Anda di halaman 1dari 25

HUBUNGAN INDUSTRIAL

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Industri dan Organisasi
Dosen Pengampu: Dr. Endah K. Purwaningtyas., M.Psi

Disusun oleh:

Kelompok 11
Psikologi – A

Annisa Safira 210401110012


Lismina Hidayati 210401110032
Gumelar Sastra Hidayat 210401110034
Baihaki Giri Wijaya 210401110003

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Hubungan Industrial.
Penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan,
pertama, ibu Dr. Endah K. Purwaningtyas., M.Psi, Dosen matakuliah yang telah berkenan
meluangkan waktu dengan sabar memberikan bimbingan, motivasi dan pengarahan dalam
penyusunan makalah ini. Kedua, keluarga besar teman-teman Psikologi angkatan 2021
Kelas A, yang selalu bersemangat, berkerja sama dengan baik, dan kekompakan kita semua
yang akhirnya membuat penulis bersemangat menyelesaikan studi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak dan mengharapkan saran,
kritik dari pembaca. Semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya dunia
pendidikan. Amin.

Malang, 23 November 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... I


DAFTAR ISI ................................................................................................II

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 1
1.3 Tujuan ............................................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hubungan Industrial ..................................................................... 3
2.2 Peraturan Hubungan Industrial ....................................................................... 4
2.3 Perbandingan UU Ketenagakerjaan dengan UU Cipta Kerja ...................... 6
2.4 Pihak-Pihak mana yang Terkait dengan Hubungan Industrial ....................... 9
2.5 Pentingnya Perjanjian Kerja dan Tawar Menawar ....................................... 11
2.6 Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial .......................................... 15
A. Pengertian .............................................................................................. 15
B. Tindakan Protes ..................................................................................... 19
C. Pemogokan Kerja .................................................................................. 19

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan .................................................................................................. 21

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 22

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Hubungan industrial menjadi salah satu komponen penting dan rumit dari
masyarakat industri modern saat ini. Kemajuan industri tak mungkin berlangsung tanpa
adanya hubungan dan kolaborasi antara pekerja dan perusahaan. Dengan demikian,
menciptakan dan memelihara hubungan baik antara pekerja (buruh) dan pengusaha
(manajemen) adalah kepentingan semua pihak yang harus diwujudkan.

Istilah hubungan industrial sendiri awalnya adalah mencakup hubungan perburuhan


dan selalu berhubungan antara buruh dan pengusaha. Seiring perkembagnan zaman, cakupan
hubungan industrial ini tidak hanya terbatas pada hubungan pekerja atau buruh dengan
pengusaha saja, tapi juga ada pihak pemerintah.

Keberadaan pengusaha dan karyawan menjadi faktor yang krusial dalam dunia
industri. Oleh karena itu, perlu adanya Hukum Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial.
Berikut akan diulas mengenai pengertian serta penjelasan perselisihan pada hubungan
industrial di Indonesia.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah atau
penelitian ini dijelaskan sebagai berikut.

1) Apakah yang dimaksud dengan hubungan industrial?


2) Bagaimana peraturan hubungan industrial?
3) Bagaimana perbandingan UU Ketenagakerjaan dengan UU Cipta Kerja?
4) Pihak-Pihak mana yang terkait dengan hubungan industrial?
5) Apa pentingnya perjanjian kerja dan tawar menawar?
6) Bagaimana penyelesaian perselisihan hubungan industrial?

1.3 TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan pembahasan dijelaskan sebagai
berikut.

1) Menjelaskan konsep hubungan industrial.

1
2) Menjelaskan peraturan hubungan industrial.
3) Menjelaskan perbandingan UU Ketenagakerjaan dengan UU Cipta Kerja.
4) Menjelaskan Pihak-Pihak mana yang terkait dengan hubungan industrial.
5) Menjelaskan pentingnya perjanjian kerja dan tawar menawar.
6) Menjelaskan penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN HUBUNGAN INDUSTRIAL


Dalam pasal 1 angka 16 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan berbunyi:
“Hubungan Industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku
dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha,
pekerja/buruh, dan pemerintah yang berdasarkan nilai nilai Pancasila dan Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Secara singkat, pengertian hubungan industrial adalah merupakan sebuah


hubungan yang terbentuk antara pihak-pihak yang terlibat dalam proses berjalannya suatu
usaha. Dengan kata lain hubungan industrial merupakan sebuah sistem hubungan yang
terbentuk antara para pelaku prosess produksi barang/jsa, baik internal maupun eksternal
perusahaan. Pihak-piha yang terrkait dalam hubungan ini adalah pekerja, pengusaha dan
pemerintah yang diistilahkan sebagai tripatrit. Di tingkat perusahaan, pekerja dan pengusaha
merupakan tokoh utama dalam hubungan industrial.

