Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA PT.

SUNG WON

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psycho Industrial Relationship


Dosen Pengampu : Bapak DR Banuara Nadeak DRS., MM

Disusun oleh:

Abdul Fatah (1710631020006)

Kelas : 6A

Program Studi S1 Manajemen

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG

2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. bahwa penulis telah
menyelesaikan tugas mata kuliah Psycho Industrial Relationship dengan membahas
mengenai PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA PT. SUNG
WON.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang kami
hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini
tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan orang tua, kerabat dan teman-
teman, sehingga kendala-kendala yang dihadapi teratasi. Oleh karena itu saya
mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dosen mata kuliah Psycho Industrial Relationship yang telah memberikan


tugas, petunjuk, kepada saya sehingga termotivasi dan menyelesaikan tugas
ini.
2. Orang tua, teman dan kerabat yang telah turut membantu, membimbing, dan
mengatasi berbagai kesulitan sehingga tugas ini selesai.
Semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak
yang membutuhkan, khususnya bagi saya sendiri sehingga tujuan yang diharapkan
dapat tercapai,
Amin.

Karawang, 11 Mei 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... i

DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang .................................................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................... 2

1.3. Tujuan Penulisan ................................................................................................. 3

1.4. Manfaat Penulisan ............................................................................................... 3

BAB II LANDASAN TEORI

2.1. Hubungan Industrial............................................................................................ 4

2.2. Perselisihan Hubungan Industrial ....................................................................... 5

2.3. Proses Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ...................................... 7

BAB III PEMBAHASAN

3.1. Profil Perusahaan Dan Serikat Pekerja ............................................................. 15

3.2. Awal mula terjadinya perselisihan Hubungan Industrial di PT. Sung Won
Indonesia ....................................................................................................................... 17

3.3. Proses penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial di PT. Sung Won


Indonesia ....................................................................................................................... 18

3.4 Kronologis Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja di PT. Sung Won


Indonesia ................................................................................................................. 19

BAB IV PENUTUP

4.1. Kesimpulan ....................................................................................................... 21

4.2. Saran ................................................................................................................. 21

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 23

ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Industri merupakan sektor yang sangat mempengaruhi perekonomian suatu
negara, Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta
menjelaskan bahwa sektor industri masih mampu menjadi penopang perekonomian
nasional dengan mencatatkan pertumbuhan 4,25% serta memberikan kontribusi
sebesar 19,82% terhadap PDB 2018. Industri pengolahan tembakau naik 12,06%,
industri tekstil dan pakaian jadi naik 10,82%, serta industri kulit, barang dari kulit, dan
alas kaki berkembang 12,10% dikutip dari laman media.com. Tiga sektor industri yang
mengalami kenaikan tersebut menyerap tenaga kerja yang banyak, dan menggunakan
bahan baku dari dalam negeri.

Tingginya pertumbuhan industri di Indonesia menimbulkan hubungan


industrial. Hubungan industrial adalah hubungan antara semua pihak yang tersangkut
atau berkepentingan atas proses produksi atau pelayanan jasa di suatu perusahaan.
Pihak yang paling berkepentingan atas keberhasilan perusahaan dan berhubungan
sehari-hari adalah pengusaha atau manajemen atau pekerja. Disamping itu,
masayarakat juga mempunyai kepentingan baik sebagai pemasok, faktor produksi yaitu
barang dan jasa, kebutuhan perusahaan, maupun sebagai masyarakat konsumen atau
pengguna hasil-hasil perusahaan tersebut. Pemerintah juga mempunyai kepentingan
langsung dan tidak langsung atas pertumbuhan perusahaan, antara lain sebagai sumber
penerimaan pajak. Jadi hubungan industrial adalah hubungan antara semua pihak yang
berkepentingan tersebut.

Hubungan industrial tidak selalu berjalan harmonis, masalah seakan-akan


menjadi bumbu tersendiri di hubungan industrial. Perspektif perusahaan-perusahaan
terhadap masalah pasti berbeda-beda, ada yang menganggap masalah sebagai beban
dan ada juga yang menganggapnya sebagai faktor untuk terus menjadi lebih baik.
Perusahaan dituntut untuk bisa menyelesaikan masalahnya baik itu dengan karyawan
atau pesaing tanpa menimbulkan masalah yang lain.

1
2

Ketidak mampuan mengelola hubungan dengan karyawan dapat


menimbulkan akibat-akibat negatif yang bukan saja memiliki konsekwensi hukum,
tapi juga memiliki konsekwensi lateral dengan eksistensi bisnis. Untuk mampu
mengelola hubungan indurtrial, seorang pengusaha bukan saja perlu dibekali
dengan konteks legalitas (perburuhan), tapi juga dengan keterampilan yang
memadai dalam menginisiasi program-program yang dapat menjaga dan menjamin
hubungan yang produktif antara perusahaan dan karyawan.

