AKIDAH AKHLAK
TOKOH NASIONAL DAN PERJUANGANNYA
Disusun Oleh :
MAN 2 TASIKMALAYA
TAHUN AJARAN
2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan tepat waktu. Sholawat dan
salam juga saya haturkan kepada junjungan panutan manusia yaitu kanjeng Nabi Muhammad
SAW. Kepada para sahabat, keluarga, dan selaku umatnya.
Makalah ini sendiri dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran “ Akidah Akhlak
“ mengenai Tokoh Nasional serta perjuangannya.
Dalam Menyusun makalah ini saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna karena pengetahuan dan keterbatasan saya pribadi tentunya.
Ucapan terima kasih saya haturkan kepada semua pihak yang telah mendukung
terselesaikannya makalah ini. Juga kepada para penulis artikel yang tulisannya saya jadikan
sebagai bahan materi.
Setiap individu pasti mempunyai perjalanan hidup dan sepak terjang yang berbeda
dengan individu lainnya. Begitu pula dengan beberapa Tokoh Nasional Indonesia
(KH. Kholil bangkalan, KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan) yang
mempunyai andil yang sangat besar dan berpengaruh terhadap bangsa Indonesia.
Bahkan, Bagi bangsa indonesia nama Kiai Haji Ahmad Dahlan bukan merupakan
nama yang asing. Mereka mengenal beliau dalam hubungan dengan kegiatannya
selama hayatnya. Anak sekolah tingkat sekolah dasar, menengah, sampai mahasiswa
di perguruan tinggi niscaya tidak akan susah menjawabnya apabila ditanyakan
tentang Kiai Haji Ahmad Dahlan.
b. Rumusan Masalah
1. Siapa nama tokoh nasional Indonesia.
2. Bagaimana perjuangannya.
c. Tujuan
1. Menyebutkan nama tokoh nasional Indonesia.
2. Mendeskripsikan perjalanan hidup tokoh nasional Indonesia.
3. Mendeskripsikan perjuangan tokoh nasional Indonesia.
PEMBAHASAN
Kh. Kolil Bangkalan Madura, lahir tanggal 11 Jumadil Akhir 1235 H atau 27 Januari
1820 M.
Mbah Kholil kecil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH. Abdul Lathif,
mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah Abdul Lathif adalah
Kyai Hamim, anak dari Kyai Abdul Karim. Yang disebut terakhir ini adalah anak
dari Kyai Muharram bin Kyai Asror Karomah bin Kyai Abdullah bin Sayyid
Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucu Sunan Gunung Jati. Maka tak salah kalau
KH. Abdul Lathif mendambakan anaknya kelak bisa mengikuti jejak Sunan Gunung
Jati karena memang dia masih terhitung keturunannya.
Oleh ayahnya, ia dididik dengan sangat ketat. Mbah Kholil kecil memang
menunjukkan bakat yang istimewa, kehausannya akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan
nahwu, sangat luar biasa. Bahkan ia sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu
Malik (seribu bait ilmu Nahwu) sejak usia muda. Untuk memenuhi harapan dan juga
kehausannya mengenai ilmu Fiqh dan ilmu yang lainnya, maka orang tua Mbah
Kholil kecil mengirimnya ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu.
Belajar ke Pesantren
Mengawali pengembaraannya, sekitar tahun 1850-an, ketika usianya menjelang tiga
puluh, Mbah Kholil muda belajar kepada Kyai Muhammad Nur di Pondok Pesantren
Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok Pesantren
Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok Pesantren
Keboncandi. Selama belajar di Pondok Pesantren ini beliau belajar pula kepada Kyai
Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kyai Nur Hasan
ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga dengannya.
Ke Mekkah
Kemandirian Mbah Kholil muda juga nampak ketika ia berkeinginan untuk
menimba ilmu ke Mekkah. Karena pada masa itu, belajar ke Mekkah merupakan
cita-cita semua santri. Dan untuk mewujudkan impiannya kali ini, lagi-lagi Mbah
Kholil muda tidak menyatakan niatnya kepada orangtuanya, apalagi meminta
ongkos kepada kedua orangtuanya.
