Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH STUDI KEISLAMAN (AKHLAK TASAWUF)

ALIRAN-ALIRAN DALAM TASAWUF, MAQAMAT DAN AHWAL


Untuk Memenuhi Tugas Studi Keislaman Akhlak Tasawuf

Dosen Pengampu : Syamsul Arifin, M.pdi

Disusun Oleh :

Mega Novela Ragelia Riska Ifanda Amalia Arifatul Faizah


1314007 1314022 1314016

PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI DARUL ‘ULUM

JOMBANG

2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Makalah
Tarekat berasal dari bahasa Arab, thariqah, jamaknya tara’iq. Secara etimologis, tarekat
berarti (1) jalan atau cara; (2) metode atau sistem; (3) madzhab, aliran, haluan; (4) keadaan;
(5) pohon kurma yang tinggi; (6) tiang tempat teduh, tongkat payung; (7) yang mulia,
termuka dari kaum, dan (8) goresan atau garis pada sesuatu. Tarekat adalah “jalan” yang
ditempuh para sufi. Jalan ini dapat digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syariat
sebab jalan utama disebut syar’, sedangkan anak jalan disebut thariq.
Kerangka sikap dan perilaku sufi diwujudkan melalui amalan dan metode tertentu yang
disebut thariqat, atau jalan dalam rangka menemukan pengenalan Allah SWT. Lingkup
perjalanan menuju Allah SWT untuk memperoleh pengenalan yang berlaku di kalangan sufi
sering disebut sebagai kerangka ‘irfani. Lingkup ‘irfani tidak dapat dicapai dengan mudah
atau secara spontanitas, tetapi melalui proses yang panjang. Proses yang dimaksud adalah
maqam-maqam (tingkatan atau stasiun) dan ahwal (jamak dari hal). Dua persoalan ini harus
dilalui oleh orang yang berjalan menuju Tuhan.
Sebagai kelanjutan pembahasan mengenai tasawuf, pembahasan tarekat di dalam
makalah ini akan mengacu pada aliran tasawuf, maqamat dan ahwal.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah adalah sebagai berikut :
1. Apa sajakah aliran-aliran yang terdapat di tasawuf?
2. Apa yang dimaksud dengan maqamat dalam tasawuf?
3. Apa yang dimaksud dengan ahwal dalam tasawuf?

C. Tujuan Penulisan Makalah


Adapun tujuan penulisan makalah adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui aliran-aliran yang terdapat dalam perkembangan tasawuf.
2. Memahami maqamat dalam tasawuf.
3. Menjelaskan ahwal dalam tasawuf.

D. Manfaat Penulisan Makalah


Adapun manfaat penulisan makalah adlah sebagai berikut :
1. Bagi pembaca, mendapatkan cakrawala ilmu mengenai aliran-aliran dalam tasawuf,
maqamat serta ahwal dalam tasawuf.
~1~
2. Bagi penulis, mendapatkan pengetahuan baru mengenai aliran-aliran yang terdapat dalam
tasawuf, maqamat dan ahwal.

~2~
BAB II
PEMBAHASAN

A. Aliran-aliran dalam Tasawuf


1. Tasawuf Sunni (tasawuf akhlaki) adalah tasawuf yang berorientasi pada perbaikan
akhlak mencari hakikat kebenaran yang mewujudkan manusia yang dapat ma’rifah
kepada Allah, dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan. Tasawuf
akhlaki ini dikembangkan oleh ulama salaf as-salih. Dalam diri manusia ada potensi
untuk menjadi baik dan potensi untuk menjadi buruk. Potensi untuk menjadi baik
adalah al-‘Aql dan al-Qalb. Sementara potensi untuk menjadi buruk adalah an-Nafs
(nafsu) yang dibantu oleh setan. Sebagaimana digambarkan dalam QS As-Syams:7-8
sebagai berikut : “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaanya), maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya”. Para sufi yang
mengembangkan tasawuf akhlaki salah satunya antara lain: Hasan al-Basri (21 H-110
H).
2. Tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang didasarkan kepada keterpaduan teori-teori
tasawuf dan falsafah. Tasawuf falsafi ini tentu saja dikembangkan oleh para sufi yang
filsuf. Ibn Khaldun berpendapat bahwa objek utama yang menjadi perhatian tasawuf
falsafi ada empat perkara yaitu:
a. Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta instropeksi diri yang timbul dari
dirinya.
b. Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam ghaib, misalnya sifat-sifat
rabbani, ‘arasy, kursi, malaikat, wahyu kenabian, roh, hakikat realitas segala yang
wujud, yang ghaib maupun yang tampak, dan susunan yang kosmos, terutama
tentang penciptanya serta penciptaanya.
c. Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap
berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan.
d. Penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar
(syatahiyyat) yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa
mengingkarinya, menyetujui atau menginterpretasikannya. Tokoh-tokoh penting
yang termasuk kelompok sufi falsafi salah satunya antara lain adalah al-Hallaj
(244-309H/858-922 M).1

