PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pasca meninggalnya Rasulululloh SAW banyak diantara kaum Muslimin dan
Muslimat kembali menjadi kafir alias memeluk Agamanya semula, ini menjadi
keprihatinan sendiri bagi sahabat Nabi, termasuk sahabat Nabi, seperti Abu Bakr as-
Sidhiq, Umar ibn al-Khattab dan lain-lain, sampai generasi pasca sahabat Rasul, tentunya
segala daya upaya dilakukan untuk memberi keyakinan kepada orang-orang yang
kembali pada agama semula, tidak mudah, tapi itu harus dilakukan sebagai wujud
meneruskan perjuangan Nabi Muhammad SAW. Berbagai macam cara dilakukan untuk
memberi keyakinan kepada mereka, seperti halaqoh,- halaqoh, diskusi dan lain-lain,
maka tidak heran apabila terjadi berbagai macam firqoh – firqoh atau sekte – sekte yang
bermunculan, ada yang cenderung ilmiah, ada yang cenderung ta’asup/assobiyah
(fanatisme yang berlebihan), seperti kelompok yang mendukung Ali yang disebut syiah,
menurut mereka adalah yang berhak untuk menduduki jabatan sebagai Khalifah/ Amir
al-Mu’minin dengan alasan nasabnya langung nyambung dengan Nabi Muhammad
SAW, begitu juaga dengan kelompok yang lain seperti kelompok diskusi, selalu
mengedepankan kelompok kajian dengan berdiskusi, sehingga bisa dikelompokan
rasionalis yang mengedepankan pola pikir ilmiah. Kemudian ada kelompok / aliran
tengah (midleway) ini diwakili oleh Abu Hasan al-Basri. Semua pengikut firqoh/sekte
merasa bahwa kelompok atau aliran mereka yang paling benar, sesuai dengan keyakinan
dan penafsiran serta penalaran (ra’yi) mereka. Tentu itu juga tidak salah karena yang
namanya penafsiran tentu tergantung latar belakang seorang penafsir, kalau seorang
penafsir yang sudah kedoktrin Syi’ah maka baginya syiah adalah yang paling benar,
kalau sudah kedoktrin kelompok yang lain pula maka sang penafsir juga kelomoknya
yang paling benar, yang menjadi tidak menarik adalah ta’asup pada kelompok yang
berlebihan sampai – sampai mengalahkan Allah dan rasulNya, ini yang kurang bagus
bagi perkembangan Islam.
Diantara berbagai macam kelompok atau aliran ini penulis mencoba mengurai
salah satu diantara aliran yang ada, yaitu kelompok rasionalis (Mu’tazilah) yang
mengedepankan akal pikiran manusia untuk kita kaji kita dalami, sebagai suatu sejarah
perjalanan Islam yang dimiliki oleh kaum Muslimin seluruh Dunia, ciri utama dari aliran
ini dibandingkan dengan aliran yang lain adalah, pandangan-pandangan theologisnya
lebih banyak ditunjang dengan dalil-dalil ‘aqliyah (akal) dan bersifat filosofis yang
dipengaruhi filosofis Yunani, sehingga disebut aliran rasionalis, tentunya kami memakai
referensi kitab – kitab yang penulis miliki, seperti kitab Maqoolat al-Islamiyin
Wakhtilaafu al-Musolin karangan Abu Hasan Ismail al-Asy’ari. Karena keterbatasan
penulis baik secara ilmu maupun secara pengalaman dan cara penulisan harapan dari
penulis adalah mohon saran – saran kritik yang membangun baik teknik penulisan,
maupun yang lainnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Mu’tazilah?