Kemudian, setelah Mbah Kholil memutar otak untuk mencari jalan keluarnya,
akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke sebuah pesantren di Banyuwangi. Karena,
pengasuh pesantren itu terkenal mempunyai kebun kelapa yang cukup luas. Dan
selama nyantri di Banyuwangi ini, Mbah Kholil nyambi menjadi “buruh” pemetik
kelapa pada gurunya. Untuk setiap pohonnya, dia mendapat upah 2,5 sen. Uang yang
diperolehnya tersebut dia tabung. Sedangkan untuk makan, Mbah Kholil
menyiasatinya dengan mengisi bak mandi, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah
lainnya, serta menjadi juru masak teman-temannya. Dari situlah Mbah Kholil bisa
makan gratis.
Akhirnya, pada tahun 1859 M, saat usianya mencapai 24 tahun, Mbah Kholil
memutuskan untuk pergi ke Mekkah. Tetapi sebelum berangkat, Mbah Kholil
menikah dahulu dengan Nyai Asyik, anak perempuan Lodra Putih.
Setelah menikah, berangkatlah dia ke Mekkah. Dan memang benar, untuk ongkos
pelayarannya bisa tertutupi dari hasil tabungannya selama nyantri di Banyuwangi,
sedangkan untuk makan selama pelayaran, konon, Mbah Kholil berpuasa. Hal
tersebut dilakukan Mbah Kholil bukan dalam rangka menghemat uang, akan tetapi
untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, agar perjalanannya selamat.
Pada tahun 1276 H/1859 M, Mbah Kholil Belajar di Mekkah. Di Mekkah Mbah
Kholil belajar dengan Syeikh Nawawi Al-Bantani (Guru Ulama Indonesia dari
Banten). Diantara gurunya di Mekkah ialah Syeikh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi,
Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad Al-Afifi Al-
Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud Asy-Syarwani. Beberapa sanad hadits
yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi Al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh
bin Ismail Al-Bimawi (Bima, Sumbawa).
Dari hari ke hari, banyak santri yang berdatangan dari desa-desa sekitarnya. Namun,
setelah putrinya, Siti Khatimah dinikahkan dengan keponakannya sendiri, yaitu Kyai
Muntaha; pesantren di Desa Cengkubuan itu kemudian diserahkan kepada
menantunya. Mbah Kholil sendiri mendirikan pesantren lagi di daerah Kademangan,
hampir di pusat kota; sekitar 200 meter sebelah Barat alun-alun kota Kabupaten
Bangkalan. Letak Pesantren yang baru itu, hanya selang 1 Kilometer dari Pesantren
lama dan desa kelahirannya.
Di tempat yang baru ini, Mbah Kholil juga cepat memperoleh santri lagi, bukan saja
dari daerah sekitar, tetapi juga dari Tanah Seberang Pulau Jawa. Santri pertama yang
datang dari Jawa tercatat bernama Hasyim Asy’ari, dari Jombang.
Di sisi lain, Mbah Kholil disamping dikenal sebagai ahli Fiqh dan ilmu Alat (nahwu
dan sharaf), ia juga dikenal sebagai orang yang “waskita,” weruh sak durunge
winarah (tahu sebelum terjadi). Malahan dalam hal yang terakhir ini, nama Mbah
Kholil lebih dikenal.
Masa hidup Mbah Kholil, tidak luput dari gejolak perlawanan terhadap penjajah.
Tetapi, dengan caranya sendiri Mbah Kholil melakukan perlawanan.
Kedua: Mbah Kholil tidak melakukan perlawanan secara terbuka, melainkan ia lebih
banyak berada di balik layar. Realitas ini tergambar, bahwa ia tak segan-segan untuk
memberi suwuk (mengisi kekuatan batin, tenaga dalam) kepada pejuang. Mbah
Kholil pun tidak keberatan pesantrennya dijadikan tempat persembunyian.
Ketika pihak penjajah mengetahuinya, Mbah Kholil ditangkap dengan harapan para
pejuang menyerahkan diri. Tetapi, ditangkapnya Mbah Kholil, malah membuat
pusing pihak Belanda. Karena ada kejadian-kejadian yang tidak bisa mereka
mengerti; seperti tidak bisa dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka harus berjaga
penuh supaya para tahanan tidak melarikan diri.
