Anda di halaman 1dari 105

MAKALAH

KONSEP PERENCANAAN PEMEBELAJARAN PAI


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
”Fiqih II”
Dosen Pengampu :
H Mansyur

Disusun oleh :

Nama : Ari Nurhasanah


Kelas : PAI 2 A
NIM/NIRM : 19110021

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM CIPASUNG
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT,


shalawat dan salam juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar
Muhammad SAW. Serta sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan
seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan kebaikan beliau
telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu
pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Hadits dengan ini
penulis mengangkat judul “Konsep perencanaan pembelajaran PAI”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran
yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................... i


DAFTAR ISI .......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang ............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan .......................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Pernikahan ................................................................... 3
B. Tujuan Pernikahan ......................................................................... 5
C. Hukum Pernikahan ........................................................................ 7
D. Rukun Nikah .................................................................................. 8
E. Syarat Nikah .................................................................................. 9
F. Masalah Mahram dalam pernikahan .............................................. 10
G. Khitbah .......................................................................................... 13
H. Mahar Dalam Pernikahan .............................................................. 29
I. Hak Dan Kewajiban Suami Istri Serta Mendidik Anak ................. 33
J. Masalah Poligami .......................................................................... 45
K. Nafkah dan Kedudukan harta dalam Pernikahan ........................... 50
L. Masalah Thalaq, idah dan Ruju ..................................................... 78
M.Sebab , syarat dan halangan Pewarisan .......................................... 89
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 100
B. Saran .............................................................................................. 100
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Manusia merupakan makhluk yang memiliki naluri ataupun
keinginan didalam dirinya. Pernikahan merupakan salah satu naluri serta
kewajiban dari seorang manusia. Sesungguhnya Islam telah memberikan
tuntunan kepada pemeluknya yang akan memasuki jenjang pernikahan,
lengkap dengan tata cara atau aturan-aturan Allah Swt. Sehingga mereka
yang tergolong ahli ibadah, tidak akan memilih tata cara yang lain. Namun
di masyarakat kita, hal ini tidak banyak diketahui orang. Menikah
merupakan perintah dari Allah Swt. Seperti dalil berikut ini:
ِ ‫واللَّه جعل لَ ُكم ِمن أَْن ُف ِس ُكم أ َْزواجا وجعل لَ ُكم ِمن أ َْزو ِاج ُكم بنِني وح َف َدةً ورزقَ ُكم ِمن الطَّيِّب‬
ۚ ‫ات‬َ َ ْ َََ َ َ َ َ ْ َ ْ ْ َ ََ َ ً َ ْ ْ ْ َ ََ ُ َ
‫ت اللَّ ِه ُه ْم يَ ْك ُفُرو َن‬
$ِ ‫ل يُ ْؤ ِمنُو َن َوبِنِ ْع َم‬$ِ ‫اط‬
ِ ‫أَفَبِالْب‬
َ
“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau isteri) dari
jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari
pasanganmu, serta memberimu rizki dari yang baik. Mengapa mereka
beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?”(An-Nahl;72)
Adapun secara Islam pernikahan itu sendiri mempunyai tatacara,
syarat, tujuan, hukum, serta hikmahnya tersendiri. Berdasarkan dalil
dibawah ini merupakan salah satu tujuan dari pernikahan:
ِ ‫ت يِف النِّ َك‬
‫اح‬ ُ ‫الص ْو‬ ُّ ‫ص ُل َما َبنْي َ احْلَالَِل َواحْلََر ِام الد‬
َّ ‫ُّف َو‬ ْ َ‫ف‬
“Pemisah antara yang halal dan yang haram adalah kendang dan
bunyi-bunyian dalam (resepsi) pernikahan.” (Dihasankan oleh Al Albani)
Berdasarkan dalil-dalil diatas jelas sekali Allah Swt. Telah mengatur
sedemikian rupa permasalahan mengenai pernikahan. Adapun
pernyempurnaan dari wahyu yang diturunkan oleh Allah swt. Telah

1
disempurnakan oleh ahli tafsir dengan mengeluarkan dalil yang dapat
memperjelas mengenai pernikahan tanpa mengubah ketentuan yang telah
ditetapkan oleh Allah Swt.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Pernikahan ?
2. Apa tujuan Pernikahan?
3. Apa Hukum Pernikahan?
4. Apa rukun Pernikahan?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui apa itu pernikahan
2. Untuk Mengetahui apa tujuan pernikahan
3. Untuk Mengetahui hukum pernikahan
4. Untuk Mengetahui rukun Pernikahan

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pernikahan
Pernikaan adalah salah satu ibadah yang paling utama dalam
pergaulan masyarakatagama islam dan masyarakat. Pernikahan bukan saja
merupakan satu jalan untuk membangun rumah tangga dan melanjutkan
keturunan. Pernikahan juga dipandang sebagai jalan untuk meningkatkan
ukhuwah islamiyah dan memperluas serta memperkuat tali silaturahmi
diantara manusia.
1.Pengertian menurut etimologi
Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist, pernikahan disebut
denganberasal dari kata an-nikh dan azziwaj yang memiliki arti melalui,
menginjak, berjalan di atas, menaiki, dan bersenggema atau bersetubuh.
Di sisi lain nikah juga berasal dari istilah Adh-dhammu, yang memiliki arti
merangkum, menyatukan dan mengumpulkan serta sikap yang ramah.
adapun pernikahan yang berasalh dari kata aljam’u yang berarti
menghimpun atau mengumpulkan. Pernikahan dalam istilah ilmu fiqih
berasal dari bahasa arab. Nikah dalam bahasa arab mempunyai dua arti
yaitu baik arti secara hakiki yakni menindih atau berhimpit serta arti dalam
kiasan yakni perjanjian atau bersetubuh.
2. Pengertian Menurut Istilah
Adapun makna tentang pernikahan secara istilah masing-masing
ulama fikih memiliki pendapatnya sendiri antara lain :
1. Ulama Hanafiyah mengartikan pernikahan sebagai suatu akad yang
membuat pernikahan menjadikan seorang laki-laki dapat memiliki
dan menggunakan perempuan termasuk seluruh anggota badannya
untuk mendapatkan sebuah kepuasan atau kenikmatan.

3
2. Ulama Syafi’iyah menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad
dengan yang memiliki arti pernikahan menyebabkan pasangan
mendapatkan kesenanagn.
3. Ulama Malikiyah menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad
atau perjanjian yang dilakukan untuk mendapatkan kepuasan tanpa
adanya harga yang dibayar.
4. Ulama Hanabilah menyebutkan bahwa pernikahan adalah akad
dengan yang artinya pernikahan membuat laki-laki dan perempuan
dapat memiliki kepuasan satu sama lain.
Saleh Al Utsaimin, berpendapat bahwa nikah adalah pertalian
hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan maksud agar masing-
masing dapat menikmati yang lain dan untuk membentuk keluaga yang
saleh dan membangun masyarakat yang bersih
Muhammad Abu Zahrah di dalam kitabnya al-ahwal al-syakhsiyyah,
menjelaskan bahwa nikah adalah akad yang berakibat pasangan laki-laki
dan wanita menjadi halal dalam melakukan bersenggema serta adanya hak
dan kewajiban diantara keduanya.
Dasar Hukum Pernikahan
Sebagaimana ibadah lainnya, pernikahan memiliki dasar hukum
yang menjadikannya disarankan untuk dilakukan oleh umat islam. Adapun
dasar hukum pernikahan berdasarkan Al Qur’an dan Hadits adalah sebagai
berikut :
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-
laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang
dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain,

4
dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu. (Q.S. An-Nisaa’ : 1).
”Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu,dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang
lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin
Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha
Luas (pemberian- Nya) lagi Maha mengetahui” .(Q.S. An-Nuur : 32)
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan- Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-
tanda bagi kaum yang berfikir”. (Q.S. Ar-Ruum : 21).
”Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah memiliki
kemampuan untuk menikah, hendaklah dia menikah; karena menikah lebih
menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Adapun bagi siapa
saja yang belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa; karena berpuasa
itu merupakan peredam (syahwat)nya”.

B. Tujuan Pernikahan
Dalam pernikahan mempunyai banyak tujuan diantaranya sebagai
berikut:

1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan


Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah untuk melanjutkan
generasi yang akan datang, seperti tercantum pada surat An-Nisa ayat
1:

5
‫ث ِم ۡنهُ َم``ا‬
َّ َ‫ق ِم ۡنهَ``ا َز ۡو َجهَ``ا َوب‬ َ َ‫س ٰ َو ِح َد ٖة َو َخل‬ ۡ
ٖ ‫وا َربَّ ُك ُم ٱلَّ ِذي َخلَقَ ُكم ِّمن نَّف‬ ْ ُ‫ٰيَٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّق‬
َ `‫ون ِب ِهۦ َوٱأۡل َ ۡر َح` ا ۚ َم إِ َّن ٱهَّلل َ َك‬
‫`ان َعلَ ۡي ُكمۡ َرقِيبٗ ا‬ ْ ُ‫يرا َونِ َسٓاءٗۚ َوٱتَّق‬
َ ُ‫وا ٱهَّلل َ ٱلَّ ِذي تَ َسٓا َءل‬ ٗ ِ‫ِر َجااٗل َكث‬
١
Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu
yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya)*
Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya
kamu saling meminta satu sama lain)*, dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi
kamu”.
2. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup
dan rasa kasih sayang. Seperti tercantum dalam Surat Ar-Rum ayat
21:
ً‫`ل بَ ۡينَ ُكم َّم َو َّد ٗة َو َر ۡح َم` ۚة‬
َ `‫ق لَ ُكم ِّم ۡن أَنفُ ِس ُكمۡ أَ ۡز ٰ َو ٗجا لِّتَ ۡس ُكنُ ٓو ْا إِلَ ۡيهَا َو َج َع‬ َ َ‫َو ِم ۡن َءا ٰيَتِ ِهۦٓ أَ ۡن َخل‬
٢١ ‫ُون‬ َ ‫ت لِّقَ ۡو ٖم يَتَفَ َّكر‬ َ ِ‫إِ َّن فِي ٰ َذل‬
ٖ َ‫ك أَل ٓ ٰي‬
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”
3. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan
menumpahkan kasih sayangnya
4. Memenuhi panggilan agama,memelihara diri dari kejahatan dan
kerusakan.

6
5. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak
dan kewajiban, juga bersungguh-sungguh mencari harta kekayaan
yang halal
6. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang
tenteram atas dasar cinta dan kasih saying
7. Memperoleh kebahagiaan dan ketentraman. Dalam kehidupan
berkeluarga perlu adanya ketentraman, kebahagiaan, dan ketenagan
lahir batin
8. Mengikuti sunah Rosul.
9. Menjalankan Perintah Alloh SWT karena Alloh menyuruh kepada
kita untuk menikah apabila telah mampu.
10. Untuk berdakwah
Sedangkan menurut referensi yang lain tujuan perkawinan ada 3 antara
lain yaitu:
1. Suami istri saling bantu-membantu serta saling lengkap -melengkapi.
2. Masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dan untuk
pengembangan kepribadian itu suami-istri harus saling bantu.
3. Tujuan akhir yang ingin dikejar oleh keluarga bahagia yang sejahtera
spiritual dan material
C. Hukum Pernikahan
Dalam agama islam pernikahan memiliki hukum yang disesuaikan
dengan kondisi atau situasi orang yang akan menikah. Berikut hukum
pernikahan menurut islam

1. Wajib, jika orang tersebut memiliki kemampuan untuk meinkah dan


jika tidak menikah ia bisa tergelincir perbuatan zina (baca zina
dalam islam)

7
2. Sunnah, berlaku bagi seseorang yang memiliki kemampuan untuk
menikah namun jika tidak menikah ia tidak akan tergelincir
perbuatan zina
3. Makruh, jika ia memiliki kemampuan untuk menikah dan mampu
menahan diri dari zina tapi ia tidak memiliki keinginan yang kuat
untuk menikah. Ditakutkan akan menimbulkan mudarat salah
satunya akan menelantarkan istri dan anaknya
4. Mubah, jika seseorang hanya menikah meskipun ia memiliki
kemampuan untuk menikah dan mampu menghindarkan diri dari
zina, ia hanya menikah untuk kesenangan semata
5. Haram, jika seseorang tidak memiliki kemampuan untuk menikah
dan dikhawatirkan jika menikah ia akan menelantarkan istrinya atau
tidak dapat memenuhi kewajiban suami terhadap istri dan sebaliknya
istri tidak dapat memenuhi kewajiban istri terhadap suaminya.
Pernikahan juga haram hukumnya apabila menikahi mahram atau
pernikahan sedarah.
D. Rukun Nikah
Rukun pernikahan adalah sesuatu yang harus ada dalam pelaksanaan
pernikahan, mencakup :
1. Calon mempelai laki-laki dan perempuan
2. Wali dari pihak mempelai perempuan
3. Dua orang saks
4. Ijab kabul yang sighat nikah yang di ucapkan oleh wali pihak
perempuan dan dijawab oleh calon mempelai laki-laki.

8
E. Syarat Nikah
Adapun syarat dari masing-masing rukun tersebut adalah
1. Calon suami dengan syarat-syarat berikut ini
 Beragama Islam
 Berjenis kelamin Laki-laki
 Ada orangnya atau jelas identitasnya
 Setuju untuk menikah
 Tidak memiliki halangan untuk menikah
2. Calon istri dengan syarat-syarat
 Beragama Islam ( ada yang menyebutkan mempelai wanita boleh
beraga nasrani maupun yahudi)
 Berjenis kelamin Perempuan
 Ada orangnya atau jelas identitasnya
 Setuju untuk menikah
 Tidak terhalang untuk menikah
3. Wali nikah dengan syarat-syarat wali nikah sebagai berikut (baca juga
urutan wali nikah).
 Laki-lak
 Dewasa
 Mempunyai hak perwalian atas mempelai wanita
 Adil
 Beragama Islam
 Berakal Sehat
 Tidak sedang berihram haji atau umrah

9
4. Saksi nikah dalam perkawinan harus memenuhi beberapa syarat berikut
ini ;
 Minimal terdiri dari dua orang laki-laki
 mengerti maksud akad nikah
 beragama islam
 Adil
 dewasa
5. Ijab qobul dengan syarat-syarat, harus memenuhi syarat berikut ini :
 Dilakukan dengan bahasa yang mudah dimengerti kedua belah pihak
baik oleh pelaku akad dan penerima aqad dan saksi. Ucapan akad
nikah juga haruslah jelas dan dapat didengar oleh para saksi.

F. Masalah Mahram dalam pernikahan


Mahram adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selamanya
karena sebab keturunan, persusuan dan pernikahan dalam syariat Islam.[1]
Muslim di Asia Tenggara sering salah dalam menggunakan istilah mahram
ini dengan kata muhrim, sebenarnya kata muhrim memiliki arti yang lain.
Dalam bahasa arab, kata muhrim (muhrimun) artinya orang yang berihram
dalam ibadah haji sebelum bertahallul. Sedangkan kata mahram
(mahramun) artinya orang-orang yang merupakan lawan jenis kita, tetapi
haram (tidak boleh) kita nikahi sementara atau selamanya.Hadir dalam
proses ijab qabul
Mahram terbagi menjadi dua macam yaitu:
1. Mahram muabbad adalah golongan mahram yang tidak boleh dinikahi
selamanya; dan
2. Mahram muaqqot adalah golongan mahram yang tidak boleh dinikahi
pada kondisi tertentu saja dan jika kondisi ini hilang maka menjadi halal.

10
Mahram muabbad
Mahram karena keturunan
1. Ibu, nenek dan seterusnya ke atas, baik jalur laki-laki maupun wanita
2. Anak perempuan (putri), cucu perempuan, dan seterusnya, ke bawah
baik dari jalur laki-laki-laki maupun perempuan
3. Saudara perempuan (kakak atau adik), seayah atau seibu
4. Saudara perempuan bapak (bibi), saudara perempuan kakek (bibi
orang tua) dan seterusnya ke atas baik sekandung
5. Saudara perempuan ibu (bibi), saudara perempuan nenek (bibi orang
tua) dan seterusnya ke atas baik sekandung
6. Putri saudara perempuan (keponakan) sekandung, seayah atau seibu,
cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah, baik dari jalur laki-
laki maupun wanita
7. Putri saudara laki-laki (keponakan) sekandung, seayah atau seibu,
cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki
maupun wanita
Mahram karena pernikahan
1. Istri bapak (ibu tiri), istri kakek dan seterusnya ke atas
2. Istri anak (menantu), istri cucu dan seterusnya ke bawah
3. Ibu mertua, ibunya (nenek) dan seterusnya ke atas
4. Anak perempuan istri dari suami lain (anak tiri)
5. Cucu perempuan istri baik dari keturunan rabibah maupun dari
keturunan rabib (anak lelaki istri dari suami lain)
Mahram karena sepersusuan Sunting
1. Wanita yang menyusui dan ibunya
2. Anak perempuan dari wanita yang menyusui (saudara persusuan)
3. Saudara perempuan dari wanita yang menyusui (bibi persusuan)

11
4. Anak perempuan dari anak perempuan dari wanita yang
menysusui (anak dari saudara persusuan)
5. Ibu dari suami dari wanita yang menyusui
6. Saudara perempuan dari suami dari wanita yang menyusui
7. Anak perempuan dari anak laki-laki dari wanita yang menyusui
(anak dari saudara persusuan)
8. Anak perempuan dari suami dari wanita yang menyusui
9. Istri lain dari suami dari wanita yang menyesui
Mahram muaqqot
1. Kakak atau adik ipar (saudara perempuan dari istri)
2. Bibi (ayah atau ibu mertua) dari istri
3. Istri yang telah bersuami dan istri orang kafir jika ia masuk Islam
4. Wanita yang telah ditalak tiga, maka ia tidak boleh dinikahi oleh
suaminya yang dulu sampai ia menjadi istri dari laki-laki lain
5. Wanita musyrik sampai ia masuk Islam
6. Wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki ahli kitab
atau laki-laki kafir
7. Wanita pezina sampai ia bertaubat dan melakukan istibro’
(pembuktian kosongnya rahim)
8. Wanita yang sedang ihrom sampai ia tahallul
9. Wanita dijadikan istri kelima sedangkan masih memiliki istri yang
keempat

G. Khitbah
Khitbah adalah permintaan seorang laki-laki untuk menguasai
seorang wanita tertentu dari keluarganya dan bersekutu dalam
kebersamaan hidup. Atau pula dapat diartikan, seorang laki-laki

12
menampakkan kecintaanya untuk menikahi seorang wanita yang halal
dinikahi secara syara’. Adapun pelaksanaanya beragam; adakalanya
peminang itu sendiri yang meminta langsung kepada yang bersangkutan,
atau melalui keluarga, dan atau melalui utusan seseorang yang dapat
dipercaya untuk meminta orang yang dikehendaki.
Peminangan di Indonesia, diatur dalam KHI bab 1 (ketentuan umum) pasal
1a, dan bab III tentang peminangan pasal 11-13. Definisi peminangan
dijelaskan dalam bab 1 pasal 1a yaitu kegiatan upaya kearah terjadinya
hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita.
Penjelasan bab tiga pasal 11-13 yaitu :
· Pasal 11 menjelaskan peminagan dapat dilakukan oleh orang yang
mencari pasangan, atau lewat orang perantara yang dipercaya.
· Pasal 12, ayat (1) menjelaskan bahwa peminangan dapat dilakukan
terhadap seorang wanita perawan atau janda yang habis masa iddahnya.
ayat (2-3) menjelaskan haram meminang wanita yang ditalak dalam masa
iddah raj’iah, dan meminang wanita yang sdang dipinang pria lain. Ayat
(4) menjelaskan tentang putusnya peminangan dari pihak laki-laki.
· Pasal 13 ayat (1-2) menjelaskan peminangan belum menimbulkan akibat
hukum, jadi masih bebas memutuskan pinangan tetapi harus sesuai dengan
agama dan adat setempat.
A. Hukum khitbah
Hukum meminang adalah boleh (mubah). Adapun dalil yang
memperbolehkannaya adalah :
‫ ُك ْم َعلِ َم اللَّهُ أَنَّ ُك ْم‬$ $ $ $‫ ِاء أ َْو أَ ْكَنْنتُ ْم يِف أَْن ُف ِس‬$ $ $ $‫ة النِّ َس‬$ِ $ $ $ $َ‫ه ِم ْن ِخطْب‬$ِ $ $ $ $ِ‫تُ ْم ب‬$ $ $ $‫ض‬ $َ ِ‫اح َعلَْي ُك ْم ف‬$
ْ ‫ا َعَّر‬$$ $ $‫يم‬ َ $ $ $ $َ‫َواَل ُجن‬
‫اح َحىَّت‬$ِ ‫ك‬$َ ِّ‫دةَ الن‬$َ ‫ق‬$ْ ُ‫وا ع‬$$‫ا َوال َت ْع ِز ُم‬$$ً‫وال َم ْعُروف‬$ْ $‫وا َق‬$$ُ‫ًّرا إِال أَ ْن َت ُقول‬$ ‫وه َّن ِس‬ ِ ِ
ُ ‫د‬$ُ $‫تَ ْذ ُكُرو َن ُه َّن َولَك ْن ال ُت َواع‬$ ‫َس‬
ِ ‫َن اللَّه َغ ُف‬ ِ ِ
‫يم‬
ٌ ‫ور َحل‬ ٌ َ َّ ‫اح َذ ُروهُ َو ْاعلَ ُموا أ‬ ْ َ‫َن اللَّهَ َي ْعلَ ُم َما يِف أَْن ُفس ُك ْم ف‬ َّ ‫َجلَهُ َو ْاعلَ ُموا أ‬َ ‫اب أ‬ ُ َ‫َيْبلُ َغ الْكت‬

