyelesaian melalui mekanisme diluar pengadilan adalah mengutamakan musyawarah untuk
mufakat.

2. Bebas Memilih Lembaga Penyelesaian Perselisihan


Para pihak untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial yang mereka hadapi berdasarkan
kesepakatan bebas memilih penyelesaian melalui lembaga Arbitrase, Konsiliasi ataupun Mediasi, untuk
menyelesaikan perselisihan yang mereka hadapi sebelum melakukan gugatan melalui
Pengadilan Hubungan Industrial.

3. Cepat, Adil dan Murah


Penyelesaian perselisihan melalui lembaga Pengadilan Hubungan Industrial menganut prinsip
cepat, adil dan murah. Hal tersebut dapat dilihat dari segi waktu penyelesaian yaitu: bipartit 30 hari, bila
memilih salah satu dari lembaga Arbitrase, Konsiliasi atau Mediasi, dimana melalui lembaga tersebut
waktu penyelesaiannya 30 hari kerja. Apabila kedua belah pihak ataupun salah satu tidak dapat menerima
anjuran Konsiliasi atau Mediasi dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Hubungan Industrial.
Waktu penyelesaian pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah 50 hari kerja dimana
untuk perselisihan kepentingan dan antar serikat pekerja/serikat buruh putusan Pengadilan Hubungan
Industrial adalah final. Sementara perselisihan hak dan PHK para pihak atau salah satu pihak
dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung apabila tidak dapat menerima putusan Pengadilan
Hubungan Industrial. Mahkamah Agung mengambil keputusannya paling lama 30 hari kerja.
Disamping dari segi waktu, Undang-undang memberikan kesempatan kepada para pihak untuk meminta
putusan sela dan pemeriksaan acara cepat agar pemeriksaan sengketa dipercepat. Prinsip adil, tercermin
dari penyelesaian yang dilakukan melalui musyawarah dan serta bila dilihat dari segi putusan Pengadilan
Perselisihan Hubungan Industrial dan Mahkamah Agung yang diputus oleh Hakim Majelis terdiri dari
Hakim Karir dan Hakim Ad-Hoc diharapkan dalam mengambil keputusan mencerminkan rasa keadilan.
Prinsip murah, bahwa beracara di Pengadilan Hubungan Industrial pihak yang berperkara tidak dikenakan
biaya perkara hingga pada pelaksanaan eksekusi yang nilai gugatannya dibawah Rp. 150.000.000,- tidak
adanya upaya banding kepada Pengadilan Tinggi serta pembatasan perselisihan hubungan industrial yang
dapat dilakukan Kasasi ke Mahkamah Agung.
c. Subjek dan Objek Perselisihan Hubungan Industrial

1. Subjek Hukum Hubungan Industrial

1)Pekerja/ Buruh
pekerja/karyawan/buruh atau pegawai itu mencakup pegawai swasta maupun pegawai negeri
(sipil dan militer). Akan tetapi dalam praktik dibedakan pekerja/buruh dengan pegawai negeri. Istilah
buruh sangat populer dalam dunia perburuhan/ ketenagakerjaan, selain istilah ini sudah dipergunakan
sejak lama bahkan mulai dari zaman penjajahan Belanda juga karena peraturan perundang-undangan yang
lama (Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja)
menggunakan istilah buruh. Namun setelah Undang-undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan
menggunakan istilah “pekerja/buruh” begitu pula dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menggunakan istilah pekerja/buruh.
Dalam undang-undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 1 angka 2 disebutkan bahwa : “Tenaga kerja
adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan, guna menghasilkan barang atau jasa untuk
memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat”.
Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam
bentuk lain. Pasal 6 “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi
dari pengusaha”
Peran buruh pada hubungan industrial sangatlah kompleks, dimana seorang buruh menjadi subjek
dalam pemenuhan hak ata kewajiban si pengusaha. Jadi, pekerja adalah bagian dari tenaga kerja. dalam
hal ini pekerja adalah orang yang sudah mendapat pekerjaan tetap, hal ini karena tenaga kerja meliputi
pula orang pengangguran yang mencari pekerjaan (angkatan kejra), ibu rumah tangga dan orang lain yang
belum atau tidak mempunyai pekerjaan tetap.

2)Pengusaha

Dalam UU no. 13tahun 2003


Pengusaha adalah:
Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik
sendiri;
Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan
bukan miliknya;Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di indonesia mewakili
perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah indonesia.
Pengusaha dalam subjek HI juga termasuk dengan asosiasi, federasi dan konfederasi perusahaan. Fungsi
dari asosiasi ialah untuk mengembangkan usaha pemerintah, menjalin hubungan kerja dll. Tugas
pengusaha ialah memenuhi hak-hak seorang buruh. Dan mensejahterakan buruh secara demokratis.

