Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH BUKTI-BUKTI KEESAAN TUHAN

Disusun oleh :

Nama : Vandi Maulana Himayana

Kelas : TEKNIKA 1-E

NRP : 562190400
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah yang telah memberi kekuatan kepada kita
untuk selalu taat beribadah kepada-Nya.

Shalawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada Pemimpin ummat seluruh
dunia, Rasulullah SAW. Semoga syafa’atnya sampai kepada kita semua selaku ummat akhir zaman.

Dalam kesempatan ini Alhamdulillah Penulis dapat menyelesaikan makalah sebagai tugas
mata kuliah Materi PAI yang berjudul “BUKTI-BUKTI KEESAAN TUHAN”. Penulis mengucapkan terima
kasih kepada semua orang yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini.

Akhir kata, semoga apa yang ada dalam isi makalah ini bisa bermanfaat khususnya bagi
penulis umumnya bagi semua para pembaca.

Denpasar, 1 Januari 2020

Vandi Maulana
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Aliran teologi mulai pesat perkembangannya setelah terjadinya pergolakan politik masa
Khalifah Ali bin Abi Thalib yang berakhir dengan peperangan baik dari fisik maupun pemikiran.

Akibat dari tahkim pada waktu perang Siffin yang dimenangkan oleh kubu Muawiyah,
ummat Islam terbagi menjadi beberapa golongan dan tiap golongan mempunyai pemikiran masing-
masing yang dihasilkan dari pernafsiran Al Qur’an menurut cara mereka masing-masing.

Diantara pemikiran yang paling menjadi sorotan adalah permasalahan Akidah dimana setiap
golongan saling menyalahkan dan mengkafirkan yang lain karena perbedaan pendapat. Termasuk
salah satunya adalah tentang Keesaan Tuhan.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Al-Tauhid (Tauhid/Keesaan)

Mu’tazilah adalah kelompok yang banyak melakukan pembelaan terhadap penyelewengan


yang terjadi terhadap Keesaan Allah SWT, seperti yang dilakukan oleh Syi’ah Rafidhah yang
menggambarkan Tuhan dalam bentuk jism (tubuh) seperti halnya manusia, atau agama-agama lain
di luar Islam yang tidak mengakui Keesaan Tuhan. Hal itu tidak lain mereka lakukan adalah untuk
memantapkan Tauhid, bahwa Allah SWT Maha Esa, tidak ada yang bisa menandingi-Nya dan serupa
dengan-Nya.

Pembelaan mereka terhadap Keesaan Allah itu melahirkan pokok pikiran yang selanjutnya
dikenal juga dengan konsep al-Tanzih (pensucian) . Sehingga bisa dikatakan inti konsep Tauhid
mereka adalah Tanzih.

Imam al-Asy’ari dalam bukunya Maqalat al-Islamiyyin menggambarkan konsep Tauhid yang
diberikan oleh aliran Mu’tazilah sebagai berikut:

