Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

AKIDAH AKHLAK
TOKOH NASIONAL DAN PERJUANGANNYA

Disusun Oleh :

Nama : Syifa nur rohmatillah


Kelas : 12 iik 2

MAN 2 TASIKMALAYA
TAHUN AJARAN
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan tepat waktu. Sholawat dan
salam juga saya haturkan kepada junjungan panutan manusia yaitu kanjeng Nabi Muhammad
SAW. Kepada para sahabat, keluarga, dan selaku umatnya.

Makalah ini sendiri dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran “ Akidah Akhlak
“ mengenai Tokoh Nasional serta perjuangannya.

Dalam Menyusun makalah ini saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna karena pengetahuan dan keterbatasan saya pribadi tentunya.

Ucapan terima kasih saya haturkan kepada semua pihak yang telah mendukung
terselesaikannya makalah ini. Juga kepada para penulis artikel yang tulisannya saya jadikan
sebagai bahan materi.

Cipasung, 20 februari 2021


DAFTAR ISI
JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
a. Latar belakang masalah
b. Rumusan masalah
c. Tujuan
PEMBAHASAN
a. K.h Kholil bangkalan dan perjuangannya
b. K.h Hasyim Asy’ari dan perjuangannya
c. K.h Ahmad Dahlan dan perjuangannya
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN

a. Latar belakang masalah

Setiap individu pasti mempunyai perjalanan hidup dan sepak terjang yang berbeda
dengan individu lainnya. Begitu pula dengan beberapa Tokoh Nasional Indonesia
(KH. Kholil bangkalan, KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan) yang
mempunyai andil yang sangat besar dan berpengaruh terhadap bangsa Indonesia.
Bahkan, Bagi bangsa indonesia nama Kiai Haji Ahmad Dahlan bukan merupakan
nama yang asing. Mereka mengenal beliau dalam hubungan dengan kegiatannya
selama hayatnya. Anak sekolah tingkat sekolah dasar, menengah, sampai mahasiswa
di perguruan tinggi niscaya tidak akan susah menjawabnya apabila ditanyakan
tentang Kiai Haji Ahmad Dahlan.

b. Rumusan Masalah
1. Siapa nama tokoh nasional Indonesia.
2. Bagaimana perjuangannya.

c. Tujuan
1. Menyebutkan nama tokoh nasional Indonesia.
2. Mendeskripsikan perjalanan hidup tokoh nasional Indonesia.
3. Mendeskripsikan perjuangan tokoh nasional Indonesia.
PEMBAHASAN

1. KH Kholil Bangkalan Madura  

Kh. Kolil Bangkalan Madura, lahir tanggal 11 Jumadil Akhir 1235 H atau 27 Januari
1820 M.
Mbah Kholil kecil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH. Abdul Lathif,
mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah Abdul Lathif adalah
Kyai Hamim, anak dari Kyai Abdul Karim. Yang disebut terakhir ini adalah anak
dari Kyai Muharram bin Kyai Asror Karomah bin Kyai Abdullah bin Sayyid
Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucu Sunan Gunung Jati. Maka tak salah kalau
KH. Abdul Lathif mendambakan anaknya kelak bisa mengikuti jejak Sunan Gunung
Jati karena memang dia masih terhitung keturunannya.

Oleh ayahnya, ia dididik dengan sangat ketat. Mbah Kholil kecil memang
menunjukkan bakat yang istimewa, kehausannya akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan
nahwu, sangat luar biasa. Bahkan ia sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu
Malik (seribu bait ilmu Nahwu) sejak usia muda. Untuk memenuhi harapan dan juga
kehausannya mengenai ilmu Fiqh dan ilmu yang lainnya, maka orang tua Mbah
Kholil kecil mengirimnya ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu.

Belajar ke Pesantren
Mengawali pengembaraannya, sekitar tahun 1850-an, ketika usianya menjelang tiga
puluh, Mbah Kholil muda belajar kepada Kyai Muhammad Nur di Pondok Pesantren
Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok Pesantren
Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok Pesantren
Keboncandi. Selama belajar di Pondok Pesantren ini beliau belajar pula kepada Kyai
Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kyai Nur Hasan
ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga dengannya.

