Anda di halaman 1dari 20

“Sejarah Mu’tazilah dan Perkembangannya”

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Islam

Dosen Pengampuh :

Dr. Muhammad Idris, S.Ag, M.Ag

Disusun Oleh :

Muhammad Haikal Agus

NIM :20123061

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Aliran mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang
lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang dibawa kaum
khawarij dan murjia‟ah. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga mereka
mendapat nama “kaum Rasionalis Islam”. Aliran ini muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad
ke 2H tahun 105-110 H, tepatnya pada masa pemerintahan  Khalifah Abdul Malik Bin
Mrwan dan Khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, zaman
keemasan dalam Islam terjadi pada abad pertengahan. Daerah kekuasaan Islam berkembang
dengan pesatnya, disamping itu kemajuan perkembangan inteletual juga pesat. Suatu yang tak
dapat dipungkiri adalah bahwa Islam pernah menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pada zaman inilah yang menghasilkan ulama’-ulama’ besar seperti imam malik, Imam Abu
Hanifah. Imam As Syafi’I dan Imam Abu Hambal dalam bidang hukum, Imam Al Asy’ari,
Imam Al Maturabi dan pemuka-pemuka Mu’tazilah dalam bidang Theologi.1
Bermula terjadinya Mu’tazilah ini adalah dari tindakan seorang murid dari Imam Hasan
Al- Bashri yang bernama Washil Bin Atha Al- Makhzumi Al- Ghozzal yang lahir di madinah
tahun 700 M. Dengan kemunculan ini karena Washil bin Atha’ berpendapat orang Muslim
yang melakukan dosa besar bukanlah seorang mukmin dan juga bukan kafir semantara Imam
Hasan Al- Bashri berpendapat mukmin yang berdosa besar masih berstatus mukmin. Dari
sinilah muncul pemikiran aliran mu’tazilah ini yang berpendapat bahwa Tuhan telah
memberikan kemerdekaan dan kebebasan bagi manusia dalam menentukan kehndak dan
perbuatannya, karena Tuhan tidak absolut dalam kehendak-Nya, dan Tuhan mempunyai
kewajiban berlaku adil, menempati janji dan memberikan rezeki.
Secara umum, alrian mu’tazilah melewati dua fase yang berbeda. Fase Abbasyiah (100 H-
237 M) dan fase Bani Buwaihi (334 H). Pada generasi pertama hidup dibawah pemerintahan
Bani Umayah untuk waktu yang tidak terlalu lama. 2 Kemudian memenuhi zaman awal
Daulah Abbasiyah dengan aktivitas, gerak, teori, diskusi dan pembelaan terhadap agama,
dalam suasana yang terpenuhi oleh pemikiran baru. Diawali di Basrah kemudian berdirilah
cabang sampai ke Baghdad. Orang-orang mu’tazilah di Basrah mereka bersikap berhati-hati
dalam menghadapi masalah politik.

1
Prof.Dr.Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang,
Jakarta, 1992
2
Rohidin, Mu’tazilah; Sejarah dan Perkembangannya, (Bengkulu, El-Afkar vol 7, 2018) h. 9
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah munculnya Mu’tazilah?
2. Bagaimana perkembangan aliran Mu’tazilah sebagai aliran teologi?
3. Darimana Asal-usul nama Mu’tazilah?
4. Siapa saja tokoh-tokoh dan pemikirannya?
C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini agar saya selaku penyusun dan juga pembaca dapat
mengetahui bagaimana sejarah munculnya aliran Mu’tazilah, perkembangannya sebagai alian
teologi, asal usul nama daripada aliran Mu’tazilah, dan juga tokoh-tokoh pemikirannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Munculnya Aliran Mu’Tazilah
Kaum Mu’tazilah merupakan sekelompok manusia yang pernah menggemparkan dunia
Islam selama Lebih dari 300 tahun akibat fatwa-fatwa mereka yang menghebokan, selama
waktu itu pula kelompok ini telah menumpahkan ribuan darah kaum muslimin terutama para
ulama Ahlus Sunnah yang bersikukuh dengan pedoman mereka 3. Sejarah munculnya aliran
M’utazilah ini yakni di kota Bashra (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, pada
masa pemerintahan khalifa Hisyam Bin Abdul Malik, Pelopornya adalah seorang penduduk
Bashra mantan murid Al- Hasan Al- Bashari yang bernama Washil bin Atha’ Al- Makhzumi
Al- Ghozzal yang lahir di madinah tahun 700 M. Dengan kemunculan ini karena Washil bin
Atha’ berpendapat orang Muslim yang bersdosa besartapi juga bukan kafir. Imam Hasan Al-
Bashri berpendapat mukmin yang berdosa besar masih berstatus mukmin. Disinilah awal
munculnya perbedaan paham karena perselisihan antara murid dan guru, dan pada akhirnya
golongan mu’tazilah pun dinisbatkan kepadanya. Sehingga kelompok mu’tazilah ini semakin
berkembang dengan sekian banyak sektenya.Kemudian petinggi mereka mendalami buku-
buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifa Al- Makmum. Maka sejak saat itulah
manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli kalam yang beroreintasi pada akal dan
mencampakkan dalil-dalil dari Al-Quran dan As Sunnah.4
Mu’tazilah sendiri berasal dari kata i’tazala yang berarti mengasingkan diri atau
memisahkan diri, sedangkan secara etimologis bermakna. Orang-orang yang memisahkan
diri. Kata ini mempunyai suatu kronologi yang tidak bisa dipisahkan dengan sosok Al- Hasan
Al- Bashari, yakni salah seorang imam di kalangan tabi’in, seperti kata Asy- Syihiristani
yakni, suatu hari datanglah seorang laki-laki kepada Al- Hasan Al- Bashari yang berkata
“Wahai imam dalam agama, telah muncul di zaman kita ini kelompok yang mengkafirkan
pelaku dosa besar. Dan dosa tersebut diyakini sebagai kekafiran yang dapat mengeluarkan
orangnya dari agama, mereka adalah kaum Khawarij. Sedangkan kelompok yang lainnya
sangat toleran dengan orang yang berbuat dosa besar, dan menganggap dosa tersebut tidak
berpengaruh terhadap keimanan.Karena pada mazhab mereka, suatu amalan bukanlah rukun
dari keimanan dan kemaksiatan yang tidak berpengaruh terhadap keimanan sebagaimana
ketaatan tidak berpengaruh pada kekafiran, mereka inilah murji’ah umat ini.5

