Anda di halaman 1dari 24

HUKUM PERBURUHAN

“MAKALAH PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL”

Untuk memenuhi Tugas Terstruktur 2

Dosen pengajar : Prof. Dr. Abdul Rachmad Budiono, S.H., M.H

Disusun oleh :

MONILIA MEI HARLIN

155010107111020

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FAKULTAS HUKUM

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan
sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.

Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi
makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini saya sadari masih terdapat kekurangan, karena pengalaman yang saya
miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan
masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................i

DAFTAR ISI........................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...............................................................iii

1.1 Latar Belakang ...................................................................iii


1.2 Rumusan Masalah.............................................iv
1.3 Tujuan Penelitian.......................iv
1.4 Manfaat Penelitian...........................................iv

BAB II PEMBAHASAN...............................................................1

2.1 Pengertian Perselisihan Hubungan Industrial............................................


2.2 Jenis Perselisihan Hubungan Industrial.............................................
2.3 Prosedur Peyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial...............................
1. Bipartit ..............................................................................................
2. Konsiliasi atau Arbitrase................................................................
3. Mediasi ........................................................................................
4. Pengadilan Hubungan Industrial.........................................................
2.4 Peranan Polri Terhadap Penegakan Hukum Dan Ketertiban Dalam Perselisihan
Hubungan Industrial..................................................................................

BAB III PENUTUP.........................................................................................

3.1 Kesimpulan................................................................................
3.2 Saran ...............................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Maraknya perselisihan yang terjadi antara buruh atau pekerja yang baik menjadi
anggota serikat pekerja maupun yang tidak didalam sebuah perusahaan atau industri
membuat kondisi menjadi kurang kondusif. Perselisihan tersebut sedikitnya akan
berpengaruh dalam segi ekonomi, sosial, politik, terlebih lagi dalam penegakan hukum itu
sendiri. Perselisihan yang terjadi didalam tubuh perindustrian tidak hanya dapat diselesaikan
antar dua pihak saja, yaitu pekerja dengan perusahaan namun juga harus melibatkan aparat
pemerintahan atau bahkan penegak hukum jika kondisi tersebut harus dibutuhkan.
Pemerintah didalam membuat kebijakan tidak hanya membuat undang-undang yang hanya
mengatur tentang perusahaan saja, melainkan juga pemerintah membuat regulasi mengenai
hal-hal yang berkaitan dengan buruh atau pekerja.
Tidak sedikit dari jumlah serikat pekerja didalam satu perusahaan yang mengalami
perselisihan. Didalam satu perusahaan dapat dimungkinkan terdapat dua atau lebih jumlah
serikat pekerja. Bahkan tidak mungkin jika terjadi gesekan antar serikat pekerja yang
membawa kepentingan lain. Penyelesaian perselisihan dalam industri tidak hanya berkutat
dalam proses mediasi saja. Terdapat banyak langkah-langkah yang dapat ditempuh oleh para
pihak dalam menyelesaikan perkara yang sedang berlanjut. Didalam pembahasan makalah ini
akan dijelaskan mengenai macam-macam langkah yang dapat ditempuh dalam proses
penyelesaian perselisihan, bentuk-bentuk perselisihan, hingga peranan dari kepolisian.
Perselisihan industri yang kerap terjadi sering kali harus melibatkan peran dari pihak
kepolisian. Sehingga mau tidak mau pengaturan lebih lanjut mengenai ketenagakerjaan harus
dipastikan memberikan keadilan yang se-adil-adilnya agar para pekerja tersebut memiliki
kebebasan beserikat dan berekspresi tanpa ada yang merasa terkekang dalam melakukan
kewajibannya sebagai seorang pekerja.

iv
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa bentuk-bentuk dari perselisihan hubungan industrial ?
2. Bagaimana prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial ?
3. Bagaimanakah peranan polri terhadap penegakan hukum dan ketertiban dalam
perselisihan hubungan industrial ?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui macam-macam bentuk dari perselisihan dalam hubungan industrial
2. Untuk mengetahui prosedur penyelesaian perselisihan didalam hubungan industrial
3. Untuk memahami fungsi dan peran dari kepolisian dalam penegakan hukum dan
ketertiban dalam perselisihan hubungan industrial
1.4 Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dari adanya pembentukan makalah ini adalah untuk
memberikan pengetahuan kepada para pembaca agar lebih mengetahui dan
memperdalam mengenai penyelesaian sengketa perselisihan yang terdapat dalam
hubungan industrial mulai dari perundingan didalam internal industri hingga dalam
penegakan hukum dalam kepolisian. Sehingga diharapkan dapat memberikan solusi
untuk menciptakan keadaan hukum yang harmonis dan lebih baik lagi.