Contohnya adalah di PT. Sung Won, disana terjadi Pemutusan Hubungan


Kerja terhadap karyawannya. Pemutusan Hubungan Kerja ini berujung adanya
tindakan demo dari ratusan buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja
Tekstil, Sandang dan Kulit Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP TSK SPSI) pada
tanggal 8 Januari 2019. Mereka menuntut perusahaan yang telah melakukan PHK
secara sepihak terhadap rekan-rekannya. Sedangkan pihak perusahaan berdalih
bahwa hal tersebut dilakukan untuk efisiensi perusahaan.

Pemerintah yang mendapatkan keuntungan dari adanya industri


mengharuskan membuat situasi hubungan industrial tetap kondusif, supaya
perkekonomin nasional bisa terus tumbuh dan berkembang. Dengan wewenang
yang dimilikinya, pemerintah bisa membuat regulasi untuk menjaga keharmonisan
antara pengusaha dan karyawannya. Bukan hanya regulasi, pemerintahpun harus
bisa menjadi penengah ketika terjadi perselisihan hubungan industrial di dalam
suatu peeusahaan.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana awal mula terjadinya perselisihan Hubungan Industrial di


PT. Sung Won Indonesia?
2. Bagaimana proses penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial di
PT. Sung Won Indonesia?
3

1.3. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui awal mula terjadinya perselisihan Hubungan Industrial di


PT. Sung Won Indonesia.
2. Mengetahui proses penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial di
PT. Sung Won Indonesia.

1.4. Manfaat Penulisan


Memahami tentang Hubungan Industrial yang dimana akan membahas pula
mengenai perselisihan Hubungan Industrial yaitu Perselisihan Pemutusan
Hubungan Kerja PT. Sung Won di Kabupaten Karawang.
4

BAB II

LANDASAN TEORI
2.1. Hubungan Industrial
2.1.1. Pengertian Hubungan Industrial

Sebelum membahas mengenai perselisihan hubungan industrial, maka harus


diketahui pengertian hubungan industrial. Berdasarkan pasal 1 angka 16 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyebutkan bahwa:
“Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para
pelaku dalam proses produksi barang dan/jasa yang terdiri dari unsur pengusaha,
pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945”.

Hubungan industrial di indonesia, menurut Abdul Khakim mempunyai


perbedaan dengan yang ada di negara lain. Ciri-ciri itu adalah sebagai berikut:

a. Mengakui dan meyakini bahwa bekerja bukan sekedar mencari nafkah


saja, tetapi sebagai pengabdian manusia kepada tuhannya sesama
manusia, masyarakat, bangsa dan negara.

b. Menganggap pekerja bukan sebagai faktor produksi, melainkan sebagai


manusia yang bermartabat.

c. Melihat antara pengusaha dan pekerja bukan dalam perbedaan


kepentingan, tetapi mempunyai kepentingan yang sama untuk
kemajuan perusahaan.

Prinsip hubungan industrial yang diterapkan di Indonesia adalah prinsip


hubungan industrial Pancasila. Prinsip ini menghendaki bahwa berbagai
permasalahan atau sengketa di bidang ketenagakerjaan harus diselesaikan melalui
prinsip hubungan industrial Pancasila.

4
5

2.2. Perselisihan Hubungan Industrial


2.2.1. Pengertian Perselisihan Hubungan Industrial

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun


2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, merumuskan
perselisihan hubungan industrial yaitu: “Perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh
atau serikat pekerja/serikat buruh, karena adanya perselisihan mengenai hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.”

2.2.2. Jenis-Jenis Perselisihan Hubungan Industrial

Berdasarkan pengertian Perselisihan Hubungan Industrial tersebut, maka


dalam pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial membagi Jenis Perselisihan Hubungan Industrial
menjadi:

a. Perselisihan hak, yaitu perselisihan yang timbul karena tidak


dipenuhinya hak, akibatnya adanya perbedaan pelaksanaan atau
penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan,
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
(Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Menurut Lalu Husni dalam bukunya menyatakan bahwa, berdasarkan


pengertian diatas jelas bahwa perselisihan hak merupakan perselisihan hukum
karena perselisihan ini terjadi akibat pelanggaran kesepakatan yang telah dibuat
oleh para pihak, termasuk didalamnya hal-hal yang sudah ditentukan dalam
peraturan perusahaan dan perundang-undangan yang berlaku.

b. Perselisihan Kepentingan, yaitu perselisihan yang timbul dalam


hubungan hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat
6

mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang


ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama (Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 2
Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial)

Menurut Iman Soepomo, berdasarkan pengertian diatas perselisihan


kepentingan terjadi ketidaksesuaian paham dalam perubahan syarat-syarat kerja
dan atau keadaan perburuhan.

