Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Banyak aliran dan mazhab yang timbul sepanjang sejarah umat Islam. Mulai dari
timbulnya aliran berlatarbelakang politik, yang kemudian aliran tersebut berevolusi dan
memicu kemunculan aliran bercorak akidah (teologi), hingga bermacam mazhab Fikih,
Ushul Fikih dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Jika dilihat dengan kaca mata positif,
maka beragamnya aliran dan mazhab dalam Islam itu menunjukkan bahwa umat Islam
adalah umat yang kaya dengan corak pemikiran. Ini berarti umat Islam adalah umat yang
dinamis, bukan umat yang statis dan bodoh yang tidak pernah mau berfikir.1
Namun dari semua aliran yang mewarnai perkembangan umat Islam itu, tidak
sedikit juga yang mengundang terjadinya konflik dan membawa kontroversi dalam umat,
khususnya aliran yang bercorak atau berkonsentrasi dalam membahas masalah teologi.
Satu diantara golongan/aliran itu adalah Mu’tazilah.
Berbicara perpecahan umat Islam tidaklah ada habis-habisnya, karena terus
menerus terjadi perpecahan dan penyempalan mulai dengan munculnya khowarij dan
syiah kemudian muncullah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung dibawah
syiar akal dan kebebasan berfikir, satu syiar yang menipu dan mengelabuhi orang-orang
yang tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada porsi yang benar.
Sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus masuk pemikiran
kelompok ini. akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya
yang telah diajarkan Rasulullah dan para shahabat-shahabatnya. Akibat dari hal itu
bermunculanlah kebidahan-kebidahan yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin
sehingga melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka serta memberikan gambaran yang
tidak benar terhadap ajaran Islam, bahkan dalam kelompok ini terdapat hal-hal yang
sangat berbahaya bagi Islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal dan dan logika.
Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk saling
menasehati saudaranya agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu
kelompok Mu’tazilah yang pengaruh penyimpangannya masih sangat terasa sampai saat
ini dan masih dikembangkan oleh para kolonialis kristen dan yahudi dalam
menghancurkan kekuatan kaum muslimin dan persatuannya.

1
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam. Jakarta: UI-Press. Hal. 01

1
Di era modernisasi sekarang ini mulai bermunculan pemikiran mu’tazilah dengan
nama-nama yang yang cukup menggelitik dan mengelabuhi orang yang membacanya,
mereka menamainya dengan Modernisasi pemikiran, westernasi dan sekulerisme serta
nama-nama lainnya yang mereka buat untuk menarik dan mendukung apa yang mereka
anggap benar dari pemkiran itu dalam rangka usaha mereka menyusupkan dan
menyebarkan pemahaman dan pemikiran ini. Oleh karena itu, perlunya dibahas dan
dikaji lebih dalam lagi tentang pemikiran Mu’tazilah, dengan tujuan agar diketahui
penyimpangan dan penyempalannya dari Islam, maka dalam makalah ini kami akan
membahas berbagai persoalan-persoalan,ajaran-ajaran, atau aliran-aliran yang berada
pada kaum Mu’tazilah.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian dan Sejarah Munculnya Aliran Mu’tazilah
2. Sebab-Sebab Munculnya Nama Mu’tazilah
3. Pokok-Pokok Ajaran Kaum Mu’tazilah
4. Tokoh-Tokoh Aliran Mu’tazilah
5. Konsep Pemikiran Kalam Aliran Mu’tazilah
6. Kelompok – kelompok Mu’tazilah
7. Perkembangan  Mu’tazilah
8. Tokoh-Tokoh Mu’tazilah dan Pemikirannya
9. Ajaran yang Diajarkan oleh Golongan Mu’tazilah

C. Tujuan
1. Mengetahui Pengertian dan Sejarah Munculnya Aliran Mu’tazilah
2. Mengetahui Sebab-Sebab Munculnya Nama Mu’tazilah
3. Mengetahui Pokok-Pokok Ajaran Kaum Mu’tazilah
4. Mengetahui Tokoh-Tokoh Aliran Mu’tazilah
5. Mengetahui Konsep Pemikiran Kalam Aliran Mu’tazilah
6. Mengetahui Kelompok – kelompok Mu’tazilah
7. Mengetahui Perkembangan  Mu’tazilah
8. Mengetahui Tokoh-Tokoh Mu’tazilah dan Pemikirannya
9. Mengetahui Ajaran yang Diajarkan oleh Golongan Mu’tazilah

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Sejarah Munculnya Aliran Mu’tazilah