13
Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu
dengan sindiran,atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini
mereka)dalam hatimu Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-
nyebut mereka, oleh karena itu janganlah kamu mengadakan janji
nikah dengan mereka dengan secara rahasia, kecuali sekedar
mengucapkan kepada mereka perkataan yang ma’ruf. Dan janganlah
kamu ber’azam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis
iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada
dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”. . (Al-Baqoroh ayat 235).
B. Karakteristik Khitbah
Di antara hal yang disepakati mayoritas ulam fiqh, syariat, dan
perundang-undangan bahwa tujuan pokok khitbah adalah berjanji akan
menikah, belum ada akad nikah. Karakteristik khitbah hanya semata
berjanji akan menikah. Masing-masing calon pasangan hendaknya
mengembalikan perjanjian ini didasarkan pada pilihannya sendiri
karena mereka menggunakan haknya sendiri secara murni, tidak ada
hak intervensi orang lain.
Bahkan andaikata mereka telah sepakat, kadar mahar dan bahkan
mahar itu telah diserahkan sekaligus, atau wanita terpinang telah
menerima berbagai hadiah dari peminang atau telah menerima hadiah
yang berharga. Semua itu tidak menggeser status janji semata (khitbah)
dan dilakukan karena tuntutan maslahat. Maslahat akan terjadi dalam
akad nikah manakala kedua belah pihak diberikan kebebasan yang
sempurna untuk menentukan pilihannya, karena akad nikah adalah
akad yang menentukan kehidupan mereka. Di antara maslahat, yaitu

14
jika dalam akad nikah didasarkan pada kelapangan dan kerelaan hati
kedua belah pihak, tidak ada tekanan dan paksaan dari manapun.
C. Perempuan Yang Boleh Dipinang
Tidak semua perempuan boleh dikawini laki-laki. Ada perempuan
yang untuk selamanya tidak boleh dikawini, seperti: ibu, saudara
kandung, dan mertua. Ada yang dilarang hanya untuk sementara,
seperti: saudara ipar, perempuan yang sedang dalam ikatan perkawinan
dengan laki-laki lain, dan wanita yang sedang menjalani masa idah.
Oleh karena itu, tidak semua perempuan boleh dipinang seketika.
Perempuan boleh dipinang apabila memenuhi dua syarat :
1. Tidak terdapat halangan-halangan syarak untuk dikawini seketika
oleh laki-laki yang meminang karena tidak ada hubungan
mahram, tidak dalam hubungan perkawinan dengan laki-laki lain
atau tidak sedang menjalani ialah talak raj’i.
2. Tidak sedang dalam peminangan laki-laki lain.
D. Hukum Memandang Wanita Terpinang
Syariat Islam memperbolehkan seorang laki-laki memandang wanita
yang ingin dinikahi, bahkan dianjurkan dan disunahkan karena
pandangan peminang terhadap terpinang merupakan bagian dari sarana
keberlangsungan hidup pernikahan dan ketentraman. Di antara dalil
yang menunjukkan bolehnya memandang wanita karena khitbah
sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi Saw. Kepada Al-Mughirah
bin Syu’bah yang telah meminang seorang wanita untuk dinikahi:
“Apakah Anda telah melihatnya” Ia menjawab: “Belum.” Beliau
bersabda
ِ ِ
ْ ‫أُنْظُْر الَْي َها فَانَّهُ أ‬
‫َحرى يُ ْؤ َد َم َبْينَ ُك َما‬

15
Lihatlah ia,sesungguhnya penglihatan itu lebih utama untuk
mempertemukan antara Anda berdua. (maksudnya menjaga kasih
sayang dan kesesuaian).
Demikian juga hadis dari Jabir, ia berkata: Rosulullah Saw. Bersabda:
‫ت‬
$ُ ‫ال فَ َخطَْب‬$ ِ ‫ ْدعوه إِىَل نِ َك‬$ ‫ا ي‬$$‫ر إِىَل م‬$$ $ُ‫تَطَاع أَ ْن يْنظ‬$ ‫اِ ْن اس‬$$َ‫رأَةَ ف‬$‫م‬$ ْ‫ ُد ُكم ال‬$‫إِذَا خطَب أَح‬
َ $َ‫ل ق‬$ْ $‫ا َف ْلَي ْف َع‬$‫ه‬$َ ‫اح‬ ُ ُْ َ َ َ َ َ ْ َْ ُ َ َ َ
‫اح َها َو َتَز ُّو ِج َها َفَتَز َّو ْجُت َها‬
ِ ‫ فَ ُكْنت أَخَتَبَّأُ هَل ا حىَّت رأَيت ِمْنها ما دعايِن إِىَل نِ َك‬$ً‫جا ِرية‬
ََ َ َ ُ ْ َ َ َ ُ َ َ
Jika meminang salah seorang di antar kamu terhadap seorang
wanita maka jika mampu melihat apa yang menarik untuk dinikahi,
kerjakanlah. Jabir berkata :”Kemudian seorang wanita yang semula
tersembunyi sehingga aku melihat apa yang menarik bagiku untuk
menikahinya, kemudian aq menikahinya.” (HR. Abu Dawud)
Syariat Islam memperbolehkan pandangan terhadap wanita
terpinang, padahal asalnya haram memandang wanita yang lain yang
bukan mahram. Hal ini didasarkan pada kondisi darurat, yakni unsur
keterpaksaan untuk melakukan hal tersebut karena masing calon-calon
pasangan memang harus mengetahui secara jelas permasalahan orang
yang akan menjadi teman hidup dan secara khusus perilakunya. Ia akan
menjadi bagian yang paling penting untuk keberlangsungan
pernikahan, yakni anak-anak dan keturunanya. Demikian juga
diperbolehkan bagi masing-masing laki-laki dan wanita memendang
satu sama lain pada sebagian kondisi selain khitbah, seperti
pengobatan, menerima persaksian, dan menyampaikan persaksian. Hal
tersebut termasuk masalah pengecualian dari hukum asal keharaman
pandangan laki-laki terhadap wanita dan sebaliknya.
E. Anggota Tubuh Terpinang Yang Boleh Dipandang
1. Mayoritas fuqoha’ seperti Imam Malik, Asy-Syafi’I, dan Ahmad
dalam salah satu pendapatnya mengatakan bahwa anggota tubuh

16
wanita terpinang yang boleh dilihat hanyalah wajah dan kedua
telapak tangan. Wajah tempat menghimpun segala kecantikan dan
mengungkap banyak nilai-nilai kejiwaan, kesehatan, dan akhlak.
Sedangkan kedua telapak tangan dijadikan indikator kesuburan
badan, gemuk, dan kurusnya. Adapun dalil mereka adalah firman
Allah Swt. :
Dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali apa
yang biasa terlihat darinya.(QS.An-Nur:31)
2. Ulama Hanbali berpendapat bahwa batas kebolehan memandang
anggota tubuh wanita terpinang sebagaimana memandang wanita
mahram, yaitu apa yang tampak pada wanita umumnya di saat
bekerja di rumah seperti wajah, kedua telapak tangan, leher, kepala,
kedua tumit kaki, dan sesamanya. Tidak boleh memandang anggota
tubuh yang pada umumnya tertutup. Adapun alasan mereka; Nabi
Saw. Tatkala memperbolehkan seorang sahabat memandang wanita
tanpa sepengetahuannya. Diketahui bahwa beliau mengizinkan
memandang segala yang tampak pada umumnya.
3. Ulama Hanafiyah dan Hanabilah yang masyhur madzhabnya
berpendapat, kadar anggota tubuh yang diperbolehkan untuk dilihat
adalah wajah, kedua telapak tangan dan kedua kaki, tidak lebih dari
itu. Memandang anggota tubuh tersebut dinilai cukup bagi orang
yang ingin mengetahui kondisi tubuhnya.Dawud Az-Zahiri
berpendapat bolehnya melihat seluruh anggota tubuh wanita
terpinang yang diinginkan. Berdasarkan keumuman sabda Nabi
Saw. “Lihatlah kepadanya.” Di sini Rosulullah tidak
mengkhususkan suatu bagian bukan bagian tertentu dalam
kebolehan melihat.

17
F. Syarat Sah Khitbah
Pinangan (khitbah) tidak sah kecuali dua syarat, yaitu :
1. Seorang wanita yang baik diakadnikahi;
Wanita yang baik diakadnikahkan pada saat pinangan sehingga
dapat menyempurnakan akad nikah. Sebagaimana penjelasan
sebelumnya bahwa khitbah berfungsi sebagai sarana (wasilah) untuk
mencapai suatu tujuan, yakni nikah.
2. Wanita yang belum terpinang.
G. Meminang Perempuan dalam Masa Iddah
1. Wanita Ber-iddah Talak Raj’i
Para fuqoha’ sepakat keharaman meminang dalam masa tunggu
(iddah) talak raj’i (suami boleh kembali kepada istri karena talaknya
belum mencapai ketiga kalinya) baik menggunakan bahasa yang tegas
(sharih) atau bahasa sindiran (kinayah). Sang istri yang tertalak raj’I
masih berstatus istri dan hak suami atas istri masih eksis selama masih
dalam masa iddah. Suami boleh ruju’ (kembali) tanpa minta kerelaan
daripadanya kapanpun, tidak perlu akad dan mahar baru selama masih
berada dalam masa iddah.
Diharamkan bagi laki-laki lain melakukan khitbah pada wanita
dalam masa iddah karena khitbah dalam kondisi ini berarti melawan
hak suami pencerai, menodai perasaanya, dan merampas haknya
dalam mengembalikan istri tercerai ke pangkuannya karena terkadang
wanita itu mempunyai anak yang masih kecil yang kemudian bias
terlantar karenanya.
2. Wanita Ber-iddah Talak Ba’in
Tidak ada perselisihan di kalangan fuqoha’, bahwa tidak boleh
meminang wanita masa iddah talak ba’in qubro (talak ba’in besar

18
yakni talak tiga kali cerai) dengan kalimat yang jelas. Kecuali dengan
menggunakan kalimat samara atau sindiran, jumhur ulama
memperbolehkan sekalipun ulama Hanafiyah tidak memperbolehkan.
Jumhur ulama itu adalah ulama Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah, dan
Hanabilah dengan dalil nash Al-Qur’an, sunnah, dan rasio.
Di antara Al-Qur’an yang dijadikan dasar adalah firman Allah :
ِ ‫والَ جناح علَي ُكم فِيما عَّرضتم بِِه ِمن ِخطْب ِة النِّس‬
‫آء أ َْو أَ ْكَنْنتُ ْم ىِف أَْن ُف ِس ُك ْم‬ َ َ ْ ْ ُ ْ َ َ ْ ْ ْ َ َ َُ َ
Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu
dengan sindiran atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam hati.
(QS. Al-Baqarah : 235)
Pada ayat diatas, kalimat tidak dosa meminang wanita dengan
kalimat sindiran memberi paham boleh (boleh hukumnya). Kata
“perempuan-perempuan” dalam ayat memberi faedah umum meliputi
semua wanita ber-iddah termasuk ber-iddah talak ba’in.
Dalil rasio (aqli) bolehnya meminang wanita ber-iddah talak ba’in
qubra, bahwa talak ini memutus hubungan pasangan suami istri
karena ia menjadi haram, sementara bagi suami pencerai tidak ada
harapan kembali sebelum dinikahi laki-laki lain.
3. Wanita Ber-iddah Talak Ba’in Shughra
Wanita yang tertalak ba’in sughra dimaksud adalah wanita yang
telah tercerai dua kali. Wanita yang telah tercerai dua kali seperti ini
halal bagi suami rujuk kembali dengan akad nikah dan mahar baru
dan tidak dipersyaratkan seperti talak bain qubra. Mantan suami
pencerai tidak boleh menikahi kembali mantan istrinya sebelum
dinikahi laki-laki lain sampai telah bercampur benar sebagai pasangan
suami istri dan masing-masing telah mencicipi madunya.

19
Dalam hal ini fuqoha’ berbeda pendapat, menurut ulama
Malikiyah dan sebagian Syafi’iyah boleh meminang sindiran terhadap
wanita dalam mas iddah talak ba’in sughra dianalogikan dengan talak
bain qubra. Talak ba’in memutus hubungan suami istri, pinangan
sindiran tidak mengandung makna pinangan secara jelas. Wanita tidak
akan berpegang pada kalimat sindiran itu dan tidak membuat
pengakuan bohong tentang habisnya masa iddah.
Mayoritas fuqoha’ berpendapat keharaman melakukan pinangan
sindiran terhadap wanita tersebut. Dikarenakan dengan bolehnya
pinangan bagi selain suami pencerai, akan menimbulkan terjadinya
permusuhan antara keduanya, sementara suami pencerai berhak
kembali dengan akad dan mahar baru dan lebih utama daripada yang
lain.
4. Wanita Ber-iddah karena Khulu’ atau Fasakh
Wanita ber-iddah khulu’ (talak karena permohonan istri dengan
hadiah) atau karena fasakh nikah (ada sesuatu yang merusak
keabsahan nikah) karena suami miskin atau menghilang, tidak pernah
pulang. Hukum meminang sindiran terhadap kedua wanita tersebut
terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama sebagaimana
meminang sindiran terhadap wanita pada masa iddah dari talak ba’in
sughra.
Fuqoha’ sepakat bahwa masing-masing wanita tersebut tidak
boleh dipinang secara jelas dari selain suami pencerai. Bagi semua
pencerai boleh saja memperjelas atau menyindir pinangan selain
wanita ber-iddah talak ba’in qubra.
5. Wanita Ber-iddah karena Kematian Suami

20
Fuqoha’ sepakat tidak boleh meminang dengan jelas kepada
wanita yang masih dalam masa iddah karena kematian suami. Hikmah
adanya larangan tersebut pada umumnya dikarenakan dapat
mendatangkan berbagai bencena. Fuqoha’ juga sepakat
diperbolehkannya meminang dengan sindiran, hikmah
diperbolehkannya sindiran dalam pinangan disini bahwa hubungan
antara suami dan istri telah selesai disebabkan kematian sehingga
tidak ada jalan menyatukan kembali antarmereka berdua. Oleh karena
itu, tidak ada permusuhan pada hak suami yang meninggal dalam
pinangan sindiran.
H. Pemutusan Pertunangan
Meskipun Islam mengajarkan bahwa memenuhi janji adalah suatu
kewajiban, dalam masalah janji akan kawin ini kadang-kadang terjadi
hal-hal yang dapat menjadi alasan yang sah menurut Islam untuk
memutuskan pertunangan. Misalnya, diketahui adanya cacat fisik atau
mental pada salah satu pihak beberapa waktu setelah pertunangan,
yang disarankan akan mengganggu tercapainya tujuan itu tidak
dipandang melanggar kewajiban termasuk hak khiyar.
Berbeda halnya pemutusan pertunangan tanpa alasan yang sah
menurut ajaran Islam, misalnya karena ingin mendapatkan yang lebih
baik dari segi keduniaan. Ditinjau dari segi nilai moral Islam,
pemutusan pertunangan seperti itu sama sekali tidak dapat dibenarkan.
Masalah yang sering muncul adalah apabila dalam masa
peminangan (biasanya pada waktu peminangan) pihak laki-laki
memberikan hadiah-hadiah pertunangan, atau mungkin mahar (mas
kawin) telah dibayarkan kepada pihak perempuan sebelum akad nikah
dilaksanakan.

21
1. Fuqoha madzhab Hanafi berpendapat bahwa masing-masing pihak
berhak menerima pengembalian hadiah-hadiah pertunangan yang
berasal dari masing-masing , bila hadiah itu masih ada wujudnya
pada saat pertunangan diputuskan. Hadiah-hadiah yang telah tidak
ada wujudnya lagi tidak perlu diganti dengan harganya. Ketentuan
itu berlaku, baik yang memutuskan pertunangan adalah pihak laki-
laki ataupun pihak perempuan. Alasan pendapat ini ialah karena
hadiah-hadiah tersebut berhubungan dengan adanya janji akan
kawin. Maka, apabila janji dimaksud dibatalkan, hadiah-hadiah
harus kembali pada asalnya.
Fuqoha madzhab Syafii berpendapat bahwa pihak peminang
berhak menerima kembali hadiah-hadiah yang diberikan, berupa
barang apabila masih ada wujudnya, atau ganti harganya apabila
sudah tidak ada wujudnya lagi.
Fuqoha madzhab Maliki memperhatikan pihak mana yang
memutuskan. Apabila yang memutuskan adalah pihak perempuan,
hadiah-hadiah yang pernah diterima dari pihak laki-laki harus
dikembalikan, dalam bentuk barang apabila masih ada wujudnya,
atau pengganti harganya apabila sudah rusak, hilang atau musnah.
Apabila yang memutuskan adalah pihak laki-laki, ia tidak berhak
atas pengembalian hadiah yang pernah diberikan kepada pihak
perempuan, meskipun wujud barangnya masih ada pada waktu
memutuskan pertunangan terjadi. Penyimpangan dari ketentuan
tersebut hanya dibenarkan apabila ada syarat lain antara dua pihak,
atau apabila ‘urf (adat kebiasaan) tempat pihak-pihak
bersangkutan menentukan lain.

22
Oritas fuqoha’ seperti Imam Malik, Asy-Syafi’I, dan Ahmad
dalam salah satu pendapatnya mengatakan bahwa anggota tubuh
wanita terpinang yang boleh dilihat hanyalah wajah dan kedua
telapak tangan. Wajah tempat menghimpun segala kecantikan dan
mengungkap banyak nilai-nilai kejiwaan, kesehatan, dan akhlak.
Sedangkan kedua telapak tangan dijadikan indikator kesuburan
badan, gemuk, dan kurusnya. Adapun dalil mereka adalah firman
Allah Swt. :
‫َوالَ يُْب ِديْ َن ِز ْينََت ُه َّن إِالَّ َما ظَ َهَر ِمْن َها‬

Dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali


apa yang biasa terlihat darinya.(QS.An-Nur:31)
2. Ulama Hanbali berpendapat bahwa batas kebolehan memandang
anggota tubuh wanita terpinang sebagaimana memandang wanita
mahram, yaitu apa yang tampak pada wanita umumnya di saat
bekerja di rumah seperti wajah, kedua telapak tangan, leher,
kepala, kedua tumit kaki, dan sesamanya. Tidak boleh
memandang anggota tubuh yang pada umumnya tertutup.
Adapun alasan mereka; Nabi Saw.
Tatkala memperbolehkan seorang sahabat memandang
wanita tanpa sepengetahuannya. Diketahui bahwa beliau
mengizinkan memandang segala yang tampak pada umumnya.
3. Ulama Hanafiyah dan Hanabilah yang masyhur madzhabnya
berpendapat, kadar anggota tubuh yang diperbolehkan untuk
dilihat adalah wajah, kedua telapak tangan dan kedua kaki, tidak
lebih dari itu. Memandang anggota tubuh tersebut dinilai cukup
bagi orang yang ingin mengetahui kondisi tubuhnya.Dawud Az-

23
Zahiri berpendapat bolehnya melihat seluruh anggota tubuh
wanita terpinang yang diinginkan. Berdasarkan keumuman sabda
Nabi Saw. “Lihatlah kepadanya.” Di sini Rosulullah tidak
mengkhususkan suatu bagian bukan bagian tertentu dalam
kebolehan melihat.

I. Syarat Sah Khitbah


Pinangan (khitbah) tidak sah kecuali dua syarat, yaitu :
1. Seorang wanita yang baik diakadnikahi;
Wanita yang baik diakadnikahkan pada saat pinangan sehingga
dapat menyempurnakan akad nikah. Sebagaimana penjelasan
sebelumnya bahwa khitbah berfungsi sebagai sarana (wasilah)
untuk mencapai suatu tujuan, yakni nikah.
2. Wanita yang belum terpinang.

J. Meminang Perempuan dalam Masa Iddah


1. Wanita Ber-iddah Talak Raj’i
Para fuqoha’ sepakat keharaman meminang dalam masa
tunggu (iddah) talak raj’i (suami boleh kembali kepada istri karena
talaknya belum mencapai ketiga kalinya) baik menggunakan
bahasa yang tegas (sharih) atau bahasa sindiran (kinayah). Sang
istri yang tertalak raj’I masih berstatus istri dan hak suami atas
istri masih eksis selama masih dalam masa iddah. Suami boleh
ruju’ (kembali) tanpa minta kerelaan daripadanya kapanpun, tidak
perlu akad dan mahar baru selama masih berada dalam masa
iddah.

24
Diharamkan bagi laki-laki lain melakukan khitbah pada
wanita dalam masa iddah karena khitbah dalam kondisi ini berarti
melawan hak suami pencerai, menodai perasaanya, dan merampas
haknya dalam mengembalikan istri tercerai ke pangkuannya
karena terkadang wanita itu mempunyai anak yang masih kecil
yang kemudian bias terlantar karenanya.
2. Wanita Ber-iddah Talak Ba’in
Tidak ada perselisihan di kalangan fuqoha’, bahwa tidak
boleh meminang wanita masa iddah talak ba’in qubro (talak ba’in
besar yakni talak tiga kali cerai) dengan kalimat yang jelas.
Kecuali dengan menggunakan kalimat samara atau sindiran,
jumhur ulama memperbolehkan sekalipun ulama Hanafiyah tidak
memperbolehkan. Jumhur ulama itu adalah ulama Al-Malikiyah,
Asy-Syafi’iyah, dan Hanabilah dengan dalil nash Al-Qur’an,
sunnah, dan rasio.
Di antara Al-Qur’an yang dijadikan dasar adalah firman Allah
:
ِ ‫والَ جناح علَي ُكم فِيما عَّرضتم بِِه ِمن ِخطْب ِة النِّس‬
‫آء أ َْو أَ ْكَنْنتُ ْم ىِف أَْن ُف ِس ُك ْم‬ َ َ ْ ْ ُ ْ َ َ ْ ْ ْ َ َ َُ َ
Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu
dengan sindiran atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam
hati. (QS. Al-Baqarah : 235)
Pada ayat diatas, kalimat tidak dosa meminang wanita
dengan kalimat sindiran memberi paham boleh (boleh
hukumnya). Kata “perempuan-perempuan” dalam ayat memberi
faedah umum meliputi semua wanita ber-iddah termasuk ber-
iddah talak ba’in.