3)Pemerintah
Fungsi pemerintah yakni menegakkan kebenaran, mengawasi perusahaan dan sistem perburuhan,
Menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, dan yang utama yaitu membina hubungan industrial agar
bisa berjalan dengan harmonis.
4)Masyarakat

Peran masyarakat dalam HI adalah menggagas lembaga swadaya masyarakat yang berfungsi
membela hak-hak masyarakat yang mana buruh termasuk didalamnya. Lembaga swadaya masyarakat
( LSM ) adalah organisasi Non-pemerintah yang independen dan mandiri, bukan merupakan bagian atau
berafiliasi dengan lembaga-lembaga negara atau pemerintah ( kode etik LSM Bab I No. I ).
Berikut merupakan peran / fungsi LSM dalam dunia buruh :
1.Sebagai lembaga konseling / penampung aspirasi para pekerja / buruh.
2Memfasilitasi komunikasi ,jadi LSM memfasilitasi komunikasi ke atas ,dari buruh kepada pemerintah,
pemerintah kepada buruh,vataupun dari buruh ke pengusaha.
Bantuan teknis dan pelatihan, yaita lembaga swadaya masyarakat memberikan suatu pelatihan kepada
para pekerja/buruh agar semakin berkualitas segi skill dan pengetahuan.
3.Advokasi untuk dan dengan buruh LSM / NGO menjadi juruh bicara para pekerja/buruh dan mencoba
untuk mempengaruhi kebijakan program pemerintah.

2. Objek Dalam Perselisihan Hubungan Industrial

1)Perselisihan Hak,Pasal 1 angka 2 UU PPHI "Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena
tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama."

2)Perselisihan Kepentingan,Pasal 1 angka 3 UU PPHI "Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang


timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau
perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama."

3)Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja,Pasal 1 angka 4 UU PPHI "Perselisihan pemutusan hubungan


kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran
hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. " Pasal 1 angka 25 UU Ketenagakerjaan
"Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha."

4)Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh Dalam Satu Perusahaan, Pasal 1 angka 5 UU PPHI
"Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh
dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian
paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan."
d. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Luar Pengadilan
Perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial. Penggugat harus
melampirkan risalah penyelesaian melalui Mediasi atau konsiliasi. Oleh karena apabila gugatan tidak
dilampiri risalah tersebut, Hakim wajib mengembalikan gugatan kepada penggugat.
Dari ketentuan tersebut diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa penyelesaian perselisihan hubungan
industrial diluar pengadilan sifatnya adalah wajib. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar
pengadilan dilakukan melalui lembaga ataupun mekanisme :
a. Bipartit;
b. Mediasi;
c. Konsiliasi;
d. Arbitrase;

