Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

INDUSTRIAL ORGANISASI & HUBUNGAN INDUSTRI


“PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL”

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 7
1. FERY ALEXANDER
2. MUHAMMAD BASYIR
3. APRIADI
4. RIDHO AFANDI
5. TUTI KARTIKA

SEMESTER VII SDM D

DOSEN PEMBIMBING :
H. R. MARWAN INDRA S., S.E., M,Si
NOVRIYANI, S.E., M.M

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI INDRAGIRI


(STIE-I) RENGAT
2021

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmatnya kami dapat diperkenankan menyelasaikan Makalah Industrial
Organisasi dan Hubungan Industri yang berjudul Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial. Selain sebagai tugas, Makalah ini dibuat untuk menambah
ilmu pengetahuan kita tentang Industrial Organisasi dan Hubungan Industri di
lingkungan social.
Banyak sekali hambatan dalam penyusunan makalah ini baik itu masalah
waktu, sarana, dan lain – lain. Oleh sebab itu, selesainya makalah ini bukan
semata – mata karena kemampuan kami, banyak pihak yang mendukung dan
membantu kami. Dalam kesempatan ini, penyusun mengucapkan terima kasih
banyak kepada pihak – pihak yang telah membantu. Saya harapkan makalah ini
nantinya akan berguna bagi para pembaca, jika ada kesalahan dalam makalah ini
saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar dapat lebih baik lagi.

Rengat, 28 Oktober 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii

BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah...............................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................5
C. Tujuan dan Manfaat.....................................................................................5

BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian pengertian pengertian hubungan industrial……………………7
B. Fungsi Hubungan Industrial............................................................................8
C. sistem hubungan industrial..........................................................................9
D. Sarana Hubungan Industrial.......................................................................10
E. Pengertian Perselisihan Hubungan Industrial............................................12
F. Jenis Perselisihan Hubungan Industrial.....................................................12
G. Prinsip Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial............................14

BAB III : KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan................................................................................................20
B. Saran..........................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................21

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Manusia sebagai mahkluk sosial senantiasa berupaya melakukan interaksi


dengan manusia lain guna memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan
jasmani maupun kebutuhan rohani. Di dalam interaksi tersebut terdapat
kesamaan-kesamaan yang menjadikan hidup harmonis, tetapi tidak jarang
hubungan antar manusia menjadi buruk karena adanya perbedaan-perbedaan
sehingga memicu terjadinya perselisihan, konflik atau sengketa.

Ronny Hanitijo Soemitro dalam Lalu Husni menyebutkan, yang dimaksud


dengan konflik adalah situasi atau keadaan dimana dua atau lebih pihak
memperjuangkan tujuan mereka masing-masing yang tidak dapat dipersatukan
dan dimana tiap-tiap pihak mencoba meyakinkan pihak lain mengenai kebenaran
tujuannya masing-masing(Lalu Husni,2009:132).
Konflik atau perselisihan juga dapat terjadi dalam dunia ketenagakerjaan
dimana melibatkan para pihak yang disebut pekerja dan pengusaha. Sebenarnya
konflik atau sengketa antara pekerja dan pengusaha tidak perlu ditakuti
karena konflik dapat menimbulkan dampak positif bagi pihak-pihak yang terlibat
asalkan konflik tersebut tidak dilandasi oleh semangat kekerasan. Jika konflik
dilandasi kekerasan maka akan mendatangkan kerugian dan permusuhan.
Selama ini perselisihan antara pekerja dan pengusaha seringkali diselesaikan
dengan cara-cara yang anarkis seperti demonstrasi dengan kekerasan,
pembakaran, pemogokan sampai penutupan perusahaan. Sebaiknya perselisihan
dapat diselesaikan dengan damai dan saling menguntungkan.
Perselisihan hubungan industrial dapat diselesaikan melalui jalur pengadilan
(litigasi) dan di luar pengadilan (non litigasi) sebagaimana diatur di dalam UU
Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