25
Dalil rasio (aqli) bolehnya meminang wanita ber-iddah talak
ba’in qubra, bahwa talak ini memutus hubungan pasangan suami
istri karena ia menjadi haram, sementara bagi suami pencerai
tidak ada harapan kembali sebelum dinikahi laki-laki lain.
3. Wanita Ber-iddah Talak Ba’in Shughra
Wanita yang tertalak ba’in sughra dimaksud adalah wanita
yang telah tercerai dua kali. Wanita yang telah tercerai dua kali
seperti ini halal bagi suami rujuk kembali dengan akad nikah dan
mahar baru dan tidak dipersyaratkan seperti talak bain qubra.
Mantan suami pencerai tidak boleh menikahi kembali mantan
istrinya sebelum dinikahi laki-laki lain sampai telah bercampur
benar sebagai pasangan suami istri dan masing-masing telah
mencicipi madunya.
Dalam hal ini fuqoha’ berbeda pendapat, menurut ulama
Malikiyah dan sebagian Syafi’iyah boleh meminang sindiran
terhadap wanita dalam mas iddah talak ba’in sughra dianalogikan
dengan talak bain qubra. Talak ba’in memutus hubungan suami
istri, pinangan sindiran tidak mengandung makna pinangan secara
jelas. Wanita tidak akan berpegang pada kalimat sindiran itu dan
tidak membuat pengakuan bohong tentang habisnya masa iddah.
Mayoritas fuqoha’ berpendapat keharaman melakukan
pinangan sindiran terhadap wanita tersebut. Dikarenakan dengan
bolehnya pinangan bagi selain suami pencerai, akan
menimbulkan terjadinya permusuhan antara keduanya, sementara
suami pencerai berhak kembali dengan akad dan mahar baru dan
lebih utama daripada yang lain.
4. Wanita Ber-iddah karena Khulu’ atau Fasakh

26
Wanita ber-iddah khulu’ (talak karena permohonan istri
dengan hadiah) atau karena fasakh nikah (ada sesuatu yang
merusak keabsahan nikah) karena suami miskin atau menghilang,
tidak pernah pulang. Hukum meminang sindiran terhadap kedua
wanita tersebut terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama
sebagaimana meminang sindiran terhadap wanita pada masa
iddah dari talak ba’in sughra.
Fuqoha’ sepakat bahwa masing-masing wanita tersebut tidak
boleh dipinang secara jelas dari selain suami pencerai. Bagi
semua pencerai boleh saja memperjelas atau menyindir pinangan
selain wanita ber-iddah talak ba’in qubra.
5. Wanita Ber-iddah karena Kematian Suami
Fuqoha’ sepakat tidak boleh meminang dengan jelas kepada
wanita yang masih dalam masa iddah karena kematian suami.
Hikmah adanya larangan tersebut pada umumnya dikarenakan
dapat mendatangkan berbagai bencena. Fuqoha’ juga sepakat
diperbolehkannya meminang dengan sindiran, hikmah
diperbolehkannya sindiran dalam pinangan disini bahwa
hubungan antara suami dan istri telah selesai disebabkan
kematian sehingga tidak ada jalan menyatukan kembali
antarmereka berdua. Oleh karena itu, tidak ada permusuhan pada
hak suami yang meninggal dalam pinangan sindiran.
I. Pemutusan Pertunangan
Meskipun Islam mengajarkan bahwa memenuhi janji
adalah suatu kewajiban, dalam masalah janji akan kawin ini
kadang-kadang terjadi hal-hal yang dapat menjadi alasan yang
sah menurut Islam untuk memutuskan pertunangan. Misalnya,

27
diketahui adanya cacat fisik atau mental pada salah satu pihak
beberapa waktu setelah pertunangan, yang disarankan akan
mengganggu tercapainya tujuan itu tidak dipandang melanggar
kewajiban termasuk hak khiyar.
Berbeda halnya pemutusan pertunangan tanpa alasan yang
sah menurut ajaran Islam, misalnya karena ingin mendapatkan
yang lebih baik dari segi keduniaan. Ditinjau dari segi nilai
moral Islam, pemutusan pertunangan seperti itu sama sekali
tidak dapat dibenarkan.
Masalah yang sering muncul adalah apabila dalam masa
peminangan (biasanya pada waktu peminangan) pihak laki-laki
memberikan hadiah-hadiah pertunangan, atau mungkin mahar
(mas kawin) telah dibayarkan kepada pihak perempuan
sebelum akad nikah dilaksanakan.
Fuqoha madzhab Hanafi berpendapat bahwa masing-
masing pihak berhak menerima pengembalian hadiah-hadiah
pertunangan yang berasal dari masing-masing , bila hadiah itu
masih ada wujudnya pada saat pertunangan diputuskan.
Hadiah-hadiah yang telah tidak ada wujudnya lagi tidak perlu
diganti dengan harganya. Ketentuan itu berlaku, baik yang
memutuskan pertunangan adalah pihak laki-laki ataupun pihak
perempuan. Alasan pendapat ini ialah karena hadiah-hadiah
tersebut berhubungan dengan adanya janji akan kawin. Maka,
apabila janji dimaksud dibatalkan, hadiah-hadiah harus
kembali pada asalnya.
Fuqoha madzhab Syafii berpendapat bahwa pihak
peminang berhak menerima kembali hadiah-hadiah yang

28
diberikan, berupa barang apabila masih ada wujudnya, atau
ganti harganya apabila sudah tidak ada wujudnya lagi.
Fuqoha madzhab Maliki memperhatikan pihak mana yang
memutuskan. Apabila yang memutuskan adalah pihak
perempuan, hadiah-hadiah yang pernah diterima dari pihak
laki-laki harus dikembalikan, dalam bentuk barang apabila
masih ada wujudnya, atau pengganti harganya apabila sudah
rusak, hilang atau musnah. Apabila yang memutuskan adalah
pihak laki-laki, ia tidak berhak atas pengembalian hadiah yang
pernah diberikan kepada pihak perempuan, meskipun wujud
barangnya masih ada pada waktu memutuskan pertunangan
terjadi. Penyimpangan dari ketentuan tersebut hanya
dibenarkan apabila ada syarat lain antara dua pihak, atau
apabila ‘urf (adat kebiasaan) tempat pihak-pihak bersangkutan
menentukan lain.

H. Mahar Dalam Pernikahan


A. Definisi Mahar
Mahar dalam bahasa Arab shadaq. Asalnya isim masdar dari kata
ashdaqa, masdarnya ishdaq diambil dari kata shidqin (benar).
Dinamakan shadaq memberikan arti benar-benar cinta nikah dan inilah
yang pokok dalam kewajiban mahar atau maskawin.
Pengertian mahar menurut syara’ adalah sesuatu yang wajib sebab
nikah atau bercampur atau keluputan yang dilakukan secara terpaksa
seperti menyusui dan ralat para saksi.
Di dalam KHI masalah mahar juga telah di jelaskan yang terdapat
pada:

29
 Pasal 30 menjelaskan bahwan calon mempelai pria wajib membayar
mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan
jenisnya disepakati kedua belah pihak.
 Pasal 31, penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan
kemudahan yang dianjurkan oleh agama Islam.
 Pasal 32 Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita,
dan sejak itu milik pribadinya.
Menurut Sayid sabiq dalam bukunya fiqih Sunnah juga
menjelaskan bahwa hak suami terhadap istrinya:
1. Hak kebendaan, yaitu mahar dan nafkah.
2. Hak rohaniah, deperti melakikannya dengan adil jika duami
berpoligami dan tidak boleh membahayakan istri.
Para fuqoha berbeda dalam status mahar apakah sebagai pengganti
pemanfaatan suami terhadap organ vital wanita atau ia sebagai
penghormatan dan pemberian dari Allah? Al-Bajuri telah
mengkompromikan dua pendapat ini yang pada intinya, orang yang
melihat lahirnya mahar sebagai imbalan pemanfaatan alat seks wanita
mengatakan mahar sebagai kompensasi pemanfaatan alat seks wanita
tersebut. Bagi yang melihat substansi dan batin bahwa sang istri
bersenang-senang pada suami sebagaimana sang suami juga
bersenang-senang pada istrinya, mahar dijadikan sebagai
penghormatan dan pemberian dari Allah yang dikeluakan suami untuk
mendapatkan cinta dan kasih sayang antara pasangan suami istri.
B. Syarat Sah Mahar
1. Mahar tidak berupa uang haram.
2. Tidak ada kesamaran, sperti mahar berupa hasil panen kebun
pada tahun yang akan datang.

30
3. Mahar dimiliki dengan pemilikan sempurna.
4. Mahar mampu diserahkan.
C. Dalil Disyari’atkan Mahar
Telah terkumpul banyak dalil tentang pensyariatan mahar dan
hukumnya wajib. Suami, istri, dan para wali tidak mempunyai
kekuasaan mempersyaratkan akad nikah tanpa mahar.
Dalil kewajiban mahar dari Al-Qur’an adalah firman Allah SWT:
‫حِن‬
ً‫ص ُدقَاهِتِ َّن ْلَة‬
َ َ‫ِّسآء‬
َ ‫َوءَاتُواْ الن‬
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (QS. An-Nisa’ : 4)
Dalil sunnahnya adalah sabda Nabi Saw. Kepada orang yang hendak
menikah :
‫س َولَ ْو َخامَتَ ِم ْن َح ِديْ ِد‬ ِ ِ
ْ ‫الْتَم‬
Carilah walaupun cincin besi. (HR. Muslim)
D. Ukuran Mahar
Fuqoha sepakat bahwa mahar tidak memiliki ukuran batas yang
harus dilakukan dan tidak boleh melebihinya. Ukuran mahar diserahkan
kepada kemampuan suami sesuai dengan pandangan yang sesuai. Tidak
ada dalam syara’ atau dalil yang membatasi mahar sampai tinggi dan
tidak boleh melebihinya.
Sekalipun fuqoha sepakat bahwa tidak ada batas maksimal dalam
mahar, tetapi seyognyanya tidak berlebihan, khususnya di era sekarang.
Hadist yang diriwayatkan Rosulullah Saw. Bersabda :
Wanita yang sedikit maharnya lebih banyak berkahnya.
Ulama Syafi’iyah, Imam Ahmad, Ishak, dan Abu Tsaur berpendapat
tidak ada batas minimal mahar, tetapi sah dengan apa saja yang
mempunyai nilai materi, baik sedikit maupun banyak.

31
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa minimal sesuatu yang layak
dijadikan mahar adalah seperempat dinar emas atau tiga dirham perak.
Menurut madzhab Hanafiyah, yang diamalkan dalam ukuran minimal
mahar adalah 10 dirham. Ukuran ini sesuai dengan kondisi ekonomi
yang berlaku.
E. Benda yang Layak Dijadikan Mahar
Fuqoha sepakat bahwa harta yang berharga dan maklum patut
dijadikan mahar. Oleh karena itu emas, perak, uang, takaran,
timbangan, uang kertas, dan lain-lain sah dijadikan mahar karena ia
bernilai material dalam pandangan syara’. Sebagaimana pula mereka
sepakat bahwa sesuatu yang tidak sah untuk dijadikan mahar seperti
babi, bangakai, dan khamr.
F. Macam-macam Mahar
1. Mahar yang Disebutkan
Maksudnya adalah mahar yang disepakati oleh kedua belah
pihak, baik pada saat akad maupun setelahnya seperti membatasi
mahar bersama akad atau penyelenggaraan akad tanpa
menyebutkan mahar, kemudian setelah itu kedua belah pihak
mengadakan kesepakatan dengan syarat penyebutannya benar.
2. Mahar Mitsil (mahar yang sama)
Maksudnya adalah mahar yang diputuskan untuk wanita yang
menikah tanpa menyebutkan mahar dalam akad, ukuran mahar
disamakan dengan mahar wanita yang seimbang ketika menikah
dari keluarga bapaknya seperti saudara perempuan sekandung
dan saudara perempuan tunggal bapak.

32
G. Hikmah Disyari’atkan Mahar
Mahar disyari’atkan Allah Swt. untuk mengangkat derajat wanita
dan memberi penjelasan bahwa akad pernikahan ini mempunyai
kedudukan yang tinggi. Oleh karena itu, Allah mewajibkannya kepada
laki-laki bukan kepada wanita, karena ia lebih mampu berusaha.

I. Hak Dan Kewajiban Suami Istri Serta Mendidik Anak


A. Pengertian Hak dan Kewajiban Suami Istri
Hak adalah kekuasaan seseorang untuk melakukan sesuatu,
sedangkan Kewajiban adalah sesuatu yang harus dikerjakan.
Membicarakan kewajiban dan hak suami istri, terlebih dahulu
membicarakan apa yang dimaksud dengan kewajiaban dan apa yang
dimaksud dengan hak. Adalah Drs. H. Sidi Nazar Bakry dalam buku
karangannya yaitu Kunci Keutuhan Rumah Tangga Yang Sakinah
mendefinisikan kewajiban dengan sesuatu yang harus dipenuhi dan
dilaksanakan dengan baik.Sedangkan hak adalah sesuatu yang harus
diterima.
Lantas, pada atas jelas membutuhkan subyek dan
obyeknya.Maka disandingkan dengan kata kewajiban dan hak
tersebut, dengan kata suami dan istri, memperjelas bahwa kewajiban
suami adalah sesuatu yang harus suami laksanakan dan penuhi untuk
istrinya.Sedangkan kewajiban istri adalah sesuatu yang harus istri
laksanakan dan lakukan untuk suaminya.Begitu juga dengan
pengertian hak suami adalah, sesuatu yang harus diterima suami dari
isterinya.Sedangkan hak isteri adalah sesuatu yang harus diterima
oleh suaminya.Dengan demikian kewajiban yang dilakukan oleh
suami merupakan upaya untuk memenuhi hak isteri. Demikian juga

33
kewajiban yang dilakukan istri merupakan upaya untuk memenuhi
hak suami, sebagaiman yang Rosulullah SAW jelasakan:
‫اﻻ إن ﻟﮝﻢ ﻋﻠﻰ ﻧﺴﺎﺋﮝﻢ ﺣﻗﺎ ﻮﻟﻨﺴﺎﺋﮝﻢﻋﻠﻴﮑﻢ ﺣﻗﺎ‬
Artinya: Ketahuilah sesungguhnya kalian mempunyai hak yang
harus (wajib) ditunaikan oleh istri kalian, dan kalian pun memiliki hak
yang harus (wajib) kalian tunaikan' '[1]
Begitulah kehidupan berumah tangga, mebutuhkan timbal balik
yang searah dan sejalan. Rasa saling membutuhkan, memenuhi dan
melengkapi kekurangan satu dengan yang lainnya. Tanpa adanya
pemenuhan kewajiban dan hak, maka keharmonisan dan keserasian
dalam berumah tangga akan goncang berujung pada percekcokan dan
perselisihan.
Dengan dilangsungkan akad nikah antara mempelai laki-laki dan
mempelai perempuan yang dilakukan oleh walinya, terjalinlah
hubungn suami isteri dan timbul hak dan kewajiaban masing-masing
timbal-balik[2] .
Hak-hak dalam perkawinan itu dapat dibagi menjadi tiga, yaitu
hak bersama, hak suami yang menjadi kewajiban suami, dan hak
suami yang menjadi kewajiban isteri.
B. Hak dan Kewajiban Antara Suami dan Istri (Hak dan kewajiban
Beersama)
Hak –hak bersama antara suami dan isteri adalah sebagai berikut:
1. Suami istri, didukungnya saling menumbuhkan suasana
mawaddah dan rahmah. (Ar-Rum: 21)
3. Hendaknya saling mempercayai dan memahami sifat masing-
masing pasangannya. (An-Nisa ': 19 - Al-Hujuraat: 10)

34
4. Hendaknya menghiasi dengan pergaulan yang harmonis. (An-Nisa
': 19)
5. Hendaknya saling menasehati dalam inspirasi. (Muttafaqun Alaih)
6. Bergaul dengan baik antara pasangan dan isteri sehingga tercipta
kehidupan yang harmonis dan damai. Dalam hubungan ini QS An-
Nisa: 19 perintah,

ِ ْ‫َاش ُر هُ َّن بِ ْال َم ْعرُو‬


... ) 19: ‫ (النسا‬... ‫ف‬ ِ ‫ َوع‬                  
Artinya: “Dan gaulilah isteri-isteri itu dengan baik ……” (19)
Mengenai hak dan kewajiban bersama suami isteri, Undang-
Undang Perkawinan menyabutkan dalam Pasal 33 sebagai berikut,
“Suami isteri wajib cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.”
C. Hak dan Kewajiban Suami
1. Hak - Hak Suami atas Istri
Hak-hak suami yang wajib dipenuhi isteri hanya merupakan hak-
hak bukan kebendaan sebab menurut hukum Islam isteri tidak
dibebani kewajiban kebendaan yang diperlukan untuk
mencukupkan kebutuhan hidup keluarga.
D. Hak dan Kewajiban Istri
1. Hak - Hak Istri Atas Suami
Hak-hak isteri yang menjadi kewajiban bersama dapat dibagi
dua[3] : hak-hak kebendaan, yaitu mahar (maskawin) dan nafkah,
dan hak-hak bukan kebendaan, misalnya hak-adil di antara para
isteri (dalam perkawinan poligami), tidak ada hal yang
merugikan isteri dan lain sebagainya.
1) Istri berhak menerima mahar

35
2) Hak digauli dengan baik
3) Berhak menerima nafkah lahir dan batin
4) Diperlakukan dengan baik
5) Dibimbing dan mengajar agama yang baik
6) Diberi keadilan diantara para istri jika suami beristri lebih
dari satu
7) Berhak dimuliakan
2. Kewajiban Istri atas Suami
Adapun kewajiban istri atas pasangan di antaranya:
1) Taat dan patuh pada suami
2) Pandai mengambil hati pasangan melalui makanan dan
minuman
3) Melayani rumah dengan baik
4) Menghormati keluarga pasangan
5) Bersikap sopan dan penuh senyum pada suami
6) Tidak mempersulit pasangan dan selalu mendorong
pasangan untuk lebih maju
7) Ridho dan syukur terhadap apa yang diberikan suami
8) Harta kekayaan suami saat suami tidak ada di rumah
9) Selalu berhemat dan suka menabung atau dapat membantu
kondisi keuangan keluarga
10) Selalu berhias dan bersolek untuk suami
E. Kewajiban Suami Istri dam Kompilasi Hukum Islam
1. Kewajiban Suami Istri
Dalam Kompilasi Hukum Islam, kewajiban suami isteri isteri
in detail sebagai berikut:
Pasal 77

36
1) Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah yang
menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
2) Suami isteri wajib saling mencintai, menghormati menghormati,
setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang
lain.
3) Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan mengasuh
anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani
kecerdasannya dan pendidikan agaamanya.
4) Suami isteri wajib membayar kehormatannya.
5) Jika pasangan atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-
masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.
Pasal 78
1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
2) Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) ditentukan
oleh suami isteri bersama.
2. Kewajiban Suami terhadap Istri
Dalam kompilasi Hukum Islam, kewajiban suami terhadap isteri
secara rinci sebagai berikut
Pasal 80
1) Suaminya adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah
tangganya, tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang
penting-penting diputuskan oleh suami isteri bersama.
2) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala
sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan
kemampuannya.

37
3) Suami wajib anggota pendidikan agama kepada isterinya dan
kesempatan anggota belajar pengetahuan yang berguna dan
bermanfaat bagi agama dan bangsa.
4) Sesuai dengan tahapnya, anak-anak perlu:
1. Sebuah Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
2. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan
bagi isteri dan anak;
3. Biaya pendidikan bagi anak.
5) Kewajiban pasangan suami-istri terhadap isterinya seperti
tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas kerjasama sesudah ada
tamkin sempurna dan isterinya.
6) Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban
seseorang terhadap dirinya yang berada pada ayat (4) a dan b.
7) Kewajiban dalam pasangan di maksud ayat (2) gugur sbb;
ijin nusyud.
Pasal 81
Tentang Tempat Kediaman
1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan
anak-anaknya, atau bekas isteri yang masih dalam 'iddah.
2) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak
untukisteri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam 'iddah
talak atau iddah wafat.
3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan
anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa
aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai
penyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan pembantuan
alat-alat tangga.

38
4) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan
kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan
tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga
maupun sarana penunjang lainnya.
Pasal 82
K ewajiban Suami yang Beristeri Lebih dari Seorang
1) Suami yang mempunyai lebih dari seorang berkewajiban
memberi tahu tempat tinggal dan biaya hidup secara seimbang
menurut isteri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan.
2) Dalam hal para isteri rela dan ikhlas, suami dapat
menempatkan isterinya dalam satu tempat kediaman.
3. Kewajiban Istri Terhadap Suami
Dalam kompilasi hukum islam, kewajiban isteri terhadap sajian
sebagai berikut:
Pasal 83
F. Kewajiban Isteri
1) Kewajiban utama bagi seorang isteri adalah berbakti lahir batin
kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum
islam.
2) Isrti menyelenggarakan dan membina keperluan rumah tangga
sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
Pasal 8
1) Isteri dapat melaksanakan nusyuz jika ia tidak mau
melaksanakan kewajiban-kewajiban, sebagaimana dimaksud dalam
pasal 83 ayat (1), kecuali dengan alas an yang sah.