a. Penyelesaian Melalui Mekanisme Bipartit


Penyelesaian melalui perundingan bipartit, adalah perundingan antara
pekerja/buruh atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh dengan pengusaha untuk
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Beda dengan Lembaga
Kerjasama Bipartit sebagaimana dimaksud UU Nomor 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan. Dimana Lembaga Kerjasama Bipartit adalah sebagai
forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha
dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang sudah tercatat pada institusi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.
Penyelesaian melalui perundingan bipartit adalah wajib, oleh karena
apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, tanpa
melampirkan bukti bahwa upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit
telah dilakukan. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan,
mengembalikan berkasnya untuk dilengkapi.
Perundingan bipartit, diselesaikan paling lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya
perundingan dan setiap perundingan harus dibuat risalah perundingan, sekurang-kurangnya memuat:
a. Nama lengkap dan alamat para pihak;
b. Tanggal dan tempat perundingan;
c. Pokok masalah atau alasan perselisihan;
d. Pendapat para pihak;
e. Kesimpulan atau hasil perundingan; dan
f. Tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan.
Penyelesaian melalui perundingan sebagaimana dimaksud diatas, apabila mencapai kesepakatan,
dibuat Perjanjian Bersama yang ditanda tangani oleh para pihak dimana sifatnya adalah mengikat dan
menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak.
Untuk keperluan pelaksanaannya, para pihak wajib didaftarkan pada pengadilan hubungan
industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama dan Pengadilan
Hubungan Industrial memberikan “Akta Bukti Pendaftaran Perjanjian Bersama” dan merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama. Melalui Akta Pendaftaran Perjanjian Bersama tersebut,
pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftarkan untuk mendapatkan penetapan
eksekusi.
b. Penyelesaian Melalui Mediasi
Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut Mediasi adalah penyelesaian perselisihan
hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antara Serikat
Pekerja/Serikat Buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang
atau lebih mediator yang netral. Mediator disini adalah pegawai institusi pemerintah yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh
Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai Kewajiban memberikan anjuran tertulis
kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antara Serikat Pekerja/Serikat Buruh hanya
dalam satu perusahaan. Mediator, berada di setiap Kantor Instansi yang bertangung jawab di bidang
ketenagakerjaan Kabupaten/Kota yang harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. Warga Negara Indonesia;
c. Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
d. Mengetahui peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan;
e. Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela;
f. Berpendidikan sekurang-kurangnya lulusan strata 1 (S1); dan
g. Syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.
Penyelesaian perselisihan melalui Mediasi, mengutamakan penyelesaian musyawarah untuk
mufakat, dan apabila dalam perundingan tersebut dicapai kesepakatan, dibuat Perjanjian Bersama yang
ditanda tangani oleh para pihak dan disaksikan oleh Mediator dan didaftarkan di Pengadilan Hubungan
Industrial untuk mendapatkan Akta bukti pendaftaran. Penyelesaian melalui Mediasi, bila tidak tercapai
kesepakatan proses penyelesaian selanjutnya adalah:
a. Mediator mengeluarkan anjuran secara tertulis sebagai pendapat atau saran yang diusulkan
oleh Mediator kepada para pihak dalam upaya menyelesaikan perselisihan mereka.
b. Anjuran tersebut, dalam waktu selambat-lambatnya 10 hari kerja sejak sidang mediasi
pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak;
c. Para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepadaMediator yang isinya
menyetujui atau menolak dalam waktu selambat lambatnya 10 hari kerja setelah menerima
anjuran;
d. Pihak yang tidak memberikan jawaban dianggap menolak anjuran;
e. Namun, apabila para pihak menyetujui anjuran, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3 hari
kerja sejak anjuran disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat
Perjanjian Bersama untuk didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial guna mendapatkan
Akta Bukti Pendaftaran. Sehingga waktu penyelesaian pada mediator adalah dalam waktu
selambat-lambatnya 30 hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan.

Pada dasarnya, penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Mediasi adalah wajib,
dalam hal ketika Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan menawarkan kepada para
pihak yang berselisih tidak memilih Lembaga Konsiliasi atau Arbitrase untuk menyelesaikan perselisihan
yang dihadapi para pihak.
c. Penyelesaian Melalui Konsiliasi
Konsiliasi hubungan industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antara Serikat Pekerja/Serikat
Buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih
konsiliator yang netral. Konsiliator disini adalah seorang atau lebih yang memenuhi syaratsyarat sebagai
konsiliator ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas melakukan

konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antara Serikat
Pekerja/Serikat Buruh hanya dalam satu perusahaan. Konsiliator dapat memberikan konsiliasi apabila
telah terdaftar pada kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/ Kota.
Syarat menjadi Konsiliator adalah:
a. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. Warga Negara Indonesia;
c. Berumur sekurang-kurangnya 45 tahun;
d. Pendidikan minimal lulusan Strata satu (S 1);
e. Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
f. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
g. Memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurangkurangnya
5 (lima) tahun;
h. Menguasai peraturanperundang-undangan ketenagakerjaan;dan
i. Syarat-syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.
Penyelesaian melalui konsiliasi, dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak yang berselisih
yang dibuat secara tertulis untuk diselesaikan oleh Konsiliator. Para pihak dapat mengetahui nama
Konsiliator yang akan dipilih dan disepakati adalah dari daftar nama Konsiliator yang dipasang dan
diumumkan pada Kantor Instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan setempat. Konsiliator dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial
pada dasarnya adalah melalui musyawarah untuk mufakat. Dalam perundingan yang mencapai
kesepakatan, dibuat Perjanjian Bersama yang ditanda tangani oleh para pihak dan disaksikan oleh
Konsiliator, untuk didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial guna mendapatkan Akta bukti
pendaftaran. Sebaliknya bila tidak dicapai kesepakatan, maka :
a. Konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis;
b. Dalam waktu selambat-lambatnya 10 hari kerja sejak sidang konsiliasi
pertama, anjuran tertulis harus sudah disampaikan kepada para pihak;
c. Para pihak harus sudah memberikan jawaban tertulis kepada
konsiliator yang isinya menyetujui atau melakukan anjuran dalam
waktu selambat-lambatnya 10 hari sejak menerima anjuran;
d. Pihak yang tidak memberikan jawaban atau pendapatnya dianggap
sebagai menolak anjuran;
e. Terhadap anjuran Konsiliator apabila para pihak menyetujui, maka
dalam waktu selambat-lambatnya 3 hari kerja sejak anjuran disetujui,
Konsiliator harus sudah selesai membantu para pihak membuat
Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftarkan di Pengadilan
Hubungan Industrial untuk mendapatkan Akta bukti pendaftaran.
f. Sehingga penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui
Lembaga Konsiliasi dilakukan dalam waktu selambat-lambatnya 30
hari kerja terhitung sejak menerima permintaan penyelesaian
perselisihan.
d. Penyelesaian Melalui Arbitrase
Arbitrase Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah penyelesaian suatu
perselisihan kepentingan dan perselisihan antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh hanya dalam satu
perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang
berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbitrase yang
putusannya mengikat para pihak dan bersifat final. Arbiter yang dimaksud disini adalah seorang atau
lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri untuk
memberikan keputusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar Serikat Pekerja/Serikat
Buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui Arbitrase yang putusannya
mengikatpara pihak dan bersifat final.Dengan demikian syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Arbiter
adalah:
a. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. Cakap melakukan tindakan hukum;
c. Warga Negara Indonesia;
d. Berumur sekurang-kurangnya 45 tahun;
e. Pendidikan minimal lulusan Strata satu (S 1);
f. Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
g. Menguasai peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang
dibuktikan dengan sertifikat atau bukti kelulusan telah mengikuti
ujian arbitrase;dan
h. Memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurangkurangnya
5 tahun.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbiter dilakukan
atas dasar kesepakatan para pihak yang berselisih. Kesepakatan tersebut dibuat
dalam bentuk Surat Perjanjian Arbitrase, rangkap 3 (tiga) dan masing-masing
pihak mendapatkan 1 (satu) yang mempunyai kekuatan hukum yang sama.
Adapun Surat Perjanjian Arbitrase yang dibuat sekurang-kurangnya
memuat :
a. Nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang
berselisih;
b. Pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan
kepada arbitrase untuk diselesaikan dan diambil putusan;
c. Jumlah arbiter yang disepakati;
d. Pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan
keputusan arbitrase; dan
e. Tanggal dan tempat pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan
para pihak yang berselisih;
Penunjukan arbiter dapat dilakukan melalui arbiter tunggal atau beberapa
arbiter sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang.
Untuk penunjukan arbiter tunggal, para pihak harus sudah mencapai
kesepakatan dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari kerja, tentang nama
arbiter dimaksud.
Namun, apabila penunjukan beberapa arbiter (majelis) dalam jumlah
gasal, masing-masing pihak berhak memilih seorang arbiter dalam waktu
selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, sementara untuk arbiter ketiga sebagai
Ketua Majelis Arbitrase ditentukan oleh para arbiter yang ditunjuk selambatlambatnya
7 hari kerja sejak ditunjuk oleh para pihak.