1
Abd. Rachman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), 34.
~3~
Tasawuf falsafi ini memadukan antara penggunaan akal, jiwa, dan kalbu untuk
menyingkap masalah hakikat metafisika sehingga terpancar (illuminate, isyraq) dan
terbuka (kasyf) semua rahasia ilahiyah. Karenanya tasawuf falsafi ini bisa mengambil
bentuk iluminatif atau isyraqi. Metode iluminasi memercayai bahwa dalam mengkaji
falsafat tinggi (ilahiah) atau ketuhanan, tidaklah cukup hanya dengan mengandalkan
argumentasi (istidlal) dan penalaran (ta’aqqul) saja, tetapi lebih dari itu yaitu
diperlukannya penyucian jiwa serta perjuangan melawan hawa nafsu untuk
menyingkap berbagai hakikat. Metode iluminasi ini mendapat dukungan dari banyak
pihak terutama kalangan filusuf islam, penganut paham ini dinamakan dengan
kelompok paham iliminasionis dengan tokoh-tokohnya yang terkenal seperti Syaikh
Syihabuddin Suhrawardi.
Berbeda dengan kelompok iluminasionis, kelompok metode peripatetic yang
diilhami oleh Aristoteles memercayai bahwa argumentasi adalah tempat bertumpunya
segala persoalan. Metode iluminasi sangat bertumpu kepada kemampuan untuk
menahan hawa anfsu dan pencerahan batin sebagai upaya untuk mencapai hakikat
selain argument dan penalaran. Sedangkan metode peripatetic sangat mengandalkan
argument sebagai tumpuan utama dalam mencari hakikat. Kelompok ini terkenal
dengan tokohnya Ibn Sina. Dalam tradisi falsafah islam, peripatetic disebut dengan
istilah masysya’iyyah. Kata ini berasal dari akar kata masyayamsy-masyyan wa
timsya’an, yang berarti melangkahkan kaki dari satu tempat ke tempat lain, cepat atau
lambat. Dari akar kata tersebut kemudian tersusun kata al masysya’un, yaitu para
pengikut Aristoteles, dinamakan al masysya’un karena mereka mengajarkan dengan
cara berjalan-jalan. Sedangkan al masysya’iyyah mengandung arti falsafah
Aristoteles. Penggunaan istilah masysya’iyyah mengacu pada metode mengajar
Aristoteles yang dikenal dengan metode peripatetic. Aristoteles menggembleng
mahasiswanya dengan cara berjalan-jalan, baik diserambi gedung maupun ditaman-
taman yang indah. Ditanagan para filsuf muslim, peripatetisme (masysya’iyyah)
mengalami perluasan objek pembahasan, tidak terbatas hanya pada Aristotelianisme.
Syed Hossein Nasr mengatakan, peripatetisme (masysya’iyyah) merupakan sintesa
antara ajaran-ajaran islam, Aristotelianisme dan Platonisme, baik Alexandrian
maupun Athenian, juga ajaran-ajaran Plotinus dengan perpaduan wahyu islam. Peran
filsuf muslim adalah memasukkan warna islam kedalanya sehingga selaras dengan
ajaran islam yang berdasar wahyu diturunkan kepada Rasul-Nya.

~4~
3. Tasawuf ‘irfani, yaitu tasawuf yang berusaha menyikap hakikat kebenaran atau
ma’rifah diperoleh dengan tidak melalui logika atau pembelajaran atau pemikiran,
tetapi melalui pemberian Tuhan (mauhibah). Ilmu itu diperoleh karna si sufi berupaya
melakukan tasfiyat al-Qalb. Dengan hati yang suci seseorang dapat berdialog secara
batini dengan Tuhan sehingga pengetahuan atau ma’rifah dimasukkan Allah ke dalam
hatinya, hakikat kebenaran tersingkap lewat ilham (intuisi). Tokoh-tokoh yang
mengembangkan tasawuf ‘irfani salah satunya antara lain: Rabi’ah al-Adawiyah (96-
185 H).
4. Tasawuf Modern, tasawuf modern sebenarnya menuju pada inti yang sama, yaitu
pensucian jiwa, pendekatan diri kepada Allah sedekat mungkin, hidup zuhud di mana
hatinya tidak terikat dengan kehidupan duniawi, namun cara melaksanakan amaliyah
tasawuf ini telah berubah. Jika tasawuf asketis mangambil jalan menyendiri dan
menjauh dari keramaian serta gemerap kehidupan duniawi, bahkan ada yang naik ke
atas bukit untuk brkontemplasi, maka tasawuf modern tidaklah demikian. Tasawuf
modern amaliyahnya dilakukan ditengah keramaian kehidupan bahkan bisa jadi di
pusat kota, sendirian maupun berkelompok, berbaur dengan masyarakat dan tidaklah
meninggalkan materi keduniaan, karena dunia adalah bagian dari kehidupan, namun
kehidupan glamor yang serba materi dan kenikmatan duniawi tidaklah terbesit dalam
diri dang sufi. Tasawuf modern tidak hanya mengolah jiwa atau rohaniah semata,
namun semua potensi yang ada dalam diri manusia, termasuk akal, jiwa, hati, kalbu,
dan seluruh daya atau quwwah yang ada dalam diri manusia bersinergi untuk
upayanya mensucikan hati dan jiwa serta pendekatannya kepada Allah.
Istilah modern secara umum untuk islam diperkenalkan oleh Fazlur Rahman dalam
Islam and Modernity, namun secara spesifik dalam konteks tasawuf diintrodusir oleh
Buya HAMKA (nama lengkapnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah) yang
dilahirkan di Sungai Batang, Maninjau (Sumatra Barat), Ranah Minang, pada tanggal
17 Pebruari 1909 M bertepatan dengan tanggal 14 Muharram 1328 H. bukunya
Tasawuf Modern menjelaskan amalan tasawuf sebagai jalan untuk mendekatkan diri
kepada Allah sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Hadis. Disamping itu, beliau
telah melakukan beberapa hal penting dalam upaya kontekstualisasi, rekonstruksi dan
interpretasi Al-Qur’an dan Hadis dalam kajian taswuf sehingga mudah dipahami dan