39
2) Selama isteri dalm nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya
pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal
untuk anaknya.
3) Kewajiban pasangan tersebut pada ayat (2) di atas sesudah
sesudah isteri tidak nusyuz.
4) Ketentuan ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus di
dasarkan atas bukti yang sah.

F. Pendidikan Anak dalam Keluarga Islam


As well as well as well as well as well as well as well assaity of them
in front of Allah 'azza wa jalla wa jalla wa jalla son-princess islam.
Tentang perkara ini, Allah SWT. berfirman:

ُ‫َّاس َواحْلِ َج َارة‬ ِ ِ َّ


ُ ُ‫ين آَ َمنُوا قُوا أَْن ُف َس ُك ْم َوأ َْهلي ُك ْم نَ ًارا َوق‬
ُ ‫ود َها الن‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الذ‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia
dan batu”. (At-Tahrim: 6)
Dan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari
dan Al-Imam Muslim, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda:
‫ه‬$ِ ِ‫اع َو َم ْسُئ ْو ٌل َع ْن َر ِعيَّت‬
ٍ ‫ُكلُّ ُك ْم َر‬

Artinya: “Setiap di antara kalian adalah pemimpin dan akan dimintai


pertanggungjawaban”
Untuk itu -tidak bisa tidak-, seorang guru atau orang tua harus tahu
apa saja yang harus mengajar kepada seorang anak serta bagaimana
metode yang telah dituntunkan oleh junjungan umat ini, Rasulullah

40
Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Beberapa tuntunan cara
mendidik anak dalam Islam tersebut antara lain:
a. Menanamkan Tauhid dan Aqidah yang Benar kepada Anak
Suatu hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa tauhid merupakan
landasan Islam. Apabila seseorang benar tauhidnya, maka dia akan
mendapatkan keselamatan di dunia dan akhirat. Malah, tanpa tauhid
dia pasti terjatuh ke dalam kesyirikan dan akan menemui kecelakaan
di dunia serta kekekalan di dalam neraka neraka. Allah subhanahu
wa ta'ala berfirman:
ِ ِ‫ر ما دو َن ذَل‬$ ‫ر أَ ْن ي ْشر َك بِِه وي ْغ ِف‬$ ‫إِ َّن اللَّه اَل ي ْغ ِف‬
ُ‫ك ل َم ْن يَ َشاء‬
َ ُ َ ُ ََ َ ُ ُ َ َ
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik,
dan mengampuni yang lebih ringan dari itu bagi orang-orang yang
Allah kehendaki” (An- Nisa: 48)
Oleh karena itu, di dalam Al-Quran pula Allah kisahkan nasehat
Luqman kepada anaknya. Salah satunya berbunyi:
ِ ِِ ِ
ٌ ‫يَا بُيَنَّ اَل تُ ْش ِر ْك باللَّه إ َّن الش ِّْر َك لَظُْل ٌم َعظ‬
‫يم‬

Artinya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,


Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar
kezhaliman yang besar”. (Luqman: 13)

b. Mengajari Anak untuk Melaksanakan Ibadah


Hendaknya sejak kecil putra-putri kita tuntunan bagaimana cara
tepat sesuai denganunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Mulai dari tata cara bersuci, shalat, puasa serta beragam ibadah
lainnya.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

41
َ ُ‫صلُّوا َك َما َرأَ ْيتُ ُمونِي أ‬
‫صلِّي‬ َ
“Shalatlah kalian kalian melihat aku shalat” (HR. Al-Bukhari).
“Ajarilah anak-anak kalian untuk shalat ketika mereka berusia tujuh
tahun, dan pukullah mereka ketika mereka tidak mau shalat-pen)”
(Shahih. Lihat Shahih Shahihil Jami 'karya Al-Albani).
Bila mereka telah menjaga ketertiban dalam shalat, maka ajak pula
mereka untuk melakukan shalat berjama'ah di masjid. Dengan
melatih mereka dari dini, insya Allah ketika dewasa, mereka sudah
terbiasa dengan ibadah-ibadah tersebut.
c. Mengajarkan Al-Quran, Hadits serta Doa dan Dzikir yang
Ringan kepada Anak-anak
Surat dengan surat Al-Fathihah dan surat-surat yang pendek serta
doa tahiyat untuk shalat. Dan menyediakan guru khusus bagi mereka
yang mengajari tajwid, menghapal Al-Quran serta hadits. Begitu
pula dengan doa dan dzikir sehari-hari. Hendaknya mereka mulai
menghapalkannya, seperti doa ketika makan, keluar masuk WC dan
lain-lain.
d. Mendidik Anak dengan Berbagai Adab dan Akhlaq yang
Mulia
Ajarilah anak dengan berbagai adab Islami seperti makan
dengan tangan kanan, ucapan basmalah sebelum makan, menjaga
kebersihan, ucapan salam, dll.
Begitu pula dengan akhlak. Tanamkan kepada mereka akhlaq-akhlaq
mulia seperti yang dikatakan dan dinyatakan jujur, berbakti kepada
orang tua, dermawan, menghormati yang lebih tua dan sayang
kepada yang lebih muda, serta beragam akhlaq lainnya.
e. Melarang Anak dari Berbagai Perbuatan yang Diharamkan

42
Hendaknya anak sedini mungkin diperingatkan dari perbuatan
yang tidak baik atau bahkan diharamkan, seperti merokok, judi,
minum khamr, mengambil hak orang lain, zhalim, durhaka kepada
orang tua dan segenap perbuatan haram lainnya.
f. Menanamkan Cinta Jihad serta Keberanian
Bacakanlah kepada mereka kisah-kisah keberanian Nabi dan
para sahabatnya dalam peperangan untuk menegakkan Islam agar
mereka dapat melihat bahwa beliau adalah sosok yang pemberani,
dan sahabat-sahabat beliau seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali
dan Muawiyah telah membebaskan negeri-negeri.
Tanamkan pula kepada mereka kebencian kepada orang-orang
kafir. Tanamkan bahwa kaum muslimin akan membebaskan Al-
Quds ketika mereka mau kembali belajar Islam dan berjihad di jalan
Allah. Mereka akan ditolong dengan merebut Allah.
Didiklah mereka agar berani beramar ma'ruf nahi munkar, dan
maunya mereka takut melainkan hanya kepada Allah. Dan tidak
boleh menakut-nakuti mereka dengan cerita-cerita bohong, horor
serta menakuti mereka dengan gelap.
g. Membiasakan Anak dengan Pakaian yang Syar'i
Anak-anak harus menggunakan pakaian sesuai dengan jenis
kelaminnya. Anak laki-laki yang menggunakan pakaian laki-laki dan
anak perempuan yang menggunakan pakaian perempuan. Jauhkan
anak-anak dari model-model pakaian barat yang tidak syar'i, bahkan
ketat dan menunjukkan aurat.
Tentang hal ini, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
‫َم ْن تَ َشبَّهَ بَِق ْوٍم َف ُه َو ِمْن ُه ْم‬

43
“Barangsiapa yang mengatur sebuah kaum, maka dia termasuk
mereka.” (Shahih, HR. Abu Daud)
Untuk anak-anak perempuan, biasakanlah agar mereka melihat
kerudung penutup kepala sehingga ketika dewasa mereka akan
mudah untuk melihat jilbab yang syar'i.
Demikianlah beberapa tuntunan dari Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam dalam mendidik anak. Hendaknya para orang tua
dan pendidik bisa merealisasikannya dalam pendidikan mereka
terhadap anak-anak. Dan dorongnya pula mereka ingat, untuk selalu
bersabar, menasehati putra-putri Islam dengan lembut dan penuh
kasih sayang. Jangan membentak atau mencela mereka, apalagi
sampai mengumbar-umbar kesalahan mereka
G. Hikmah Pernikahan
1. Cara yang halal dan suci untuk mengalirkan nafsu syahwat
melalui selain lewat perzinahan, pelacuran, dan lain sebagainya
yang dibenci Allah dan amat merugikan.
2. Untuk ketenangan hidup, kasih sayang dan ketenteraman
3. Menjaga kesucian diri
4. Melaksanakan perintah syariat
5. Membuat keturunan yang berguna bagi agama, bangsa dan
Negara
6. Sebagai media pendidikan: Islam begitu teliti dalam
menyediakan lingkungan yang sehat untuk membesarkan anak-
anak. Anak-anak yang dibesarkan tanpa orangtua akan
memudahkan membuat sang anak terjerumus dalam kegiatan
tidak bermoral. Oleh karena itu, kekeluargaan yang tidak terlihat

44
Islam terlihat tidak terlalu sulit serta sesuai sebagai petunjuk dan
baru pada anak-anak
7. Mewujudkan kerjasama dan tanggungjawab
8. Dapat mengeratkan silaturahim.

J. Masalah Poligami
Pengertian poligami
Kata poligami terdiri dari dua kata poli dan gami. Secara etimologi,
poli artinya banyak dan gami artinya istri. Jadi poligami itu artinya beristri
banyak. Secara terminologi, poligami yaitu seorang laki-laki mempunyai
lebih dari satu istri. Atau, seorang laki-laki beristri lebih dari seorang,
tetapi dibatasi paling banyak empat orang.
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani , polus yang artinya
banyak,dan gamein yang artinya kawin. Jadi, poligami artinya kawin
banyak atau suami beristri banyak pada saat yang sama. Dalam bahasa
arab poligami disebut dengan ta’did al-zawjah (berbilangnya pasangan).
Dalam bahasa indonesia disebut permaduan.
Poligami adalah perkawinan yang dilakukan laki-laki kepada
perempuan lebih dari seorang, dan seorang perempuan memiliki suami
lebih dari seorang. Adapun konsep perkawinan yang dilakukan seorang
laki-laki kepada perempuan lebih dari seorang disebut poligini. Apabila
perempuan bersuami lebih dari seorang disebut poliandri. Menurut ajaran
islam, yang kemudian disebut dengan syariat islam (hukum islam),
poligami ditetapkan sebagai perbuatan yang dibolehkan atau mubah.
Dengan demikian, meskipun dalam surat An Nisa’ ayat 3 ada kalimat
fankihu kalimat amr tersebut berfaedah kepada mubah bukan wajib, dapat
direlevansikan dengan kaedah ushul fiqh yang berbunyi, al-ash fi al-amr

45
al-ibahah hatta yadula dalilu ‘ala al-tahrim (asal dari sesuatu itu boleh,
kecuali ada dalil yang mengharamkannya).[2]
Dalam hukum islam, poligami dipandang sebagai proses
kepemimpinan laki-laki atau suami dalam rumah tangganya. Apabila
seorang suami yang poligami tidak mampu melaksanakanprinsip keadilan
dalam rumah tangga, ia tidak mungkin dapat melaksanakan keadilan jika
menjadi pemimpin pada masyarakat. Sebagaimana jika seorang suami
sewenang-wenang kepada istri-istrinya, sebagai pemimpin akan berbuat
kezaliman kepada rakyatnya.
Muhammad Abduh mengatakan dalam Tafsir Al-Manar yang ditulis
oleh Muhammad Rasyid Ridha, “Meskipun agama islam membuka jalan
bagi poligami, tetapi jalan itu sangat disempitkan, sehingga poligami
hanya dapat dibenarkan untuk dikerjakan dalam keadaan darurat. Oleh
karena itu, poligami hanya diperbolehkan bagi orang-orang yang terpaksa
serta meyakini bahwa dia sanggup berlaku adil.
Perkawinan asalnya adalah seorang suami untuk seorang istri,
sedangkan poligami bukan asal dan bukan pokok, tetapi keluarbiasaan atau
ketidakwajaran yang dapat dilakukan karena kondisi darurat. Maksud dari
darurat adalah adanya alasan-alasan logis yang secara normatif dapat
dibenarkan. Dalam syariat islam poligami disebabkan oleh beberapa hal
yang wajar, yaitu:
1. Terhalangnya reproduksi generatif, misalnya kemandulan
2. Istri tidak berfungsi sebagai istri;
3. Suami yang hiperseksual sehingga membutuhkan penyaluran yang
lebih dari seorang istri;
4. Jumlah perempuan yang melebihi laki-laki;
5. Istri yang menyuruh kepada suaminya untuk poligami.

46
Dasar Hukum Poligami
Kaitannya dengan dasar hukum poligami, maka untuk poligami
dasar hukumnya adalah sebagai berikut:
An-Nisa ayat 3:
‫ث َو ُربَ َٰع فَِإن ِخفتُم أَاَّل‬ ِ ‫ٱنكحُواْ ما طَاب لَ ُكم ِّمن ٱلن‬ ِ َ‫قسطُواْ يِف ٱليٰتَمى ف‬ ِ ُ‫وإِن ِخفتُم أَاَّل ت‬
َ َ‫ِّساء َمثىَن ٰ َوثُ ٰل‬
َ َ َ َ ََٰ َ
ِ ِ
َ ‫تَعدلُواْ َف َٰو ِح َد ًة أَو َما َملَ َكت أَميَٰنُ ُكم َٰذل‬
٣ ْ‫ك أَدىَنٰ أَاَّل َتعُولُوا‬
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya
Ayat tersebut menurut Khazim Nasuha merupakan ayat yang
memberikan pilihan kepada kaum laki-laki bahwa menikahi anak yatim
dengan rasa takut tidak berlaku adil karena keyatimannya atau menikahi
perempuan yang disenangi hingga jumlahnya empat. Akan tetapi, jika
semuanya dihantui rasa takut tidak berlaku adil, lebih baik menikah
dengan seorang perempuan atau hamba sahaya, karena hal itu menjauhkan
diri dari berbuat aniaya.[8]

An-Nisa ayat 129:

ْ‫لِ ُحوا‬$$‫ة َوإِن تُص‬$ِ $‫وها َكٱمل َعلَّ َق‬ ِ ‫دلُواْ ب‬$ِ $‫ أَن تَع‬$ْ‫تَ ِطيعُوا‬$ ‫َولَن تَس‬
َ َّ $‫واْ ُك‬$$ُ‫تُم فَاَل مَتِيل‬$$‫اء َولَو َحَرص‬$ ‫ني ٱلنِّ َس‬
‫ َذ ُر‬$ َ‫ل َفت‬$ِ $‫ل ٱملي‬$ َ َ
ُ َ
١٢٩ ‫َوَتَّت ُقواْ فَِإ َّن ٱللَّهَ َكا َن َغ ُفورا َّر ِحيما‬

"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-
isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga

47
kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan
perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"
Ayat tersebut menegaskan bahwa keadilan tidak mungkin dapat
dicapai jika berkaitan dengan perasaan atau hati dan emosi cinta. Keadilan
yang harus dicapai adalah keadilan materiel, sehingga seorang suami yang
poligami harus menjamin kesejahteraan istri-istrinya dan mengatur waktu
secara adil. Sayyid Sabiq mengatakan bahwa Surat An-Nisa ayat 129
isinya meniadakan kesanggupan berlaku adil kepada sesama istri,
sedangkan ayat sebelumnya (An-Nisa: 3) memerintahkan berlaku adil,
seolah-olah ayat tersebut bertentangan satu sama lainnya. Padahal, tidak
terdapat pertentangan dengan ayat yang dimaksud. Kedua ayat tersebut
menyuruh berlaku adil dalam hal pengaturan nafkah keluarga, pengaturan
kebutuhan sandang, pangan, dan papn. Suami yang poligami tidak perlu
memaksakan diri untuk berlaku adil dalam soal perasaan, cinta dan kasih
sayang, karena semua ittu diluar kemampuan manusia.
“Dari Abdullah bin Mas’ud r.a ia berkata, ‘Rasulullah SAW.
Bersabda kepada kami, ‘hai kaum pemuda! Apabila diantara kalian
mampu untuk kawin, hendaklah ia kawin, sebab kawin itu lebih kuasa
untuk menjaga mata dan kemaluan. Barang siapa yang tidak mampu,
hendaklah ia berpuasa, sebab puasa itu menjadi penjaga baginya’.” (HR.
Bukhari-Muslim)
Hadis diatas adalah perintah kepada para pemuda untuk menikah
apabila telah mampu secara biologis dan materi, karena pernikahan adalah
solusi yang terbaik dari perbuatan maksiat dan perzinaan. Apabila belum
mampu untuk menikah, lakukanlah puasa karena puasa dapat menjadi

48
benteng yang menghalangi perbuatan maksiat dan nafsu birahi yang
datang dari godaan setan yang terkutuk.
“Dari Ibnu Umarr.a., bahwa Ghailan bin Umayah As-Saqafi telah
masuk islam. Ketika masih jahiliah ia memiliki sepuluh istri, istri-istrinya
masuk islam beserta dia, lalu dia disuruh oleh Rasulullah SAW. Memilih
empat istri diantara nereka (yang enam diceraikan).”(HR. Imam Tirmidzi)
“Rasulullah SAW. Selalu membagi giliran sesama istrinya dengan
adil. Dan beliau pernah berdoa, ‘Ya Allah! Ini bagianku yang dapat aku
kerjakan. Oleh karena itu, janganlah Engkau mencelaku tentang apa yang
Engkau kuasai, sedangkan aku tidak menguasainya.’ Abu Dawud berkata,
‘yang dimaksud dengan Engkau kuasai, tetapi aku tidak menguasainya
adalah hati ’.” (HR. Abu Dawud dari Siti Aisyah)
Hadis-hadis yang telah dikemukakan tersebut merupakan dasar
hukum poligami. Beristri lebih dari seorang dilakukan oleh para sahabat
dan Rasulullah SAW. Bahkan Rasulullah digambarkan dalam hadis
tersebut tentang tata cara mempraktikkan keadilan dalam poligami.
Rasulullah membagi nafkah lahiriah keluarganya menurut kemampuannya.
Sementara keadilan dalam ha;l “hati” beliau menyatakan tidak mempunyai
kemampuan untuk menguasainya. Rasulullah hanya mampu melaksanakan
keadilan dalam pemberian nafkah lahir dan batin, tetapi untuk hal cinta
dan kasih sayang beliau menyatakan tidak mampu.
Hikmah Poligami
1. Mengenai hikmah diizinkan berpoligami (dalam keadaan darurat
dengan syarat berlaku adil) antara lain adalah sebagai berikut:
2. Untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan istri
mandul.

49
3. Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan istri, sekalipun
istri tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai istri, atau ia mendapat
cacat badan atau penyakit yang tak dapat disembuhkan.
4. Untuk menyelamatkan suami dari yang hypersex dari perbuatan zina
dan krisis akhlak lainnya.
5. Untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak yang tinggal di
negara/masyarakat yang jumlah wanitanya jauh lebih banyak dari
kaum prianya, misalnya akibat peperangan yang cukup lama.

K. Nafkah dan Kedudukan harta dalam Pernikahan


A. Pengertian Nafkah
Secara etimologi, nafkah berasal dari bahasa Arab yakni dari suku
kata anfaqa – yunfiqu- infaqan. Dalam kamus Arab-Indonesia, secara
etimologi kata nafkah diartikan dengan “pembelanjaan”. Dalam tata
bahasa Indonesia kata nafkah secara resmi sudah dipakai dengan arti
pengeluaran.
Dalam kitab-kitab fiqih pembahasan nafkah selalu dikaitkan dengan
pembahasan nikah, karena nafkah merupakan konsekuensi terjadinya
suatu aqad antara seorang pria dengan seorang wanita. (tanggung jawab
seorang suami dalam rumah tangga/keluarga), sebagaimana yang
diungkapkan oleh al- Syarkawi : “Ukuran makanan tertentu yang
diberikan (menjadi tanggungan) oleh suami terhadap isterinya,
pembantunya, orang tua, anak budak dan binatang ternak sesuai dengan
kebutuhannya”.
Defenisi yang dikemukakan oleh al-Syarkawi di atas belum
mencakup semua bentuk nafkah yang dijelaskan dalam ayat dan sunnah

50
Rasul. Wahbah al-Zuhaili menjelaskan pengertian nafkah sebagai
berikut :
“Nafkah Yaitu mencukupi kebutuhan orang yang menjadi
tanggungannya berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal”.
Mencermati beberapa definisi serta batasan tersebut di atas dapat
dipahami, bahwa nafkah itu adalah pengeluaran yang biasanya
dipergunakan oleh seseorang untuk orang yang menjadi tanggungannya
dalam memenuhi kebutuhan hidup, baik berupa pangan, sandang
ataupun papan dan lainnya dengan sesuatu yang baik.