Hubungan industrial adalah hubungan semua pihak yang terkait atau berkepentingan
atas proses produksi barang atau jasa di suatu perusahaan. Pihak yang berkepentingan dalam
setiap perusahaan (Stakeholders):
1. Pengusaha atau pemegang saham yang sehari-hari diwakili oleh pihak
2. manajemen
3. Para pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh
4. Supplier atau perusahaan pemasok
5. Konsumen atau para pengguna produk/jasa
6. Perusahaan Pengguna
7. Masyarakat sekitar
8. Pemerintah

Disamping para stakeholders tersebut, para pelaku hubungan industrial juga


melibatkan:
1. Para konsultan hubungan industrial dan/atau pengacara

3
2. Para Arbitrator, konsiliator, mediator, dan akademisi
3. Hakim-Hakim Pengadilan hubungan industrial

Abdul Khakim (2009) menjelaskan, istilah hubungan industrial merupakan


terjemahan dari "labour relation" atau hubungan perburuhan. Istilah ini pada awalnya
menganggap bahwa hubungan perburuhan hanya membahas masalah-masalah hubungan
antara pekerja/buruh dan pengusaha. Seiring dengan perkembangan dan kenyataan yang
terjadi di lapangan bahwa masalah hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha
ternyata juga menyangkut aspek-aspek lain yang luas. Dengan demikian, Abdul Khakim
(2009) menyatakan hubungan perburuhan tidaklah terbatas hanya pada hubungan antara
pekerja/buruh dan pengusaha, tetapi perlu adanya campur tangan pemerintah.

Tujuan hubungan industrial adalah untuk meningkatkan produktivitas dan


kesejahteraan pekerja maupun pengusaha. Kunci utama keberhsilan mencapai hubungan
industrial yang aman dan dinamis adalah komunikasi. Faktor penunjang utama dalam
komunikasi ini adalah adanya intraksi positif dari keduanya.

2.2 PERATURAN HUBUNGAN INDUSTRIAL


Hubungan industrial sendiri saat ini diatur dalam Undang-Undang (UU) Cipta
Kerja. Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan Rancangan
Undang-Undang Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020, meski dalam proses pembahasan antara
pemerintah dengan parlemen diiringi protes walaupun setelah disahkan oleh dewan.

Pada prosesnya, RUU yang kemudian menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja ini ini dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkahmah Konstitusi
(MK).

Sebagai penggantinya, Presiden Joko Widodo pada 30 Desember 2022 lalu


mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun
2022 tentang Cipta Kerja sebagai pengganti UU Cipta Kerja 2020.Selang beberapa bulan,
pada tanggal 21 Maret 2023, DPR melalui Rapat Paripurna akhirnya secara resmi
menyetujui penggantian Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU) Cipta Kerja.

4
Dengan adanya UU Omnibus Law Cipta Kerja ini, maka resmi menghapus UU
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) sehingga tidak
berlaku lagi.

2.2.1. Hukum Materiil.


• Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan secara
umum memuat antara lain:
1. Landasan, asas dan tujuan pembangunan ketenagakerjaan;
2. Pemberian kesempatan dan perlakuan yang sama bagi tenaga kerja
3. Perencanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan;
4. Pelatihan kerja yang diarahkan untuk meningkatkan dan mengembangkan keterampilan
serta keahlian tenaga kerja;
5. Pelayanan penempatan tenaga kerja dalam rangka pendayagunaan tenaga kerja secara
optimal dan penempatan tenaga kerja pada pekerjaan yang sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan;
6. Perluasan kesempatan kerja;
7. Penggunaan tenaga kerja asing yang tepat sesuai dengan kompetensi yang diperlukan;
8. Pembinaan hubungan industrial yang sesuai dengan nilai- nilai Pancasila diarahkan untuk
menumbuh kembangkan hubungan yang harmonis, dinamis dan berkeadilan antar pelaku
proses produksi;
9. Perlindungan pekerja termasuk perlindungan atas hak-hak dasar pekerja untuk berunding
dengan pengusaha, perlindungan keselamatan, kesehatan kerja, upah dan jaminan sosial
tenaga kerja;
10. Pembinaan kelembagaan dan hubungan industrial, perjanjian kerja bersama, lembaga kerja
sama bipartit, hubungan industrial dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial;
11. Pengawasan ketenagakerjaan dengan maksud agar benar-benar dilaksanakan sebagaimana
mestinya.
UU yang terdiri dari 193 pasal tersebut berfungsi untuk mengatur perusahaan dan
karyawan atau pekerja yang berisi aturan main yang harus dipahami, termasuk
mengenai pengertian hubungan industrial.
• UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
• Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Tentang Cipta Kerja Nomor 2 Tahun 2022
pada BAB IV KETENAGAKERJAAN.

5
2.2.2. Hukum Formil.
• Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial.
• Perpu Nomor 1 Tahun 2005 tentang Penangguhan Pemberlakuan UU Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang diberlakukan 14-1-2006.

2.3 PERBANDINGAN ANTARA UU OMNIBUS LAW CIPTA KERJA DENGAN UU


KETENAGAKERJAAN 13/2003
Jika disandingkan dengan undang-undang pendahulunya, pada UU Omnibus Law
Cipta Kerja ini ada beberapa perbedaan terkait kebijakan ketenagakerjaan. Ada perubahan
dan penghapusan terhadap beberapa pasal yang ada dalam UU 13/2003.