Kata mu’tazilah diambil dari bahasa Arab yaitu ‫تزل‬AA‫اع‬ yang aslinya adalah
kata ‫عزل‬ yang berarti memisahkan atau menyingkirakan. Menurut Ahmad Warson, kata
azala dan azzala mempunyai arti yang sama dengan kata asalnya. Arti yang sama juga
akan kita temui di munjid, meskipun ia menambahkan satu arti yaitu mengusir.2
Penambahan huruf hamzah dan huruf ta pada kata I’tazala adalah untuk
menunjukkan hubungan sebab akibat yang dalam ilmu sharf disebut dengan muthawa’ah,
yang berarti terpisah, tersingkir atau terusir. Maka bentuk pelaku yaitu al-mu’tazilah
berarti orang yang terpisah, tersingkir atau terusir.
Kenapa Hasan Bashri mengatakan “ I’tazala anna washil” bukan dengan “in’azala
anna Washil”, ini karena konotasi yang kedua menunjukakkan perpisahan secara
menyeluruh, sedangkan Washil memang hanya terpisah hanya dari pengajian gurunya,
sedangkan mereka tetap menjalin silaturrahmi hingga gurunya wafat.
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah atau
memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis, istilah
Mu’tazilah menunjuk ada dua golongan. Panggilan atau nama yang mereka pilih itu
yakni Ahli keadilan disebabkan mereka memberi hak asasi bagi setiap manusia untuk
menerima atau menafsirkan eksistensi dari sifat-sifat Allah maka tidak terdapat paksaan
dari Allah bahkan manusia memiliki kekuasaan Qodrat untuk meletakkan pilihannya
dalam hidup ini. Hal ini dianggap satu keadilan dimana manusia tidak dipaksa bahkan
diberi kekuasaan.
Kaum Mu`tazilah merupakan sekelompok manusia yang pernah menggemparkan
dunia Islam selam lebih dari 300 tahun akibat fatwa-fatwa mereka yang menghebohkan,
selama waktu  itu pula kelompok ini telah menumpahkan ribuan darah kaum muslimin
terutama para ulama Ahlus Sunnah yang bersikukuh dengan pedoman  mereka.
Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi
yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa
oleh kaum Khawarij dan Murji’ah, dalam pembahasannya mereka banyak memakai akal,
sehingga mereka mendapat nama “ kaum rasionalis islam”

2
Nasir Ahmad,  Sahilun.2010. Pemikiran Kalam(teologi islam). Jakarta:Rajawali
pers. Hal. 03.
3
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran
mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 –
110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan
khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah
mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-
Ghozzal.3
Mu’tazilah timbul berkaitan dengan peristiwa Washil bin Atha’ (80-131) dan
temannya, amr bin ‘ubaid dan Hasan al-basri, sekitar tahun 700 M. Washil termasuk
orang-orang yang aktif mengikuti kuliah-kuliah yang diberikan al-Hasan al-Basri di
msjid Basrah. suatu hari, salah seorang dari pengikut kuliah (kajian) bertanya kepada Al-
Hasan tentang kedudukan orang yang berbuat dosa besar (murtakib al-kabair).
Mengenai pelaku dosa besar khawarij menyatakan kafir, sedangkan murjiah
menyatakan mukmin. Ketika Al-hasan sedang berfikir, tiba-tiba Washil tidak setuju
dengan kedua pendapat itu, menurutnya pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan
pula kafir, tetapi berada diantara posisi keduanya (al manzilah baina al-manzilataini).
setelah itu dia berdiri dan meninggalkan al-hasan karena tidak setuju dengan sang guru
dan membentuk pengajian baru. Atas peristiwa ini al-Hasan berkata, “i’tazalna” (Washil
menjauhkan dari kita). dan dari sinilah nama mu’tazilah dikenakan kepada mereka.

B. Sebab-Sebab Munculnya Nama Mu’tazilah


Ada beberapa versi atau pendapat yang berbeda dalam menerangkan sebab-sebab
munculnya kaum Mu’tazilah ini, yaitu :4
1. Ada seorang guru besar di Baghdad, namanya Syeikh Hasan Bashri (meninggal
tahun 110 H). Di antara muridnya ada seorang yang bernama Wasil bin Atha’
(meninggal pada tahun 131 H). Wasil bin Atha’ tidak sesuai dengan pendapat
gurunya yang mengatakan bahwa “orang Islam yang telah iman kepada Allah dan
Rasul-Nya, tetapi ia kebetulan mengerjakan dosa besar, maka orang itu tetap muslim
tetapi muslim durhaka”. lantas ia membentak, lalu keluar dari majelis gurunya dan
kemudian mengadakan majelis lain di suatu pojok dari Masjid Basrah itu. Oleh
karena ini, maka Wasil bin Atha’ dinamai kaum Mu’tazilah, karena ia mengasingkan
atau memisahkan diri dari gurunya.
2. Adapula orang mengatakan bahwa mereka dinamai Mu’tazilah ialah karena
mengasingkan diri dari masyarakat. Orang-orang Mu’tazilah ini pada mulanya
3
Ibid, h. 10
4
Sudarsono. 2004. Filsafat Islam. Jakarta : PT Rineka Cipta. Hal. 43.

