Anda di halaman 1dari 17

1

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah


Banyak aliran dan mazhab yang timbul sepanjang sejarah umat Islam. Mulai
dari timbulnya aliran berlatar belakang politik, yang kemudian aliran tersebut
berevolusi dan memicu kemunculan aliran bercorak akidah (teologi), hingga
bermacam mazhab Fikih, Ushul Fikih dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.
Jika dilihat dengan kaca mata positif, maka beragamnya aliran dan mazhab
dalam Islam itu menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang kaya dengan
corak pemikiran. Ini berarti umat Islam adalah umat yang dinamis, bukan umat
yang statis dan bodoh yang tidak pernah mau berfikir.
Namun dari semua aliran yang mewarnai perkembangan umat Islam itu,
tidak sedikit juga yang mengundang terjadinya konflik dan membawa kontroversi
dalam umat, khususnya aliran yang bercorak atau berkonsentrasi dalam
membahas masalah teologi. Satu diantara golongan/aliran itu adalah Mu’tazilah.
Banyak yang mengidentikkan Mu’tazilah dengan aliran sesat, cenderug
merusak tatanan agama Islam, dan dihukum telah keluar dari ajaran Islam. Namun
juga tidak sedikit yang menganggap Mu’tazilah sebagai main icon kebangkitan
umat Islam di masa keemasannya, sehingga berfikiran bahwa umat Islam mesti
menghidupkan kembali ide-ide aliran ini untuk kembali bangkit. Itu adalah
sebagian dari sekian banyak fakta lapangan yang menunjukkan bahwa kelompok
ini memang tergolong kontroversial.
Agar tidak terjebak dalam kontroversi dan kesalahpahaman tersebut, maka
perlu dilakukan usaha-usaha untuk mengkaji kelompok ini secara objektif, dalam
artian perlu adanya kajian mendalam di setiap sisinya. Karena itu penulis
mencoba menguraikan beberapa hal yang berkaitan tentang Mu’tazilah dalam
makalah ini tentang apa, siapa, dan bagaimana kaum Mu’tazilah itu?
2

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Asal Usul Mu’tazilah
Kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2
Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul
Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah
seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama
Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun
80 H dan wafat pada tahun 131 H.  
Kemunculan mu`tazilah ini bermula dari lontaran ketidaksetujuan dari
Washil Bin Atha` atas pendapat Hasan Basri yang mengatakan bahwa seorang
muslim yang melakukan kefasikan (dosa besar), maka di akhirat nanti akan
disiksa lebih dahulu sesuai dengan dosanya, kemudian akan dimasukkan ke
jannah sebagai rahmat Allah atasnya, Washil Bin Atha` menyangkal pendapat
tersebut.1 Sebaliknya dia mengatakan bahwa kedudukan orang mukmin yang fasik
tersebut tidak lagi mukmin dan tidak juga kafir. Sehingga kedudukannya tidak di
neraka dan tidak pula di surga. namun dia berada dalam satu posisi antara iman
dan kufur. Antara surga dan neraka (al-manzilah baina manzilatain).
Di dalam menyebarkan ajarannya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid
(seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam
suatu pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah.2
Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin
berkembang dengan sekian banyak sektenya. Hingga kemudian para tokoh
mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-
Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar terwarnai oleh
manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mengabaikan dalil-dalil dari
Al Qur’an dan As Sunnah).3