1
(PPHI). Para pihak bebas untuk menentukan alternatif penyelesaian yang akan
digunakan dalam menyelesaikan perselisihan Hubungan Industrial.
Secara konvensial penyelesaian sengketa biasanya dilakukan melalui jalur
litigasi atau penyelesaian sengketa di muka Pengadilan. Kenyataannya
berperkara di Pengadilan bukanlah hal yang sederhana, justru proses di
pengadilan kerap menimbulkan penderitaan-penderitaan baru bagi pencari
keadilan sebab akan memakan waktu yang cukup lama dan menghabiskan biaya
yang tidak sedikit. Di samping masih adanya kelemahan-kelemahan lain yang
terdapat pada peradilan formal itu sendiri. Berperkara melalui pengadilan akan
sangat merepotkan dan proses beracaranya bertele-tele. Tidak salah orang
mengatakan berperkara di Pengadilan yang menang menjadi arang, yang kalah
menjadi abu. Jadi masing-masing pihak sebenarnya sama-sama menderita
kerugian.
Penyelesaian sengketa melalui Pengadilah diketahui banyak mengandung
kelemahan-kelemahan sehingga banyak orang berusaha menghindari
penyelesaian di pengadilan dan lebih mengoptimalkan
penyelesaian di luar pengadilan. Sebenarnya cara ini bukanlah hal yang baru
karena sudah sejak lama cara ini dipraktekkan lewat musyawarah untuk mufakat.
Dahulu, ketika terjadi perselisihan antar masyarakat maka akan diselesaikan
dengan musyawarah. Musyawarah untuk mufakat sedikit dilupakan ketika
banyak orang berlomba-lomba untuk menyelesaikan persoalannya di muka
pengadilan. Baru sekarang masyarakat mulai menoleh lagi ke cara lama tersebut
setelah penyelesaian melalui pengadilan dirasakan kurang memenuhi rasa
keadilan.
Jika dalam penyelesaian perselisihan melalui pengadilan dirasakan menyita
cukup banyak waktu, mahal serta dapat menciptakan pertikaian yang mendalam
karena putusan pengadilan hanya ada dua alternatif yakni menang atau kalah,
maka dalam penyelesaian secara alternatif ini akan dirasakan lebih murah dan
cepat serta keputusan yang dihasilkan sesuai dengan kehendak para pihak yang
bersengketa atau dapat dikatakan bersifat win-win solution.

2
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial merupakan landasan dalam penyelesaian perselisihan antara pekerja
dan pengusaha. Salah satu upaya yang diwajibkan dalam penyelesaian
perselisihan ini adalah penyelesaian di luar pengadilan. Sebelum sampai ke
Pengadilan Hubungan Industrial, para pihak wajib menyelesaikan
permasalahannya dengan musyawarah, artinya tidak boleh langsung ke
Pengadilan Hubungan Industrial. Pengadilan
Hubungan Industrial adalah upaya terakhir dalam penyelesaian sengketa.
Sebenarnya sebelum diundangkannya UU Nomor 13 tahun 2003,
Indonesia sudah terlebih dahulu mempunyai peraturan perundangan- undangan
yang bersifat komprehensif sejak tahun 1948. Hal ini sebagaimana termuat dalam
“Workers, Employment Relation and Labour” yang ditulis oleh Amarjit Kaur
yang bunyinya adalah sebagai berikut:
“The first comprehensive labour laws enacted in Singapore, Indonesia and
Malaysia were adapted from colonial laws, and remain the basis for the
employmentrelationship in these countries. In Indonesia the first comprehensive
labour law was passed in 1948. It prescribed working conditions; banned
the employment of children below the age of 15; restricted night work for
women; made provision for maternity leave; and included a miscellany of other
provisions. This legislation emphasised job security, and included procedures to
regulate dismissal and separation payments. The regulations were reaffirmed
in subsequent labour legislation which also guaranteed the right of workers to
join unions and conclude labour agreements; and provided for basic labour
standards.

