Anda di halaman 1dari 30

URGENSI PENEGAKAN HUKUM YANG BERKEADILAN

KASUS PRITA MULYASARI

DISUSUN OLEH:

KELAS 1B KELOMPOK 2
INDAR WARDANA 41223025

JOAN NUGRA PRAYOGA 41303030

ADITYA NICO RUPANG 41223035

SISKA RAHMAN 41223040

ANDI CONNI TENRI GAU 41223045

JURUSAN TEKNIK SIPIL


PRODI D4 – JASA KONSTRUKSI
POLITEKNIK NEGERI UJUNG PANDANG
2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah S.W.T yang Maha Pengasih lagi

Maha Penyayang, Kami panjatkan Puja dan puji syukur atas kehadirat-

Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepaada

kami, sehingga kami dapat menyelesaikan masalah ini, dengan judul

“Urgensi Penegakan Hukum yang Berkeadilan” .

Makalah ini telah kami susun dengan semaksimal mungkin dan

mendapatkan bantuan dari berbagai pihak segingga dapat

memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan

banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam

pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih

ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tat bahasanya.

Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala saran

dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Makassar 19 November 2023

Kelompok 2

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ................................................................................................i

Kata Pengantar ....................................................................................................... ii

Daftar Isi ................................................................................................................. iii

BAB I ....................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ......................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................... 3

C. Tujuan Penulis .......................................................................................... 3

BAB II ...................................................................................................................... 4

PEMBAHASAN ...................................................................................................... 4

2.1 Etika Penegakan Hukum .......................................................................... 4

2.2 Penegakan Hukum yang Berkeadilan...................................................... 7

2.3 Kaitan Pancasila dengan Penegakan yang Berkeadilan ........................ 9

2.4 Kasus Prita Mulyasari ............................................................................ 12

2.5 Kaitan Kasus Mulyasari terhadap Penegakan Hukum berkeadilan ...... 17

B . ANALISIS MASALAH ................................................................................. 19

2.6 Penegakkan Hukum yang Berkeadilan ..................................................... 19

2.7 Kebijakan hukum dalam situasi ................................................................. 21

BAB III ................................................................................................................... 24

PENUTUP ............................................................................................................. 24

3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 24

3.2 Saran ...................................................................................................... 25

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 26

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Makna keadilan seringkali ditafsirkan berbeda-beda dan bersifat

abstrak karena adil bagi salah satu pihak belum tentu adil bagi pihak

lainnya. Keadilan itu pun mempunyai banyak dimensi, dalam berbagai

bidang, misalnya ekonomi, maupun hukum. Dewasa ini, berbicara

mengenai keadilan merupakan hal yang senantiasa dijadikan topik

utama dalam setiap penyelesaian masalah yang berhubungan dengan

penegakan hukum. Banyak kasus hukum yang tidak terselesaikan

karena ditarik ke masalah politik. Kebenaran hukum dan keadilan dan

keadilan dimanipulasi dengan cara yang sistematik sehingga peradilan

tidak menemukan keadaan yang sebenarnya.

Kebijaksanaan pemerintah tidak mampu membawa hukum menjadi

panglima dalam menentukan keadilan, sebab hukum dikebiri oleh

sekelompok orang yang mampu membelinya atau orang yang

membelinya atau orang yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi.

Salah satu peristiwa yang cukup menyita perhatian masyarakat baik dari

golongan ekonomi menengah kebawah hingga ekonomi menengah

keatas yaitu kasus yang membelit seorang ibu yang bernama Prita

Mulyasari, peristiwa yang terjadi pada 3 juni 2009 hingga akhir desember

2009 lalu mengenai keluhan prita sebagai pasien.

1
Pada Rumah Sakit Omni Internasional melalui surat

elektronik (email) kepada sahabatnya pada bulan agustus 2008 ini

ternyata mendapat tuntutan baik perdata maupun pidana dari pihak

Rumah Sakit Omni Internasional internasional kepengadilan negeri

tangerang banten. Rumah Sakit Omni Internasional menjadi terkenal di

Indonesia utamanya terkait dengan kasus pencemaran nama baik yang

dituduhkan oleh pihak rumah sakit kepada salah seorang mantan

pasiennya Prita Mulyasari, karena menulis keluhan atas pelayanan

rumah sakit yang tidak memuaskan melalui media publikasi internet.