iv

iv
BAB II

PEMBAHASAN

I. Pengertian Perselisihan Hubungan Industrial


Membahas mengenai perselisihan, identik dengan membahas masalah konflik.
Secara sosiologis perselisihan dapat terjadi dimana saja. Sebutan terhadap perselisihan
hubungan industrial pada jaman dahulu adalah perselisihan perburuhan. Secara historis,
pengertian perselisihan perburuhan adalah pertentangan antara majikan atau perkumpulan
majikan dengan serikat buruh atau gabungan serikat buruh berhubung dengan tidak adanya
persesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja, dan/atau keadaan
perburuhan (Pasal 1 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957). Selanjuttnya,
berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep-15A/Men/1994, istilah
perselisihan perburuhan diganti menjadi perselisihan hubungan industrial. Sedangkan
menurut ketentuan Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan Pasal 1
angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, perselisihan hubungan industrial ialah
perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan
pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya
perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan
kerja, serta perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam 1 perusahaan.

II. Jenis Perselisihan Hubungan Industrial

Berdasarkan beberapa literatur hukum ketatatenagakerjaan pada awalnya


perselisihan hubungan industrial dibedakan menjadi dua macam, yaitu :

1. Perselisihan Hak (Rechtsgeschillen)


Yaitu perselisihan yang timbul karena salah satu pihak tidak memenuhi isi perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, perjanjian perburuhan, atau ketentuan perundangan
ketenagakerjaan.
Contoh :
 Pengusaha tidak membayar gaji sesuai dengan perjanjian, tidak membayar
upah kerja lembur, tidak membayar tunjanganhari raya keagamaan, tidak
memberikan jaminan sosial dan sebagainya

vi
 Pekerja/buruh tidak mau bekerja dengan baik sesuai dengan perjanjian atau
perjanjian kerja bersama (PKB).
2. Perselisihan Kepentingan (Belangengeschillen)
Yaitu perselisihan yang terjadi akibat dari perubahan syarat-syarat perburuhan atau
yang timbul karena tidak ada persesuaian paham mengenai syarat-syarat kerja dan
atau keadaan perburuhan.
Contoh :
 Pekerja/buruh meminta fasilitas istirahat yang memadai;
 Pekerja/buruh menuntut kenaikan tunjangan makan;
 Pekerja/buruh menuntut pelengseran pejabat perusahaan; dan lain-lain

Sedangkan menurut Widodo dan Juliantoro (1992: 25-26), berdasarkan sifatnya, perselisihan
dibagi menjadi dua macam, yaitu :

1. Perselisihan Perburuhan Kolektif


Yakni perselisihan yang terjadi antara pengusaha/majikan dan serikat pekerja/buruh
karena tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja
dan/atau keadaan perburuhan.
2. Perselisihan Perburuhan Perseorangan
Yakni perselisihan antara pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota dari serikat
pekerja/buruh dan pengusaha/majikan

Dalam Pasal 3 Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep-15A/Men/1994 dinyatakan


adanya perselisihan pemutusan hubungan kerja walaupun pengertian kedua jenis perselisihan
pemutusan hubungan kerja walaupun pengertian kedua jenis perselisihan tersebut menjadi
tidak jelas pembatasannya, mana yang termasuk perselisihan hubungan industrial dan mana
perselisihan pemutusan hubungan kerja. Berdasarkan ketentuan terakhir, yakni Pasal 2
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 disebutkan bahwa jenis perselisihan hubungan
industrial liputi empat macam :

1. Perselisihan Hak
Yaitu perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya
perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-
undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (Pasal
1 angka 2)

iv
2. Perselisihan Kepentingan
Yaitu perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian
pendapat mengenai pembuatan dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang
ditetapkan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama (Pasal 1 ayat 3)
3. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja
Yaitu perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai
pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak (Pasal 1 angka 4)
4. Perselisihan antar-Serikat Pekerja/Serikat Buruh Hanya dalam Satu Perusahaan
Yaitu perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat
buruh lain hanya dalam satu perusahaan karena tidak adanya persesuaian paham
mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban keserikatpekerjaan (Pasal 1
ayat 5)