“Allah, Yang Maha Esa (wahid ahad), tidak ada sesuatu yang menyamai-Nya (laysa kamitslihi
syai’), bukan jism (bentuk tubuh/benda), syabah, shurah (bentuk gambaran), daging atau darah,
bukan syakhsh (pribadi), jauhar, atau ‘aradh. Tidak berwarna (dzi laun), berasa (tha’m), berbau
(ra’ihah) dan tidak bisa diraba (mujassah), tidak memiliki sifat panas (dzi hararah), dingin (burudah),
lembab (ruthubah) atau kering (yabusah). Bukan sesuatu yang memiliki ukuran panjang, lebar, dan
dalam (‘umq). Bukan juga sesuatu yang bisa berkumpul (ijtima’) dan tercerai berai (iftiraq). Bukan
sesuatu yang bergerak (yataharrak), diam (yaskun) atau terbagi-bagi (yataba’adh). Bukan sesuatu
yang memiliki bagian-bagian (ab’adh wa ajza’) atau anggota tubuh (jawarih wa a’dha’). Bukan yang
memiliki batasan (dzi jihat) kanan, kiri, depan, belakang, atas maupun belakang. Tidak dibatasi oleh
tempat. Tidak berlaku bagi-Nya zaman. Mustahil bagi-Nya mumasah (sifat bersentuhan), ‘uzlah (sifat
mengasingkan diri), hulul (sifat menjelma/menyatu) pada sesuatu. Tidak memiliki sifat-sifat makhluk.
Tidak berakhir (mutanahin). Tidak bisa diukur, tidak juga berpindah-pindah (dzahab fi jihat), tidak
bisa dibatasi. Tidak beranak (ayah/ibu), dan tidak dilahirkan (anak). Tidak dibatasi oleh
takdir/kekuasaan apapun (la yuhithu bihi al-aqdar), tidak juga bisa dihalangi oleh astar/sitrah
(pembatas apapun). Tidak bisa dicapai indera (hawas), tidak bisa dibandingkan sedikitpun dengan
manusia, tidak sama dengan makhluk dari sisi apapun., tidak berlaku bagi-Nya waktu, tidak bisa
ditimpa gangguan/musibah (‘ahat), tidak sama dengan sesuatu apapun yang terlintas dipikiran dan
hayalan (mustahil dipikir dan diterka), Dia Maha Awal (awwal) dan Terdahulu (sabiq), sudah ada
sebelum semua yang baru (muhdatsat) dan semua makhluk ada, Dia Tahu, Berkuasa dan Hidup, akan
tetapi tidak seperti orang yang tahu, orang yang berkuasa dan orang yang hidup. Tidak bisa dilihat
mata, tidak pernah bisa terlintas dipikiran manapun (tidak bisa dijangakau indera). Sesuatu yang
tidak seperti segala sesuatu. Dia sendiri yang Qadim (Terdahulu), tidak ada yang Qadim selain-Nya,
tidak ada Tuhan (Ilah) selain-Nya, tidak ada sekutu (syarik) dan pembantu (wazir) dalam kekuasaan-
Nya. Tidak ada yang membantu-Nya ketika Dia menjadikan dan menciptakan sesuatupun, tidak
menciptakan sesuatu dengan cara mencontoh yang sudah pernah ada (lam yakhluq al-khalq ‘ala
mitsal sabiq), tidak ada yang sulit bagi-Nya dalam meenciptakan sesuatu (laysa khalqu syai’in bi
ahwan ‘alaihi min khalqi syai’in akhar, wa la bi ash’ab ‘alaihi minhu), mustahil bagi-Nya merasakan
manfaat (ijtirar al-manafi’), mustahil bagi-Nya terkena mudharat. Tidak merasakan rasa senang dan
kenikmatan (la yanaluhu al-surur wa al-ladzdzat). Tidak bisa terkena rasa sakit dan penyakit apapun.
Dia tidak memiliki batas sehingga mengharuskan-Nya berakhir, mustahil bagi-Nya sifat fana. Tidak
memiliki sedikitpun sifat lemah (‘ajz) dan kurang (naqsh), Maha Suci dari sentuhan wanita, beristri
dan beranak.

Dari kutipan tersebut di atas, A. Hanafi M.A berkesimpulan:

1. Aliran Mu’tazilah mengenal pikiran-pikiran filsafat yang ada pada masanya, serta memakai
beberapa istilahnya, seperti Syakhsh, Jauhar, ‘Aradh, Hulul, Qadim dan sebagainya.

2. Dengan perkataan “Laysa Kamitslihi Syai’ (Tidak ada yang menyamai-Nya)” mereka
menolak pikiran-pikiran golongan Mujassimah (Anthromorpis) dan membuka luas pintu takwil
terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang menyifati Tuhan dengan sifat-sifat manusia dengan takwil majazi.