Jarak antara Keboncandi dan Sidogiri sekitar 7 Kilometer. Tetapi, untuk


mendapatkan ilmu, Mbah Kholil muda rela melakoni perjalanan yang terbilang
lumayan jauh itu setiap harinya. Di setiap perjalanannya dari Keboncandi ke
Sidogiri, ia tak pernah lupa membaca Surah Yasin. Ini dilakukannya hingga ia
-dalam perjalanannya itu- khatam berkali-kali.

Ke Mekkah
Kemandirian Mbah Kholil muda juga nampak ketika ia berkeinginan untuk
menimba ilmu ke Mekkah. Karena pada masa itu, belajar ke Mekkah merupakan
cita-cita semua santri. Dan untuk mewujudkan impiannya kali ini, lagi-lagi Mbah
Kholil muda tidak menyatakan niatnya kepada orangtuanya, apalagi meminta
ongkos kepada kedua orangtuanya.

Kemudian, setelah Mbah Kholil memutar otak untuk mencari jalan keluarnya,
akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke sebuah pesantren di Banyuwangi. Karena,
pengasuh pesantren itu terkenal mempunyai kebun kelapa yang cukup luas. Dan
selama nyantri di Banyuwangi ini, Mbah Kholil nyambi menjadi “buruh” pemetik
kelapa pada gurunya. Untuk setiap pohonnya, dia mendapat upah 2,5 sen. Uang yang
diperolehnya tersebut dia tabung. Sedangkan untuk makan, Mbah Kholil
menyiasatinya dengan mengisi bak mandi, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah
lainnya, serta menjadi juru masak teman-temannya. Dari situlah Mbah Kholil bisa
makan gratis.

Akhirnya, pada tahun 1859 M, saat usianya mencapai 24 tahun, Mbah Kholil
memutuskan untuk pergi ke Mekkah. Tetapi sebelum berangkat, Mbah Kholil
menikah dahulu dengan Nyai Asyik, anak perempuan Lodra Putih.

Setelah menikah, berangkatlah dia ke Mekkah. Dan memang benar, untuk ongkos
pelayarannya bisa tertutupi dari hasil tabungannya selama nyantri di Banyuwangi,
sedangkan untuk makan selama pelayaran, konon, Mbah Kholil berpuasa. Hal
tersebut dilakukan Mbah Kholil bukan dalam rangka menghemat uang, akan tetapi
untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, agar perjalanannya selamat.

Pada tahun 1276 H/1859 M, Mbah Kholil Belajar di Mekkah. Di Mekkah Mbah
Kholil belajar dengan Syeikh Nawawi Al-Bantani (Guru Ulama Indonesia dari
Banten). Diantara gurunya di Mekkah ialah Syeikh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi,
Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad Al-Afifi Al-
Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud Asy-Syarwani. Beberapa sanad hadits
yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi Al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh
bin Ismail Al-Bimawi (Bima, Sumbawa).

Kembali ke Tanah Air


Sepulangnya dari Tanah Arab, Mbah Kholil dikenal sebagai seorang ahli Fiqh dan
Tarekat. Bahkan pada akhirnya, dia pun dikenal sebagai salah seorang Kyai yang
dapat memadukan kedua hal itu dengan serasi. Dia juga dikenal sebagai al-Hafidz
(hafal Al-Qur’an 30 Juz). Hingga akhirnya, Mbah Kholil dapat mendirikan sebuah
pesantren di daerah Cengkubuan, sekitar 1 Kilometer Barat Laut dari desa
kelahirannya.

Dari hari ke hari, banyak santri yang berdatangan dari desa-desa sekitarnya. Namun,
setelah putrinya, Siti Khatimah dinikahkan dengan keponakannya sendiri, yaitu Kyai
Muntaha; pesantren di Desa Cengkubuan itu kemudian diserahkan kepada
menantunya. Mbah Kholil sendiri mendirikan pesantren lagi di daerah Kademangan,
hampir di pusat kota; sekitar 200 meter sebelah Barat alun-alun kota Kabupaten
Bangkalan. Letak Pesantren yang baru itu, hanya selang 1 Kilometer dari Pesantren
lama dan desa kelahirannya.