1 Rosihon Anwar, ,Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), 77-78.


2 Muhammad bin Abdul Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah), 46-48.
3 Ibid, 29.
3

Oleh karena itu, tidak aneh bila kaidah nomor satu mereka berbunyi: “Akal
lebih didahulukan daripada syariat (Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’dan akal-lah
sebagai kata pemutus dalam segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal,
menurut persangkaan mereka maka sungguh syariat tersebut harus dibuang atau
ditakwil.4
Secara etimologis, kata “Mu’tazilah” berarti golongan yang mengasingkan
atau memisahkan diri. Dalam lembaran sejarah Islam, golongan ini pernah terjadi
di kala pertikaian antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Pada saat itu terdapat beberapa orang sahabat Nabi yang tidak menginginkan
terlibat dalam pertikaian tersebut. Mereka tidak ikut membaiat Ali, namun mereka
memilih bersikap netral. Beberapa tokoh yang memiliki sikap semacam ini
adalah: Sa’d bin Abi Waqqasy, Abdullah bin Umar, dan Utsman bin Zaid.
Orang-orang itu disebut kelompok Mu’tazilah, karena mengasingkan diri dari
keterlibatan dalam pertikaian politik yang tengah terjadi antara Ali dan
Mu’awiyah.5
Apabila kata Mu’tazilah dikaitkan dalam konteks aliran-aliran teologi, maka
Mu’tazilah adalah suatu nama golongan dalam Islam yang membawa
persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada
persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah yang dalam
pembahasannya banyak memakai akal, sehingga golongan ini sering disebut
kaum rasionalis Islam.6
Sebenarnya nama Mu’tazilah bukanlah produk dari orang-orang Mu’tazilah
sendiri, melainkan gelar yang diberikan oleh pihak lain untuknya, ketika Hasan al-
Basri mendengar kebid`ahan Washil Ibn Atha`, maka dia mengusirnya dari
majelis, lalu Washil Ibn Atha` memisahkan diri kemudian diikuti oleh para
sahabatnya yang bernama Amr bin Ubaid. Maka pada saat itulah orang-orang

4 Abu al-Hasan al-Khayyath, Al-Intishar Firraddi ‘alal Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-


Asyrar, 1/65.
5 Al-Fakhuri, Hanna, dkk, Tarikh al-Falsafah al-Arabiyyah, (Beirut: tnp., 1957), 141.
6 Nasution, Harun, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia, 1986), 56.
4

menyebut mereka telah memisahkan diri dari pendapat umat.7 Sejak itulah
pengikut mereka berdua disebut Mu`tazilah.
B.     Ajararan-Ajaran Dasar Mu’tazilah
Ajaran-ajaran dasar golonga Mu’tazilah berasal Washil Ibn Atha, pokok-
pokok pikiran itu dirumuskan dalam ajarannya yang disebut “Al-ushul al-
Khamsah”, atau Lima ajaran dasar. Abu al-Hasan al-Khayyath dalam bukunya al-
intishar menyatakan: “tak seorang pun mengaku sebagai penganut Mu’tazilah
sebelum ia mengakui al-ushul al-khomsah (lima pokok ajaran) sebagai dasar
pemikiran pahamnya, yaitu : al-Tauhid, al-‘Adl, al-Wa’d wa al-Wa’id, al-
Manzilah baina al-Manzilatain, al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahi an al-Munkar.8

1. al-Tauhid (Ke Maha Esaan Tuhan)


Tauhid adalah dasar Islam pertama dan utama. Sebenarnya tauhid ini bukan
milik golongan Mu’tazilah saja. Tetapi mereka menafsirkan sedemikian rupa dan
mempertahankannya dengan sungguh-sungguh. Maka mereka menyebut diri
mereka dengan Ahl al-Tauhid.
Mu’tazilah berpendapat  bahwa Allah SWT itu Qadim dan yang selain-
Nya hadits (baru), Dia Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Sempurna yang tidak ada
tandingan-Nya serta tidak pantas disamakan dengan sesuatu apapun, itu saja –
bagi mereka – cukup untuk menerangkan tentang Allah itu. Sehingga dengan inti
ajaran Tauhid seperti ini dan dibarengi dengan kemampuan logika mereka ,
melahirkan ide-ide berikut :
a. Tidak mengakui sifat-sifat Allah SWT.
Mu’tazilah mengakui bahwa Allah SWT memiliki sifat seperti al-’Alim, al-
Qadim, al-Qahir, al-Qadir, al-Qawi, al-’Adl, al-Murid dan sebagainya yang
terkandung dalam al-asma’ al-husna, karena al-Qur’an mengakui hal tersebut.
Selanjutnya mereka membagi sifat-sifat itu ke dalam dua kategori: Pertama,
sifat yang berkenaan dengan esensi Tuhan, disebut Shifah Dzatiyah, dan Kedua,
sifat yang berkenaan dengan tindakan Allah dan berkaitan dengan makhluk,