Mbah Kholil adalah seorang ulama yang benar-benar bertanggung jawab terhadap
pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya. Beliau
sadar benar bahwa pada zamannya, bangsanya adalah dalam suasana terjajah oleh
bangsa asing yang tidak seagama dengan yang dianutnya.
Mbah Kholil sendiri pernah ditahan oleh penjajah Belanda karena dituduh
melindungi beberapa orang yang terlibat melawan Belanda di pondok pesantrennya.
Beberapa tokoh ulama maupun tokoh-tokoh kebangsaan lainnya yang terlibat
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak sedikit yang pernah mendapat
pendidikan dari Mbah Kholil.
Diantara sekian banyak murid Mbah Kholil yang cukup menonjol dalam sejarah
perkembangan agama Islam dan bangsa Indonesia ialah KH. Hasyim Asy’ari
(pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas Nahdlatul
Ulama/NU), KH. Abdul Wahab Chasbullah (pendiri Pondok Pesantren Tambak
Beras, Jombang), KH. Bisri Syansuri (pendiri Pondok Pesantren Denanyar,
Jombang), KH. Ma’shum (pendiri Pondok Pesantren Lasem, Rembang, adalah
ayahanda KH. Ali Ma’shum), KH. Bisri Mustofa (pendiri Pondok Pesantren
Rembang), dan KH. As’ad Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok Pesantren
Asembagus, Situbondo).
1. Membelah Diri
Kesaktian lain dari Mbah Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa
berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Pernah ada peristiwa aneh saat
beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu
yang tak terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyup,” Cerita
KH. Ghozi.
Dalam buku yang berjudul “Tindak Lampah Romo Yai Syeikh Ahmad Jauhari
Umar” menerangkan bahwa Mbah Kholil Bangkalan termasuk salah satu guru Romo
Yai Syeikh Ahmad Jauhari Umar yang mempunyai karomah luar biasa. Diceritakan
oleh penulis buku tersebut sebagai berikut:
“Suatu hari, ada seorang keturunan Cina sakit lumpuh, padahal ia sudah dibawa ke
Jakarta tepatnya di Betawi, namun belum juga sembuh. Lalu ia mendengar bahwa di
Madura ada orang sakti yang bisa menyembuhkan penyakit. Kemudian pergilah ia
ke Madura yakni ke Mbah Kholil untuk berobat. Ia dibawa dengan menggunakan
tandu oleh 4 orang, tak ketinggalan pula anak dan istrinya ikut mengantar.
Di tengah perjalanan ia bertemu dengan orang Madura yang dibopong karena sakit
(kakinya kerobohan pohon). Lalu mereka sepakat pergi bersama-sama berobat ke
Mbah Kholil. Orang Madura berjalan di depan sebagai penunjuk jalan. Kira-kira
jarak kurang dari 20 meter dari rumah Mbah Kholil, muncullah Mbah Kholil dalam
rumahnya dengan membawa pedang seraya berkata: “Mana orang itu?!! Biar saya
bacok sekalian.”
Melihat hal tersebut, kedua orang sakit tersebut ketakutan dan langsung lari tanpa ia
sadari sedang sakit. Karena Mbah Kholil terus mencari dan membentak-bentak
mereka, akhirnya tanpa disadari, mereka sembuh. Setelah Mbah Kholil wafat kedua
orang tersebut sering ziarah ke makam beliau.
Dari berbagai sumber, Senin (27/7/2015), Ahmad Dahlan lahir dari Yogyakarta pada 1
Agustus tahun 1868. Dahlan muda, yang dikenal dengan nama Muhammad Darwis, pada
umur 15 tahun berangkat menuju Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan belajar agama.
Lahir dari orang tua yang kental dengan ilmu keagamaan, Ahmad Dahlan mengikuti jejak
ayahnya, K.H Abu Bakar, yang merupakan ulama masjid kesultanan Yogyakarta. Selama di
Mekkah, Ahmad Dahlan belajar dari Syeh Ahmad Khatib dan ulama-ulama lainnya dan
mempelajari pemikiran dari Muhammad Abduh, Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-
Afghani,dan Rasyid Ridha.