Peristiwa ini akan berdampak pada kepercayaan masyarakat

sebagai pasien terhadap rumah sakit. Kepercayaan yang sebelumnya

positif terhadap rumah sakit dengan pemberitaan seperti ini pasti akan

mempengaruhi nilai kepercayaan mereka bukan hanya terhadap Rumah

Sakit Omni Internasional tetapi juga terhadap rumah sakit yang jauh

dibawa standar rumah sakit bertaraf internasional. Masyarakat yang

menyakini bahwa Rumah Sakit Omni Internasional yang bertaraf

internasional saja bisa terjadi malpraktik seperti yang dialami Prita

Mulyasari apalagi rumah sakit yang terbilang dibawah standar rumah

sakit umum besar yang lainnya.

2
B. Rumusan Masalah

1. Apa yang di maksud dengan penegakkan hukum yang berkeadilan

dan bagaimana keterkaitannya dengan Pancasila?

2. Bagaimanakah kasus Prita Mulyasari jika dikaitkan dengan

penegakkan hukum yang berkeadilan?

C. Tujuan Penulis

1. Untuk mengetahui apa yang di maksud dengan penegakkan hukum

yang berkeadilan dan bagaimana keterkaitannya dengan

pancasila.

2. Untuk mengetahui bagaimanakah kasus Prita Mulyasari jika

dikaitkan dengan penegakkan hukum yang berkeadilan.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Etika Penegakan Hukum

Etika berasal dari kata Yunani etos, yang artinya sepadan

dengan arti kata susila. Etika adalah sebuah ilmu, yaitu sebagai salah

satu cabang ilmu filsafat yang mengajarkan bagaimana hidup secara

arif atau bijaksana, sehingga filsafat etika juga dikenal sebagai filsafat

moral. Jadi, etika bukan sebuah ajaran , yang memberi ajaran tentang

bagaimana harus berperilaku dalam kehidupannya secara bermoral.

Etika justru hanya melakukan refleksi kritis atas norma atau ajaran

moral. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa moralitas adalah

petunjuk konkret yang siap pakai tentang bagaimana harus hidup.

Sedangkan etika adalah perwujudan secara kritis dan

rasional ajaran moral yang siap pakai itu. Keduanya mempunyai

fungsi yang sama, yaitu memberi orientasi bagaimana dan kemana

harus melangkah dalam hidup. (Soegito, 2012:147). Hukum adalah

sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan

kelembagaan. Dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang

politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak,

sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat

terhadap kriminalisasi (wikipedia indonesia, ensiklopedia bebas ).

4
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk

tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata

sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan

hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Penegakan

hukum merupakan salah satu usaha untuk mencapai atau

menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam

masyarakat baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

pemberantasan atau penindakan setelah terjadinya pelanggaran

hukum. Penegakan hukum tidak boleh ditawar-tawar karena tugas

utama penegakan hukum adalah mewujudkan keadilan.

Namun dalam implementasinya tetap harus dengan cara-cara

yang mencerminkan nilai-nilai kemanusian, oleh karena hukum itu

sendiri harus difungsikan sebagai sarana memanusiakan manusia.

Bukan justru dengan cara yang bertentangan dengan nilai-nilai

kemanusiaan yang bahkan perampasan hak asasi manusia. Sistem

penegakan hukum yang mempunyai nilai-nilai yang baik adalah yang

dapat menjamin kehidupan sosial masyarakat yang lebih

berkesejahteraan, berkepastian dan berkeadilan.

Dari segi pendekatan akademik, dapat dikemukakan tiga konsep

penegakan hukum yaitu :

1. Penegakan hukum bersifat total

2. Penegakan hukum besifat ful

5
3. Penegakan hukum bersifat actual

Konsep penegakan hukum yang bersifat total, menuntut agar semua nilai

yang ada dibalik norma hukum turut ditegakkan tanpa kecuali. Konsep

yang bersifat full yang menghendaki perlunya pembatasan dari konsep

total dengan suatu hukum formil dalam rangka perlindungan kepentingan

individual. Konsep penegakan hukum muncul setelah diyakini adanya

diskresi dalam penegakan hukum karena keterbatasan-keterbatasan

yang ada dan kurangnya peran dalam masyarakat. Terdapat sekurang-

kurangnya ada lima alasan mengapa hukum di Indonesia sulit

ditegakkan atau dengan kata lain penegakan hukum di Indonesia sukar

dilaksanakan, yaitu :

1. Aparat penegak hukum terkena sangkaan dan dakwaan korupsi

atau suap.

2. Mafia peradilan marak dituduhkan.

3. Hukum seolah dapat dimainkan, dipelintirkan, bahkan hanya

berpihak kepada mereka yang memiliki status sosial yang tinggi.

4. Penegakan hukum lemah dan telah kehilangan kepercayaan

masyarakat.

5. Masyarakat apatis, mencemooh dan melakukan proses

peradilan jalanan.