Di tempat yang baru ini, Mbah Kholil juga cepat memperoleh santri lagi, bukan saja
dari daerah sekitar, tetapi juga dari Tanah Seberang Pulau Jawa. Santri pertama yang
datang dari Jawa tercatat bernama Hasyim Asy’ari, dari Jombang.

Di sisi lain, Mbah Kholil disamping dikenal sebagai ahli Fiqh dan ilmu Alat (nahwu
dan sharaf), ia juga dikenal sebagai orang yang “waskita,” weruh sak durunge
winarah (tahu sebelum terjadi). Malahan dalam hal yang terakhir ini, nama Mbah
Kholil lebih dikenal.

Geo Sosio Politika


Pada masa hidup Mbah Kholil, terjadi sebuah penyebaran Ajaran Tarekat
Naqsyabandiyah di daerah Madura. Mbah Kholil sendiri dikenal luas sebagai ahli
tarekat; meskipun tidak ada sumber yang menyebutkan kepada siapa Mbah Kholil
belajar Tarekat. Tapi, menurut sumber dari Martin Van Bruinessen (1992), diyakini
terdapat sebuah silsilah bahwa Mbah Kholil belajar kepada Kyai ‘Abdul Adzim dari
Bangkalan (salah satu ahli Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah). Tetapi, Martin
masih ragu, apakah Mbah Kholil penganut Tarekat tersebut atau tidak?

Masa hidup Mbah Kholil, tidak luput dari gejolak perlawanan terhadap penjajah.
Tetapi, dengan caranya sendiri Mbah Kholil melakukan perlawanan.

Pertama: Ia melakukannya dalam bidang pendidikan. Dalam bidang ini, Mbah


Kholil mempersiapkan murid-muridnya untuk menjadi pemimpin yang berilmu,
berwawasan, tangguh dan mempunyai integritas, baik kepada agama maupun
bangsa. Ini dibuktikan dengan banyaknya pemimpin umat dan bangsa yang lahir dari
tangannya; salah satu diantaranya adalah KH. Hasyim Asy’ari, Pendiri Pesantren
Tebu Ireng.

Kedua: Mbah Kholil tidak melakukan perlawanan secara terbuka, melainkan ia lebih
banyak berada di balik layar. Realitas ini tergambar, bahwa ia tak segan-segan untuk
memberi suwuk (mengisi kekuatan batin, tenaga dalam) kepada pejuang. Mbah
Kholil pun tidak keberatan pesantrennya dijadikan tempat persembunyian.
Ketika pihak penjajah mengetahuinya, Mbah Kholil ditangkap dengan harapan para
pejuang menyerahkan diri. Tetapi, ditangkapnya Mbah Kholil, malah membuat
pusing pihak Belanda. Karena ada kejadian-kejadian yang tidak bisa mereka
mengerti; seperti tidak bisa dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka harus berjaga
penuh supaya para tahanan tidak melarikan diri.

Mbah Kholil adalah seorang ulama yang benar-benar bertanggung jawab terhadap
pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya. Beliau
sadar benar bahwa pada zamannya, bangsanya adalah dalam suasana terjajah oleh
bangsa asing yang tidak seagama dengan yang dianutnya.

Mbah Kholil sendiri pernah ditahan oleh penjajah Belanda karena dituduh
melindungi beberapa orang yang terlibat melawan Belanda di pondok pesantrennya.
Beberapa tokoh ulama maupun tokoh-tokoh kebangsaan lainnya yang terlibat
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak sedikit yang pernah mendapat
pendidikan dari Mbah Kholil.