No. Jenis Perselisihan Penyebab Perselisihan Para Pihak


 Karena tidak dipenuhinya hak
Antara pengusaha
 Akibat perbedaan pelaksanaan atau
atau gabungan
penafsiran terhadap ketentuan
pengusaha dengan
1. Perselisihan hak peraturan perundang-undangan
pekerja/buruh atau
 Perjanjian kerja
serikat
 Peraturan perusahaan
pekerja/serikat buruh
 Perjanjian kerja bersama
 Karena tidak adanya kesesuaian
pendapat mengenai pembuatan
Perselisihan  Perubahan syarat-syarat kerja yang
2. Sda
kepentingan ditetapkan dalam perjanjian kerja
 Peraturan perusahaan
 Perjanjian kerja bersama
Perselisihan Karena tidak adanya kesesuaian pendapat
3. pemutusan mengenai pengakhiran hubungan kerja Sda
hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak
Perselisihan  Karena tidak ada kesesuaian pendapat Antara SP/SB satu
4.
antar-SP/SB mengenai keanggotaan dengan SP/SB yang

viii
 Pelaksanaan hak lain dalam satu
 Kewajiban keserikat pekerjaan dalam perusahaan
satu perusahaan

III. Prosedur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Secara teoritis ada tiga kemungkinan untuk menyelesaikan perselisihan hubungan


industrial, yaitu perundingan, menyerahkan kepada juru/dewan pemisah, dan menyerahkan
kepada pegawai perburuhan untuk diperantai. Yang dimaksud dengan juru/dewan pemisah
adalah konsiliator atau arbiter, yaitu pihak-pihak lain berdasarkan pihak-pihak yang berselisih
ditunjuk untuk membentu penyelesaian perselisihan. Sedangkan yang dimaksud dengan
pegawai perburuhan saat ini adalah mediator hubungan industrial (disebut mediator), yaitu
oegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab dibidang ketatatenagakerjaan yang
memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh menteri untuk bertugas
melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para
pihak yang sedang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan mengenai hak, perselisihan
kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja, serta perselisihan antara serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan (Pasal 1 angka 12 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004).

Fungsi antara juru/dewan pemisah dan pegawai perantara dapat dikatakan sama,
yakni sama-sama menjadi perantara penyelesaian perselisihan hubungan industrial atau
pemutusan hubungan kerja. Perbedaannya terletak pada sifat penyerahan perkaranya. Jika
penyerahan pemerantaraan kepada sifat penyerahan perkaranya. Jika penyerahan
pemerantaraan kepada juru/dewan pemisah bersifat sukarela (voluntary arbitration),
sedangkan jika kepada pegawai perantara bersifat wajib (compulsory arbitration).

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, maka prosedur


penyelesaian perselisihan hubungan industrial ditempuh dalam empat tahap. Keempat tahap
tersebut akan diuraikan satu demi satu.

1. Bipartit
Perngertian bipartit dalam hal ini sebagai mekanisme adalah tata cara atau proses
perundingan yang dilakukan antara dua pihak, yaitu pihak pengusaha dengan pihak
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh, antara lain, apabila terjadi

iv
perselisihan antara pengusaha dengan pekerja/buruh di perusahaan (Surat Edaran
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Nomor SE-01/D.PHI/XI/2004).
Perundingan bipartit pada hakikatnya merupakan upaya musyawarah untuk mufakat
antara pihak pengusaha dan pihak pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 mekanisme
penyelesaian perselisihan hubungan industrial memalui bipartit diatur sebagai berikut:
a. Penyelesaian melalui bipartit harus diselesaikan paling lama tiga puluh hari kerja
sejak tanggal dimulainya perundingan (pasal 3 ayat 2)
b. Apabila dalamjangka waktu tiga puluh hari kerja salah satu pihak menolak untuk
berunding atau telah dilakukan perundingan, tetapi tidak mencapai kesepakatan,
upaya melalui bipartit dianggap gagal (pasal 3 ayat 3)
c. Apabila upaya melalui bipartit gagal, salah satu pihak atau kedua pihak
mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketatatenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya
penyelesaian melalui bipartit telah dilakukan (pasal 4 ayat 1)
d. Apabila bukti-bukti tersebut tidak dilampirkan, kepada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketatatenagakerjaan setempat agar mengembalikan berkas untuk
dilengkapi paling lambat dalam waktu tujuh ahri kerja sejak tanggal diterimanya
pengembalian berkas (pasal 4 ayat 2)
e. Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketatatenagakerjaan setempat wajib menawarkan
kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi
atau melalui arbitrase (pasal 4 ayat 3)
f. Apabila para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau
arbitrase dalam jangka waktu tujuh hari kerja, instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketatatenagakerjaan setempat melimpahkan penyelesaian perselisihan
kepada mediator (pasal 4 ayat 4)
g. Setiap perundingan bipartit harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh para
pihak (pasal 6)
h. Risalah perundingan sekurang-kurangnya memuat :
 Nama lengkap dan alamat para pihak
 Tanggal dan tempat perundingan
 Pokok masalah atau alasan perselisihan

