BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
A. Asal Usul Mu’tazilah
Kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2
Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul
Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah
seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama
Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun
80 H dan wafat pada tahun 131 H.
Kemunculan mu`tazilah ini bermula dari lontaran ketidaksetujuan dari
Washil Bin Atha` atas pendapat Hasan Basri yang mengatakan bahwa seorang
muslim yang melakukan kefasikan (dosa besar), maka di akhirat nanti akan
disiksa lebih dahulu sesuai dengan dosanya, kemudian akan dimasukkan ke
jannah sebagai rahmat Allah atasnya, Washil Bin Atha` menyangkal pendapat
tersebut.1 Sebaliknya dia mengatakan bahwa kedudukan orang mukmin yang fasik
tersebut tidak lagi mukmin dan tidak juga kafir. Sehingga kedudukannya tidak di
neraka dan tidak pula di surga. namun dia berada dalam satu posisi antara iman
dan kufur. Antara surga dan neraka (al-manzilah baina manzilatain).
Di dalam menyebarkan ajarannya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid
(seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam
suatu pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah.2
Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin
berkembang dengan sekian banyak sektenya. Hingga kemudian para tokoh
mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-
Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar terwarnai oleh
manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mengabaikan dalil-dalil dari
Al Qur’an dan As Sunnah).3
Oleh karena itu, tidak aneh bila kaidah nomor satu mereka berbunyi: “Akal
lebih didahulukan daripada syariat (Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’dan akal-lah
sebagai kata pemutus dalam segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal,
menurut persangkaan mereka maka sungguh syariat tersebut harus dibuang atau
ditakwil.4
Secara etimologis, kata “Mu’tazilah” berarti golongan yang mengasingkan
atau memisahkan diri. Dalam lembaran sejarah Islam, golongan ini pernah terjadi
di kala pertikaian antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Pada saat itu terdapat beberapa orang sahabat Nabi yang tidak menginginkan
terlibat dalam pertikaian tersebut. Mereka tidak ikut membaiat Ali, namun mereka
memilih bersikap netral. Beberapa tokoh yang memiliki sikap semacam ini
adalah: Sa’d bin Abi Waqqasy, Abdullah bin Umar, dan Utsman bin Zaid.
Orang-orang itu disebut kelompok Mu’tazilah, karena mengasingkan diri dari
keterlibatan dalam pertikaian politik yang tengah terjadi antara Ali dan
Mu’awiyah.5
Apabila kata Mu’tazilah dikaitkan dalam konteks aliran-aliran teologi, maka
Mu’tazilah adalah suatu nama golongan dalam Islam yang membawa
persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada
persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah yang dalam
pembahasannya banyak memakai akal, sehingga golongan ini sering disebut
kaum rasionalis Islam.6
Sebenarnya nama Mu’tazilah bukanlah produk dari orang-orang Mu’tazilah
sendiri, melainkan gelar yang diberikan oleh pihak lain untuknya, ketika Hasan al-
Basri mendengar kebid`ahan Washil Ibn Atha`, maka dia mengusirnya dari
majelis, lalu Washil Ibn Atha` memisahkan diri kemudian diikuti oleh para
sahabatnya yang bernama Amr bin Ubaid. Maka pada saat itulah orang-orang
menyebut mereka telah memisahkan diri dari pendapat umat.7 Sejak itulah
pengikut mereka berdua disebut Mu`tazilah.
B. Ajararan-Ajaran Dasar Mu’tazilah
Ajaran-ajaran dasar golonga Mu’tazilah berasal Washil Ibn Atha, pokok-
pokok pikiran itu dirumuskan dalam ajarannya yang disebut “Al-ushul al-
Khamsah”, atau Lima ajaran dasar. Abu al-Hasan al-Khayyath dalam bukunya al-
intishar menyatakan: “tak seorang pun mengaku sebagai penganut Mu’tazilah
sebelum ia mengakui al-ushul al-khomsah (lima pokok ajaran) sebagai dasar
pemikiran pahamnya, yaitu : al-Tauhid, al-‘Adl, al-Wa’d wa al-Wa’id, al-
Manzilah baina al-Manzilatain, al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahi an al-Munkar.8
7 Ahmad Hanafi, Theology Islam (Ilmu Kalam), (PT Bulan Bintang, Jakarta, 1996), 39-40.
8 Ahmad Muthohar, Teologi Islam, (Yogyakarta: Teras, 2008), cet. 1, 18.
5
9 Abd. Al-Jabbar bin Ahmad, Syarh al Ushul al khamsah, (Maktab Wahbab, Kairo,1965),
196.