7 Ahmad Hanafi, Theology Islam (Ilmu Kalam), (PT Bulan Bintang, Jakarta, 1996), 39-40.
8 Ahmad Muthohar, Teologi Islam, (Yogyakarta: Teras, 2008), cet. 1, 18.
5

dikategorikan Shifah Fi’liyah. Hanya saja Mu’tazilah tidak mengakui eksistensi


sifat-sifat tersebut sebagai suatu tambahan terhadap Dzat Allah (za’idah ‘ala al-
dzat) atau berada di luar Dzat (wara’ al-dzat) sebagaimana pandangan Asya’irah.
Mereka berpendapat bahwa sifat-sifat itu adalah Dzat itu sendiri (‘ain al-
dzat) . Karena jika sifat itu za’idah ‘ala al-dzat, berarti dia berada diluar Dzat, dan
akan menyebabkan banyaknya jumlah yang Qadim (ta’addud al-qudama’),9 yaitu:
Dzat Allah, Ilmu Allah, Kekuasaan Allah, Kehidupan Allah, Kehendak Allah dan
seterusnya. Hal ini bertentangan dengan Tauhid, karena seharusnya yang Qadim
itu hanya Dzat Allah. Oleh sebab itulah sebagian besar mereka mengatakan:

‫ و قادر بذاته ال بقدرته و مريد بذاته ال بارادته‬,‫اهلل عامل بذاته ال بعلمه‬

“Allah Mengetahui dengan Dzat-Nya, bukan dengan Ilmu-Nya,


Berkuasa dengan Dzat-Nya bukan dengan Kuasa-Nya, dan
Berkehendak dengan Dzat-Nya bukan dengan Kehendak-Nya”.

b. Mengatakan al-Qur’an makhluk.


Mu’tazilah mengatakan bahwa Kalam tidak mungkin disamakan dengan
sifat Ilmu dan Qudrah (Kuasa), sebab hakikat Kalam menurut Mu’tazilah adalah
huruf-huruf yang teratur dan bunyi-bunyi yang jelas dan pasti, baik nyata maupun
ghaib . Kalam bukanlah sesuatu yang memiliki hakikat logis, namun dia hanyalah
sebuah istilah, yang tidak mungkin ada/terwujud kecuali melalui lidah. Dan Allah
SWT sebagai Mutakallim (Yang Berfirman) menciptakan Kalam itu.
Hakikat-hakikat yang mereka simpulkan inilah yang menyebabkan mereka
mengatakan bahwa kalam itu adalah sesuatu yang bersifat baru (hadits), tidak
bersifat qadim, sehingga pada gilirannya al-Qur’an sebagai Kalamullah adalah
sesuatu yang hadits, dan sesuatu yang hadits itu adalah makhluk.

9 Abd. Al-Jabbar bin Ahmad, Syarh al Ushul al khamsah, (Maktab Wahbab, Kairo,1965),
196.
6

Namun timbul banyak kerancuan dan kekacauan ketika mereka mencoba


menjawab “bagaimana Allah menciptakan Kalam itu?”. Inti kekacauan itu dapat
dilihat ketika mereka berhadapan dengan firman Allah QS Al-Nisa’ ayat 164:

]١٦٤:‫وكلم اهلل موسى تكليما [النساء‬


“dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung” 
Mu’tazilah mencoba mentakwil ayat ini dengan mengatakan bahwa Allah
SWT menciptakan Kalam pada sebatang pohon yang kemudian kalam itu keluar
dari pohon tersebut, lalu Musa as. mendengarnya, atau dengan bahasa lain Allah
menciptakan kemampuan bagi pohon untuk mengeluarkan kalam yang akan
disampaikan-Nya kepada Musa, lalu Musa as. mendengar Kalamullah melalui
perantaraan pohon itu.
Jadi Mu’tazilah mengatakan al-Qur’an makhluk adalah sebagai hasil nalar
mereka bahwa perkataan (kalam) bukanlah salah satu sifat Allah yang Qadim
seperti ilmu dan sebagainya, tapi kalam itu berupa kumpulan huruf yang teratur
dan suara yang jelas, baik nyata atau ghaib.
c. Mengingkari bahwa Allah SWT dapat dilihat dengan mata telanjang.
Mu’tazilah memandang bahwa pendapat yang mengatakan Allah dapat
dilihat dengan mata telanjang di akhirat, membawa pada ide yang sangat
bertentangan dengan Tauhid yaitu tasybih, menyamakan Allah SWT dengan
makhluk. Karena menurut mereka, ru’yah (pandangan) adalah kontak sinar
(ittishal syu’a') antara “yang melihat” dengan “yang dilihat”, dan mereka
memberikan satu syarat agar ru’yah itu bisa terjadi yaitu binyah (tempat/media),
dan ru’yah tersebut mesti berhubungan dengan benda nyata (maujud), dan Allah
SWT bukanlah yang demikian, oleh karena itulah mereka mengatakan hal itu
mustahil terjadi pada Allah SWT.
Dengan pendapat yang demikian, mereka melakukan takwilan terhadap ayat
yang menggambarkan kemungkinan terjadinya ru’yah tersebut, seperti ayat:

‫وجوه يوميذ نا ضرة – إىل رهبا ناظره‬


7

“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada


Tuhannyalah mereka melihat.” (QS. al-Qiyamah: 22-23)

Mereka mengatakan bahwa kata (‫ )ناظرة‬di sana tidak berarti melihat (‫)رؤية‬
malainkan menunggu (‫ )انتظر‬dan kata (‫ )إلى‬bukanlah huruf jar melainkan musytaq
(pecahan kata) dari kata (‫ )اآلالء‬yang berarti nikmat, sehingga maksud ayat adalah:
“Wajah-wajah itu menanti nikmat dari Tuhannya”.10

Mereka juga mentakwil ayat:

‫اهلل نور السموت و االرض‬


“Allah cahaya langit dan bumi” (QS. Al-Nur: 35)

Dengan mengatakan bahwa bukan berarti Allah itu adalah cahaya yang bisa
dilihat, melainkan Allah memberikan cahaya kepada langit dan bumi. Sedangkan
terhadap hadits yang menyatakan orang mukmin di surga bisa melihat Allah
bahkan kondisinya sama dengan kondisi ketika kita melihat bulan purnama, hadits
ini tidak diterima oleh Mu’tazilah dan mengatakan terdapat cacat pada Sanad-nya.
          
d. Mengingkari jihah (arah) bagi Allah.
Ini sejalan dengan penjelasan mereka tentang kesempurnaan Allah SWT,
yaitu: “Bukan yang memiliki batasan (dzi jihat) kanan, kiri, depan, belakang, atas
maupun belakang dan tidak dibatasi oleh tempat”. Karena dengan menetapkan
atau membatasi jihat bagi-Nya berarti menetapkan atau membatasi Allah pada
suatu tempat dan tubuh (jism).
Ide seperti ini membawa mereka kepada pentakwilan kata-kata di dalam al-
Qur’an yang menunjukkan tempat Allah SWT, seperti mentakwil kursi dengan
ilmu-Nya, dan mentakwil istiwa’ (semayam) dengan berkuasa penuh (istila’) dan
lain sebagainya.

10 Ibid, 227.
8

e. Mentakwilkan ayat-ayat yang memberikan kesan adanya persamaan Tuhan


dengan manusia.
Demikian juga halnya dengan semua ayat yang mengesankan bahwa Allah
juga memiliki anggota tubuh seperti anggota tubuh manusia. Mereka mentakwil
Wajah Allah dengan Dzat Allah itu sendiri, Tangan Allah dengan Kekuasaan,
Kekuatan dan Nikmat Allah dan lain sebagainya.
Penolakan terhadap paham antropomorfistik bukan atas pertimbangan akal,
melainkan memiliki rujukan yang sangat kuat di dalam Al Quran. Mereka
berpegang pada ayat:

[١١:‫]الشورى‬.....‫ليس كمثله شئ‬......


Artinya: “...Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia....” (QS. Asy
Syura; 11)