3
Rohidin,Mu’tazilah; Sejarah dan Perkembangannya, (Bengkulu, El-Afkar vol 7, 2018) h. 2
4
Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, (UI Press, 1986) jilid II, h. 36
5
Rohidin,Mu’tazilah; Sejarah dan Perkembangannya, h. 3
Mu’tazilah juga mengakui adanya hukum alam atau “sunnatullah”, dalam Al-quran
sunnatullah dapat diartikan sebagai hukum alam yang tidak berobah, ia dijadikan sebagi tolak
ukur oleh ilmuan untuk melakukan penyelidikan dan penelitian. Menurut Ibn al-Abbad salah
seorang tokoh sentral mu’tazilah yang berpendapat bahwa yang diciptakan Tuhan hanyalah
benda-benda materi saja, adapun “al-‘arad” atau “accidens” adalah kreasi benda-benda materi
itu sendiri dalam bentuk “nature” seperti, pembakaran oleh api dan pemanasan oleh materi
atau dalam bentuk pilihan (ikhtiar) seperti, antara gerak dan diam, berkumpul atau
berpisahnya yang dilakukan binatang. Ini menggambarkan paham naturalis atau kepercayaan
pada hukum alam yang terdapat dalam paham mu’tazilah.6
B. Perkembangan Aliran Mu’tazilah sebagai aliran Teologi
Secara umum, alrian mu’tazilah melewati dua fase yang berbeda. Fase Abbasyiah (100 H-
237 M) dan fase Bani Buwaihi (334 H). Pada generasi pertama hidup dibawah pemerintahan
Bani Umayah untuk waktu yang tidak terlalu lama. 7 Kemudian memenuhi zaman awal
Daulah Abbasiyah dengan aktivitas, gerak, teori, diskusi dan pembelaan terhadap agama,
dalam suasana yang terpenuhi oleh pemikiran baru. Diawali di Basrah kemudian berdirilah
cabang sampai ke Baghdad. Orang-orang mu’tazilah di Basrah mereka bersikap berhati-hati
dalam menghadapi masalah politik. Akan tetapi kelompok mu’tazilah di baghdad justru
sangat terlibat jauh terhadap politik. Dan mengambil bagian untuk menyalut dan mengatakan
bahwa Al-quran adalah makhluk. Dikatakan mu’tazilah pada awalnya menghabiskan waktu
sekitar dua abad untuk tidak bermazhab, namun mengutamakan sikap netral dalam pendapat
dan tindakan. Inilah salah satu sebab mengapa mereka disebut mu’tazilah, tidak mengisolir
diri dalam menanggapi problematika imamah sebagai sumber perpecahan pertama dan
mereka mengambil sikap tengah dengan mengajukan teori “al manzilah bainal manzilatain”.
Akan tetapi dibawah tekanan Asy’asariah nampaknya mereka berlindung kepada Bani
Buwaihi.8
Golongan pertama disebut Mu’tazilah I muncul sebagai respon politk murni. Golongan
ini sebagai respon politik murni. Dan tumbuh sebagai kaum netral politik, terkhususnya
dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Ai Thalib dan lawan-
lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair golongan inilah yang
semula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian maslah
khalifah. Golongan kedua disebut Mu’tazilah II yang muncul sebagai respon persoalan
6
Zulhemi, “Epistimologi Pemikiran Mu’tazilah Pengaruhnya terhadap Perkembangan Pemikiran di
Indonesia”, (Palembang, Dosen tetap Fakultas Ushuludin IAIN Raden Fatah Palembang, 2013) h.2
7
Rohidin, Mu’tazilah; Sejarah dan Perkembangannya, (Bengkulu, El-Afkar vol 7, 2018) h. 9
8
Madkour, Ibrahim. Aliran dan Teori Filsafat Islam ( Jakarta, PT. Bumi Aksara, 2009) h. 40
teologis yang berkembang di kalangan Khawrij dan Mur’jiah karena adanya peristiwa
tahkim. Munculnya golongan ini karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij
dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada pelaku yang berbuat dosa besar.
Menurut Abu Zahrah, dalam menetapkan akidah, Mu’tazilah berpegang pada premis-
premis logika, kecuali dalam masalah-masalah yang tidak dapat dijangkau akal. Mereka
mempercayai kemampuan dan kekuatan akal. Setiap masalah yang timbul mereka hadapkan
kepada akal. Yang dapat diterima akal maka akan mereka terima, dan tidak dapat diterima
akal mereka tolak.9 Mu’tazilah sendiri banyak dipengaruhi oleh pemikiran filsafat Yunani
dan logika dalam menemukan landasan-landasan paham mereka. Penyebabnya ada dua yaitu:
a) Mereka menemukan didalam filsafat Yunani keserisian dengan kecenderungan pikiran
mereka. Kemudian dijadikan sebagai metode berpikir yang membuat mereka lebih lancar
dan kuat dalam berargumentasi.
b) Ketika para filsof dan pihak lain berusaha meruntuhkan dasar-dasar ajaran Islam dengan
argumentasi-argumentasi logis, Mu’tazilah dengan gigih menolak mereka dengan
menggunakan metode diskusi dan debat mereka. Kaum mu’tazilah banyak mempelajari
filsafat untuk dijadikan senjata mengalahkan serangan para filsuf dan pihak yang lain.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kaum Mu’tazilah alah filsuf-filsuf Islam.10
Kaum mu’tazilah mempunyai lima doktrin pokok yang populer dengan sebutan al-Ushul al-
Khamsah. Kelima doktrin itu adalah:
1. At-Tauhid
At-tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan intisari ajaran mu’tazilah.
Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam islam memegang doktrin ini. Namun bagi
mu‟tazilah, tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu
yang dapat mengurangi arti kemahaesaannya. Untuk memurnikan keesaan Tuhan, Mu‟tazilah
menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat. Konsep ini bermula dari founding father aliran
ini, yakni Washil bin „Atho. Ia mengingkari bahwa mengetahui, berkuasa, berkehendak, dan
hidup adalah termasuk esensi Allah. Menurutnya, jika sifat-sifat ini diakui sebagai kekal-
azali, itu berarti terdapat “pluralitas yang kekal” dan berarti bahwa kepercayaan kepada Allah
adalah dusta belaka. Namun gagasan Washil ini tidak mudah diterima. Pada umumnya
Mu‟tazilah mereduksi sifat-sifat Allah menjadi dua, yakni ilmu dan kuasa, Selanjutnya
mereka mereduksi lagi kedua sifat dasar ini menjadi satu saja, yakni keesaan.11 Doktrin tauhid