6
2.2 Penegakan Hukum yang Berkeadilan

Penegakan hukum di maksudkan untuk menumbuhkan

kesadaran bahwa tertib sosial, ketenangan dan keteraturan hidup

bersama hanya dapat diwujudkan dengan ketaatan terhadap hukum

dan seluruh peraturan yang berpihak kepada keadilan. Keseluruhan

atura hukum yang menjamin tegaknya supremasi dan kepastian

hukum sejalan dengan upaya pemenuhan rasa keadilan yang hidup

dan berkembang di masyarakat. Etika ini meniscayakan penegakan

hukum secara adil, perlakuan yang sama dan tidak deskriminatif

terhadap setiap warga negara di hadapan hukum, dan menghindarkan

penggunaan hukum secara salah sebagai alat kekuasaan dan bentuk-

bentuk manipulasi hukum lainnya (Soegito, 2012 : 157).

Dalam sosiologi hukum dijelaskan bahwa hukum itu adalah

instrument yang bisa dipakai oleh pihak yang menggunakannya untuk

kepentingan mereka sendiri. Sebagai contoh geng bandit besar Al

Capone di tahun 1930-an yang mempunyai bagian hukum sendiri. Hal

ini berarti bahwa kejahatan pun ingin dilakukan dengan

memperhatikan rambu-rambu hukum, atau melakukan kejahatan

dengan dipandu oleh hukum. Sejak kita memutuskan menggunakan

hukum moderen, kita tak dapat menghindar dari praktik penggunaan

hukum seperti itu. Yang kita dapat lakukan adalah bersikap lebih

waspada dalam bernegara hukum ini, tetapi dapat juga untuk tujuan

7
dan kepentingan lain. Gustav Radbruch menyatakan bahwa cita-cita

hukum tidak lain adalah keadilan.

Persoalan keadilan bukan merupakan persolan matematis

klasik, melainkan persoalan yang berkembang seiring dengan

peradaban mesyarakat dan intelektual manusia. Bentuk keadilan

dapat saja berubah tetapi esensi keadilan selalu ada dalam kehidupan

manusia dan hidup bermasyarakat. Oleh karena itu pandangan Hans

Kelsen yang memisahkan keadilan dari hukum tidak dapat diterima

karena hal itu menentang kodrat hukum itu sendiri. Dalam berhukum

tentunya harus selalu dikedepankan aspek keadilan.

Keadilan itu sendiri tidak lepas dari aspek sosiologis dalam

kehidupan masyarakat karena keadilan itu tumbuh dan berkembang

dalam lingkungan masyarakat entah bagaimana bentuknya. Tidak

seharusnya keadilan itu bergantung pada hukum tertulis. Keadilan itu

terlalu sempit bila dituangkan dalam bentuk peraturan tertulis. Untuk

mencapai suatu keadilan dibutuhkan hati nurani yang mampu melihat

dan menggali keadilan itu.

Maka dari itu sungguh disayangkan apabila penegakan keadilan

terhambat oleh peraturan tertulis yang merupakan produk politik

manusia. Suatu peraturan tertulis saja bisa ditafsirkan bermacam-

macam. Tentunya hati nurani yang adillah yang mampu menafsirkan

hukum yang berkeadilan. Pada setiap masyarakat ada sebuah hukum

8
universal bahwa keadilan merupakan sifat yang harus selalu melekat

pada setiap pemerintahan jika ingin kelangsungan kekuasaan terus

berlanjut. Setiap pemerintahan akan selalu mendapatkan tuntutan

untuk mampu menjadi representasi kepentingan segenap rakyatnya.

Oleh karena itu setiap pemerintahan harus mampu menerapkan

sistem pengaturan masyarakat yang menganut prinsip keadilan.

Jika suatu pemerintahan justru menjalankan suatu orde yang

membuat mayoritas rakyatnya merasa diposisikan secara tidak adil,

maka bisa dipastikan orde pemerintahan tersebut tidak akan

berlangsung lama. Tanpa keadilan maka kemakmuran yang dicita-

citakan suatu bangsa juga bisa dipastikan akan semakin jauh dari

pencapaian. Bahkan kemakmuran yang sudah mulai terbina akan

segera hancur berantakan. Atau kalaupun tercipta kemakmuran itu

hanya terpusat pada segelintir orang saja.

2.3 Kaitan Pancasila dengan Penegakan yang Berkeadilan

Pancasila dikaitkan dengan sistem etika maka akan memberi

jawaban mengenai konsepsi dasar kehidupan yang dicita-citakan,

sebab di dalamnya terkandung prinsip terdalam dan

gagasan mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik. Pancasila

memperoleh dukungan dari rakyat Indonesia karena sila-sila

pancasila merupakan etika dan nilai-nilai masyarakat Indonesia.