4
adalah orang-orang Syi’ah yang patah hati akibat menyerahnya Khalifah Hasan bin
Ali bin Abi Thalib kepada Khalifah Mu’awiyah dari bani Umayyah.
3. Versi lain dikemukakan oleh Al-Baghdadi. Ia mengatakan bahwa Wasil dan
temannya, Amr bin Ubaid bin Bab, diusir oleh Hasan Al Basri dari majelisnya
karena adanya pertikaian diantara mereka tentang masalah qadar dan orang yang
berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan berpendapat
bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena
itu golongan ini dinamakan Mu’tazilah.
4. Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin
Da’mah pada suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr
bin Ubaid yang disangkanya adalah majlis Hasan Al Basri. Setelah mengetahuinya
bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan Al Basri, ia berdiri dan meninggalkan
tempat sambil berkata, “ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itulah kaum tersebut
dinamakan Mu’tazilah.
5. Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa
menyangkut-pautkan dengan peristiwa antara Wasil dan Hasan Al Basri. Mereka
diberi nama Mu’tazilah, katanya, karena berpendapat bahwa orang yang berdosa
bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir dan
mukmin (al-manjilah bain al-manjilatain). Dalam artian mereka memberikan status
orang yang berbuat dosa besar itu jauh dari golongan mukmin dan kafir.

C. Pokok-Pokok Ajaran Kaum Mu’tazilah


Abu Hasan Al- Kayyath berkata dalam kitabnya Al- Intisar “Tidak ada seorang
pun yang berhak mengaku sebagai penganut Mu`tazilah sebelum ia mengakui Al- Ushul
Al- Khamsah (lima dasar) yaitu Tauhid, Al- Adl, Al- Wa`du Wal Wai`id, Amar Ma`ruf
Nahi Munkar, dan Al- Manzilah Baina Manzilatain, jika telah menganut semua nya,
maka ia penganut paham Mu`tazilah.5

Berikut penjelasannya masing-masing yaitu :


1. Tauhid

5
Ibid, h. 70.

5
Memiliki arti “Penetapan bahwa Al-Quran itu adalah makhluk” sebab jika
Al-Quran bukan makhluk, berarti terjadi sejumlah zat qadiim (menurut mereka
Allah adalah Qadiim, dan jika Al-Quran adalah Qadiim, berarti syirik/ tidak
bertauhid).
Menurut mereka tauhid maknanya mengingkari sifat-sifat Allah karena
menetapkannya berarti menetapkan banyak dzat yang qadim, itu sama artinya
menyamakan mahluq dengan khaliq dan menetapkan banyak sang pencipta. Mereka
menta’wil sifat-sifat Allah dengan mengatakan sifat Allah adalah Dzat-Nya. Sebagai
contoh, Allah `Alim (maha mengetahui) maknanya ilmu Allah adalah Dzat-Nya, dan
seterusnya. Diantara sebagian konsekuensinya, mereka mengingkari ru`yatullah di
akhirat dan mengatakan Al-Qur`an itu mahluk.
Abu Al-Huzail menjelaskan apa sebenarnya yang di maksud dengan nafs al
sifat atau peniadaan sifat-sifat Tuhan. Menurut paham Wasil kepada Tuhan
diberikan sifat yang mempunyi wujud tersendiri dan kemudin melekat pada diri
tuhan. Karena dzat tuhan bersifat qadim maka apa yang melekat pada dzat itu
bersifat qadim pula. Dengan demikian sifat adalah bersifat qadim. Ini, menurut
Wasil akan membawa pada adanya dua Tuhan. Karena yang boleh bersifat qadim
hanyalah Tuhan, dengan kata lain , kalau ada sesuatu yang bersifat qadim maka
mestilah itu tuhan. Oleh karena itu, untuk memelihara kemurnian tauhid atau
keesaaan tuhan, tuhan tidak boleh dikatakan mempunyai sifat dalam arti diatas.
Ada beberapa ayat al-qur’an yang membantah kesamaan Tuhan dengan
makhluk. Namun demikian, ada juga ayat-ayat yang berkaitan dengan wajah, tangan
Tuhan dan sebagainya. Pendapat tradisional cenderung menerima ayat-ayat tersebut
itu untuk penilaian tentang wajah mereka tanpa berusaha lebih jauh untuk
menerangkan apa yang diebut dengan wajah dan sebagainya.
Mereka juga menolak paham beatific vision, yaitu pandangan bahwa tuhan
dapat dilihat di akhirat nanti (dengan mata kepala). Satu-satunya sifat tuhan yang
betul-betul tidak mungkin ada pada makhluknya adalah sifat qadim. Paham ini
mendorong mu’tazilah untuk meniadakan sifat-sifat tuhan yang mempunyai wujud
sendiri di luar dzat tuhan. Mu’tazilah menolak paham ini karena tuhan bersifat
immateri, sedangkan mata kepala bersifat materi  , yang immateri hanya dapat
diterima oleh yang immateri pula. Oleh karena itu, mu’tazilah berpendapat tuhan
memang dapat dilihat di akhirat, tetapi bukan dengan mata kepala melainkan dengan
mata hati.