Untuk menegaskan penilaiannya terhadap antropomorfisme, Mu’tazilah


memberi takwil terhadap ayat-ayat secara lahir menggambarkan kejisiman Tuhan,
yaitu dengan cara memalingkan arti kata-kata tersebut ke arti yang lain sehingga
hilang kejisiman Tuhan. Misalnya kata tangan (QS. Shad:75) di artikan kekuasaan
dan pada kontek yang lain tangan (QS. Al Maidah: 64) diartikan nikmat. Kata
wajah (QS. Ar Rahman:27) diartikan esensi dan zat, sedangkan al arsy (QS.
Thaha: 5) diartikan kekuasaan.11
2. Al-Adl (Keadilan Tuhan)
Kalau dengan al-Tauhid Mu’tazilah ingin mensucikan diri tuhan dari
persamaan dengan makhluk, maka dengan al-‘Adl kaum Mu’tazilah ingin
mensucikan perbuatan-perbuatan makhluk. Hanya Tuhan yang dapat berbuat adil.
Tuhan tidak dapat berbuat dzalim, tetapi sebaliknya makhluk dapat berbuat
dzalim, dan tidak dapat berbuat adil. Oleh karena itu mereka menyebut diri
mereka dengan ahl al-Tauhid wa al-‘Adl.12

11 Ibid.
12 Sirrajudin Abbas, I’tiqod Ahlus Sunnah Wal Jama’ah,(Jakarta: CV. Pustaka Tarbiyah,
2006), 191-193.
9

Dengan dasar itu mereka menolak pendapat Jabariyah yang mengatakan


bahwa manusia dalam semua perbuatannya tidak mempunyai kebebasan. Bertolak
dari ajaran keadilan Tuhan ini maka Tuhan mesti memberikan hak-hak seseorang,
dengan demikian Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban seperti memberikan
rizqi bagi manusia, mengirimkan Rasul untuk menyampaikan wahyu kepada
manusia, untuk membantu manusia dari kelemahan-kelemahan dan sebagainya.
Tujuan diciptakannya manusia untuk beribadah kepada Nya. Agar tujuan tersebut
berhasil, maka harus diutus Rasul.13
3. al-Wa’d wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman)
Dasar ajaran ini merupakan lanjutan dari ajaran tentang al-‘Adl Golongan
Mu’tazilah yakni  bahwa janji tuhan akan memberikan upah atau pahala bagi
orang yang berbuat baik, dan memberikan ancaman akan menyiksa orang yang
berbuat jahat pasti dilaksanakan, karena sesuai dengan janji dan ancaman Tuhan.
Janji Tuhan untuk memberi pahala masuk syurga bagi yang berbuat baik (al-
Muthi’) dan mengancam dengan siksa neraka atas orang yang durhaka (al-‘Ashi)
pasti terjadi, begitu pula janji Tuhan untuk memberi ampunan pada orang yang
bertaubat nasuha pasti benar adanya.14
4. al-Manzilah bain al-manzilatain (Posisi di antara dua posisi)
Prinsip ini snagat penting dalam ajaran Mu’tazilah, karena merupakan awal
persoalan yagn timbul dalam masalah teologi sehingga lahir golongan Mu’tazilah.
Yaitu persoalan orang yang berdosa besar, ia mati belum sempat bertobat, orang
tersebut tidak mukmin dan tidak pula kafir, tetapi fasiq, suatu posisi diantara dua
posisi.15
Golongan Khawarij berpendapat bahwa orang tersebut menjadi kafir dan
akan kekal di neraka. Golongan Murjiah berpendapat bahwa orang tersebut tetap
mukmin, tidak kekal di neraka dan mengharapkan rahmat dan ampunan dari
Allah. Dan golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa orang tersebut tidak mukmin
dan tidak kafir tetapi fasiq dan akan kekal di neraka, tetapi siksanya lebih ringan
13 Mahmud Mazru’ah, Tarikh Al Firaq Al Islamiyah, (Dar Al Mannar, Kairo, 1991), 130-
131.
14 M.Muhaimin, Ilmu Kalam, Sejarah dan Aliran-aliran, (Yogyakarta:Pustaka
Pelajar,1999),cet.1, 75.
15 Abd.Mu’in Thahir Taib, Ilmu Kalam, (Jakarta : Penerbit Widjaya. 1986), 103.
10