2. Bagaimana Asal-Usul Aliran Mu’tazilah?
3. Siapa Pencetus Mu’tazilah?
4. Apa Prinsip-Prinsip Dasar ( Ajaran ) Mu’tazilah?
5. Bagaimana Perlawanan Mu’tazilah?
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui Pengertian Mu’tazilah
2. Mengetahui Asal-usul Aliran Mu’tazilah
3. Mengetahui Pencetus Mu’tazilah
4. Mengetahui Prinsip-Prinsip Dasar (Ajaran) Mu’tazilah
5. Mengetahui Perlawanan Mu’tazilah
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mu’tazilah
Pengertian Mu’tazilah berasal dari bahasa Arab I’tazala yang berarti
meninggalkan/menjauhkan diri. Kelahiran dari Mu’tazilah bersama kawan-kawannya
biasanya dikaitkan dengan keluarnya Washil ibn Atha dalam pengajian/halaqoh yang
diadakan bersama Gurunya Hasan Basri, juga kaum Syi’ah dan Khawaij. Sejarah telah
mencatat bagi kita (Kaum Muslimin) dokumentasi berupa dua buku yang ditulis pada
permulaan abad ke dua hijriyah dan juga mencatat orang-orang yang menentang
pendapat Keagamaan yang dipegang mayoritas Muslimin pada saat itu. Kedua buku
tersebut adalah ar’Rad’ala al–Qodariyah yang disusun oleh: Umar bin Ubaid (80-144
H) seorang tokoh (syaikh) dan Zahid muktazilah dan buku Asnaf al- Murjiah yang
disusun oleh Washil bin ‘Atho (80-181 H) seorang budak bani Dhiyyah, sering juga
dikatakan seorang budak bani Makzum yang dikenal dengan Ghazal, seorang penggagas
dan pemuka dan pemuka madzhab Muktazilah.
Pada permulaan abad kedua Hijriyah, kejelekan madzhab Khawarij telah dapat
dirasakan. Mereka memproklamirkan bahwa seseorang yang mengerjakan dosa besar
menjadi kafir dan akan menjadi penghuni Neraka secara abadi. Sedangkan mayoritas
Umat Islam kala itu mengatakan: mereka masih seorang Mukmin yang fasik dikarenakan
melakukan dosa besar. Abu Khudaifah Washil bin ‘Atha ketika itu, mengikuti pengajian
yang diadakan oleh Hasan al-Basri dan berguru kepadanya. Suatu hari pelaku masalah
dosa besar ini menjadi tema pembahasan dan Hasan al – Basri apa yang dipegang oleh
Umat. Akan tetapi Washil bin ‘Atho mempunyai pendapat lain, dia berkata: “Komentar
dan pendapatku mengenai pelaku dosa besar ini adalah bahwa Dia bukan Mukmin dan
bukan pula seorang Kafir, ia berada dalam suatu tempat diantara dua tempat (al-
Manzilah baena manjilatain).” Pendapatnya ini membuat Hasan al- Basri marah dan
mengusirnya dari majelis pengajianNya dan Washil bin “Atha mengasingkan diri dan
memilih mesjid tempat untuk pengasingannya. Lalu bergabunglah dengannya Umar bin
Ubaid dan jamaahnya. Oleh karena itu dia dan pengikutnya dijuluki al – Mu’tazilun atau
Mu’tazilah.1
1
Aliran Teologi Islam, Abu Hasan Ismail al-Asya’ari (pencetus Aliran Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
B. Asal usul Aliran Mu’tazilah
Aliran mu’tazilah lahir pada masa pemerintahan Bani Umayah, yakni pada masa
pemerintahan Abdul Malik bin Marwan dan anaknya Hisyam. Mu’tazilah berasal dari kata
kerja yakni ‘azala artinya berpisah. Maka Mu’tazilah itu berarti memisahkan diri. Meraka
adalah pengikut dari Abul Husail Washil bin Atha yang memisahkan diri dari gurunya yang
bernama Hasan Basri. Ada sebagian pendapat bahwa aliran Mu’tazilah muncul sejak zaman
sahabat, mereka adalah golongan pengikut Ali yang memisahkan diri dari politik terutama
disaat turunnya Hasan bin Ali dari kursi kholifah. Kelompok ini kemudian memusatkan diri
kepada persoalan-persoalan teologi. Maka dari itu ada sebagian pendapat yang beranggapan
bahwa golongan mutallimin pertama adalah Mu’tazilah sebab mereka inilah yang mula-mula
mengadakan diskusi dalam agama secara filsafati.
Masalah pertama yang menjadikan mereka berpisah dari Hasan ialah masalah “murtakibil
kabirah” yakni memperbincangkan kedudukan orang yang melakukan dosa besar. Persoalan
ini muncul pada saat seorang bernama Wasil bin Atha berada dimajelis kuliah gurunya
bernama Hasan. Di dalam kesempatan ini Washil berpendapat bahwa orang yang melakukan
dosa besar adalah fasik, yakni suatu posisi yang berada diantara dua keadaan maksudnya
orang itu tidak mukmin juga tidak kafir.