Selain itu, pancasila memberikan jawaban bagaimana seharusnya

manusia Indonesia bertanggung jawab dan berkewajiban sebagai

9
makhluk pribadi, sosial, dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa dalam

kehidupan bernegara, selain dalam kehidupan dengan sesama warga

negara.

Dalam hidup berkelompok, selain etika kelompok bagaimana

warga negara Indonesia bergaul dalam kehidupannya, akan muncul

etika yang berkaitan dengan kerja atau profesi, seperti etika guru

atau dosen Indonesia, etika kedokteran Indonesia, etika bisnis, etika

seni dan sebagainya. Uraian tersebut menunjukkan bahwa pancasila

pun memiliki sistem etika yang mengatur etika individual dan sosial,

serta mengembangkan etika yang berkaitan dengan lingkungan dan

kerja atau profesi. (Soegito,2012 : 148).

Fungsi utama pancasila yaitu sebagai sumber dari segala

sumber hukum. Untuk memberikan kesepahaman tentang Pancasila

sebagai sumber hukum negara, maka kita menggunakan UU Nomor

12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-

undangan, terpaparkan dengan jelas pada pasal 2 yang menyatakan

Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum Negara.

Kemudian penjelasan tersebut menyatakan, bahwa

penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum

negara adalah sesuai dengan Pembukaan undang-undang dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu

ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab,

10
persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan, dan

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara

serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan

peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan

nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pembangunan hukum

bukan hanya memperhatikan nilai-nilai filosofis, asas yang

terkandung dalam Negara hukum, tetapi juga mempertimbangkan

realitas penegakan hukum dan kesadaran hukum masyarakat.

Pancasila sebagai paradigma pembangunan kehidupan beragama.

Salah satu syarat sebelum terwujudnya masyarakat moderen

yang demokratis adalah terwujudnya masyarakat yang menghargai

kemajemukan masyarakat dan bangsa. Pancasila dan sistem hukum

nasional setelah dapat mengintegrasikan seluruh sila-sila Pancasila

sebagai suatu kesatuan yang utuh dan bergerak dinamis dalam

suatu arus pemikiran yang bukan hanya mencakup sistem nilai tetapi

juga dimensi kelembagaannya dengan menegaskan bahwa sila

keadilan sosial setidak-tidaknya merupakan standar yang digunakan

untuk mengukur, kalaulah tidak merupakan nilai inti untuk menguji

terwujud tidaknya Pancasila sebagai dasar negara tantangan.

11
2.4 Kasus Prita Mulyasari

Kasus tersebut bermula saat Prita Mulyasari memeriksakan

kesehatannya di Rumah Sakit Internasional Omni atas keluhan demam,

sakit kepala, mual disertai muntah, kesulitan buang air, sakit

tenggorokan, hingga hilangnya nafsu makan. Oleh dokter rumah sakit,

dr. Hengky Gosal Sp.PD dan dr.Grace Herza Yarlen Nela, Prita

didiagnosis menderita demam berdarah, atau tifus. Setelah dirawat

selama empat hari disertai serangkaian pemeriksaan serta perawatan,

gejala awal yang dikeluhkan berkurang namun ditemukan sejenis virus

yang menyebabkan pembengkakan pada leher.

Selama masa perawatan Prita mengeluhkan minimnya penjelasan

yang diberikan oleh dokter atas jenis-jenis terapi medis yang diberikan,

disamping kondisi kesehatan yang semakin memburuk yang diduga

akibat kesalahan dalam pemeriksaan hasil laboratorium awal

menyebabkan kekeliruan diagnosis oleh dokter pemeriksa. Disebabkan

karena pengaduan serta permintaan tertulis untuk mendapatkan rekam

medis serta hasil laboratorium awal yang tidak dapat dipenuhi oleh pihak

rumah sakit Prita kemudian menulis email tentang tanggapan serta

keluhan atas perlakuan yang diterimanya ke sebuah media internet.

Email tersebut kemudian menyebar luas sehingga membuat pihak

rumah sakit merasa harus membuat bantahan atas tuduhan yang

dilontarkan oleh Prita ke media cetak serta mengajukan gugatan hukum

12
baik secara perdata maupun pidana dengan tuduhan pencemaran nama

baik. Pihak Rumah Sakit Omni Internasional lantas berang dan merasa

nama baik rumah sakit dan dokter bersangkutan tercemar. Sehingga

komplain dan curahaan hati Ibu Prita Mulyasari berbuntut panjang di

sidang pengadilan negeri Tangerang dan berakibat Ibu Prita Mulyasari

dinyatakan bersalah.

