Oleh:
Kelompok 4
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, ats berkah dan rahmat-Nyalah
penulis dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah hukum
ketenagakerjaan dengan judul “ Prosedur dan Tata Cara Penyelesaian Hubungan Industrial”.
Pertama-tama penulis ingin mengucapkan terimakasih kedapa dosen pengampu mata kuliah
ketenagakerjaan ibuDarnis SH. MH. berkat beliau kami dipercaya untuk menyampaikan materi serta
menyusun makalah tentang pemerikasaan setempat dan peradilan niaga dalam hukum ketenagakerjaan.
Dalam makalah ini kelompok kami akan membahas tentang prosedur dan tata cara penyelesaian
hubungan industrial dalam hukum ketenagakerjaan,pemeriksaan makalah ini bermanfaat dalam
melakukan pemahaman pada mata kuliah hukum acara perdata.
Tentunya makalah ini sangat jauh dari kata sempurna, untuk itu kepada dosen pengampu dan
teman-teman kami minta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah selanjutnya.
KELOMPOK 4
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................................................
DAFTAR ISI.................................................................................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN.............................................................................................................................
A. Latar Belakang...................................................................................................................................
B. Rumusan Masalah..............................................................................................................................
C. Tujuan................................................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................................................
A. Kesimpulan........................................................................................................................................
B. Saran..................................................................................................................................................
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Permasalahan tenaga kerja dari tahun ketahun menarik perhatian banyak pihak. Permasalahan
tenaga kerja yang menimbulkan konflik-konflik pada buruh, seperti kasus konflik perburuhan,
kekerasan, penipuan, pemecatan yang semena-mena, upah yang tidak sesuai standar, semakin hari
semakin kompleks. Kasus tersebut penting mendapatkan perspektif perlindungan hak-hak asasi
tenaga kerja dalam Undang-Undang yang tegas memberikan perlindungan bagi hak-hak tenaga kerja.
Timbulnya perbedaan pendapat atau pandangan maupun pengertian antar pihak pekerja dan
pengusaha terhadap hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan kondisi kerja, akan menimbulkan
Perselisihan Hubungan Industrial, bahkan sampai akhirnya terjadi Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK). Bahwa masalah ketenagakerjaan tidak semata-mata bersifat perdata, tetapi juga mempunyai
sifat pidana, bahkan ada segi politik praktisnya. Hal ini dapat kita lihat dari peraturan-peraturan
ketenagakerjaan, dimana dibuat ancaman. Hukuman bagi yang melanggar peraturan tersebut, dimana
masalah ketenagakerjaan sangat sensitive baik nasional bahkan internasional.
Terjadinya perselisihan diantara manusia merupakan masalah yang lumrah karena telah menjadi
kodrat manusia itu sendiri. Oleh karena itu, yang penting dilakukan adalah cara mencegah atau
memperkecil perselisihan tersebut atau mendamaikan kembali mereka yang berselisih. Perselisihan
perburuhan juga terjadi sebagai akibat wanprestasi yang dilakukan pihak buruh atau oleh pihak
pengusaha. keinginan dari salah satu pihak (umumnya pekerja) tidak selalu dapat dipenuhi oleh pihak
lainnya (pengusaha), demikian pula keinginan pengusaha selalu dilanggar atau tidak selalu dipenuhi
oleh pihak buruh atau pekerja.
Makalah in ditulis untuk penjelasan singkat mengenai prosedur dan tata cara penyelesaian
perselisihan dalam hubungan industrial yang semakin marak terjadi pada massa searang ini. Makalah
ini berisikan penjelasan mengenai pengertian hubungan industrial itu sendiri yang mana mepunyai
dasar hukum yang berkaitan dengan penyelesaian perselisahan hubungan industrial. Dan memaparkan
bagaimana prosedur dari penyelesaian perseisihan hubungan industrial baik dalam lingkungan
peradilan maupun di luar peradilan tersebut. Di makalah ini juga terdapat hal yang menjelaskan
tentang sanksi administrative dan ketentuan pidana perselisihan hubungan industrial.
Dan makalah ini tak lain tujuannya adalah sebagai penambahan acuan atau sekedar penambahan
wawasan dari pembaca agar mengetahui sedikit hal tentan prosedur dan tata cara penyelsaian pada
perselisihan dalam hubungan industrial.