dari orang kafir. Pendapat ini merupakan pendapat di antara pendapat Khawarij
dan pendapat Murjiah.
5. al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahi ‘an al-Munkar (Perintah untuk berbuat baik
dan larangan berbuat jahat).
Ajaran ini sebenarnya bukan hanya dimiliki oleh golongan Mu’tazilah saja,
tetapi juga dimiliki oleh semua umat Islam. Tetapi ada perbedaanya, yaitu
pelaksanaan ajaran tersebut menurut Mu’tazilah, bila perlu harus diwujudkan atau
dilaksanakan dengan paksaan atau kekerasan. Sedang golongan lain cukup dengan
penjelasan saja.
Ajaran dasar tentang amar ma’ruf nahi munkar sebenarnya sangat erat
kaitannya dengan usaha pembinaan akhlak, karena hal itu berarti mendidik orang
untuk berbuat baik dan melarang berbuat jahat. Ajaran ini dapat pula menjadi
bukti bahwa Mu’tazilah amat menekankan pentingnya pendidikan akhlak, sebagai
bukti konsep Iman dalam pandangan Mu’tazilah tidak cukup hanya dengan
tashdiq (pembenaran) di hati, melainkan harus diikuti dengan amalan, dan iman
bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan melakukan maksiat.
Bagi Mu’tazilah, prinsip ini harus dilaksanakan oleh semua orang mukmin
dengan seluruh daya upaya, baik berupa lisan, tangan maupun dengan pedang
sekalipun, sebagaimana yang telah diajarkan Nabi SAW dalam sabdanya.
Perbedaan paham mu’tazilah dengan yang lainnya mengenai ajaran kelima
ini terletak pada tatana pelaksanaannya. Menurut Mu’tazilah, jika memang
diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut.16

C.  Tokoh- Tokoh Mu’tazilah


1. Wasil bin Atha.
Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar
ajaran Mu’tazilah. Ada tiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-
Manzilah baina al-Manzilatain, paham Qadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad
dan Gailan, dua tokoh aliran Qadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan.

16 Harun Nasution, Op. Cit.


11

Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Mu’tazilah, yaitu al-
Manzilah baina al-Manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.
2. Abu Huzail al-Allaf.
Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha,
mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kota Bashrah. Lewat sekolah ini,
pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan
pengajaran tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam.
Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti
Abbasiyah). Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara. Dukungan politik
dari pihak rezim makin mengokohkan dominasi mazhab teologi ini. Tetapi
sayang, tragedi mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme dalam Islam ini.
Abu Huzail al-Allaf adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak
falsafah yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran
Mu’tazilah yang bercorak filsafat. Ia antara lain membuat uraian mengenai
pengertian Nafy al-Sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan
pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya;
Tuhan Maha Kuasa dengan Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya
dan seterusnya. Penjelasan dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari
adanya yang Qadim selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti
sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan), berarti sifat-Nya itu Qadim. Ini akan
membawa kepada kemusyrikan.
Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada
manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, manusia
wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk.
Dengan akal itu pula manusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya
Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia
melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salãh wa al-aslah.
3. Al-Jubba’i.
Al-Jubba’i adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah.
Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT,
kewajiban manusia, dan daya akal.
12

            Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak


mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui,
berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan
dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke dalam dua
kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya
(wajibah ‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melalui ajaran-ajaran
yang dibawa para rasul dan nabi (wajibah syar’iah).
4. al-Nazzam
Pendapat al-Nazzam yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan.
Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini
berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-Allaf. Kalau Al-Allaf mengatakan bahwa
Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka al-Nazzam menegaskan
bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai
kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa perbuatan zalim hanya
dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari
keadaan yang demikian.17
Ia juga mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat al-Quran. Menurutnya,
mukjizat al-quran terletak pada kandungannya, bukan pada uslub (gaya bahasa)
dan balagah (retorika)-Nya. Ia juga memberi penjelasan tentang kalam Allah
SWT. Kalam adalah segalanya sesuatu yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat
didengar. Karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat baru dan tidak Qadim.18
5. al- Jahiz
al-Jahiz dalam tulisan-tulisan al-Jahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai
paham naturalisme atau kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum
mu’tazilah disebut Sunnah Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa perbuatan-
perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri,
malainkan ada pengaruh hukum alam.

17 Fathul Mufid, Ilmu Tauhid/Kalam, (Kudus: STAIN Kudus, 2009), 116-120.


18 Harun Nasution, Op. Cit.
13

6. Mu’ammar bin Abbad


Mu’ammar bin Abbad adalah pendiri mu’tazilah aliran Baghdad.
Pendapatnya tentang kepercayaan pada hukum alam. Pendapatnya ini sama
dengan pendapat al-Jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan
benda-benda materi. Adapun al-‘Arad atau accidents (sesuatu yang datang pada
benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam. Misalnya, jika sebuah batu
dilemparkan ke dalam air, maka gelombang yang dihasilkan oleh lemparan batu
itu adalah hasil atau kreasi dari batu itu, bukan hasil ciptaan Tuhan.