Ibu Prita resmi ditahan di lembaga permasyarakatan wanita

Tangerang sejak 13 Mei 2009 karena dijerat pasal pencemaran nama

baik dengan menggunakan Undang-Undanga Informasi dan transaksi

Elektronik (UU ITE) pasal 27 ayat 3. Banyak pihak yang menyayangkan

penahanan Prita Mulyasari yang dijerat pasal 27 ayat 3 Undang-Undang

no 11 tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi Elektronik karena

akan mengancam kebebasan berekspresi. Pasal ini menyebutkan :

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau

mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya Informasi

Elektronik dan atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan

penghinaan dan atau pencemaran nama baik.”(UU ITE, 27 : 3).

Beberapa aliansi menilai bahwa rumusan pasal tersebut sangatlah

lentur dan bersifat keranjang sampah dan multiinterpretasi. Rumusan

tersebut tidak hanya menjangkau pembuat muatan tetapi juga penyebar

dan para moderator email maupun individu yang melakukan forward ke

alamat tertentu. Lebih lanjut, departemen komunikasi dan informatika

menegaskan bahwa tindakan Prita Mulyasari yang menyampaikan

13
keluhan atas jasa sebuah layanan publik bukanlah merupakan

penghinaan. kepala pusat informasi dan humas depkominfo, Gatot S

Dewa Broto, di Jakarta, Prita yang mengungkapkan keluhan terhadap

suatu layanan publik melalui email merupakan hak dari seorang

konsumen.

Menurut dia, hal itu adalah sah sesuai dengan yang termuat dalam

UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya

Pasal 4 huruf d. Pasal itu berbunyi: “Hak konsumen adalah hak untuk

didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang

digunakan.” Oleh karena itu, menanggapi UU pasal 27 ayat 3 UU ITE

unsur `tanpa hak` sebagaimana dimaksud di dalamnya menjadi tidak

terpenuhi, sehingga Pasal 27 ayat (3) tersebut tidak bisa diterapkan

untuk kasus ini. Lebih lanjut, Gatot mengungkapkan bahwa pasal

tersebut memuat unsur “dengan sengaja” dan “tanpa hak”, yang mana

unsur tersebut menentukan dapat tidaknya seseorang dipidana

berdasarkan pasal ini.

Penasihat hukum Prita Mulyasari dalam eksepsinya berpendapat,

kliennya berhak berkeluh kesah kepada teman-temannya melalui email.

Hal tersebut juga diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945,

utamanya pasal 28. Namun demikian, salah satu karakteristik kasus

perdata adalah setiap kata dalam undang-undang boleh

diinterpretasikan bermacam-macam. Interpretasi yang berbeda pada

14
setiap orang mengakibatkan setiap pasal dalam undang-undang saling

bertentangan dan saling menyerang.

Bahwa hak dan kebebasan terdakwa Prita Mulyasari tersebut,

diduga atau didakwa bertentangan dengan hak orang lain, yakni dr

Hengky Gosal dan dr Grace Hilza Yarlen Nela. Hak dan kebebasan dua

dokter itu juga diatur dalam Pasal 28 G Ayat (1) perubahan UUD 45.

Pasal tersebut berbunyi: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri

pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang berada

di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan

dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang

merupakan hak asasi manusia.”

Sebagai tambahan, penangkapan Prita Mulyasari, terdakwa kasus

dugaan pencemaran nama baik dan pelanggaran Undang-Undang ITE,

juga ikut mencabut hak kedua anak Prita yang masih berusia balita. Yang

mana penangkapan terhadap Prita Mulyasari menentang hak tumbuh

kembang anak-anaknya. Hal ini selaras pernyataan Tini Hadad,

sekretaris jenderal yayasan kesehatan Perempuan, seusai konferensi

pers mengenai kasus Prita di Jakarta : “Setiap anak berhak mendapat

susu selama dua tahun. Ketika Bu Prita ditahan, hak anak-anaknya

tercabut dengan paksa.”

Tindakan sewenang-wenang tersebut telah melanggar hak tumbuh

kembang anak, padahal hal tersebut telah diakomodasi dalam sistem

15
hukum Indonesia, baik dalam konstitusi maupun perundang-undangan.

Misalnya ratifikasi dan perundangan konvensi hak anak dengan Keppres

Nomor 36 Tahun 1990, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan beberapa

peraturan lain.