3. Dengan Tauhid yang mutlak, aliran Mu’tazilah menolak konsepsi agama dualisme dan
trinitas tentang Tuhan.

4. Dengan perkataan “Tidak beranak (ayah/ibu), dan tidak dilahirkan (anak)”, mereka
menolak kepercayaan orang Nasrani, bahwa al-Masih anak Tuhan yang dilahirkan dari Tuhan Bapa
sebelum masa dan jauharnya juga sama.

5. Dengan perkataan “Tidak ada yang membantu-Nya ketika Dia menjadikan dan
menciptakan sesuatupun, tidak menciptakan sesuatu dengan cara mencontoh yang sudah pernah
ada (lam yakhluq al-khalq ‘ala mitsal sabiq)”, mereka menolak teori Idea (contoh) dari Plato dan
Demiurge, juga teori Emanasi (limpahan) atau Triads yang dianggap menguasai alam semesta ini
oleh aliran Neo-Platonisme, yaitu Tuhan (Yang Pertama), Logos, dan Jiwa Dunia (Worldsouls) .

Disamping kesimpulan tersebut, penulis juga ingin menegaskan sebuah kesimpulah bahwa
pada intinya Mu’tazilah ingin mengatakan bahwa Allah SWT itu Qadim dan yang selain-Nya hadits
(baru), Dia Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Sempurna yang tidak ada tandingan-Nya serta tidak
pantas disamakan dengan sesuatu apapun, itu saja – bagi mereka – cukup untuk menerangkan
tentang Allah itu. Sehingga dengan inti ajaran Tauhid seperti ini dan dibarengi dengan kemampuan
logika mereka , melahirkan ide-ide berikut :

B. Tidak mengakui sifat-sifat Allah SWT.

Mu’tazilah mengakui bahwa Allah SWT memiliki sifat seperti al-’Alim, al-Qadim, al-Qahir, al-
Qadir, al-Qawi, al-’Adl, al-Murid dan sebagainya yang terkandung dalam al-asma’ al-husna, karena
al-Qur’an mengakui hal tersebut. Selanjutnya mereka membagi sifat-sifat itu ke dalam dua kategori:
Pertama, sifat yang berkenaan dengan esensi Tuhan, disebut Shifah dzatiyah, dan Kedua, sifat yang
berkenaan dengan tindakan Allah dan berkaitan dengan makhluk, dikategorikan Shifat fi’liyah. Hanya
saja Mu’tazilah tidak mengakui eksistensi sifat-sifat tersebut sebagai suatu tambahan terhadap Dzat
Allah (za’idah ‘ala al-dzat) atau berada di luar Dzat (wara’ al-dzat) sebagaimana pandangan Asya’irah.
Mereka berpendapat bahwa sifat-sifat itu adalah Dzat itu sendiri (‘ain al-dzat) . Karena jika sifat itu
za’idah ‘ala al-dzat, berarti dia berada diluar Dzat, dan akan menyebabkan banyaknya jumlah yang
Qadim (ta’addud al-qudama’), yaitu: Dzat Allah, Ilmu Allah, Kekuasaan Allah, Kehidupan Allah,
Kehendak Allah dan seterusnya. Hal ini bertentangan dengan Tauhid, karena seharusnya yang Qadim
itu hanya Dzat Allah. Oleh sebab itulah sebagian besar mereka mengatakan:

“Allah Mengetahui dengan Dzat-Nya, bukan dengan Ilmu-Nya, Berkuasa dengan Dzat-Nya
bukan dengan Kuasa-Nya, dan Berkehendak dengan Dzat-Nya bukan dengan Kehendak-Nya”.

Berbeda dengan jumhur Mu’tazilah, al-’Allaf berpendapat agak berbeda, dia mengatakan:
“Allah Mengetahui dengan Ilmu, Ilmu itu adalah Dzat-Nya, Allah Berkuasa dengan Kuasa, Kuasa itu
adalah Dzat-Nya, dan Berkehendak dengan Kehendak (iradah), Kehendak itu adalah Dzat-Nya”.