Diantara sekian banyak murid Mbah Kholil yang cukup menonjol dalam sejarah
perkembangan agama Islam dan bangsa Indonesia ialah KH. Hasyim Asy’ari
(pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas Nahdlatul
Ulama/NU), KH. Abdul Wahab Chasbullah (pendiri Pondok Pesantren Tambak
Beras, Jombang), KH. Bisri Syansuri (pendiri Pondok Pesantren Denanyar,
Jombang), KH. Ma’shum (pendiri Pondok Pesantren Lasem, Rembang, adalah
ayahanda KH. Ali Ma’shum), KH. Bisri Mustofa (pendiri Pondok Pesantren
Rembang), dan KH. As’ad Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok Pesantren
Asembagus, Situbondo).

Karomah Mbah Kholil


Adapun karomah Mbah Kholil diantaranya:

1. Membelah Diri
Kesaktian lain dari Mbah Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa
berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Pernah ada peristiwa aneh saat
beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu
yang tak terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyup,” Cerita
KH. Ghozi.

2. Menyembuhkan Orang Lumpuh Seketika

Dalam buku yang berjudul “Tindak Lampah Romo Yai Syeikh Ahmad Jauhari
Umar” menerangkan bahwa Mbah Kholil Bangkalan termasuk salah satu guru Romo
Yai Syeikh Ahmad Jauhari Umar yang mempunyai karomah luar biasa. Diceritakan
oleh penulis buku tersebut sebagai berikut:

“Suatu hari, ada seorang keturunan Cina sakit lumpuh, padahal ia sudah dibawa ke
Jakarta tepatnya di Betawi, namun belum juga sembuh. Lalu ia mendengar bahwa di
Madura ada orang sakti yang bisa menyembuhkan penyakit. Kemudian pergilah ia
ke Madura yakni ke Mbah Kholil untuk berobat. Ia dibawa dengan menggunakan
tandu oleh 4 orang, tak ketinggalan pula anak dan istrinya ikut mengantar.

Di tengah perjalanan ia bertemu dengan orang Madura yang dibopong karena sakit
(kakinya kerobohan pohon). Lalu mereka sepakat pergi bersama-sama berobat ke
Mbah Kholil. Orang Madura berjalan di depan sebagai penunjuk jalan. Kira-kira
jarak kurang dari 20 meter dari rumah Mbah Kholil, muncullah Mbah Kholil dalam
rumahnya dengan membawa pedang seraya berkata: “Mana orang itu?!! Biar saya
bacok sekalian.”

Melihat hal tersebut, kedua orang sakit tersebut ketakutan dan langsung lari tanpa ia
sadari sedang sakit. Karena Mbah Kholil terus mencari dan membentak-bentak
mereka, akhirnya tanpa disadari, mereka sembuh. Setelah Mbah Kholil wafat kedua
orang tersebut sering ziarah ke makam beliau.

PERJUANGAN SYAIKH KHOLIL


Sejak tahun 1926, Surakarta yang kala itu masih menjadi wilayah Vorstenlanden
telah mengirimkan utusannya ke perhelatan Muktamar NU, yang diwakili oleh Kiai
Ahmad Siradj Panularan dan Kiai Mawardi Keprabon.
Pada perkembangannya, meski belum ditemukan keterangan secara rinci, layaknya
cabang-cabang lain seperti Jombang, Semarang, Pekalongan, dan sebagainya
mengenai pembentukan cabang di Surakarta, namun sejak Muktamar pertama
tersebut, Kota Surakarta terus mengirimkan wakilnya. Adalah Kiai Kholil Umar
Kauman, yang disebutkan dalam Laporan Muktamar NU, setidaknya dari catatan
yang diperoleh mulai dari Muktamar tahun 1927 hingga tahun 1930, ia menjadi
wakil dari Surakarta pada forum tertinggi dalam organisasi NU, yang pada masa
dahulu dihelat setiap tahun sekali. Kiai Kholil merupakan adik kandung Kiai Ahmad
Siradj Umar Panularan.
Selain aktif berjuang bersama NU, Kiai Kholil juga ikut mendorong pendidikan bagi
kaum perempuan, khususnya di wilayah Kauman Surakarta.   Bersama Kiai
Zainuddin (Pengasuh Asrama Fatayat), Nyai Hj Mahmudah Mawardi Keprabon
(Ketua PP Muslimat NU 1950-1979), dan sejumlah tokoh lainnya, ia ikut membantu
perkembangan Madrasah Nahdlatul Muslimat (NDM). Kiai Kholil wafat dengan
meninggalkan sejumlah jejak perjuangan yang masih bertahan hingga kini. Ia
dimakamkan di dekat makam Kiai Idris Jamsaren (wafat 1923) dan juga Kiai Ahmad
Siradj (wafat 1961), di kompleks pemakaman Makamhaji.

2. Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari

Hadhratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947) terus berupaya


meneguhkan legacy (warisan) ajaran Islam yang dibawa Wali Songo di Indonesia
melalui dakwah ramah dan berkebudayaan. Upaya-upaya perjuangan tersebut mendapat
tantangan tidak mudah karena bangsa Indonesia dalam kondisi terjajah.

Dalam kondisi terjajah itu, keyakinan beragama rawan terombang-ambing sehingga KH


Hasyim Asy’ari kembali bertekad memperkuat akidah dan syariat Islam kepada Muslim
Nusantara yang terlebih dahulu sudah dilakukan oleh Wali Songo. Tentu saja sembari
berjuang melepaskan bangsa Indonesia dari kungkungan penjajahan dan meningkatkan
kualitas sumberdaya manusia Indonesia dengan ilmu. Dari sini KH Hasyim Asy’ari
merupakan sosok ulama yang terus mendorong rakyat untuk tekun belajar dan menuntut
ilmu. Beliau belajar dari pesantren satu ke pesantren lainnya. Tidak cukup menggali
ilmu di dalam negeri, beliau juga memperkuat keilmuannya dengan belajar di Tanah
Hijaz, Makkah. Setelah beberapa tahun menuntut ilmu di Makkah, Muhammad Asad
Syihab dalam buku biografi KH Hasyim Asy’ari yang ditulisnya mencatat bahwa
Hadhratussyekh pulang ke Tanah Air tidak membawa gelar besar yang kosong, tidak
pula membawa harta dunia yang bertumpuk, namun kembali di dadanya ilmu yang
bermanfaat untuk diajarkan kepada warga dan anak negerinya, memberi bimbingan dan
pendidikan kepada mereka, dan menghidupi mereka dengan ruh Islam. KH Hasyim
Asy’ari berpesan: “Bangsa tidak akan jaya jika warganya bodoh. Hanya dengan ilmu
suatu bangsa menjadi baik.” (Muhammad Asad Syihab, Hadlratussyaikh Muhammad
Hasyim Asy’arie: Perintis Kemerdekaan Indonesia, terj. KH A Mustofa Bisri, 1994: 18)
Muhammad Asad Syihab dalam bukunya itu menyebut Kiai Hasyim Asy’ari dengan
sebutan al-‘Allamah. Dalam tradisi Timur Tengah, istilah tersebut diberikan kepada
orang yang mempunyai pangkat keulamaan dan keilmuan yang tinggi. Meskipun Kiai
Hasyim Asy’ari mumpuni dalam ilmu agama, tetapi ia tidak menutup mata terhadap
bangsa Indonesia yang masih dalam kondisi terjajah. Kegelisahannya itu dituangkan
dalam sebuah pertemuan di Multazam bersama para sahabat seangkatannya dari Afrika,
Asia, dan juga negara-negara Arab sebelum Kiai Hasyim kembali ke Indonesia.
pendirian wadah pesantren itu juga untuk melawan ketidakperikemanusiaan penjajah
Belanda dan juga Nippon (Jepang). Sejarah mencatat, hanya kalangan pesantren yang
tidak mudah tunduk begitu saja di tangan penjajah. Dengan perlawanan kulturalnya, Kiai
Hasyim dan pesantrennya tidak pernah luput dari spionase Belanda. Langkah awal
perlawanan kultural yang dilakukan oleh pesantren menunjukkan bahwa pondok
pesantren tidak hanya menjadi tempat menempa ilmu agama, tetapi juga menjadi wadah
pergerakan nasional hingga akhirnya bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan hakiki
secara lahir dan batin. Kemerdekaan ini tentu hasil perjuangan seluruh rakyat Indonesia.
Tetapi tentu saja peran ulama pesantren sebagai motor, motivator, sekaligus negosiator
tidak bisa dielakkan begitu saja. Asad Syihab mencatat, ketika menangani penataan
pesantren, Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari menghadapi banyak tantangan dan
rintangan. Kiai Hasyim Asy’ari dengan gigih menghadapi segala kesulitan dan hambatan
dari pihak pemerintah kolonial Hindia Belanda kala itu, yang hanya menginginkan kaum
Muslimin dalam posisi terbelakang sehingga tak bisa melakukan perlawanan terhadap
kolonialisme. Berbagai upaya dilakukan oleh Belanda, termasuk melakukan upaya
kekerasan dengan menghancurkan pesantren. Untuk membenarkan tindakan represifnya
itu, Belanda berdalih dan menuduh bahwa pesantren merupakan wadah perusuh,
pemberontak, dan orang-orang Islam ekstrem. (Muhammad Asad Syihab, 1994: 19)
Tidak hanya itu, tindakan Belanda juga mengancam keselamatan jiwa KH Hasyim
Asy’ari sehingga para santri kala itu berupaya keras menjaga keselamatan gurunya
tersebut meskipun harus berhadapan dengan bedil-bedil Belanda. Perlawanan Belanda
surut. Tetapi upayanya tidak pernah berhenti. Namun, kaum santri dan umat Islam
semangatnya justru semakin membuncah dalam membela tanah air dan kemerdekaan
bangsa Indonesia.