6
Selanjutnya, mu’tazilah berpendapat bahwa hanya dzat tuhan yang bersifat
qadim. Paham ini mendorong mu’tazilah untuk meniadakan sifat-sifat tuhan yang
mempunyai wujud tersendiri terpisah dari dzatnya. Apa yang oleh golongan lain
disebut sifat tuhan, seperti maha mengetahui, maha kuasa, oleh mu’tazilah sifat
tersebut disebut esensi tuhan.
Paham keesaan tuhan mu’tazilah ini bermaksud untuk memurnikan dzat
tuhan dari persaman dengan makhluknya. Dalam paham ini tampak betapa kuat
pengaruh akal dalam pemikiran yang di bangun kaum mu’tazilah itu dan ini menjadi
salah satu indikasi bahwa mu’tazilah layak memandang sebutan kaum rasional.
2. Al-Adl
Memiliki Arti “Pengingkaran terhadap taqdir” sebab seperti kata mereka
bahwa Allah tidak menciptakan keburukan dan tidak mentaqdirkan nya, apabila
Allah menciptakan keburukan, kemudian Dia menyiksa manusia karena keburukan
yang diciptakannya, berarti Dia berbuat zalim, sedang Allah adil dan tidak berbuat
zalim.
Keadilan versi mereka adalah menolak takdir karena menetapkannya berarti
Allah menzholimi hambanya. Imam Ibnu Abil Izz Al-Hanafy berkata: ” mengenahi
Al `Adl mereka menutupi dibaliknya pengingkaran takdir. Mereka mengatakan
Allah tidak menciptakan keburukan dan tidak menghukum dengan adanya perbuatan
jahat, karena jika Allah menciptakan kejahatan kemudian menyiksa mereka atas
kejahatan mereka, itu artinya Allah zholim, padahal Allah adil dan tidak zholim.
Sebagai konsekuensinya mereka menyatakan dalam (kekuasaan) kerajaan Allah
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan Allah. Allah menginginkan sesuatu tetapi hal
itu tidak terjadi. Sebab kesesatan mereka ini adalah karena ketidak mampuan mereka
membedakan antara iradah kauniyah dengan iradah syar`iyah.
Paham ini dalah paham Qadriah yang dianjurkan Ma`bad dan Ghailan. Tuhan
kata Wasil bersifat bijksana dan adil. Ia tak dapat berbuat jahat dan zhalim. Tidak
mungkin tuhan menghendaki manusia berbuat hal-hal yang bertentangan dengan
perintahnya. Dengan demikian manusialah sendiri yang mewujudkan perbuatan baik
dan jahat, iman dan kafir serta patuh dan tidak patuhnya kepada tuhan. Atas
perbuatan-perbuatan ini manusia memperoleh balasannya. Dan untuk mewujudkan
perbutan itu tuhan memberikan daya dan kekuatan kepadanya. Tidak mungkin tuhan
menurunkan perintah kepada manusia untuk berbuat sesuatu kalau manusia tidak
punya daya dan kekuatan untuk berbuat.

7
3. Al- Wa`du Wal Wa`iid (terlaksananya ancaman),
Maksudnya adalah apabila Allah mengancam sebagian hamba-Nya dengan
siksaan, maka tidak boleh bagi Allah untuk tidak menyiksa-Nya dan menyelisih
ancaman-Nya, sebab Allah tidak menginginkan janji, artinya- menurut mereka Allah
tidak memaafkan orang-orang yang dikehendaki-Nya dan tidak mengampuni dosa-
dosa (selain syirik) bagi yang dikehendaki-Nya. Hal ini jelas bertentangan dengan
Ahlus Sunnah Waljama`ah.
4. Al-Manzilah Baina Manzilatain
Artinya orang yang berbuat dosa besar berarti keluar dari iman tetapi tidak
masuk kedalam kekufuran, akan tetapi ia berada dalam satu posisi antara dua
keadaan (tidak mukmin dan tidak juga kafir).
Menurut ajaran ini, orang yang berdosa besar bukan kafir, sebagaimana
disebutkan oleh kaum Khawarij, dan bukan pula mu’min sebagaimana di katakan
kaum Murji`ah, tetapi fasik yang menduduki posisi antara mu’min dan kafir. Kata
mukmin, dalam pendapat Wasil, merupkan sifat baik dan nama pujian yang tak
dapat diberikan kepada orang fasik, dengan dosa besarnya. Tetapi predikat kafir juga
tidak dapat pula diberikan kepadanya, karena di balik dosa besar ia masih
mengucapkan shahadat dan mengerjakan perbuatan baik. Orang serupa ini jika mati
belum bertaubat, akan kekal dalam neraka, hanya siksaan yang di terima lebih ringan
dari siksaan yang diterima kafir.
5. Amar Ma`ruf Nahi Munkar
yaitu bahwa mereka wajib memerintahkan golongan selain mereka untuk
melakukan apa yang mereka lakukan dan melarang golongan selain mereka apa
yang dilarang bagi mereka.
Imam Ibnu Abil ‘Izz berkata: ” adapun amar makruf nahi mungkar, mereka
berkata: ” kita wajib menyuruh orang selain kita untuk melaksanakan hal yang di
perintahkan kepada kita dan mewajibkn mereka dengan apa yang wajib kita
kerjakan. Di antara kandungnnya adalah boleh memberontak dengan senjata
melawan penguasa yang dholim.