Dasar Hukum Nafkah


Adapun dasar hukum tentang eksistensi dan kewajiban nafkah
terdapat dalam beberapa ayat Al-Qur’an, hadis Rasulullah, kesepakatan
para imam madzhab maupun UU yang ada di Indonesia, diantaranya
adalah
1. Surat Ath-Athalaaq ayat 6-7
‫ُوالت مَحْ ٍل‬ ِ ‫ث س َكْنتُم ِمن وج ِد ُكم وال تُض ُّاروه َّن لِتُضِّي ُقوا علَي ِه َّن وإِ ْن ُك َّن أ‬ ِ ُ‫أَس ِكن‬
َ َْ َ ُ َ َ ْ ْ ُ ْ ْ َ ُ ‫وه َّن م ْن َحْي‬ ُ ْ
ٍ ‫ر‬$$‫روا بينَ ُكم مِب َع‬$$ِ‫وره َّن وأْمَت‬$$‫آتُوه َّن أُج‬$$َ‫عن لَ ُكم ف‬$‫ِإ ْن أَرض‬$َ‫ن مَح لَه َّن ف‬$ ‫ع‬$‫أَنْ ِف ُقوا علَي ِه َّن حىَّت يض‬$َ‫ف‬
‫وف‬ ُ ْ ْ َْ ُ َ ُ َ ُ ُ ْ ََْ ْ ُ ْ ََْ َ َ َْ
‫ق‬$ْ $‫هُ َف ْلُيْن ِف‬$$ُ‫ه ِر ْزق‬$ِ $‫د َر َعلَْي‬$ِ $ُ‫ه َو َم ْن ق‬$ِ ِ‫ َعت‬$‫ َع ٍة ِم ْن َس‬$‫ق ذُو َس‬$$ْ $‫) لُِيْن ِف‬6( ‫رى‬$َ ‫ُخ‬
$ْ ‫هُ أ‬$$َ‫ ُع ل‬$‫ فَ َسُت ْر ِض‬$ْ‫ ْرمُت‬$‫َوإِ ْن َت َعا َس‬
‫مِم‬
)7( ‫اها َسيَ ْج َع ُل اللَّهُ َب ْع َد عُ ْس ٍر يُ ْسًرا‬ َ َ‫ف اللَّهُ َن ْف ًسا إِال َما آت‬ ُ ِّ‫َّا آتَاهُ اللَّهُ اَل يُ َكل‬
Artinya : “Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat
tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan
mereka untuk menyempitkan hati mereka karena ingin utuk
menyempitkan mereka. Jika mereka hamil berikan mereka belanja
sampai lahir kandungan mereka. Jika mereka menyusukan untukmu
(anakmu) berilah upah (imbalannya). Bermusyawarahlah kamu dengan

51
sebaik-baiknya.Tetapi jika kamu kepayahan hendaklah (carilah)
perempuan lain yang akan menyusukannnya”(6)
Artinya :“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan (kekurangan) rezkinya
hendaklah memberi nafkah sesuai dengan apa yang dikaruniakan Allah
kepadanya, Allah tidak memberikan beban kepada seseorang kecuali
sesuai dengan apa yang diberikan Allah. Semoga Allah akan
memberikan kelapangan setelah kesempitan”(7).
Dalam ayat dapat kita pahami bahwa:
 Suami wajib memberikan istri tempat berteduh dan nafkah
lainnya.
 Istri harus mengikuti suami dan bertempat tinggal di tempat
suami.
Besarnya kewajiaban nafkah tergantung pada keleluasaan suami. Jadi
pemberian nafkah berdasarkan atas kesanggupan suami bukan
permintaan istri.
Al-Qurthubi berpendapat bahwa firman Allah maksudnya adalah;
hendaklah suami memberi nafkah kepada isterinya, atau anaknya yang
masih kecil menurut ukuran kemampuan baik yang mempunyai
kelapangan atau menurut ukuran miskin andaikata dia adalah orang
yang tidak berkecukupan. Jadi ukuran nafkah ditentukan menurut
keadaan orang yang memberi nafkah, sedangkan kebutuhan orang yang
diberi nafkah ditentukan menurut kebiasaan setempat.
Sedangkan yang dimaksud dengan ‫ لينفق ذو سعة من سعته‬adalah bahwa
perintah untuk memberi nafkah tersebut ditujukan kepada suami bukan
terhadap isteri. Adapun maksud ayat‫ ال يكل``ف هللا نفس``ا اال م``أ ت``ا ها‬adalah

52
bahwa orang fakir tidak dibebani untuk memberi nafkah layaknya
orang kaya dalam memberi nafkah.
2. Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Aisah R.A :
‫ه‬$ِ $ ‫لَّى اللَّهُ َعلَْي‬$ $‫ص‬ ِ ِ $ُ ‫ ٌد بِْن‬$ $‫ت ِهْن‬
َ ‫ول اللَّه‬$ $‫ن َعلَى َر ُس‬$َ ‫ ْفيَا‬$ $‫رأَةُ أَيِب ُس‬$َ $‫ةَ ْام‬$ $َ‫ت عُْتب‬
ِ
ْ َ‫الَت َد َخل‬$$ َ‫ةَ ق‬$ $‫َع ْن َعائ َش‬
ِ ‫ة ما يك‬$ِ $ $‫الن َف َق‬ ِ ِ ِ ِ ِ َّ َ $ $ ‫ت يا رس‬
‫ْفييِن‬ َ َ َّ ‫يح اَل يُ ْعطييِن م ْن‬ ٌ ‫ح‬$ $ ‫ل َش‬$ ٌ $ $‫ ْفيَا َن َر ُج‬$ $ ‫ول الله إ َّن أَبَا ُس‬ ُ َ َ ْ َ‫ال‬$$ $‫لَّ َم َف َق‬$ $ ‫َو َس‬
‫ول اللَّ ِه‬ ٍ $َ‫ك ِم ْن ُجن‬$ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫ ْذ‬$‫ْفي بيِن إِاَّل ما أَخ‬ ِ
ُ $‫ال َر ُس‬$ َ $‫اح َف َق‬$ َ $ ‫ل َعلَ َّي يِف ذَل‬$
ْ ‫ه‬$َ ‫ه َف‬$‫م‬$ ‫ه بغَرْي ع ْل‬$$ ‫ت م ْن َمال‬ ُ َ َ َّ َ ‫َويَك‬
$‫ْفي بَنِيك‬ِ ‫يك ويك‬ ِ ِ $ِ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ُخ ِذي ِم ْن َمالِِه بِالْ َم ْعُر‬
َ َ ‫وف َما يَكْف‬ َ
Artinya : “Dari Aisyah beliau berkata:” Hindun putri ‘Utbah isteri Abu
Sufyan masuk menghadap Rasulullah SAW seraya berkata : Ya
Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang lelaki yang kikir.
Dia tidak memberikan saya nafkah yang cukup untuk saya dan anak-
anakku selain apa yang saya ambil dari sebagian hartanya tanpa
setahunya. Apakah saya berdosa karena perbuatanku itu ? Lalu Rasul
Saw. bersabda: “Ambillah olehmu sebagian dari hartanya dengan cara
yang baik secukupnya untukmu dan anak-anakmu.” (HR.Muslim).
Hadis tersebut jelas menyatakan bahwa ukuran nafkah itu relatif,
jika kewajiban nafkah mempunyai batasan dan ukuran tertentu
Rasulullah SAW. akan memerintahkan Hindun untuk mengambil
ukuran nafkah yang dimaksud, tetapi pada saat itu Rasulullah hanya
memerintahkan Hindun untuk mengambil sebagian harta suaminya
dengan cara baik dan secukupnya.
Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayah Al-Mujtahid mengemukakan
pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah tentang ukuran nafkah ini
bahwa besarnya nafkah tidak ditentukan oleh syara’, akan tetapi
berdasarkan keadaan masing-masing suami-isteri dan hal ini akan
berbeda–beda berdasarkan perbedaan tempat, waktu dan keadaan.
3. Kesepakatan Imam Madhab

53
Empat Imam Fiqih madzhab sepekat menetapkan bahwa hukum
memberikan nafkah keluarga adalah wajib bagi suami. Ketetapan ini
bisa kita baca dalam kitab fiqih, antara lain dalam kitab Rahmatul
Ummah Fikhtilafil A’immah Juz II halaman 91
“Para Imam yang empat sepakat menetapkan wajibnya suami
memberikan nafkah bagi anggota keluarga yang dikepalainya, seperti
orang tua, istri dan anak yang masih kecil”.
Kalimat yang sama juga disebutkan dalam kitab Mizanul Kubra
Juz II halaman 138. Keduamya sama-sama mencontohkan bahwa
anggota keluarga tidak sekedar istri, melainkan juga anak yang masih
kecil (belum mampu mencari nafkah sendiri) dan orang tua ( yang
sudah tidak mampu mencari uang lagi). Hal ini lebih menegaskan
bahwa semua orang yang ada di dalam kekuasaan suami, termasuk
pembantu ataupun buadk, adalah anggota yang nafkahnya menjadi
tanggungan suami.
Sebagai kewajiban, maka setiap suami muslim harus mencukupi
nafkah keluarga itu sesuai dengan kemampuannya. Jika dia
menjalankannya dengan baik, maka Allah akan memberikan pahala.
Dan jika dia meninggalkan atau melalaikannya maka dia berdosa dan
akan mendapat siksa dari Allah.
4. Undang-undang yang ada di indonesia
Mengenai nafkah sudah tercantum dalam Undang-undang RI
nomor 1 tahun 1974 Bab VI mengenai Hak dan Kewajiban Suami Istri
Pasal 34 ayat 1 sampai 3 yang berbunyi:
1. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
2. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.

54
3. Jika suami atau istri melalaikan kewajiban masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada pengadilan.
B. Macam-macam Nafkah
Menurut jenisnya nafkah dibagi menjadi dua yaitu Pertama, nafkah
lahir yang bersifat materi seperti sandang,pangan, papan dan biaya hidup
lainnya termasuk biaya pendidikan anak. Kedua nafkah batin yang
bersifat non-materi seperti hubungan intim, kasih sayang,perhatian dan
lain-lain.
Menurut objeknya, Nafkah ada dua macam yaitu:
 Nafkah untuk diri sendiri. Agama Islam mengajarkan agar nafkah
untuk diri sendiri didahulukan daripada nafkah untuk orang lain. Diri
sendiri tidak dibenarkan menderita, karena mengutamakan orang
lain.
 Nafkah untuk orang lain karena hubungan perkawinan dan hubungan
kekerabatan. Setelah akad nikah, maka suami wajib memberi nafkah
kepada istrinya paling tidak kebutuhan pokok sehari-hari seperti
sandang, pangan dan papan
C. Kadar Nafkah
Kadar Nafkah yang paling ideal diberikan oleh para suami kepada
segenap keluarganya adalah cukup, Tetapi, ketentuan cukup ini sangat
bervariasi dan relatif apalagi jika dilihat dari selera pihak yang diberi yang
notabene manusia itu sendiri memilliki sifat dasar tidak pernah merasa
cukup.
Kaitannya dengan kadar nafkah keluarga, Islam tidak mengajarkan
untuk memberatkan para suami dan juga tidak mengajarkan kepada
anggota keluarga untuk gemar menuntut. Sehungga kadar cukup itu bukan
ditentukan dari pihak keluarga yang diberi, melainkan dari pihak suami

55
yang memberi. Kecukupan disesuikan dengan kemampuan suami, tidak
berlebihan dan tidak terlalu kikir.
D. Syarat Wajib Nafkah
Pernikahan yang telah memenuhi rukun dan syarat menyebabkan
timbulnya hak dan kewajiban. Artinya istri berhak mendapatkan nafkah
sesuai dengan ketentuan ayat dan hadits sebagaimana telah penulis
kemukakan sebelumnya. Para ulama sepakat bahwa setelah terjadinya
akad nikah istri berhak mendapatkan nafkah. Hanya saja ulama berbeda
pendapat ketika membahas apakah hak nafkah itu diperoleh ketika terjadi
akad atau ketika istri telah pindah ke tempat kediaman suami.
Sedangkan Syafi’i dalam qaul jadid, Malikiyah dan Hanabilah
mengungkapkan bahwa istri belum mendapatkan hak nafkahnya
melainkan setelah tamkin, seperti istri telah menyerahkan diri kepada
suaminya.
Sementara itu sebagian ulama muta’akhirin menyatakan bahwa istri
baru berhak mendapatkan hak nafkah ketika istri telah pindah ke rumah
suaminya.
Terjadinya perbedaan pendapat ulama dalam hal kapankah seorang istri
berhak atas nafkah dari suaminya dikarenakan ayat dan hadis tidak
menjelaskan secara khusus syarat-syarat wajib nafkah istri. Oleh karena
itu tidak ada ketentuan secara khusus dari nabi SAW mengenai hal
tersebut sehingga di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat dalam
menetapkan syarat-syarat wajibnya seseorang istri mendapatkan nafkah.
Menurut jumhur ulama suami wajib memberikan nafkah istrinya apabila:
Istri menyerahkan diri kepada suaminya sekalipun belum melakukan
senggama. Istri tersebut orang yang telah dewasa dalam arti telah layak
melakukan hubungan senggama, pernikahan suami istri itu telah

56
memenuhi syarat dan rukun dalam perkawinan. Tidak hilang hak suami
untuk menahan istri disebabkan kesibukan istri yang dibolehkan agama.
Maliki membedakan syarat wajib nafkah istri setelah dan belum
disenggamai adalah, mempunyai kemungkinan untuk disenggamai.
Apabila suami mengajak istrinya melakukan hubungan suami isteri namun
istri menolak, maka :
 istri tidak layak untuk menerima nafkah.
 Istri layak untuk disenggamai. Apabila istri belum layak
disenggamai seperti masih kecil maka ia berhak menerima nafkah.
 Suami itu seorang laki-laki yang telah baligh. Jika suami belum
baligh sehinggga belum mampu melakukan hubungan suami istri
secara sempurna maka ia tidak wajib membayar nafkah.
 Salah seorang suami atau istri tidak dalam keadaan sakratul maut
ketika akan diajak bersenggama.
Selanjutnya syarat wajib nafkah bagi istri yang telah disenggamai adalah
pertama Suami itu mampu. Apabila suami tidak mampu maka selama ia
tidak mampu maka ia tidak wajib membayar nafkah istrinya. Kedua : Istri
tidak menghilangkan hak suami untuk menahan istri dengan alasan
kesibukan istri yang dibolehkan agama.
E. Gugurnya Hak Nafkah
Konsekuensi akad perkawinan yang sah suami berkewajiban memberi
nafkah kepada isterinya. Hak mendapatkan nafkah isteri hanya didapat
apabila syarat-syarat untuk mendapatkan hak seperti diuraikan diatas telah
terpenuhi, serta isteri terhindar dari hal-hal yang menyebabkan gugurnya
hak nafkah tersebut. Adapun penyebab gugur hak nafkah tersebut adalah
sebagai berikut :
 Nusyuz

57
Kata nusyuz merupakan bentuk jamak (plural) dari nusyz yang secara
etimologi berarti dataran tanah yang lebih tinggi atau tanah bukit,
sesuai dengan pengertian ini, maka wanita yang nusyuz menurut
pengertian bahasa berarti wanita yang merasa lebih tinggi dari
suaminya, sehingga tidak mau terikat dengan kewajiban patuh
terhadap suami. Dari pengertian ini pula selanjutnya dipahami
pengertian nusyuz secara umum yaitu sikap angkuh, tidak patuh
seseorang dengan tidak bersedia menunjukkan loyalitas kepada pihak
yang wajib dipatuhinya Kata nusyuz secara resmi telah dipakai dalam
tata bahasa Indonesia yang secara terminologi berarti:
Perbuatan tidak taat dan membangkang seorang istri terhadap
suaminya (tanpa alasan) yang dibenarkan hukum (Islam).
 Wafat salah seorang suami istri.
Nafkah isteri gugur sejak terjadi kematian suami, kalau suami
meninggal sebelum memberikan nafkah maka istri tidak dapat
mengambil nafkah dari harta suaminya. Dan jika istri yang meninggal
dunia terlebih dahulu, maka ahli warisnya tidak dapat mengambil
nafkah dari harta suaminya.
 Murtad
Apabila seorang istri murtad maka gugur hak nafkahnya karena
dengan keluarnya istri dari Islam mengakibatkan terhalangnya suami
melakukan senggama dengan istri tersebut. Jika suami yang murtad,
maka hak nafkah istri tidak gugur karena halangan hukum untuk
melakukan persenggamaan timbul dari pihak suami padahal kalau ia
mau menghilangkan halangan hukum tersebut dengan masuk kembali
ke dalam Islam, dia bisa melakukannya.
 Talak

58
Berkaitan dengan talak, para ulama sepakat bahwa hak nafkah bagi
isteri hanyalah selama isteri masih dalam masa iddah. Adapun setelah
habis masa iddah tidak satu pun dalil yang mengungkapkan bahwa
suami masih tetap berkewajiban memberi nafkah bekas istrinya. Hal
ini bisa dipahami kenapa setelah habisnya masa iddah isteri tidak
berhak lagi untuk menerima nafkah dari suami.
F. Kedudukan Harta dalam Pernikahan
Menurut Kumpulan Hukum Islam di Indonesia Inpres No. 1
tahun 1991 pasal 1 huruf f, mengatakan bahwa harta kekayaan dalam
pernikahan atau Syrkah adalah harta yang diperoleh sendiri-sendiri
atau bersama-sama suami isteri selama dalam pernikahan berlangsung
dan selanjutnya disebut harta bersama tanpa mempersoalkan terdaftar
atas nama siapa.
Jadi mengenai harta yang diperoleh oleh suami isteri selama
dalam ikatan pernikahan adalah harta milik bersama, baik masing-
masing bekerja pada satu tempat yang sama maupun pada tempat yang
berbeda-beda, baik pendapatan itu terdaftar sebagai penghasilan isteri
atau suami, juga penyimpanannya didaftarkan sebagai simpanan suami
atau isteri tidak dipersoalkan, baik yang punya pendapatan itu suami
saja atau isteri saja, atau keduanya mempunyai penmghasilan tersendiri
selama dalam pernikahan.
Harta bersama tidak boleh terpisah atau dibagi-bagi selama
dalam pernikahan masih berlangsung. Apabila suami isteri itu berpisah
akibat kematian atau akibat perceraiain barulah dapat dibagi.
Jika pasangan suami isteri itu waktu bercerai atau salah satunya
meninggal tidak memiliki anak, maka semua harta besama itu dibagi
dua setelah dikeluarka biaya pemakamam dan pembayar hutang-hutang

59
suami isteri. Jika pasangan ini mempunyai anak maka yang menjadi
ahli waris adalah suami atau isteri yang hidup terlama dan bersama
anak-anak mereka.

I. Nusyuz, Syiqaq, Ila dan Fungsi hakim dalam penyelesaiannya


A. Nusyuz
1. Pengertian Nusyuz
Menurut Hamid ( 1977 : 250 ) nusyuz adalah tindakan istri yang
dapat ditafsirkan menentang atau membandel atas kehendak suami.
Tentu saja kehendak suami yang tidak bertentangan dengan hukum
agama. Apabila kehendak suami bertentangan atau tidak dapat
dibenarkan oleh agama, maka istri berhak menolaknya. Dan
penolakan tersebut bukanlah sifat nusyuz ( durhaka ).
Sementara menurut Rasyid ( 1994: 398 ) nusyuz adalah apabila
istri menentang kehendak suami dengan tidak ada alasan yang dapat
diterima menurut hukum syara’, tindakan itu dipandang durhaka.
Dari kedua pendapat di atas penulis mendefinisikan, Nusyuz
adalah keadaan dimana suami atau istri meninggalkan kewajiban
bersuami-istri sehingga menimbulkan ketegangan hubungan rumah
tangga. Seperti hal-hal dibawah ini :
a. Suami telah menyediakan rumah yang sesuai dengan keadaan
suami, tetapi istri tidak mau pindah kerumah itu, atau istri
meninggalkan rumah tangga tanpa izin suami.
b. Apabila suami istri tinggal dirumah kepunyaan istri dengan izin
istri, kemudian pada suatu waktu istri mengusir (melarang) suami
masuk rumah itu, dan bukan karena minta pindah kerumah yang
disediakan oleh suami.

60
c. Umpamanya istri menetap ditempat yang disediakan oleh
perusahaanya, sedangkan suami minta supaya istri menetap dirumah
yang disediakannya, tetapi istri berkeberatan dengan tidak ada alasan
yang pantas.
d. Apabila istri bepergian dengan tidak beserta suami atau
mahramnya, walaupun perjalanan itu wajib, seperti pergi haji, karena
perjalanan perempuan yang tidak beserta suami atau mahram
terhitung maksiat.
Sedangkan, nusyuz suami terhadap istri mengandung arti
pendurharkaan suami keapad Allah karena meninggalkan kewajiban
terhadapan istrinya. Nusyuz suami terjadi bila ia tidak melaksanakan
kewajibannya terhadap istrinya, baik meninggalkan kewajiban yang
bersifat materi atau nafaqoh atau meninggalkan kewajiban bersifat
nonmateri di antaranya mu’asyarah bi al-ma’ruf atau menggauli
istrinya dengan baik. Yang terakhir ini dapat mengandung arti luas,
yaitu segala sesuatu yang dapat disebut menggauli istrinya dengan
cara buruk, seperti berlaku kasar, menyakiti fisik dan mental istri,
tidak melakukan hubungan badaniyah dalam waktu tertentu dan
tindakan lain yang bertentangan dengan asa pergaulan baik.
Adapun tindakan istri bila menemukan pada suaminya sifat
nusyuz, dijelaskan Allah dalam suran An-Nisa ayat 128 :
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak
acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik
(bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika
kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu

61
(dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah
Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

2. Dasar Hukum
Dasar hukum nusyuz yang datangnya dari istri, ditegaskan dalam
Firman Allah Surat An-Nisa ayat 34 :
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka,
dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar”.
Dalam memukul, jangan sampai melukai badannya, jauhilah muka
dan tempat-tempat lain yang mekhawatirkan, karena tujuan memukul
bukanlah untuk menyakiti tetapi untuk memberi pelajaran
berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada tingkatan :
1) Ketika Nampak tanda-tanda kedurhakaan suami berhak memberi
nasihat kepad istri
2) Sesudah nyata kedurhakaannya, suami berhak untuk berpisah
ranjang ketika tidur dengan istri
3) Kalau istri masih durhaka suami berhak memukulinya.
Akibat kedurhakaan itu maka hilanglah hak istri yaitu menerima uang
belanja, pakaian dan pembagian waktu.berarti dengan adanya durhaka
istri., maka ketiga perkara tersebut menjadi tidak wajib atas suami dan
istri tidak berhak menuntut.
Firman allah Swt dalam Q.s Al-Baqarah : 228

62
$ِ ‫َوهَلُ َّن ِمثْ ُل الَّ ِذي َعلَْي ِه َّن بِالْ َم ْعُر‬
‫وف‬
Artinya :
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban
(terhadap suaminya) menurut cara yang ma’ruf.”