(“Hukum perburuhan pertama yang komprehensif yang diberlakukan di


Singapura, Indonesia dan Malaysia diadaptasi dari hukum kolonial, dan tetap
menjadi dasar untuk mengatur hubungan ketenagakerjaan di negara- negara
tersebut. Di Indonesia, hukum perburuhan pertama yang komprehensif
selesai pada tahun 1948. Hukum perburuhan tersebut mengatur tentang

3
kondisi kerja; melarang mempekerjakan anak- anak bawah usia 15;
pembatasan jam kerja malam bagi perempuan; ketentuan cuti melahirkan
dan ketentuan lainnya. Undang-undang ini menekankan keselamatan dan
keamanan kerja termasuk prosedur untuk mengatur pembayaran uang pesangon
apabila terjadi PHK”)

Di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian


Perselisihan Hubungan Industrial disebutkan penyelesaian perselisihan antara
pekerja dengan pengusaha dapat dilakukan lewat pengadilan dan juga dapat di
tempuh melalui jalur di luar pengadilan. Penyelesaian lewat jalur di luar
pengadilan dapat ditempuh melalui cara bipartit, mediasi, konsiliasi dan
arbitrase.
Para pihak yang berselisih mengenai hubungan industrial sebaiknya
mengedepankan perdamaian dari pada membawa langsung perkara ke
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Perundingan lewat forum bipartit dan
tripartit dulu didesain oleh para legislator sebagai pintu yang memungkinkan
terciptanya perdamaian atau resolusi yang relatif cepat bagi para pihak pada
tahap awal munculnya perselisihan hubungan industrial.
Sampai saat ini mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial
yang sering digunakan adalah perundingan bipartit dan mediasi. Penyelesaian
perselisihan hubungan industrial melalui perundingan bipartit pada
perusahaan-perusahaan di Kota Solo secara kwantitas terhitung masih sangat
minim. Berdasarkan data dari Kantor Dinas Sosial Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kota Surakarta diketahui bahwa dari 242 kasus perselisihan
hubungan industrial yang terjadi tahun 2006 sampai dengan tahun 2009 hanya 6
kasus yang dapat diselesaikan melalui perundingan bipartit, selebihnya melalui
mediasi dan sisanya dianjurkan untuk diselesaikan melalui Pengadilan
Hubungan Industrial. Data di atas menunjukkan bahwa perundingan bipartit
dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum dapat
dilaksanakan secara optimal. Keberhasilan perundingan bipartit merupakan
kunci sukses dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial bagi kedua

4
belah pihak yaitu pekerja dan pengusaha.
Dalam perundingan bipartit terdapat suatu keadaan dimana posisi pekerja
berada pada satu titik yang lemah sehingga perlu diupayakan suatu perlindungan.
Lemahnya posisi pekerja terlihat dari beberapa indikator antara lain: pekerja
tidak menguasai materi yang menjadi objek perselisihan, pekerja tidak memiliki
pengetahuan dan ketrampilan berunding serta pekerja tidak memiliki jaminan
perlindungan hukum pada saat mereka berselisih dengan pengusaha. Jaminan
perlindungan hukum yang dimaksud seperti pemenuhan hak-hak normatif
pekerja pada saat berselisih dengan pengusaha atau jaminan bahwa pekerja
yang sedang berselisih dengan pengusaha nantinya tidak akan terkena sanksi dari
pengusaha. Hal tersebut masih ditambah dengan lemahnya regulasi yang
mengatur tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana
diatur dalam UU Nomor 2 tahun 2004.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat diambil rumusan  masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah perundingan bipartit dalam penyelesaian
perselisihan hubungan industrial menurut UU Nomor 2 Tahun
2004 ?
2. Bagaimanakah pelaksanaan perundingan dalam penyelesaian
perselisihan hubungan industrial ?
3. Bagaimanakah penyelesaian perselisihan hubungan industrial?

C. TUJUAN DAN MANFAAT

1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah yang sudah ditetapkan, maka penulisan tesis
ini mempunyai tujuan sebagai berikut:

a. Pengertian penyelesaian perselisihan hubungan industrial .

5
b. Mengetahui fungsi pelaksanaan perundingan penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.
c. Meperundingan prinsip perundingan penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.

2. Manfaat Penelitian

Penulisan tesis ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut:

a. Secara akademik, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan


masukan untuk penelitian lebih lanjut di bidang hubungan industrial
khususnya mengenai perselisihan hubungan industrial, selain itu hasil
penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu acuan bagi kalangan
akademisi hukum yang sedang mendalami dan mengembangkan kajian
hukum ketenagakerjaan.