Penunjukan arbiter sebagaimana dimaksud diatas dilakukan secara tertulis


dalam bentuk Perjanjian Penunjukan Arbiter dengan para pihak yang
berselisih. Perjanjian Penunjukan Arbiter sekurang-kurangnya memuat halhal
sebagai berikut :
a. Nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang
berselisih dan arbiter;
b. Pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan
kepada arbiter untuk diselesaikan dan diambil keputusan;
c. Biaya arbitrase dan honorarium arbiter;
d. Pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan
keputusan arbitrase;
e. Tanggal dan tempat pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan
para pihak yang berselisih dan arbiter;
f. Pernyataan arbiter atau para arbiter untuk tidak melampaui
kewenangannya dalam penyelesaian perkara yang ditanganinya;dan
g. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai
derajat kedua dengan salah satu pihak yang berselisih.
Para pihak yang berselisih ada kalanya tidak sepakat untuk menunjuk arbiter tunggal maupun
beberapa arbiter, maka atas permohonan salah satu pihak Ketua Pengadilan dapat mengangkat arbiter dari
daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri. Arbiter yang menerima penunjukan sebagai arbiter, harus
memberitahukan secara tertulis mengenai penerimaan penunjukannya kepada para pihak yang berselisih.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase, arbiter harus mengupayakan untuk
medamaikan kedua belah pihak yang berselisih. Apabila upaya perdamaian dicapai kesepakatan arbiter
atau majelis arbiterwajib membuat Akta Perdamaian yang ditanda tangani oleh para pihak yang berselisih
dan arbiter atau majelis arbiter.
Akta Perdamaian dimaksud didaftarkan di Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negari dimana wilayah arbiter mengadakan
perdamaian untuk mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran, yang akan dapat
digunakan sebagai dasar permohonan eksekusi, apabila Akta Perdamaian yang
telah dicapai tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak melalui Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Akta
Perdamaian. Upaya mencapai perdamaian adakalanya tidak mencapai kesepakatan
(gagal), maka arbiter atau majelis arbiter meneruskan sidang arbitrase yang
dilakukan secara tertutup, kecuali pihak yang berselisih menghendaki lain
dimana setiap kegiatan pemeriksaan dan sidang arbitrase dibuat berita acara
pemeriksaan oleh arbiter atau majelis arbiter.
Pemeriksaan perselisihan huibungan industrial oleh arbiter atau majelis
arbiter, apabila telah dianggap cukup. Arbiter atau majelis arbiter mengambil
putusan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku,
perjanjian, kebiasaan, keadilan dan kepentingan umum.
Adapun putusan arbitrase memuat :
a. Kepala putusan yang berbunyi” Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”;
b. Nama lengkap dan alamat arbiter atau majelis arbiter;
c. Nama lengkap dan alamat para pihak;
d. Hal-hal yang termuat dalam surat perjanjian yang diajukan oleh para
pihak yang berselisih;
e. Ikhtisar dari tuntutan, jawaban, dan penjelasan lebih lanjut dari para
pihak yang berselisih;
f. Pertimbangan yang menjadi dasar putusan;
g. Pokok putusan;
h. Tempat dan tanggal putusan;
i. Mulai berlakunya putusan;dan
j. Tanda tangan arbiter atau majelis arbiter.
Putusan arbitrase, mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak yang berselisih
dan merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap. Putusan tersebut diadftarkan di Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter menetapkan putusan. Terhadap putusan
arbitrase yang tidak dilaksanakan, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi
melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tampat
kedudukan para pihak terhadap siapa putusan itu harus dijalankan, agar putusan diperintahkan untuk
dijalankan. Pengadilan Negeri, dalam waktu selambatlambatnya
30 hari kerja harus sudah menyelesaikan perintah pelaksanaan eksekusi, terhitung setelah permohonan
didaftarkan pada Panitera Pengadilan Negeri dengan tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari
putusan arbitrase. Putusan arbitrase, oleh salah satu pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan
kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak ditetapkan putusan
arbiter, apabila putusan diduga mengandung unsur sebagai berikut :
a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan diakui atau dinyatakan palsu;
b. Setelah putusan diambil, ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan yang disembunyikan oleh pihak lain;
c. Putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu
pihak dalam pemeriksaan perselisihan;
d. Putusan melampaui kekuasaan arbitrase hubungan industrial; atau
e. Putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Mahkamah Agung, dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja
terhitung sejak menerima permohonan, memutuskan permohonan
pembatalan dan menetapkan akibat dari pembatalan baik seluruhnya atau
sebagian putusan arbitrase. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase dilakukan
dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak penandatanganan surat perjanjian penunjukan arbiter
dan atas kesepakatan para pihak, arbiter berwenang untuk memperpanjang jangka waktu penyelesaian 1
(satu) kali perpanjangan selambat-lambatnya 14 hari kerja. Suatu perselisihan yang sedang atau telah
diselesaikan melalui arbitrase tidak dapat diajukan ke
Pengadilan Hubungan Industrial.
e. Penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial dalam Pengadilan