3. Cara Mengatasi Nusyuz


Menurut Hakim dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam (2000 :
108) cara untuk mengatasi nusyuz adalah dengan mengadakan
perundingan antara suami istri untuk membereskan serta
menghilangkan kesalahpahaman dan memecahkan masalah tersebut
bersama. Usaha ini menurut Islam disebut dengan istilah ishlah, yaitu
upaya perdamaian yang diusahakan oleh kedua belah pihak. Upaya
ishlah ini divisualkan dalam bentuk musyawarah. Dengan
musyawarah serta keinginan yang baik, maka tidak ada masalah yang
sulit yang tidak dapat dipecahkan.
Al-quran memperingatkan wanita untuk berbuat sesuatu manakala
terjadi ketidakberesan, ketidakserasian, atau miskomunikasi antara
istri dan suaminya. Jadi, wanita dituntut untuk berperan aktif dalam
mengatasi kemelut dalam keluarga, mengajak suaminya untuk
merundingkan problema yang menjadi ganjalan diantara mereka,
dalam upaya memperbaiki hubungan mereka, seperti dijelaskan
dalam al-quran surat An-nisa : 128
‫الص ْل ُح‬
ُّ ‫ص ْل ًحا َو‬ ِ ‫وإِ ِن امرأَةٌ خافَت ِمن بعلِها نُشوزا أَو إِعراضا فَالَجناح علَي ِهمآ أَن ي‬
ُ ‫صل َحا َبْيَن ُه َما‬
ْ ُ َ ْ َ َ َُ ً َْ ْ ً ُ َ ْ َ ْ َ َ ْ َ
‫َخْيُُر‬

63
Artinya :
“Apabila wanita ( istri-istri ) terjadi pembangkangan ( nusyuz )
dan pertentangan ( sikap acuh tak acuh ) dengan suaminya. Maka
tidaklah mengapa bagi keduanya untuk mengadakan perdamaian, dan
perdamaian adalah sesuatu yang baik”.
Apabila salah satu pihak benci terhadap yang lain, hendaklah
jangan mengharapkan atau melihat kesalahan sedikit pun diantara
mereka. Padahal bisa saja satu atau dua hari saja sudah hilang
kesalahannya bahkan mungkin hanya beberapa saat saja. Selanjutnya,
yang timbul justru suatu sebaliknya, yaitu kerinduan. Oleh karena itu,
masalah didalam rumah tangga janganlah terlalu dianggap serius,
anggap saja sebagai bumbu perkawinan. Dalam hal ini Al-quran Q.s
An-nisa 19, memberi peringatan yaitu.
‫ َوجَيْ َع َل اهللُ فِ ِيه َخْيًرا َكثِ ًريا‬$‫وه َّن َف َع َسى أَن تَكَْر ُهوا َشْيئًا‬
ُ ‫فَِإن َك ِر ْهتُ ُم‬
Artinya :
“Apabila kamu tidak senang kepada istri, maka boleh jadi apa
yang kamu tidak senang tadi justru Allah SWT membuat kebaikan
yang banyak”.
Perkawinan sebagai sesuatu yang suci hendaklah dipertahankan
keutuhan serta keharmonisan. Ini merupakan tugas mereka yang
terlibat didalamnya. Terciptanya kebahagiaan dan ketenteraman
rumahtangga sangat bergantung pada apakah suami istri telah
melaksanakan peran dan kewajibannya masing-masing. Disamping itu
apakah mereka telah berusaha menyelami tabiat, kebiasaan,
temperamen, watak, dari pasangan hidupnya. Apabila semua itu telah

64
mereka lakukan, dapat dipastikan bahwa kehidupan perkawinan
berjalan sesuai dengan yang diinginkan.
Apabila kemelut keluarga diakibatkan oleh suami, maka istri
harus mempunyai strategi yang handal dalam meluluhkan nusyuz
suami. Menurut Ghanim ( 1993 : 63 ) cara untuk mengatasi nusyuz
suami yaitu dengan cara membaikinya. Misalnya, dilakukan dengan
mengurangi tuntutan - tuntutan material atau hal - hal lain yang
menjadi hak dari suaminya. Sebab, kebanyakan yang menjadi
penyebab kejengkelan dan kesulitan seorang suami adalah tingginya
tuntutan istri terhadap hal - hal yang tidak mungkin diupayakan
( diluar jangkauan ) oleh sang suami.
Dalam menghadapi hal semacam ini, diharapkan istri dapat
mengurangi atau menyederhanakan tuntutan - tuntutan tersebut demi
menjaga keutuhan keluarga dan keselamatan anak - anak ( jika
memang ada ). Hal ini adalah salah satu bentuk pengorbanan sang
istri untuk menjaga keutuhan keluarganya. Jika dia telah berusaha
kearah sana, maka tidak ada dosa baginya. Akan tetapi jika dia
memilih pisah dari suami tanpa ada upaya untuk berkorban, berarti
dia telah melakukan suatu kesalahan. Padahal damai ( istilah ) adalah
jalan yang paling baik. Demikian juga, sang suami pun dituntut untuk
bisa menjembatani jurang kesenjangan antara keduanya.
Disisi lain, Al-quran juga menyinggung bahwa manusia itu
mempunyai tabiat kikir, baik kikir harta maupun kikir perangai. Dan
sebagai jalan keluarnya Al-quran menawarkan pendekatan keimanan
kepada para suami agar mereka mampu mengalahkan tabiat kikir
dalam hal beri - memberi terhadap sang istri. Firman Allah SWT
dalam Q.S An-nisa : 128.

65
‫َوإِن حُتْ ِسنُوا َوَتَّت ُقوا فَِإ َّن اهللَ َكا َن مِب َا َت ْع َملُو َن َخبِ ًريا‬

Artinya :
“Dan jika kamu menggauli istrimu dengan baik dan memerihara
dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya allah
SWT maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Jika usaha-usaha tersebut tidak mampu untuk bisa mengokohkan
hubungan keduanya, maka jalan ( talaq ) adalah jalan baik. Islam
tidak ingin membelenggu perkawinan dengan rantai dan tali - tali
yang menyulitkan. Akan tetapi Islam juga mengikatnya dengan cinta
kasih dan pertolongan. Firman allah SWT dalam Q.S An-nisa. : 130,
ِ ِ ِِ ِ
ً ‫ن اهللُ ُكالًّ ِّمن َس َعته َو َكا َن اهللُ َواس ًعا َحك‬$ِ ‫َوإن َيَت َفَّرقَا يُ ْغ‬
‫يما‬
Artinya :
“jika keduanya bercerai, maka allah SWT akan memberi
kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunianya. Dan
adalah maha luas ( karunianya ) lagi maha bijaksana.
B. Syiqaq
1. Pengertian Syiqaq
Menurut U. Dedih dalam bukunya fiqih munakaht dan
mawaris. Syiqaq berarti perselisihan. Menurut istilah fiqih berarti
perselisihan antara suami istri yang diselasaikan dua orang hakam,
yaitu seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari
pihak istri. Menurut Jumhur ulama mengatakan bahwa kedua
orang hakam itu tidak dipersyaratkan dari keluarga kedua belah
pihak, namun sebaiknya dari keduanya dari pihak keluarga, karena
dianggap lebih saying dan lebih mengetahui persoalan disbanding
dengan yang lainnya.

66
Menurut Rahman dalam bukunya perkawinan dalam syariat
Islam (1996:85). Syiqaq adalah putusnya ikatan perkawinan. Hal
tersebut mungkin timbul disebabkan oleh perilaku dari salah satu
pihak. Bila salah satu pihak dari pasangan suami istri itu bersifat
butuk, atau salah satunya bersikap kejam kepada yang lainnya,
atau seperti yang kadang kala terjadi, mereka tak dapat hidup
rukun dalam satu keluarga. Maka dalam kasus ini syiqaq lebih
mungkin terjadi, namun ia tetap akan tergantung pada kedua belah
piha, apakah mereka akan memutuskannya ataukah tidak.
Perceraian akan selalu terjadi bila salah satu pihak merasa
mustahil untuk mempertahankan ikatan perkawinan itu dan
terpaksa memutuskannya.
2. Dasar Hukum
Firman Allah SWT surah An-Nisa ayat 35 :
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara
keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki
dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang
hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah
memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Berdasarkan ayat di atas, maka apabila terjadi perselisihan
tidak semestinya langsung mengajukan perceraian, tetapi harus
ditempuh berbagai cara yang dapat mendamaikan dengan
mendatangkan hakim dari pihak keluarga. Jika hakim keluarga
tidak dapat menyelesaikan perkaranya baru kemudian diajukan ke
hakim peradilan.
3. Sebab-Sebab Timbulnya Syiqaq

67
Adapula kemungkinan timbulnya kasus dimana suami
dipenjarakan seumur hidup dalam jangka waktu yang lama, atau
dia hilang dan tidak diperoleh kabar apapun tentangnya, atau dia
dipasung sepanjang hayatnya, sehingga tak mampu memberi
napkah pada istrinya, maka dalam keadaan demikian dapat terjadi
syiqaq kalau istri menginginkan perceraian, tetapi kalau tidak
maka ikatan perkawinan itu tetap berlangsung. Sebaliknya, kalau
dengan cara yang serupa itu, suami merasa tersinggung dan sakit
hati, maka dia berhak untuk mengawini istri yang lain.
Bila salah seorang dari pasangan itu murtad, keluar dari Islam
maka secara hukum perkawinan itu dapat dipisahkan dengan
perceraian. Tetapi berdasarkan pendapat para ulama lain,
perkawinan itu secara otomatis ada perceraian. Sedangkan jika
suatu pasangan bukan muslim, lalu memeluk Islam maka
perkawinanan mereka dapat diteruskan. Namun hanya seorang
dari mereka yang menerima Islam, maka perkawinannya dapat
dipisahkan walau tanpa perceraian.
Bila istri yang memeluk Islam lalu perkawinannya batal dan
dia mulai melakukan masa iddah, kemudian andaikan bekas
suaminya itu ikut memeluk Islam selama masa iddahnya itu, maka
suaminya lah yang berhak menikahinya. Jika suaminya memeluk
Islam, sedangkan istrinya seorang yahudi atau nasrani, maka
suaminya boleh mengizinkan istrinya untuk tetap menganut
agamanya. Tetapi bila suami menerima Islam sedangkan istrinya
seorang tukang sihir, lalu dia juga segara memeluk Islam
mengikuti suaminya, maka mereka dapat terus berdampingan

68
sebagai suami istri, namun wanitanya tidak menerima Islam, maka
segera saja pernikahan mereka bubar.

C. Ila'
1. Pengertian Ila’.
Ila’ menurut bahasa artinya bersumpah takkan melakukan
sesuatu, sedangkan menurut syara’ yang dimaksud ila’ ialah
bersumpah takkan menyetubuhi istri.
Menurut Rijal ( 1997 : 250 ) ila’ adalah sumpah suami untuk
tidak menggauli istrinya dalam waktu selama empat bulan atau
tanpa ditentukan.
Menurut Hakim dalam bukunya hukum perkawinan Islam
( 2000 : 180 ) ila adalah sumpah suami untuk tidak melakukan
hubungan seksual dengan istrinya. Perbuatan ini adalah kebiasaan
jaman jahiliyah untuk menyusahkan istrinya selama satu tahun
atau dua tahun. Perbuatan ini tentu akan menyiksa istrinya dan
menjadikan statusnya menjadi tidak jelas, yaitu hidup tanpa suami,
namun juga tidak dicerai.
Menurut Rasjid dalam bukunya fiqih Islam ( 1996 : 410 ) ila
artinya sumpah suami tidak akan mencampuri istrinya dalam masa
lebih dari empat bulan atau tidak menyebutkan jangka waktunya.
Apabila seorang suami bersumpah sebagaimana sumpah
tersebut, hendaklah ditunggu selama empat bulan. Kalau dia
kembali baik kepada istrinya, sebelum sampai empat bulan, dia
diwajibkan membayar denda sumpah ( kaparat ) saja. Tetapi
sampai empat bulan dia tidak kembali baik dengan istrinya, hakim
berhak menyuruhnya memilih dua perkara, yaitu membayar

69
kaparat sumpah serta berbuat baik pada istrinya, atau menalak
istrinya. Kalau suami itu tidak mau menjalani salah satu dari
kedua perkara tersebut, hakim berhak menceraikan mereka secara
terpaksa.
Sebagian ulama berpendapat, apabila sampai empat bulan
suami tidak kembali ( tidak campur ), maka dengan sendirinya
kepada istri itu jatuh talak bain, tidak perlu dikemukakan kepada
hakim.
Firman allah SWT dalam Q.S Al-baqarah ayat 226-227
Artinya :
“ Kepada orang-orang yang mengila’ istrinya diberi tangguh
empat bulan (lamanya) kemudian jika mereka kembali (kepada
istrinya), maka sesungguhnya Allah SWT maha pengampun lagi
maha penyayang. Dan jika mereka berazam (bertetap hari untuk)
talak, maka sesungguhnya Allah SWT maha mendengar lagi maha
mengetahui.”
Pada hakikatnya ila’ merupakan suatu bentuk perceraian sebagai
akibat dari sumpah suami yang mengatkan bahwa ia (suami) tidak
akan menggauli istrinya (telah terjadi ila’), maka suami diberi
kesempatan du hal dalam jangka waktu empat bulan. Dua hal yang
pikirkan tadi adalah:
a. Rujuk dengan istri
Apabila memelih rujuk, maka suami wajib membayar kifarat
sebagai denda sumpah sesuai dengan ketentuan syariat islam,
yaitu:
 Memberi makan 10 fakir miskin sesuai dengan porsi makan
mereka

70
 Memberi pakaian 10 fakir miskin
 Memerdekan seorang hamba sahaya (budak)
 Puasa selama tiga hari berturut-turut
b. Mentalak istri
Kalau suami setelah 4 bulan tidak dapat menetukan di antara dua
kemungkinan tersebut, dalam hal ini ulama berbeda pendapat,
yaitu menurut Imam Hambali sebagai berikut:
 Berarti istri telah tertalaq, talaqnya dihitung satu
 Dapat rujuk kembali dengan membayar kifarat.
Sedangkan, menurut Imam Syafi’I, sebagai berikut:
 Istri belum tertalaq
 Istri tertalaq, kalau memlalui proses penjatuhan talaq seperti
biasanya melalui hakim. Talaqnya dihitung talaq satu
 Dapat rujuk dan nikah lagi dengan membayar kifarat serta
memenuhi syarat-syarat rujuk dan nikah seperti biasanya.
2. Hukum Ila’ dan Dasar Hukum
Menurut Amir Syariffudin dalam buku hokum Perkawinan
Islam di Indonesia, mengemukakan dalam pandangan Islam Ila’
merupakan perbuatan yang terlarang karena menyalahi hakikat
dari perkawinan untuk mendapatkan ketenangan hidup, kasih
saying, dan rahmat. Tingkat dosa bagi yang mengila’kan istrinya
merupakan dosa besar menurut ulama Syafi’iyah, sedangkan
menurut ulama lain diantaranya al-Khatib berpendapat dosa
orang yang mengila istri itu adalah dosa kecil.
Ila’ itu semacam sumpah dengan menggunakan nama Allah.
Seandainya dia melakukan apa yang disumpahkannya itu dia

71
menanggung resiko yang berat dalam bentuk tuntutan Allah
membayar kifarat. Hal ini dinyatakan dalam surat Al-Maidah
ayat 89 :
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-
sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia
menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu
sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi
Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa
kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada
mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak
sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa
selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-
sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan
jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu
hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).”
Dalam hadits Nabi ditemukan kisah yang Nabi sendiri
pernah meng-ila’ istrinya, sebagaimana terdapat dalam hadits
dari Aisyah menurut riwayat at-Tirmidzi yang dikeluarkan oleh
al-Shan’any dalam subul as-Salam, bahkan menurut hadits ini
menunjukkan bolehnya sumpah tidak menggauli istri. Bunyi
hadits tersebut adalah :
‫آلى رسول هللا صلى هللا عليه وسلم من نسائه وحرم وجع``ل الح``رام حالال وجع``ل لليمين‬
‫كفار̀ة‬
Nabi saw pernah mengila’ satu di antara istrinya dan
mengharamkannya (untuk digauli) dan dijadikan yang haram
menjadi halal dan menjadikan untuk sumpah itu kaffarat.

72
Namun bila dihubungkan dengan dalil-dalil yang disebutkan di
atas, maka hadits tersebut bila memang kuat untuk dijadikan dalil,
maka demikian adalah merupakan kekhususan bagi Nabi dan tidak
berlaku untuk umatnya.
3. Cara Kembali dari Sumpah Ila’
Mengenai cara kembali dari sumpah ila’ yang tersebut dalam
ayat di atas ada tiga pendapat :
 Kembali dengan mencampuri istrinya itu, berarti mencabut
sumpah dengan melanggar ( berbuat ) sesuatu yang menurut
sumpahnya tidak akan diperbuatnya. Apabila habis masa
empat bulan ia tidak mencampuri istrinya itu, maka dengan
sendirinya kepada istrinya itu jatuh talaq bain.
 Kembali dengan campur jika tidak ada halangan. Tetapi jika
ada halangan boleh dengan lisan atau dengan niat saja.
 Cukup kembali dengan lisan, baik ketika berhalangan atau
tidak.
Ila’ ini pada jaman jahiliyah berlaku menjadi talak, kemudian
diharamkan oleh agama Islam.
Dijaman jahiliyah laki-laki sudah terbiasa bersumpah untuk
tidak menyentuh istrinya setahun atau bahkan dua tahun. Dan
kebanyakan dengan tujuan menyiksa Istri mereka dibiarkan begitu
saja tidak diurusi.
Jadi bersuami tidak, diceraikan juga tidak. Maka dengan
rahmat-Nya, Allah SWT hendak membatasi perbuatan ini yang
tidak peri kemanusiaan, lalu diberikan tempo selama empat bulan.
Biarlah selama empat bulan itu laki-laki melampiaskan
kejengkelannya sepuas-puasnya, barang kali dia kemudian malah

73
menjadi sadar kembali. Kalau ditengah itu atau diakhir masa
penangguhan itu dia sadar, maka boleh dia melanggar sumpahnya
dengan menggauli istrinya, lalu bayarlah kiparat buat penembus
sumpahnya. Kalau tidak, maka ia wajib menceraikan istrinya.
Apabila seorang suami telah bersumpah takkan mendekati
istrinya. Akan tetapi selagi belum habis masa empat bulan, dia
telah menyetubuhinya, maka dengan sendirinya ila’ pun selesailah
urusanya. Laki-laki itu tinggal membayar kiparat sumpah.
Beberapa pendapat jikalau masa empat bulan itu telah lewat,
dan laki-laki itu tetap tidak menggauli istrinya, maka menurut
• Jumhur ulama, istrinya menuntut untuk bersetubuh atau
diceraikan. Akan tetapi suaminya menolak maka jumhur ulama
berpendapat bahwa hakim diperkenankan menceraikan laki-laki
itu dari istrinya, demi menjaga wanita itu dari bahaya.
• Ulama ahmad, asy-syafi’I dan para ulama ahlu zhahir, hakim itu
tetap belum boleh menceraikan mereka, tapi suami itu boleh
didesak dan ditahan sampai dia menceraikan sendiri istrinya.
• Ulama hanafi, apabila masa empat bulan itu lewat, sedangkan
suami belum juga mengumpuli istrinya, maka dengan sendirinya
istri itu telah dicerai secara bain, begitu masa penangguhan habis.
Dan suami itu tidak berhak lagi rujuk kepadanya, karena dia telah
menyia-nyiakan haknya sendiri kenapa tidak mau menggauli
istrinya tanpa udzur yang berarti dia tidak menghargai haknya
sendiri sebagai suami, disamping dzalim terhadap istrinya.
4. Sebab-Sebab Terjadinya Ila’
Adapula kemungkinan terjadinya ila’ disebabkan sebagai berikut:

74
 Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabukj, penjudi
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
 Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selam dua tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah
atau karena hal lain di luar kemampuannya.
 Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung
 Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan
berat yang membahayakan pihak lain
 Salah satu pihat mendapat cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami
istri.
 Antar suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi
dalam rumah tangga.
D. Fungsi Hakim dalam Penyelesaiannya
1. Fungsi Hakim dalam Menyikapi Nusyuz
a. Apabila terjadi nusyuz dari pihak istri
Adapun petunjuk mengenai langkah-langkah menghadapi istri
melakukan nusyuz, tercantum dalam firman Allah SWT surat an-
Nisa ayat 34 :
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur
mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu,
Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar”.