Berikut poin-poin perubahan pada UU Omnibus Law Cipta Kerja dibanding UU


Ketenagakerjaan 13/2003:

Poin-poin UU Ketenagakerjaan UU Omnibus Law


13/2003 Cipta Kerja
Jam Jam Kerja Paling banyak hanya 3 Waktu kerja lembur
Kerja/Hari jam per hari dan menjadi 4 jam per hari
Libur 14/minggu. dan 18 jam/minggu.

Hari Libur Ada 2 pilihan, yakni Istirahat mingguan 1


Mingguan istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja
hari untuk 6 hari kerja
atau 2 hari untuk 5 hari
kerja

Istirahat Diberikan hak cuti Tidak tercantum/ Belum


sesuai ketentuan bisa dipastikan apakah
Panjang, Cuti masing-masing pasal terkait diubah atau
Haid, Cuti dihilangkan.
Hamil-
Melahirkan,
dan Hak
Menyusui
Status Pekerja Masa Kontrak Maksimal dilakukan Tidak ada batasan aturan
selama 2 tahun, lalu pekerja bisa dikontrak
boleh diperpanjang
kembali dalam waktu 1
tahun.

6
Upah 11 kebijakan
7kebijakan
pengupahan,yang
kemudian dihapus pengupahan,diantaranya:
adalah:
1. Upah minimum
1. Upah karena 2. Struktur dan skala
menjalankan hak upah
waktu istirahat 3. Upah kerja lembur
kerjanya 4. Upah tidak masuk
2. Upah untuk kerja dan/atau tidak
pembayaran pesangon melakukan pekerjaan
3. Upah untuk karena alasan tertentu
perhitungan pajak 5. Bentuk dan cara
penghasilan pembayaran upah
4. Denda dan potongan 6. Hal-hal lain yang
upah dapat diperhitungkan
dengan upah
7. Upah sebagai dasar
perhitungan atau
pembayaran hak dan
kewajiban lainnya
Pesangon Pesangon harus 1. Tidak ada
diberikan pada
pekerja/buruh yang di
PHK karena melakukan
pelanggaran setelah
diberi surat peringatan.
Pesangon harus 2. Tidak ada
diberikan pada
pekerja/buruh yang di
PHK karena perubahan
status kepemilikan
Perusahaan.
Pesangon diberikan pada 3. Tidak ada
pekerja/buruh yang di
PHK karena perusahaan
merugi dan pailit (sesuai
Pasal 164 dan 165)
Pemberian uang 4. Tidak ada
santunan pada ahli waris
atau keluarga pekerja
jika pekerja/buruh
meninggal dunia.

7
Uang 5. Tidak ada
Pesangon diberikan pada
pekerja/buruh yang di
PHK karena memasuki
usia pensiun. Pesangon
diberikan sebanyak 2
kali, uang penghargaan
masa kerja 1 kali dan
uang penggantian hak
(sesuai Pasal 156 dan
167).
Jaminan Jaminan Perusahaan yang tidak Tidak ada sanksi
Sosial Pensiun mengikutsertakan
pekerja/buruh dalam
program jaminan
pensiun akan dikenakan
sanksi.
Jaminan Tidak ada Jaminan Kehilangan
Kehilangan Pekerjaan, yang dikelola
Pekerjaan oleh BPJS
Ketenagakerjaan
perusahaan berdasarkan
prinsip asuransi sosial.
PHK 9 alasan perusahaan 14 alasan perusahaan
boleh melakukan PHK, boleh melakukan PHK,
diantaranya: bertambah 5 poin
diantaranya:
1. Perusahaan bangkrut
2. Perusahaan tutup 1. Perusahaan melakukan
karena merugi efisiensi
3. Perubahan status 2. Perusahaan melakukan
perusahaan penggabungan,
4. Pekerja/buruh peleburan,
melanggar perjanjian pengambilalihan, atau
kerja pemisahan perusahaan
5. Pekerja/buruh 3. Perusahaan dalam
melakukan kesalahan keadaan penundaan
berat kewajiban pembayaran
6. Pekerja/buruh utang
memasuki usia 4. Perusahaan melakukan
pensiun perbuatan yang
7. Pekerja/buruh merugikan
mengundurkan diri pekerja/buruh
8. Pekerja/buruh 5. Pekerja/buruh
meninggal dunia mengalami sakit
9. Pekerja/buruh berkepanjangan atau
mangkir cacat akibat kecelakaan
kerja dan tidak dapat
melakukan

8
pekerjaannya setelah
melampaui batas 12
bulan

2.4 PIHAK-PIHAK MANA YANG TERKAIT DENGAN HUBUNGAN INDUSTRIAL


Dalam hubungan kerja, pada dasarnya terdapat dua pihak yang terlibat, yaitu buruh
dan pemberi kerja (pengusaha/manajemen). Selain keduanya, ada peran pemerintah dalam
menetapkan langkah hukum dan non-hukum untuk menciptakan hubungan industrial yang
ramah di wilayahnya. Di dalam industri, terdapat 3 pihak utama yang memiliki tugas
berbeda. Fungsi bagi ketiga pihak tersebut sudah diatur dalam UU Ketenagakerjaan No.
13 Tahun 2003 Pasal 102.
Berikut adalah masing-masing fungsi mereka dalam menciptakan hubungan
industrial yang harmonis:

2.4.1. Pekerja/buruh dan Serikatnya


Definisi pekerja sebagaimana jika merujuk dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 dan Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2004, dinyatakan bahwa pekerja atau buruh sebagai "setiap orang
yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain."
Pada saat pekerja bekerja di dalam perusahaan, dalam perkembangan dunia kerja
serta demi perkembangan produktivitas perusahaan, terkadang pekerja tidak hanya dituntut
bekerja sesuai dengan perintah kerja saja. Inovasi pekerja dalam melaksanakan pekerjaan
serta pekerja dituntut untuk aktif dalam menyampaikan ide atau pendapat yang berguna
dalam pengembangan perusahaan juga dibutuhkan. Hal ini merupakan perwujudan
kerjasama pengusaha dan pekerja untuk kemajuan perusahaan. Apabila perusahaan
mengalami kemajuan dalam produktivitasnya, tentunya keuntungan yang diperoleh
Perusahaan semakin besar, dan ini dapat pula berdampak pada terpenuhinya ataupun
terjadinya peningkatan pemenuhan kesejahteraan pekerja.
Di perusahaan, peran pekerja atau karyawan harus menjalankan pekerjaan sesuai
dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi dan menghindari
munculnya konflik, serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan
anggota beserta keluarganya. Hak karyawan tetap diutamakan seperti dalam hal
menyampaikan pendapat secara demokratis serta hak untuk mengembangkan keahlian
mereka.

9
Tak hanya individunya, aspek pekerja juga meliputi usia kerja, latar belakang
pendidikan, keluarga, faktor psikologis, budaya, skill, dan sebagainya. Pekerja juga biasanya
tergabung dalam serikat pekerja yang berfungsi melindungi kepentingan ekonomi pekerja
melalui perundingan bersama manajemen. Pasal 1 ayat (17) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 dijelaskan serikat pekerja/buruh adalah organisasi yang
dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan,
yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna
memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta
meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh keluarganya.

2.4.2. Pengusaha dan Asosiasinya

Pengusaha merupakan salah satu subyek hukum dalam definisi hubungan kerja.
Pengusaha pada dasarnya adalah orang yang menjalankan perusahaan. Hal ini terlihat dalam
Pasal 1 butir C Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan,
yang menyatakan bahwa "pengusaha adalah setiap orang perseorangan atau persekutuan
atau badan hukum yang menjalankan sesuatu jenis perusahaan."

Berikutnya pengertian perusahaan juga ditemukan dalam Pasal 1 ayat (5) Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 dan Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa pengusaha adalah:

a) Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan
milik sendiri;
b) Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c) Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili
Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam poin a dan b yang berkedudukan di luar wilayah
Indonesia.

Tentu saja peran pengusaha/manajemen diperlukan untuk melakukan komunikasi


timbal balik berdasarkan kewenangannya terhadap serikat pekerja atau asosiasi pengusaha.
Fungsi lainnya yaitu menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, dan memperluas
lapangan kerja. Sebisa mungkin perusahaan harus mewujudkan relasi yang harmonis dengan

10
karyawan. Hak-hak karyawan juga menjadi prioritas utama untuk diutamakan agar tak ada
perselisihan yang bisa berujung pada pengadilan.

2.4.3. Pemerintah

Pemerintah berperan penting sebagai penyeimbang dan pemelihara bangsa. Peran


pemerintah adalah memberikan pengaruh terhadap industrial relation melalui kebijakan
ketenagakerjaan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, penerapan
perundang-undangan, proses konsiliasi sebagai mediator, dan lain-lain.
Upaya pemerintah adalah mengatur kegiatan dan tindakan serikat pekerja maupun
asosiasi pengusaha. Pemerintah juga berhak melakukan tindakan apabila ada pihak yang
melakukan pelanggaran terkait undang-undang ketenagakerjaan.
Dengan demikian, ketiga pihak ini bekerja sama dalam lingkungan ekonomi yang
sama dengan waktu masing-masing. Sinergi dari ketiga pihak ini akan membentuk sistem
dan aturan industrial di dalamnya yang telah disepakati. Kesepakatan dapat berbentuk
tertulis serta disetujui oleh praktik, kebiasaan, tradisi, maupun intervensi yang dilakukan
pemerintah.

2.5 PENTINGNYA PERJANJIAN KERJA DAN TAWAR MENAWAR


2.5.1. Aspek Filosofis Perjanjian Kerja Bersama

Ulasan aspek filosofis terhadap suatu persoalan tidak dapat dilepaskan dari
pembahasan sudut pandang ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Sisi ontologi dari suatu
obyek menawarkan ilmu mengenai obyek yang akan menjadi materi atau bahan kajian atau
dengan kata lain terdapat suatu permasalahan (problem) terkait suatu obyek. Dikaitkan
dengan perjanjian kerja bersama (PKB), ontologi mene- rangkan bahwa PKB adalah obyek,
hasil, dan persoalan yang didekati dari kemampuan dan kesadaran manusia (indera manusia)
yang meliputi daya pikir (kognitif), daya rasa (afektif), dan hasrat atau kemauan (konatif)
terhadap sesuatu yang mendasari hubungan kerja. Epistemologi mencakup ilmu tentang cara
berpikir untuk menemukan jawaban atas suatu persoalan.

