Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

TAREKAT KHALWATIYAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Kelembagaan Islam Indonesia

Dosen Pengampu

Prof. Dr. H. Syafiq A. Mughni,MA

Disusun Oleh

Eka Maya Shinta

JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA


BAB I
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan kekinian banyak sekali problema yang ada. Baik itu dari pihak internal
ataupun eksternal. Dimana sebagian besar makhluk hidup berselimut dengan mesra akan keadaan
ini. Dinamika kehidupan yang semakin berkembang menuntut sang penghuni mengikuti arus
yang ada, senang ataupun susah harus senantiasa dijalani. Karena itu adalah alur yang harus
ditempuh.
Semua keadaan dan realitas yang ada bukanlah semata-mata ada dengan sendirinya.
Perihal itu telah dituliskan dan akan terlaksanakan, dengan sesuai kehendak Sang Pencipta.
Maka, tidaklah bisa apa yang hidup didunia tidak kembali kepelukan Sang Pencipta. Banyak
jalan untuk menuju kesana, salah satunya dengan jalan Thariqat atau lebih terkenalnya dengan
sebutan Tarekat.
Dengan keberadaan lembaga itu, terbimbinglah sang makhluk dengan gaya pendidikan
dan kebudayaan sesuai dengan karakter masing-masing klembaga tadi. Karena tidaklah mungkin
suatu lembaga tidak mempunyai suatu karakter tersendiri, walau dalam pandangan secara umum
mempunyai kesamaan dan kesetaraan.
Didalam makalah ini penulis mencoba untuk lebih mengeksplor dari penulisan
sebelumnya dalam pembahasan pramakalah yang telah diajukan kemarin. Dengan penulusuran
lebih untuk mencari-cari refrensi yang ada keterkaitan dengan tema yang diputuskan untuk
penulis.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Singkat Tarekat Khalwatiyah
Suatu taerkat pastilah mempunyai sutua tujuan, secara garis besar tarekat mempunyai tujuan
yaitu membawa pelakunya pada jenjang makrifat dan hakikat, mengembalikan kesejatian jiwa
manusia melalui pengetahuan suci dan kebenaran sejati, dan mengembalikan manusia pada etika
kemausiaanya untuk menjadi manusia yang sempurna. Tarekat Khalwatiyah. Nama tersebut
diambil dari nama seorang sufi ulama dan pejuang Makassar yaitu Muhammad Yusuf bin
Abdullah Abu Mahasin al-Taj al-Khalwaty al-Makassary. Sekarang terdapat dua cabang terpisah
dari tarekat ini yang hadir bersama kita. Keduanya dikenal dengan nama Tarekat Khalwatiyah
Yusuf dan Khalwatiyah Samman. Tarekat Khalwatiyah ini hanya menyebar dikalangan orang
Makassar dan sedikit orang Bugis. Para khalifah yang diangkat terdiri dari orang Makassar
sehingga secara etnis tarekat ini dikaitkan dengan suku tersebut.
Beliau yang pertama kali menyebarkan tarekat ini ke Indonesia. Guru beliau Syaikh Abu al-
Baraqah Ayyub al-Kahlwati al-Quraisy bergelar ”Taj al- Khalwaty” sehingga namanya menjadi
Syaikh Yusuf Taj al-Khalwaty Al-Makassary dibaiat menjadi penganut Tarekat Khalwatiyah di
Damaskus.  Ada indikasi bahwa tarekat yang dijarkan merupakan penggabungan dari beberapa
tarekat yang pernah ia pelajari, walaupun Tarekat Khalwatiyah tetap yang paling dominan.
Tarekat Khalwatiyah, adalah salah satu cabang dari tarekat Syuhrawadiyah yang didirikan di
Baghdad oleh Abdul Kadir Syuhrawardi (w.1167/562H) dan Umar Suhrawardi (w.1234/623 H).
Tarekat Syuhrawardiyah dinamakan tareka Shiddiqiah (dihubungkan kepada Abu Bakar Shidiq
sebagai akhir dari mata rantai sanadnya) banyak berkembang di Afganistan dan India, dan
mempunyai banyak cabang diantaranya Jamaliayah, Jalalliyah, Zainiyah, Safawiyah, Rausaniyah
dan Khalwatiyah.[6]
Secara “nasabiyah”, Tarekat Khalwatiyah merupakan cabang dari Tarekat Az-Zahidiyah,
cabang dari Al-Abhariyah, dan cabang dari As-Suhrawardiyah, yang didirikan oleh Syekh
Syihabuddin Abi Hafs Umar as-Suhrawardi al-Baghdadi (539-632 H).
B. Sejarah Singkat Tarekat Khalwatiyah di Nusantara
Tarekat khalwatiyah yang berkembang di Indonesia ada dua
versi. Pertama, tarekat Khalwatiyah yang sanad muttashilnya melalui Syekh Yusuf al-