Adapun menurut Mumuddi Khan, perselisihan kepentingan adalah “Involve


dissagreement over the formulation of standards terms and condition of
employment, as exist in a deadlock in collective bergaining negosiations”.

c. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja, yaitu perselisihan yang timbul


karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran
pengakhiran pemutusan hubungan kerja oleh salah satu pihak (Pasal 1
angka 4 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial). Perselisihan PHK ini merupakan
jenis perselisihan yang paling banyak terjadi, pihak pengusaha dengan
berbagai alasan mengeluarkan surat PHK kepada pekerja tertentu jika
pengusaha menganggap bahwa pekerja tidak dapat lagi bekerja sesuai
kebutuhan perusahaan, tetapi PHK juga dapat dilakukan atas
permohonan pekerja karena pihak pengusaha tidak melaksanakan
kewajiban yang telah disepakati atau berbuat sewenang-wenang kepada
pekerja.

d. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan,


yaitu perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat
pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak
adanya kesesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan
kewajiban keserikatpekerjaan (Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor
2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial).
7

2.3. Proses Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial


Penyelesaian sengketa hubungan industrial harus melewati empat tahapan.
Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2004 dan Keputusan
Menteri Tenaga Kerja Nomor 15A/MEN/1994. Berikut ini penjelasan
selengkapnya.

2.3.1. Semua Sengketa Harus Melalui Perundingan Bipartit


a. Aturan Perundingan Bipartit

Pada dasarnya, dalam setiap perselisihan hubungan industrial wajib


diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara
musyawarah untuk mencapai mufakat. Demikian ketentuan yang disebut dalam
Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (“UU 2/2004”).

Namun sebelumnya, berdasarkan Pasal 5 Peraturan Menteri Tenaga Kerja


dan Transmigrasi Nomor Per.31/Men/Xii/2008 Tahun 2008 tentang Pedoman
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Perundingan Bipartit
(“Permenakertrans 31/2008”), para pihak harus melaksanakan hal-hal tertentu
untuk menghindari perselisihan hubungan industrial sebagai berikut:

pihak pengusaha agar:

a. memenuhi hak-hak pekerja/buruh tepat pada waktunya; dan

b. membangun komunikasi yang baik dengan pihak pekerja/buruh.

pihak pekerja/buruh agar:

a. melakukan pekerjaannya dengan penuh tanggung jawab; dan

b. membangun komunikasi yang baik dengan pihak pengusaha


maupun dengan serikat pekerja/serikat buruh.

Yang dimaksud dengan perundingan bipartit menurut Pasal 1 angka 10 UU


2/2004 adalah: perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
8

Dalam melakukan perundingan bipartit, para pihak wajib:

a. memiliki itikad baik;

b. bersikap santun dan tidak anarkis; dan

c. menaati tata tertib perundingan yang disepakati.

Dalam hal salah satu pihak telah meminta dilakukan perundingan secara
tertulis 2 (dua) kali berturut-turut dan pihak lainnya menolak atau tidak menanggapi
melakukan perundingan, maka perselisihan dapat dicatatkan kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti-
bukti permintaan perundingan.[2]

b. Tahapan Perundingan Bipartit

Perundingan Bipartit dibagi menjadi tiga tahap sebagai berikut:

a. Tahap sebelum perundingan dilakukan persiapan:

Pihak yang merasa dirugikan berinisiatif mengkomunikasikan masalahnya


secara tertulis kepada pihak lainnya;. Apabila pihak yang merasa dirugikan adalah
pekerja/buruh perseorangan yang bukan menjadi anggota serikat pekerja/serikat
buruh, dapat memberikan kuasa kepada pengurus serikat pekerja/serikat buruh di
perusahaan tersebut untuk mendampingi pekerja/buruh dalam perundingan. Pihak
pengusaha atau manajemen perusahaan dan/atau yang diberi mandat harus
menangani penyelesaian perselisihan secara langsung.

Dalam perundingan bipartit, serikat pekerja/serikat buruh atau pengusaha


dapat meminta pendampingan kepada perangkat organisasinya masing-masing.
Dalam hal pihak pekerja/buruh yang merasa dirugikan bukan anggota serikat
pekerja/serikat buruh dan jumlahnya lebih dari 10 (sepuluh) orang pekerja/buruh,
maka harus menunjuk wakilnya secara tertulis yang disepakati paling banyak 5
(lima) orang dari pekerja/buruh yang merasa dirugikan. Dalam hal perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan, maka masing-masing
serikat pekerja/serikat buruh menunjuk wakilnya paling banyak 10 (sepuluh) orang.
9

b. Tahap perundingan:

kedua belah pihak menginventarisasi dan mengidentifikasi permasalahan.


Kedua belah pihak dapat menyusun dan menyetujui tata tertib secara tertulis dan
jadwal perundingan yang disepakati. Dalam tata tertib para pihak dapat
menyepakati bahwa selama perundingan dilakukan, kedua belah pihak tetap
melakukan kewajibannya sebagaimana mestinya. Para pihak melakukan
perundingan sesuai tata tertib dan jadwal yang disepakati.