Dalam kaitan ini dijelaskan pula bahwa pada suatu waktu datang menanyakan suatu soal
yang memerlukan jawaban dari sang guru. Pertanyaan itu ialah bila seorang beriman
meninggal dunia sedangkan ia pernah melakukan satu dosa besar/kabirah, maka dimana ia
ditempatkan oleh Allah diakhirat nanti? Apakah didalam surga karena ia seorang yang
beriman atau dineraka karena ia melakukan satu dosa yang besar?
Sang murid mendengar soal ini bangkit semangatnya untuk menjawab. Secara spontan ia
mengatakan manusia yang demikian bukan ditempatkan di surga atau neraka, tetapi ia
ditempatkan diantara kedua tempat ini. Yakni disuatu tempat ditengah-tengah antara surga
dan neraka. Pendapatnya ini berlainan secara drastis dengan pendapat gurunya. Karena
pendapat ini ia pun mengasingkan diri dan mengadakan tempat sendiri untuk mengajar
pengikut-pengikutnya. Oleh karena pengasingan ini dan berpisah dari golongan sang guru
serta mengadakan jamaah sendiri, maka ia pun dinamakan “mu’tazili” dan alirannya
dinamakan mu’tazilah.
Dalam kesempatan itulah Washil kemudian memisahkan diri dari gurunya, oleh sebab itu
Hasan Basri kemudian berkata “I’tazala ‘annawashil, artinya Washil telah memisahkan diri
dari kita. Menurut kaum Mu’tazilah sumber pengatahuan yang paling utama adalah akal,
sedangkan wahyu berfungsi mendukung kebenaran akal. Menurut mereka apabila terjadi
pertentangan antara ketetapan akal dan ketentuan wahyu maka yang ditamakan adalah
ketetapan akal.
Panggilan atau nama yang mereka pilih itu yakni Ahli keadilan disebabkan mereka
memberi hak asasi bagi setiap manusia untuk menerima atau menafsirkan eksistensi dari
sifat-sifat Allah maka tidak terdapat paksaan dari Allah bahkan manusia memiliki kekuasaan
Qodrat untuk meletakkan pilihannya dalam hidup ini. Hal ini dianggap satu keadilan dimana
manusia tidak dipaksa bahkan diberi kekuasaan.2
Menurut A.hanafi aliran Mu’tazilah adalah aliran aqidah islam yang terbesar dan tertua,
serta telah memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia islam. Pada mulanya
aliran ini mempunyai dua cabang yaitu:
1. Di Basrah, yang dipimpin oleh Washil bin Atha’ dan Amr bin Ubaid.
2. Di Bagdad, yang dipimpin oleh Basyar bin Al-Mu’tamar.
Banyak kholifah yang menganut faham Mu’tazilah ini atau setidak-tidaknya
menyokongnya, diantaranya ialah :
1. Yazid bin Wahid Bani Umayah
2
Sudarsono. Filsafat Islam. 2004. Jakarta: PT Rineka Cipta. Hal 5-6
2. Ma’mun bin Harun al Rasyid Bani Abbas
3. Al Mu’tashim bin Harun Al-Rasyid
4. Al Watsiq bin Al Mu’tashim
Mereka amat senang berdebat di muka umum. Menurut Sirajuddin Abbas hamper 200
tahun dunia islam digoncangkan oleh perdebatan-perdebatan dari mereka ini, tujuan mereka
adalah mengalahkan kaum Ahlussunnah. Masalah-masalah yang diperdebatkan antara lain
ialah :
1. Sifat-sifat Tuhan ada atau tidak
2. Buruk dan baik siapa yang menetapkan, akal atau syara’
3. Pembuat dosa besar kekal dalam neraka atau tidak
4. Qur’an itu makhluk atau tidak
5. Perbuatan manusia di buat manusia atau tuhan
6. Tuhan itu dapat dilihat di akherat atau tidak
7. Qur’an itu dapat ditiru manusia atau tidak
8. Alam ini qadim atau baru
9. Syurga dan neraka itu kekal atau tidak
10. Arwah itu pindah-pindah atau tidak
11. Tuhan itu wajib mambuat yang baik dan yang lebih baik
12. Mi’raj itu dengan tubuh atau tidak
13. Dan lain-lain3
C. Pencetus Mu’tazilah
Seperti yang disebutkan di atas bahwa yang menjadi pencetus aliran Mu’tazilah
adalah Washil bin ‘Atha. Dia adalah salah seorang sastrawan terkemuka dari kalangan
Mutakallim. Dia selalu menukar huruf ra dengan huruf ghin. Di dalam al- Kamil, Abu
al-Abbas al-Mubarrad berkata: “Washil bin ‘ Atha mempunyai satu keanehan, yakni ia
tidak fasih melafalkan huruf ra, oleh karena itu ia selalu berusaha meniadakan dalam
setiap kata pembicaraanya dari huruf tersebut dan dia tidak menguasainya. Hal ini
karena rendahnya susunan kata-katanya”. Dalam hal ini seorang penyair muktazilah.