6
Mereka mengatakan bahwa kata ( )ناظرةdi sana tidak berarti melihat ()رؤية
malainkan menunggu ( )انتظرdan kata ( )إلىbukanlah huruf jar melainkan musytaq
(pecahan kata) dari kata ( )اآلالءyang berarti nikmat, sehingga maksud ayat adalah:
“Wajah-wajah itu menanti nikmat dari Tuhannya”.10
Dengan mengatakan bahwa bukan berarti Allah itu adalah cahaya yang bisa
dilihat, melainkan Allah memberikan cahaya kepada langit dan bumi. Sedangkan
terhadap hadits yang menyatakan orang mukmin di surga bisa melihat Allah
bahkan kondisinya sama dengan kondisi ketika kita melihat bulan purnama, hadits
ini tidak diterima oleh Mu’tazilah dan mengatakan terdapat cacat pada Sanad-nya.
d. Mengingkari jihah (arah) bagi Allah.
Ini sejalan dengan penjelasan mereka tentang kesempurnaan Allah SWT,
yaitu: “Bukan yang memiliki batasan (dzi jihat) kanan, kiri, depan, belakang, atas
maupun belakang dan tidak dibatasi oleh tempat”. Karena dengan menetapkan
atau membatasi jihat bagi-Nya berarti menetapkan atau membatasi Allah pada
suatu tempat dan tubuh (jism).
Ide seperti ini membawa mereka kepada pentakwilan kata-kata di dalam al-
Qur’an yang menunjukkan tempat Allah SWT, seperti mentakwil kursi dengan
ilmu-Nya, dan mentakwil istiwa’ (semayam) dengan berkuasa penuh (istila’) dan
lain sebagainya.
10 Ibid, 227.
8
11 Ibid.
12 Sirrajudin Abbas, I’tiqod Ahlus Sunnah Wal Jama’ah,(Jakarta: CV. Pustaka Tarbiyah,
2006), 191-193.
9
dari orang kafir. Pendapat ini merupakan pendapat di antara pendapat Khawarij
dan pendapat Murjiah.
5. al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahi ‘an al-Munkar (Perintah untuk berbuat baik
dan larangan berbuat jahat).
Ajaran ini sebenarnya bukan hanya dimiliki oleh golongan Mu’tazilah saja,
tetapi juga dimiliki oleh semua umat Islam. Tetapi ada perbedaanya, yaitu
pelaksanaan ajaran tersebut menurut Mu’tazilah, bila perlu harus diwujudkan atau
dilaksanakan dengan paksaan atau kekerasan. Sedang golongan lain cukup dengan
penjelasan saja.
Ajaran dasar tentang amar ma’ruf nahi munkar sebenarnya sangat erat
kaitannya dengan usaha pembinaan akhlak, karena hal itu berarti mendidik orang
untuk berbuat baik dan melarang berbuat jahat. Ajaran ini dapat pula menjadi
bukti bahwa Mu’tazilah amat menekankan pentingnya pendidikan akhlak, sebagai
bukti konsep Iman dalam pandangan Mu’tazilah tidak cukup hanya dengan
tashdiq (pembenaran) di hati, melainkan harus diikuti dengan amalan, dan iman
bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan melakukan maksiat.
Bagi Mu’tazilah, prinsip ini harus dilaksanakan oleh semua orang mukmin
dengan seluruh daya upaya, baik berupa lisan, tangan maupun dengan pedang
sekalipun, sebagaimana yang telah diajarkan Nabi SAW dalam sabdanya.
Perbedaan paham mu’tazilah dengan yang lainnya mengenai ajaran kelima
ini terletak pada tatana pelaksanaannya. Menurut Mu’tazilah, jika memang
diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut.16
Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Mu’tazilah, yaitu al-
Manzilah baina al-Manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.
2. Abu Huzail al-Allaf.
Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha,
mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kota Bashrah. Lewat sekolah ini,
pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan
pengajaran tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam.
Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti
Abbasiyah). Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara. Dukungan politik
dari pihak rezim makin mengokohkan dominasi mazhab teologi ini. Tetapi
sayang, tragedi mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme dalam Islam ini.
Abu Huzail al-Allaf adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak
falsafah yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran
Mu’tazilah yang bercorak filsafat. Ia antara lain membuat uraian mengenai
pengertian Nafy al-Sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan
pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya;
Tuhan Maha Kuasa dengan Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya
dan seterusnya. Penjelasan dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari
adanya yang Qadim selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti
sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan), berarti sifat-Nya itu Qadim. Ini akan
membawa kepada kemusyrikan.
Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada
manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, manusia
wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk.
Dengan akal itu pula manusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya
Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia
melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salãh wa al-aslah.