Pandangan rasional Mu’tazilah dapat dilihat juga dalam uraian mengenai


kedudukan akal dan wahyu. Dalam hal ini ada empat hal yang diperdebatkan oleh aliran-
aliran kalam yaitu :
1. Mengenai tentang mengetahui Tuhan.

8
2. Kewajiban mengetahui Tuhan.
3. Mengetahui baik dan jahat.
4. .Kewajiban mengatahui baik dan jahat.

D. Tokoh-Tokoh Aliran Mu’tazilah


Beberapa tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh perkembangan bagi aliran
mu’tazilah adalah.6
1. Wasil bin Atha (80-131 H/699-748 M),
Wasil bin Atha’ Al-Ghazal dikenal sebagai pendiri aliran Mu’tazilah,
sekaligus sebagai pemimpin pertamanya. Dia juga terkenal sebagai pemikir kaum
Mu’tazilah yang rasional. Dia adalah orang yang meletakan kerangka dasar ajaran
kelompok Mu’tazilah. Ajaran pokok yang didengungkannya adalah faham al-
Manzilah bain al-Manzilatain, serta faham yang meniadakan sifat-sifat Tuhan.
2. Abu Huzail al-Allaf (135-235 H),
Nama lengkapnya ialah Abdul Huzail Muhammad Abu Al-Huzail Al-Allaf.
Ia adalah pemimpin kaum Mu’tazilah kedua di kota Basrah. Ia banyak sekali
menekuni filsafat bangsa Yunani. Pengetahuanya mengenai filsafat
memudahkannya dalam menyusun dasar-dasar ajaran Mu’tazilah dengan teratur.
Pengetahuan yang berkaitan dengan logika, membuatnya menjelma menjadi ahli
debat. Lawan-lawannya dari kaum zindik, kelompok majusi, Zoroaster, dan atheis
tidak mampu membantah argumen yang ia berikan. Menurut suatu riwayat, ia telah
mengislamkan kurang lebih 3000 orang. Puncak kebesaranya di raih pada waktu
khalifah Al-Makmun, karena khalifah ini pernah menjadi salah satu muridnya.
3. Bisyir Al-Mu’tamir (wafat 226 H)
Bisyr Al-mu’tamir adalah pemimpin Mu’tazilah di kota Baghdad. Ia
merupakan orang pertama yang menyusun Ilmu Balaghah. Ia juga seorang tokoh
aliran kelompok yang membahas konsep tawallud (reproduction) yaitu batas-batas
pertanggung jawaban manusia atas kelakuaanya. Ia memiliki murid-murid yang
sangat besar pengaruhnya dalam penyebaran paham aliran Mu’tazilah, khususnya di
Baghdad.
4. An-Nazzam (183-231 H)
An-nazam merupakan murid dari Abul Huzail Al-Allaf. Ia banyak bergaul
dengan ahli filsafat. Dia mempunyai ketajaman dalam berfikir yang sungguh luar
6
Rozak Abdul, Anwar Rosihon. 2006. Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia. Hal. 33.

9
biasa, antara lain tentang metode keraguan serta metode empirika yang merupakan
cikal bakal lahirnya renainssance (abad pencerahan) di Eropa.
5. Al-Jahiz Abu Usman bin Bahar (w. 869)
Al-Jahiz Abu Usman bin Bahar merupakan pencetus aliran naturalisme atau
kepercayaan pada hukum alam yang oleh paham Mu’tazilah dinamakan sunnah
Allah. dia diantaranya menerangkan bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidak
semuanya diwujudkan oleh manusia itu sendiri, melainkan adanya pengaruh hukum
alam.
6. Al-Jubba’i (w. 302 H),
Nama asli Al-Jubba’I di ambil dari nama kota kelahiranya, yaitu daerah yang
bernama Jubba, di provinsi Chuzestan , Iran. Dia adalah guru imam Abu Hasan al-
Asy’ari, pendiri kelompok Asy’ariyah. Pemikrannya tentang tafsir Al-Qur’an
banyak di ambil oleh Az-Zamakhsyari.
7. Mu’ammar bin Abbad,
Mu’ammar bin Abbad merupakan pendiri aliran Mu’tazilah kota Baghdad.
Pendapatnya yang penting yaitu mengenai kepercayaan pada hukum alam, sama
seperti pendapat al-Jahiz. Ia menyatakan bahwa Tuhan hanya menjadikan benda-
benda materi saja , sementara al-‘arad atau accidents (sesuatu yang datang pada
benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam itu. Contohnya, seperti jika sebuah
batu dilempar kedalam air, maka gelombang yang dihasilkan oleh lemparan batu itu
merupakan hasil atau kreasi dari batu itu sendiri, bukan hasil ciptaan Tuhan.
8. Bisyr al-Mu’tamir (w. 210 H),
Menurutnya, seorang anak kecil yang meninggal tidak diminta
pertanggungjawaban atas kelakuaanya diakhirat kelak karena ia belum termasuk
mukalaf. Seorang yang berdosa besar lalu bertobat, kemudian mengulangi, akan
menerima siksa ganda, meskipun ia sudah bertobat atas dosa besarnya yang telah
lalu.