BAB II
PEMBAHASAN
Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja/buruh baik di
perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan
bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh
serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
2. Organisasi pengusaha
Sama halnya dengan pekerja, para pengusaha juga mempunyai hak dan kebebasan untuk membentuk atau
menjadi anggota organisasi atau asosiasi pengusaha. Asosiasi pengusaha sebagai organisasi atau
perhimpunan wakil pimpinan perusahaan-perusahaan merupakan mitra kerja serikat pekerja dan
Pemerintah dalam penanganan masalah-masalah ketenagakerjaan dan hubungan industrial. Asosiasi
pengusaha dapat dibentuk menurut sektor industri atau jenis usaha, mulai dari tingkat lokal sampai ke
tingkat kabupaten, propinsi hingga tingkat pusat atau tingkat nasional.
Lembaga kerja sama bipartit adalah forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh yang sudah tercatat instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau
unsur pekerja/buruh. Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/buruh atau
lebih wajib membentuk lembaga kerja sama bipartit.
Lembaga kerja sama tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang masalah
ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh
dan pemerintah. Lembaga Kerja sama Tripartit terdiri dari:
— Lembaga Kerja sama Tripartit Nasional, Provinsi dan Kabupataen/Kota; dan
— Peraturan perusahaan;
Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-
syarat kerja dan tata tertib perusahaan. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-
kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan
oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk.
Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat
pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau
perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Perselisihan hubungan industrial diharapkan dapat diselesaikan melalui perundingan bipartit, Dalam hal
perundingan bipartit gagal, maka penyelesaian dilakukan melalui mekanisme mediasi atau konsiliasi. Bila
mediasi dan konsiliasi gagal, maka perselisihan hubungan industrial dapat dimintakan untuk diselesaikan
di Pengadilan Hubungan Industrial.
Peraturan yang mengatur mengenai Hubungan Industrial terdapat dalam Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial.dalam pasal 1 angka 1 UU No. 2 Tahun
2004”perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapatyang mengakibatkan pertentangan
antara pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan
mengenai hak.
1)Pekerja/ Buruh
pekerja/karyawan/buruh atau pegawai itu mencakup pegawai swasta maupun pegawai negeri
(sipil dan militer). Akan tetapi dalam praktik dibedakan pekerja/buruh dengan pegawai negeri. Istilah
buruh sangat populer dalam dunia perburuhan/ ketenagakerjaan, selain istilah ini sudah dipergunakan
sejak lama bahkan mulai dari zaman penjajahan Belanda juga karena peraturan perundang-undangan yang
lama (Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja)
menggunakan istilah buruh. Namun setelah Undang-undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan
menggunakan istilah “pekerja/buruh” begitu pula dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menggunakan istilah pekerja/buruh.
Dalam undang-undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 1 angka 2 disebutkan bahwa : “Tenaga kerja
adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan, guna menghasilkan barang atau jasa untuk
memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat”.
Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam
bentuk lain. Pasal 6 “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi
dari pengusaha”
Peran buruh pada hubungan industrial sangatlah kompleks, dimana seorang buruh menjadi subjek
dalam pemenuhan hak ata kewajiban si pengusaha. Jadi, pekerja adalah bagian dari tenaga kerja. dalam
hal ini pekerja adalah orang yang sudah mendapat pekerjaan tetap, hal ini karena tenaga kerja meliputi
pula orang pengangguran yang mencari pekerjaan (angkatan kejra), ibu rumah tangga dan orang lain yang
belum atau tidak mempunyai pekerjaan tetap.
2)Pengusaha
3)Pemerintah
Fungsi pemerintah yakni menegakkan kebenaran, mengawasi perusahaan dan sistem perburuhan,
Menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, dan yang utama yaitu membina hubungan industrial agar
bisa berjalan dengan harmonis.
4)Masyarakat
Peran masyarakat dalam HI adalah menggagas lembaga swadaya masyarakat yang berfungsi
membela hak-hak masyarakat yang mana buruh termasuk didalamnya. Lembaga swadaya masyarakat
( LSM ) adalah organisasi Non-pemerintah yang independen dan mandiri, bukan merupakan bagian atau
berafiliasi dengan lembaga-lembaga negara atau pemerintah ( kode etik LSM Bab I No. I ).