6
BAB II
PEMBAHASAN

1. TINJAUAN TENTANG HUBUNGAN INDUSTRIAL

A. PENGERTIAN PENGERTIAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Istilah hubungan industrial berasal dari kata industrial relation, merupakan


perkembangan dari istilah hubungan perburuhan (labour relation atau labour
management relations). Menurut Sentanoe Kertonegoro,istilah hubungan
perburuhan memberi kesan yang sempit seakan-akan hanya menyangkut
hubungan antara pengusaha dan pekerja (Sentanoe Kertonegoro,1999:14).

Pada dasarnya masalah hubungan industrial mencakup aspek yang sangat


luas, yakni aspek sosial budaya, psikologi ekonomi, politik hukum dan
hankamnas sehingga hubungan industrial tidak hanya meliputi pengusaha dan
pekerja, namun melibatkan pemerintah dan masyarakat dalam arti luas. Dengan
demikian, penggunaan istilah hubungan industrial dirasakan lebih tepat daripada
hubungan perburuhan.

Pengertian hubungan industrial berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 16


UU Nomor 13 Tahun 2003 adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara
para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri atas unsur
pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah yang didasarkan pada nilai Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Berdasarkan pengertian di atas dapat diuraikan unsur-unsur dari hubungan
industrial, yakni: adanya suatu sistem hubungan industrial; adanya pelaku yang
meliputi pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah; adanya proses produksi
barang dan/atau jasa (Asri Wijayanti, 2009:57).

7
Hubungan Industrial di Indonesia, menurut Abdul Khakim mempunyai
perbedaan dengan yang ada di negara lain. Ciri-ciri itu adalah sebagai berikut :

1. Mengakui dan meyakini bahwa bekerja bukan sekedar mencari nafkah


saja, tetapi sebagai pengabdian manusia kepada Tuhannya, sesama
manusia, masyarakat, bangsa dan Negara.

2. Menganggap pekerja bukan sebagai faktor produksi, melainkan


sebagai manusia yang bermartabat.

3. Melihat antara pengusaha dan pekerja bukan dalam perbedaan


kepentingan, tetapi mempunyai kepentingan yang sama untuk
memajukan perusahaan (Abdul Khakim, 2003:50).

B. FUNGSI HUBUNGAN INDUSTRIAL

Fungsi hubungan industrial yang dimaksud adalah fungsi masing-masing


pihak yang melaksanakan hubungan industrial yaitu: pemerintah, pekerja/buruh
atau serikat pekerja/serikat buruh dan pengusaha. Berdasarkan Pasal 102 ayat (1)
UU Nomor 13 Tahun 2003, fungsi pemerintah dalam melaksanakan
hubungan industrial adalah: menetapkan kebijakan; memberikan pelayanan;
melaksanakan pengawasan; dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.

Berdasarkan Pasal 102 ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2003 fungsi


pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dalam melaksanakan hubungan
industrial adalah :

1) menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya.

2) menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi.

3) menyalurkan aspirasi secara demokratis.

8
4) mengembangkan ketrampilan dan keahliannya serta ikut memajukan
perusahaan,dan

5) memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.

Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 102 ayat (3) UU Nomor 13


Tahun 2003, fungsi pengusaha dalam melaksanakan hubungan industrial adalah:
menciptakan kemitraan; mengembangkan usaha; memperluas lapangan kerja; dan
memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis dan
berkeadilan.

C. SISTEM HUBUNGAN INDUSTRIAL

Secara umum terdapat lima sistem hubungan industrial, yaitu sebagai


berikut:

1. Sistem hubungan industrial atas dasar kegunaan (utility system).

Pada bagian ini hubungan perburuhan diatur sedemikian rupa, sehingga


utility buruh dapat digunakan sepenuhnya. Ada kebijaksanaan full
employment of man power. Buruh diberi upah dan jaminan yang tinggi
apabila ia dapat memberikan tenaganya dengan maksimal. Tenaga mereka
diperas untuk mencapai produksi yang sebesar-besarnya.

2. Sistem hubungan industrial atas dasar demokrasi ( Democratic system).

Sistem ini mengutamakan konsultasi atau musyawarah antara buruh dan


majikan.

3. Sistem hubungan industrial atas dasar kemanusiaan (Human system).


Sistem ini tidak begitu memperhitungkan peningkatan produktivitas dan
efisiensi.