9
Abu Zahrah, Tarikh Mazhabib al- Islamiyah (Cairo Mesir. Dar al Fikr al Araby, t.th) h. 144
10
Abu Zahrah, Tarikh Mazhabib al- Islamiyah, h. 145
11
Sharif (ed). Aliran-aliran Filsafat Islam. (Bandung : Nuansa Cendekia2004), h. 21
Mu‟tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Juga,
keyakinan tidak ada satupun yang dapat menyamai Tuhan, begitupula sebaliknya, Tuhan
tidak serupa dengan makhluk-Nya. Tegasnya Mu‟tazilah menolak antropomorfisme.
Penolakan terhadap paham antropomorfistik bukan semat-mata atas pertimbanagan akal,
melainkan memiliki rujukan yang yang sangat kuatdi dalam Al qur‟an yang berbunyi
(artinya) : “ tidak ada satupun yang menyamainya. ( Q.S.Assyura : 9 )
2. Al-Adl
Ajaran dasar Mu‟tazilah yang kedua adalah al-adl, yang berarti Tuhan Maha Adil. Adil ini
merupakan sifat yang paling gamblang untuk menunjukkan kesempurnaan, karena Tuhan
Maha sempurna dia pasti adil. Faham ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar-benar
adil menurut sudut pandang manusia. Tuhan dipandang adil apabila bertindak hanya yang
baik dan terbaik. Begitupula Tuhan itu adil bila tidak melanggar janjinya. Dengan demikian
Tuhan terikat dengan janjinya. Merekalah golongan yang mensucikan Allah daripada
pendapat lawannya yang mengatakan: bahwa Allah telah mentaqdirkan seseorang itu berbuat
maksiat, lalu mereka di azab Allah, sedang Mu‟tazialah berpendapat, bahwa manusia adalah
merdeka dalam segala perbuatan dan bebas bertindak, sebab itu mereka di azab atas
12
perbuatan dan tindakannya. Inilah yang mereka maksud keadilan itu. Ajaran tentang
keadilan berkaitan dengan beberapa hal, antara lain :
a. Perbuatan manusia. Manusia menurut Mu‟tazilah melakukan dan menciptakan
perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan. Manusia benar-benar
bebas untuk menentukan pilihannya.Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik.
Konsep ini memiliki konsekuensi logis dengan keadilan Tuhan, yaitu apapun yang akan
diterima manusia di akhirat merupakan balasan perbuatannya di dunia.
b. Berbuat baik dan terbaik Maksudnya adalah kewajiaban Tuhan untuk berbuat baik,
bahkan terbaik bagimanusia. Tuhan tidak mungkin jahat atau aniaya karena itu akan
menimbulkan persepsi bahwa Tuhan tidak maha sempurna. Bahkan menurut Annazam,
salah satu tokoh mu‟tazilah konsep ini berkaiatan dengan El-Afkar Vol. 7 Nomor II, Juli-
Desember 2018 8 kebijaksanaaan, kemurahan dan kepengasihan Tuhan.
c. Mengutus Rasul. Mengutus Rasul kepada manusia merupakan kewajiaban Tuhan karena
alasan berikut ini : Tuhan wajib berbuat baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat
terwujud kecuali dengan mengutus Rasul kepada mereka. Al qur‟an secara tegas
menyatakan kewajiban Tuhan untuk belas kasih kepada manusia .Cara terbaik untuk

12
Thahir Taib, Abd.Mu‟in. Ilmu Kalam, (Jakarta : Penerbit Widjaya. 1986), h.103
maksud tersebut adalah dengan pengutusan rasul. Tujuan di ciptakannya manusia adalah
untuk beribadah kepadaNya dengan jalan mengutus rasul.
3. Al-Wa’d wa al-Wa’id
Ajaran ini berisi tentang janji dan ancaman. Tuhan yang Maha Adil tidak akan melanggar
janjinya dan perbuatan Tuhan terikat dan di batasi oleh janjinya sendiri. Ini sesuai dengan
prinsip keadilan. Ajaran ketiga ini tidak memberi peluang bagi Tuhan selain menunaikan
janjinya yaitu memberi pahala orang yang ta‟at dan menyiksa orang yang berbuat maksiat,
ajaran ini tampaknya bertujuan mendorong manusia berbuat baik dan tidak melakukan
perbuatan dosa. Kaum Mu’tazilah meyakini bahwa janji dan ancaman Tuhan untuk membalas
perbuatan hamba-Nya pasti akan terlaksana. Ini bagian dari keadilan Tuhan.
4. Al-Manzilah bain al-Manzilatain
Inilah ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya mazhab mu‟tazilah. Ajaran ini
terkenal dengan status orang mukmin yang melakukan dosa besar, seperti dalam sejarah,
khawarij menganggap orang tersebut kafir bahkan musyrik, sedangkan menurut pandangan
Mu‟tazilah orang islam yang mengerjakan dosa besar yang sampai matinya belum taubat,
orang itu di hukumi tidak kafir dan tidak pula mukmin, tetapi diantara keduanya. Mereka itu
dinamakan orang fasiq, jadi mereka di tempatkan di suatu tempat diantara keduanya.12 4. Al
13
Amr bi Al Ma’ruf. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa orang mukmin yang berdosa
besar, statusnya tidak lagi mukmin dan juga tidak kafir, ia berada di antara keduanya. Doktrin
inilah yang kemudian melahirkan aliran Mu’tazilah yang digagas oleh Washil ibn Atha.
5. Al-Amr bi al-ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-Munkar
Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan
konsekuensi logis dari keimananan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan
perbuatan baik, diantaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari
kejahatan. Perbedaan mazhab Mu‟tazilah dengan mazhab lain mengenai ajaran kelima ini
terletak pada tata pelaksanaanya. Menurut Mu‟tazilah jika memang diperlukan kekerasan
dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut. perintah melaksanakan perbuatan baik
dan larangan perbuatan munkar. Ini merupakan kewajiban dakwah bagi setiap orang
Mu’tazilah.
Menurut salah seorang pemuka Mu’tazilah, Abu al-Husain alKhayyat, seseorang belum bisa
diakui sebagai anggota Mu’tazilah kecuali jika sudah menganut kelima doktrin tersebut.14
C. Asal- usul Nama Mu’tazilah