Terkait pembahasan ini, epistemologi ditujukan untuk mengkaji PKB melalui


pemikiran dan metode berpikir yakni deduksi dan induksi yang diupayakan oleh serikat
pekerja dan pengusaha sebagai alat (tool) untuk menyelesaikan persoalan kerja. Sedangkan

11
aksiologi secara umum berarti ilmu mengenai kegunaan dari pencapaian terhadap
penguasaan ilmu. Mengenai PKB, tinjauan aksiologi menjelaskan bahwa manusia (dalam
hal ini pekerja dan pengusaha) berupaya memperoleh manfaat, kegunaan, dan hasil secara
substansial dan instrumental dari aktifitasnya menyusun dan melaksanakan PKB di
perusahaan untuk mencapai keharmonisan kerja dan kesejahte- raan pengusaha, pekerja,
anggota keluarga pekerja, dan anggota masyarakat lainnya.

2.5.2. Pemahaman Pentingnya Perjanjian Kerja Bersama

Perjanjian Kerja Bersama atau juga dikenal dengan ringkasan PKB, pada dasarnya
merupakan perjanjian yang dibuat oleh 2 (dua) pihak, yakni serikat pekerja dengan satu
pengusaha atau lebih yang berlaku dalam 1 (satu) perusahaan. Keberadaannya menjadi
penting karena ia merupakan sarana untuk mempertemukan kepentingan, pandangan, nilai,
dan tujuan yang berbeda untuk kemudian disesuaikan dalam 1 (satu) wadah bersama. PKB
juga mengatur hal-hal pokok berupa kondisi kerja dan persyaratan kerja yang terkait dengan
berbagai aspek penting kehidupan pekerja dan pengusaha di dalam dan di luar perusahaan
serta kelangsungan hidup perusahaan itu sendiri, seperti jam kerja, cuti dan libur kerja, dan
upah kerja yang merupakan daya dukung utama kualitas kerja. Terlebih, ia juga mampu
meningkatkan hubungan pekerja-pengusaha, mencegah penyim- pangan oleh pekerja-
pengusaha, dan sampai batas tertentu mengatasi perselisihan di antara pekerja-pengusah.

Selain argumen tersebut, Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2003


tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan)
secara implisit memuat alasan-alasan normatif pentingnya keberadaan PKB di perusahaan
(epistemologi), yang mana PKB:

1. Mendasari hubungan kerja pekerja-pengusaha yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan
perintah (pasal 1 angka 15);
2. Memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua pihak (pasal 1 angka 21);
3. Mendudukkan dan menegaskan posisi yang setara antara pekerja dan pengusaha karena ia
merupakan hasil perundingan (pasal 1 angka 21) dan musyawarah (pasal 116) kedua pihak
tersebut;
4. Merupakan sarana melaksanakan hubungan industrial (pasal 103 huruf f);
5. Merupakan dasar dan kewajiban bagi serikat pekerja, pekerja, dan pengusaha untuk
melaksanakannya (pasal 126);
6. Merupakan pedoman bagi pembuatan perjanjian kerja (pasal 127).

12
Dengan memahami nilai esensial hadirnya PKB di perusahaan, diharapkan kedua
pihak baik pekerja dan pengusaha berinisiatif mewujudkan dan memelihara keberlanjutan
pelaksanaan PKB. Di samping sejumlah argumen urgensi hadirnya PKB, Budiarti (2012)
menguraikan tujuan (aksiologi) diadakannya PKB:

1. Menentukan kondisi-kondisi kerja dan syarat-syarat kerja;


2. Mengatur hubungan antara pengusaha dengan pekerja;
3. Mengatur hubungan antara pengusaha atau organisasi pengu- saha dengan organisasi
pekerja/serikat pekerja

2.5.3. Muatan Perjanjian Kerja Bersama

Tinjauan terhadap muatan PKB dapat dicermati dari berbagai sudut pandang, yakni:
hukum ketenagakerjaan nasional dan aspek internasional. Beragamnya sudut pandang
tersebut dimaksudkan untuk memperkaya referensi serikat pekerja dan pengusaha mengenai
materi-materi yang hendak atau tidak diajukan dalam rangkaian negosiasi melalui model
perbandingan dan penyandingan. Cakupan muatan PKB juga ditentukan oleh isu-isu yang
didiskusikan oleh dan banyak dipengaruhi kekuatan yang berasal dari pihak mana- jemen
dan serikat pekerja maupun pengaruh dari Pemerintah dan faktor ekonomi (Cordova,
1982:233). Selain itu, pemaparan dari beragam aspek ini dapat ditujukan untuk
mengembangkan kemampuan dan wawasan serikat pekerja dan pengusaha tentang hal-hal
yang seha- rusnya menjadi muatan PKB.

Pada sisi lain, tinjauan ini tidak bermaksud mengungkap kele- mahan suatu sudut
pandang atau aspek tertentu dibandingkan dengan sudut pandang atau aspek lain utamanya
perihal muatan PKB. Hal ini dikarenakan ragam muatan PKB lebih dipengaruhi oleh faktor-
faktor seperti:

1. Ukuran perusahaan;
2. Jenis industri dari perusahaan tersebut; Perjanjian Kerja Bersama Antara Pengusaha dan
3. Kemampuan dan kemauan serikat pekerja saat negosiasi;
4. Kemampuan dan kemauan pengusaha saat negosiasi; e. Kebutuhan serikat pekerja;
5. Kebutuhan pengusaha;
6. Regulasi nasional; dan
7. Situasi mikro dan makro ekonomi nasional.