3. K.H Ahmad Dahlan


Sosok Ahmad Dahlan melekat erat dalam kisah perjalanan Indonesia. 'Sang Pencerah' yang
berasal dari Kauman, Yogyakarta, ini merupakan pendiri Muhammadiyah, salah satu ormas
terbesar di Indonesia yang banyak berperan di bidang sosial, pendidikan dan kesehatan.

Dari berbagai sumber, Senin (27/7/2015), Ahmad Dahlan lahir dari Yogyakarta pada 1
Agustus tahun 1868. Dahlan muda, yang dikenal dengan nama Muhammad Darwis, pada
umur 15 tahun berangkat menuju Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan belajar agama.

Lahir dari orang tua yang kental dengan ilmu keagamaan, Ahmad Dahlan mengikuti jejak
ayahnya, K.H Abu Bakar, yang merupakan ulama masjid kesultanan Yogyakarta. Selama di
Mekkah, Ahmad Dahlan belajar dari Syeh Ahmad Khatib dan ulama-ulama lainnya dan
mempelajari pemikiran dari Muhammad Abduh, Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-
Afghani,dan Rasyid Ridha.
Setelah kembali ke tanah air, Ahmad Dahlan menikah dengan Siti Walidah yang kelak
menjadi pahlawan nasional. Siti walidah merupakan pendiri dari gerakan perempuan
Aisyiah. Ajaran yang dikembangkan Ahmad Dahlan adalah berfokus pada sunnah dan
Alquran.

Dakwah yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan tidaklah selalu mulus. Pertentangan dan
penolakan hingga ancaman pembunuhan dialami Dahlan dalam mengembangkan
Muhammadiyah. Ketika surat permohonan pembentukan badan hukum Muhammadiyah
dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda, Ahmad Dahlan hanya dapat melakukan
aktivitasnya di Yogyakarta.

Tidak kehabisan akal, Ahmad Dahlan tetap melakukan dakwah di berbagai kota dan
melakukan pendekatan lewat jaringan-jaringan dagangnya. Muncul ketakutan pemerintah
Hinda Belanda saat itu terkait perkembangan Muhammadiyah. Lewat aktivitas dakwah dan
jaringannya, berbagai macam dukungan datang dari luar Yogyakarta untuk Muhammadiyah.