Pendapat ini tidak berbeda dengan jumhur Mu’tazilah dari sisi bahwa sifat-sifat itu pada
dasarnya adalah ‘ain dzat, namun pendapat ini dikritik, karena memiliki arti, bahwa Ilmu Allah adalah
Allah, sementara menurut logika “orang yang mengetahui” bukanlah “ilmu/pengetahuan” itu
sendiri.

Itu diantara sedikit perbedaan dikalangan Mu’tazilah tentang sifat Allah, namun pada intinya
mereka semua bersepakat menolak pendapat Asya’irah yang mengatakan bahwa Sifat Allah itu
suatu tambahan terhadap Dzat (za’idah ‘ala al-dzat). Dari sisi ini Zuhdi Jarullah, mengutip al-Ghazali
dari bukunya al-Iqtishad fi al-I’tiqad, mengatakan Mu’tazilah berada pada posisi yang tepat, dan
Asya’irah juga benar sampai batasan pendapat mereka bahwa Sifat Allah Qadim dan menyatu
dengan Dzat (qa’imah bi al-dzat), namun ketika mereka menjelaskan konsep ini dengan bahwa Sifat-
Sifat itu bukan ‘ain dzat (Dzat itu sendiri) melainkan za’idah ‘ala dzat, mereka telah melakukan
sebuah kekeliruan.

C. Mengatakan al-Qur’an makhluk.

Di atas dijelaskan bahwa Mu’tazilah tidak mengingkari Sifat yang Qadim jika yang
dimaksudkan adalah ‘ain dzat, yang mereka ingkari adalah bahwa jika Sifat itu membawa kepada
banyaknya yang Qadim, yaitu jika Sifat itu za’idah ‘ala dzat (tambahan terhadap Dzat) atau wara’
dzat (dibelakang/luar Dzat).

Tapi ketika berbicara tentang Kalam (Firman Allah), mereka seolah-olah tidak lagi berpegang
pada kesimpulan di atas. Mereka mengatakan bahwa Kalam tidak mungkin disamakan dengan sifat
Ilmu dan Qudrah (Kuasa), sebab hakikat Kalam menurut Mu’tazilah adalah huruf-huruf yang teratur
dan bunyi-bunyi yang jelas dan pasti, baik nyata maupun ghaib . Kalam bukanlah sesuatu yang
memiliki hakikat logis, namun dia hanyalah sebuah istilah, yang tidak mungkin ada/terwujud kecuali
melalui lidah. Dan Allah SWT sebagai Mutakallim (Yang Berfirman) menciptakan Kalam itu. Hakikat-
hakikat yang mereka simpulkan inilah yang menyebabkan mereka mengatakan bahwa kalam itu
adalah sesuatu yang bersifat baru (hadits), tidak bersifat qadim, sehingga pada gilirannya al-Qur’an
sebagai Kalamullah adalah sesuatu yang hadits, dan sesuatu yang hadits itu adalah makhluk.
Namun timbul banyak kerancuan dan kekacauan ketika mereka mencoba menjawab
“bagaimana Allah menciptakan Kalam itu?”. Inti kekacauan itu dapat dilihat ketika mereka
berhadapan dengan firman Allah QS Al-Nisa’ ayat 164:
ً ُ َ ً َ َ َّ َ ُ َّ
‫اّلل وكلم عليك نق ُصص ُهم لم و ُر ُسل قب ُل ِمن عليك قصصناهم قد و ُر ُسل‬ ‫ُم ى‬
‫وس‬
ً ‫ت ْكل‬
‫يما‬ ِ
“Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka
kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah
telah berbicara kepada Musa dengan langsung.”

Mu’tazilah mencoba mentakwil ayat ini dengan mengatakan bahwa Allah SWT menciptakan
Kalam pada sebatang pohon yang kemudian kalam itu keluar dari pohon tersebut, lalu Musa as.
mendengarnya, atau dengan bahasa lain Allah menciptakan kemampuan bagi pohon untuk
mengeluarkan kalam yang akan disampaikan-Nya kepada Musa, lalu Musa as. mendengar
Kalamullah melalui perantaraan pohon itu. Jadi Mu’tazilah mengatakan al-Qur’an makhluk adalah
sebagai hasil nalar mereka bahwa perkataan (kalam) bukanlah salah satu sifat Allah yang Qadim
seperti ilmu dan sebagainya, tapi kalam itu berupa kumpulan huruf yang teratur dan suara yang
jelas, baik nyata atau ghaib.