75
Petunjuk tersebut apabila dirinci, dapat dikemukakan sebagai
berikut:
 Istri diberi nasihat tentang berbagai kemungkinan negative dan
positifnya dari tindakkannya itu.
 Apabila langkah pertama berupa nasihat tidak berhasil, langkah
kedua adalah memindahkan tempat tidur istri dari tempat tidur
suami, meski masih dalam satu rumah.
 Apabila langkah kedua belum mengalami perubahan pad istri,
maka langkah ketiga adalah memberi pelajaran atau dalam bahasa
al-Quran memukulnya. Dalam artian untuk mendidik.
b. Apabila terjadi nusyuz dari pihak suami
Apabila terjadi nusyuz dari pihak suami tercantum dalam
firman Allah surah an-Nisa ayat 128 :
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap
tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya
Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian
itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut
tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara
baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh),
Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan.”
Jalan yang ditempuh apabila suami nusyuz seperti acuh tak
acuh, tidak mau menggauli dan tidak memenuhi haknya, maka
upaya perdamaian bisa dilakukan dengan cara istri merelakan
haknya dikurangi untuk sementara kembali kepada istrinya
dengan baik.
2. Fungsi Hakim dalam Mengatasi Syiqaq

76
Firman Allah SWT surah An-Nisa ayat 35 :
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara
keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki
dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang
hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah
memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Yang dimaksud dengan hakam dalam ayat tersebut adalah
seorang yang bijak yang dapat menjadi pencegah dalam
menghadapi konflik keluarga tersebut.
Secara kronologis Ibnu Qudamah menjelaskan langkah-
langkah dalam menghadapi konflik tersebut, sebagai berikut:
 Hakim mempelajari dan meneliti sebab terjadinya konflik
tersebut. Bila ditemui penyebabnya adalah karena nusyuznya
istri atau suami atau keduanya, maka datangkanlah orang
yang disegani dan yang berwibawa untuk menasehatinya.
 Bila langkah-langkah tersebut tidak mendatangkan hasil,
maka hakim menunjuk seorang dari pihak suami dan seorang
dari pihak istri dengan tugas menyelesaikan konflik tersebut.
3. Fungsi Hakim dalam Permasalahan I’la
Apabila suami menolak dua pilihan setelah habis mas
tenggang yaitu kembali kepada istrinya atau menceraikannya.
Maka menurut Imam Malik, atas pengaduan istri, hakim akan
menceraikan mereka untuk menghindari kesewenangan suami
yang lelah membuat istri tersiksa berkepanjangan.
Menurut imam Syafi’I talaq yang jatuh karena ila’ merupakan
talaq ruju setelah tidak ada dalilnya. Di samping itu talaq yang

77
terjadi setelah istri di dukhul dan tidak ada pengembalian sejumlah
harta oleh pihak istri.
Sedang menurut imam Abu Hanifa, talaq tersebut termasuk
ba’in kalau talaqnya dianggap ruju’, suami mempunyai karena
ruju’ adalah hak suami. Dan hal ini menyebabkan kemaslahatan
istri tidak terjamin, tidak menghilangkan kemadharatan yang
diderita pihak istri. Hal ini memungkinkan suami melakukan hal
ini berulang-ulang karena adanya ruju’

L. Masalah Thalaq, idah dan Ruju
1. Talak
a. Pengertian Talak
Kata talak sebagaimana dijelaskan oleh Saleh Al-Fauzan dalam
bukunya, Fiqih Sehari-hari, diambil dari bahasa Arab yaitu at-
Takhaliyatu yang artinya melepas atau pelepasan.
Sedangkan Talak menurut istilah agama, Sayyid Sabiq dalam
kitab Fiqih Sunnah, mendefinisikannya sebagai berikut:
“talak artinya melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya
hubungan perkawinan.”
b. Hukum Talak
Hukum talak berubah-ubah sesuai dengan kondisi dan situasinya,
menurut Mahmud Yunus, hukum talak ada lima, yaitu wajib,
makruh, mubah (boleh), sunat dan haram.
Dari beberapa pendapat tersebut, Sayyid Sabiq menyatakan
pendapat yang paling benar adalah yang mengatakan “terlarang
(makruh)”, kecuali karena alasan yang benar. Adapun golongan yang

78
berpendapat seperti ini adalah golongan Hanafi dan Hambali,
mereka melandaskan hal ini pada hadis Rasullullah SAW. :
“Rasullullah SAW. Bersabda: “Allah melaknat tiap-tiap orang
yang suka merasai dan bercerai.” (maksutnya suka kawin dan cerai)”
Maksutnya adalah, hukum talak menjadi makruh apabila tidak
dibutuhkan atau tidak ada hal-hal yang menyebabkan talak itu harus
dilakukan. Misalnya, kondisi suami istri tersebut dalam keadaan
yang stabil, sakinah, mawaddah warahmah dan tidak ada perubahan
atau permasalahan yang mengkhawatirkan. Bahkan sebagian ulama
mengatakan talak diharamkan dalam kondisi seperti ini, hal ini
didasarkan pada hadis Nabi SAW. :
“Sesuatu yang halal yang paling dibenci Allah adalah talak.”
(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Nabi SAW. mengatakan hal ini sebagai perbuatan yang halal,
tetapi sangat dibencii oleh Allah SWT. ini menunjukkan bahwa
dalam kondisi seperti ini hukum talak itu makruh meskipun asalnya
mubah. Hal ini dikarenakan talak dalam kondisi seperti ini bisa
menghilangkan hubungan pernikahan yang sebenarnya didalamnya
terdapat kebaikan-kebaikan hubungan rumah tangga yang dianjurkan
oleh syari’at Islam.
Adapun hukum talak menjadi sunah apabila talak sangat
dibutuhkan, demi mempertahankan pernikahan dari sesuatu yang
bisa membahayakan hubungan seorang suami dengan seorang istri.
Misalnya terjadi perselisihan yang menyebabkan salah seorang
diantara mereka menyimpan dendam atau menyimpan rasa benci
terhadap yang lainnya, tentunya hal ini akan sangat merugikan dan
membahayakan bagi mereka. Sabda Nabi Muhammad SAW.:“Tidak

79
boleh merugikan diri sendiri dan tidak boleh juga merugikan orang
lain.”
Hukum talak menjadi mubah (boleh) apabila suami
membutuhkan hal tersebut dikarenakan buruknya akhlak sang istri
yang hal tersebut bisa membawa bahaya keluarga yang dibinanya.[6]
Karena dengan kondisi seperti ini akan sulit mencapai tujuan
pernikahan yang sesungguhnya. Apalagi jika pernikahan tersebut
tetap dipertahankan.
Talak hukumnya juga bisa menjadi wajib, yaitu talak yang
dijatuhkan oleh hakam ( penengah ), hal ini dikarenakan perpecahan
antara suami istri yang sudah berat, sebagaimana dijelaskan oleh
Sayyid Sabiq, yaitu jika hakam berpendapat bahwa tatkala jalan
satu-satunya untuk menghentikan perpecahan adalah talak.Misalnya,
istri sering meninggal- kan sholat atau menunda-nunda waktu
sholatnya, sedangkan ia tidak bisa lagi untuk dinasehati, atau jika
seorang istri tidak bisa menjaga kehormatannya lagi, maka suami
wajib mentalak (menceraikannya) demi menjaga kemaslhahatan
rumah tangganya. Demikian juga apabila suami tidak dapat
istiqamah dalam agamanya atau sampai kehilangan aganya, maka
seorang istri wajib menuntut cerai dari suaminya atau menceraikan
dirinya dengan khulu’ atau fidyah.
Yang terakhir, talak hukumnya bisa menjadi haram ketika talak
dilakukan tanpa adanya alasan apapun. Yaitu, tidak ada tujuan baik
dan kemaslahatan apapun yang ingin dicapai dari talak tersebut.
Talak juga haram dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya
yang sedang haid, nifas atau saat istrinya dalam keadaan suci tapi
belum pasti kalau dia tidak hamil.

80
c. Macam-macam Talak
Mahmud Yunus dalam bukunya, Hukum Perkawinan Dalam Islam,
menjelaskan secara lengkap macam-macam talak, yang pada intinya
adalah sebagai berikut:
 Talak Raj’i
Talak raj’i adalah talak yang boleh suami rujuk kembali kepada
bekas istrinya dengan tidak perlu melakukan perkawinan baru dan
masih dalam masa iddah sang istri, seperti talak satu dan talak dua
yang tidak disertai dengan uang (iwad) dari pihak istri.
 Talak Ba’in
Talak ba’in adalah talak yang tidak boleh dirujuki kembali oleh
seorang suami kepada bekas istrinya, kecuali dengan akad nikah
baru.
 Talak ba’in kecil
Talak ba’in kecil adalah talak satu dan talak dua yang disertai
dengan uang (iwad) yang diberikan oleh pihak istri kepada suami.
Selain itu, suami yang menjatuhkan talak kepada istrinya yang
belum dicampuri, juga termasuk talak ba’in kecil.
Jika talak ba’in kecil ini telah terjadi dan ingin rujuk kembali,
maka harus menikah dengan akad nikah yang baru.
 Talak ba’in besar
Talak ba’in besar adalah talak tiga. Suami yang menjatuh- kan
talak tiga kepada istrinya, tidak boleh rujuk kembali dengan bekas
istrinya, kecuali bekas istrinya itu telah menikah dengan laki-laki
lain, serta telah bersetubuh, bercerai dan telah habis masa iddahnya.
d. Kewajiban-kewajiban Suami kepada Istri yang ditalak

81
Seorang suami yang telah menceraikan istrinya, mempunyai
kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi, bahkan menurut
Mahmud Yunus, jika kewajiban-kewajiban tersebut tidak dipenuhi,
maka bekas istrinya dapat mengajukan tuntutan kepada
Hakim.Adapun kewajiban-kewajiban tersebut adalah sebagai berikut
:
1) Memberikan mut’ah (pemberian untuk menggembirakan hati)
yang pantas kepada bekas istrinya, baik berupa benda atau uang.
2) Memberi nafkah atau pakaian dan tempat tinggal selama bekas
istrinya dalam masa iddah.
3) Membayar atau melunasi mas kawin apabila belum di bayar
atau belum dilunasi.
4) Memberi belanja untuk pemeliharaan dan kewajiban bagi
pendidikan anak-anaknya menurut batas kesanggupannya,
sampai anak-anaknya itu baligh lagi berakal dan mempunyai
penghasilan.
2. Iddah
Pengertian Iddah
Salah satu pengaruh dari perceraian adalah adanya masa iddah,
yakni masa penantian yang telah ditentukan waktunya dalam
syari’at.
Iddah berasal dari bahasa arab adad yang artinya menghitung.
Maksutnya, seorang perempuan (istri) menghitung hari-harinya dan
masa bersihnya.
Iddah dalam istilah agama adalah masa lamanya bagi
perempuan (istri) menunggu dan tidak boleh menikah setelah
kematian suaminya atau setelah pisah ( cerai ) dari suaminya,kecuali

82
bagi istri yang belum dicampuri, ia tidak diberikan iddah sama
sekali,sehingga setelah perpisahan ( perceraian) berlangsung,
seorang istri yang belum dicampuri boleh menikah lagi.
Allah SWT. menegaskan masalah iddah ini dengan firmannya
pada teks Al- Qur’an surah Al-Baqarah : 288
ٍ ‫والْمطَلَّ َقات يتربَّصن بِأَْن ُف ِس ِه َّن ثَالَثَةَ ُقر‬....
‫وء‬ ُ َ ْ َ ََ ُ ُ َ
Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'…. (Al baqarah : 288)
Allah juga berfirman da;am Al-Qur’an Surah Ath-Thalaq : 4
‫ت‬ ْ ِ‫ ُه ٍر َواالَّئِى مَلْ حَي‬$ ‫ أَ ْش‬$ُ‫ة‬$ َ‫د ُت ُه َّن ثَالَث‬$َّ $ِ‫م فَع‬$ْ ُ‫آئِ ُك ْم إِ ِن ْارَتْبت‬$ ‫يض ِمن نِّ َس‬
ُ َ‫ َن َوأ ُْوال‬$ ‫ض‬ ِ ‫ َن ِم َن الْ َم ِح‬$ ‫َواالَّئِى يَئِ ْس‬
}4{ ‫َّق اهللَ جَيْ َعل لَّهُ ِم ْن أ َْم ِر ِه يُ ْسًرا‬$ِ ‫ن مِح ْلَ ُه َّن َو َمن َيت‬$َ ‫ض ْع‬ َ َ‫َجلُ ُه َّن أَن ي‬ ِ
َ ‫اْألَمْح َال أ‬
Artinya : “Dan perempuan-perempuan yang putus asa dari haid di
antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa
iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula)
perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan
yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya. Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya
Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS. 65:4)
Macam-macam iddah (waktu menunggu) bagi wanita
1) Bagi seorang istri yang masih berhaid, masa iddahnya adalah
tiga kali suci. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Mahmud Yunus
dalam bukunya, Hukum Perkawinan Dalam Islam, yakni, seorang istri
yang masih muda dan berhaid tiap-tiap bulan, bila diceraikan oleh
suaminya maka iddahnya tiga kali suci menurut Syafi’I dan Maliki,
dan tiga kali haid menurut Hanafi dan Hambali.[18]

83
2) Bagi seorang istri yang sudah tidak haid atau masih belum haid,
masa iddahnya adalah tiga bulan. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh
Sulaiman Rasyid, yakni seorang istri yang masih kecil dan belum haid
atau seorang istri yang telah putus haid maka masa iddahnya tiga
bulan.
3) Bagi seorang istri yang sedang hamil, masa iddahnya sampai
melahirkan anaknya,meskipun dalam beberapa hari saja, dalam hal ini
Mahmud Yunus menegaskan bahwa para ulama telah sepakat tentang
hal ini sebagaimana firman Allah SWT. :

“… istri-istri yang hamil iddahnya sampai melahirkan


kandungannya…” (QS. Ath-Thalaq :4)
4) Seorang istri yang ditinggal mati suaminya, Saleh Al Fauzan
menjelaskan, bila seorang istri tersebut tidak sedang hamil, maka
masa iddahnya empat bulan sepuluh hari baik ia sudah digauli
maupun belum digauli. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT :
ِ ِ ِ َّ‫ َذرو َن أ َْزواجا يَترب‬$ ‫والَّ ِذين يَتو َّفو َن ِمن ُكم وي‬
َ ‫إ َذا َبلَ ْغ َن أ‬$ َ‫ًرا ف‬$ ‫ ُه ٍر َو َع ْش‬$ ‫ أَ ْش‬$َ‫ة‬$ ‫ ِه َّن أ َْر َب َع‬$ ‫ن بأَن ُفس‬$َ $ ‫ص‬
‫َجلَ ُه َّن‬ ْ ََ ً َ ُ ََ ْ ْ َُ َ َ
‫مِب‬ ِ ِ
}234{ ُُ‫يما َف َع ْل َن يِف أَن ُفس ِه َّن بِالْ َم ْعُروف َواهللُ َا َت ْع َملُو َن َخبِري‬ ِ
َ ‫اح َعلَْي ُك ْم ف‬
َ َ‫فَالَ ُجن‬
Artinya : “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan
dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah
habis masa 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu(para wali)
memberiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang
patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. 2:234)
Dan jika seorang istri tersebut sedang dalam keadaan hamil,
maka masa iddahnya sampai ia melahirkan anaknya, meskipun kurang
dari empat bulan sepuluh hari maupun lebih.[21]

84
Ketentuan-ketentuan yang berlaku selama masa iddah
Menurut Mahmud Yunus, dalam bukunya Hukum-Hukum
Perkawinan Dalam Islam, ada beberapa ketentuan-ketentuan yang
berlaku selama masa iddah menurut mazhab yang empat dan para
ulama, yaitu sebagai berikut:
1) Istri yang ditalak dengan talak raj’I, berhak mendapat nafkah,
pakaian dan tempat kediaman dari bekas suaminya. Dan bekas
suaminya berhak rujuk kepadanya. Sebagaimana sabda Nabi SAW :
“Hanya nafkah dan kediaman untuk perempuan yang boleh dirujuk
oleh suaminya” (HR. Ahmad dan Nasa’i)
2) Istri hamil yang ditalak dengan talak ba’in, berhak mendapat
nafkah dengan segala macamnya, hingga lahir anaknya. Sebagaimana
firman Allah SWT :
“Kalau mereka itu hamil, maka berilah nafkah kepada mereka, hingga
mereka melahirkan anaknya.”(Ath –Thalaq :6)
3) Istri yang tidak hamil dan ditalak dengan talak ba’in, tidak
berhak mendapat nafkah menurut Syafi’I, Maliki dan Hambali hal ini
didasarkan pada sabda Nabi SAW tentang perempuan yang ditalak
tiga, yakni :
“Tidak ada untuknya tempat kediaman, dan tidak pula nafkah.” (HR.
Ahmad dan Muslim)
4) Istri yang dalam iddah karena kematian suaminya, tidak berhak
mendapat nafkah. Hal ini sebagaimana sabda Nabi SAW :
“Tiadalah mendapat nafkah perempuan hamil yang kematian
suaminya” (HR. Dzar Qathan dengan sanad shahih)

85
5) Istri yang ditalak sebelum dicampuri tidak ada masa iddahnya
sama sekali dan boleh menikah dengan laki-laki lain setelah
diceraikan istrinya. Sebagaimana firman Allah SWT :
Artinya : “Hai orang-orang mukmin, apabila kamu berkawin kepada
perempuan-perempuan mukminat, kemudian kamu talak mereka
sebelum kamu campuri, maka tiadalah mereka itu beriddah.” (QS. Al
Ahzab :49)
Hikmah Disyari’atkannya Iddah
Istri yang diceraikan suaminya sesudah dicampurinya harus beriddah
terlebih dahulu. Adapun hikmah dari disyari’atkannya iddah ini
adalah sebagai berikut :
1) Hikmah yang pertama atas disyari’atkannya iddah ini menurut
Saleh Al Fauzan adalah untuk mengetahui keadaan rahim sang istri,
apakah ia sedang mengandung atau tidak.[23] Hal ini agar tidak
terjadi percampuran benih dengan yang lainnya.
2) Saleh Al Fauzan melanjutkan, hikmah kedua iddah adalah
memberikan kesempatan kepada suami yang menceraikan istrinya
untuk kembali lagi kepada istrinya, jika ia menyesali perbuatanyya
tersebut.
3) Hikmah Iddah selanjutnya dijelaskan oleh Mahmud Yunus yaitu
bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada kedua suami istri
untuk saling mengintrospeksi diri,[24] sehingga jika kedua belah
pihak ingin rukuk kembali, maka akan dapat membangun kembali
rumah tangganya menjadi lebih baik.
3. Rujuk
Pengertian Rujuk

86
Rujuk adalah upaya suami berbaikan dengan istrinya dimasa
iddah,yakni kembali kepada wanita yang telah diceraikan, bukan
dengan talak ba’in, hingga hubungan suami istri seperti biasanya
tanpa diikuti dengan akad nikah baru, rujuk dapat terlaksana dengan
ucapan dan perbuatan.
Rujuk merupakan hak suami, suami berhak kembali kepada
istrinya baik istrinya suka maupun tidak suka, hal ini sebagaimana
dijelaskan oleh Abd. al-‘Adzim Ma’ani & Ahmad al-Ghundur dalam
buku Hukum-Hukum dari Al-Qur’an dan Hadis yang menerangkan
bahwa rujuk merupakan hak mutlak suami dan tidak diharuskan
adanya kerelaan dari istrinya.Hal ini sebagaimana firman Allah SWT.
dalam teks Al-Qur’an Surah Al-Baqarah : 228
‫اخلَ َق اهللُ يِف أ َْر َح ِام ِه َّن إِن ُك َّن‬ ِ ٍ ِ
َ ‫ ُقُروء َوالَحَي ُّل هَلُ َّن أَن يَكْتُ ْم َن َم‬$َ‫ن بِأَْن ُفس ِه َّن ثَالَثَة‬$َ ‫ص‬ ْ َّ‫ات َيَتَرب‬ ُ ‫َوالْ ُمطَلَّ َق‬
‫ل الَّ ِذي‬$ُ $ ْ‫الَ ًحا َوهَلُ َّن ِمث‬$ $‫ص‬ ِ ِ
َ $ ‫ر ِّده َّن يِف ذَل‬$َ$ ِ‫ق ب‬$ُّ $‫َح‬
ْ ِ‫ك إِ ْن أ ََر ُادوا إ‬$ $ِ ‫وِم اْأل‬$ْ $ ‫اهلل َوالَْي‬
َ ‫ولَُت ُه َّن أ‬$$ ُ‫ ِر َوبُع‬$‫َخ‬
ِ ِ‫ؤ ِم َّن ب‬$ْ $ ‫ي‬
ُ
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
}228{ ‫يم‬ ٌ ‫َعلَْيه َّن بالْ َم ْعُروف َول ِّلر َجال َعلَْيه َّن َد َر َجةٌ َواهللُ َع ِز ٌيز َحك‬
Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan
apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman
kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak
merujuknya dalam masa menanti itu jika mereka (para suami) itu
menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para
suami, mempunyai saru tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. 2:228)
Syarat-syarat sahnya Rujuk
1. Talak yang dijatuhkan belum melampaui batas yang ditentukan, yakni
lebih dari tiga bagi laki-laki merdeka dan lebih dari dua kali bagi

87
budak laki-laki. Jika sudah sampai batas tersebut, maka laki-laki tidak
boleh merujuk kembali istrinya sebelum istrinya menikah dengan
orang lain.
2. Istri yang diceraikan sudah pernah digauli. Jika suami menceraikan
sebelum digauli maka ia tidak boleh merujuk san istri. Karena istri
yang diceraikan sebelum digauli tidak mempunyai masa iddah,
sebagaimana firman Allah SWT,“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman,
kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya
maka sekali-kali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu
minta menyempurnakannya, Maka berilah mereka mut'ah dan
lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.” (QS. Al-
Ahzab:49)
3. Talak tersebut bukan talak dengan ganti ( khulu’ ). Jika talak tersebut
dengan membayar ganti, maka suami tidak berhak rujuk kembali
kecuali dengan akad nikah yang baru dan dengan ridha sang istri.
4. Nikah yang terjalin adalah nikah yang sah. Jika suami menatuhkan
talak kepada istrinya yang dinikahi dengan cara tidak sah maka tidak
boleh rujuk diantara mereka, yakni tidak boleh kembali setelah
terjadinya talak.
5. Rujuk tersebut terjadi saat masa iddah, sebagaimana firman Allah
SWT dalam teks Al-Qur’an surah Al-baqarah:228
6. Rujuk itu terlaksana dengan bebas tanpa syarat. Tidak sah suatu rujuk
jika disertai syarat-syarat tertentu.
Hikmah Disyari’atkannya Rujuk
Segala sesuatu yang disyari’atkan oleh agama Islam pasti mempunyai
hikmah tertentu, adapun hikmah rujuk menurut Saleh Al Fauzan

88
adalah untuk memberikan kesempatan kepada suami untuk
introspeksi diri,jika ia menyesali perceraiannya dan ingin memulai
hubungan baru lagi dengan istrinya, maka masih ada kesempatan
yang terbuka baginya. Hal ini merupakan rahmat dan kasih saying
Allah SWT kepada hamba-Nya.