~5~
diterima oleh masyarakat Indonesia dan masyarakat modern. Dengan demikian,
tasawuf modern tidak menjauhi peradaban yang sedang berkembang saat itu.2

B. Maqamat
Secara harfiah, maqamat merupakan jamak dari kata maqam yang berarti tempat
berpijak atau pangkat mulia. 3 Dalam bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah
stages yang berarti tangga.4 Sedangkan dalam ilmu tasawuf, maqamat berarti kedudukan
hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakannya, baik melalui
riyadhoh, ibadah, maupun mujahadah. Disamping itu, maqamat berarti jalan panjang
atau fase-fase yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin
dengan Allah. Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh
dalam melakukan sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu terterntu.
Seorang hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya sebelum menyempurnakan
maqam sebelumnya.
Berdasarkan pengertian diatas dapat dikatakan bahwa maqam dijalani oleh seorang
salik melalui usaha yang sunguh-sungguh, sejumlah kewajiban yang harus ditempuh
untuk jangka waktu tertentu. Berkaitan dengan macam-macam maqamat yang harus
ditempuh oleh seorang salik untuk berada sedekat mungkin dengan Allah, para sufi
memiliki pendapat yang berbeda. Menurut al-Ghazali yang diuraikan dalam kitabnya
Ihya’ Ulum ad-Din,maqamat terdiri dari delapan tingkat, yaitu taubat, sabar, zuhud,
tawakal, mahabbah, ridha, dan ma’rifat. Menurut as-Sarraj Ath Thusi, maqamat terdiri
dari tujuh tingkat, yaitu taubat, wara’, zuhud, faqr, sabar, ridha, dan tawakal.
Sedangkan menurut Muhammad al-Kalabazy, maqamat terdiri dari sepuluh tingkatan,
yaitu taubat, zuhud, sabar, faqr, tawadhu’, taqwa, tawakal,ridha, mahabbah, dan
ma’rifah.5
1. Taubat
Taubat berasal dari bahasa Arab taba-yatubu-taubatan yang berarti “kembali” dan
“penyesalan”. Sedangkan pengertian taubat bagi kalangan sufi adalah memohon
ampun atas segala dosa yang disertai dengan penyesalan dan berjanji dengan

2
Abd. Rachman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), 36.
3
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia. (Jakarta: Hidakarya Agung. 1990). 362.
4
John M.Echols dan Hasan Sadily. Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: Gramedia. 1988).550
5
Hamzah Tualeka,dkk. Akhlak Tasawuf. (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press.. 2012). 244
~6~
sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut dan dibarengi
dengan melakukan kebajikan yang dianjurkan oleh Allah.6
Taubat menurut Dzun Nun al-Mishri dibedakan menjadi tiga tingkatan : (1) orang
yang bertaubat dari dosa dan keburukan, (2) orang yang bertaubat dari kelalaian
mengingat Allah dan (3) orang yang bertaubat karena memandang kebaikan dan
ketaatannya. Dari ketiga tingkatan taubat tersebut, yang dimaksud sebagai maqam
dalam tasawuf adalah upaya taubat, karena merasakan kenikmatan batin.
Lain halnya dengan Ibnu Taimiyah. Ia membedakan taubat menjadi dua : taubat
wajjib dan taubat sunnah taubat waib adalah taubat karena menyesali perbuatan
meninggalkan perkara-perkara wajib, atau menyesal karena melakukan perkara-
perkara haram. Sedangkan taubat sunnah adalah taubat karena menyesali perbuatan
meninggalkan perkara-perkara sunnah, atau karena menyesali perbuatan melakukan
perkara-perkara makruh. Berkaitan dengan dua macam taubat tersebut, Ibnu
Taimiyah menjelaskan tingkatan orang yang bertaubat menjadi dua. Pertama, al-
abrar al muqtashidan (orang-orang yang berbakti lagi pertengahan), yaitu orang-
orang yang melakukan jenis taubat yang pertama, yaitu taubat wajib. Kedua, as-
sabiqun al-awwalun. Mereka adalah orang yang melakukan jenis taubat wajib dan
taubat sunnah.
2. Zuhud
Zuhud secara harfiah berarti meninggalkan kesenangan dunia, atau tidak ingin
kepada sesuatu yang bersifat keduniawian. Menurut pandangan para sufi, zuhud
secara umum diartikan sebagai suatu sikap melepaskan diri dari rasa ketergantungan
terhadap kehidupan duniawi dengan mengutamakan kehidupan ukhrawi. Zuhud
dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, yaitu menjauhkan dunia agar terhindar dari
hukuman akhirat. Kedua, menjauhi dunia dengan menimbang imbalan di akhirat.
Ketiga, mengucilkan dunia bukan karena takut atau karena berharap tetapi karena
cinta kepada Allah semata.
Zuhud berdasarkan maksudnya dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, zuhud
menjauhkan dunia agar terhindar dari hukuman akhirat. Kedua, zuhud menjauhi
dunia dengan mengharapkan imbalan di akhirat. Ketiga, zuhud meninggalkan
kesenangan dunia bukan karena berharap atau takut, akan tetapi karena kecintaan
terhadap Allah semata.