Dalam hal salah satu pihak tidak bersedia melanjutkan perundingan, maka
para pihak atau salah satu pihak dapat mencatatkan perselisihannya kepada instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat
pekerja/buruh bekerja walaupun belum mencapai 30 (tiga puluh) hari kerja. Setelah
mencapai 30 (tiga puluh) hari kerja, perundingan bipartit tetap dapat dilanjutkan
sepanjang disepakati oleh para pihak.

setiap tahapan perundingan harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh


para pihak, dan apabila salah satu pihak tidak bersedia menandatangani, maka hal
ketidaksediaan itu dicatat dalam risalah.

c. Tahap setelah selesai perundingan:

Dalam hal para pihak mencapai kesepakatan, maka dibuat Perjanjian


Bersama yang ditandatangani oleh para perunding dan didaftarkan pada Pengadilan
Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri wilayah para pihak mengadakan
Perjanjian Bersama.

Apabila perundingan mengalami kegagalan maka salah satu atau kedua


belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerja/buruh bekerja dengan
melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit
telah dilakukan.

Penyelesaian melalui bipartit ini harus diselesaikan paling lama 30 (tiga


puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan. Apabila dalam jangka
10

waktu 30 (tiga puluh) hari salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah
dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan
bipartit dianggap gagal.

Setiap perundingan bipartit harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh


para pihak. Risalah perundingan tersebut sekurang-kurangnya memuat:

a. Nama lengkap dan alamat para pihak;

b. Tanggal dan tempat perunding;

c. Pokok masalah atau alasan perselisihan;

d. Pendapat para pihak;

e. Kesimpulan atau hasil perundingan

f. Tanggal serta para pihak yang melakukan perundingan.

Jika dalam perundingan tercapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat


Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak. Perjanjian Bersama
mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak. Perjanjian
Bersama ini kemudian wajib didaftarkan oleh para pihak pada Pengadilan
Hubungan Industrial (PHI) di wilayah para pihak mengadakan perjanjian bersama.
Setelah melakukan pendaftaran, para pihak akan diberikan akta bukti pendaftaran
Perjanjian Bersama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian
Bersama. Apabila Perjanjian Bersama tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak,
maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian
Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi.

2.3.2. Tripartit

Tripartit yaitu melakukan perundingan dengan bantuan pihak ketiga untuk


menyelesaikan masalah. Langkah yang diambil adalah salah satu atau kedua belah
pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di
11

bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya


penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan. Sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 4 Ayat (1) UU PPHI.

2.3.3. Penanganan dari Dinas Tenaga Kerja

Disnaker akan menindaklanjuti perkara perselisihan jika dokumen telah


dilengkapi oleh pemohon. Setelah memeriksa berkas, Disnaker menawarkan dua
teknik penyelesaian; arbitrase dan konsiliasi. Penggugat bisa memilih salah satu
metode berdasarkan jenis perselisihan.

Perselisihan kepentingan, antarserikat buruh/serikat pekerja, dan PHK bisa


melalui konsiliasi. Sementara itu, arbitrase digunakan untuk menyelesaikan
sengketa kepentingan dan antarserikat pekerja saja. Pihak yang menengahi di kedua
metode itu pun berbeda. Arbitrase ditangani oleh arbiter pilihan Disnaker,
sedangkan konsiliasi menggunakan konsiliator dari luar. Konsiliator ini harus bebas
dari pengaruh lembaga atau pihak mana pun.

Meskipun arbiter dan konsiliator dipilih berdasarkan kesepakatan pemohon,


ada satu hal yang membedakan. Pemilihan arbiter harus diketahui dan disepakati
oleh pihak tergugat. Dengan demikian, penggugat dan tergugat wajib membuat
perjanjian tertulis setelah memilih beberapa arbiter.

Dalam metode konsiliasi, kasus perselisihan bisa diajukan ke PHI kalau


proses ini gagal. Kemudian, PHI akan melakukan sidang untuk membuat putusan.
Sebaliknya, jika konsiliasi berhasil, perkara perselisihan tetap didaftarkan ke PHI.
Setelah itu, PHI akan menerbitkan akta .

Sementara itu, penggugat yang memilih metode arbitrase tidak dapat


meneruskan perkara ke PHI. Jika berhasil, akta perdamaian hanya ditandatangani
pihak terkait dan arbiter. Begitu pun ketika proses tersebut mengalami kegagalan,
putusan harus diambil melalui sidang arbitrase.

Lantas, bagaimana alur penyelesaian sengketa melalui konsiliasi? Proses


penyelesaian masalah hanya bisa dilakukan jika kedua belah pihak telah
12

menyepakati. Disnaker memberikan waktu selambat-lambatnya 7 hari untuk


mengajukan permohonan kepada konsiliator terpilih. Setelah permohonan diterima,
konsiliator akan memulai sidang pertama. Dalam hal ini, konsiliator diberi waktu
maksimal 30 hari untuk menuntaskan perselisihan.

Alur dalam arbitrase pun tidak banyak perbedaan, kecuali soal pengajuan ke
PHI. Penggugat diberikan waktu maksimal 7 hari untuk mengajukan nama arbiter.
Kemudian, arbiter harus mengangkat ketua majelis maksimal 30 hari setelah pihak
yang berselisih menyampaikan kesepakatannya.