4. Sistem hubungan industrial atas dasar komitmen seumur hidup (life long
commitment/life time employment).Sistem ini terdapat di Jepang. Buruh
cenderung setia kepada majikan, baik perusahaan dalam keadaan untung

9
atau rugi. Buruh mempunyai disiplin yang tinggi, bekerja keras dengan
penuh dedikasi. Di pihak lain majikan memperlakukan buruhnya sebagai
anak dan dianggap keluarga, dengan memberikan fasilitas-fasilitas.

5. Sistem hubungan industrial atas dasar perjuangan kelas. Muncul atas ide
dari Karl Marx dimana terdapat pertentangan kelas pemilik modal
(kapitalis). Semakin tajam pertentangan maka semakin cepat
diselesaikan dengan membinasakan kapitalis oleh proletar yang lapar
yang menuntut keadilan.

D. SARANA HUBUNGAN INDUSTRIAL.

Dalam melaksanakan prinsip hubungan industrial perlu adanya sikap


mental dan sikap sosial yang sama antara pekerja, pengusaha dan pemerintah,
sehingga tidak ada tempat bagi sikap yang berhadapan atau sikap penindasan oleh
yang kuat terhadap yang lemah (Shamad,1995:18).

Guna mewujudkan falsafah hubungan industrial dalam kehiupan hubungan


kerja sehari- hari mutlak perlu suasana yang kondusif dalam lingkungan
kerja. Suasana tersebut dapat terwujud bila didukung sarana, antara lain :

1) Serikat pekerja/serikat buruh

Yaitu organisasi yang dibentuk dari,oleh dan untuk pekerja/buruh baik di


perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat
bebas,terbuka,mandiri,demokratis, dan bertanggung jawab guna
memperjuangkan,membela serta melindungi hak, dan kepentingan pekerja/buruh,
dan keluarganya.

2) Organisasi Penguusaha

10
Yaitu organisasi yang dibentuk oleh pengusaha Indonesia yang bersifat
demokratis, bebas, mandiri dan bertanggung jawab, yang secara khusus
menangani bidang hukum industrial dan ketenagakerjaan dalam pelaksanaan
hubungan industrial untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia sebagai
salah satu sarana utama terwujudnya kesejahteraan sosial dan ekonomi dalam
dunia usaha.

3) Lembaga kerjasama bipartite (LKS Bipartit)

Yaitu forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan


dengan hubungan industrial di satu perusahaan, yang anggotanya terdiri dari
pengusaha dan serikatpekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.

4) Lembaga kerjasama tripartite (LKS Tripartit)

Yaitu forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang masalah


ketenagakerjaan, yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi pengusaha, serikat
pekerja/serikat buruh dan pemerintah.

5) Peraturan perusahaan.

Yaitu peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat
syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.

6) Perjanjian Kerja Bersama (PKB)

11
Yaitu perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat
pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat
pada instnsi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan
pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang
memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.

Perjanjian kerja bersama sebagai sarana pendukung yang sangat penting


dalam mewujudkan hubungan industrial, melestarikan dan mengembangkan
keserasian hubungan kerja karena PKB merupakan wahana partisipasi antara
pekerja/buruh dan pengusaha.

7) Peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.

Yaitu yang dibuat secara partisipatif dengan melibatkan unsur


pekerja/buruh dan pengusaha.

8) Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Yaitu pengadilan hubungan industrial yang sudah dibentuk berdasarkan


UU Nomor 2 Tahun 2004. Pengadilan hubungan industrial merupakan salah satu
pengadilan khusus dalam lingkungan peradilann umum.

2. TINJAUAN TENTANG PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL.

A. PENGERTIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL.

Berdasarkan Pasal 1 angka 22 UU Nomor 13 Tahun 2003 dan Pasal 1


angka 1 UU Nomor 2 Tahun 2004, perselisihan hubungan industrial adalah

12
perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau
gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan
perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antara serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.

b. Jenis Perselisihan Hubungan Industrial.