Setelah kembali ke tanah air, Ahmad Dahlan menikah dengan Siti Walidah yang kelak
menjadi pahlawan nasional. Siti walidah merupakan pendiri dari gerakan perempuan
Aisyiah. Ajaran yang dikembangkan Ahmad Dahlan adalah berfokus pada sunnah dan
Alquran.
Dakwah yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan tidaklah selalu mulus. Pertentangan dan
penolakan hingga ancaman pembunuhan dialami Dahlan dalam mengembangkan
Muhammadiyah. Ketika surat permohonan pembentukan badan hukum Muhammadiyah
dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda, Ahmad Dahlan hanya dapat melakukan
aktivitasnya di Yogyakarta.
Tidak kehabisan akal, Ahmad Dahlan tetap melakukan dakwah di berbagai kota dan
melakukan pendekatan lewat jaringan-jaringan dagangnya. Muncul ketakutan pemerintah
Hinda Belanda saat itu terkait perkembangan Muhammadiyah. Lewat aktivitas dakwah dan
jaringannya, berbagai macam dukungan datang dari luar Yogyakarta untuk Muhammadiyah.
Pada suatu waktu, Muhammadiyah dianggap melakukan tafsir Alquran yang baru oleh
organisasi Islam lainnya pada kongres Al-Islam di Cirebon. Mengenai kritikan itu, Ahmad
Dahlan menjawab:
Ahmad Dahlan tercatat memimpin Muhammadiyah pada tahun 1912–1923. Salah satu
strateginya dalam mengembangkan Muhammadiyah adalah mendidik pada pamongpraja
(calon pejabat) yang belajar di OSVIA Magelang dan Kweekschool Jetis Yogyakarta,
tempat dirinya juga bekerja sebagai seorang pengajar.
Setelahnya, Dahlan juga mendirikan sekolah keguruan yang bernama Madrasah Mu'allimin
(Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah Mu'allimat (Kweekschool Putri
Muhammadiyah). Atas dedikasinya, Ahmad Dahlan menerima gelar pahlawan nasional.
Salah satu pertimbangan pemerintah adalah:
1. K.H. Ahmad Dahlan telah memelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari
nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.
A. Kesimpulan
Dengan selesainya makalah tentang Tokoh Nasional Indonesia, saya ucapkan
terimakasih kepada pihak yang telah membantu dan memberi informasi untuk Menyusun
makalah ini.
Saya sadar makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Karena dari itu, saya
mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak serta bimbingan yang lebih membangun lagi
untuk saya. Saya juga mohon maaf apabila ada kesalahan kata-kata dan pengetikan karena
masih dalam tahap pembelajaran.
Laporan ini dibuat berdasarkan informasi yang telah kami terima dari berbagai
sumber.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Rasyidin dan Samsul Nizar. 2002. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press
Ahmad Dahlan, 1994. ” dalam Ensiklopedia Islam, Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam.
Cet.III; Jakarta: Ictiar Baru Van Hove
Herry Mohammad, dkk, , 2006. TOKOH-TOKOH ISLAM yang Berpengaruh ABAD 20,
Jakarta; Gem Insani Press
Hadikusumo, Jarnawi. 1988. Dari Jamaluddin Al Afghani Sampai KH. Ahmad Dahlan,
Yogyakarta; Persatuan
Ibawi, Machfudz, 1986. Modus Dialog di Perguruan Tinggi Islam, Surabaya; Bina Ilmu
Mulkan, Abdul Munir, 1990. Pemikiran KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam
Perspektif Perubahan Sosial.Cet.I; Jakarta: Bumi Aksara
Musthafa kemal Pasha dan Ahmad Adaby Darba, , 2002. Muhammadiyah sebagai Gerakan
Islam, Cet. II. Yogyakarta : Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam
Nata, Abuddin, 2001. Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia (Cet I: PT. Raja
Grafindo Persada
Nizar, Samsul. 2008. Sejarah Pendidikan Islam, Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era
Rasulullah Sampai Indonesia, Jakarta; Kencana
Noer, Deliar. 1996. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: Penerbit
Pustaka LP3ES