Berikut merupakan peran / fungsi LSM dalam dunia buruh :
1.Sebagai lembaga konseling / penampung aspirasi para pekerja / buruh.
2Memfasilitasi komunikasi ,jadi LSM memfasilitasi komunikasi ke atas ,dari buruh kepada pemerintah,
pemerintah kepada buruh,vataupun dari buruh ke pengusaha.
Bantuan teknis dan pelatihan, yaita lembaga swadaya masyarakat memberikan suatu pelatihan kepada
para pekerja/buruh agar semakin berkualitas segi skill dan pengetahuan.
3.Advokasi untuk dan dengan buruh LSM / NGO menjadi juruh bicara para pekerja/buruh dan mencoba
untuk mempengaruhi kebijakan program pemerintah.
1)Perselisihan Hak,Pasal 1 angka 2 UU PPHI "Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena
tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama."
4)Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh Dalam Satu Perusahaan, Pasal 1 angka 5 UU PPHI
"Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh
dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian
paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan."
d. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Luar Pengadilan
Perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial. Penggugat harus
melampirkan risalah penyelesaian melalui Mediasi atau konsiliasi. Oleh karena apabila gugatan tidak
dilampiri risalah tersebut, Hakim wajib mengembalikan gugatan kepada penggugat.
Dari ketentuan tersebut diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa penyelesaian perselisihan hubungan
industrial diluar pengadilan sifatnya adalah wajib. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar
pengadilan dilakukan melalui lembaga ataupun mekanisme :
a. Bipartit;
b. Mediasi;
c. Konsiliasi;
d. Arbitrase;
Pada dasarnya, penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Mediasi adalah wajib,
dalam hal ketika Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan menawarkan kepada para
pihak yang berselisih tidak memilih Lembaga Konsiliasi atau Arbitrase untuk menyelesaikan perselisihan
yang dihadapi para pihak.
c. Penyelesaian Melalui Konsiliasi
Konsiliasi hubungan industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antara Serikat Pekerja/Serikat
Buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih
konsiliator yang netral. Konsiliator disini adalah seorang atau lebih yang memenuhi syaratsyarat sebagai
konsiliator ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas melakukan
konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antara Serikat
Pekerja/Serikat Buruh hanya dalam satu perusahaan. Konsiliator dapat memberikan konsiliasi apabila
telah terdaftar pada kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/ Kota.
Syarat menjadi Konsiliator adalah:
a. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. Warga Negara Indonesia;
c. Berumur sekurang-kurangnya 45 tahun;
d. Pendidikan minimal lulusan Strata satu (S 1);
e. Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
f. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
g. Memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurangkurangnya
5 (lima) tahun;
h. Menguasai peraturanperundang-undangan ketenagakerjaan;dan
i. Syarat-syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.
Penyelesaian melalui konsiliasi, dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak yang berselisih
yang dibuat secara tertulis untuk diselesaikan oleh Konsiliator. Para pihak dapat mengetahui nama
Konsiliator yang akan dipilih dan disepakati adalah dari daftar nama Konsiliator yang dipasang dan
diumumkan pada Kantor Instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan setempat. Konsiliator dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial
pada dasarnya adalah melalui musyawarah untuk mufakat. Dalam perundingan yang mencapai
kesepakatan, dibuat Perjanjian Bersama yang ditanda tangani oleh para pihak dan disaksikan oleh
Konsiliator, untuk didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial guna mendapatkan Akta bukti
pendaftaran. Sebaliknya bila tidak dicapai kesepakatan, maka :
a. Konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis;
b. Dalam waktu selambat-lambatnya 10 hari kerja sejak sidang konsiliasi
pertama, anjuran tertulis harus sudah disampaikan kepada para pihak;
c. Para pihak harus sudah memberikan jawaban tertulis kepada
konsiliator yang isinya menyetujui atau melakukan anjuran dalam
waktu selambat-lambatnya 10 hari sejak menerima anjuran;
d. Pihak yang tidak memberikan jawaban atau pendapatnya dianggap
sebagai menolak anjuran;
e. Terhadap anjuran Konsiliator apabila para pihak menyetujui, maka
dalam waktu selambat-lambatnya 3 hari kerja sejak anjuran disetujui,
Konsiliator harus sudah selesai membantu para pihak membuat
Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftarkan di Pengadilan
Hubungan Industrial untuk mendapatkan Akta bukti pendaftaran.