D. Mengingkai bahwa Allah SWT dapat dilihat dengan mata telanjang.

Mu’tazilah memandang bahwa pendapat yang mengatakan Allah dapat dilihat dengan mata
telanjang di akhirat (baca: di sorga), membawa pada ide yang sangat bertentangan dengan Tauhid
yaitu tasybih, menyamakan Allah SWT dengan makhluk. Karena menurut mereka, ru’yah
(pandangan) adalah kontak sinar (ittishal syu’a') antara “yang melihat” dengan “yang dilihat”, dan
mereka memberikan satu syarat agar ru’yah itu bisa terjadi yaitu binyah (tempat/media), dan ru’yah
tersebut mesti berhubungan dengan benda nyata (maujud), dan Allah SWT bukanlah yang demikian,
oleh karena itulah mereka mengatakan hal itu mustahil terjadi pada Allah SWT.

Dengan pendapat yang demikian, mereka melakukan takwilan terhadap ayat yang
menggambarkan kemungkinan terjadinya ru’yah tersebut, seperti ayat:
َ
‫اظرة ِّرب ها ِإ ىل‬ ُ ُ ِ ‫ن‬
ِ ‫اضة يوم ِئذ وجوه ن‬ِ
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka
melihat.” (QS. al-Qiyamah: 22-23)

Mereka mengatakan bahwa kata (Nadhirah ) di sana tidak berarti melihat (Nadhara)
malainkan menunggu, dan kata (Ilaa) bukanlah huruf jar melainkan musytaq (pecahan kata) dari kata
(Nadhirah) yang berarti nikmat, sehingga maksud ayat adalah: “Wajah-wajah itu menanti nikmat dari
Tuhannya”.

Mereka juga mentakwil ayat:

‫اّلل‬ ُ ‫السماوات ُن‬


ُ َّ ‫ور‬ َّ ‫واْلرض‬
ِ
“Allah cahaya langit dan bumi” (QS. Al-Nur: 35)

Dengan mengatakan bahwa bukan berarti Allah itu adalah cahaya yang bisa dilihat,
melainkan Allah memberikan cahaya kepada langit dan bumi.

Sedangkan terhadap hadits yang menyatakan orang mukmin di sorga bisa melihat Allah
bahkan kondisinya sama dengan kondisi ketika kita melihat bulan purnama, hadits ini tidak diterima
oleh Mu’tazilah dan mengatakan terdapat cacat pada Sanad-nya.

E. Mengingkari jihah (arah) bagi Allah.

Ini sejalan dengan penjelasan mereka tentang kesempurnaan Allah SWT, yaitu: “Bukan yang
memiliki batasan (dzi jihat) kanan, kiri, depan, belakang, atas maupun belakang dan tidak dibatasi
oleh tempat”. Karena dengan menetapkan atau membatasi jihah bagi-Nya berarti menetapkan atau
membatasi Allah pada suatu tempat dan tubuh (jism). Ide seperti ini membawa mereka kepada
pentakwilan kata-kata di dalam al-Qur’an yang menunjukkan tempat Allah SWT, seperti mentakwil
kursi dengan ilmu-Nya, dan mentakwil istiwa’ (semayam) dengan berkuasa penuh (istila’) dan lain
sebagainya.

F. Mentakwilkan ayat-ayat yang memberikan kesan adanya persamaan Tuhan dengan


manusia.

Demikian juga halnya dengan semua ayat yang mengesankan bahwa Allah juga memiliki
anggota tubuh seperti anggota tubuh manusia. Mereka mentakwil Wajah Allah dengan Dzat Allah itu
sendiri, Tangan Allah dengan Kekuasaan, Kekuatan dan Nikmat Allah dan lain sebagainya. Tujuannya
tetap satu, yaitu Tanzih.