x
 Pendapat para pihak
 Kesimpulan atau hasil perundingan
 Tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan (pasal
6 ayat 2)
i. Apabila tercapai kesepakatan, dibuat perjanjian bersama yang ditanda tangani oleh
para pihak (pasal 7 ayat 1)
j. Perjanjian bersama wajib didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian
pada pengadilan hubungan industrial untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran
(pasal 7 ayat 3 dan 4)

2. Konsiliasi atau Arbitrase


a. Konsiliasi
Lingkup penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi
meliputi tiga jenisperselisihan, yakni perselisihan kepentingan, perselisihan PHK,
dan perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan (pasal
1 angka 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004). Berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 mekanisme penyelesaian perselisihan
hubungan industrial melalui konsiliasi diatur sebagai berikut :
1) Penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang
terdaftar pada kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan Kabupaten/Kota (pasal 17)
2) Penyelesaian oleh konsiliator sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dilaksanakan setelah para pihak mengajukan permintaan penyelesaian secara
tertulis kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh para pihak (pasal
18 ayat 2)
3) Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima
permintaan penyelesaian perselisihan secara tertulis, konsiliator harus sudah
mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan selambat-lambatnya
pada hari kerja kedelapan harus sudah dilakukan sidang konsiliasi pertama
(pasal 20)
4) Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial
melalui konsiliasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh
para pihak dan disaksikan oleh konsiliator dan didaftar di Pengadilan

iv
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak
mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran
(pasal 23 ayat 1)
5) Apabila tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselsihan hubungan
industrial melalui konsiliasi, maka:
 Konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis
 Anjuran tertulis harus sudah disampaikan pada para pihak selambat-
lambatnya sepuluh hari kerja sejak sidang konsiliasi pertama
 Para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada
konsiliator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis
dalam waktu selambat-lambatnya sepuluh hari kerja setelah menerima
anjuran tertulis
 Pihak yang tidak memberikan pendapatnya dianggap menolak anjuran
tertulis
 Apabila para pihak menyetujui anjuran tertulis, konsiliator harus
sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama
selambat-lambatnya tiga hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui
untuk kemudian didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri di wilayah pihak-pihak mengadakan Perjanjian
Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran (pasal 23 ayat 2)
6) Konsiliator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya tiga
puluh hari kerja terhitung sejak menerima permintaan penyelesaian
perselisihan (pasal 25)

b. Arbitrase
Lingkup penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase meliputi
dua jenis perselisihan, yakni perselisihan kepentingan dan perelisihan antara
SP/SB dalam satu perusahaan (pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004). Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 mekanisme
penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi diatur sebagai
berikut :