f. Sehingga penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui
Lembaga Konsiliasi dilakukan dalam waktu selambat-lambatnya 30
hari kerja terhitung sejak menerima permintaan penyelesaian
perselisihan.
d. Penyelesaian Melalui Arbitrase
Arbitrase Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah penyelesaian suatu
perselisihan kepentingan dan perselisihan antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh hanya dalam satu
perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang
berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbitrase yang
putusannya mengikat para pihak dan bersifat final. Arbiter yang dimaksud disini adalah seorang atau
lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri untuk
memberikan keputusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar Serikat Pekerja/Serikat
Buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui Arbitrase yang putusannya
mengikatpara pihak dan bersifat final.Dengan demikian syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Arbiter
adalah:
a. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. Cakap melakukan tindakan hukum;
c. Warga Negara Indonesia;
d. Berumur sekurang-kurangnya 45 tahun;
e. Pendidikan minimal lulusan Strata satu (S 1);
f. Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
g. Menguasai peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang
dibuktikan dengan sertifikat atau bukti kelulusan telah mengikuti
ujian arbitrase;dan
h. Memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurangkurangnya
5 tahun.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbiter dilakukan
atas dasar kesepakatan para pihak yang berselisih. Kesepakatan tersebut dibuat
dalam bentuk Surat Perjanjian Arbitrase, rangkap 3 (tiga) dan masing-masing
pihak mendapatkan 1 (satu) yang mempunyai kekuatan hukum yang sama.
Adapun Surat Perjanjian Arbitrase yang dibuat sekurang-kurangnya
memuat :
a. Nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang
berselisih;
b. Pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan
kepada arbitrase untuk diselesaikan dan diambil putusan;
c. Jumlah arbiter yang disepakati;
d. Pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan
keputusan arbitrase; dan
e. Tanggal dan tempat pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan
para pihak yang berselisih;
Penunjukan arbiter dapat dilakukan melalui arbiter tunggal atau beberapa
arbiter sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang.
Untuk penunjukan arbiter tunggal, para pihak harus sudah mencapai
kesepakatan dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari kerja, tentang nama
arbiter dimaksud.
Namun, apabila penunjukan beberapa arbiter (majelis) dalam jumlah
gasal, masing-masing pihak berhak memilih seorang arbiter dalam waktu
selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, sementara untuk arbiter ketiga sebagai
Ketua Majelis Arbitrase ditentukan oleh para arbiter yang ditunjuk selambatlambatnya
7 hari kerja sejak ditunjuk oleh para pihak.
Terdapat dua macam sanksi yang ada di dalam UU Ketenagakerjaan, yakni sanksi administratif
dan sanksi pidana. Sanksi administratif yang diberikan dapat berbentuk teguran, peringatan tertulis,
pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha, pembatalan persetujuan, pembatalan pendaftaran,
penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi, hingga pencabutan ijin.
e.Pemungutan biaya penempatan tenaga kerja tak sesuai aturan (Pasal 38 Ayat (2));
f.Pemberi kerja tenaga kerja asing tak sesuai aturan (Pasal 45 Ayat (1);
g.Pemberi kerja tidak membayar kompensasi kepada tenaga kerja asing (Pasal 47 Ayat (1);
h.Pemberi kerja tidak memulangkan tenaga kerja asing setelah masa kerja berakhir (Pasal 48);
i.Perusahaan tidak menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi
dengan sistem manajemen perusahaan (Pasal 87);
j.Perusahaan tidak membentuk lembaga kerja sama bipartit sesuai aturan (Pasal 106);
k.Pengusaha tidak mencetak dan membagikan naskah perjanjian kerja bersama kepada setiap pekerja atas
biaya perusahaan (Pasal 126 Ayat (3);
l.Pengusaha tidak memberikan bantuan kepada tanggungan pekerja yang ditangkap bukan atas dasar
aduan pengusaha (Pasal 160 Ayat (1) dan (2);
g. Sanksi Pidana
Bentuk pidana yang diberikan bermacam-macam, yakni denda, kurungan, dan penjara. Sanksi pidana
penjara 2-5 tahun dan/atau denda Rp200-500 juta diberikan kepada orang yang mempekerjakan atau
melibatkan anak dalam pekerjaan.