Abu Thuruq ad-Dlaby, memuji kemampuan memperpanjang khutbah-khutbahnya serta
kemampuannya menghindari dari keseringan menggunakan huruf ra’ dalam pembicaraan
sehingga nampak hampir tidak pernah sama sekali dalam kalimat – kalimatnya,
sebagaimana dilukiskan dalam syair :
كل خطيب يغلب الحقباطله :عليم باءبداك الحروف وقامع
Artinya: Seorang Alim yang pandai menukar huruf penakluk setiap rival
diskusinya kebatilannya sanggup mengalahkan kebenarannya.
Ulama lain mengomentarinya dengan bersyair :
وخالف الراءحتى احتا ل للشعر: ويجعل ابرقمحافى تصرفه
فعاذ بالغيث اشفا فا من المطر : ولم يطق (مطر ) والقول يعجله
Amr bin ‘Ubaid lahir pada tahun 80 H. Dan wafat di Marran di makamkan di
Mekkah pada tahun 144 H.
4
Ibid.
Sepeninggal dua tokoh ini, baru Mu’tazilah menjadi sekte ( Madzhab) yang
memiliki dasar ajarannya yang tersusun secara hirarki, ditambah lagi Tuhan berkehendak
untuk memberikan kepada golongan ini pada setiap zamannya sekelompok manusia yang
terpelajar yang menguasai ilnu pengetahuan. Lewat merekalah paham-paham madzhab
ini diajarkan dan tersebar secara meluas, argumentasi-argumentasinya yang melampaui
argumentasi pendapat lainnya dan mereka juga membuat jaringan relasi dengan pihak
Penguasa, yang dimanfaatkan untuk membeakarab dipanggilrikan kekuatan politik
sehingga akhirnya rakyat menerima apa yang mereka jadikan sebagai pandangan
keagamaan.
Basyar ibn al – muktamar dan Abu al – Hudzail Muhammad ibn al – Hudzail ibn
Abdullaah ibn al – Makhul, yang masyur dengan panggilan al – ‘Alafᶟ, berguru kepada
Umar ibn ‘Ubaid dan sahabat-sahabat dekatnya. Kepada Abu al – Hudzail bergurulah
kepada anak keponakannya dari saudara perempuan, Ibrahim ibn sayyar yang masyhur
dengan panggilan an – Nidlam , Hisyam ibn Umar asya-Syaebani yang al – Fuwathi dan
Abu Yusuf ibn Ya’kub ibn Abdullah asy-syaham al- Bisriy. Al – Nidlam mempunyai
murid diantaranya, Abu ‘Utsman ibn bahr ibn Mahbub, al – Kinaniy, al – Bisriy yang
terkenal dengan nama al – Jahidz dan Qodli Abu Abdullah ibn Farh ibn Jarir al – Iyadiy
yang lebih dikenal dengan panggilan Ibn Abu Du’ad⁴. Kepada Abu Yusuf bergurulah
Muhammad ibn Abdul Wahab ibn Salam ibn Khalid ibn Humran ibn Abban yang
dikenal dengan julukan al - Jubair⁵. Kepada Jahid bergurulah Ja’far ibn Mubasyar dan
Ja’far ibn Harb yang kemudia keduanya mempunyai murid bernama Muhammad ibn
Abdullah al – Iskafi.