6
Rasihan Anwar dan Mukhtar Solihin. Ilmu Tasawuf. (Bandung: Pustaka Setia. 2000).58
~7~
Selain ketiga zuhud tersebut, al-Ghazali juga mengklarifikasikan zuhud menjadi
beberapa tingkatan, yaitu :
a. Zuhud yang dikaitkan dengan jiwa orang yang berzuhud. Tingkatan ini dibedakan
menjadi tiga bagian berdasarkan kuat lemahnya zuhud, yaitu :
1) As-sufla yaitu derajat zuhud yang paling rendah, dimana orang meninggalkan
kemewahan dunia tetapi sebenarnya hatinya masih cenderung dan
menginginkannya.
2) Derajat zuhud orang yang meninggalkan kemewahan dunia secara sukarela,
karena ia melihat dunia sebagai kehinaan.
3) A-‘ulya, yaitu derajat yang paling tinggi. Maksudnya, disini adalah menjauhi
kemewahan dunia secara sukarela, karena ia melihat dunia tidak mempunyai
nilai apa-apa dan tidak sepadan dengan sesuatu apapun.
b. Zuhud yang dikaitkan dengan sesuatu yang dicintai. Zuhud ini dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu :
1) Zuhudnya orang takut, dimana seorang hamba melakukan zuhud dikarenakan
takut akan siksa neraka, azab kubur dan lain-lain.
2) Zuhud orang yang mengharap pahala, nikmat Allah dan kelezatan yang telah
dijanjikan di dalam surge.
3) Derajat yang tertinggi, yaitu zuhudnya para arif dimana zuhud mereka bukan
dikarenakan suatu apapun selain Allah, tetapi hanya ingin berjumpa dengan
Allah.
c. Zuhud yang dikaitkan dengan sesuatu yang harus ditinggalkan. Tingkatan ini
dibagi menjadi :
1) Meninggalkan segala sesuatu selain Allah
2) Meninggalkan segala sesuatu yang dikarenakan nafsu, seperti marah,
sombong, pangkat, harta dan lain-lain.
d. Zuhud dengan meninggalkan harta, pangkat dan segala sesuatu yang
menyebabkan seseorang mendapatkannya. Meninggalkan dirham, pangkat dan
segala kesenangan dunia.
3. Sabar7
Sabar secara harfiah berarti tabah hati. Secara terminology sabar adalah suatu
keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekuen dalam pendirian. Sedangkan menurut
pandangan Dzun Nun al Mishri, sabar berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang

7
Rosihon Anwar. Akhlak Tasawuf. (Bandung : Pustaka Setia. 2010).200
~8~
bertentangan dengan kehendak Allah, tetap tenang ketika mendapat cobaan dan
menampakkan sikap cukup, walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran.
Berdasarkan pengertian diatas, maka sabar erat hubungannya dengan pengendalian
diri, pengendalian sikap dan pengendalian emosi. Oleh sebab itu, sikap sabar tidak
bisa terwujud begitu saja, akan tetapi harus melalui latihan yang bersungguh-sungguh.
Menurut pendapat Ibnu Taimiyah, sabar dalam menjauhi maksiat lebih tinggi
tingkatannya daripada sabar menghadapi musibah. Sabar dalam menjauhi maksiat
senantiasa dimiliki oleh orang-orang yang bertakwa dan para wali. Demikian juga
menurut Sahal at Tusturi, bahwa perbuatan baik itu dapat dilakukan oleh orang baik
dan orang dzalim, sedangkan yang mampu bersabar dalam meninggalkan maksiat
hanyalah orang-orang yang benar.
4. Wara’
Wara’ secara harfiah berarti saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau
maksiat. Sedangkan pengertian wara’ dalam pandangan sufi adalah meninggalkan
segala sesuatu yang tidak jelas hukumnya, baik yang menyangkut makanan, pakaian,
maupun persoalan lainnya. Menurut Qamar Kailani yang dikutip oleh Rivay A.
Siregar, wara’ lahiriyah dan wara’ batiniyah. Wara’ lahiriyah adalah tidak
mempergunakan segala yang masih diragukan dan meninggalkan kemewahan,
sedangkan wara’ batiniyah adalah tidak menempatkan atau mengisi hati kecuali
dengan mengingat Allah. Dalam kitab Al Luma’ dijelaskan bahwa orang-orang wara’
dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, wara’ orang yang menjauhkan diri dari
syubhat. Kedua, wara’ orang yang menjauhkan diri dari sesuatu yang menjadi
keraguan hati dan ganjalan di dada. Ketiga, wara’ orang arif yang sanggup
menghayati dengan hati nurani.
5. Faqr
Faqr, secara harfiah diartikan sebagai orang yang membutuhkan atau memerlukan.
Dalam al Quran, istilah ini digunakan dengan mengacu pada dua makna. Pertama,
digunakan dalam konteks sosial ekonomi. Kedua, dalam konteks eksistensi manusia.
dalam konteks sosial ekonomi, faqr mengandung makna seseorang yang
penghasilannya setelah bekerja tidak mencukupi kebutuhannya. Dinamakan faqr
karena masih membutuhkan bantuan untuk meningkatkan taraf hidup. Sedangkan
dalam konteks eksistensi manusia, faqr mengandung makna bahwa semua manusia
secara universal membutuhkan Allah. Dalam pandangan sufi, faqr diartikan tidak
menuntut lebih banyak dari apa yang telah dimiliki dan merasa puas dengan apa yang