13
Rohidin, Mu’tazilah; Sejarah dan Perkembangannya, (Bengkulu, El-Afkar vol 7, 2018) h. 8
14
Ahmad Amin, Dhuba al- Islam, Juz III (Cairo Al-Nahdhah al-Mishriyah, 1966) h.22
Kalangan para ahli masih terjadi perdebatan tentang asal-usul sebutan nama Mu’tazilah.
Perdebatan mereka terutama terjadi pada kisaran pertanyaan “apakah sebutan itu berasal dari
kalangan luar atau bahkan lawan Mu’tazilah, atau mungkin sebaliknya sebutan ini berasal
dari kalangan orang-oranng Mu’tazilah sendiri”.15 Berkaitan dengan masalah ini, ditemukan
adanya beberapa teori yang dapat disampaikan dan diajukan sebagai alternatif
jawaban.Hanya saja dapat dipastikan, bahwa sesungguhnya Mu’tazilah sendiri, dengan klaim
subjektifnya,ternyata telah memproklamirkan dirinya sebagai Ahl at-Tauhid wa al-‘Adl
(Penegak tauhid dan keadian Tuhan), dan oleh karena itu kemudian Mu’tazilah lebih suka
dipanggil dan diapresiasi dengan sebutan tersebut. Adapun beragam teori yang dimaksudkan
adalah sebagaimana diuraikan di bawah ini.
a) Sebutan Mu’tazilah yang diberikan kepada mereka ditengarai berasal dari kata i’tazala,
yang berarti mengasingkan (memisahkan) diri. Menurut teori ini, sebutan Mu’tazilah,
yang diciptakan oleh orang yang tidak sefaham dengan doktrin teologis mereka, diberikan
atas dasar ucapan Hasan al-Bashri, setelah dia menyaksikan Washil bin Atha’ melakukan
pemisahan diri dari kelompoknya. Hasan al-Bashri diriwayatkan memberikan komentar
sebagai berikut: i’tazala ‘anna (dia Washil bin Atha’ mengasingkan atau memisahkan diri
dari kita). Orang-orang yang mengasingkan diri itulah yang kemudian disebut Mu’tazilah,
dan sejak peristiwa itu pula sebutan Mu’tazilah mulai dipergunakan dan dipopulerkan.
Tindakan mengasingkan diri di sini bisa bermakna ganda: memisahkan diri dalam artian
dari forum (majlis) Hasan al-Bashri, atau mengasingkan diri dari pandangan umum yang
berkembang pada saat itu yakni Khawarij yang menjustifikasi Muslim pelaku dosa besar
sebagai kafir dan Murji’ah yang tetap mengapresiasi Muslim pelaku dosa besar sebagai
tetap menjadi orang mukmin.16
b) Sebutan Mu’tazilah bukan berasal dan diturunkan dari ucapan Hasan al-Bashri,
melainkan dari kata i’tazala yang dipakaikan terhadap kelompok netralis (politik) dalam
mensikapi pertikaian politik di kalangan umat Islam. Istilah Mu’tazilah dalam konteks ini
dikatakan sudah muncul jauh sebelum kemunculan Washil dengan doktrin al-manzilah
bain al-manzilatain-nya. Yaitu golongan netralis politis yang tidak mau ikut terlibat dalam
pertikaian politik, dan sebaliknya mereka mengasingkan diri dan memusatkan
perhatiannya pada pelaksanaan ibadah dan pendalaman ilmu pengetahuan. Diantara
orang-orang yang berwatak mulia semacam ini adalah cucu nabi Muhamad Abu Husain,
Abdulah dan Hasan bin Muhamad bin al-Hanafi. Dalam bingkai teori ini, Washil bin
15
M Muniron, Ilmu Kalam: Sejarah, Metode, Ajaran, dan Analisis Perbandingan (Jawa Timur, STAIN
Jember Press, 2015) h.77
16
Madjid (Ed), Khazanah Intelektual Islam, 20; Nasution, Teologi Islam, h.128
Atha’ disebut Mu’tazilah lebih dikarenakan selain dia mempunyai hubungan yang erat
dengan Abu Husain, juga karena ia mempunyai sikap hidup yang relatif identik dengan
kelompok tersebut yakni lebih memusatkan aktivitasnya pada pelaksaan ibadah dan
pengembangan ilmu pengetahuan, tanpa melibatkan diri dalam pertikaian politik pada
masa itu.17
c) Kata Mu’tazilah mengandung konotasi negatif dengan arti “tergelincir”, dan karena
ketergelinciran orang-orang Mu’tazilah dari jalan yang benar, maka kemudian mereka
diberi sebutan Mu’tazilah yakni golongan yang tergelincir dari kebenaran. Harun
Nasution menolak pandangan semacam ini, karena menurutnya pemaknaan yang seperti
ini, yang mensinonimkan kata ‘azala dengan zalla, jelas-jelas tidak dapat dibenarkan
terutama dari tinjauan kebahasaan (etimologi). Kata yang dipakai dalam bahasa Arab
untuk arti tergelincir, sebagai dikatakan oleh Harun Nasution, memang relatif berdekatan
bunyinya dengan ‘azala (kata asal dari i’tazala) yakni zalla. Akan tetapi bagaimanapun
nama Mu’tazilah—lanjut Harun Nasution—tentu saja tetap tidak boleh dinyatakan
berasal dari kata zalla.18
d) Orang-orang Mu’tazilah sendiri meskipun mereka menyebut dirinya dengan Ahl at-
Tauhid wa al-‘Adl, namun mereka tidak menolak sebutan Mu’tazilah itu untuk dirinya.
Bahkan dari ucapan-ucapan sejumlah pemuka Mu’tazilah dapat ditarik kesimpulan bahwa
mereka sendirilah yang sebenarnya menetapkan nama itu. Menurut al-Qadli Abdul
Jabbar, salah seorang pemuka Mu’tazilah yang karya-karyanya relatif banyak bisa
ditemukan kembali pada abad ke-20 M ini, di dalam teologi memang terdapat kata
i’tazala yang mengandung arti mengasingkan diri dari yang salah atau tidak benar dan
19
dengan demikian kata Mu’tazilah mengandung arti sebagai pujian. Dan menurut
keterangan seorang Mu’tazilah lain, Ibn Murtadla, bahwa sebutan Mu’tazilah itu bukan
diberikan oleh orang lain dari kalangan outsider, melainkan kalangan internal orang-
orang Mu’tazilah sendirilah yang menciptakan sebutan itu.20
Memperhatikan sejumlah pandangan alternasi di atas, dalam prekteknya teori yang
pertama adalah yang paling dipegangi oleh banyak orang.33 Pendapat ini menyebutkan
bahwa kata Mu’tazilah berasal dari ungkapan Hasan al-Bashri “i’tazala ‘anna” (dia
Washil bin Atha’ memisahkan diri dari kita), setelah melihat Washil bin Atha’
memisahkan diri darinya. Hal ini berarti sebutan Mu’tazilah tersebut memang bukan
17
Nasution, Teologi Islam, h.128
18
Nasution, Teologi Islam, h. 128-129
19
M Muniron, Ilmu Kalam: Sejarah, Metode, Ajaran, dan Analisis Perbandingan, h.78-79
20
Shubhi, Fi Ilm al- Kalam, h.75-76
berasal dari orang Mu’tazilah sendiri, melainkan dari kalangan out sider, yang bahkan
kurang sefaham dengan mereka. Menurut Fazlur Rahman, teori semacam inilah yang
umumnya telah dipegangi di kalangan komunitas umat Islam kaum Suni.21 Dengan dasar
pamahaman semacam ini, maka Mu’tazilah berarti orang-orang yang mengasingkan diri,
baik dalam artian memisahkan dari forum (tempat) Hasan al-Bashri maupun dari
pandangan umum yang sudah berkembang masa itu—Khawarij yang menjustifikasi kafir
seorang Muslim pendosa besar, Murji’ah yang tetap memandangnya mukmin pelaku
maksiat—sehingga pandangan seperti itu bisa dikatakan bersifat unik. Meskipun nama
Mu’tazilah itu diberikan oleh orang luar, namun pemaknaan seperti itu sama sekali tidak
mengandung ejekan, sehingga pemaknaan kata Mu’tazilah sebagai orang-orang
tergelincir sudah pasti salah dan harus ditolak. Hanya saja pada perkembangan
selanjutnya, lebih-lebih di lingkungan masyarakat yang mayoritas penduduknya
berideologi Suni, tampaknya penmbelokan makna kata Mu’tazilah ke arah yang negatif
(ejekan) tidak mungkin dihindarkan. Kenyataan ini mendorong para tokoh teras
Mu’tazilah generasi belakangan memberikan interpretasi kata Mu’tazilah dengan
pengertian yang berkonotasi positif. Al-Qadli Abdul Jabbar, misalnya, sebagaimana
diuraikan di atas, mengatakan bahwa arti kata Mu’tazilah adalah golongan yang
mengasingkan diri dari kelompok yang salah, sehingga term Mu’tazilah secara
ontologism mengandung makana pujian, bukan merupakan suatu ejekan. Dalam rangka
mendasari pandangannya ini, Mu’tazilah mengemukakan dalil berupa Qs. al-Muzammil
ayat 10.
Pengaruh Pemikiran Mu’tazilah di Indonesia
Intelektual Modernisme Indonesia
Intelektual Muslim Indonesia memperhatikan ajaran Islam yang cocok untuk
pembangunan negara, dan nilai-nilai Islam dapat dipadukan dengan rasionalisme.
Persoalan rutinitas dalam teologi dan hukum Islam atau Fiqih masih diperdebatkan,
tetapitidak menjadi perhatian utama intelektual. Yang lebih penting bagi mereka adalah
teologi pembangunan, isitilah Nurcholis Madjid “Gerakan pembahruan pemikiran
Islam”.22
Sumbangan yang paling penting dari Nurkholis Madjid untuk pengembangan wacana
islam indonesia adalah usaha beliau untuk memisahkan modernisme dan skriptualisme.
Nurcholis Madjid memberikan penilaian yang lebih tentang bagaimana muslim harus
21
Rahman, Islam, h. 136-137
22
Zulhemi, “Epistimologi Pemikiran Mu’tazilah Pengaruhnya terhadap Perkembangan Pemikiran di
Indonesia”, (Palembang, Dosen tetap Fakultas Ushuludin IAIN Raden Fatah Palembang, 2013) h.133
mendekati kemoderenan. Menurut Nurcholis Madjid, Muslim Indonesia kembali
mengalami kelambanan dalam pemikiran dan perkembangan pendidikan Islam. Beliau
menerangkan bahwa kebutuhan terhadap pembaharuan pemikiran lebih memaksa
ketimbang kebutuhan untuk mempertahankan kesepakatan intelektual umat. Dalam
pidatonya beliau menggambarkan organisasi modernis seperti Muhammadiyah telah
kaku, mungkin tidak mampu menangkap semangat dinamis dan progresif dari gagasan
perbaikan itu sendiri. Ia menghimbau untuk mengakhiri perdebatan antar aliran dan
beralih untuk memperjuangkan sebuah metode penalaran. Muslim Indonesia yang
tergabung gerakan Muhammadiyah dan gerakan organisasi modernisme Islam
lainnyamenekankan rasionalitas dalam usaha menghilangkan praktek-praktek keagamaan
tradisional, dan menegaskan bahwa Islam tidak hanya sekedar mengizinkan, tetapi
membutuhkan kemoderenan. Tentang wacana di indonesia, diam-diam kemoderenan di
pertegas dalam istilah teknologi dan ilmu pengetahuan. Karena moderenisasi sebelumnya
menggabungkan rasionalitas teknologi serta ilmu pengetahuan dengan skritualisme Islam,
maka persoalan agama dikeluarkan dari wilayah kerja rasionalitas. Ini berarti konsep
kaum modernis tentang masyarakat Islam terbatas pada pemahaman literal ajaran sosial
dari Al-Qur’an dan Hadits.23
D. Tokoh-tokoh Mu’tazilah dan Pemikirnya
Mu’tazilah Basrah: Al-Ghurabi membagi golongan Mu’tazilah Basrah menjadi tiga masa,
yakni:24
a. Masa awal Mu’tazilah, yakni Mu’tazilah pada masa Wasil bin ‘Ata’ dan ‘Amru bin
‘Ubaid.
b. Masa pertengahan, yakni pada masa Abu al-Hudhail al-‘Allaf dan Al-Nazzam.
c. Masa akhir, yakni pada masa Abu ‘Ali al-Jubba’i dan Abu Hashim bin al-Jubba’i
Sebelum lebih jauh membahas tentang masa-masa Mu’tazilah, sebaiknya penulis lebih
dahulu mengungkapkan asal mula bibit ajaran Mu’tazilah. Beberapa peneliti, seperti Al-
Ghurabi secara eksplisit menyinggung Al-Hasan al-Basri sebagai pembawa bibit ajaran
Mu’tazilah.25 Walaupun dari beberapa ajaran Mu’tazilah tidak bermuara dari ajaran Al-
Hasan al-Basri, tetapi setidaknya Al-Hasan al-Basri mempunyai andil yang amat besar
bagi pengembangan ajaran Mu’tazilah.Untuk lebih jelasnya, penulis membahas Al-Hasan