a. Pengadilan Hubungan Industrial


Pengadilan hubungan industrial adalah Pengadilan Khusus yang dibentuk dilingkungan
Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap perselisihan
hubungan industrial. Untuk pertama kali pembentukan Pengadilan Hubungan Industrial pada setiap
Pengadilan Negeri Kabupaten/Kota yang berada disetiap ibukota propinsi yang daerah hukumnya
meliputi propinsi yang bersangkutan. Sementara untuk Kabupaten/Kota yang padat industri, dengan
Keputusan Presiden harus segera dibentuk Pengadilan Negeri setempat. Berhubung Daerah Khusus
Ibukota Jakarta merupakan Ibukota Propinsi sekaligus Ibukota Negara Republik Indonseia memiliki lebih
dari satu Pengadilan Negeri maka Pengadilan Hubungan Industrial untuk pertama kali dibentuk pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sementara apabila di Ibukota Propinsi terdapat Pengadilan Negeri Kota
dan Pengadilan Negeri Kabupaten maka Pengadilan Hubungan Industrial menjadi bagian Pengadilan
Negeri Kota. Pada Pengadilan Negeri yang telah ada Pengadilan Hubungan Industrial dibentuk
Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial yang dipimpin seorang Panitera Muda. Sub. Kepaniteraan
bertanggung jawab atas penyampaian surat panggilan sidang, penyampaian pemberitahuan putusan dan
penyampaian salinan putusan serta mempunyai tugas menyelenggarakan administrasi Pengadilan
Hubungan Industrial dan membuat daftar semua perselisihan yang diterima dalam buku perkara.
Susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terdiri dari :
a. Hakim;
b. Hakim Ad Hoc;
c. Panitera Muda; dan
d. Panitera Pengganti.
Sementara susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Mahkamah
Agung terdiri dari :
a. Hakim Agung;
b. Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung;
c. Panitera.
Pengangkatan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial diangkat dan dilantik berdasarkan
Keputusan Ketua Mahkamah Agung, sedangkan untuk Hakim Ad Hoc diangkat dengan Keputusan
Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung dengan masa kerja 5 tahun dan dapat diangkat kembali untuk
1 (satu) kali masa jabatan. Hakim Ad Hoc untuk pertama kali pengangkatannya paling sedikit 5 orang
dari unsur Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan 5 orang dari unsure Organisasi Pengusaha, dan harus
memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Warga Negara Indonesia;
b. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. Setia kepada pemerintah dan UUD Negara Republik Indonesia tahun
1945;
d. Berumur paling rendah 30 tahun;
e. Berbadan sehat sesuai dengan surat keterangan dokter;
f. Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela;
g. Berpendidikan serendah-rendahnya Strata satu (S1) kecuali bagi
Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung syarat pendidikan Sarjana
Hukum; dan
h. Berpengalaman di bidang hubungan industrial.
Dalam pelaksanaan tugasnya Hakim Ad Hoc tidak boleh merangkap
jabatan sebagai :
a. Anggota Lembaga Tinggi Negara;
b. Kepala Daerah/Kepala Wilayah;
c. Lembaga legislatif tingkat daerah;
d. Pegawai Negeri Sipil;
e. Anggota TNI/Polri;
f. Fungsionaris Partai Politik;
g. Pengacara;
h. Mediator;
i. Konsiliator;
j. Arbiter; atau
k. Pengurus Serikat Pekerja/Serikat Buruh atau pengurus Organisasi
Pengusaha.
Apabila seorang Hakim Ad Hoc yang merangkap jabatan tersebut, maka
jabatan Hakim Ad Hoc dapat dibatalkan.
b. Penyelesaian Pengadilan Hubungan Industrial
Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada PengadilanHubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja. Pengajuan gugatan
dimaksud harus melampirkan risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi. Hakim Pengadilan
Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan kepada pihak penggugat apabila gugatan penggugat
tidak melampirkan risalah penyelesaian melalui Mediasi atau konsiliasi. Penggugat dapat sewaktu-waktu
mencabut gugatannya sebelum tergugat memberikan jawaban, apabila tergugat sudah memberikan
jawaban atas gugatan, pencabutan gugatan akan dikabulkan Pengadilan apabila disetujui
tergugat. Tugas dan wewenang Pengadilan Hubungan Industrial adalah memeriksa dan memutus :
a. Tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
b. Tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
c. Tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;
d. Tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Majelis hakim dalam mengambil putusannya mempertimbangkan hukum, perjanjian yang ada,
kebiasaan dan keadilan yang dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum, dimana putusan Pengadilan
harus memuat :
a. Kepala putusan berbunyi “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”;
b. Nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman, atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih;
c. Ringkasan pemohon/penggugat dan jawaban termohon/tergugat yang jelas;
d. Pertimbangan terhadap setiap bukti dan data yang diajukan, hal yang terjadi dalam persidangan selama
sengketa itu diperiksa;
e. Aturan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. Amar putusan tentang sengketa;
g. Hari, tanggal putusan, nama Hakim, Hakim Ad Hoc yang memutus,
nama Panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para
pihak.
Majelis Hakim wajib memberikan putusan penyelesaian perselisihan dalam waktu selambat-
lambatnya 50 hari terhitung sejak sidang pertama. Putusan dimaksud dalam waktu selambat-lambatnya 7
hari setelah putusan dibacakan, Panitera Pengganti harus sudah menyampaikan pemberitahuan putusan
kepada pihak yang tidak hadir dan selambat-lambatnya 14 hari kerja setelah putusan ditandatangani
Panitera Muda harus sudah menerbitkan salinan putusan serta dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari
kerja setelah salinan putusan diterbitkan harus sudah mengirimkan salinan putusan kepada
para pihak. Apabila perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan diikuti dengan perselisihan
pemutusan hubungan kerja maka Pengadilan wajib memutus terlebih dahulu perkara perselisihan hak
dan/atau perselisihan kepentingan.
c. Penyelesaian Perselisihan Melalui Mahkamah Agung
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan
hubungan kerja mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada
Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari kerja terhitung :
a. Bagi pihak yang hadir, sejak putusan dibacakan oleh sidang majelis
hakim;