~9~
telah dimiliki dan merasa puas dengan apa yang dimiliki sehingga tidak meminta
sesuatu yang lain. sikap faqr merupakan pondasi yang kuat dalam menghadapi
pengaruh kemewahan hidup di dunia. Seseorang yang memiliki sikap faqr terhindar
dari keserakahan, karena sikap ini merupakan rentetan dari sikap zuhud.
Orang-orang yang berkedudukan rohani faqr terbagi menjadi tiga tingkatan.
Pertama, orang yang tidak memiliki apa-apa dan tidak meminta apapun kepada
seseorang, baik secara lahir maupun batin. Golongan pertama ini tidak mengharapkan
apapun dari seseorang dan apabila diberi sesuatu ia tidak mau menerimanya. Kedua,
orang yang tidak memiliki apapun tetapi tidak meminta kepada siapapun, tidak
mencari dan juga tidak memberi isyarat atas kefakirannya. Jika diberi sesuatu, maka
ia akan mengambilnya. Ketiga, orang yang tidak memiliki apa-apa, ika membutuhkan
sesuatu ia akan mengungkapkannya kepada sebagian orang yang dikenalnya.
6. Tawakal
Tawakal secara harfiah berarti menyerahkan diri. Pengertian umumnya adalah
pasrah dan menyerahkan segalanya kepada Allah setelah melakukan suatu rencana
atau usaha. Sikap ini erat kaitannya dengan amal dan keikhlasan hati, yaitu ikhlas
semata-mata karena Allah dan menyerahkan segalanya kepada Allah. Menurut al
Qusyairi, tawakal tempatnya di hati dan terjadi setelah hamba meyakini bahwa segala
ketentuan Allah.
Tanda-tanda tawakal ada tiga: (1) menyingkirkan sikap ketergantungan, (2)
menghilangkan bujukan yang berkaitan dengan tabiat dan (3) berpedoman pada
kebenaran dalam mengikuti tabiat. Derajat atau tingkatan tawakal dibagi menjadi
tiga :
a. Keyakinan seseorang akan tanggungan dan pemeliharaan Allah sama dengan
keyakinannya terhadap orang kepercayaannya.
b. Derajat yang lebih tinggi daripada derajat pertama. Memposisikan diri dihadapan
Allah seperti posisi seorang bayi di hadapan ibunya. Bayi tidak tahu siapapun
kecuali ibunya dan tidak mengeluh selain kepada ibunya.
c. Derajat tertinggi, yaitu memposisikan diri dihadapan Allah ibarat posisi mayat di
hadapan orang yang memandikan.
7. Ridha
Ridha secara harfiah berarti rela, senang dan suka. Sedangkan pengertian secara
umum adalah tidak menentang qadha dan qadar Allah, menerima qadha dan qadar
dengan senang hati. Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di