1) Berdasarkan beberapa literature hukum ketenagakerjaan, pada


awalnya perselisihan hubungan industrial dibedakan menjadi dua macam, yaitu :

a) Perselisihan hak (rechtsgeschillen)

Yaitu perselisihan yang timbul karena salah satu pihak tidak memenuhi isi
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian perburuhan atau
ketentuan peraturan perundangan.

b) Perselisihan kepentingan (belangengeschillen)

Yaitu perselisihan yang terjadi akibat dari perubahan syarat-syarat


perburuhan atau yang timbul karena tidak ada persesuaian paham
mengenai syarat-syarat kerja dan atau keadaan perburuhan.

2) Menurut Widodo dan Judiantoro, berdasarkan sifatnya perselisihan


dibagi menjadi dua macam, yaitu :

a) Perselisihan perburuhan kolektif

Yakni perselisihan terjadi antara pengusaha/majikan dengan serikat


pekerja/serikat buruh, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai
hubungan kerja, syarat- syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan.

13
b) Perselisihan perburuhan perseorangan

Yakni perselisihan antara pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota


serikat pekerja atau serikat buruh dengan pengusaha/majikan (Widodo dan
Judiantoro,1992:25-26).

3) Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2004


disebutkan bahwa jenis perselisihan hubungan industrial meliputi empat macam :

a) Perselisihan hak.

Yaitu perselsihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat


adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama.(Pasal 1 angka 2)

b) Perselisihan kepentingan.

Yaitu perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya
kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-
syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja,atau peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (Pasal 1 angka 3).

c) Perselisihan pemutusan hubungan kerja.

Yaitu perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat


mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu
pihak (Pasal 1 angka 4).

14
d) Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan.

Yaitu perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat


pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan karena tidak
adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan
kewajiban keserikat-pekerjaan (Pasal 1 angka 5).

c. Prinsip Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Prinsip yang harus menjadi pegangan bagi para pihak dalam


menyelesaikan perselisihan hubungan industrial adalah :

a) Wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat


pekerja/seikat buruh secara musyawarah untuk mufakat (Pasal 136
ayat (1) UU Nomor 13 Tahun2003).

b) Bila upaya musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, maka pengusaha


dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur
yang diatur undang-undang (Pasal 136 ayat (2) UU Nomor 13 Tahun
2003).

d. Mekanisme Penyelesaian Perselisihan hubungan Industrial.

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 menganut penyelesaian


perselisihan melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Penyelesaian
perselisihan hubungan industrial mengedepankan musyawarah untuk mufakat
(melalui win-win solution) agar dengan demikian, proses produksi barang dan
jasa tetap berjalan sebagaimana mestinya.

15
a) Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Perundingan
Bipartit (Pasal3- Pasal 7 UU Nomor 2 Tahun 2004).

Setiap perselisihan hubungan industrial harus terlebih dahulu


diselesaikan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dan
pekerja dalam waktu tiga puluh hari (30) kerja dihitung sejak tanggal
dimulainya perundingan. Dalam jangka waktu tiga puluh hari kerja
apabila salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah
dilakukan perundingan, tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka
perundingan bipartit dianggap gagal sehingga salah satu pihak atau
kedua belah pihak wajib mencatatkan perselisihannya kepada instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan
melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui
bipartite telah dilakukan. Setelah menerima pencatatan dari salah
satu atau para pihak, instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk
menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui
arbitrase. Apabila para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian
melalui konsiliasi atau arbitrase dalam jangka waktu tujuh hari, maka
instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan setempat
melimpahkan penyelesaian perselisihan melalui mediator. Setiap
perundingan bipatit harus dibuat risalah yang isinya terdiri dari :nama
lengkap dan alamat lengkap para pihak, tanggal dan tempat
perundingan, pokok masalah dan alasan perselisihan, pendapat para
pihak, kesimpulan atau hasil perundingan serta tanggal dan tanda
tangan para pihak yang melakukan perundingan.

b) Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Konsiliasi


(Pasal 17- Pasal 28)