Makassari. Tarekat ini berkembang di wilayah Makasar dan
sekitarnya. Kedua, tarekat Khalwatiyah  yang sanad muttashilnya melalui Syekh Abd al-Shamad
al-Palimbani dari Abd al-Karim al-Sammani. Tarekat ini berkembang didaerah Palembang dan
sekitarnya.[7]
Anggota Tarekat Khalwatiyah Yusuf banyak berasal dari kalangan bangsawan Makassar
termasuk penguasa kerjaan Gowa terakhir Andi Ijo Sultan Muhammad Abdul Qadir Aidid
(berkuasa 1940-1960). Tarekat Khalwatiyah Samman lebih merakyat baik dalam hal gaya
maupun komposisi sosial, sebagian besar pengikutnya orang desa.[8]
C. Ajaran-Ajaran Tarekat Khalwatiyah
Adapun dasar ajaran Tarekat khalwatiyah adalah : Pertama, Yaqza maksudnya kesadaran
akan dirinya sebagai makhluk yang hina di hadapan Allah SWT Yang Maha
Agung. Kedua, Taubah mohon ampun atas segala dosa. Ketiga, Muhasabah, menghitung-hitung
atau introspeksi diri. Keempat, Inabah, berhasrat kembali kepada
Allah. Kelima, Tafakkur merenung tentang kebesaran Allah.
Keenam, I’tisam selalu bertindak sebagai Khalifah Allah di bumi. Ketujuh, Firar lari dari
kehidupan jahat dan keduniawian yang tidak berguna. Kedelapan, Riyadah melatih diri dengan
beramal sebanyak-banyaknya. Kesembilan, Tasyakur, selalu bersyukur kepada Allah dengan
mengabdi dan memujinya. Kesepuluh, Sima’ mengkonsentrasikan seluruh anggota tubuh dan
mengikuti perintah-perintah Allah terutama pendengaran.[9]
Di dalam kitab karangan Sa’id ‘Aidrus Al-Habasyi “Uqudul  la’al fi Asanidir Rijal” (Kairo,
1961) dari Al-Hafnawi Asy-Syafi’i, begitu pula  Ali-Wina’i, sehingga mereka diberi
persalin khirqah dari gurunya. Demikian itu ialah karena “sir dan suluk dari Syeikh Qasim al-
Khalawati” sangat sederhana dalam pelaksanaanya, untuk  membawa  tingkat yang rendah
kepada tingkat yang sempurna melalui tujuh gelombang, yang disebut martabat tujuh dari jiwa
itu.[10]
Dalam Tarekat Khalwatiyah dikenal adanya sebuah amalan yang disebut Al-Asma’ As-
Sab’ah  (tujuh nama). Yakni tujuh macam dzikir atau tujuh tingkatan jiwa yang harus dibaca oleh
setiap salik.
-   Dzikir pertama adalah La ilaaha illallah (pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah).
-   Kedua, Allah (Allah). Pada tingkatan jiwa kedua ini disebut an-Nafs al-Lawwamah (jiwa yang
menegur).
-   Ketiga, Huwa (Dia). Dzikir pada tingkatan ketiga ini disebut an-Nafs al-Mulhamah (jiwa yang
terilhami).
-   Keempat, Haq (Maha Benar). Tingkatan jiwa ini disebut an-Nafs al-Muthmainnah (jiwa yang
tenang).
-   Kelima, Hay (Maha Hidup). Disebut juga dzikir an-Nafs ar-Radliyah (jiwa yang ridla).
-   Keenam, Qayyum (Maha Jaga). Tingkatan jiwa ini disebut juga an-Nafs Mardliyah (jiwa yang
diridlai).
-   Ketujuh, Qahhar (Maha Perkasa). Jiwa ini disebut juga an-Nafs al-Kamilah (jiwa yang
sempurna).[11]
Perihal diatas adalah salah satu contoh, bahwa Al-Palimbani memang terpengaruh oleh
pendapat Al-Burhanfuri tentang al-maratib sab’ah.[12]
D. Ajaran- Ajaran Al-Palimbani
Al-Palimbani pernah bermukim bertahun-tahun di Makkah untuk mempelajari agama Islam.
Pada akhir abad ke-18 M, ia kembali ke tanah kelahirannya dengan membawa suatu pendekatan
(metode) untuk mendekatkan diri pada Tuhan yang Maha Kuasa. Tasawuf yang
dikonsepsikannya cenderung mengikuti al-Ghazali[13] dan Ibnu Arabi, yang diolah dan disajikan
dalam suatu sistem ajaran tasawuf sendiri.[14]
Sebagaimana telah dipaparkan diatas, bahwa dalam ajaran tarekat ini ada suatu dzikir yang
dinamai al-Asma’ as-Sab’ah, al-Palimbani memberikan konsep Martabat Tujuh dalam perihal
wujud Allah ta’ala sebagaimana dikutip oleh Chotib Quzwain, yaitu:
a) Martabat ahadiyyatul ahadiyah, dan dinamakan pula martabat an la
ta’ayyun,  martabat ithlaq, dan martabat dzatul-baht, yaitu ibarat dari keadaan semata-mata
wujud Zat (esensi) Allah SWT.
b) Martabat al-Wahidah,  dan dinamakan pula martabat at-ta’ayyun al-awwal dan haqiqat al-