xii
1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase meliputi
perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
hanya dalam satu perusahaan (pasal 29)
2) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbiter dilakukan atas
dasar kesepakatan para pihak yang berselisih (pasal 32 ayat 1)
3) Kesepakatan para pihak yang berselisih sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dinyatakan secara tertulis dalam surat perjanjian arbitrase, dibuat rangkap 3
(tiga) dan masing-masing pihak mendapatkan 1 (satu) yang mempunyai
kekuatan hukum yang sama (pasal 32 ayat 2)
4) Dalam hal para pihak telah menandatangani surat perjanjian arbitrase
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) para pihak berhak memilih
arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri (pasal 33 ayat 1)
5) Arbiter yang bersedia untuk ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (8) membuat perjanjian penunjukan arbiter dengan para pihak yang
berselisih (pasal 34 ayat 1)
6) Dalam hal arbiter telah menerima penunjukan dan menandatangani surat
perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), maka yang
bersangkutan tidak dapat menarik diri, kecuali atas persetujuan para pihak
(pasal 35 ayat 1)
7) Arbiter wajib menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam waktu
selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak penandatanganan surat
perjanjian penunjukan arbiter (pasal 40 ayat 1)
8) Pemeriksaan atas perselisihan harus dimulai dalam waktu selambat-lambatnya
3 (tiga) hari kerja setelah penandatanganan surat perjanjian penunjukan arbiter
(pasal 40 ayat 2)
9) Atas kesepakatan para pihak, arbiter berwenang untuk memperpanjang jangka
waktu penyelesaian perselisihan hubungan industrial 1 (satu) kali
perpanjangan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja (pasal 40 ayat 3)
10) Pemeriksaan perselisihan hubungan industrial oleh arbiter atau majelis arbiter
dilakukan secara tertutup kecuali para pihak yang berselisih menghendaki lain
(pasal 41)
11) Dalam sidang arbitrase, para pihak yang berselisih dapat diwakili oleh
kuasanya dengan surat kuasa khusus (pasal 42)

iv
12) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial oleh arbiter harus diawali
dengan upaya mendamaikan kedua belah pihak yang berselisih (pasal 44 ayat
1)
13) Apabila perdamaian tercapai, maka arbiter atau majelis arbiter wajib membuat
Akta Perdamaian yang ditandatangani oleh para pihak yang berselisih dan
arbiter atau majelis arbiter, kemudian didaftarkan di Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter mengadakan perdamaian
(pasal 44 ayat 2 dan 3)
14) Apabila upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) gagal,
arbiter atau majelis arbiter meneruskan sidang arbitrase (pasal 44 ayat 5)
15) Terhadap kegiatan dalam pemeriksaan dan sidang arbitrase dibuat berita acara
pemeriksaan oleh arbiter atau majelis arbiter (pasal 48)
16) Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak
yang berselisih dan merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap (pasal
51 ayat 1)
17) Putusan arbitrase didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri di wilayah arbiter menetapkan putusan (pasal 51 ayat 2)
18) Terhadap putusan arbitrase, salah satu pihak dapat mengajukan permohonan
pembatalan kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari kerja sejak ditetapkannya putusan arbiter, apabila putusan
diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
 Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu
 Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan
 Putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu
pihak dalam pemeriksaan perselisihan
 Putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial
 Putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (pasal 52
ayat 1)
19) Perselisihan hubungan industrial yang sedang atau telah diselesaikan melalui
arbitrase tidak dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial (pasal 53)

xiv
3. Mediasi
Lingkup penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui medaisi meliputi
keempat jenis perselisihan, yakni perselisihan hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan PHK, dan perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dalam satu
perusahaan (Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004). Berdasarkan
ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 mekanisme penyelesaian
perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi diatur sebagai berikut :
a. Penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang berada di
setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
Kabupaten/Kota (pasal 8)
b. Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima
pelimpahan penyelesaian perselisihan mediator harus sudah mengadakan
penelitian tentang duduknya perkara dan segera mengadakan sidang mediasi
(pasal 10)
c. Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial
melalui mediasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para
pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftar di Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan
Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran (pasal 13 ayat 1)
d. Apabila tidak tercapai kesepakatan melalui mediasi, maka:
 Mediator mengeluarkan anjuran tertulis
 Anjuran tertulis harus sudah disampaikan kepada para pihak selambat-
lambatnya sepuluh hari kerja sejak sidang mediasi pertama
 Para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada
mediator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam
waktu selambat-lambatnya sepuluh hari kerja setelah menerima anjuran
tertulis
 Pihak yang tidak memberikan pendapatnya (atau tidak memberikan
jawaban) dianggap menolak anjuran tertulis
 Apabila para pihak menyetujui anjuran tertulis, mediator harus sudah
selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama selambat-
lambatnya tiga hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui yang kemudian
didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di

iv
wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk
mendapatkan akta bukti pendaftaran (pasal 13 ayat 2)
e. Mediator menyelesaikan tugas mediasi selambat-lambatnya tiga puluh hari kerja
sejak pelimpahan perkara (pasal 15)