23
Zulhemi, “Epistemologi pemikiran Mu’tazilah Pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran di
Indonesia”, .33-134
24
Al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq, h. 54
25
Al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq, h. 46.
al-Basri dan beberapa ajarannya yang kemudian ada yang diadopsi oleh ajaran
Mu’tazilah.
1. Al-Hasan Al-Basri
Namanya Al-Hasan bin Abi al-Hasan bin Yasar. Ayahnya seorang hamba sahaya
Ansar yang berasal dari sebuah daerah yang bernama Sabi Maisan.Ibunya bernama
Khairah, hamba sahaya Umm Salamah, isteri Rasul Allah.26Ketika Al-Hasan dilahirkan,
kedua orang tuanya masih menjadi hamba sahaya, sehingga iapun berkembang menjadi
seorang sahaya. Setelah dewasa, ia mengabdi kepada Zaid bin Thabit. 27Menurut Abu al-
Mahasin, ia seorang sahaya Hamid bin Qahtabah. 28Perselisihan pendapat mengenai siapa
tuan Al-Hasan, tidak terlalu penting karena pada dasarnya, Al-Hasan memang seorang
sahaya. Dia dilahirkan di Madinah pada tahun 21 H. pada masa pemerintahan ‘Umar bin
al-Khattab. Dia terkenal dengan julukan Abu Sa’id dan dia tidak hanya mendapat gelar
sebagai Imam Ahl Basrah bahkan juga Imam pada masanya.29
Dia dilahirkan di Madinah sebuah kota pusat ilmu pengetahuan agama, karena di
sanalah Rasul dan para sahabatnya berada.. Dia dipelihara di rumah Umm .Salamah, salah
seorang isteri Nabi Muhammad saw. Ketika ibunya tidak di rumah, ia menyusu pada
Umm Salamah. Suatu ketika ia diajak keluar Umm Salamah menemui para sahabat Nabi
dan mereka mendoakannya dengan baik. Kemudian ia berkembang dewasa di sebuah
desa, lalu mengabdi pada Zaid bin Thabit. Dia banyak bergaul dengan para sahabat Nabi,
sehingga ia banyak menimba ilmu agama dan sering mendengar hadis Rasul Allah dari
mereka.30
Al-Hasan al-Basri hidup dalam lingkungan tempat ilmu dan pengetahuan
berkembang.Karena itulah lingkungannya menjadikannya seorang ilmuwan. Di samping
ilmu yang diperolehnya di Madinah, ia juga sempat mengenyam kehidupan di masa
pemerintahan ‘Umar bin al-Khattab, menyaksikan pemberontakan terhadap ‘Uthman bin
‘Affan dan melihat pertikaian politik antara ‘Ali bin Abi Talib dan ‘A’isah binti Abu
Bakar al-Siddiq, Talhah bin alKhuwailid dan Zubair bin ‘Awwam pada perang Jamal dan
antara ‘Ali bin Abi Talib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan pada perang Siffin, kemudian ia
tinggal di Basrah. Ia wafat pada masa pemerintahan Bani Umayah pada tahun 110 H.4.31