16
Penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator
setelah para pihak mengajukan permintaan secara tertulis kepada
konsiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh para pihak. Selambat-
lambatnya tujuh hari kerja setelah menerima permintaan penyelesaian
perselisihan secara tertulis, konsiliator harus mengadakan penelitian
tentang duduknya perkara dan selambat-lambatnya pada hari
kedelapan mengadakan sidang konsiliasi pertama. Jika tercapai
kesepakatan melalui konsiliasi, maka dibuat perjanjian bersama yang
ditanda-tangani oleh para pihak dan disaksikan oleh konsiliator serta
didaftar di pengadilan hubungan industrial untuk mendapatkan akta
bukti pendaftaran. Apabila tidak tercapai kesepakatan maka
konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis yang harus sudah
disampaikan kepada para pihak selambat-lambatnya 10 (sepuluh)
hari kerja sejak sidang konsiliasi pertama. Para pihak wajib
memberikan jawaban secara tertulis kepada konsiliator yang isinya
menyetujui atau menolak anjuran tertulis. Para pihak yang tidak
memberikan pendapatnya/jawaban dianggap menolak anjuran tertulis.
Apabila para pihak menyetujui anjuran tertulis ,konsiliator harus
sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama
selambat-lambatnya tiga hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui
yang kemudian didaftarkan di pengadilan hubungan industrial untuk
mendapatkan akta bukti pendaftaran. Konsiliator wajib
menyelesaikan tugas konsiliasi selambat-lambatnya tiga puluh hari
kerja sejak menerima permintaan penyelesaian perkara.

c) Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Arbitrase


(Pasal 29 – Pasal 54)

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase


dilakukan oleh arbiter berdasarkan kesepakatan tertulis para pihak
yang berselisih. Arbiter wajib menyelesaiakan tugas arbitrase

17
selambat-lambatnya tiga puluh hari kerja sejak penandatanganan surat
perjanjian penunjukan arbiter. Pemeriksaan atas perselisihan
dilaksanakan selambat-lambatnya tiga hari kerja setelah
penandatanganan surat perjanjian penunjukan arbiter dan atas
kesepakatan para pihak arbiter berwenang memperpanjang jangka
waktu penyelesaian perselisihan hubungan industrial satu kali
perpanjangan selambat-lambatnya empat belas hari kerja.
Pemeriksaan oleh arbiter atau majelis arbiter dilakukan secara
tertutup kecuali para pihak yang berselisih menghendaki lain.
Dalam sidang arbitrase, para pihak yang berselisih dapat diwakili oleh
kuasanya dengan surat kuasa khusus. Penyelesaian perselisihan
hubungan industrial oleh arbiter diawali denggan upaya mendamaikan
kedua pihak yang berselisih. Apabila perdamaian tercapai, maka
arbiter atau majelis arbiter wajib menbuat Akta Perdamaian yang
ditandatangani oleh para pihak yang berselisih dan arbiter atau majelis
arbiter, kemudian didaftarkan di pengadilan hubungan industrial pada
pengadilan negeri di wilayah arbiter mengadakan perdamaian. Apabila
upaya perdamaian tersebut gagal, arbiter atau majelis arbiter
meneruskan sidang arbitrase. Putusan arbitrase mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat para pihak yang berselisih dan merupakan
putusan yang bersifat akhir dan tetap. Putusan arbitrase didaftarkan di
pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri di wilayah
arbiter menetapkan putusan. Terhadap putusan arbitrase, salah satu
pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan kepada Mahkamah
Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak ditetapkan putusan arbiter. Perselisihan hubungan industrial
yang sedang atau telah diselesaikan melalui arbitrase tidak dapat
diahukan ke pengadilan hubungan ind|strial.

d) Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Mediasi


(Pasal 8 - Pasal 16).

18
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi
dilakukan oleh mediator dengan mengadakan penelitian tentang
duduknya perkara dan sidang mediasi. Apabila tercapai kesepakatan
melalui sidang mediasi, maka dibuat- perjanjian bersama yang
ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta
didaftarkan di pengadilan hubungan industrial untuk mendapatkan
akta bukti pendaftaran. Apabila tidak tercapai kesepakatan melalui
mediasi maka mediator mengeluarkan `anjuran tertulis. Apabila para
pihak menyetujui anjuran tertulis, mediator harus sudah selesai
membantu para pihak membuat perjanjian bersama selambat-
lambatnya tiga hari kerja sejak anjuran teetulis disetujui-yang
kemudian didaftap di pengadilan hubungan industrial untuk
mendapatkan akta bukti pendaftaran. Mediator menyelesaakan
tugas mediasi selambat-lambatnya tiga puluh hari kerja sejak
pelimpahan perkara.

e) Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan


Hubungan Industrial (Pasal 55- pasal 58).