Jika pihak yang berselisih tidak menyerahkan daftar nama arbiter, ketua
pengadilan akan mengambil alih keputusan. Pengangkatan arbiter didasarkan pada
ketetapan menteri. Setelah itu, arbiter memiliki waktu maksimal 30 hari untuk
menyelesaikan konflik.

Sidang pertama atau pemeriksaan sengketa harus dilaksanakan selambat-


lambatnya 3 hari setelah arbiter ditunjuk. Pelaksanaan sidang bisa bersifat tertutup
atau sesuai kesepakatan pihak yang berselisih. Apabila salah satu pihak tidak dapat
hadir, boleh mengutus kuasa hukum dengan membawa surat kuasa khusus.

2.3.4. Penyelesaian di Pengadilan Hubungan Industrial

Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) memiliki otoritas untuk menangani


semua jenis perselisihan ketenagakerjaan. Pengadilan ini berkedudukan di seluruh
Pengadilan Negeri Kota/Kabupaten. Pembentukan PHI dilakukan oleh pihak
Pengadilan Negeri di daerah perselisihan dalam satu lingkup provinsi. Namun,
khusus wilayah padat industri, pembentukan PHI didasarkan pada keputusan
Pengadilan Negeri dan Presiden.

Tugas pokok PHI adalah mengeluarkan putusan atas sengketa hubungan


industrial. Gugatan bisa diteruskan ke PHI jika menggunakan metode mediasi dan
konsiliasi. Khusus untuk kasus PHK, PHI harus menentukan jenisnya; perselisihan
hak atau kepentingan.
13

Selanjutnya, Pimpinan Pengadilan Negeri menunjuk tiga orang majelis


hakim maksimal 7 hari setelah pengajuan gugatan. Majelis hakim tersebut terdiri
dari seorang ketua dan dua hakim anggota (Ad-Hoc). Selain itu, untuk membantu
majelis hakim, Ketua Pengadilan Negeri membentuk panitera pengganti.

Adapun tugas dan wewenang majelis hakim, antara lain menerima dokumen
dari penggugat, memeriksa perselisihan, serta membuat putusan. Sementara itu,
panitera pengganti bertugas mencatat pelaksanaan sidang, membuat konsep
putusan, menyusun berita acara, dan melaporkan hasil persidangan. Panitera
pengganti bersama majelis hakim juga harus menentukan jadwal sidang
perselisihan hubungan industrial.

Keputusan atau ketetapan dari majelis hakim harus didapatkan maksimal 50


hari pascasidang pertama. Putusan majelis hakim bersifat tetap dan mengikat bagi
kedua belah pihak dan jika tidak ada pihak yang mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung. Pengajuan kasasi selambat-lambatnya 14 hari setelah putusan ditetapkan
oleh majelis hakim.

2.3.5. Putusan Mahkamah Agung

Mahkamah Agung merupakan pemegang kekuasaan kehakiman tertinggi


yang tidak dipengaruhi oleh lembaga atau cabang mana pun. Kantor Mahkamah
Agung pernah berpindah ke Yogyakarta pada tahun 1946-1950. Istilah Mahkamah
Agung digunakan pertama kali pada tahun 1945 setelah Indonesia Merdeka. Saat
itu, Presiden Soekarno menunjuk Mr. Dr. R. S. E. Koesoemah Atmadja untuk
menjadi ketua.

Selain Mr. Dr. R. S. E. Koesoemah Atmadja, Presiden Soekarno juga


mengangkat wakil ketua, anggota, panitera, dan kepala tata usaha. Namun,
kekuasaan Mahkamah Agung ketika itu terhalang oleh Hoogerechtshof di Jakarta.
Hoogerechtshof merupakan lembaga peradilan tinggi yang dibentuk kolonial
Belanda. Kemudian, memasuki tahun 1950, Indonesia berhasil menggeser
kedudukan Hoogerechtshof di Jakarta.
14

Secara umum, Mahkamah Agung memiliki lima fungsi, yaitu peradilan,


pengawasan, pengaturan, pemberi nasihat, dan administrasi. Mengenai wewenang
dalam kasus hubungan industrial, Mahkamah Agung bertugas mengeluarkan
keputusan atas permohonan kasasi. Putusan Mahkamah Agung bersifat final dan
tetap.

Permohonan kasasi dari hasil sidang perselisihan hubungan industrial harus


diajukan secara tertulis. Pengajuan ditujukan kepada subkepaniteraan di Pengadilan
Hubungan Industrial. Selanjutnya, kepaniteraan wajib menyerahkan dokumen
penggugat ke Mahkamah Agung maksimal 14 hari kerja setelah pengajuan. Berkas
tersebut diterima langsung oleh Ketua Mahkamah Agung untuk diperiksa.