26
Al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq, h. 41.
27
Al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq, h. 41.
28
Al-Ghurabi, Tarikh alFiraq, h. 41
29
Al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq, h. 41.
30
Al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq, h. 42.
31
Al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq, hl. 42.
Pengalaman hidupnya yang panjang dan penuh dengan peristiwa-peristiwa penting,
memberi pengaruh yang amat besar bagi perkembangan intelektual Al-Hasan al-Basri,
sehingga ia tumbuh menjadi seorang pakar intelektual yang banyak dijadikan rujukan
bagi pencari ilmu di masanya. Ia pandai dalam berbagai disiplin ilmu, seperti fikih,
sastera, hadis, tafsir, nasihat, ilmu politik, hukum dan ilmu akidah yang kesemuanya
merupakan sumber ilmu pengetahuan agama Islam
Pemikiran Al-Hasan al-Basri: 32
1. Iman:
Menurut Al-Hasan al-Basri, seseorang tidak dinamakan seorang mukmin jika tidak
mencerminkan keimanannya dalam bentuk perbuatan. Seseorang yang meninggalkan
kewajiban salat tidak dapat disebut sebagai seorang mukmin, karena ia telah melanggar
kewajiban. Ia juga tidak disebut sebagai seorang kafir, karena jika tidak ada kewajiban
melakukan salat, sebenarnya ia masih mukmin, sebab ia pernah mengucapkan shahadat.
Demikian pula halnya seseorang yang tidak melaksanakan rukun Islam lainnya seperti
zakat, puasa dan haji.Sama halnya dengan orang yang melanggar larangan Tuhan seperti
melakukan zina, minum minuman keras, mencuri, membunuh dan lain-lainnya, dia tidak
disebut orang mukmin karena adanya kewajiban untuk menjauhinya.
2. Pelaku dosa besar:
Berkaitan dengan konsepnya tentang iman, seseorang yang melakukan dosa besar
juga tidak disebut sebagai seorang mukmin, tetapi seorang munafik, dalam arti ia bukan
seorang mukmin murni juga bukan seorang kafir murni. Kedua pendapatnya di atas
merupakan bibit ajaran Mu,tazilah tentang konsep iman yang harus meliputi tiga inti
iman, yakni membenarkan adanya Tuhan di dalam hati, mengucapkanpengakuan atas
eksistensinya dengan lisan dan mengapresiasikan keimanannya dalam bentuk perbuatan.
Sedangkan pendapatnya mengenai pelaku dosa besar yang dikatakan bukan mukmin dan
juga bukan kafir, juga memberi inspirasi pada ajaran Mu’tazilah tentang almanzilah bain
al-manzilatain (berada di antara dua posisi) Akan tetapi bedanya, jika Al-Hasan menyebut
posisi pelaku dosa besar ini sebagai seorang munafik dalam arti bukan mukmin murni dan
bukan kafir murni, tetapi dalam ajaran Mu’tazilah menyebutnya dengan tidak mukmin
dan tidak kafir ini sebagai berada di antara dua posisi.
3..Perbuatan manusia:
Menurut Al-Hasan al-Basri, perbuatan maksiyat dan kejahatan manusia itu berasal dari
dirinya sendiri, tetapi perbuatan baiknya berasal dari Tuhan, tetapi di saat lain, AlHasan
32
Al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq, hl. 44 – 47.
al-Basri mengatakan bahwa perbuatan jahat dan perbuatan baik manusia semuanya
merupakan usaha manusia itu sendiri dan tidak ada campur tangan Tuhan di dalam
perbuatan manusia.Dalam hal ini, seolah-olah Al-Hasan al-Basri mempunyai pendapat
yang berubahubah. Keadaan seperti ini menurut Al-Ghurabi bisa dimaklumi, karena pada
saat itu, ajaran Islam belum dikodifikasi secara sistematis dan akidah Islam belum ditulis
secara baku. Tidak ada hadis yang secara jelas menyebut salah satunya.Pendapat ini
hanya didasarkan pada beberapa teks ayat al-Qur’an yang sekali tempo secara tekstual
menyatakan bahwa perbuatan baik manusia dari Allah, sedangkan perbuatan jahatnya dari
dirinya sendiri. Tetapi di lain ayat juga menyebutkan bahwa semua perbuatan manusia
yang baik atau yang jahat berasal dari Allah, dan di ayat lain menyebutkan bahwa
manusia itu sendirilah yang menentukan perbuatannya, baik atau jahat merupakan
pilihannya dan diserahkan kepadanya sepenuhnya, sebab Tuhan tidak akan mengubah
nasib seseorang, bila ia tidak berusaha mengubah nasibnya sendiri.
2. Al-Nazam
Nama lengkapnya Ibrahim bin Sayyar bin Hani AlNazam adalah tokoh Mu’tazilah
terkemuka, lancar berbicara, banyak mendalami filsafat dan banyak pula karyanya.Ketika
kecil ia banyak bergaul dengan filosof-filosof pada masanya. 33 Al-Nahzam, demikian
ahli-ahli sejarah pada zamannya mencatat, adalah perlambang ketajaman ingatan,
keluasan, tinjauan, kebebasan berpikir, kemurnian ungkapan dan berlebih lebih lagi
perlambang pengertian-pengertian yang teramat halus.
Di dalam bidang sastra Al-Nazham meninggalkan sekian banyak bait sajak dengan
ungkapan-ungkapan amat terkenal sekali. Kalimatnya pendek-pendek tetapi
pengertiannya halus dan dalam.Disamping ahli sastra yang dikagumi para penyair masa
itu, maka iapun seorang ahli pikir yang tajam.Disitu sengaja digunakan kata tajam
didalam pengertian yang seluas-luasnya, bahkan gurunya sendiri, Abu Huzail Al-Allaf,
lumer didepannya bagaikan salju didepan kehangatan. Juga Al-Syahrastani didalam
karyanya Milal dan Nahal menyatakan Al-Nazham itu sangat kuat mendalami filsafatgrik
dan titik berat pemikirannya ialah membatah paham kaum naturalis, bukan paham-paham
Theologis.
An-Nazzam : pendapatnya yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan. Karena
Tuhan itu Maha Adil, ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini berpendapat
lebih jauh dari gurunya, al-Allaf. Kalau Al-Allaf mengatakan bahwa Tuhan mustahil
berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka an-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah
33
A.Hanafi, Pengantar Theologi Islam, Jakarta Pustaka Al-Husna, 1989, h. 65
hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Ia
berpendapat bahwa perbuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak
sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian. Ia juga mengeluarkan
pendapat mengenai mukjizat Al-Qur’an. Menurutnya, mukjizat al-qur’an terletak pada
kandungannya, bukan pada usulub atau gaya bahasa dan balagah (retorika)-Nya. Ia juga
memberi penjelasan tentang kalam Allah SWT. Kalam adalah segalanya sesuatu yang
tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Karena itu, kalam adalah sesuatu yang
bersifat baru dan tidak kadim.34
3. Wasil bin Atha
Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran
Mu’tazilah. Adanya ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain al-
manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua tokoh
aliran Kadariyah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan.35 Dua dari tiga ajaran itu
kemudian menjadi doktrin ajaran Mu’tazilah yaitu al-manzilah bain al-manzilatain dan
peniadaan sifat-sifat Tuhan. Washil bin Atha, nama lengkapnya Abi Hudfaifah Washil
bin Atha al-Ghazzal, lahir pada tahun 80 H./700 M, di Madinah dan wafat pada tahun 131
H./750 di Bashra.36
4. Abu Huzail al- Allaf
Abu Huzail al- Allaf wafat 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha,
mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kota Bashra. Dari sekolah ini, pemikiran
Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran tentang
rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam. Aliran teologis ini pernah berjaya
pada masa Khalifah AL-Makmun (Dinasti Abbasyiyah). Mu’tazilah sempat menjadi
mazhab resmi negara. Dukungan politik dari pihak rezim makin mengkokohkan dominasi
mazhab teologi ini. Tetapi sayang, tragedi mihnah telah mencoreng mazhab rasionalisme
dalam Islam ini. Abu Huzail al- Allaf adalah seorang filsuf Islam. Ia mengetahui banyak
falsafah Yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Mu’tazilah yang
bercorak Filsafat. Ia antara lain membuat uraian mengenai pengertian nafy as-sifat.37
Ia menjelaskan bahwa Tuhan maha mengetahui dengan pengetahuan-Nya dengan
segala pengetahuan-Nya itu adalah zat-Nya, bukan sifat-Nya; Tuhan maha kuasa dengan
34
Rohidin, Mu’tazilah; Sejarah dan Perkembangannya, h. 5
35
Zulhemi, “Epistemologi pemikiran Mu’tazilah Pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran di
Indonesia”(Palembang, Dosen tetap Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Fatah Palembang, 2013) h. 4
36
Udi Mufradi Mawardi, Teologi Washil Ibn ‘Atha (Banten, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada
Masyarakat IAIN SMH Banten, 2017) h. 19
37
Rohidin, Mu’tazilah; Sejarah dan Perkembangannya, (Bengkulu, El-Afkar vol 7, 2018) h. 4
kekuasaan-Nya adalah zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan yang dimaksud oleh Abu
Huzail itu untuk mengetahui adanya kadim selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat
dalam arti sesuatu yang melekat di luar zar Tuhan, berartu sifat-Nya itu kadim. Ini akan
membawa kepada kemusyrikan. Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan
menganugerahkan akal kepada manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik
dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi
perbuatan yang buruk. Dengan akal itu pula manusia dapat sampai pada pengetahuan
tentang adanya Tuhan dan tentang kewajiban berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia
melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salah wa al-aslah.
5. Al- Jubba’i
Al-Jubba’i adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah. Pendapatnya
yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia,
dan daya akal. Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa tuhan tidak
mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, berarti
ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya.
Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya kedalam dua kelompok, yakni
kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya (wajibah ‘aqilah) dan
kewajiban-kewajiban yang diketahui melalui ajaran-ajaran yang dibawa para rasul dan
nabi (wajibah syar’iah).
6. Al-Jahiz
Dalam tulisan-tulisan Al-jahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai paham naturalism atau
kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum mu’tazilah disebut Sunnah Allah. Ia
antara lain menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya
diwujudkan oleh manusia itu sendiri, melainkan ada pengaruh hukum alam.38
7. Mu’ammar bin Abbad
Mu‟ammar bin Abbad adalah pendiri muktazilah aliran Baghdad. pendapatnya
tentang kepercayaan pada hukum alam. Pendapatnya ini sama dengan pendapat al-jahiz.
Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi. Adapun al-„arad
atau accidents (sesuatu yang datang pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam.
Misalnya, jika sebuah batu dilemparkan ke dalam air, maka gelombang yang dihasilkan
oleh lemparan batu itu adalah hasil atau kreasi dari batu itu, bukan hasil ciptaan Tuhan.
8. Bisyr al-Mu’tamir Bisyr