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan


Hubungan Industrial diawali dengan mengajukan gugatan kepada
pengadilan hubungan industrial pada pengadilan `negeri yang daerah
hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja. Pengajuan gugatan
harus dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi,
jika tidak dilampiri maka hakim wajib mengembalikan gugatan
kepada penggugat. Terhadap isi gugatan ada kewajiban hakim untuk
memeriksa melalui proses dismissal. Pemeriksaan perkara di
pengadilan hubungan industrial dilakukan dengan acara biasa atau
acara cepat. Putusan majelis hakim wajib diberikan selambat-
lambatnya lima puluh hari kerja sejak sidang pertama dalam sidang
terbuka untuk umum. Putusan pengadilan hubungan industrial

19
mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan
kerja mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak dhajukan
permohonan kasasi kepada mahkamah Agung dalam waktu selambat-
lambatnya empat belas hari. Penyelesaian perselisihan hubungan
industrial pada Mahkamah Agung selambat-lambatnya tiga puluh
kerja.

Perlunya dicermati bahwa upaya penyelesaian di luar pengadilan ternyata


memiliki keterkaitan dengan mekanisme penyelesaian melalui pengadilan
sebagaimana diatur dalam Pasal

83 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2004 yang berbunyi sebagai berikut:


”Pengajuan gugatan yang tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi
atau konsiliasi, maka hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib
mengembalikan gugatan kepada penggugat”

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

20
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dalam UU Nomor 2
Tahun 2004 merupakan penyempurnaan terhadap peraturan sebelumnya yaitu UU
Nomor 22 Tahun 1957. Dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 memberi pengaturan
terhadap perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan, yang sebelumnya tidak diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 1957.

Prinsip penyelesaian perselisihan hubungan industrial menurut UU Nomor 2


Tahun 2004 lebih mengedepankan musyawarah untuk mufakat melalui
perundingan bipartit, sebagai langkah pertama yang wajib ditempuh para pihak
yang berselisih sebelum menempuh mekanisme yang lain. Penyelesaian
perselisihan hubungan industrial menurut UU Nomor 2 Tahun 2004
diharapkan memberikan harapan yang prospektif bagi para pihak yang berselisih
untuk mendapatkan penyelesaian secara cepat, adil dan murah. Dalam
penerapannya, UU Nomor 2 Tahun 2004 masih memerlukan kajian lebih lanjut
demi kesempurnaan aturan itu sendiri.
B. SARAN
Adapun saran yang dapat kami sampaikan dalam makalah ini, perselisihan
hubungan industrial, penulis menyarankan supaya perselisihan hubungan
industrial tetap dipertahankan untuk menjamin kesetaraan para pihak sesuai asas
equality before the law, namun diperlukan perbaikan dalam hukum acara yang
berlaku dalam hal ini adalah hukum acara hubungan industrial yang mandiri,
sehingga terhadap perkara – perkara diluar hubungan industrial seperti pidana dan
administrasi dapat diselesaikan secara efektif melalui perselisihan hubungan
industrial.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Khakim,2003, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia


Berdasarkan Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Edisi Revisi),Bandung,PT
Citra Aditya Bakti

21
Asikin,Zainal (ed),1993, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan,PT Raja Grafindo
Persada,Jakarta. Asri Wijayanti,2009, Hukum Ketenagakerjaan Pasca
Reformasi,Jakarta,Sinar Grafika
Sentanoe Kertonegoro,1999, Hubungan Industrial,Hubungan Antara Pengusaha
dan Pekerja
(Bipartit) dan Pemerintah (Tripartit),Jakarta,Yayasan Tenaga Kerja Indonesia

Shamad,Yunus,1995, Hubungan Industrial di Indonesia,Jakarta,PT Bina


Sumberdaya Manusia

Widodo Hartono dan Judiantoro,1992, Segi Hukum Penyelesaian


Perselisihan
Perburuhan,Jakarta,PT Raja Grafindo Persada

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan


Hubungan Industrial

22

Anda mungkin juga menyukai