7. Bisyr al-Mu’tamir
Ajaran Bisyr al-Mu’tamir yang penting menyangkut pertanggungjawaban
perbuatan manusia. Anak kecil baginya tidak dimintai pertanggungjawaban atas
perbuatannya di akhirat kelak karena ia belum mukalaf. Seorang yang berdosa
besar kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi berbuat dosa besar, akan mendapat
siksa ganda, meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu.
8. Abu Musa al-Mudrar
Al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin mu’tazilah yang sangat ekstrim,
karena pendapatnya yang mudah mengafirkan orang lain. Menurut Syahristani,ia
menuduh kafir semua orang yang mempercayai keqadiman al-Quran. Ia juga
menolak pendapat bahwa di akhirat Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala.
9. Hisyam bin Amr al-Fuwati
Al-Fuwati berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga dan neraka
hanyalah ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alasan yang dikemukakan adalah
tidak ada gunanya menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum
waktunya orang memasuki surga dan neraka.

D. Kemunduran Golongan Mu’tazilah.


Setelah beberapa puluh tahun lamanya golongan Mu’tazilah mencapai
kepesatan dan kemegahannya, akhirnya mengalami kemunduran. Kemunduran ini
sebenarnya karena perbuatan mereka sendiri, mereka hendak membela /
memperjuangkan kebebasan berfikir akan tetapi mereka sendiri memusuhi orang-
14

orang yang tidak mengikuti pendapat-pendapat mereka. Puncak tindakan mereka


ialah ketika al-Makmun menjadi khalifah dimana mereka dapat memaksakan
pendapat dan keyakinan mereka kepada golongan-golongan lain dengan
menggunakan kekuasaan al-Makmun,19 yang mengakibatkan timbulnya peristiwa
Qur’an yang memecah kaum muslimin menjadi dua blok, yaitu blok yang menuju
kekuatan akal-fikiran dan menundukkan agama kepada ketentuannya dan blok
lain yang berpegang teguh kepada bunyi nash-nash Qur’an dan hadits semata-
mata dan menganggap tiap-tiap yang baru sebagai bid’ah dan kafir.
Akan tetapi persengketan tersebut dapat di batasi dengan tindakan al-
Mutawakil, lawan golongan Mu’tazilah untuk mengembalikan kekuasaan
golongan yang mempercayai keazalian al-Qur’an. Sejak saat itu golongan
Mu’tazilah mengalami tekanan berat. Kitab-kitab mereka dibakar dan
kekuatannya dicerai-beraikan sehingga kemudian tidak lagi aliran Mu’tazilah
sebagai golongan, terutama sesudah al-Asy’ary dapat mengalahkan mereka dalam
bidang pemikiran.20

19 Richard C. Martin, dkk. Post Mu’tazilah, Genealogi Konflik Rasionalisme dan


Tradisionalisme Islam, (Yogyakarta, IRCISOD, 2002), 329-330.
20 Ahmad Hanafi, Op. Cit, 56-57.
15