Usai memeriksa berkas, Ketua Mahkamah Agung membentuk majelis


hakim kasasi. Adapun anggota majelis terdiri dari satu hakim agung dan dua orang
hakim Ad-Hoc. Majelis hakim kasasi bertugas mengadili perselisihan hubungan
industrial di tingkat Mahkamah Agung. Selambat-lambatnya 30 hari setelah
permohonan kasasi diterima, majelis wajib mengeluarkan ketetapan.
BAB III

PEMBAHASAN
3.1. Profil Perusahaan Dan Serikat Pekerja
3.1.1. Profil perusahaan
a. Nama perusahaan : SUNG WON INDONESIA
b. Alamat : Jl. Tanjungpura No.262 Karawang Jawa
Barat, Indonesia
c. Telepon : (62-267)401-191~3
d. Fax : (62-267)401-194~5
e. Email : ptsungwon@ptsungwon.com

PT.SUNG WON INDONESIAS didirikan pada tahun 1991. Lini bisnis


perusahaan termasuk merajut pakaian luar dari benang atau dalam pembuatan
pakaian luar dari kain rajut,Komoditas Boneka,Usaha berhubungan dengan produk
Boneka

3.1.2. Profil serikat pekerja


a. Sejarah

Bahwa Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang Dan Kulit (F SP TSK)


didirikan pada tanggal 14 Juli 1973 yang didirikan di Jakarta untuk jangka waktu
yang tidak ditentukan dan merupakan gabungan dari Serikat Buruh Tekstil Dan
Sandang (SBTS) dan Serikat Buruh Karet Dan Kulit (SBKK).

Bahwa kantor pusat F SP TSK SPSI berkedudukan di Ibu Kota Negara


Jakarta dan SP TSK berbentuk Federasi.SP TSK adalah organisasi yang bersifat
bebas, mandiri, demokratis, professional dan bertanggungjawab serta tidak
merupakan bagian dari organisasi sosial politik maupun ormas-ormas lain.

b. Ruang lingkup keanggotaan F SP TSK adalah Pekerja yang


bekerja pada :
a) Sub Sektor Teksti

15
16

Industri Pemintalan, Pertenunan, Perajutan, Pembatikan (batik


tulis, batik cap dan batik cetak), kain hasil dari Alat Tenun Bukan
Mesin (ATBM), Pencelupan, Tekstil, cetak produksi Tekstil
terpadu, Karpet, Benang, Karung Goni dan Karung Plastik.

b) Sub Sektor Synthetic Fibre


c) Sub Sektor Sandang

Industri Konveksi, Bordir, Kaus Kaki, Kaus Tangan, Paying,


Resluiting, Kancing, Topi, Kopiah, Rambut Buatan, Pembalut
Wanita, Kondom dan Sandal Plastik

d) Sub Sektor Kulit

Sepatu, Sandal, Tas, Ikat Pinggang, Dompet, Pembuatan Sol,


Karpet, Industri Pengolahan Kulit, dan Kulit Imitasi.

e) Sub Sektor Mainan


f) Sub Sektor Karet
c. Tujuan
a) Terwujudnya suatu masyarakat madani yang adil dan makmur
berdasarkan moral agama, Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b) Tetap terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa.
c) Berkembangnya kehidupan demokrasi.
d) Terciptanya perluasan dan kesempatan kerja serta turut
mensukseskan pembangunan.
d. Fungsi
a) Menghimpun dan mempersatukan serta menggalang solidaritas
dikalangan pekerja tekstil, sandang dan kulit pada khususnya serta
pekerja pada sektor aneka industri lainnya pada umumnya.
b) Membela, melindungi, memperjuangkan hak dan kepentingan
anggota serta kaum pekerja dan keluarganya.
17

c) Memperjuangkan perbaikan syarat-syarat kerja, kesejahteraan dan


perbaikan taraf hidup pekerja
d) Memberikan bimbingan dan pendidikan dalam rangka
meningkatkan pemberdayaan dan pengetahuan pekerja akan hak
dan tanggung jawabnya sebagai pekerja, masyarakat dan bangsa
yang merdeka serta beradab sesuai dengan harkat dan martabatnya.

3.2. Awal mula terjadinya perselisihan Hubungan Industrial di PT. Sung


Won Indonesia
Perselisihan yang terjadi di PT. Sung Won Indonesia adalah ketika adanya
Pemutusan Hubungan Kerja kepada sekitar 80 karyawannya secara sepihak. Salah
satu karyawan yang di PHK merupakan sekretaris Pengurus Cabang Federasi
Serikat Pekerja Tekstil, Sandang, dan Kulit Serikat Pekerja Seluruh Indonesia yaitu
Bung Dadang Supriyanto. Bukan hanya karena Bung Dadang ini sebagai pengurus
dari serikat pekerja, Bung Dadang pun merupakan karyawan yang sudah mengabdi
dan berdedikasi selama 20 tahun terhadap PT. Sung Won Indonesia. Hal itu yang
menyebabkan rekan-rekan sesama pekerja merasa kecewa terhadap keputusan yang
diambil.