13
2.5.4. Proses Tawar Menawar Kolektif

Menurut undang-undang Relasi Tenaga Kerja Nasional: Tujuan dalam melakukan


tawar-menawar secara kolektif adalah kinerja dari kewajiban mutual pemberi kerja dan
perwakilan karyawan untuk bertemu pada waktu yang sesuai dan berunding dengan niat baik
mengenai upah, jam kerja, dan persyaratan dan kondisi pekerjaan, atau
negosiasikesepakatan yang tercapai jika diminta oleh salah satu pihak, tetapi kewajiban
tersebuttidak memaksa salah satu pihak untuk sepakat dengan sebuah proposal atau
mengharuskandilakukannya konsesiDalam bahasa sederhananya, ini berarti bahwa baik
manajemen maupun tenaga kerjadiharuskan oleh hukum untuk menegoisasikan upah, jam
kerja, serta persyaratan dankondisi pekerjaan “dengan niat baik.”

Tawar menawar dengan niat baik (good faith bargaining) adalah landasan
hubungantenaga kerja-manajemen yang efektif. Hal ini berarti bahwa kedua belah pihak
berkomunikasi dan bernegosiasi, menyusun proposal dengan kontraproposal, danmelakukan
upaya yang memadai untuk hadir pada suatu kesepakatan baik serikat pekerja maupun
manajemen mengirimkan tim negosiasike meja tawar-menawar, dan keduanya menjalani
sesi tawar-menawar. Pertama mereka mendapatkan data bagaimana mereka
inginmembangun posisi tawar mereka. Dari survei kompensasi, merekamenyusun data
mengenai bayaran dan tunjangan, termasuk perbandingan dengan tingkat bayaran lokal dan
dengan tingkat bayaranuntuk pekerjaan serupa dalam industri tersebut.

Manajemen juga akan "menghitung biaya" kontrak kerja sekarangdan menentukan


biaya peningkatan-total, per karyawan, dan per jam-dari tuntutan serikat pekerja. Mereka
akan menggunakan informasikeluhan dan umpan balik dari penyelia untuk menentukan
seperti apatutntutan serikat pekerja, dan menyiapkan penawaran balasan danargumen

Ahli tawar-menawar kolektif menekankan perlunya menghitung biaya tuntutan


serikat pekerja secara teliti. Salah satunya berkata,Kesalahan yang paling sering saya lihat
adalah profesional SDM yang melakukannegosisasi tanpa memahami dampak finansial dari
hal-hal yang mereka letakkan diatasmeja. Sebagai contoh, serikat pekerja menginginkan tiga
hari liburan ekstra. Itukedengarannya tidak banyak, kecuali bahwa dibeberapa negara
bagian, jika seorangkaryawan keluar, Anda harusmembayar mereka untuk waktu libur yang
tidak terpakai. Jadi sekarang pemberi kerjaAnda harus membawa kewajiban itu di buku
mereka sepanjang waktu.

14
2.6 PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
2.6.1 PENGERTIAN
Pasal 1 ayat (22) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003
menjelaskan pengertian perselisihan hubungan industrial yang berbunyi:

“Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan


pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau
serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan
kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.”

Perselisihan hak adalah perselisihan mengenai hak normatif, yang sudah ditetapkan
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan
perundang-undangan”. Meskipun penjelasan ini berbentuk rumusan, ia harus ditafsirkan
sebagai penjelasan, baik atas pasal 2 huruf a, maupun pasal 1 angka 1 dan pasal 1 angka 2.
Hak pengusaha atau buruh terdapat dalam peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Hak-hak inilah yang lazim disebut
sebagai hak normatif. Terhadap hak ini dapat diperselisihkan yang wujudnya atau
formalitasnya berupa perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan. Pihak yang
memperselisihkan dapat pengusaha, buruh, atau pengusaha dan buruh.

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial diatur dalam Undang-undang Nomor

2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Menurut Undang-


undang tersebut cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial dibagi menjadi dua yaitu
penyelesaian perselisihan di luar pengadilan dan di dalam pengadilan. Penyelesaian
perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan meliputi Perundingan Bipartit, Mediasi,
Konsiliasi dan Arbritase.

Dilihat dari sudut subjek hukumnya ada dua jenis perselisihan hubungan industrial,
yaitu;

1 Perselisihan hubungan industrial yang subjek hukumnya pengusaha atau gabungan


pengusaha dengan buruh atau serikat buruh. Perselisihan hubungan industrial ini terdiri atas
(a) perselisihan hak, (b) perselisihan kepentingan, dan (c) perselisihan pemutusan hubungan
kerja.

15
2 Perselisihan hubungan industrial yang subjek hukumnya serikat buruh dengan serikat buruh
lain dalam satu perusahaan. Perselisihan hubungan industrial ini hanya ada satu, yaitu
perselisihan antar serikat buruh dalam satu perusahaan.
Dengan demikian, berdasarkan pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 2 Tahun
2004 ada empat jenis perselisihan hubungan industrial, yaitu:

1. Perselisihan Hak
Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 menegaskan bahwa
perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat
adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-
undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
perselisihan hak adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan, karena tidak
dipenuhinya hak. Subjek hukumnya adalah pengusaha atau gabungan pengusaha dengan
buruh atau serikat buruh. Jika pasal 1 angka 2 tersebut dirinci, maka akan diperoleh
kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:
a) Tidak dipenuhinya hak akibat adanya perbedaan pelaksanaan terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan;
b) Tidak dipenuhinya hak akibat adanya perbedaan pelaksanaan terhadap ketentuan perjanjian
kerja;
c) Tidak dipenuhinya hak akibat adanya perbedaan pelaksanaan terhadap peraturan
perusahaan;
d) Tidak dipenuhinya hak akibat adanya perbedaan pelaksanaan terhadap ketentuan perjanjian
kerja bersama;
e) Tidak dipenuhinya hak akibat adanya perbedaan penafsiran terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan;
f) Tidak dipenuhinya hak akibat adanya perbedaan penafsiran terhadap ketentuan perjanjian
kerja;
g) Tidak dipenuhinya hak akibat adanya perbedaan penafsiran terhadap ketentuan peraturan
perusahaan;
h) Tidak dipenuhinya hak akibat adanya perbedaan penafsiran terhadap ketentuan perjanjian
kerja bersama.

2. Perselisihan Kepentingan

16
Pasal 1 Angka 3 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 menegaskan bahwa
perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak
adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja
yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama. Berdasarkan rumusan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur
pembentuk perselisihan Kepentingan adalah:
a) Ada perselisihan;
b) Dalam hubungan kerja;
c) Tidak ada kesesuaian pendapat;
d) Mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja;
e) Di dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

3. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja

Menurut pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 perselisihan


pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian
pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
Rumusan pasal ini netral. Hal ini tampak dari frasa ”yang dilakukan oleh salah satu pihak”.
Hal ini berarti bisa pengusaha atau buruh. Hal yang sering terjadi adalah pemutusan
hubungan kerja yang dilakukan oleh pengusaha. Banyak ekses atas pemutusan hubungan
kerja oleh pengusaha. Salah satu yang paling penting adalah hilangnya mata pencaharian
buruh. Oleh karena itu, meskipun pasal-pasal yang mengatur mekanisme pemutusan
hubungan kerja bersifat netral, sesungguhnya orientasi perlindungan terfokus pada butuh.

Berdasarkan rumusan pasal 1 angka 4 tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur


pembentuk perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah:

a) Tidak ada kesesuaian pendapat;


b) Pengakhiran hubungan kerja;
c) Dilakukan oleh salah satu pihak.

Hal-hal lebih rinci mengenai pemutusan hubungan kerja diatur di dalam pasal 150
sampai dengan pasal 172 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Orientasi undang-undang ini adalah agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja.
Pengusaha, buruh, serikat buruh, dan pemerintah harus menampakkan usaha nyata untuk
mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja.

17
4. Perselisihan antar Serikat Buruh dalam Satu Perusahaan

Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 menegaskan bahwa


perselisihan antar serikat buruh adalah perselisihan antara serikat buruh dengan serikat
buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai
keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban serikat pekerjaan. Berdasarkan rumusan ini
dapat disimpulkan bahwa unsur unsur pembentuk perselisihan antar serikat buruh adalah:

a) Ada perselisihan antar serikat buruh;


b) Dalam satu perusahaan;
c) Tidak ada persesuaian paham mengenai keanggotaan; atau tidak ada persesuaian paham
mengenai pelaksanaan hak serikat pekerjaan; atau tidak ada persesuaian paham mengenai
pelaksanaan kewajiban serikat pekerjaan.

Secara teoritis ada tiga kemungkinan untuk menyelesaikan perselisihan hubungan


industrial (Budiono, 1995: 161), yaitu melalui perundingan. Menyerahkan kepada
juru/dewan pemisah, dan menyerahkan kepada pegawai perburuhan untuk diperantarai.
Maka berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 ada beberapa prosedur
yang ditempuh dalam menyelesaikan konflik antara lain:

a) Bipartit

Pengertian bipartit sebagai mekanisme adalah tata cara atau proses perundingan yang

dilakukan antara dua pihak, yaitu pihak pengusaha dengan pihak pekerja atau serikat pekerja
apabila terjadi perselisihan antara pengusaha dengan pekerJa di perusahaan. Perundingan
bipartit pada hakikatnya merupakan upaya musyawarah untuk mufakat antara pihak
pengusaha dan pihak pekerja atau serikat pekerja. Lingkup penyelesaian hubungan industrial
oleh Bipartit, yaitu perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, dan
perselisihan antara pekerja dalam suatu perusahaan.

b) Konsiliasi atau Arbitrase Konsiliasi atau Arbitrase

Lingkup penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi meliputi


tiga jenis perselisihan yakni perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, dan perselisihan
antara pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan (pasal 1 angka 13 Undang-undang
Nomor 12 tahun 2004), sedangkan arbitrase, lingkup penyelesaian perselisihan hubungan