muhammadiyah, yaitu ibarat dari ilmu Allah ta’ala dengan Wujud Zat (esensi)-Nya dan segala
sifat-Nya dan segala yang maujud atas jalan perhimp[unan dengan tiada beda setengahnya
dengan setengahnya.
c) Martabat al-wahidiyyah, dan dinamakan pula haqiqat al-insaniyyah, yaitu ibarat dari ilmu Allah
ta’ala mengenai Zat (esensi)-Nya dan segala sifat-Nya dan segala makhluk batas jalan
perceraiannya setengahnya dengan setengahnya.
d)Martabat ‘alam arwah, dan dinamakan pula nur Muhammad,  yaitu ibarat dari keadaan suatu
yang halus yang semata-mata, yang belum menerima susun dan belum berbeda setengahnya
(daripada setengahnya).
e) Martabat ‘alam mitsal, yaitu ibarat dari keadaan sesuatu yang sangat halus, yang tiada menerima
susun, yang tiada dapat diceraikan setengahnya daripada setengahnya, dan tidak menerima pesuk
dan tidak menerima bertampal.
f)  Martabat ‘alam al-ajsam, yaitu ibarat dari keadaan suatu yang disusun dari empat perkara,
yakni api, angin, tanah, dan air, sekalian yang kasar ang menerima bersusun dan bercerai-berai
setengahnya daripada setengahnya.
g) Martabat ‘alam al-jami’ah, yaitu martabat yang menghimunkan sekalian martabat yang enam
sebelumnya.
Dalam pegamatan langsung yang dilakukan oleh Ma’moen Abdullah, yang dikutib oleh M.
Solihin dalam bukunya. Yang menyatakan bahwa, “berdasarkan realiatas dalam
mengerjakan Ratib Saman, baik perorangan maupun bersama, tampkanya cenderung lebih
sebagai ritual keagamaan dalam usaha memperoleh kekuatan lahir dan batin yang bersifat
kompleks. Disamping adanya doa minta rezeki, umur panjang, beriman, dan bertakwa, terselip
hasrat hati untuk memerangi orang kafir. Jika demikian halnya, Rabit Samad tidak hanya
menyangkut hablumminallah (hubungan manusia dengan Allah), tetapi juga bernuansa politik
untuk menentang segala bentuk penindasan.[16]
Al-Palimbani tidak memerinci berapa kali harus membaca zikir tersebut dan waktu
membacanya, tetapi dia menjelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum membacanya,
yaitu:[17]
1. Bertobat dari segala dosa dan dari segala sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan
kepentingan akhirat.
2. Bersuci diri dengan mandi dan wudlu.
3. Berdiam dan istiqamah (konsisten) untuk mendapatkan status jujur hingga sesuai ucapan lidah
dengan ketetapan hati.
4. Meminta pertolongan Allah Swt, dengan hati khusyuk melalui praktik menghadirkan
syaikh[18] ketika mulai berzikir.
5. Berkeyakinan bahwa pertolongan syaikh akan menyebabkan daangnya pertolongan Rasul Saw,
karena saik merupakan Rasul Saw.
Kemudian Al-Palimbani menguraikan syarat-syarat yang bharus diperhatikan ketika
seseorang membaca zikir, yaitu:
1) Duduk di tempat yang suci seakan-akan dia sedang shalat dan khusyuk.
2) Meletakkan tangannya di atas pahanya.
3) Memakai wewangian.
4) Pakiannya harus bersih, baik, dan harum.
5) Harus di tempat yang tenang.
6) Harus menutup matanya.
7) Murid harus menghadirkan wajah syaikhnya.[19]
8) Mengulangi zikir dengan khusyuk, baik bacaannya keras atau pelan.
9) Mengikhlaskan niat karena Allah Swt.
10)  Merasakan kehebatan Allah Swt, dan kesempurnaan-Nya ketika berzikir.
11)  Hatinya harus hadir ketika berzikir serta mengetahui arti yang dizikirkan.
12)  Menafikan selain Allah Swt, ketika berzikir dan merasakan pengaruhnya keseluruh jiwa
raganya.
Al-Palimbani juga menyebutkan hal-hal yang harus dilakukan murid setelah melakukan
zikir, yaitu:[20]
a) Duduk tenang, khusyuk, setelah berzikir menunggu datangnya warid ilahi  (sesuatu dari Allah
Swt).
b) Menjaga napasnya karena pada saat itulah akan lengkap hubungan hati, akan terbuka tirai
penutup, dan terlepas hatinya dari bisikan setan.
c) Tidak segera meminum air setelah berzikir karena air akan memadamkan panasnya zikir ang
akan menghilangkan kerinduan bagi seorang yang berzikir kepada Allah Swt.
Al-Palimbani juga menguraikan syarat bagi setiap orang yang ingin mengikuti tarekat, yaitu:
[21]