Namun, hak Ibu Prita sebagai pasien rumah sakit juga tidak dapat

begitu saja dikesampingkan. Hak Prita sebagai pasien di Rumah Sakit

Omni Internasional Alam Sutra, Serpong, Tangerang Selatan, dari

lembaga tersebut sesuai undang-ndang Nomor 29 Tahun 2004 tentang

praktik kedokteran. Dalam Pasal 66 (UU) tersebut dinyatakan, setiap

orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan

dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat

mengadukan secara tertulis kepada Ketua MKDKI. Sayangnya, menurut

ketua MKDKI, proses penanganan tersebut dapat berlangsung.

Dalam kata lain, hal itu merupakan ilustrasi MKDI dalam melindungi

kehormatannya sendiri dan gengsi dunia medis yang seolah-olah

bersifat exclusive dan untouchable. Selain itu, selama pasal-pasal dalam

undang-undang masih tidak jelas, simpang siur, lentur seperti karet,

maka selamanya pihak yang lemah selalu dirugikan karena ditindas oleh

oknum yang lebih kuat. Dengan demikian, seakan-akan hak asasi tiap-

tiap warga negara Indonesia belum selamanya mampu ditegakkan,

karena hak asasi di Indonesia hanya mendapatkan pengakuan secara

16
konstitusi dan otentik tanpa ada perlindungan yang kompeten dan adil

yang memihak pada yang benar.

Begitulah cermin hukum di Indonesia, tidak transparan, tidak ada

supremasi hukum, tidak menerapkan nilai-nilai perlindungan hak asasi

manusia, melainkan memihak yang kuat dengan menyingkirkan yang

lemah.

2.5 Kaitan Kasus Mulyasari terhadap Penegakan Hukum


yang Berkeadilan

Kebijakan untuk tidak memberlakukan hukum dapat dilakukan

dalam situasi sebagai berikut :

1). Jika hukum tidak akrab dengan realitas sosial, tidak dekat

dengan rasa keadilan rakyat, tidak dimengerti karena bahasa

hukum yang sulit dimengerti. Bahasa hukum terbatas jumlahnya

dan rata-rata berasal dari golongan penguasa dan orang-orang

yang sulit dimengerti oleh rakyat ini kerap kali dianggap

merupakan suatu kesombongan kekuasaan (the arrogance of

power).

2). Bilamana peraturan pelaksanaan merupakan sesuatu yang

mutlak harus ada pada suatu produk hukum tertentu. Dalam

keadaan demikian ini, tanpa peraturan pelaksanaan, maka

produk hukum secara operasional akan berhenti fungsinya dan

hanya dapat menjadi bahan diskusi.

17
3). Bila peraturan perundang-undangan bertentangan dengan

Pancasila sebagai Kaidah Penuntun.

Menurut pendapat kelompok kami, kebijakan tidak menegakan

hukum seharusnya bisa dilakukan oleh para aparat penegak hukum

ketika menangani kasus Prita Mulyasari demi terwujudnya keadilan

substansial dan bukan hanya keadilan formal yang hanya mementingkan

nilai kepastian hukum. Mengingat kasus tersebut juga banyak

mengundang tapsiran yang berbeda terhadap undang-undang yang

digunakan penegak hukum untuk menjerat Prita Mulyasari. Undang-

undang tersebut tidak hanya mengandung banyak arti namun juga

bertentangan dengan undang-undang lainnya.

Hal yang terpenting yang menjadi konsen kami terhadap kasus

tersebut, karena penegakkan hukum terhadap kasus Prita Mulyasari,

mengekang kebebasan warga negara untuk berpendapat dimana

kebebasan untuk berpendapat dijamin oleh undang undang.

Penegakkan hukum di Indonesia seharusnya lebih menitik beratkan

unsur keadilan diatas segalanya karena jika hanya berpatokan terhadap

undang-undang hukum pidana maupun perdata menurut pendapat

kelompok kami kurang relevan, karena hukum pidana dan perdata yang

diterapkan di Indonesia diadopsi dari hukum belanda yang sifatnya

liberal dan mementingkan diri sediri tanpa mengedepankan asas

keadilan majemuk. Diperlukannya suatu penyesuaian terhadap hukum

18
yang diterapkan di Indonesia agar tidak bertentangan dengan nilai-nilai

budaya etika dan moral yang di anut oleh masyarakat Indonesia.

B. ANALISIS MASALAH

2.6 Penegakkan Hukum yang Berkeadilan

Satjipto Rahardjo mengatakan penegakan hukum merupakan satu

usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep menjadi

kenyataan. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan

keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan

hukum adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang

dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum. Oleh karena itu, tujuan

penegakan hukum yang paling utama adalah untuk menjamin adanya

keadilan tanpa mengabaikan aspek kemanfaatan dan kepastian hukum

bagi masyarakat.

Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan dan kepastian

hukum sebagai tiang penyanggah penegakan hukum. Ketiga-tiganya

diperlukan untuk sampai pada pengertian dan implementasi hukum yang

memadai. Khusus tujuan keadilan atau finalitas yaitu menekankan dan

menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan

yang hendak dicapai. Namun Satjipto Rahardjo mengingatkan bahwa

masalah kepastian hukum bukan urusan undang-undang semata,

melainkan lebih merupakan urusan perilaku manusia. Kepastian hukum

itu menjadi masalah besar sejak hukum itu dituliskan.

19
Menurut Satjipto Rahardjo, pemikiran hukum perlu kembali pada

filosofi dasarnya yaitu hukum untuk manusia. Dengan filosofi tersebut,

maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum

bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum

itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia.

Seperti halnya kasus Prita Mulyasari tersebut, untuk mewujudkan

keadilan bagi korban dan pelaku, adalah hendaknya ketika para penegak

hukum berpikir dan bertindak secara progresif yaitu tidak menerapkan

peraturan secara tekstual tetapi perlu menerobos aturan (rule breaking)

karena pada akhirnya hukum itu bukan teks demi tercapainya keadilan

yang diidamkan oleh masyarakat.

Hukum yang progresif berangkat dari asumsi dasar bahwa hukum

adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Hukum bukan sebagai institusi

yang bersifat mutlak dan final, melainkan sebagai institusi bermoral,

bernurani dan karena itu sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk

mengabdi kepada manusia. Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan

untuk mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera

dan membuat manusia bahagia. Kemanusiaan dan keadilan menjadi

tujuan dari segalanya dalam kita berkehidupan hukum.

Maka kalimat “hukum untuk manusia” bermakna juga “hukum

untuk keadilan”. Ini berarti, bahwa kemanusiaan dan keadilan ada di atas

hukum yang intinya adalah penekanan pada penegakan hukum yang

berkeadilan. Oleh karena itu, pemerintah yang mengemban tugas

20
negara dalam membuat undang-undang harus sungguh-sungguh

memperhatikan 2 (dua) hal yang telah dijelaskan di atas yaitu hukum

hendaknya membuat sejahtera dan bahagia masyarakat serta hukum

yang diciptakan harus berpihak kepada masyarakat dan itulah yang

disebut “hukum untuk manusia”. Menurut Suteki, Masalah yang

seringkali muncul adalah tidak dipenuhinya nilai keadilan, terutama rasa

keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Hakim tidak dengan sungguh-sungguh menggali nilai-nilai yang

hidup di masyarakat (the living law) seperti yang telah diamanatkan oleh

undang-undang kekuasaan kehakiman dengan alasan terkait dengan

aturan hukum formal yang sebenarnya kaku dan seringkali melenceng

dari rasa keadilan masyarakat. Di sini penegakan hukum telah

mengalami kebuntuan legalitas formalnya untuk menghadirkan keadilan

substantif. Ada yang perlu dilakukan untuk menembus kebuntuan

legalitas formal itu, yaitu dengan melakukan non of enforcement of

law yaitu kebijakan tidak menegakan hukum.

2.7 Kebijakan hukum dalam situasi

Hal yang terpenting yang menjadi konsen kami terhadap kasus

tersebut, karena penegakkan hukum terhadap kasus Prita Mulyasari,

mengekang kebebasan warga negara untuk berpendapat dimana

21
kebebasan untuk berpendapat dijamin oleh undang undang.

Penegakkan hukum di Indonesia seharusnya lebih menitik beratkan

unsur keadilan diatas segalanya karena jika hanya berpatokan terhadap

undang-undang hukum pidana maupun perdata menurut pendapat

kelompok kami kurang relevan, karena hukum pidana dan perdata yang

diterapkan di Indonesia diadopsi dari hukum belanda yang sifatnya

liberal dan mementingkan diri sediri tanpa mengedepankan asas

keadilan majemuk.

Diperlukannya suatu penyesuaian terhadap hukum yang

diterapkan di Indonesia agar tidak bertentangan dengan nilai-nilai

budaya etika dan moral yang di anut oleh masyarakat Indonesia.

1). Jika hukum tidak akrab dengan realitas sosial, tidak dekat

dengan rasa keadilan rakyat, tidak dimengerti karena bahasa

hukum yang sulit dimengerti. Bahasa hukum terbatas jumlahnya

dan rata-rata berasal dari golongan penguasa dan orang-orang

yang sulit dimengerti oleh rakyat ini kerap kali dianggap merupakan

suatu kesombongan kekuasaan (the arrogance of power).