Sanksi pidana penjara 1-5 tahun dan/atau denda Rp100-500 juta diberikan kepada pengusaha yang tidak
mengikutsertakan karyawan perusahaannya di dalam program pensiun.
Sanksi pidana penjara 1-4 tahun dan/atau denda Rp100-400 juta diberikan kepada pihak yang melanggar
ketentuan pada:
a.mempekerjakan tenaga kerja asing tak sesuai aturan (Pasal 42 Ayat (1) dan (2));
e.tidak memberikan istirahat yang berhak pagi pekerja yang ingin melahirkan (Pasal 82));
f. membayar upah lebih rendah dari upah minimum (Pasal 90 Ayat (1));
g.Menghalangi hak mogok kerja pegawai (Pasal 143 Ayat (1)); dan
h.Tidak mempekerjakan pekerja kembali setelah terbukti tak bersalah atau memberikan hak atas
pemutusan hubungan kerja (Pasal 160 Ayat (4) dan (7)).
Sanksi pidana penjara satu bulan sampai empat tahun dan/atau denda Rp10-400 juta dalam hal melanggar
ketentuan pada:
a.Tenaga kerja tidak diberikan perlindungan oleh pelaksana penempatan kerja atau pemberi kerja (Pasal
35 Ayat (2) dan (3));
b.Tidak memberikan upah kepada pekerja dalam hal yang diatur dalam Pasal 93 Ayat (2); dan
Sanksi pidana kurungan satu sampai dua belas bulan dan/atau denda Rp 10 juta sampai Rp 100 juta dalam
hal melanggar ketentuan pada:
a.Lembaga penempatan tenaga kerja swasta tidak memiliki izin (Pasal 37 Ayat (2));
b.Pemberi kerja tenaga kerja asing tidak menaati ketentuan (Pasal 44 Ayat (1));
c.Pemberi kerja tenaga kerja asing tidak melaksanakan kewajiban sesuai aturan (Pasal 45 Ayat (1));
d.Pengusaha tidak memberikan perlindungan kepada tenaga kerja cacat (Pasal 67 Ayat (1));
e.Pengusaha yang mau mempekerjakan anak tidak memenuhi syarat (Pasal 71 Ayat (2));
g.Pengusaha tidak membayar upah lembur sesuai ketentuan (Pasal 78 Ayat (2) dan Pasal 85 Ayat (3));
h.Pengusaha tidak memberikan waktu istirahat atau cuti sesuai ketentuan (Pasal 79 Ayat (1) dan (2)); dan
i.Pengusaha melakukan larangan yang diatur undang-undang terkait mogok kerja (Pasal 144)
Sanksi pidana kurungan satu sampai dua belas bulan dan/atau denda Rp 10 juta sampai Rp 100 juta
dalam hal melanggar ketentuan pada:
b.Lembaga penempatan tenaga kerja swasta memungut biaya tidak sesuai ketentuan (Pasal 38 Ayat (2));
c.Pengusaha tidak membuat surat pengangkatan dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat
secara lisan (Pasal 63 Ayat (1));
d.Pengusaha yang mau mempekerjakan pekerja melebihi waktu kerja tidak memenuhi syarat (Pasal 78
Ayat (1));
e.Pengusaha yang memiliki pekerja sekurang-kurangnya sepuluh orang tidak memiliki peraturan
perusahaan setelah disahkan menteri atau pejabat yang ditunjuk (Pasal 108 Ayat (1));
f.Peraturan perusahaan tidak diperbaharui setelah jangka waktu dua tahun (Pasal 111 Ayat (3));
g. Pengusaha tidak memberitahukan atau menjelaskan isi serta memberikan naskah peraturan perusahaan
atau perubahannya kepada pekerja (Pasal 114); dan
h. tidak memberitahukan secara tertulis kepada pekerja dan/atau serikat pekerja, serta instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat sekurang-kurangnya tujuh hari kerja sebelum
penutupan perusahaan (Pasal 148).
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA