Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

FIQIH MUNAKAHAT B
KHULU

Oleh

HUSEIN (2021110858)

Kelompok 4

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

DARUL ULUM KANDANGAN

TAHUN 2022 M/1444 H


KATA PENGANTAR

‫الر ِحيم‬
َّ ‫الرحْ َم ِن‬
َّ ِ‫َّللا‬
َّ ‫س ِم‬
ْ ِ‫ب‬

‫علَى‬
َ ‫س ِليْنََ َو‬ َِ َ‫ف االَنبِي‬
َ ‫اء ََو ال ُم ْر‬ َ ‫سالَ َُم‬
َِ ‫على ا َ ْش َر‬ َّ ‫صالََة ُ َوال‬ َ ّ ِ ُ ‫ا َ ْل َح ْم َد‬
َّ ‫ِلِ َربَِّ العَالمينََ ََو ال‬

ُ‫ أ َ َّما بَ ْعد‬.ََ‫ص َحا ِب َِه أ َ ْج َم ِعيْن‬


ْ َ ‫آ َ ِل َِه َوأ‬
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul “Khulu” ini tepat pada waktunya. Shalawat serta salam semoga selalu
tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang membawa kita dari
alam kegelapan kepada alam yang terang benderang, bercahayakan Iman, Islam,
dan Ihsan.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas mata kuliah Fiqh Munakahat B bidang studi Prodi Hukum Keluarga Islam.
Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Drs. H. Maslan, S.Pd.I,
MHI selaku dosen pengajar mata kuliah Fiqh Munakahat B yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.

Kandangan, 8 Maret 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................................... 3

B. Rumusan Masalah .............................................................................. 4

C. Tujuan Pembahasan ........................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertiain Khulu‟ ............................................................................. 5

B. Syarat dan Rukun Khulu‟ ................................................................... 7

C. Akibat Hukum Khulu‟ ....................................................................... 9

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................ 13

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah salah satu pokok yang utama untuk mengatur


kehidupan rumah tangga dan turunan, yang juga adalah merupakan susunan
masyarakat kecil dan nantinya akan menjadi anggota dalam masyarakat
yang luas. Tujuan perkawinan tidak bisa terlepas dari keberadaan manusia
sebagai khalifah Allah di mayapada (baca: dunia) yang bertugas untuk
memakmurkan bumi dalam rangka pengabdian kepada Nya. Di antara
tujuan perkawinan itu adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabi‟at
kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka
mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih
sayang. Atau yang diistilahkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa
perkawinan bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah.1

Seandainya dalam pergaulan antara suami isteri itu tidak dapat


terealisasi dengan baik, maka pergaulan keduanya menjadikan sebab
perpisahan antara satu sama lainnya dengan kata lain akan terjadi
perceraian. Disebabkan ketiadaan kesepakatan antara suami dan isteri, maka
dengan keadilan Allah SWT. Dibukakanlah suatu jalan keluar dari segala
kesukaran itu, yakni dengan talak atau perceraian.3Dan dalam hukum Islam,
talak atau perceraian terjadi karena terjadinya khulu‟, zhihar, ila dan li‟an. 2

Perceraian atau talak adalah putusnya hubungan perkawinan suami


dan isteri baik dengan jalan talak, fasakh, maupun khulu‟, sehingga haram
kembali hubungan seksual keduanya sebelum rujuk atau akad nikah baru
dalam suatu perkawinan yang sah di depan pengadilan berdasarkan syarat-

1
Darmiko Suhendra, Khulu’ dalam Persfektif Hukum Islam, Vol. 1 No. 1, ASY-
SYAR‟IYYAH, Juni 2016, h.219
2
Ibid, h. 219

1
syarat yang ditentukan undang-undang. Oleh karena itu dalam tulisan ini
akan dibahas tentang konsep khulu‟dalam perspektif hukum Islam.3

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian khulu?

2. Apa saja syarat dan rukun khulu?

3. Bagaimana akibat hukum khulu?

C. Tujuan Penugasan

1. Memahami pengertian khulu.

2. Memahami syarat dan rukun khulu.

3. Memahami akibat hukum khulu.

3
Darmiko Suhendra,Vol. 1 No. 1, Op.cit,h.220.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Khulu’

Khulu‟ menurut bahasa, dari kata ‫ خُلْعًا‬- ُ‫ يَخْلَع‬- َ‫ خَلَع‬yang berarti

melepaskan atau menanggalkan pakaian, atau ‫ بِمَعْنَي خَلَعَ الشَّيْءُ خَ َلعًا‬yang


berarti menanggalkan ia akan sesuatu. Diistilahkan dengan melepaskan
pakaian sebab al-Qur‟an memberikan nama bagi suami sebagai pakaian
isteri, sebaliknya isteri sebagai pakaian suami, sebagaimana tertera dalam
surat al-Baqarah ayat 187 yang berbunyi:

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

ۗ‫ن‬
َّ ‫اُحِلَّ لَـکُمْ لَيْلَةَ الصِّيَا مِ الرَّفَثُ اِلٰى نِسَآُئِكُمْ ۗ هُنَّ لِبَا سٌ لَّـكُمْ وَاَ نْـتُمْ لِبَا سٌ لَّ ُه‬

‫عَلِمَ هّٰللاُ اَنَّکُمْ كُنْتُمْ تَخْتَا نُوْنَ اَنْفُسَکُمْ فَتَا بَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۗ فَا لْــئٰنَ بَا‬

َ ‫اْل‬
ْ ُ‫شِرُوْهُنَّ وَا بْتَغُوْا مَا کَتَبَ هّٰللاُ لَـكُمْ ۗ وَكُلُوْا وَا شْرَبُوْا حَتّّى يَتَبَيَّنَ لَـكُمُ الْخَـيْط‬

َّ‫ل ۗ و ََْل تُبَا شِرُوْهُن‬


ِ ‫اْل َ سْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۗ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَا مَ اِلَى الَّ ْي‬
ْ ِ‫بْيَضُ مِنَ الْخَـيْط‬

ُٓ‫سجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ هّٰللاِ ف َََل تَقْرَبُوْهَا ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ هّٰللاُ اٰيٰتِه‬
ٰ َ‫وَاَ نْـتُمْ عٰكِفُوْنَ ۗ فِى الْم‬

َ‫لِلنَّا سِ َلعَ َّلهُمْ يَتَّقُوْن‬

Artinya:

"Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu.


Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka.
Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi
Dia menerima tobatmu dan memaafkan kamu. Maka sekarang campurilah
mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan
minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang
hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang)
malam. Tetapi jangan kamu campuri mereka ketika kamu beritikaf dalam
masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.

3
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar
mereka bertakwa." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 187)4

Khulu‟ menurut istilah, adalah menebus isteri akan dirinya kepada


suaminya dengan hartanya, maka tertalaklah dirinya.Dan maksud khulu‟
yang dikehendaki menurut ahli fikih adalah permintaan isteri kepada
suaminya untuk menceraikan dirinya dari ikatan perkawinan dengan disertai
pembayaran ‟iwadh, berupa uang atau barang kepada suami dari pihak isteri
sebagai imbalan penjatuhan talaknya.

Khulu‟ adalah pemberian hak yang sama bagi wanita untuk


melepaskan diri dari ikatan perkawinan yang dianggap sudah tidak ada
kemaslahatan sebagai imbalan hak talak yang diberikan kepada laki-laki.
Dimaksudkan untuk mencegah kesewenangan suami dengan hak talaknya,
dan menyadarkan suami bahwa isteri pun mempunyai hak sama untuk
mengakhiri perkawinan. Artinya dalam situasi tertentu, isteri yang sangat
tersiksa akibat ulah suami atau keadaan suami mempunyai hak menuntut
cerai dengan imbalan sesuatu. Bahkan khulu‟ dapat dimintakan isteri5
kepada suaminya akibat telah hilangnya perasaan cinta dari isteri kepada
suaminya walaupun suami tidak melakukan suatu perbuatan yang menyakiti
isterinya. Hak yang samanya juga dapat dilakukan suami terhadap isterinya,
yaitu manakala suami memang tidak mempunyai lagi perasaan cinta kepada
isterinya dengan menjatuhkan talak.

Abu Zahrah mendefinisikan bahwa khulu‟ mempunyai dua arti, yaitu


am(umum) dan khas (khusus). Khulu‟ dalam arti umum adalah talak atas
harta istri untuk menebus dirinya yang diserahkan kepada suaminya baik
dengan lafazh khulu‟ atau lafazh mubaro‟ah atau dengan lafazh
talak.Pengertian ini banyak digunakan oleh ulama kontemporer.Adapun
khulu‟ dalam arti khas adalah talak tebus dengan lafazh khulu‟, pendapat ini
banyak digunakan oleh ulama salaf.9 Sedangkan menurut pasal 1 KHI poin
i disebutkan bahwa khulu‟ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan
4
Via Aplikasi Al-Qur'an Indonesia https://quran-id.com.
5
Darmiko Suhendra, Khulu’ dalam Persfektif Hukum Islam, Vol. 1 No. 1, ASY-
SYAR‟IYYAH, Juni 2016, h.221.

4
isteri dengan memberikan iwadh atau tebusan kepada dan atas persetujuan
suami.

Dari pengertian-pengertian tadi dapat disimpulkan bahwa khulu‟


adalah perceraian dengan disertai sejumlah harta sebagai iwadh yang
diberikan oleh isteri kepada suami untuk menebus diri agar terlepas dari
ikatan perkawinan.6

B. Syarat dan Rukun Khulu’

1.Syarat khuluk

 Bagi suami :

Suami yang akan menceraikan istrinya dalam bentuk


khuluk sebagaimana berlaku dalam talak, adalah seorang
yang ucapannya telah diperhitungkan. Syaratnya adalah akil,
baligh, dan bertindak atas kehendaknya sendiri dengan
kesengajaan. Bila suami masih belum dewasa atau siuami
dalam keadaan gila , maka yang akan menceraikan dengan
khuluk adalah walinya. Demikian pula bila keadaan
seseorang yang dibawah pengampuan (pengawasan) karena
kebodohannya, maka yang menerima permintaan khuluk istri
adalah wali.

 Bagi istri :

Ia adalah seseorang yang berada dalam wilayah suami


, dalam arti istrinya atau orang yang telah diceraikan , masih
berada dalam iddah roj‟i. Istri adalah seorang yang telah
dapat bertindak atas harta, karena untuk keperluan pengajuan
khuluk ini, harus menyerahkan harta. Untuk syarat ini ia
harus seorang yang telah baligh, berakal, tidak berada

6
Darmiko Suhendra,Vol. 1 No. 1, Op.cit,h..222.

5
dibawah pengawasan , dan sudah cerdas bertindak atas
harta.7

2.Rukun khuluk

Rukun khuluk menurut jumhur ulama selain Mazhab Hanafi adalah


sebagai berikut :

 Adanya ijab (pernyataan) dari pihak suami atau wakilnya, atau


walinya jika suami masih kecil atau orang bodoh.
 Status mereka masih suami istri (belum pisah).
 Adanya ganti rugi dari pihak istri atau orang lain. Ganti rugi ini tidak
harus dinyatakan secara jelas apabila lafal yang digunakan adalah
lafal khuluk, karena risiko khuluk itu adalah adanya ganti rugi dari
pihak istri. Tetapi, jika yang digunakan adalah lafal selain khuluk,
maka ganti rugi harus
 Adanya lafal yang menunjukkan pengertian khuluk.
 Istri menerima khuluk tersebut sesuai dengan ijab yang
dikemukakan suami.8

Selanjutnya mengenai uang tebusan, mayoritas ulama menempatkan


iwadh sebagai rukun yang tidak boleh dtinggalkan untuk sahnya khuluk.
Mengenai sighat atau ucapan cerai , dalam hal ini tanpa menyebutkan nilai
ganti , maka ia menjadi talak biasa.9 Oleh karena itu menurut penulis, bahwa
para penulis Ensiklopedia Sains Islami menerapkan pasal 148 KHI dan
sekaligus mengesampingkan pendapat Mahkamah Agung dalam buku
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Agama Buku II 2013
halaman 151 yang menurutnya tidak bernyawa lagi atau para penulis
Ensiklopedia Sains Islami belum pernah membaca pendapat Mahkamah
Agung tersebut.

7
Yurisprudensi Ensiklopedia Sains Islami, jilid 8, Kamil Pustaka,Pebruari 2018,
h.30..
8
Ensiklopedi Hukum Islam, Jiiid 3, PT ICHTIAR BARU VAN HOEVE, Jakarta,
Cet.ke7, 2006, hal. 933.
9
Wahbah Azzuhaili, Alfiqhul Islami Wa Adillatuhu, Juz 7, Darl fikr, Damaskus,
2008, h.31.

6
Yang sangat urgen adalah rukun yang terakhir adalah I‟wadl
(Tebusan), yaitu tebusan yang harus diberikan istri kepada suami. Maka
khulu‟ menjadi tidak sah tanpa adanya tebusan. Namun ulama telah berbeda
pendapat dalam masalah ini; apakah khulu‟ tetap sah walaupun tanpa
adanya tebusan?. Menurut Syafi‟iyyah dan Hanabilah khulu‟ menjadi tidak
sah tanpa adanya tebusan. Sedangkan menurut Hanafiyyah walaupun tanpa
tebusan khulu‟ tetap sah. Adapun ulama Malikiyyah mengatakan khulu‟
tetap sah baik itu dengan tebusan atau tanpa tebusan.(Drs. H. Sudono, M.H.)

C. Akibat Hukum Khulu’

Selanjutnya ternyata belum berhenti pada putusan khulu‟ belaka


akan tetapi ada masalah lain yang mengikutinya yaitu :

1. Khulu‟ di Masa Haid.

Khulu‟ tidak terikat dengan waktu tertentu, untuk itu boleh


dilakukan diwaktu suci atau haid, hal ini berbeda dengan talak yang
diharamkan untuk dilakukan di saat haidh. Yang demikian itu dimaksudkan
agar suami tidak mengulur-ulur waktu „iddah, sedangkan khulu‟ adalah
permintaan istri untuk menghilangkan “bahaya” yang dialaminya. Begitu
juga karena Rasululllah SAW. tidak menanyakan keadaan Mukhtali‟ah (Istri
Tsabit bin Qais tatakala ia meminta khulu‟ dari suaminya) apakah ia saat itu
dalam keadaan suci atau haid. Dan tidak adanya dalil yang mengatakan
tidak boleh meminta khulu‟ ketika haid. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa
khulu‟ dapat dilakukan kapan saja meskipun sang istri sedang haid.

2. Khulu' Dilakukan Orang Yang Tengah Sakit

Sah khulu' yang dilakukan oleh orang yang sedang sakit parah.10
Karena jika dia menjatuhkan talak yang tidak memiliki 'iwadh, maka sah

10
Wahbah Azzuhaili, Alfiqhul Islami Wa Adillatuhu, Juz 7, Darl fikr, Damaskus,
2008, hal. 469.

7
talaknya, apalagi talak yang memiliki 'iwadh. Juga karena ahli warisnya
tidak akan mendapatkan kerugi-an apa-apa dengan tindakan khulu'nya.11

Mazhab Maliki mengungkapkan mengenai hal ini dengan pendapat


mereka, terlaksana khulu' yang dilakukan oleh orang yang tengah terkena
penyakit yang mengkhawatirkan. Sebagai isyarat bahwa secara prinsipil
mereka tidak mengharamkan talak pada masa ini yang menyebabkan
keluarnya ahli waris.

Menurut pendapat yang masyhur, istri yang dia khulu' pada masa dia
sakit mendapatkan warisan dari suami jika suami meninggal dunia pada
masa khulu' ini akibat penyakit yang mengkhawatirkan. Meskipun masa
iddahnya telah selesai, dan dia kawin lagi dengan orang lain. Sedangkan
istri tidak mewarisi suaminya jika istri meninggal dunia sebelum suami
pada masa suami sakit, meskipun istri tengah sakit pada saat terjadi khulu';
karena suamilah yang membuat hilang apa yang seharusnya berhak untuk
dia dapatkan.

Demikian juga Setiap pasangan suami istri atau salah satu dari
keduanya berhak untuk mewakilkan orang lain dalam khuluk.12

3. Masa „Iddah Bagi Khulu‟.

Sebagaimana talak, bagi wanita yang khulu‟ juga diharuskan untuk


„Iddah. Dengan maksud istibra‟ (meyakinkan bahwa dalam rahimnya tidak
ada janin/kandungan). Namun berapakah tempo I‟ddah yang harus ditempuh
wanita dalam khulu‟?, ulama telah berbeda pendapat dalam hal ini. Salah
satunya adalah pendapat Jumhur ulama (Hanafiyyah, Malikiyyah,
Syafi‟iyyah dan Hanabilah) yang mengatakan bahwa „iddah seorang wanita
yang meminta khulu‟ adalah sama dengan „iddah wanita yang ditalak, yaitu
tiga quru‟ (tiga kali haid). Landasannya adalah firman Allah Swt. dalam QS.
Al-Baqarah ayat 228: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'”. Dan juga karena khulu‟ adalah perpisahan

12
Wahbah Azzuhaili, Juz 7, Op.cit,hal. 469.

8
antara suami istri setelah adanya perkawinan (dukhul), maka „iddah-nya tiga
quru‟ sebagaimana perpisahan selain khulu‟.

Selain pendapat jumhur, terdapat juga pendapat kedua yang


diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ustman bin Affan, Ibnu Umar dan
Ibnu Abbas bahwa „iddah bagi wanita khulu‟ adalah cukup dengan satu kali
haidh. Dalilnya yaitu; sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Nasa‟i
dan Ibnu Majah bahwa Rasulullah Saw. telah menjadikan „iddah istri Tsabit
bin Qais satu haidh saja. .(Drs. H. Sudono, M.H.)

4. Apakah Khulu‟ Talak atau Fasakh

Ulama telah berbeda pendapat. Menurut Hanafiyyah, Malikiyyah,


Syafii‟yyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad mengatakan bahwa
khulu‟ adalah thalaq bain. Sedangkan menurut riwayat lain dari Imam
Ahmad bahwa khulu‟ adalah faskh.

Konsekuensi dari perbedaan pendapat di atas dapat terlihat ketika


seorang suami telah menthalaq istrinya dua kali, kemudian mengkhulu‟nya,
maka; Bagi yang mengangap khulu‟ itu thalaq, berarti telah jatuh thalaq
tiga, yang berarti suami tidak lagi halal untuk merujuk kembali istrinya,
kecuali wanita tersebut telah menikah dengan laki-laki lain kemudian
diceraikan.

Sedangkan bagi yang menganggap khulu‟ itu faskh, maka suami


tersebut berhak untuk merujuk istrinya, meskipun wanita tersebut belum
menikah lagi dengan laki-laki lain, apabila sudah habis masa „iddah-nya.
.(Drs. H. Sudono, M.H.)

5. Rujuk Setelah Khulu‟.

Tidak ada rujuk bagi seorang suami dari seorang istri yang telah
pisah dengan sebab khulu‟. Baik itu bagi yang menganggap khulu‟ itu
thalaq ba-in maupun faskh. Jika dia menginginkan kembali kepada isterinya
maka harus dengan akad pernikahan dan mahar yang baru.

Akibat hukum perceraian dengan khulu‟:

9
Istri tidak bisa dirujuk, berakhir dengan talak ba‟in, kalau ingin rujuk
harus menikah baru lagi, berlaku pasal 161 Kompasi Hukum Islam.

Tentang akibat hukum terhadap anak atau anak-anaknya sama


dengan akibat hukum yang telah diatur dalam pasal 149 huruf D Kompilasi
Hukum Islam (memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang
belum mencapai umur 21 tahun). .(Drs. H. Sudono, M.H.)

10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Khulu‟ adalah perceraian dengan disertai sejumlah harta sebagai
iwadh yang diberikan oleh isteri kepada suami untuk menebus diri agar
terlepas dari ikatan perkawinan.
Syarat khulu‟ bagi suami : . Syaratnya adalah akil, baligh,
dan bertindak atas kehendaknya sendiri dengan kesengajaan. Syarat khulu‟
bagi istri : Untuk syarat ini ia harus seorang yang telah baligh, berakal, tidak
berada dibawah pengawasan , dan sudah cerdas bertindak atas harta. Rukun
khuluk menurut jumhur ulama selain Mazhab Hanafi adalah : Adanya ijab
(pernyataan) dari pihak suami atau wakilnya, atau walinya jika suami masih
kecil atau orang bodoh. Status mereka masih suami istri (belum pisah).
Adanya ganti rugi dari pihak istri atau orang lain. Ganti rugi ini tidak harus
dinyatakan secara jelas apabila lafal yang digunakan adalah lafal khuluk,
karena risiko khuluk itu adalah adanya ganti rugi dari pihak istri. Tetapi,
jika yang digunakan adalah lafal selain khuluk, maka ganti rugi harus
Adanya lafal yang menunjukkan pengertian khuluk. Istri menerima khuluk
tersebut sesuai dengan ijab yang dikemukakan suami.

Akibat hukum perceraian dengan khulu‟: Istri tidak bisa dirujuk,


berakhir dengan talak ba‟in, kalau ingin rujuk harus menikah baru lagi,
berlaku pasal 161 Kompasi Hukum Islam.Tentang akibat hukum terhadap
anak atau anak-anaknya sama dengan akibat hukum yang telah diatur dalam
pasal 1 49 huruf D Kompilasi Hukum Islam (memberikan biaya hadhanah
untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun)

B. Saran
Demikian makalah yang disusun oleh kelompok 4 untuk
memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Munakahat B. Kami menyadari bahwa
makalah ini jauh dari kata sempurna, kedepannya penyusun akan lebih
fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah diatas dengan sumber-
sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat dipertanggungjawabkan,

11
maka dari itu kritik dan saran penulis kami harapkan untuk perbaikan
makalah penulis selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua.

12
DAFTAR PUSTAKA

Azzuhaili, Wahbah, Alfiqhul Islami Wa Adillatuhu, Juz 7, Darl fikr,


Damaskus, 2008.

Ensiklopedi Hukum Islam, Jiiid 3, PT ICHTIAR BARU VAN


HOEVE, Jakarta, Cet.ke7, 2006.

Suhendra, Darmiko, Khulu’ dalam Persfektif Hukum Islam, Vol. 1 No. 1,


ASY-SYAR‟IYYAH, Juni 2016.

Via Aplikasi Al-Qur'an Indonesia https://quran-id.com.

Yurisprudensi Ensiklopedia Sains Islami, jilid 8, Kamil


Pustaka,Pebruari 2018.

Azzuhaili, Wahbah, Alfiqhul Islami Wa Adillatuhu, Juz 7, Darl fikr,


Damaskus, 2008.

13

Anda mungkin juga menyukai