Abu Ali al – Juba’i menyebarkan ajaran sekte ini lewat murid-muridnya
diantaranya, abu Hasyim Abdus Salam ibn Muhammad ibn Abdul Wahab al – Juba’i dan
Abu Hasan al – Asya’ri yang kemudian menjadi tokoh pendiri Madzhab Ahlu sunnah
Wal Jama’ah. Mengenai kisah dan diskusi dan debat antara al – Juba’i dengan al –
Asy’ari ini dianggap oleh Ulama sebagai keberakhiran bergurunya al – Asy’ari kepada al
– Juba’i.5
6
Kamil Y. Avdich. Meneropong Doktrin Islam. 1987. Hal 163
5. Perintah mengerjakan yang baik dan mencegah yang munkar
Bahwa yang diperintahkan adalah hal yang baik, dan mencegah sesuatu yang
mungkar ( buruk ).
Ajaran yang terakhir ini secara prinsip tidak berbeda dari pendapat golongan
lainnya. Perbadaanya hanya pada pelaksanaannya, apakah seruan berbuat baik dan
larangan berbuat buruk itu dalakukan dengan lunak atau dengan kekerasan.
Mu’tazilah berpendapat bahwa amar ma’ruf nahyi munkar sebaiknya dilakukan
dengan lemah lembut, walaupun sewaktu-waktu jika diperlukan bias dengan
kekerasan. Bagi kaum Mu’tazialh, orang-orang yang menyalahi pendirian mereka
dipandang sesat dan harus diluruskan.
Pandangan rasional Mu’tazilah dapat dilihat juga dalam uraian mengenai
kedudukan akal dan wahyu. Dalam hal ini ada empat hal yang diperdebatkan oleh
aliran-aliran kalam yaitu :
1. Mengenai tentang mengetahui Tuhan.
2. Kewajiban mengetahui Tuhan.
3. Mengetahui baik dan jahat.
4. Kewajiban mengatahui baik dan jahat.7
E. Perlawanan Mu’tazilah
Diantara sekte (Madzhab) yang muncul kepermukaan adalah Mu’tazilah lah yang
paling banyak mendapatkan tekanan, akan tetapi mereka tertolong oleh tiga hal dalam
menghadapi tekanan-tekanan ini. Ketiga penolong tersebut adalah :
1. Tuhan akan menganugerahkan kepada setiap generasi penganutnya pemuka-pemuka
yang pandaidan ahli debat. Washil bin ‘Atha adalah seorang yang cerdas dan genius,
penguasaan akan kemampuan berdebat dan berdiskusidan dia yang paling cepat
mengungkapkan hafalan-hafalan ayat-ayat Al-Qur’an baik makna lahirnya maupun
melalui takwil-takwilnya selama mendukung pendapat-pendapat Madzhabnya, dalam
posisi seperti ini, dia berada pada garda paling depan dalam memahami dan
mengetahui arti perkataan-perkataan filosofis Madzhab Syi’i dan apa yang dilontarkan
oleh Madzhab Khawarij, Perbincangan madzhab Mur’jiah Zindik dan naturalis dan
penentang-penentang lainnya sekaligus dialah dapat mengcaunter pendapat=pendapat
mereka. Adapu Abu Hudza’il al – Allaf satu-satunya orang yang menguasai
pemahaman arti kata dan mampu berbicara baik. Dialah yang dimaksud oleh al –
Mubarrad ketika berkata “ Aku belum pernah melihat orang yang fasih berkomunikasi
melebihi kemampuan Abu Hudzai’l dan Zahid “ Abu Hudza’il sangat baik dan mahir
berdiskusi. Kusaksikan hal itu dalam kuliahnya yang kala itu p[embicaraannya diisi
lebih dari tiga ratus bait syair. Hidupnya dipenhui dengan diskusi dan berdebat
dengan penganut Zindiq, Sofis, Majusi, dan paganis. Dikabarkan bahwa dia telah
mengislamkan lebih dari tiga ribu orang. Musuh-musuhnya berdiskusi dan berdebat
dengannya tidak terungguli, padahal ketika itu umurnya baru 15 tahun. Ibrahim bin
Sayyar adalah Guru Abu ‘Utsman al – Zahidz, pemuka/tokoh sastrawan yang paling
cemerlang. Dia merupakan salah satu bukti diantara bukti-bukti kekuasaan Tuhan
dalam menyatukan hati, kesucian jiwa, keleluasaan menelaah, dan kedalaman
menyelami makna-makna yang dalam dan rumit lalu menyusunnya dalam ungkapan
dan penjelasan yang prima dan hal-hal lainnya yang tak terhitung jumlahnya.”