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara harfiah Mu’tazilah adalah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah.
Aliran Mu’taziliyah (memisahkan diri) muncul di Basrah, Irak pada abad 2 H.
Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin Atha (700-750 M) berpisah dari
gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat. Wasil bin Atha
berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan kafir yang berarti
ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar aliran
Mu’tazilah yang menolak pandangan-pandangan kedua aliran di atas. Bagi
Mu’tazilah orang yang berdosa besar tidaklah kafir, tetapi bukan pula mukmin.
Mereka menyebut orang demikian dengan istilah al-manzilah bain al-manzilatain
(posisi di antara dua posisi).
Mu’tazilah adalah aliran yang secara garis besar sepakat dan mengikuti cara
pandang Washil bin ‘Atha’ dan ‘ Amru bin Ubaid dalam masalah-masalah teologi,
atau aliran teologi yang akar pemikirannya berkaitan dengan pemikiran Washil
bin ‘Atha’ dan ‘ Amru bin Ubaid.
Mu’tazilah merupakan aliran teologis dalam Islam yang bercorak rasional,
dan berpandangan bahwa nash (wahyu) sejalan dengan rasio akal manusia.
Namun dalam perjalanan sejarahnya, mereka banyak terpengaruh dengan metode-
metode filsafat asing, sehingga hampir saja membawa mereka kepada sikap
“ekstrim” dalam menggunakan logika. Sikap “nyaris ekstrim” ini yang
berpengaruh dan tampak dalam ide-ide teologis mereka, dan sampai pada titik
klimaksnya menimbulkan fitnah besar di dalam perjalanan sejarah umat Islam,
yang diistilahkan Mihnah.
Mu’tazilah muncul dengan latar belakang kasus hukum pelaku dosa besar
yang telah mulai diperdebatkan oleh Khawarij dan Murji’ah. Mereka tidak
mengatakan pelaku dosa besar itu kafir dan tidak juga mukmin, melainkan fasik.
Dan jika dia meninggal dalam kondisi belum bertaubat maka dia berada di sebuah
tempat antara posisi orang mukmin dan orang kafir, yang diistilahkan dengan al-
manzilah baina al-manzilatain. Pada sisi lain dalam perkembangannya mereka
16

juga masuk ke ladang kasus yang diperdebatkan Qadariyah dan Jabariyah tentang
hakikat perbuatan manusia dan kaitannya dengan takdir Tuhan.
Penghargaan yang tinggi terhadap akal dan logika menyebabkan timbul
banyak perbedaan pendapat di kalangan Mu’tazilah sendiri, namun ide-ide
teologis mereka disatukan dalam beberapa hal pokok, yang dikenal dengan al-
Ushul al-Khamsah: Tauhid (Keesaan), Al-’Adl (Keadilan), Al-Wa’du wa al-
Wa’id (Janji dan Ancaman), Al-Manzilah Baina al-Manzilatain (Satu Tempat
diantara Dua Tempat), Al-Amru bi al-Ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-Munkar
(Menegakkan yang Makruf dan Melarang Kemunkaran).
Setelah beberapa puluh tahun lamanya golongan Mu’tazilah mencapai
kepesatan dan kemegahannya, akhirnya mengalami kemunduran. Kemunduran ini
sebenarnya karena perbuatan mereka sendiri, mereka hendak membela /
memperjuangkan kebebasan berfikir akan tetapi mereka sendiri memusuhi orang-
orang yang tidak mengikuti pendapat-pendapat mereka.
17

DAFTAR PUSTAKA

.al-Khayyath, Abu al-Hasan, Al-Intishar Firraddi ‘alal Mu’tazilatil-Qadariyyah


Al-Asyrar, 1/65.
Abbas, Sirrajudin, I’tiqod Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Jakarta: CV. Pustaka
Tarbiyah, 2006.
Abd Al-Jabbar bin Ahmad, Syarh al Ushul al khamsah, Maktab Wahbab,
Kairo,1965.
al-Fakhuri, Hanna, dkk, Tarikh al-Falsafah al-Arabiyyah, Beirut: tnp., 1957.
al-Syahrastani, Muhammad bin Abdul Karim, al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah.
Anwar, Rosihon, ,Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Hanafi, Ahmad, Theology Islam (Ilmu Kalam), PT Bulan Bintang, Jakarta, 1996.
Martin, Richard C., dkk. Post Mu’tazilah, Genealogi Konflik Rasionalisme dan
Tradisionalisme Islam, Yogyakarta, IRCISOD, 2002.
Mazru’ah, Mahmud, Tarikh Al Firaq Al Islamiyah, Dar Al Mannar, Kairo, 1991.
Mufid, Fathul, Ilmu Tauhid/Kalam, Kudus: STAIN Kudus, 2009.
Muhaimin, M, Ilmu Kalam, Sejarah dan Aliran-aliran, Yogyakarta:Pustaka
Pelajar,1999.
Muthohar, Ahmad, Teologi Islam, Yogyakarta: Teras, 2008.
Nasution, Harun, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan,
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986.
Taib, Abd Mu’in Thahir, Ilmu Kalam, Jakarta : Penerbit Widjaya. 1986.

Anda mungkin juga menyukai