9. Abu Musa al-Mudrar (w. 226 H),


Dia dianggap sebagai pemimpin Mu’tazilah yang sangat ekstrim karena
pendapatnya yang gampang mengkafirkan orang lain yang meyakini keqadiman al-
Quran. Ia juga membantah pendapat bahwa Allah SWT bisa dilihat dengan mata
kepala di akhirat kelak.

10
10. Hisyam bin Amr al-Fuwati,
Dia berpendapat bahwa apa yang disebut surga dan neraka hanyalah ilusi
semata, belum ada wujudnya pada saat ini. Alasan yang dikemukakannya adalah
tidak ada manfaat menciptakan surga serta neraka sekarang karena belum saatnya
orang memasuki surga dan neraka.
11. Sumamah bin Asyras (w. 213 H),
Dia berpendapat bahwa manusia sendirilah yang melahirkan perbuatan-
perbuatannya karena dalam dirinya sudah tersedia daya untuk berbuat. Tentang daya
dan akal, ia berkesimpulan bahwa akal manusia sebelum datangnya wahyu bisa tahu
adanya Tuhan serta mengenal perbuatan yang baik dan perbuatan buruk, wahyu
hanya turun untuk memberikan konfirmasi.
12. Abu al-Hussain al-Khayyat (w. 300 H),
13. Al-Qadhi Abdul Jabbar (w. 1024 H)
Dia diangkat sebagi hakim oleh Ibnu Abad. Diantara karyanya yang besar
ialah karya tentang ulasan pokok-pokok ajaran Mu’tazilah yang ia sebut Al-Mughni.
Kitab ini terdiri lebih dari lima belas jilid. Dia tergolong tokoh yang hidup pada
jaman kemunduran aliran Mu’tazilah namun Ia bisa berprestasi baik dalam bidang
keilmuan maupun pada jabatan kenegaraan.
14. Az-Zamakhsyari (467-538 H).
Dia dilahirkan di desa Zamakhsyar, Khawarizm, negara Iran. Ia terkenal
sebagai tokoh dalam Ilmu Tafsir, nahwu, dan paramasastra. Dalam karanganya Ia
secara terang-terangan memperlihatkan faham Mu’tazilah. Seperti dalam kitab tafsir
Al-Kassyaf yang berusaha menafsirkan ayat-ayat Al-Qur,an berdasarkan ajaran-
ajaran Mu’tazilah, terutama lima prinsip ajaranya.

E. Konsep Pemikiran Kalam Aliran Mu’tazilah7


1. Ketauhidan
Mu’tazilah menafikan dan meniadakan Allah Ta’ala itu bersifat dengan sifat-
sifat yang azali dari ilmu, qudrat, hayat dan sebagainya sebagai dzat-Nya.
2. Dosa Besar

7
Ibid, h. 110.

11
Orang Islam yang mengerjakan dosa besar, yang sampai matinya belum
taubat, orang tersebut dihukumi tidak kafir dan tidak pula mukmin, tetapi diantara
keduanya itu. Mereka itu dinamakan orang ”fasiq”.
3. Qadar
Mereka berpendapat : Bukanlah Allah yang menjadikan segala perbuatan
makhluk, tetapi makhluk itu sendirilah yang menjadikan dan menggerakkan segala
perbuatannya. Oleh karena itulah, mereka diberi dosa dan pahala.
4. Kedudukan Akal
Sepanjang sejarah telah diketahui bahwa kaum Mu’tazilah membentuk
madzhabnya lebih mengutamakan akal, bukan mengutamakan Al Qur’an dan
Hadist.

F. Kelompok – kelompok Mu’tazilah8


Mu’tazilah berdasarkan versi mereka, terbagi menjadi dua kelompok besar :
1. Mu’tazilah Ekstrim
Yaitu, mu’tazilah yang memeaksakan faham mereka kepada orang lain.
Meskipun mayoritas kaum mu’tazilah bersikap moderat tapi ada juga yang ekstrim.
Golongan ini lahir pada masa keemasan mu’tazilah, yaitu mereka menyalahgunakan
kekuasaan Al-Ma’mun.
Golongan ini adalah yang menjunjung tinggi dasar kelima. Golongan ini
dikenal dengan nama Waidiyah (pengancam). Dalam melaksanakan dasar yang
kelima ini mereka tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan.
2. Mu’tazilah Moderat
Mayoritas kaum mu’tazilah adalah moderat, hal inilah salah satu yang
membedakannya dengan Syi’ah maupun khawarij. Sikap moderat ini pulalah yang
menjadi salah satu kunci kelanggengan aliran ini selama kurang lebih tiga abad
lamanya.
G. Perkembangan  Mu’tazilah
Pada awal perkembangannya, aliran ini tidak mendapat simpati dari umat Islam,
khususnya dikalangan masyarakat awam, karena mereka sulit memahami ajaran-ajaran
Mu’tazilah yang bersifat rasional dan filosofis. Alasan lain adalah kaum muktazilah
dinilai tidak teguh berpegang pada sunah Rasulullah dan para sahabat.9