~ 10 ~
dalam hanyaperasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka
sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Tidak meminta surge dari Allah dan
tidak meminta dijauhkan dari neraka. Sikap ridha ini merupakan kelanjutan rasa cinta
atau perpaduan dari mahabbah dan sabar. Rasa cinta yang diperkuat ddengan
ketabahan akan menimbulkan kelapangan hati dan kesediaan yang tulus untuk
berkorban dan berbuat apa saja yang diperintahkan oleh Allah.
Menurut Abdullah bin Khafif, ridha dibagi menjadi dua macam: ridha dengan
Allah dan ridha terhadap apa yang datang dari Allah. Ridha dengan Allah berarti
bahwa seorang hamba rela terhadap Allah sebagai pengatur jagad raya seisinya,
sedangkan ridha terhadap apa yang datang dari Allah berarti rela terhadap apa saja
yang telah menjadi ketetapan Allah.
8. Mahabbah
Mahabbah berasal dari kata ahabba-yuhibbu-mahabbatan yang berarti mencintai
secara mendalam. Mahabbah pada tingkatan selanjutnya dapat diartikan suatu usaha
sungguh-sungguh dari seoranguntuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan
terwujudnya kecintaan yang mendalam kepada Allah. Berkaitan dengan konsep
mahabbah, Rabi’ah al Adawiyah adalah peletak dasar mahabbah ini. Mahabbah
dalam pandangan Rabi’ah adalah cinta abadi kepada Allah yang melebihi cinta
kepada siapa pun dan apapun.
Menurut Rabi’ah al Adawiyah. Allah adalah salah satu yang seharusnya dicintai
dan Dialah tujuan akhir dalam pencarian cinta yang abadi. Untuk menggapai
kecintaan Ilahi, maka seorang sufi harus melatih dirinya untuk mencintai segala
keindahan alam seisinya. Karena keindahan adalah dari Zat Yang dicintai. Bagi
Rabi’ah, rasa cinta kepada Allah menjadi salah satu motivasi dalam setiap
perilakunya dan sekaligus merupakan tujuan pengabdian kepada Allah.
Dalam pandangan at-Thusi, mahabbah dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama,
mahabbah al ‘ammah, yaitu cinta yang timbul dari belas kasihan dan kebaikan Allah
kepada hambaNya. Kedua, hub ash-shadiqin wa al-muttaqin, yaitu cinta yang timbul
dari pandangan hati sanubari terhadap kebesaran, keagungan, kemahakuasaan, ilmu
dan kekayaan Allah. Ketiga, mahabbah ash-shidiqin wa al-‘arifin, yaitu mahabbah
yang timbul dari penglihatan dan ma’rifat dari para sufi terhadap kekalnya kecintaan
Allah yang tanpa ‘illat. Adapun tanda-tanda cinta seorang hamba terhadap Allah
diantaranya adalah :

~ 11 ~
a. Senang bertemu dengan kekasihnya (Allah) dengan cara saling membuka rahasia
dan saling melihat satu sama lain.
b. Melakukan segala hal yang disenangi kekasihnya. Atas nama cinta kepada Allah,
rela menjalankan kewajiban yang diperintahkan.
c. Senantiasa berdzikir menyebut namaNya
d. Merasa tenang dan damai tatkala bermunajat dengan Allah dan membaca
kitabNya
e. Tidak merasa gundah jika kehilangan sesuatu selain Allah dan merasa gundah jika
waktunya terlewatkan tanpa mengingat Allah.
f. Merasa nikmat saat menjalankan perintah Allah dan tidak menganggap perintah
itu sebagai beban.
g. Menyayangi semua hamba Allah berperilaku tegas kepada semua musuh Allah.
9. Ma’rifat
Ma’rifat berasal dari kata ‘arafa-ya’rifu-irfan-ma’rifat yang berarti pengetahuan atau
pengalaman ma’rifat dapat pula berarti pengetahuan rahasia hakikat agama, yaitu
ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang didapat pada umumnya, dan merupakan
pengetahuan yang objeknya bukan hal-hal yang bersifat zhahir, tetapi bersifat batin,
yaitu pengetahuan mengenai rahasia-rahasia Tuhan melalui pancaran cahaya Ilahi.
Ma’rifat dalam pandangan al-Ghazali adalah mengetahui rahasia Allah dan
mengetahui peraturan-peraturan Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Allah
tentang segala yang ada. Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘ulum ad-Din membedakan jalan
pengetahuan sampai kepada Tuhan antara orang awam, ulama, dan sufi. Bagi orang
awam, keyakinan akan pengetahuan tentang Allah dibangun atas dasar taqlid, yaitu
hanya mengikuti perkataan orang lain tanpa menyelidikinya.
Bagi ulama, keyakinan akan Allah dibangun atas dasar adanya tanda-tanda atau atas
dasar pembuktian. Bagi sufi, keyakinan akan Allah dibangun atas dasar dzauq rohani
dan kasyf Ilahi. Ma’rifat dalam pandangan Dzun Nun al Misri adalah pengetahuan
hakiki tentang Tuhan. Menurutnya, ma’rifat hanya terdapat pada kaum sufi yang
sanggup melihat Allah dengan hati sanubari mereka. Ma’rifat dipancarkan ke hati
para sufi dengan pancaran cahaya suci Ilahi.

C. Ahwal
Ahwal adalah bentuk jamak dari hal, yang dari segi bahasa berarti sifat dan
keadaan sesuatu dalam kitab Ishthilahat al Shuffiyat, ahwal diterangkan sebagai