3. Al-Jubba’i.
Al-Jubba’i adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah.
Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT,
kewajiban manusia, dan daya akal.
12
7. Bisyr al-Mu’tamir
Ajaran Bisyr al-Mu’tamir yang penting menyangkut pertanggungjawaban
perbuatan manusia. Anak kecil baginya tidak dimintai pertanggungjawaban atas
perbuatannya di akhirat kelak karena ia belum mukalaf. Seorang yang berdosa
besar kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi berbuat dosa besar, akan mendapat
siksa ganda, meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu.
8. Abu Musa al-Mudrar
Al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin mu’tazilah yang sangat ekstrim,
karena pendapatnya yang mudah mengafirkan orang lain. Menurut Syahristani,ia
menuduh kafir semua orang yang mempercayai keqadiman al-Quran. Ia juga
menolak pendapat bahwa di akhirat Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala.
9. Hisyam bin Amr al-Fuwati
Al-Fuwati berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga dan neraka
hanyalah ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alasan yang dikemukakan adalah
tidak ada gunanya menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum
waktunya orang memasuki surga dan neraka.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara harfiah Mu’tazilah adalah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah.
Aliran Mu’taziliyah (memisahkan diri) muncul di Basrah, Irak pada abad 2 H.
Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin Atha (700-750 M) berpisah dari
gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat. Wasil bin Atha
berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan kafir yang berarti
ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar aliran
Mu’tazilah yang menolak pandangan-pandangan kedua aliran di atas. Bagi
Mu’tazilah orang yang berdosa besar tidaklah kafir, tetapi bukan pula mukmin.
Mereka menyebut orang demikian dengan istilah al-manzilah bain al-manzilatain
(posisi di antara dua posisi).
Mu’tazilah adalah aliran yang secara garis besar sepakat dan mengikuti cara
pandang Washil bin ‘Atha’ dan ‘ Amru bin Ubaid dalam masalah-masalah teologi,
atau aliran teologi yang akar pemikirannya berkaitan dengan pemikiran Washil
bin ‘Atha’ dan ‘ Amru bin Ubaid.
Mu’tazilah merupakan aliran teologis dalam Islam yang bercorak rasional,
dan berpandangan bahwa nash (wahyu) sejalan dengan rasio akal manusia.
Namun dalam perjalanan sejarahnya, mereka banyak terpengaruh dengan metode-
metode filsafat asing, sehingga hampir saja membawa mereka kepada sikap
“ekstrim” dalam menggunakan logika. Sikap “nyaris ekstrim” ini yang
berpengaruh dan tampak dalam ide-ide teologis mereka, dan sampai pada titik
klimaksnya menimbulkan fitnah besar di dalam perjalanan sejarah umat Islam,
yang diistilahkan Mihnah.
Mu’tazilah muncul dengan latar belakang kasus hukum pelaku dosa besar
yang telah mulai diperdebatkan oleh Khawarij dan Murji’ah. Mereka tidak
mengatakan pelaku dosa besar itu kafir dan tidak juga mukmin, melainkan fasik.
Dan jika dia meninggal dalam kondisi belum bertaubat maka dia berada di sebuah
tempat antara posisi orang mukmin dan orang kafir, yang diistilahkan dengan al-
manzilah baina al-manzilatain. Pada sisi lain dalam perkembangannya mereka
16
juga masuk ke ladang kasus yang diperdebatkan Qadariyah dan Jabariyah tentang
hakikat perbuatan manusia dan kaitannya dengan takdir Tuhan.
Penghargaan yang tinggi terhadap akal dan logika menyebabkan timbul
banyak perbedaan pendapat di kalangan Mu’tazilah sendiri, namun ide-ide
teologis mereka disatukan dalam beberapa hal pokok, yang dikenal dengan al-
Ushul al-Khamsah: Tauhid (Keesaan), Al-’Adl (Keadilan), Al-Wa’du wa al-
Wa’id (Janji dan Ancaman), Al-Manzilah Baina al-Manzilatain (Satu Tempat
diantara Dua Tempat), Al-Amru bi al-Ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-Munkar
(Menegakkan yang Makruf dan Melarang Kemunkaran).
Setelah beberapa puluh tahun lamanya golongan Mu’tazilah mencapai
kepesatan dan kemegahannya, akhirnya mengalami kemunduran. Kemunduran ini
sebenarnya karena perbuatan mereka sendiri, mereka hendak membela /
memperjuangkan kebebasan berfikir akan tetapi mereka sendiri memusuhi orang-
orang yang tidak mengikuti pendapat-pendapat mereka.
17
DAFTAR PUSTAKA