1) Bertakwa kepada Allah Swt, dengan sebenar-benarnya.


2) Menyiapkan diri dengan senjata zikir.
3) Tunduk secara total kepada syaikh seperti mayat di hadapan petugas yang memandikan.
4) Bertekad bulat untuk tetap dalam tarekat hingga akhir hayatnya.
5) Harus memiliki kawan dalam menjalankan ibadah secara bersama-sama, membaca wirid
bersama, dan tolong-mrnolong demi kebaikan.
Al-Palimbai meminta muridya untuk waspada dalam tarekat dan menyuruhnya
memperhatikan kewajiban-kewajiban sebagai berikut:[22]
a)  Membatasi makan, sebagai prasyarat terbukanya pintu hati.
b) Berjaga tengah malam untuk melakukan ibadah karena sebagai prasyarat kesucian hati.
c)  Disiplin dalam menjaga ucapan karena bergurau akan menutup pintu makrifat.
d) Berzikir dan khalwat di tempat khusus dengan megikuti petunjuk-petunjuk syaikh ahar hati
merasa hadir di sisi Allah Swt.
Dia (Al-Palimbani) berpendapat bahwa tarekat Sammaniyah harus menghabiskan waktu antara
maghrib dan isya untuk membaca rawatib Samman yang terdiri dari ayat-ayat AL-Quran dan
asma Allah Swt.
BAB III
SIMPULAN
Tarekat Khalwatiyah adalah nama sebuah aliran tarekat yang berkembang di Mesir.
Secara “nasabiyah”, Tarekat Khalwatiyah merupakan cabang dari Tarekat Az-Zahidiyah,
cabang dari Al-Abhariyah, dan cabang dari As-Suhrawardiyah, yang didirikan oleh Syekh
Syihabuddin Abi Hafs Umar as-Suhrawardi al-Baghdadi (539-632 H).
Dalam Tarekat Khalwatiyah dikenal adanya sebuah amalan yang disebut Al-Asma’ As-
Sab’ah (tujuh nama). Yakni tujuh macam dzikir atau tujuh tingkatan jiwa yang harus dibaca oleh
setiap salik.  Sebagaimana yang telah dipaparkan diatas.
Al-Palimbani berpendapat dalam perihal martabat kewujudan Allah yang  terbagi menjadi
tujuh martabat, sama dengan dzikir yang dibaca dalam tarekat ini. Hasil dari perumusan metode
itu adalah hasil pembacaan Al-Palimbani atas karya-karya Al-Ghazali dan Ibnu Arabi saat Al-
Palimbani berada diluar negeri tapatnya Makkah dan Madinah. Disaat Al-Palimbani belajar
dengan Syaikh Samman.