~ 12 ~
pemberian yang tercurah kepada seseorang dari Ilahi, baik sebagai buah dari amal saleh
yang menyucikan jiwa, menjernihkan hati maupun datang dari Tuhan sebagai pemberian
semata. Dinamakan ahwal karena dengan melalui hal itu seorang hamba mengalami
perubahan dari penampilan lahiriah seorang makhluk dan kedudukan yang jauh menuju
kualitas yang tidak tampak atas kedudukan yang dekat.8
Adapun al-hal yang paling banyak disepakati adalah sebagai berikut :
1. Al-Muraqabah
Muraqabah adalah kesadaran diri bahwa kita selalu berhadapan dengan Allah
dalam keadaan apa pun dan Dialah yang selalu mengawasi segala apa pun yang kita
lakukan. Muraqabah ini merupakan keadaan hati yang dihasilkan oleh pengenalan
terhadap Allah. Muraqabah memiliki dua tingkatan. Pertama, muraqabah para
shiddiqin dan muqarrabin. Muraqabah ini dilakukan untuk mengagungkan Allah
dengan cara melatih hati senantiasa sadar bahwa Allah mengetahui gerak- gerik
manusia. Orang yang telah mencapai tingkatan ini maka seakan telah melalaikan
makhluk lainnya. Kedua, muqarrabahnya orang wara’. Mereka sadar bahwa Allah
mengawasi kondisi secara lahir dan batin.
Menurut al-Ghazali, seorang yang muraqabah dapat melakukannya sebanyak dua
kali : (1) muraqabah dilakukan dengan mengamati seluruh gerak dan diamnya badan
serta gerak hati dan (2) dilakukan dengan mengamati cara dalam melaksanakan amal
untuk memenuhi hak Allah dan selalu menyempurnakan niatnya selama
menyelesaikan amalnya.
2. Al-Khauf
Khauf adalah suatu sikap mental yang merasa takut kepada Allah karena kurang
sempurna pengabdiannya. Takut dan khawatir kalau Allah tidak senang kepadanya.
Menurut al-Ghazali, khauf adalah rasa sakit dalam hati karena khawatir akan terjadi
sesuatu yang tidak disenangi di masa mendatang. Menurut al-Ghazali, khauf terdiri
dari tiga tingkatan, yaitu :
a. Tingkatan qashir, yaitu khauf seperti kelembutan perasaan yang dimiliki wanita.
Perasaan ini seringkali dirasakan tatkala mendengar ayat-ayat al quran dibacakan
atau seperti halnya takut karena menyaksikan peristiwa-peristiwa yang dahsyat.
Tingkatan ini banyak dimiliki oleh banyak orang kecuali para arif dan’ulama.
b. Tingkatan mufrith, yaitu khauf yang sangat kuat dan melewati batas kewajarannya
dan menyebabkan kelemahan dan putus asa khauf tingkatan ini terkadang

8
Hamzah Tualeka,dkk. Akhlak Tasawuf. (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press.. 2012). 263
~ 13 ~
menyebabkan sakit, hilangnya kendali akal, dan bahkan kematian. Khauf seperti
ini sangat dicela, karena dapat membuat manusia tidak mampu beramal.
c. Tingkatan mu’tadil, yaitu tingkatan khauf yang sangat terpuji ia berada pada
khauf qashir dan mufrith.

Adapun berdasarkan penyebabnya, khauf dibagi menjadi dua. Pertama, sesuatu


yang ditakuti karena akibat yang ditimbulkan, seperti takut mati sebelum taubat,
ketidakmampuan memenuhi hak-hak Allah. Kedua, ssesuatu ditakuti karena zatnya,
seperti takut pada mati dan beratnya menghadapi kematian.

3. Raja’
Raja’ adalah berharap atau perasaan hati yang senang karena menanti sesuatu
yang diinginkan atau disenangi. Al-Ghazali mendefinisikan dengan suatu keadaan
dimana hati merasa nyaman karena menanti sesuatu yang dicintai atau didambakan.
Raja’ menurut ath-Thusi terdiri dari tiga perkara: (1) mengharapkan Allah, (2)
mengharapkan keluasan rahmat kasih sayang dan, (3) mengharapkan pahala Allah
seorang hamba yang memiliki pengharapan yang esar kepada Allah akan
mengakibatkan timbulnya kerinduan yang mendalam pula kepadaNya. Tanda seorang
hamba yang memiliki harapan kepada Allah yaitu manakala seorang hamba
menerima nikmat dan anugerah, maka ia selalu bersyukur.
4. Thuma’ninah
Thuma’ninah adalah rasa tenang, tidak ada rasa was-was atau khawatir, tak ada
yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran, karena ia telah mencapai tingkat
kebersihan jiwa yang paling tinggi. Seseorang yang telah mencapai tingkatan
thuma’ninah, ia telah kuat akalnya, kuat imannya dan ilmunya serta bersih ingatannya.
Jadi, orang tersebut merasakan kebahagiaan, ketenangan, tentram dan ia dapat
berkomunikasi langsung dengan Allah thuma’ninah dibagi menjadi tiga tingkatan.
Pertama, ketenangan bagi kaum awam ketenangan ini didapatkan ketika seorang
hamba berdzikir, mereka merasa tenang karena buah dzikir adalah terkabulnya doa-
doa. Kedua, ketenangan bagi orang khusus. Mereka di tingkat ini merasa tenang
karena mereka rela, senang atas keputusan Allah, sabar atas cobaanNya, ikhlas dan
taqwa. Ketiga, ketenangan bagi orang-orang paling khusus. Ketenangan di tingkat ini
mereka dapatkan karena mereka mengetahui bahwa rahasia-rahasia hati mereka tidak
sanggup merasa tentram kepadaNya dan tidak bisa tenang kepadaNya karena
kewibawaan dan keagunganNya