18
industrial meliputi dua jenis perselisihan yakni perselisihan kepentingan dan perselisihan
antara SP/SB dalam suatu perusahaan (pasal 1 angka 15 undang-undang nomor 2 tahun
2004).

c) Mediasi

Lingkup penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi meliputi


empat jenis perselisihan yakni, perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
PHK, dan perselisihan antara pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan (pasal 1 angka
11 undang-undang nomor 2 tahun 2004).

d) Pengadilan Hubungan Industrial Pengadilan Hubungan Industrial

Dalam hal tidak tercapai penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi, maka salah
satu pihak atau para pihak dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan hubungan
industrial. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui pengadilan ditempuh
sebagai alternatif terakhir, dan secara hukum ini bukan merupakan kewajiban bagi para
pihak yang berselisih, tetapi merupakan hak. Jadi, mengajukan atau tidak mengajukan
gugatan ke pengadilan hubungan industrial hanya merupakan hak para pihak, bukan
kewajiban (periksa Pasal 5, 14 dan 24 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004).

2.6.2 TINDAKAN PROTES

Protes merupakan ekspresi publik atas ketidaksetujuan, ketidaksetujuan, atau


perbedaan pendapat terhadap suatu ide atau tindakan, biasanya yang bersifat politis. Protes
dapat dianggap sebagai tindakan kerja sama di mana banyak orang bekerja sama dengan
hadir, dan berbagi potensi biaya dan risiko dari tindakan tersebut. Protes dapat terjadi dalam
berbagai bentuk, mulai dari pernyataan individu hingga penindasan politik massal.

2.6.3 PEMOGOKAN KERJA

Pasal 1 ayat (23) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003


berbunyi: “Mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan
dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk
menghentikan atau memperlambat pekerjaan.”

19
Karyawan berhenti melakukan aktivitas ke pemogokan kerja selama jangka waktu
tertentu. Pemogokan kerja merupakan senjata yang dianggap sebagai hak asasi untuk
digunakan. Dalam keadaan ini sukar sekali diciptakan kerukunan dan kerjasama yang
harmonis antara pekerja dan pengusaha di perusahaan. Sifat saling menyerang (konfrontatif)
dan sulit didamaikan (antagonis) antara pekerja dan pengusaha diperburuk lagi oleh
pertentangan dan persaingan Serikat-Serikat Pekerja dalam Perusahaan.

20
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis dalam pembahasan ini, dapat dikemukakan kesimpulan
sebagai berikut.

1. Hubungan industrial merupakan sebuah sistem hubungan yang terbentuk antara para
pelaku prosess produksi barang/jsa, baik internal maupun eksternal perusahaan.
2. Peraturan hubungan industrial termuat dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja. Adanya
UU tersebut maka menghapus UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU
Ketenagakerjaan).
3. Istilah hubungan industrial sendiri awalnya adalah mencakup hubungan perburuhan dan
selalu berhubungan antara buruh dan pengusaha. Seiring perkembagnan zaman, cakupan
hubungan industrial ini tidak hanya terbatas pada hubungan pekerja atau buruh dengan
pengusaha saja, tapi juga ada pihak pemerintah.
4. Perjanjian Kerja Bersama atau juga dikenal dengan ringkasan PKB, pada dasarnya
merupakan perjanjian yang dibuat oleh 2 (dua) pihak, yakni serikat pekerja dengan satu
pengusaha atau lebih yang berlaku dalam 1 (satu) perusahaan. Keberadaannya menjadi
penting karena ia merupakan sarana untuk mempertemukan kepentingan, pandangan,
nilai, dan tujuan yang berbeda untuk kemudian disesuaikan dalam 1 (satu) wadah
bersama.
5. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial diatur dalam Undang-undang Nomor 2
tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

21
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, S. R. 2016. Pedoman Perjanjian Kerja Bersama. Malang: Empatdua Media.

Amiq, B., Widayat, E., Tampubolon, L., Albab, U., & Hartoyo. (2019). Pengantar Hubungan
Industrial dan Riset Advokasi Pelaksanaan UU No. 21 Tahun 2000. Surabaya:
Unitomo Press.

Emi, S., & Ari, Y. (2021). Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Menggunakan
Acte Van Dading. Jurnal Ketenagakerjaan. 16 (2), 88-102.

Sumanto. (2022). Hubungan Industrial. Yogyakarta: CV Andi Offset.

Thaib, & Nofrial, R. (2019). Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Yogyakarta:


Deepublish Publisher.

Vijayantera, I.W.A. & Kesuma I.N.J. (2022). Penyelesaian Perselisihan Hubungan


Industrial: Konsep Penyelesaian Perselisihan Non Litigasi Dan Litigasi. Denpasar:
Universitas Mahasaraswati Press.

Wijayanti, T.C. (2020). Manajemen Hubungan Industrial. Yogyakarta: K-Media.

Yowana, I.M.A. (2023). Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial: Pengaturan Batas


Waktu Penyelesaian Perselisihan Di Pengadilan Hubungan Industrial. Makassar: PT.
Nas Media Indonesia.

22

Anda mungkin juga menyukai