Pada suatu waktu, Muhammadiyah dianggap melakukan tafsir Alquran yang baru oleh
organisasi Islam lainnya pada kongres Al-Islam di Cirebon. Mengenai kritikan itu, Ahmad
Dahlan menjawab:

"Muhammadiyah berusaha bercita-cita mengangkat agama Islam dari keadaan


terbekelakang. Banyak penganut Islam yang menjunjung tinggi tafsir para ulama dari pada
Qur'an dan Hadis. Umat Islam harus kembali kepada Qur'an dan Hadis. Harus mempelajari
langsung dari sumbernya, dan tidak hanya melalui kitab-kitab tafsir," kata Ahmad Dahlan
saat itu.

Ahmad Dahlan tercatat memimpin Muhammadiyah pada tahun 1912–1923. Salah satu
strateginya dalam mengembangkan Muhammadiyah adalah mendidik pada pamongpraja
(calon pejabat) yang belajar di OSVIA Magelang dan Kweekschool Jetis Yogyakarta,
tempat dirinya juga bekerja sebagai seorang pengajar.
Setelahnya, Dahlan juga mendirikan sekolah keguruan yang bernama Madrasah Mu'allimin
(Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah Mu'allimat (Kweekschool Putri
Muhammadiyah). Atas dedikasinya, Ahmad Dahlan menerima gelar pahlawan nasional.
Salah satu pertimbangan pemerintah adalah:

1. K.H. Ahmad Dahlan telah memelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari
nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.

2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran


Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan
beramal bagi masyarakat dan ummat, dengan dasar iman dan Islam.

3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan


pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa
ajaran Islam.

4. Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori


kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat
dengan kaum pria.
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dengan selesainya makalah tentang Tokoh Nasional Indonesia, saya ucapkan
terimakasih kepada pihak yang telah membantu dan memberi informasi untuk Menyusun
makalah ini.
Saya sadar makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Karena dari itu, saya
mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak serta bimbingan yang lebih membangun lagi
untuk saya. Saya juga mohon maaf apabila ada kesalahan kata-kata dan pengetikan karena
masih dalam tahap pembelajaran.
Laporan ini dibuat berdasarkan informasi yang telah kami terima dari berbagai
sumber.
DAFTAR PUSTAKA

Azyumardi , 1999. PENDIDIKAN ISLAM “Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium


Baru”, Jakarta; Logos Wacana Ilmu

Al-Rasyidin dan Samsul Nizar. 2002. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press

Ahmad Dahlan, 1994. ” dalam Ensiklopedia Islam, Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam.
Cet.III; Jakarta: Ictiar Baru Van Hove

Herry Mohammad, dkk, , 2006. TOKOH-TOKOH ISLAM yang Berpengaruh ABAD 20,
Jakarta; Gem Insani Press

Hadikusumo, Jarnawi. 1988. Dari Jamaluddin Al Afghani Sampai KH. Ahmad Dahlan,
Yogyakarta; Persatuan

Iskandar, Salman. 2011 55 Tokoh Muslim IndonesiaMelihat paling berpengaruh, Cet.1 ;


Solo ; Tinta Medina

Ibawi, Machfudz, 1986. Modus Dialog di Perguruan Tinggi Islam, Surabaya; Bina Ilmu

Junus Salam, Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah, Tangerang: Al-Wasat Publising


House

Mulkan, Abdul Munir, 1990. Pemikiran KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam
Perspektif Perubahan Sosial.Cet.I; Jakarta: Bumi Aksara

Musthafa kemal Pasha dan Ahmad Adaby Darba, , 2002. Muhammadiyah sebagai Gerakan
Islam, Cet. II. Yogyakarta : Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam

Nata, Abuddin, 2001. Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia (Cet I: PT. Raja
Grafindo Persada

Nizar, Samsul. 2008. Sejarah Pendidikan Islam, Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era
Rasulullah Sampai Indonesia, Jakarta; Kencana

Noer, Deliar. 1996. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: Penerbit
Pustaka LP3ES

Anda mungkin juga menyukai