Namun, bukan hanya menuntut mengenai PHK sepihak, para buruh pun
menuntut adanya upah lembur yang tidak diberikan kepada para karyawannya.
Tentu hal ini semakin membuat para buruh semakin kecewa. Hingga akhirnya para
pekerja menyuarakan kekecewaannya dengan melakukan aksi demonstrasi di depan
PT. Sung Won Indonesia pada tanggal 7 januari 2019.

Para pekerja menuntut agar Bung Dadang dan sekitar 80 rekannya kembali
bekerja di PT. Sung Won Indonesia, dan menuntut hak upah lembur yang tidak
dibayarkan oleh pihak perusahaan. Pihak perusahaan tidak tinggal diam, diwakili
oleh Pak Imam sebagai konsultan hukum dan Pak Agus selaku HRD PT.Sung Won
Indonesia menjelaskan bahwa apa yang dilakukan perusahaan dengan melakukan
PHK kepada sekitar 80 karyawannya merupakan langkah efisiensi dari perusahaan,
18

adapun jam kerja yang melebihi jam pulang yaitu yang seharusnya keluar jam
setengah lima sore menjadi lebih itu karena skorsing tidak mencapai target.

3.3. Proses penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial di PT. Sung


Won Indonesia
Adapun mekanisme yang dilakukan seperti dibawah ini:

Penyelesaian sengketa hubungan industrial harus melewati empat tahapan.


Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2004 dan Keputusan
Menteri Tenaga Kerja Nomor 15A/MEN/1994. Berikut ini penjelasan
selengkapnya.

3.3.1. Semua Sengketa Harus Melalui Perundingan Bipartit

Dikarenakan pihak pekerja yang melakukan demonstrasi tidak terima


terhadap alasan yang diberikan oleh pihak perusahaan, maka dari itu pihak dari
pekerja meminta untuk melakukan perundingan bipartit mengenai tuntutan yang
ditunjukan kepada pihak perusahaan.

Dalam kesempatan perundingan bipartit di hadiri HRD PT. SUNG WON


INDONESIA Pak Agus merupakan Management Baru, sudah bekerja satu Minggu
dan Pak IMAM Selaku konsultan Hukum PT. SUNG WON INDONESIA serta di
hadiri pula dari Pimpinan dan Perwakilan DPC KSPSI KARAWANG, Bung Dion
Untung Wijaya SH Ketua PC FSP TSK KARAWANG, Bung Bangbang Ketua PC
FSP RTMM, Bang Suparno PS Pangkorwil Brigade SPSI Jabar , Anto Budianto PC
FSP KEP SPSI serta bung Risma dan Cang Roni dari FSP LEM SPSI
KARAWANG.

Perundingan tersebut bertujuan agar perselisihan yang terjadi antara pekerja


PT. Sung Won Indonesia dengan perusahaan dapat diselesaikan. Pihak pekerja
mengajukan 3 (tiga) Poin di anataranya :

a. Untuk segera di pekerjakan kembali sdr. Dadang Supriyanto


b. Memberikan waktu kepada Pihak Management untuk
menyelesaikan dalam 2(dua) hari
19

c. Apabila dalam 2 (hari) perusahaan tidak bisa memutuskan maka


Pihak Serikat Akan melaksanakan Haknya yaitu Aksi Besar-
besaran
3.3.2. Tripartit

Namun sangat disayangkan, pihak dati perusahaan tetap pada pendiriaannya


untuk tetap memPHK karyawannya dan tidak memberikan upah lembur. Hal yang
dilakukan oleh pihak perusahaan mengundang komentar dari Kepala Dinas Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Karawang yaitu Pak Suroto. Beliau
menyampaikan bahwa dalam permenaker 101 tahun 2004, jam kerja pekerja
maksimal 8 jam sehari. Melebihi 8 jam dikenakan lembur atau over time dan
pengusaha wajib membayarkan uang lembur yang besarnya 1/173 x2 x besarnya
upah dalam setiap bulan dalam 1 jam pertama. Upah adalah hak pekerja,
pelanggaran atas upah melanggar UU 13 Tahun 2013. Dengan sangsi pidana 1 s/d
5 tahun atau denda 100 jt.

Beliau juga menyampaikan bahwa apabila perselisihan antara pekerja dan


perusahaan PT. Sung Won Indonesia ini tidak bisa diselesaikan melalui
perundingan bipartit maka pihak dari Disnakertrans akan memfasilitasi untuk
melakukan perundingan tripartit.