Daftar Pustaka
Abdillah,  Ali M. 2011. Tasawuf Kontemporer Nusantara. Jakarta:  PT. INA PUBLIKATAMA.
Aceh, Abu Bakar. 1996. Pengantar Ilmu Tarekat. Solo: Ramadani.
Al-Ghozaly, Syakirin. 2010.  Ilmu Tasawuf Sebuah Pengantar. Sukoharjo: AIS- Aswaja Institut
Surakarta.
Azra, Azyumardi. 1998. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.
Hamid, Abu. 1990. Syeikh Yusuf Tajul Khalwat; Suatu Kajian Antropologi Agama. Ujung Pandang: 
Disertasi Ph.D Universitas Hasanuddin.
Masyhuri, Aziz. 2001. Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf, (Surabaya: IMTIYAZ.
Mulyati, Sri (et.al). 2005. Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, cet.
III.  Jakarta: Kencana.
Sholikin, M. 2001. Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia.
__________ 2008. Filsafat dan Metasfisika dalam Islam. Yogyakarta: NARASI.
Shihab, Alwi 2009. Antara Tasawuf Sunni & Tasawuf Falsafi (Akar Tasawuf di Indonesia). Depok:
Pustaka IIMaN.
Toriquddin,   Moh. 2008. Sekularitas Tasawuf (Membumikan Tasawuf dalam Dunia
Modern).  Malang: UIN-Malang Press.
Quzwain, M. Chatib. 1985.Mengenal Allah: Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Syekh Abdus-Samad
Al-Palimbani. Jakarta: Bulan Bintang.

Anda mungkin juga menyukai