4. Pengadilan Hubungan Industrial


Dalam hal tidak tercapai penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi, maka
salah satu pihak atau cara pihak dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan
hubungan industrial. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui
pengadilan ditempuh sebagai alternatif terakhir, dan secara huku bukan merupakan
kewajiban bagi para pihak yang berselisih, tetapi merupakan hak. Tidak jarang
ditemui adany aparat atau sebagian pihak yang salah presepsi terhadap hal ini. Jadi,
mengajukan atau tidak mengajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial hanya
merupakan hak para pihak, bukan kewajiban. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial
melalui konsiliasi diatur sebagai berikut :
a. Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah Hukum
Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum,
kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang ini (pasal 57)
b. Dalam proses beracara di Pengadilan Hubungan Industrial, pihak-pihak yang
berperkara tidak dikenakan biaya termasuk biaya eksekusi yang nilai gugatannya
di bawah Rp.150.000.000,00 (pasal 58)
c. Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
pekerja/buruh bekerja (pasal 81)
d. Pengajuan gugatan yang tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau
konsiliasi, maka hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan
gugatan kepada pengugat (pasal 83 ayat 1)
e. Hakim berkewajiban memeriksa isi gugatan dan bila terdapat kekurangan, hakim
meminta pengugat untuk menyempurnakan gugatannya (pasal 83 ayat 2)
f. Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai
kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili
anggotanya (pasal 87)

xvi
g. Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja
setelah menerima gugatan harus sudah menetapkan Majelis Hakim yang terdiri
atas 1 (satu) orang Hakim sebagai Ketua Majelis dan 2 (dua) orang Hakim Ad-
Hoc sebagai Anggota Majelis yang memeriksa dan memutus perselisihan (pasal
88 ayat 1)
h. Pemeriksaan dengan acara biasa :
 Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak penetapan
Majelis Hakim, maka Ketua Majelis Hakim harus sudah melakukan
sidang pertama (pasal 89 ayat 1)
 Apabila pihak yang dipanggil tidak ada di tempat tinggalnya atau tempat
tinggal kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui Kepala
Kelurahan atau Kepala Desa yang daerah hukumnya meliputi tempat
tinggal pihak yang dipanggil atau tempat kediaman yang terakhir (pasal 89
ayat 3)
 Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dikenal,
maka surat panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung
Pengadilan Hubungan Industrial yang memeriksanya (pasal 89 ayat 5)
 Sidang sah apabila dilakukan oleh majelis hakim sebagaimana dimaksud
delam pasal 88 ayat 1 (pasal 92)
 Apabila salah satu atau para pihak tidak dapat hadir tanpa alasan yang
dapat dipertanggungjawabkan, majelis hakim menetapkan hari sidang
berikutnya paling lambat tujuh hari kerja sejak tanggal penundaan (pasal
93)
 Apabila sidang penundaan terakhir pihak-pihak tidak hadir, akibatnya :
 Bagi penggugat, gugatannya dianggap gugur (pasal 94 ayat 1)
 Bagi tergugat, majelis hakim dapat melakukan putusan verstek
(pasal 94 ayat 2)
 Sidang majelis hakim terbuka untuk umum, kecuali majelis hakim
menetapkan lain (pasal 95 ayat 1)
i. Pemeriksaan dengan cepat :
 Apabila terdapat kepentingan para pihak dan/atau salah satu pihak yang
cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan
permohonan dari yang berkepentingan, para pihak dan/atau salah satu

iv
pihak dapat memohon kepada Pengadilan Hubungan Industrial supaya
pemeriksaan sengketa dipercepat (pasal 98 ayat 1)
 Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya permohonan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan Negeri
mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya
permohonan tersebut (pasal 98 ayat 2)
 Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat
digunakan upaya hukum (pasal 98 ayat 3)
 Dalam hal permohonan pemeriksaan dengan acara cepat dikabulkan,
Ketua Pengadilan Negeri dalam jangka waktu tujuh hari kerja setelah
dikeluarkannya penetapan menentukan majelis hakim, hari, tempat, dan
waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan (pasal 99 ayat 1)
j. Pengambilan putusan :
 Dalam mengambil putusan, Majelis Hakim mempertimbangkan hukum,
perjanjian yang ada, kebiasaan, dan keadilan (pasal 100)
 Putusan Mejelis Hakim dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum
(pasal 101 ayat 1)
 Majelis Hakim wajib memberikan putusan penyelesaian perselisihan
hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari
kerja terhitung sejak sidang pertama (pasal 103)
k. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai
perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja mempunyai kekuatan
hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung
dalam waktu selambatlambatnya 14 (empat belas) hari kerja (pasal 110)
l. Penyelesaian perselisihan oleh Hakim Kasasi :
 Majelis Hakim Kasasi terdiri atas satu orang Hakim Agung dan dua orang
Hakim Ad-Hoc yang ditugasi memeriksa dan mengadili perkara
perselisihan hubungan industrial pada Mahkamah Agung yang ditetapkan
oleh Ketua Mahkamah Agung (pasal 113)
 Tata cara permohonan kasasi serta penyelesaian perselisihan hak dan
perselisihan pemutusan hubungan kerja oleh Hakim Kasasi dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 114)