Kronologis Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja di PT. Sung Won Indonesia


a. PHK secara sepihak dilakukan oleh pihak perusahaan PT. Sung Won
Indonesia dengan alasan efisiensi kepada sekitar 80 karyawan termasuk
Bung Dadang yang sudah bekerja selama kurang lebih 20 tahun.
b. Tidak dibayarkannya upah lembur pekerja PT. Sung Won Indonesia
dengan alasan sebagai skorsing karena tidak mencapai target.
c. Pada tanggal 7 Januari 2019 Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang,
dan Kulit Serikat Pekerja Seluruh Indonesia melakukan aksi
demonstrasi di depan PT. Sung Won Indonesia.
d. Tuntutan dalam aksi demonstrasi yaitu mempekerjakan kemnali Bung
Dadang Supriyanto dan membayarkan upah lembur karyawan.
20

e. Pihak perusahaan menolak semua tuntutan yang diajukan oleh SPTSK


SPSI.
f. Pihak Disnakertrans mengingatkan resiko perusahaan yang tidak
membayarkan upah lembur terhadap karyawannya dan siap
memfasilitasi kedua belah pihak dalam perundingan tripartit.
BAB IV

PENUTUP
4.1. Kesimpulan
1. Perselisihan yang terjadi di PT. Sung Won Indonesia dilatar belakangi
adanya Pemutusan Hubungan Kerja secara sepihak oleh perusahaan dan
tidak dibayarkannya upah lembur para pekerja yang akhirnya memancing
para pekerja untuk melakukan aksi demonstrasi di depan PT. Sung Won
Indonesia pada tanggal 7 Januari 2019. Namun pihak perusahaan berdalih
bahwasannya apa yang dilakukan oleh pihak perusahaan dalam melakukan
PHK adalah melakukan efisiensi dan untuk lembur pekerja dianggap
sebagai skorsing akibat tidak mencapai target.
2. Penyelasaian perselisihan yang terjadi di PT. Sung Won Indonesia diawali
adanya demonstrasi yang dilakukan para pekerja yang tergabung dalam
FSP TSK SPSI. Kemudian dilakukan perundingan bipartit antara pihak
perusahaan dengan pihak pekerja. Tuntutan yang diajukan oleh pihak
pekerja adalah untuk kembali mempekerjakan pekerja yang di PHK secara
sepihak. Namun pihak perusahaan tetap pada pendiriannya untuk tetap
memPHK pekerjanya. Mengetahui pihak perusahaan tidak menerima
tuntutan pekerja, Kepala Disnakertrans Karawang Bapak Suroto
menegaskan bahwa apabila perusahaan tidak membayarkan upah lembur
akan mendapatkan sanksi sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku
dan pihak Disnakertrans bersedia memfasilitasi proses penyelesaian
perselisihan yang terjadi di PT. Sung Won Indonesia.

4.2. Saran
1. Pihak pekerja yang diwakili oleh serikat pekerja sebaiknya mengikuti
proses penyelesaian perselisihan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
No 2 Tahun 2004, yang dimulai dengan pengajuan perundingan bipartit
kepada perusahaan, bukan langsung melakukan aksi demonstrasi

21
22

2. Untuk pihak perusahaan sebaiknya mempertimbangkan terlebih dahulu


apabila akan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja melihat pekerja
yang di PHK merupakan pekerja yang sudah mengabdi dan berdedikasi
kepada perusahaan selama 20 tahun. Menurut saya untuk menambah
jam kerja dengan alasan skorsing merupakan hal yang kurang tepat,
selain karena pekerja tidak memgetahui alasannya di tambah karena hal
tersebut melanggar ketentuan permenaker 101 tahun 2004, jam kerja
pekerja maksimal 8 jam sehari. Melebihi 8 jam dikenakan lembur atau
over time dan pengusaha wajib membayarkan uang lembur yang
besarnya 1/173 x2 x besarnya upah dalam setiap bulan dalam 1 jam
pertama. Upah adalah hak pekerja, pelanggaran atas upah melanggar
UU 13 Tahun 2013. Dengan sanksi pidana 1 s/d 5 tahun atau denda
Rp.100.000.000,-.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Khakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 2009, hlm. 50.
R. Joni Bambang, Hukum Ketenagakerjaan, Bandung: Pustaka Setia, 2013, hlm.
289.

Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan


di Luar Pengadilan, Jakarta : Penerbit Raja Grafindo Persada, 2005, hlm.
43.

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.31/MEN/XII/2008


Tahun 2008.

UU No 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Mediareaksi.id. (2019, 7 Januari). PT. Sung Won Dikepung Serikat Pekerja.


Diakses pada 8 Mei 2020 dari
https://mediareaksi.wordpress.com/2019/01/07/pt-sung-won-di-kepung-
serikat-pekerja/.

Portaljabar.net. (2019, 8 Januari). Terkait PHK Sepihak, PT. Sung Won Indonesia
Didemo Ratusan Buruh. Diakses pada 8 Mei 2020 dari
https://portaljabar.net/web/16661/terkait-phk-sepihak-pt-sung-won-
indonesia-didemo-ratusan-buruh.html.

Arthahulur, Made Wahyu. (2018, 12 Juni). Langkah Pekerja Jika Perundingan


Bipartit Ditolak Perusahaan. Diakses pada 8 Mei 2020 dari
https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5abe1d0846bb5/langka
h-pekerja-jika-perundingan-bipartit-ditolak-pengusaha/.

FSP TSK SPSI. (2019, 27 November). AD ART FSP TSK SPSI. Diakses pada 10
Mei 2020 dari https://sptsk-spsi.org/ad-dan-art-fsp-tsk-spsi.

23

Anda mungkin juga menyukai