b. Bagi pihak yang tidak hadir, sejak tanggal menerima pemberitahuan


putusan. Permohonan kasasi harus disampaikan secara tertulis melalui Sub. Kepaniteraan
Pengadilan Hubungan Industrial Pengadilan Negeri setempat, dan dalam waktu selambat-lambatnya 14
hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi harus sudah disampaikan oleh Sub
Kepaniteraan Pengadilan kepada Ketua Mahkamah Agung. Penyelesaian perselisihan hak atau
perselisihan pemutusan hubungan kerja pada Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 hari kerja
terhitung tanggal penerimaan permohonan kasasi.
f. Sanksi Administratif

Terdapat dua macam sanksi yang ada di dalam UU Ketenagakerjaan, yakni sanksi administratif
dan sanksi pidana. Sanksi administratif yang diberikan dapat berbentuk teguran, peringatan tertulis,
pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha, pembatalan persetujuan, pembatalan pendaftaran,
penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi, hingga pencabutan ijin.

Sanksi administratif diberikan dalam hal pelanggaran atas hal:

a.Diskriminasi dalam memperoleh pekerjaan (Pasal 5);

b.Diskriminasi dalam bekerja (Pasal 6);

c.Tidak terpenuhinya persyaratan penyelenggaraan pelatihan kerja (Pasal 15);

d.Pemagangan di luar wilayah Indonesia tidak sesuai aturan (Pasal 25);

e.Pemungutan biaya penempatan tenaga kerja tak sesuai aturan (Pasal 38 Ayat (2));

f.Pemberi kerja tenaga kerja asing tak sesuai aturan (Pasal 45 Ayat (1);

g.Pemberi kerja tidak membayar kompensasi kepada tenaga kerja asing (Pasal 47 Ayat (1);

h.Pemberi kerja tidak memulangkan tenaga kerja asing setelah masa kerja berakhir (Pasal 48);

i.Perusahaan tidak menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi
dengan sistem manajemen perusahaan (Pasal 87);

j.Perusahaan tidak membentuk lembaga kerja sama bipartit sesuai aturan (Pasal 106);

k.Pengusaha tidak mencetak dan membagikan naskah perjanjian kerja bersama kepada setiap pekerja atas
biaya perusahaan (Pasal 126 Ayat (3);

l.Pengusaha tidak memberikan bantuan kepada tanggungan pekerja yang ditangkap bukan atas dasar
aduan pengusaha (Pasal 160 Ayat (1) dan (2);

g. Sanksi Pidana

Bentuk pidana yang diberikan bermacam-macam, yakni denda, kurungan, dan penjara. Sanksi pidana
penjara 2-5 tahun dan/atau denda Rp200-500 juta diberikan kepada orang yang mempekerjakan atau
melibatkan anak dalam pekerjaan.

Sanksi pidana penjara 1-5 tahun dan/atau denda Rp100-500 juta diberikan kepada pengusaha yang tidak
mengikutsertakan karyawan perusahaannya di dalam program pensiun.

Sanksi pidana penjara 1-4 tahun dan/atau denda Rp100-400 juta diberikan kepada pihak yang melanggar
ketentuan pada:

a.mempekerjakan tenaga kerja asing tak sesuai aturan (Pasal 42 Ayat (1) dan (2));

b.mempekerjakan anak (Pasal 68);


c.mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan tak sesuai persyaratan (Pasal 69 Ayat (2));

d.tidak memberikan kesempatan ibadah bagi pekerja (Pasal 80);

e.tidak memberikan istirahat yang berhak pagi pekerja yang ingin melahirkan (Pasal 82));

f. membayar upah lebih rendah dari upah minimum (Pasal 90 Ayat (1));

g.Menghalangi hak mogok kerja pegawai (Pasal 143 Ayat (1)); dan

h.Tidak mempekerjakan pekerja kembali setelah terbukti tak bersalah atau memberikan hak atas
pemutusan hubungan kerja (Pasal 160 Ayat (4) dan (7)).