38
Rohidin, Mu’tazilah; Sejarah dan Perkembangannya, h. 5
Ajarannya yang penting menyangkut pertanggungjawaban perbuatan manusia. Anak
kecil baginya tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat kelak
karena ia belum *mukalaf. Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu
mengulangi lagi berbuat dosa besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia telah
bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu.
9. Abu Musa al-Mudrar
Al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin muktazilah yang sangat ekstrim, karena
pendapatnya yang mudah mengafirkan orang lain.Menurut Syahristani,ia menuduh kafir
semua orang yang mempercayai kekadiman Al-Quran. Ia juga menolak pendapat bahwa
di akhirat Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala39.
10. Hisyam bin Amr al-Fuwati
Al-Fuwati berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga dan neraka hanyalah ilusi,
belum ada wujudnya sekarang. Alasan yang dikemukakan adalah tidak ada gunanya
menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum waktunya orang memasuki surga
dan neraka.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Aliran Mu’tazilah muncul sebagai tokoh-tokoh muslimyang membela aqidah Islam dari
pengaruh-pengaruh dari luar dan dari dalam kalangan Islam sendiri. Walaupun pada awalnya
39
Rohidin, Mu’tazilah; Sejarah dan Perkembangannya, h. 6
gerakan Mu’tazilah merupakan gerakan keagamaan belaka timbulnya dipelopori oleh orang-
orang shaleh yan merasa terpanggil untuk meluruskan keesaan dan keadilan Tuhan yang telah
tercemar dan rusak. Keaadaan Tuhan dikemukakan oleh al-Nazham berkaitan erat dengan
iradat (kehendak Allah) dan qudrot (kekuasaan Allah). Sejalan dengan dengan prinsip As-
Salah wa Al-Aslah bahwa Tuhan harus melakukan yang baik dan yang terbaik bagi manusia.
B. Saran
Pada esensinya manusia hidup didunia ini selalu dihadapkan pada suatu kenyataan yang
bersifat riil. Bahwa segala persoalan yang terjadi diantara manusia secara nyata hanya dapat
diselesaikan dan diatasi melalui realitas yang ada pada manusia, bahwa ia bisa mengamati
dengan panca indera dan mengetahui serta berpikir dengan kal yang diberikan Tuhan
padanya.
Namun kenyataan bahwa tak semua persoalan manusia itu terselesaikan hanya dengan
melalui realitas yang ada, akan tetapi suatu kekuatan yang bersifat metafisik sangat
mempengaruhi segalanya.