xviii
 Penyelesaian perselisihan hak atau perselisihan pemutusan hubungan kerja
pada Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi (pasal 115)

Guna mempermudah pemahaman di bawah ini terdapat kelembagaan dalam


penyelesaian perselisihan hubungan industrial, kewenangan dan jangka waktu
penyelesaiannya.

No. Lembaga Lingkup Kewenangan Jangka Waktu Dasar Hukum


1. Bipartit a) Perselisihan hak 3o hari kerja Pasal 6 s.d. 7
b) Perselisihan kepentingan Undang-Undang
c) Perselisihan PHK Nomor 2 Tahun
d) Perselisihan antar-SP/SB 2004
dalam satu perusahaan
2. Konsiliasi, atau a) Perselisihan kepentingan 30 hari kerja Pasal 17 s.d. 28
b) Perselisihan PHK Undang-Undang
c) Perselisihan antar-SP/SB Nomor 2 Tahun
dalam satu perusahaan 2004
3. Arbitrase a) Perselisihan kepentingan 30 hari kerja Pasal 29 s.d. 54
b) Perselisihan antar-SP/SB Undang-Undang
dalam satu perusahaan Nomor 2 Tahun
2004
4. Mediasi a) Perselisihan hak 3o hari kerja Pasal 8 s.d. 16
b) Perselisihan kepentingan Undang-Undang
c) Perselisihan PHK Nomor 2 Tahun
d) Perselisihan antar-SP/SB 2004
dalam satu perusahaan
5. Pengadilan Hubungan Industrial
a) Tingkat a) Perselisihan hak 50 hari kerja Pasal 81 s.d. 112
pertama b) Perselisihan kepentingan Undang-Undang
c) Perselisihan PHK Nomor 2 Tahun
d) Perselisihan antar-SP/SB 2004
dalam satu perusahaan
b) Tingkat a) Perselisihan hak 30 hari kerja Pasal 113 s.d. 115

iv
kasasi b) Perselisihan PHK Undang-Undang
Nomor 2 Tahun
2004

Yang perlu diperhatikan dalam penyelesaian diluar pengadilan ternyata


memiliki keterkaitan dengan mekanisme penyelesaian melalui pengadilan. Hal ini
dapat dilihat dalam ketentuan pasal 83 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004. Sebelum para pihak mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial,
maka terlebih dahulu harus menempuh upaya penyelesaian di luar pengadilan.

IV. Peranan Polri Terhadap Penegakan Hukum Dan Ketertiban Dalam Perselisihan
Hubungan Industrial
Berdasarkan Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor
POL 1 Tahun 2005 tentang Pedoman Tindakan Kepolisian Negara Republik
Indonesia pada Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Perselisihan Hubungan
Industrial, maka peranan polri terhadap penegakan hukum dan ketertiban dalam
perselisihan hubungan industrial adalah untuk menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakkan hukum, serta memungkinkan pelaksanaan hak
pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pengusaha pada saat dan akibat dari
perselisihan hubungan industrial.
Secara garis besar prosedur tindakannya adalah :
1. Kepolisian setempat melakukan koordinasi dengan instansi yang bertanggung
jawab dibidang ketenagakerjaan/organisasi pengusaha dan serikat buruh di
wilayahnya msing-masing agar dapat mengetahui perselisihan hubungan
industrial, rencana pelaksanaan mogok kerja, unjuk rasa, atau penutupan
perusahaan
2. Penempatan kesatuan polri pada area perselisihan hubungan industrial dilakukan
atas permintaan dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan,
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh, serta pengusaha atau organisasi
pengusaha, atau atas penilaian polri
3. Tujuan penempatan kesatuan polri pada area perselisihan hubungan industrial
adalah untuk memberikan perlindungan dan pelayanan dalam menjaga keamanan
dan ketertiban msayarakat serta memungkinkan pekerja/buruh dan pengusaha