8
Ibid, h. 115.
9
Yudi Prahara,Erwin. 2008. Buku Paket Materi PAI.Ponorogo: STAIN PERS. Hal. 56.

12
Kelompok ini baru memperoleh dukungan yang luas, terutama dikalangan
Intelektual, yaitu pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun, penguasa Abbasiyah
(198-218H/813-833M). kedudukan Mu’tazilah semakin kuat setelah al-Ma’mun
menyatakan sebagai mazhab resmi Negara. Hal ini disebabkan karena al-Ma’mun sejak
kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan Ilmu pengetahuan dan filsafat.
Dalam fase kejayaannya itu, Mu’tazilah sebagai golongan yang mendapat
dukungan penguasa memaksakan ajarannya kepada kelompok lain. Pemaksaan ajaran ini
dikenal dalam sejarah dengan peristiwa mihnah. Mihnah itu timbul sehubungan dengan
paham-paham Khalq Al-Quran. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Quran adalah
kalam Allah SWT yang tersusun dari suara dan huruf-huruf. Al-Quran itu makhluk
dalam arti diciptakan Tuhan. Karena diciptakan berarti ia sesuatu yang baru, jadi tidak
kadim. Jika Al-quran itu dikatakan kadim, maka akan timbul kesimpulan bahwa ada
yang kadim selain Allah SWT dan hukumnya Musyrik.
Khalifah al-Ma’mun menginstruksikan supaya diadakan pengujian terhadap
aparat pemerintahan (mihnah) tentang keyakinan mereka akan paham ini. Menurut al-
Ma’mun orang yang mempunyai keyakinan bahwa Al-Quran adalah kadim tidak dapat
dipakai untuk menempati posisi penting dalam pemerintahan. Dalam pelaksanaannya,
bukan hanya aparat pemerintah yang diperiksa melainkan juga tokoh-tokoh masyarakat.
Sejarah mencatat banyak tokoh dan pejabat pemerintah yang disiksa, diantaranya Imam
Hanbali, bahkan ada ulama’ yang dibunuh karena tidak sepaham dengan ajaran
Mu’tazilah. Peristiwa ini sangat menggoncang umat Islam dan baru berakhir setelah al-
Mutawakkil (memerintah 232-247H/847-861M).
Dimasa al-Mutawakkil, dominasi aliran Mu’tazilah menurun dan menjadi
semakin tidak simpatik dimata masyarakat. Keadaan ini semakin buruk setelah al-
Mutawakkil membatalkan pemakaian mazhab Mu’tazilah sebagai mazhab resmi Negara
dan menggantinya dengan aliran Asy’ariyah.
Dalam perjalanan selanjutnya, kaum Mu’tazilah muncul kembali di zaman
berkuasanya Dinasti Buwaihi di Baghdad. Akan tetapi kesempatan ini tidak berlangsung
lama.
Selama berabad-abad, kemudian Mu’tazilah tersisih dari panggung sejarah,
tergeser oleh aliran Ahlusunah waljamaah. Diantara yang mempercepat hilangnya aliran
ini ialah buku-buku mereka tidak lagi dibaca di perguruan-perguruan Islam. Namun sejak
awal abad ke-20 berbagai karya Mu’tazilah ditemukan kembali dan dipelajari di berbagai
perguruan tinggi Islam seperti universitas al-Azhar.

13
H. Tokoh-Tokoh Mu’tazilah dan Pemikirannya10
1. Wasil bin Atha’
Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran
Muktazilah. Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah
bain al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan,
dua tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga
ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Muktazilah, yaitu al-manzilah bain al-
manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.
2. Abu Huzail al-Allaf
Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha,
mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kota Bashrah. Lewat sekolah ini,
pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran
tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam. Aliran teologis ini
pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti Abbasiyah). Mu’tazilah
sempat menjadi madzhab resmi negara. Dukungan politik dari pihak rezim makin
mengokohkan dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang, tragedi mihnah telah
mencoreng madzhab rasionalisme dalam Islam ini.
3. Abu Huzail al-Allaf
Adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak falsafah yunani dan itu
memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Muktazilah yang bercorak filsafat.
Ia antara lain membuat uraian mengenai pengertian nafy as-sifat. Ia menjelaskan
bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini
adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan Kekuasaan-Nya dan
Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan dimaksudkan oleh Abu-
Huzail untuk menghindari adanya yang kadim selain Tuhan karena kalau dikatakan
ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan), berarti sifat-Nya itu
kadim. Ini akan membawa kepada kemusyrikan. Ajarannya yang lain adalah bahwa
Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar digunakan untuk membedakan
yang baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan
menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal itu pula menusia dapat sampai pada
pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada
Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salãh wa al-aslah.
4. Al-Jubba’i
10
Ibid, h. 83.

