Mahdi (2021110845)
Ahmad Bahrain Hidayat (2021110846)
Siti (2021110847)
Nurjannah (2021110848)
Mahfika (2021110849)
Alawiah (2021110852)
Segala puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT,yang mana
berkat rahmat,taufiq,serta hidayah-nya kita masih diberi nikmat sehat dan nikmat
iman serta nikmat yang besar lainnya oleh Allah.Shalawat beserta salam kita
haturkan kepada junjungan kita yang muli Nabi besar,Nabi akhir zaman,Nabi
Muhammad SAW,yang mana beliau yang telah menuntun kita ke jalan yang benar.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................3
C. Tujuan.............................................................................................................3
A. Kesimpulan ..................................................................................................19
B. Saran .............................................................................................................19
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
1
Muhammad Riski Firmansyah, Logika dan Penalaran Hukum h. 1-2
1
dan kita dengar. Logika muncul bersama dengan filsafat. Itu tidak berarti logika
berdiri sendiri sebagai satu disiplin disamping filsafat melainkan bahwa dalam
filsafat Barat sudah nyata pemikiran yang logis. Untuk mengatur dengan pasti
kapan “hari lahir” logikanya tidak mungkin. Umumnya diterima bahwa orang
pertama yang melakukan pemikiran Sistematis tentang logika adalah filsuf besar
Yunani Aristoteles(384-322M) menarik, karena Aristoteles sendiri tidak
menggunakan istilah “logika”.
Apa yang sekarang kita kenal sebagai logika, oleh Aristoteles dinamakan
“Analitika” penyelidikan terhadap argumentasi-argumentasi yang bertitik-tolak
dari putusan-putusan yang benar dan “Dialektika” penyelidikan terhadap
argumentasi-argumentasi yang bertitik tolak dari putusan-putusan yang masih
diragukan.2
2
Dini Dwi Putri, Logika Dan Penalaran, (Palembang, 2019) h. 1
2
Rumusan Masalah
3
BAB II
PEMBAHASAN
Konsep dan Terminologi Hukum
Logika dalam penalaran hukum adalah suatu metode atau teknik yang
digunakan untuk memastikan bahwa kesimpulan yang diambil benar dan dapat
dipertanggungjawabkan. Hal ini sangat penting dalam hukum karena kesalahan
dalam penalaran dapat berdampak besar pada keputusan yang diambil oleh
pengadilan atau lembaga hukum lainnya.
Salah satu prinsip dasar logika dalam penalaran hukum adalah bahwa
argumen harus didasarkan pada premis-premis yang logis dan konsisten. Premis-
premis ini harus dapat diterima dan dapat diuji kebenarannya. Misalnya, jika
seseorang membuat argumen bahwa seseorang bersalah karena memiliki motif
untuk melakukan kejahatan, maka premis-premis yang digunakan harus logis dan
konsisten dengan fakta-fakta yang ada.
Selain itu, penalaran harus mengikuti aturan-aturan logika yang telah
ditetapkan. Hukum identitas, hukum non-contradiction, dan hukum eksklusi
tengah adalah beberapa contoh aturan logika yang harus diikuti dalam penalaran
hukum. Hukum identitas menyatakan bahwa suatu hal adalah sama dengan dirinya
sendiri. Hukum non-contradiction menyatakan bahwa suatu hal tidak dapat
menjadi benar dan salah pada saat yang sama. Sedangkan hukum eksklusi tengah
menyatakan bahwa suatu hal hanya dapat benar atau salah, tidak ada alternatif
lainnya.
Dalam penalaran hukum, juga penting untuk mempertimbangkan konteks
dan kepentingan yang terlibat dalam kasus yang sedang dibahas. Hal ini dapat
membantu dalam menentukan apakah suatu argumen atau kesimpulan benar atau
tidak. Misalnya, dalam kasus pembunuhan, pengadilan harus mempertimbangkan
bukti-bukti dan fakta-fakta yang ada, serta konteks dari kejadian tersebut, seperti
motif dan alibi tersangka.
Dalam kesimpulannya, prinsip dasar logika dalam penalaran hukum adalah
4
bahwa argumen atau kesimpulan harus didasarkan pada premis-premis yang logis
dan konsisten, mengikuti aturan-aturan logika yang telah ditetapkan, dan
mempertimbangkan konteks dan kepentingan yang terlibat dalam kasus yang
sedang dibahas. Dengan menggunakan prinsip-prinsip ini, penalaran hukum dapat
menjadi lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Menguraikan Logika Hukum Dalam Penalaran Hukum
Ada dua cara berpikir yang dapat kita gunakan untuk mendapatkan
kebenaran yaitu melalui metode induksi dan deduksi:
1. Induksi
Induksi adalah cara berpikir untuk menarik kesimpulan yang bersifat
umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Penalaran ini dimulai dari
kenyataan-kenyataan yang bersifat khusus dan terbatas dan diakhiri dengan
pernyataan yang bersifat umum. Secara singkat dapat dikatakan bahwa “Proses
berpikir induksi adalah berdasarkan proposisi khusus ke proposisi umum”.
Contoh :
- Besi dipanaskan memuai.
- Seng dipanaskan memuai.
- Emas dipanaskan memuai. --- Simpulan : Jadi, semua logam jika dipanaskan
memuai.
Contoh lain :
- Si A karena kealpaannya sehingga menyebabkan orang lain mati, diancam
dengan hukuman penjara (kurungan) paling lama lima tahun.
- Si B karena kealpaannya sehingga menyebabkan orang lain mati, diancam
dengan hukuman penjara (kurungan) paling lama lima tahun.
- Si C karena kealpaannya sehingga menyebabkan orang lain mati, diancam
dengan hukuman penjara (kurungan) paling lama lima tahun. Simpulan : Jadi,
setiap orang (semua orang) karena kealpaannya sehingga menyebabkan orang lain
mati, diancam dengan hukuman penjara (kurungan) paling lama satu tahun.
Induksi merupakan cara berpikir di mana ditarik kesimpulan umum dari
berbagai kasus yang bersifat individual, selain itu metode induksi ialah cara
penanganan terhadap suatu objek tertentu dengn jalan menarik kesimpulan yang
5
bersifat umum atau bersifat lebih umum berdasarkan atas pemahaman atau
pengamatan terhadap sejumlah hal yang bersifat khusus. Logika induktif
merupakan suatu ragam logika yang mempelajari asas-asas penalaran yang betul
dari sejumlah hal khusus sampai pada suatu kesimpulan umum yang bersifat boleh
jadi. Kesimpulan yang bersifat umum ini penting artinya sebab mempunyai dua
keuntungan.
Keuntungan yang pertama ialah bahwa pernyataan yang bersifat umum ini
bersifat ekonomis.
Kehidupan yang beranekaragam dengan berbagai corak dan segi dapat
direduksikan menjadi beberapa pernyataan. Pengetahuan yang dikumpulkan
manusia bukanlah merupakan koleksi dari berbagai fakta melainkan esensi dan
fakta-fakta tersebut. Demikian juga dalam pernyataan mengenai fakta yang
dipaparkan, pengetahuan tidak bermaksud membuat reproduksi dari obyek
tertentu, melainkan menekankan kepada struktur dasar yang menyangga wujud
fakta tersebut. pernyataan bagaimanapun lengkap dan cermatnya tidak bisa
mereproduksikan betapa manisnya semangkuk kopi atau pahitnya sebutir pil kina.
Pengetahuan cukup puas dengan pernyataan elementer yang bersifat kategoris
bahwa kopi itu manis dan pil kina itu pahit. Pernyataan seperti ini sudah cukup
bagi manusia untuk bersifat fungsional dalam kehidupan praktis dan berpikir
teoritis.
Keuntungan yang kedua dari pernyataan yang bersifat umum adalah
dimungkinkan proses penalaran selanjutnya baik secara induktif maupun
deduktif. Secara induktif maka dari berbagai pernyataan yang bersifat
umum dapat disimpulkan pernyataan yang bersifat lebih umum lagi.
Melihat dari contoh bahwa semua binatang mempunyai mata dan semua
manusia mata, dapat ditarik kesimpulan bahwa semua makhluk
mempunyai mata. Penalaran ini memungkinkan disusunnya pengetahuan
secara sistematis yang mengarah kepada pernyataan-pernyataan yang
makin lama makin bersifat fudamental.
2. Deduksi
Deduksi adalah kegiatan berpikir yang merupakan kebalikan dari
6
penalaran induksi. Deduksi adalah cara berpikir dari pernyataan yang bersifat
umum menuju kesimpulan yang bersifat khusus atau dengan kata lain “Proses
berpikir deduksi adalah berdasarkan proposisi umum ke proposisi khusus”.
Logika deduksi merupakan cara berpikir dimana dari pernyataan yang
bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus, selain itu metode deduksi
ialah cara penanganan terhadap sesuatu objek tertentu dengan jalan menarik
kesimpulan mengenai hal-hal yang bersifat umum. Logika deduktif adalah suatu
ragam logika yang mempelajari asas-asas penalaran yang bersifat deduktif, yakni
suatu penalaran yang menurunkan suatu kesimpulan sebagai kemestian dari
pangkal pikirnya sehingga bersifat betul menurut bentuk saja.
Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola pikir
yang dinamakan silogismus. Pernyataan yang mendukung silogismus ini disebut
premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai permis mayor dan permis minor.
Kesimpulan merupakan pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif
berdasarkan kedua permis tersebut. Logika deduktif membicarakan cara-cara
untuk mencapai kesimpulan- kesimpulan bila lebih dahulu telah diajukan
pertanyaan-pertanyaan mengenai semua atau sejumlah ini di antara suatu
kelompok barang sesuatu. Kesimpulan yang sah pada suatu penalaran deduktif
selalu merupakan akibat yang bersifat keharusan dari pertnyaan-pertanyaan yang
lebih dahulu diajukan. Pembahasan mengenai logika deduktif itu sangat luas dan
meliputi salah satu di antara persoalan-persoalan yang menarik.
Guna memenuhi dan membatasi maksud logika deduktif bagian terkenal
sebagai logika Aristoteles. Cabang loka ini membicarakan pernyataan-pernyataan
yang dapat dijadikan bentuk ‘S’ adalah ‘P’, misalnya, “manusia (adalah)
mengenal mati. Tampaklah pada kita bahwa ‘S’ merupakan huruf pertama
perkataan ‘Subjek’ dan ‘P’ merupakan huruf pertama perkataan ‘Predikat’. Dari
pernyataan-pernyataan semacam itu, kita dapat memilah empat cara pokok untuk
mengatakan sesuatu dari setiap atau sementara subjek yang dapat diterapi simbol
‘S’.
Setiap Setiap Sementara Sementara
S adalah P
7
S bukan/tidaklah P
S adalah P
S bukan/tidaklah P.
Contoh Deduksi
Contoh membuat silogismus sebagai berikut: Semua makhluk hidup memerlukan
udara
Dewi adalah makhluk hidup
Jadi Dewi memerlukan (Kesimpulan)
(Premis mayor) (Premis minor)
udara
Kesimpulan yang diambil bahwa si Dewi memerlukan udara adalah sah
menurut penalaran deduktif, sebab kesimpulan ini ditasrik secara logis dari dua
permis yang mendukungnnya. Pertanyaan apakah kesimpulan itu benar maka
dapat dipastikan bahwa kesimpulan yang ditariknya juga adalah benar. Mungkin
saja kesimpulan itu salah, meskipun kedua premisnya benar, sekiranya cara
penarikan kesimpulannya adalah tidak sah.
Dengan demikian maka ketepatan penarikan kesimpulan tergantung dari
tiga hal yakni kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor dan keabsahan
pengambilan kesimpulan.
Sebagaimana dijelaskan diatas, penalaran deduktif merupakan suatu
penalaran yang berpangkal pada suatu peristiwa umum,yang kebenarannya telah
diketahu dan diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan yang
baru yang bersifat lebih khusus. Metode ini diawali pembentukan teori, hipotesis,
definisi oprasional, instrumen dan oprasionalisasi. Dengan kata lain, untuk
memahami suatu gejala terlebih dahulu harus memiliki konsep dan teori tentang
gejala tersebut dan selanjutnya dilakukan penelitian lapangan. Dengan demikian
konteks penalaran deduktif tersebut, konsep dan teori merupakan kata kunci untuk
memahami suatu gejala atau peristiwa.
Contoh: Masyarakat Indonesia konsumtif (umum) dikarenakan adanya perubahan
arti sebuah kesuksesan (khusus) dan kegiatan imitasi (khusus) dari media-media
hiburan yang menampilkan gaya hidup konsumtif sebagai prestasi sosial dan
8
penanda status sosial.
Konsep dan Simbol dalam Penalaran
Penalaran juga merupakan aktivitas pikiran yang abstrak, untuk
mewujudkannya diperlukan simbol. Simbol atau lambang yang digunakan dalam
penalaran berbentuk bahasa, sehingga wujud penalaran akan akan berupa
argumen.
Kesimpulannya adalah pernyataan atau konsep adalah abstrak dengan
simbol berupa kata, sedangkan untuk proposisi simbol yang digunakan adalah
kalimat (kalimat berita) dan penalaran menggunakan simbol berupa argumen.
Argumenlah yang dapat menentukan kebenaran konklusi dari premis.
Berdasarkan paparan di atas jelas bahwa tiga bentuk pemikiran manusia
adalah aktivitas berpikir yang saling berkait. Tidak ada ada proposisi tanpa
pengertian dan tidak akan ada penalaran tanpa proposisi. Bersama-sama dengan
terbentuknya pengertian perluasannya akan terbentuk pula proposisi dan dari
proposisi akan digunakan sebagai premis bagi penalaran. Atau dapat juga
dikatakan untuk menalar dibutuhkan proposisi sedangkan proposisi merupakan
hasil dari rangkaian pengertian.
Syarat-syarat Kebenaran dalam Penalaran :
Jika seseorang melakukan penalaran, maksudnya tentu adalah untuk
menemukan kebenaran. Kebenaran dapat dicapai jika syarat-syarat dalam menalar
dapat dipenuhi.
Suatu penalaran bertolak dari pengetahuan yang sudah dimiliki seseorang
akan sesuatu yang memang benar atau sesuatu yang memang salah. Dalam
penalaran, pengetahuan yang dijadikan dasar konklusi adalah premis. Jadi semua
premis harus benar. Benar di sini harus meliputi sesuatu yang benar secara formal
maupun material. Formal berarti penalaran memiliki bentuk yang tepat,
diturunkan dari aturan- aturan berpikir yang tepat sedangkan material berarti isi
atau bahan yang dijadikan sebagai premis tepat.
9
“reason” tentang hukum atau pencarian dasar tentang bagaimana seorang hakim
memutuskan perkara/ kasus hukum, seorang pengacara mengargumentasikan
hukum dan bagaimana seorang ahli hukum menalar hukum.
Pengertian lainnya yang sering diberikan kepada Legal Reasoning adalah
suatu kegiatan untuk mencari dasar hukum yang terdapat di dalam suatu peristiwa
hukum, baik yang merupakan perbuatan hukum (perjanjian, transaksi
perdagangan, dan lain-lain) ataupun yang merupakan kasus pelanggaran hukum
(pidana, perdata, ataupun administratif) dan memasukkannya ke dalam peraturan
hukum yang ada. Bagi para hakim legal reasoning ini berguna dalam mengambil
pertimbangan untuk memutuskan suatu kasus. Sedangkan bagi para praktisi
hukum legal reasoning ini berguna untuk mencari dasar bagi suatu peristiwa atau
perbuatan hukum dengan tujuan untuk menghindari terjadinya pelanggaran
hukum di kemudian hari dan untuk menjadi bahan argumentasi apabila terjadi
sengketa mengenai peristiwa ataupun perbuatan hukum tersebut. Bagi para
penyusun undang-undang dan peraturan, legal reasoning ini berguna untuk
mencari dasar mengapa suatu undang-undang disusun dan mengapa suatu
peraturan perlu dikeluarkan. Sedangkan bagi pelaksana, legal reasoning ini
berguna untuk mencari pengertian yang mendalam tentang suatu undang-undang
atau peraturan agar tidak hanya menjalankan tanpa mengerti maksud dan
tujuannya yang hakiki.
Bagi beberapa ahli hukum formulasi tentang legal reasoning sebagaimana
disebutkan di atas mengandung pengertian yang ambigu mengenai apakah legal
reasoning adalah reasoning tentang hukum, yaitu apakah reasoning tersebut
mengenai: (a) reasoning untuk mencari dasar tentang substansi hukum yang ada
saat ini, atau (b) reasoning yang diambil dari substansi hukum yang ada itu yang
harus diterapkan pada putusan yang harus diambil terhadap perkara yang
dihadapkan kepada hakim saat ini.
Para ahli juga berbeda pandangan mengenai formulasi tentang bagaimana
hakim memutuskan perkara, yang menurut mereka mengandung juga ambigu,
yaitu apakah dalam memutus perkara, hakim harus mencari reasoning dari
substansi hukum positif yang ada mengenai kasus tersebut ataukah hakim harus
10
mempertimbangkan semua aspek yang ada termasuk isu mengenai moral dan lain-
lain. Dengan perbedaan ini para ahli teori hukum mengambil tiga pengertian
tentang legal reasoning yaitu:
- Reasoning untuk mencari substansi hukum untuk diterapkan dalam masalah
yang sedang terjadi.
- Reasoning dari substansi hukum yang ada untuk diterapkan terhadap putusan
yang harus diambil atas suatu perkara yang terjadi.
- Reasoning tentang putusan yang harus diambil oleh hakim dalam suatu
perkara, dengan mempertimbangkan semua aspek.
11
peradilan Inggris modern membatasi kebebasan hakim Inggris untuk
mengesampingkan reasoning yang diajukan oleh pengadilan terdahulu. Sementara
Mr. Cross menyatakan keberatannya bahwa akibat dari penerapan doktrin
preseden tersebut secara kaku adalah bahwa hakim-hakim sering harus melihat
hukum melalui mata para pendahulunya. Selanjutnya ia mengatakan bahwa tidak
sepakat bahwa tugas hakim di Amerika hanya untuk melihat hukum sebagai suatu
yang tetap secara keseluruhan, dan menurutnya melihat hukum melalui matanya
sendiri dan bukan melalui mata para pendahulunya tidak akan membawa kepada
pola yang secara dominan merupakan penolakan dari reasoning yang diajukan
oleh hakim terdahulu atau membuat perbedaan apabila tidak terdapat alasan untuk
membedakan peristiwa yang terjadi. 3
Penalaran hukum (legal reasoning) adalah kegiatan berpikir problematic
tersistematis (gesystematiseerd probleemdenken) dari subjek hukum
(manusia)sebagai makhluk individu dan sosial di dalam lingkaran kebudayaannya.
Penalaran hukum dapatdidefinisikan sebagai kegiatan berpikir yangbersinggungan
dengan pemaknaan hukum yang multiaspek (multi dimensional danmultifaset).
Penalaran hukum sebagai kegiatan berpikir problematis tersistematis
mempunyai ciri-ciri khas dan konsep. Menurut Bermanciri khas penalaran hukum
adalah:
1) Penalaran hukum berupaya mewujudkan konsistensi dalam aturan-
aturanhukumdan putusan-putusan hukum. Dasar berpikirnya adalah asas
(keyakinan)bahwa hukum harus berlaku sama bagi semua orang yang
termasuk dalamyuridiksinya.Kasus yang sama harus diberi putusan yang
sama berdasarkan asassimilia similibus (persamaan);
2) Penalaran hukum berupaya memelihara kontinuitas dalam waktu
(konsistensihistorikal). Penalaran hukum akan mengacu pada aturan-aturan
hukum yangsudahterbentuk sebelumnya dan putusan-putusan hukum
terdahulu sehingga menjamin stabilitas dan prediktabilitas;
3) Dalam penalaran hukum terjadi penalaran dialektikal, yakni menimbang-
3
I Gusti Ayu Putri Kartika, Buku Ajar Penalaran Dan Argumentasi Hukum, (Denpasar,
2016) h. 62-65
12
nimbang klaim-klaim yang berlawanan, baik dalam perdebatan pada
pembentukan hukum maupun dalam proses mempertimbangkan
pandangan dan fakta yang diajukan para pihak dalam proses peradilan dan
dalam proses negosiasi.
Jadi terminologi dari penalaran hukum ( legal reasoning ) adalah suatu
kegiatan untuk mencari dasar hukumyang terdapat di dalam suatu peristiwa
hukum, baikyang merupakan perbuatan hukum(perjanjian, transaksi perdagangan,
dll) ataupun yang merupakan kasus pelanggaranhukum (pidana, perdata, ataupun
administratif) dan memasukkannya ke dalam peraturan hukum yang ada.4
44
Muhammad Riski Firmansyah, Logika dan Penalaran Hukum h. 3-4
13
Demikian juga untuk memudahkan mengadakan pembagian, suatu definisi sering
juga dibutuhkan.
Dalam proses pemikiran yang berbentuk penalaran, antara pengertian satu
dengan yang lain dapat dihubungkan dan seterusnya diungkapkan dalam bentuk
kalimat, dan kalimat ini ada yang disebut kalimat tertutup atau disebut juga
dengan pernyataan. Dan pernyataan inilah merupakan bentuk terakhir yang akan
di perbandingkan dalam penalaran. Oleh karena itu, dalam bab ini sebagai awal
pembicaraan logika akan diuraikan berturut-turut tentang pengertian dan term,
pembagian dan definisi, serta tentang pernyataan dan penalaran. 5
1. Topik , yaitu ide sentral dalam bidang kajian tertentu yang spesifik dan
berisisekurang-kurangnya dua variabel.
2. Dasar pemikiran, pendapat, atau fakta dirumuskan dalam bentuk proposi
yaitukalimat pernyataan yang dapat dibuktikan kebenarannya atau
kesalahannya.
3. Proposisi mempunyai beberapa jenis, antara lain:
a. Proposisi empirik, yaitu proposi berdasarkan fakta, misalanya: anak
cerdas dapat memanfaatkan potensinya.
b. Proposisi mutlak, yaitu pembenaran yang tidak memerlukan
pengujianuntuk melakukan benar atau salahnya. Misalnya: gadis yaitu
wanita mudayang belum pernah menikah.
c. Proposisi hipotetik, yaitu persyaratan hubungan subjek dan
predikat yangharus dipenuhi. Misalnya: jika dijemput, X akan
kerumah
d. Proposisi kategoris, yaitu tidka adanya persyaratan hubungan subjek
dan predikat. Misalnya: X akan menikahi Y.
e. Proposisi positif universal, yaitu peryataan positif
yang mempunyaikebenaran mutlak. Misalnya: semua hewan akan
mati.
5 5
I Gusti Ayu Putri Kartika, Buku Ajar Penalaran Dan Argumentasi Hukum, (Denpasar,
2016) h. 65-66
14
f. proposisi positif persial, yaitu peryataan bahwa sebagian unsur
peryataantersebut bersifat positif. Misalnya: sebagian orang ingin
hidup kaya.
g. Proposisi negatif universal, yaitu kebalikan dari proposisi positif
universal.Misalnya: tidak ada gajah tidak berbelalai.
h. Proposisi negatif persial, yaitu kebalikan dari proposisi positif
persial.Misalnya: sebagian orang hidup menderita.
4. Proses berfikir ilmiah, yaitu kegiatan yang dilakukan secara sadar, teliti,
danterarah menuju suatu kesimpulan.
5. Logika, yaitu metode pengujian ketepatan penalaran, penggunaan
(alasan),argumentasi (pembuktian), fenomena, dan justifikasi
(pembenaran).
6. Sistematika, yaitu seperangkat proses atas bagian atau unsur-unsur proses
berfikirke dalam suatau kesatuan.
7. Permasalahan, yaitu pernyataan yang harus dijawab (dibahas) dalam
karangan.
8. Variabel, yaitu unsur satuan pikiran dalam sebuah topik yang akan
dianalisis.
9. Analisis (pembahasan, penguraian) dilakukan dengan mengidentifikasi
analisis(pembahasan, penguraian) dilakukan dengan mengidentifikasi,
mengklasifikasi,mencari hubungan (korelasi), membandingkan, dan lain-
lain.
10. Pembuktian (argumentasi), yaitu proses pembenaran bahwa proposisi itu
terbuktikebenarannya atau kesalahannya.
11. Hasil, yaitu akibat yang ditimbulkan dari sebuah analisis induktif dan
deduktif.6
Hubungan Antara Konsep, Prosisi, Dan Penalaran Hukum
6
Muhammad Riski Firmansyah, Logika dan Penalaran Hukum h. 4-5
15
mengkomunikasikan lebih lanjut apa yang dimengerti tersebut digunakan
“bahasa”, digunakan “kata-kata”. Hal 7
Pemerintahan Daerah ditentukan bahwa “Peraturan Daerah dapat
dibatalkan jika bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih
tinggi”. Kepentingan umum mempunyai makna yang kabur. Penalaran dalam
hukum beranjak dari pengertian atau konsep. Salah satu cara yang seringkali
digunakan untuk menjelaskan konsep adalah definisi.
Definisi lazimnya dibedakan atas definisi nominal dan definisi riil.
Definisi nominal terdiriatas tiga macam definisi yakni definisi leksikal, presisi dan
definisi stipulatif. Dalam bidang hukum definisi yang populer adalah definisi
presisi dan stipulatif. Namundemikian, ketiga definisi ini akan diuraikan sebagai
berikut :
1. Definisi leksikal.Ini adalah penentuan isi suatu pengertian berdasarkan
pemakaian yang lazimdari istilah itu. Kebanyakan hal ini berkenaan
dengan pemakaian istilah itu dalam bahasa pergaulan, tetapi juga dalam
Bahasa-bahasa teknikal pemakaian yang mapan(ajeg) dari istilah-istilah
tertentu dengan isi yang khusus adalah mungkin. Definisi jenis ini sering
ditemukan dalam kamus-kamus.
2. Definisi presisi. Dalam bahasa sehari-hari sebuah kata atau frase seringkali
mempunyai lebih dari satuarti dalam rumusan leksikal. Untuk kepastian
hukum dan penegakan hukum secara fair dibutuhkan suatu batasan yang
pasti tentang suatu konsep hukum. Sebagai contoh “keputusan tata usaha
negara”. Rumusan KTUN harus pasti sehingga tidak menyulitkan dalam
penetapan apakah suatu tindak pemerintahan termasukkompetensi absolut
Peradilan Tata Usaha Negara. Unsur kepastian tercermin dalamelemen-
elemen yang mendukung konsep itu. Sebagai contoh, rumusan
KTUNmenurut Pasal 1 angka 3 UU Nomor 5 Tahun 1986 didukung oleh
enam unsur sebagai berikut :
a. penetapan tertulis;
b. oleh badan atau pejabat tata usaha negara;
c. merupakan tindakan hukum tata usaha negara;
16
d. bersifat konkret dan individual;
e. final;
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata
Definisi presisi mengandung unsur leksikal dan stipulatif.
3. Definisi stipulatif. Definisi stipulatif dapat berupa pengenalan terminologi
baru atau memberikan pengertian baru terhadap term yang sudah ada.
Dalam perkembangannya agarsemakin banyak memperoleh pengertian
yang berdasarkan pengamatan empirik,dalam pemikiran tidak hanya
terbentuk pengertian-pengertian saja tetapi juga terjadi penggabungan dan
perangkaian terhadap berbagai pengertian tersebut. Rangkaian pengertian
disebut “proposisi atau pernyataan”. Kalimat tanya atau kalimat perintah
bukan lambang proposisi. Kalimat tanyamasih mencari apakah ada
hubungan diantara subyek dan predikat. Kalimat perintah justeru menuntut
adanya hubungan diantara subyek dan predikatyang belum ada. Kalimat
tanya dan kalimat perintah tidak menyatakanadanya suatu kaitan diantara
subyek dan predikat padahal itulah yangmerupakan inti dari proposisi.7
Namun, secara umum, terdapat beberapa jenis penalaran hukum dalam Islam
yang sering digunakan:
7
https://id.scribd.com/document/411007593/Makalah-Logika-Dan-Penalaran-Hukum-
Argumentasi-Hukum-FIX-converted-1
17
3. Istihsan: Penalaran yang didasarkan pada kepentingan umum atau
keadilan. Misalnya, memilih hukum yang lebih menguntungkan bagi
masyarakat meskipun tidak sesuai dengan nash (teks) yang ada.
4. Maslahah Mursalah: Penalaran yang didasarkan pada kepentingan
umum tanpa terikat pada nash yang ada. Contohnya, mengambil hukum
dari kebiasaan atau praktek masyarakat yang dianggap bermanfaat.
5. Urf: Penalaran yang didasarkan pada adat atau kebiasaan masyarakat
yang sudah menjadi tradisi. Misalnya, mengambil hukum dari kebiasaan
masyarakat.
6. Sadd al Zara’i: Penalaran yang didasarkan pada kemaslahatan dan
kerusakan. Misalnya, perbuatan yang dilakukan seseorang yang
sebelumnya mengandung kemaslahatan, tetapi berakhir dengan suatu
kerusakan.
Namun, perlu diingat bahwa jenis-jenis penalaran hukum dalam Islam ini
harus didasarkan pada sumber-sumber hukum yang sahih dan diakui oleh
para ulama Islam. 8
8
Yusna Zaidah, “Model Hukum Islam:Suatu Konsep Metode Penemuan Hukum Melalui
Pendekatan Ushuliyyah”, hlm 146-156.
18
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Saran
Dari uraian makalah di atas, kami menyadari banyak terdapat kesalahan dan
kekurangan, baik dari penulisan dan lainnya, untuk itu kami selaku pemakalah
siap menerima kritik dan saran yang diberikan kepada makalah kami.
19
DAFTAR PUSTAKA
20