2). Bilamana peraturan pelaksanaan merupakan sesuatu yang

mutlak harus ada pada suatu produk hukum tertentu. Dalam

keadaan demikian ini, tanpa peraturan pelaksanaan, maka produk

hukum secara operasional akan berhenti fungsinya dan hanya

dapat menjadi bahan diskusi.

22
3). Bila peraturan perundang-undangan bertentangan dengan

Pancasila sebagai Kaidah Penuntun.

Menurut pendapat kelompok kami, kebijakan tidak menegakan

hukum seharusnya bisa dilakukan oleh para aparat penegak hukum ketika

menangani kasus Prita Mulyasari demi terwujudnya keadilan substansial

dan bukan hanya keadilan formal yang hanya mementingkan nilai

kepastian hukum. Mengingat kasus tersebut juga banyak mengundang

tapsiran yang berbeda terhadap undang-undang yang digunakan penegak

hukum untuk menjerat Prita Mulyasari. Undang-undang tersebut tidak

hanya mengandung banyak arti namun juga bertentangan dengan

undang-undang lainnya.

23
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk mencapai atau

menciptakan tata tertib, keamanan dan ketenteraman dalam

masyarakat baik itu merupakan upaya pencegahan maupun

penindakan setelah terjadinya pelanggaran hukum. Dari segi

pendekatan akademik, dapat dikemukakan tiga konsep penegakan

hukum yaitu penegakan hukum bersifat total, penegakan hukum

bersifat full dan penegakan hukum bersifat actual. Hukum yang

berkadilan adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau

berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman

perilaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

2. Antara hukum dan keadilan merupakan satu kesatuan yang tidak

terpisahkan sebab inti hukum adalah keadilan. Dalam kasus Prita

Mulyasari penegakan hukum di Indonesia ternyata belum terlaksana

dengan baik. bahwa krisis yang terjadi dalam penegakan hukum

khususnya dalam kasus tersebut disebabkan paradigma aparatur

penegak hukum masih dengan paradigma lama yaitu semata-mata

mengedepankan aspek kepastian hukum dengan mengabaikan aspek

keadilan dan kemanfaatan.

24
Artinya aparatur penegak hukum terutama yang berhubungan

langsung dengan pengadilan, lebih memperhatikan peraturan dan

prosedur, sehingga keadilan menjadi terpinggirkan. Aparatur penegak

hukum khususnya hakim terpaku dengan paradigma rule

making yang hanya menerapkan undang-undang semata. Kurang

berani untuk menerapkan paradigma rule breaking yaitu penerapan

hukum yang melompat ke aspek nilai-nilai keadilan dan terutama

kemanusiaan. Paradigma rule breaking ini sering disebut penegakan

hukum progresif.

3.2 Saran

1. Lembaga hukum harus di perbaiki agar terwujud rule breaking yaitu

penerapan hukum yang melompat ke aspek nilai-nilai keadilan dan

terutama kemanusiaan dengan mengamalkan pancasila sebagai etika

dan nilai-nilai masyarakat Indonesia.

2. Kiranya aparat penegak hukum untuk lebih memahami secara

mendalam dan menyeluruh tentang hakikat dan tujuan hukum

sehingga tidak mudah terjebak dalam paradigma positivisme yang

hanya bertolak kepada aturan perundang-undangan yang berlaku

mengingat begitu pesatnya perkembangan kehidupan sosial

masyarakat sehingga membutuhkan adanya penemuan-penemuan

hukum yang baru dalam memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap

hukum.

25
DAFTAR PUSTAKA

Satjipto Rahardjo. 2009. Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum


Indonesia. Yogyakarta : Genta Publishing, hlm.138

Satjipto Raharjo, Rekonstruksi Pemikiran Hukum di Era


Reformasi, Makalah pada Seminar Nasional Menggugat Pemikiran
Positivisme di Era Reformasi, ODIH, UNDIP. Semarang, 22 Juli 2000. hlm.
4

Satjipto Rahardjo.2009. Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum


Indonesia. Yogyakarta : Genta Publishing . Op. Cit hlm. 140 -141

Satjipto Rahardjo. 2009. Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Jakarta :


Kompas hlm.170-171

Peter Mahmud Marzuki. 2008. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. Hlm.


23

2010. Malik Madaniy. 2010. Politik Berpayung


Fiqh.Yogyakarta:Pustaka Pesantren. hlm. 33

Ibid. hlm. 34

26

Anda mungkin juga menyukai