14
Al-Jubba’I adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah.
Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT,
kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan
bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak,
dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-
Nya, bukan dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke
dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui
akalnya (wãjibah ‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melaui ajaran-
ajaran yang dibawa para rasul dan nabi (wãjibah syar’iah).
5. An-Nazzam
An-Nazzam : pendapatnya yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan.
Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini
berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-Allaf. Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa
Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka an-Nazzam menegaskan
bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai
kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa pebuatan zalim hanya
dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari
keadaan yang demikian. Ia juga mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat al-
Quran. Menurutnya, mukjizat al-quran terletak pada kandungannya, bukan pada
uslūb (gaya bahasa) dan balāgah (retorika)-Nya. Ia juga memberi penjelasan tentang
kalam Allah SWT. Kalam adalah segalanya sesuatu yang tersusun dari huruf-huruf
dan dapat didengar. Karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat baru dan tidak
kadim.

I. Ajaran yang Diajarkan oleh Golongan Mu’tazilah


Ada beberapa ajaran yang di ajarkan oleh golongan Mu’tazilah yaitu misalnya: Al
– ‘adl (Keadilan). Yang mereka maksud dengan keadilan adalah keyakinan bahwasanya
kebaikan itu datang dari Allah, sedangkan. Dalilnya kejelekan datang dari makhluk dan
di luar kehendak (masyi’ah) Allah adalah firman Allah : “Dan Allah tidak suka terhadap
kerusakan.” (Al-Baqarah: 205) “Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya”.
(Az-Zumar:7) Menurut mereka kesukaan dan keinginan merupakan kesatuan yang tidak
bisa dipisahkan. Sehingga mustahil bila Allah tidak suka terhadap kejelekan, kemudian
menghendaki atau menginginkan untuk terjadi (mentaqdirkannya) oleh karena itu

15
merekan menamakan diri mereka dengan nama Ahlul ‘Adl atau Al – ‘Adliyyah. Al-
Wa’du Wal-Wa’id. Yang mereka maksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib bagi
Allah untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke
dalam Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar
(walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di
dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka
disebut dengan Wa’idiyyah.11
Kaum mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi
yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa
kaum khawarij dan murji’ah. dalam pembahasan , mereka banyak memakai akal
sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis Islam”.
Aliran mu’tazilah merupakan aliran teologi Islam yang terbesar dan tertua, aliran
ini telah memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia Islam. Orang yang
ingin mempelajari filsafat Islam sesungguhnya dan yang berhubungan dengan agama dan
sejarah Islam, haruslah menggali buku-buku yang dikarang oleh orang-orang mu’tazilah,
bukan oleh mereka yang lazim disebut filosof-filosof Islam.
Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad pertama hijrah di kota
Basrah (Irak), pusat ilmu dan peradaan dikala itu, tempat peraduaan aneka kebudayaan
asing dan pertemuan bermacam-macam agama. Pada waktu itu banyak orang-orang yang
menghancurkan Islam dari segi aqidah, baik mereka yang menamakan dirinya Islam
maupun tidak.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sejarah munculnya aliran Mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran
Mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah tahun 105 –
110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan
khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah
mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-
Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha’ berpendapat bahwa muslim
11
Supiana dan Karman, M. 2004. Materi Pendidikan Agama Islam. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Hal. 115

16
berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-
Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin.Inilah awal
kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan
akhirnya golongan Mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya.
Mu`tazilah mempunyai lima ajaran dasar, perintah bernuat baik dan larangan
berbuat jahat, dianggap sebagai kewajiban bukan oleh kaum Mu`tazilah saja, tetapi oleh
golongan-golongan umat Islam lainnya.
Aliran kaum Mu`tazilah dipandang sebagai aliran yang menyimpang dari ajaran
Islam, dan dengan demikian tak disenangi oleh sebagian umat Islam, terutama di
Indonesia. Pandangan demikian timbul karena kaum Mu`tazilah dianggap tidak percaya
kepada wahyu dan hanya mengakui kebenaran yang diperoleh rasio. Sebagai diketahui
kaum Mu`tazilah tidak hanya memakai argumen rasional, tetapi juga memakai ayat-ayat
Al-Quran dan hadist untuk menahan pendirian mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam. Jakarta: UI-Press.

Nasir Ahmad,  Sahilun.2010. Pemikiran Kalam(teologi islam). Jakarta:Rajawali pers.

Rozak Abdul, Anwar Rosihon. 2006. Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia.

Yudi Prahara,Erwin. 2008. Buku Paket Materi PAI.Ponorogo: STAIN PERS

Sudarsono. 2004. Filsafat Islam. Jakarta : PT Rineka Cipta.

17
Supiana dan Karman, M. 2004. Materi Pendidikan Agama Islam. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya.

MAKALAH ILMU KALAM

Tentang

AJARAN DAN PERKEMBANGAN MU’TAZILAH

18
Disusun Oleh :

KELOMPOK 9

1. Ria Lispita : 18.035


2. M. Khadafi : 18.044

Dosen Pembimbing :

Jurna Petri Roszi, MA

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

YAYASAN TARBIYAH ISLAMIYAH

PADANG

2019

19

Anda mungkin juga menyukai