M. Sebab , syarat dan halangan Pewarisan


A. Sebab-sebab Kewarisan
Menurut jumhurul ulama, sebab-sebab seseorang dapat
mewarisi harta orang yang meninggal dunia ada 3 (tiga), yakni
kekerabatan/nasab, pernikahan, dan wala’ (memerdekakan budak).
Di samping ketiga sebab tersebut, para ulama Syafi’iyah dan ulama
Malikiyah juga memberi tambahan satu sebab, yaitu Jihatul maal.
Untuk ulasan lebih rinci akan dipaparkan sebagai berikut.
1. Kekerabatan/Nasab
Seseorang dapat memperoleh harta warisan atau menjadi ahli waris
salah satunya disebabkan karena adanya hubungan
kekerabatan/nasab dengan si pewaris (muwarrits). Hal ini
ditegaskan Allah SWT melalui firman-Nya dalam QS. Al-Anfal
ayat 75.
Artinya: “Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang
bukan kerabat), di dalam kitab Allah. Sesungguhnya allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.”

89
Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang yang
mewariskan (si pewaris) dengan orang yang mewarisi (ahli waris)
yang disebabkan oleh kelahiran. Kekerabatan merupakan sebab
adanya hak mempusakai yang paling kuat karena kekerabatan
merupakan unsur kausalitas adanya seseorang yang tidak dapat
dihilangkan begitu saja.
Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara si
pewaris dengan ahli waris, kekerabatan dapat digolongkan menjadi
3 (tiga), yakni:
a. Ushul, yaitu pertalian lurus ke atas dari si mati, seperti ibu,
nenek, ayah, kakek, dan seterusnya.
b. Furu’, yaitu pertalian lurus ke bawah, yang merupakan anak
turun dari si mati, seperti anak, cucu, cicit, dan seterusnya.
c. Hawasyi, yaitu pertalian menyamping dari si mati, seperti
saudara, paman-bibi, keponakan, danseterusnya tanpa membedakan
antara laki-laki dan perempuan.
Selain berdasarkan nasab, seseorang menerima warisan
terjadi dengan jalan fardhu, ta’shib, yaitu menerima sisa dari yang
telah diambil oleh mereka yang berhak berdasar fardhu, dan jalan
lainnya dengan kedua-duanya, yaitu di satu keadaan dengan jalan
fardhu dan di keadaan lain dengan jalan ta’shib.[2] Dan apabila
dihubungkan dengan bagian yang diterima si ahli waris sebagai
akibat hubungan kekerabatan, maka dikelompokkan menjadi
empat. Antara lain:
1) Ashabul furud an-nasabiyah, yaitu golongan kerabat yang
mendapat bagian tertentu jumlahnya, seperti 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8.

90
2) Ashabah nasabiyah, yaitu golongan kerabat yang tidak
memperoleh bagian tertentu, tetapi mendapat sisa dari ashabul
furud, atau mendapat seluruh peninggalan apabila tidak ada ashabul
furud sama sekali. Ashabah nasabiyah ini kesemuanya terdiri dari
laki-laki.
3) Golongan kerabat yang mendapat dua macam bagian secara
bersama-sama, yaitu furudul muqaddarah dan juga sisa (ashabah),
seperti ayah, kakek, dan seterusnya.
4) Dzawil arham, yaitu golongan kerabat yang tidak termasuk
ashabul furud dan ashabah, seperti cucu dari anak perempuan dan
lain sebagainya.
Dalam beberapa kasus, semisal seorang anak yang tidak pernah
tinggal dengan ayahnya seumur hidup, maka ia tetap berhak atas
warisan dari ayahnya bila sang ayah meninggal dunia. Demikian
pula dengan kasus dimana seorang kakek yang mempunyai anak
yang semuanya telah berkeluarga. Kemudian menjelang ajal, si
kakek menikah lagi dengan seorang wanita dan memiliki anak,
maka anak tersebut berhak mendapat warisan sama besar dengan
anak-anak si kakek lainnya.
Hal serupa juga berlaku terhadap permasalahan mengenai anak
angkat atau anak adopsi yang masih memiliki hubungan nasab
dengan si pewaris. Misalnya si pewaris mengangkat seorang anak
yang merupakan keponakannya sendiri. Apabila si pewaris tersebut
meninggal dunia, maka anak tersebut masih memiliki hak untuk
menerima harta warisan. Meskipun dalam sistem kewarisan Islam
anak angkat atau anak adopsi tidak dapat mewarisi, namun dalam

91
hal ini anak tersebut dapat mewarisi karena nasabnya sebagai
keponakan dari si pewaris.
2. Pernikahan
Hubungan pernikahan ini terjadi setelah dilakukannya akad
nikah yang sah dan terjadi antara suami-istri, sekalipun belum atau
tidak terjadi persetubuhan. Berbeda dengan urusan mahram, yang
berhak mewarisi di sini hanyalah suami atau istri dari orang yang
mewariskan harta atau muwarrits. Sedangkan mertua, menantu, ipar
dan hubungan lain akibat adanya pernikahan, tidak menjadi
penyebab adanya pewarisan. Meski mertua dan menantu tinggal
serumah, maka seorang menantu tidak mendapat warisan apa-apa
bila mertuanya meninggal dunia. Demikian juga sebaliknya, kakak
ipar yang meninggal dunia tidak memberikan warisan kepada adik
iparnya, meski mereka tinggal serumah.
Pernikahan yang sah menurut syariat Islam merupakan ikatan
untuk mempertemukan seorang laki-laki dengan seorang
perempuan selama ikatan pernikahan itu masih terjadi. Masing-
masing pihak adalah teman hidup yang saling membantu bagi yang
lain dalam memikul beban hidup bersama. Oleh sebab itu, Allah
SWT memberikan sebagian harta tertentu sebagai imbalan
pengorbanan atas jerih payahnya apabila salah satu dari keduanya
meninggal dunia dengan meninggalkan harta. Pernikahan yang
menyebabkan seorang suami atau istri dapat mewarisi memerlukan
dua syarat, yaitu:
a) Akad nikah tersebut sah menurut syariat Islam, baik keduanya
telah berkumpul ataupun belum. Ketentuan ini didasarkan pada:
Keumuman ayat-ayat mawaris

92
Tindakan Rasulullah SAW terhadap kewarisan Barwa’ binti
Wasyiq yang suaminya telah meninggal dunia sebelum
mengumpuli dan menetapkan maharnya. Dimana dalam hal ini
Rasulullah SAW menunjukkan bahwa sah atau tidaknya suatu
perkawinan tidak bergantung pada sudah berkumpulnya suami-istri
atau telah terlunasinya pembayaran mahar, melainkan bergantung
pada terpenuhinya syarat dan rukun perkawinan. Adapun
pernikahan yang tidak sah (batil atau rusak), tidak menyebabkan
seorang suami atau istri mendapatkan hak waris. Misalnya
pernikahan tanpa wali dan saksi, maka pernikahan tersebut
dikatakan batil dan menyebabkan tidak saling mewarisi antara
suami dan istri.
b) Ikatan pernikahan antara suami-istri tersebut masih utuh atau
dianggap masih utuh
Suatu perkawinan dianggap masih utuh apabila perkawinan
tersebut telah diputuskan dengan talak raj’i dan pihak istri masih
dalam masa iddah. Pada masa iddah tersebut suami masih
mempunyai hak penuh untuk merujuknya kembali, baik dengan
perkataan maupun perbuatan tanpa memerlukan kerelaan istri,
membayar mahar, menghadirkan dua orang saksi ataupun seorang
wali. Dengan demikian, hak suami-istri untuk saling mewarisi
terpenuhi.
Apabila suami meninggal dunia dengan meninggalkan istri
yang masih dalam masa iddah talak raj’i, maka istri tersebut masih
dapat mewarisi harta peninggalan suaminya. Begitu pula
sebaliknya. Akan tetapi, apabila masa iddah istri tersebut telah
habis, menurut ijma’ keduanya tidak dapat saling mewarisi harta

93
peninggalannya. Dan bila seorang suami dalam keadaan sakit berat
menalak istrinya kemudian ia meninggal saat istrinya masih dalam
masa iddah, maka istri dapat mewarisi harta peninggalan suaminya.
Namun bila istrinya meninggal dunia, maka suami tidak berhak
mewarisi harta istrinya. Pendapat ini dianut oleh Imam Syuraih, As-
sa’by, Abu Hanifah, Malik, dan Syafi’i, yang bersumber dari Umar
r.a. dan Utsman r.a.

3. Wala’
Wala’ adalah pewarisan karena jasa seseorang yang telah
memerdekakan seorang hamba. Wala’ disebut juga dengan istilah
wala’ul itqi dan/atau wala’un nikmah. Dikatakan wala’ul itqi,
apabila seseorang membebaskan hamba sahaya dengan seluruh
barang-barang yang dimiliknya, sehingga menimbulkan suatu
ikatan antara hamba sahaya dengan orang yang membebaskannya.

Berdasarkan syariat Islam, wala’ digunakan untuk memberi


pengertian:
a) Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena
membebaskan seorang hamba sahaya
Wala’ dalam arti ini disebut juga wala’ul ataqah. Wala’ jenis
ini merupakan kekerabatan karena sebab hukum (ushubah
sababiyah), dan bukan karena adanya pertalian darah. Apabila
seseorang telah membebaskan atau memerdekakan hambanya,
berarti ia telah merubah status hukum orang yang semula tidak
cakap bertindak menjadi cakap bertindak, termasuk memiliki dan

94
mengelola dan mengadakan transaksi-transaksi terhadap harta
bendanya sendiri, termasuk mampu melakukan tindakan hukum
lainnya. Hal ini dianggap sebagai imbalan atas kenikmatan yang
telah dihadiahkan kepada hambanya, dan sebagai jasa orang yang
telah memerdekakan hamba tersebut. sebagaimana Rasulullah
SAW bersabda:
ْ ‫اِنَّ َم‬
َ َ‫اال َواَل ُءلِ َم ِن ا ْعت‬
)‫ق (متفق عليه‬
Artinya: “Sesungguhnya hak wala’ itu bagi oramg yang
memerdekakannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah SAW menganggap wala’ sebagai kerabat berdasarkan
nasab, sebagaimana dalam sabdanya:
)‫ع َواَل يُوْ هَبُ (رواه الحاكم‬ ِ ‫ْال َواَل ُءلُحْ َمةٌ َكلُحْ َم ِة النَّ َس‬
ُ ‫ب اَل يُبَا‬
Artinya: “Wala’ itu ialah suatu kerabat sebagai kerabat nasab yang
tidak boleh dijual dan dihibahkan.” (HR. Hakim)
Berdasarkan hadits tersebut, bagian yang diterima oleh wala’
adalah sebagaimana kedudukan barunya dalam nasab, apakah
dianggap sebagai saudara ataukah sebagai anak, dan sebagainya.
Dari hadits ini pula dapat diketahui bahwa orang yang mempunyai
hak wala’ (orang yang membebaskan hamba) dapat mewarisi harta
peninggalan hamba sahaya yang dimerdekakannya apabila tidak
terdapat ahli waris, dzawil arham maupun tidak memiliki
suami/istri. Namun apabila orang yang membebaskan tersebut
meninggal dunia, maka si hamba yang telah dibebaskan tidaklah
mewarisi harta bendanya. Golongan Ibadiliyah, yaitu segolongan
Khawarij pengikut Abdullah Ibnu Ibaadl tidak membenarkan sebab
ini untuk menerima harta warisan.

95
Suatu kasus semisal seorang Warga Negara Indonesia (WNI)
bekerja di Arab sebagai seorang asisten rumah tangga. Kondisi
daerah Arab yang cenderung ‘terkontaminasi’ sistem perbudakan
mengakibatkan WNI tersebut dianggap sebagai budak oleh sang
majikan. Di saat sang majikan meninggal, WNI tersebut menerima
seluruh harta warisan atas pesan majikannya sebelum meninggal
sebagai akibat kewarisan dengan sebab wala’ karena majikan
tersebut tidak memiliki ahli waris. Menyikapi kasus seperti halnya
tersebut, hal ini tidak dapat dibenarkan. Pertama, si WNI tersebut
mengikuti sang majikan dengan sebab untuk bekerja dan bukan
sebagai budak. Apalagi setiap bulan WNI tersebut digaji tiap bulan,
hal ini lebih menguatkan pada konsepsi muamalah dalam hal ijarah.
Selain itu, si WNI juga masih memiliki hak atas dirinya, lain halnya
dengan budak yang merupakan milik seorang majikan dan tidak
memiliki hak atas dirinya sendiri. Kedua, adapun si WNI tersebut
dapat menerima warisan dari sang majikan, dimana pesan dari sang
majikan sebelum meninggal tersebut merupakan wasiat. Kalaupun
itu wasiat maka ia hanya dapat menerima harta warisan sebanyak
sepertiga dari keseluruhan harta sang majikan.
b) Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena adanya
perjanjian tolong-menolong dan sumpah setia antara seseorang
dengan orang lainnya
Wala’ dalam arti ini disebut juga dengan wala’ul muwalah.
Misalnya seorang yang berjanji kepada orang lain, “Wahai saudara,
engkau adalah tuanku yang dapat mewarisi aku bila aku telah
meninggal, dan dapat mengambil diyat untukku bila aku dilukai
seseorang”. Kemudian orang lain yang diajak berjanji

96
menerimanya. Dalam kasus ini pihak pertama disebut Al-Mawali
atau Al-Adna, dan pihak kedua disebut Al-Mawala atau Al-
Maulana. Namun seiring dengan sudah tidak berlaku lagi sistem
perbudakan di tengah peradaban manusia di zaman sekarang ini,
sebab mewarisi ini nyaris tidak lagi terjadi.
Adapun perjanjian saling setia dan tolong-menolong ini, oleh
jumhur ulama dalam Kitab Undang-undang Warisan Mesir telah
dinasakhkan dan tidak dipandang sebagai sebab untuk memperoleh
harta warisan. Hanya ulama Hanafiyah saja yang masih
berpendapat bahwa ketentuan ini tidak dinasakh, akan tetapi
penerimaan pusaka atau pewarisan mereka harus diakhirkan setelah
dzawil arham.
Terkait contoh pada wala’ul muwalah di atas, dalam
pemaparannya belum diketahui bagaimana ketentuan yang harus
dilakukan dalam penerapannya karena terbatasnya informasinya
yang membahas kasus ini. Apakah harus dengan menggunakan
saksi sebagaimana halnya wasiat ataukah tidak. Namun apabila kita
pahami sendiri lebih lanjut, maka hal tersebut tergantung pada
situasi dan kondisi pada masanya. Barangkali memang yang terjadi
pada masa dulu wala’ dapat dilakukan tanpa adanya saksi, karena
pada masa itu kejujuran sangatlah dijunjung tinggi. Namun untuk
masa kini, sepertinya memang hal itu tidak mungkin dilakukan lagi.
Hal ini juga didukung karena sistem perbudakan di tengah
peradaban manusia di zaman sekarang ini tidak berlaku lagi,
sebagaimana disebutkan di atas.
4. Jihatul Islam (Baitul Maal)

97
Setelah kita membahas tiga sebab penerimaan harta warisan di
atas, ada pula pertanyaan, “Bagaimana apabila si muwarrits tidak
memiliki ahli waris?” atau “Bagaimana apabila harta warisannya
tidak habis dibagi?”.
Dalam hal ini golongan Syafi’iyah dan Malikiyah berpendapat
bahwa ke-Islaman juga menjadi sebab dalam pewarisan harta. Ini
berarti apabila seseorang telah meninggal dunia dan tidak memiliki
ahli waris, atau ia mempunyai ahli waris tetapi harta
peninggalannya tidak habis dibagikan, maka peninggalan tersebut
harus diserahkan kepada Kas Perbendaharaan Negara. Sehingga
penyetoran ini bukan berdasarkan kemaslahatan atau kepentingan
sosial, melainkan atas dasar secara ushubah.
Para ulama yang berpegang teguh pada pendapat ini
menjadikan sabda Rasulullah SAW sebagai dasarnya.
)‫ارثُهُ (رواه ابوداود‬
ِ ‫ث لَهُ اَ ْعقِ ُل َع ْنهُ َو‬
َ ‫ار‬ ُ ‫ار‬
ِ ‫ث َم ْن اَل َو‬ َ ‫اَن‬
ِ ‫َاو‬
Artinya: “Saya adalah ahli waris bagi orang yang tidak mempunyai
ahli waris. Saya membayar dendanya dan mewarisi daripadanya.”
(HR. Abu Dawud)
Dalam hadits tersebut dijalaskan bahwa meskipun Rasulullah
SAW menjadi ahli waris bagi orang-orang yang tidak memiliki ahli
waris, akan tetapi beliau tidak mewarisi untuk dirinya sendiri,
melainkan membaginya untuk kepentingan umat Islam pada
umumnya. Begitu pula orang-orang Islam lainnya, mereka juga
dibebani kewajiban membayar diyat untuk saudaranya sesama
Muslim yang tidak memiliki kerabat, sehingga kedudukan mereka
sagaikan ashabah dalam lingkungan kerabat. Atas dasar tersebutlah
para penguasa (pemerintah) dapat memerintahkan agar harta benda

98
tersebut diserahkan ke baitul maal atau disimpan di tempat lain
yang dipandang aman sebelum dibagikan sebagai dana sosial untuk
kepentingan umat Islam.
Hal ini juga tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
sebagaimana yang tertulis dalam BAB II, pasal 174, yang isinya
kelompok-kelompok ahli waris yang mendapat warisan terdiri dari
dua orang yaitu sebab sebab hubungan darah dan hubungan
perkawinan. Jika tidak mempunyai ahli waris, sesuai dengan KHI
BAB III, pasal 191, maka harta benda tersebut atas putusan
Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Maal
untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum.

99
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pernikahan adalah akad nikah (Ijab Qobul) antara laki-laki dan
perempuan yang bukan muhrimnya sehingga menimbulkan kewajiban
dan hak di antara keduanya melalui kata-kata secara lisan, sesuai
dengan peraturan-peraturan yang diwajibkan secara Islam. Pernikahan
merupakan sunnah Rasulullah Saw. Sebagaimana yang dijelaskan oleh
Rasulullah:
“nikah itu Sunnahku, barang siapa membenci pernikahan, maka ia
bukanlah ummadku”.
Hadis lain Rasulullah Bersabda:
“Nikah itu adalah setengah iman”.

Maka pernikahan dianjurnya kepada ummad Rasulullah, tetapi


pernikahan yang mengikuti aturan yang dianjurkan oleh ajaran agama
Islam. Adapun cangkupan pernikahan yang dianjurkan dalam Islam yaitu

100
adanya Rukun Pernikahan, Hukum Pernikahan, Syarat sebuah Pernikahan,
Perminangan, dan dalam pemilihan calon suami/istri. Islam sangat
membenci sebuah perceraian, tetapi dalam pernikahan itu sendiri
terkadang ada hal-hal yang menyebabkan kehancuran dalam sebuah rumah
tangga. Islam secara terperinci menjelaskan mengenai perceraian yang
berdasarkan hukumnya. Dan dalam Islam pun dijelaskan mengenai fasakh,
khuluk, rujuk, dan masa iddah bagi kaum perempuan.

B. Saran
Berdasarkan apa yang telah dijelaskan dalam makalah mengenai
pernikahan ini pasti ada kekurangan maupun kelebihannya. Mudah-
mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat
menambah wawasan pembaca mengenai pernikahan berdasarkan Islam.
Adapun kritik maupun saran dapat disampaikan ke penulis agar dapat
memperbaiki makalah ini baik dari segi penulisan, materi, maupun tata
bahasa yang disampaikan. Penulis mengharapkan pembaca dapat
mengambil manfaat dari makalah yang telah dibuat

101
DAFTAR PUSTAKA

Munarki, Abu. Membangun Rumah Tangga dalam Islam, Pekanbaru : PT.


Berlian Putih,2006
Abdullah, Samsul. Tatacara Pernikahan, Jakarta: PT. Gramedia,2011
https://perpuskampus.com/pengertian-tujuan-hukum-syarat-rukun-dan-
hikmah-pernikahan/
http://irsanramdhani.blogspot.com/2016/04/makalah-tentang-khitbah-dan-
mahar-dalam.html?m=1
https://hendraalhafidz.blogspot.com/2018/01/hak-dan-kewajiban-suami-
istri-serta.html?m=1#:~:text=2)%20Suami%20isteri%20wajib
%20saling,maupun%20kecerdasannya%20dan%20pendidikan
%20agaamanya.http://aminfauzi422.blogspot.com/2014/05/nafkah-
dan-kedudukan-harta-dalam.html?m=1
http://hamz-sazied.blogspot.com/2010/04/usyuz-syiqaq-ila-dan-fungsi-
hakim-dalam.html?m=1
http://putreetanfhanhama.blogspot.com/2012/04/talak-rujuk-dan-
iddah.html?m=1

102

Anda mungkin juga menyukai