 Keesaan Allah SWT, menurut M. Quraish Shihab, mencakup beberapa hal yaitu sebagai
berikut:
1. Keesaan Dzat. Hal ini mengandung pengertian bahwa seseorang harus percaya bahwa
Allah SWT tidak terdiri dari unsur-unsur atau bagian-bagian. Karena bila Dzat Yang Maha
Kuasaitu terdiri dari dua unsure atau lebih maka ini berarti Dia membutuhkan unsure
atau bagian itu, atau dengan kata lain unsure atau bagian itu merupakan syarat bagi
wujud-Nya dan ini bertentangan dengan sifat Ketuhanan yang tidak membutuhkan suatu
apapun.

2. Keesaan Sifat. Hal ini menuntunkan bahwa Allah SWT memiliki sifat yang tidak sama
dalam substansi dan kapasitas-Nya dengan sifat makhluk, walaupun dari segi bahasa
kata yang digunakan menunjuk sifat tersebut sama. Sebagai contoh, kata Rahiim
merupakan sifat bagi Allah, tetapi juga digunakan untuk menunjuk rahmat/kasih sayang
makhluk. Namun substansi dan kapasitas rahmat dan kasih sayang Allah berbeda dengan
rahmat makhluk-Nya. Allah Maha Esa di dalam sifatnya, sehingga tidak ada yang
menyamai substansi dan kapasitas sifat tersebut.

3. Keesaan dalam perbuatan. Hal mengandung pengertian bahwa segala sesuatu yang
berada di alam raya ini, baik system kerjanya maupun sebab dan wujudnya, kesemuanya
adalah hasil perbuatan Allah semata. Tetapi ini bukan berarti bahwa Allah berlaku
sewenang-wenang, atau “bekerja” tanpa sistem. Keesaan perbuatan-Nya dikaitkan
dengan hukum-hukum, atau takdir dan sunatullah yang ditetapkan-Nya.

4. Keesaan Beribadah. Hal ini menuntukan kepada makhluk bahwa wajib untuk beribadah
kepada Allah secara tulus. Keesaan beribadah ini sesungguhnya merupakan pewujudan
dari ketiga keesaan di atas. Ketiga keesaan di atas merupakan hal-hal yang harus
diketahui dan diyakini.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa dalam pembahasan keesaan Tuhan, Mu’tazilah
mempunyai konsep tersendiri. Mereka mentakwilkan Al Qur’an secara tekstual sehingga mereka
mensifati tuhan dengan sifat yang sama dengan makhluknya, karena banyak nash Al Qur’an yang
menyatakan demikian. Mereka melakukan penafsiran seperti itu mempunyai tujuan yang baik
menurut kepercayaan mereka karena merupakan salah satu jalan meyakini Keesaan Tuhan
berdasarkan akidah yang mereka pegang.

Diantara konsep kuat yang dipegang teguh oleh aliran Mu’tazilah adalah :

1. Tidak mengakui sifat-sifat Allah SWT

2. Al Qur’an adalah makhluk

3. Mengingkari bahwa Allah dapat dilihat dengan mata telanjang di Surga

4. Mengingkari Jihah (Arahan) bagi Allah

5. Mentakwilkan sifat-sifat yang memberi kesan adanya kesamaan Tuhan dengan manusia

B. SARAN

Untuk mencapai sebuah keyakinan yang kuat, setiap manusia ataupun golongan mempunyai
cara tersendiri. Dengan cara itu mereka bisa lebih kuat dalam meyakini dan lebih dalam memahami
apa yang mereka ketahui.

Namun seharusnya itu dilakukan hanya oleh kalangan tertentu saja dan jangan di
sebarluaskan, karena mungkin orang awan kurang memahaminya sehingga dikhawatirkan adanya
penyelewengan nilai dari apa mereka pahami.

Anda mungkin juga menyukai