DAFTAR PUSTAKA

Ali Sami al-Nasysyar (1966). Nasy’ah al-Fikr al-Falsafi fil Islam I. Cairo: Darul
Ma’arif.
Ahmad Hanafi (1980). Pengantar Theology Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna.

Harun Nasution (2019). Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Asa Riau (CV. Asa Riau).

Harun Nasution (1986). Teologi Islam,Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.


Jakarta: UI Press.

Kiswati Tsuroya (2012). Ilmu Kalam Aliran Sekte, Tokoh Pemikiran dan Analisa
Perbandingan, IAIN Sunan Ampel Surabaya

Mawardy Hatta (2013). Aliran Mu’tazilah Dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam.
Jurusan Akidah Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Humaniora IAIN Antasari
Banjarmasin.

Nurul Fatihah (1997). Ajaran Ushulul Khamsah Aliran Mu’tazilah, Fakultas


Ushuluddin Surabaya IAIN Sunan Ampel

Rohidin (2018). Mu’tazilah; Sejarah dan Perkembangannya, SDN 60 Benteng/


Mahasiswa Pasca IAIN Bengkulu.

Udi M. Mawardi (2017). Teologi Washil Ibn ‘Atha. Banten Lembaga Penelitian dan
Pengabdian KepadaMasyarakat.

Zulhemi (2013). Epistemologi pemikiran Mu’tazilah Pengaruhnya terhadap


perkembangan pemikiran di Indonesia. Palembang Fakultas Ushuluddin IAIN
Raden Fatah.

Anda mungkin juga menyukai