Anda di halaman 1dari 2

4.

MU’TAJILAH
a. Identitas

Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berisah atau memisahkan
diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis, istilah Mu’tazilah
menunjuk ada dua golongan.

Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini
tumbuh sebahai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani
pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan
Abdullah bin Zubair.

Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang
berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini
muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang
pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar

b. Kronologis
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah
tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya
pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul
Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri
yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena
Wasil bin Atha’ berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir
yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih
berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut
antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya.
Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya.
kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di
masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh
manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an
dan As Sunnah).
c. Doktrin-Doktrin

Ushul al-khamsah Mu'tazilah:

1. Tauhid. Mereka berpendapat :


o Sifat Allah ialah dzatNya itu sendiri.
o al-Qur'an ialah makhluk.
o Allah di alam akhirat kelak tak terlihat mata manusia. Yang terjangkau mata manusia
bukanlah Ia.
2. Keadilan-Nya. Mereka berpendapat bahwa Allah SWT akan memberi imbalan pada
manusia sesuai perbuatannya.
3. Janji dan ancaman. Mereka berpendapat Allah takkan ingkar janji: memberi pahala pada
muslimin yang baik dan memberi siksa pada muslimin yang jahat.
4. Posisi di antara 2 posisi. Ini dicetuskan Wasil bin Atha' yang membuatnya berpisah dari
gurunya, bahwa mukmin berdosa besar, statusnya di antara mukmin dan kafir, yakni fasik.
5. Amar ma’ruf (tuntutan berbuat baik) dan nahi munkar (mencegah perbuatan yang tercela).
Ini lebih banyak berkaitan dengan hukum/fikih.
Aliran Mu’taziliyah berpendapat dalam masalah qada dan qadar, bahwa manusia sendirilah
yang menciptakan perbuatannya. Manusia dihisab berdasarkan perbuatannya, sebab ia
sendirilah yang menciptakannya.

d. Dampak

Mu’tazilah dalam menyelesaikan berbagai masalah keagamaan selalu menggunakan


kekuatan akal pikiran. Bahkan mereka diberi nama kaum rasionalis. Dalam sejarah, pada
masa pemerintahan Abbasiyah, kaum muslimin terancam dari berbagai aliran yang
merupakan lawan-lawan kepercayaan Islam. Lawan-lawan itu di antaranya, paham al-
Mujassimah, al-Rafidhah, mulhid dan zindik di samping itu juga dapat menumpas paham
reinkarnasi. Karena itu dalam sejarah umat Islam tidak mengenal pembahasan yang
bercorak filsafat dan lengkap tentang Tuhan, sifat-sifat dan perbuatannya dengan disertai
dalil-dalil akal pikiran dan alasan-alasan naql sebelum lahir aliran Mu’tazilah. Dengan
demikian, tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa Mu’tazilah sangat besar pengaruhnya di
dunia Islam, di antaranya:

1) Bidang orator dan pujangga. 2.   Bidang ilmu balaghah (rethorika)

3.   Ilmu perdebatan (jadal) 4.   Bidang ilmu Kalam (Theologi Islam).

e. Rekonstruksi terhadap pendidikan Islam


a. Yang dapat diambil untuk rekonstruksi pemikiran pendidikan Islam
1) Ajaran ilmu balaghah (rethorika) dijadikan sumber ilmu-ilmu dakwah.
2) Ajaran ilmu sastra dan pujangga dapat pembelajaran mengaluskan budi
3) Ajaran ilmu perdebatan (jadal) dalam pembelajaran ilmu-ilmu politik dan hukum
4) Ajaran ilmu kalam dalam pendidikan teologi Islam dan filsafat
b. Yang harus ditinggalkan untuk rekonstruksi pemikiran pendidikan Islam
1) Pada bidang akidah, Aliran Mu’taziliyah berpendapat dalam masalah qada dan
qadar, bahwa manusia sendirilah yang menciptakan perbuatannya. Manusia
dihisab berdasarkan perbuatannya, sebab ia sendirilah yang menciptakannya.

Anda mungkin juga menyukai