Sanksi pidana penjara satu bulan sampai empat tahun dan/atau denda Rp10-400 juta dalam hal melanggar
ketentuan pada:

a.Tenaga kerja tidak diberikan perlindungan oleh pelaksana penempatan kerja atau pemberi kerja (Pasal
35 Ayat (2) dan (3));

b.Tidak memberikan upah kepada pekerja dalam hal yang diatur dalam Pasal 93 Ayat (2); dan

Sanksi pidana kurungan satu sampai dua belas bulan dan/atau denda Rp 10 juta sampai Rp 100 juta dalam
hal melanggar ketentuan pada:

a.Lembaga penempatan tenaga kerja swasta tidak memiliki izin (Pasal 37 Ayat (2));

b.Pemberi kerja tenaga kerja asing tidak menaati ketentuan (Pasal 44 Ayat (1));

c.Pemberi kerja tenaga kerja asing tidak melaksanakan kewajiban sesuai aturan (Pasal 45 Ayat (1));

d.Pengusaha tidak memberikan perlindungan kepada tenaga kerja cacat (Pasal 67 Ayat (1));

e.Pengusaha yang mau mempekerjakan anak tidak memenuhi syarat (Pasal 71 Ayat (2));

f.Pengusaha melanggar ketentuan mempekerjakan perempuan (Pasal 76);

g.Pengusaha tidak membayar upah lembur sesuai ketentuan (Pasal 78 Ayat (2) dan Pasal 85 Ayat (3));

h.Pengusaha tidak memberikan waktu istirahat atau cuti sesuai ketentuan (Pasal 79 Ayat (1) dan (2)); dan

i.Pengusaha melakukan larangan yang diatur undang-undang terkait mogok kerja (Pasal 144)

Sanksi pidana kurungan satu sampai dua belas bulan dan/atau denda Rp 10 juta sampai Rp 100 juta
dalam hal melanggar ketentuan pada:

a.Lembaga pelatihan kerja swasta tidak terdaftar (Pasal 14 Ayat (2));

b.Lembaga penempatan tenaga kerja swasta memungut biaya tidak sesuai ketentuan (Pasal 38 Ayat (2));

c.Pengusaha tidak membuat surat pengangkatan dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat
secara lisan (Pasal 63 Ayat (1));
d.Pengusaha yang mau mempekerjakan pekerja melebihi waktu kerja tidak memenuhi syarat (Pasal 78
Ayat (1));

e.Pengusaha yang memiliki pekerja sekurang-kurangnya sepuluh orang tidak memiliki peraturan
perusahaan setelah disahkan menteri atau pejabat yang ditunjuk (Pasal 108 Ayat (1));

f.Peraturan perusahaan tidak diperbaharui setelah jangka waktu dua tahun (Pasal 111 Ayat (3));

g. Pengusaha tidak memberitahukan atau menjelaskan isi serta memberikan naskah peraturan perusahaan
atau perubahannya kepada pekerja (Pasal 114); dan

h. tidak memberitahukan secara tertulis kepada pekerja dan/atau serikat pekerja, serta instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat sekurang-kurangnya tujuh hari kerja sebelum
penutupan perusahaan (Pasal 148).

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang


mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh
atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Dalam rangka penyelesaian perselisihan hubungan
industrial tersebut, maka dapat dilakukan dengan dua cara penyelesaian. Pertama,melalui jalur di
luar pengadilan hubungan industrial yang antara lain melalui mediasi, konsiliasi, bipatrite dan
arbitrase. Kedua adalah melalui pengadilan hubungan industrial.

DAFTAR PUSTAKA

 UU No.2 Tahun 2004 tentang  penyelesaian perselisihan hubungan industrial.


UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
 Wijayanti, Asri Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi,  2009, Sinar Grafika Jakarta
 Rusli Hardijan , Hukum Ketenagakerjaan 2003 Ghalia Indonesia, Jakarta.
Abdul Kadir Muhamamd, 2000. Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung, Penerbit PT. Citra Aditya
Bakti.
Batubara Cosmos, 2000. “Hubungan Industrial di Indonesia Aspek Politik
dari Perubahan di Tempat Kerja Dekade Sembilan Puluhan dan Awal
Dua Ribu,” Dis Depok, niversitas Indonesia.
https://goresanpenahukum.blogspot.com diakses pukul 20.23, 11 November 2019`

Anda mungkin juga menyukai