xx
melaksanakan hak-haknya untuk mogok kerja, unjuk rasa, atau menutup
perusahaan secara sah, tertib dan damai
4. Anggota kesatuan polri yang ditempatkan pada area perselisihan hubungan
industrial, pemogokan, unjuk rasa, atau penutupan perusahaan harus :
 Selalu mengenakan seragam, tanda kesatuan, dan identitas yang jelas
 Bersikap profesional dan proporsional, serta menjunjung tinggi hukum
dan perundang-undangan, dan hak asazi manusia
 Tidak memihak kepada pihak-pihak yang berselisih
 Berprinsip bahwa semua berkedudukan sama di depan hukum
 Memposisikan para pihak tersebut bukanlah lawan melainkan mitra
dalam mencari ketentraman industrial dan keadaan sosial
 Tidak melibatkan diri dalam perundingan penyelesaian perselisihan
hubungan industrial
5. Dalam menghadapi mogok kerja, unjuk rasa, ata penutupan perusahaan yang
belum mengganggu keamanan dan ketertiban umum, anggota polri ditempatkan
pada radius paling dekat 25m atau pada jarak pandang maksimal dari pemogok
kerja atau pengunjuk rasa
6. Permintaan untuk memperoleh bantuan polri sebagaimana butir 1 dapat
disampaikan ke kantor kepolisian setempat secara tertulis maupun lisan, dengan
disertai penjelasan singkat secara kronologis terhadap kemungkinan pelanggaran
hukum. Apabila permintaan secara lisan, diusulkan permintaan tertulis paling
lama 1 x 24 jam
7. Apabila terdapat ancaman dan gangguan nyata terhadap keamanan dan
ketertiban masyarakat dalam perselisihan hubungan industrial, anggota polri
wajib melakukan tindakan kepolisian secara tegas dan terukur, sesuai ketentuan
dan perundang-undangan yang berlaku
8. Terhadap siapa saja yang diduga melakukan tindakan pidana pada saat
perselisihan hubungan industrial, polri dapat melakukan upaya paksa melalui
pemanggilan, penagkapan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan, dan
penahanan
9. Sesuai dengan tingkat ancaman, peralatan yan gdapat digunakan adalah tameng,
tongkat polisi “T”, megaphone, gas air mata, pemadam api, handycam, dan
kamera

iv
10. Amunisi senjata api yang digunakna adalah peluru hampa dan peluru karet
11. Penggunaan amunisi dengan jenis peluru tajam tidak dibenarkan
12. Penggunaan senjata api dapat dilakukan apabila terjadi ancaman yang nyata dan
serius terhadap keselamatan jiwa, harta benda, dan kehormatan.

xxii
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh


pengusaha dan pekerja/buruh atau dengan serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah
mufakat melalui proses yang telah ditentukan dan diatur didalam perundang-undangan yang
berlaku. Sehingga kepada para pihak yang berselisih paham tidak dibenarkan untuk
melakukan atau bertindak secara semena-mena hanyauntuk mewujudkan tujuan dan
keinginannya semata tanpa memperhatikan faktor-faktor lain. Sehingga sangat dianjurkan
kepada pihak-pihak yang sedang mengalami perselisihan baik untuk perusahaan maupun
pada pekerja/buruh untuk dapat memahami dan melaksanakan ketentuan didalam
penyelesaian perselisihan hubungan industrial agar tercipta kondisi yang aman, tentram dan
agar tujuan dan selisih paham yang terjadi dapat diselesaikan tanpa merugikan masyarakat
sipil, pengusaha, pekerja atau bahkan pemerintah setempat maupun pemerintah pusat

Saran

iv
DAFTAR PUSTAKA

https://betterwork.org/in-labourguide/?page_id=2863

http://www.hukumtenagakerja.com/perselisihan-hubungan-industrial/jenis-jenis-perselisihan-
hubungan-industrial/

Khakim, Abdul. 2009. Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Bandung: PT Citra


Aditya Bakti

Aturan Dasar dan Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan


Industrial

xxiv

Anda mungkin juga menyukai