~ 14 ~
5. Al-Uns
Uns (suka cita) dalam pandangan sufi adalah sifat merasa selalu berteman, tak
pernah merasa sepi. Dalam keadaan seperti ini, seorang sufi merasakan tidak ada
yang dirasa, tidak ada yang diingat, tidak ada yang diharap kecuali Allah. Segenap
jiwa terpusat bulat kepadaNya, sehingga ia seakan-akan tidak menyadari dirinya lagi
dan berada dalam situasi hilang kesadaran terhadap alam sekitarnya. Situasi kejiwan
seperti itulah yang disebut dengan uns.
Seorang hamba yang merasakan uns dibedakan menjadi tiga kondisi pertama,
seorang hamba yang merasa suka cita berdzikir mengingat Allah dan merasa gelisah
disaat lalai. Merasa senang di saat berbuat ketaatan dan gelisah berbuat dosa. Kedua,
seorang hamba yang merasa senang dengan Allah dan gelisah terhadap bisikan-
bisikan hati, pikiran dan segala sesuatu selain Allah yang akan menghalanginya untuk
dekat dengan Allah. Ketiga, yaitu kondisi yang tidak lagi melihat suka citanya karena
adanya wibawa, kedekatana, kemuliaan dan mengagungkan disertai dengan suka cita.
6. Musyayadah
Musyayadah secara harfiah adalah menyaksikan dengan mata kepala. Secara
terminology tasawuf adalah menyaksikan secar jelas dan sadar apa yang dicarinya
(Allah) atau penyaksian terhadap kekuasaan dan keagungan Allah. Seorang sufi telah
mencapai musyayadah ketika sudah merasakan bahwa Allah telah hadir atau Allah
telah berada di dalam hatinya dan seseorang sudah tidak menyadari segala apa yang
terjadi, segalanya tercurahkan hanya kepada yang satu, yaitu Allah. Dalam situasi
seperti itu, seorang sufi memasuki tingkatan ma’rifat, dimana seorang sufi seakan-
akan menyaksikan Allah dan melalui persaksiannya tersebut maka timbullah rasa
cinta kasih.

~ 15 ~
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ada beberapa Aliran dalam Tasawuf yaitu:

1. Pertama, Tasawuf Sunni (tasawuf akhlaki) adalah tasawuf yang berorientasi pada
perbaikan akhlak mencari hakikat kebenaran yang mewujudkan manusia yang dapat
ma’rifah kepada Allah, dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan.
Tasawuf akhlaki ini dikembangkan oleh ulama salaf as-salih.
2. Kedua, Tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang didasarkan kepada keterpaduan teori-teori
tasawuf dan falsafah. Tasawuf falsafi ini tentu saja dikembangkan oleh para sufi yang
filsuf.
3. Ketiga, Tasawuf ‘irfani, yaitu tasawuf yang berusaha menyikap hakikat kebenaran
atau ma’rifah diperoleh dengan tidak melalui logika atau pembelajaran atau
pemikiran, tetapi melalui pemberian Tuhan (mauhibah).
4. Keempat, Tasawuf Modern, tasawuf modern sebenarnya menuju pada inti yang sama,
yaitu pensucian jiwa, pendekatan diri kepada Allah sedekat mungkin, hidup zuhud di
mana hatinya tidak terikat dengan kehidupan duniawi, namun cara melaksanakan
amaliyah tasawuf ini telah berubah.
Secara harfiah, maqamat merupakan jamak dari kata maqam yang berarti tempat
berpijak atau pangkat mulia. Dalam bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah
stages yang berarti tangga. Sedangkan dalam ilmu tasawuf, maqamat berarti kedudukan
hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakannya, baik melalui
riyadhoh, ibadah, maupun mujahadah. Menurut as-Sarraj Ath Thusi, maqamat terdiri
dari tujuh tingkat, yaitu taubat, wara’, zuhud, faqr, sabar, ridha, dan tawakal.
Sedangkan menurut Muhammad al-Kalabazy, maqamat terdiri dari sepuluh tingkatan,
yaitu taubat, zuhud, sabar, faqr, tawadhu’, taqwa, tawakal,ridha, mahabbah, dan
ma’rifah.
~ 16 ~
Ahwal adalah bentuk jamak dari hal, yang dari segi bahasa berarti sifat dan keadaan
sesuatu dalam kitab Ishthilahat al Shuffiyat, ahwal diterangkan sebagai pemberian yang
tercurah kepada seseorang dari Ilahi, baik sebagai buah dari amal saleh yang menyucikan
jiwa, menjernihkan hati maupun datang dari Tuhan sebagai pemberian semata.

~ 17 ~
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rasihan dan Mukhtar Solihin. 2000, Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Anwar, Rosihon, 2010, Akhlak Tasawuf. Bandung : Pustaka Setia.
Assegaf,Rachman,2013, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
M.Echols, John dan Hasan Sadily, 1988, Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Tualeka, Hamzah, dkk, 2012, Akhlak Tasawuf. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press.
Yunus, Mahmud, 1990, Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung.

~ 18 ~

Anda mungkin juga menyukai