2. Adanya hubungan baik dengan pihak penguasa, kemampuan mereka dalam melobi
dan menanamkan pengaruhnya terhadap penguasa, mampu menjaga rumah-rumah
mereka dari tekanan Pemerintah minta pertolongan dari kekuatan Negara, dalam
menyerang lawan-lawannya jia mereka mau, Amr bin ‘Ubaid salah satu tokoh
7
Drs. Supiana, M. Ag. Dan M. Karman, M. Ag. Materi Pendidikan Agama Islam. 2004. Hal 181-185
madzhab ini, adalah teman-teman dan sahabat dekat Khalifah Abu Ja’far al – Mansur,
hanya saja Amr bin ‘Ubaid menolak tawaran Khalifah. Malah ia meminta Khalifah
untuk tidak mengundangnya lagi. Walaupun demikian , ia dengan beraninya
berbicara dihadapan Khalifah mengkritik apa yang telah dilakukannya mengenai Wali
al – Ahad. Andaikata bukan Amr bin Ubaid yang berbicara demikian , tentu Khalifah
tidak akan membiarkannya begitu saja, tetapi dengan yang satu ini, ia
membiarkannya bahkan menghormatinya, sedangkan Abu Hudzail adalah guru
Khalifah al – Makmun. Mengenai orang ini, Abu Hanifah al-Dainuri berkata :
Khalifah al-Makmun menyelenggaraka majlis untuk berdiskusi mengenai
permasalahan-permasalahan lainya, dan yang menjadi Guru pembimbingnya adalah
al-Huzdail al-Alaf. An Nidham berhubungan erat dengan Muhammada bin Ali ibn
Sulaiman, salah seorang pejabat dinastiy Abbasiyah dan dengan Ahmad ibn Abu
Dawud, seorang Hakim Agung Khalifah al-Mu’tasim dan adalah yang dituju surat al-
Makmun kepada saudaranya, al-Mu’tasim, ketika berwasiat menjelang kematiannya
Abu Abdullah bin Abu Dawud tidak boleh anda lupakan dalam setiap musyawarah
urusan-urusan kamu karena disanalah tempatnya yang sangat tepat.
3. Kerja sama yang antara pengikutnya, kuatnya tali persaudaraan dan persahabatan
yang mereka bangun dan membangun hubungan persahabatan diatas kasih sayang.
Mengenai gambaran tentang ini, telah banyak sastrawan yang membuat permisalan
untuknya Abu Muhammad al-Alawi mengirim surat kepada Abu Bakar al-Khawaijimi
yang diantara isinya dia berkata : Sungguh kasih sayang mereka bagaikan kasih
sayang orang Syi’i terhadap Ali AR. Akibat dari kesemua ini adalah terjalinnya
hubungan yang erat pengikut madzhab Mu’tazilah dengan Khalifah al-Makmun
disetiap daerah kekuasaannya dan setiap orang pada zaman kekuasaan Khalifah ini
menganut faham Al-Qur’an itu diciptakan ( Makhluk ). Untuk menyebarkan faham
ini, Khalifah mengirim surat edaran kepda setiap penguasa daerah untuk menyebarkan
sehingga menjadi faham resmi bagi rakyat. Surat edaran dikrimkan ke Mesir sampai
bulan Jum’at al-Tsani tahun 218 H. Menanggapi surat ini penguasa Mesir melakukan
mihnah ( inquisi / pengadilan faham yang dianut sesorang ) sehingga mengakui
faham kemakhlukan AlQur’an yang dimulai dari Hakim, para saksi dan para ahli
Hadihtnya lalu mereka itu. Malapetaka ini terus berlanjut pada masa kekuasaan al-
Makmun dan Khalifah sesudahnya sampai tidak terlewatkan untuk ( Mihnah ) mulai
dari ahli fiqih, ahli hadith, muadzin, sampai seluruh tenaga pengajar sehingga
masyarakat banyak yang melarikan diri dari penjara penuh dengan orang-orang yang
menolak eruan pemerintah, ketika itu juga Ibnu Abu al-Laits diperintahkan untuk
mengirim surat ke setiap Masjid la ilah illa Allah Rabb Al-Qur’an al-Makhluk.
( Tidak ada Tuahn selain Allah Rabb Al-Qur’an yang diciptakan) dan ia menulis
surat-surat ke Masjid-Masjid Fustat, Mesir. Pada zamanini pula para Fukaha penganut
Madzhab Syafi’i dan Maliki dilarang untuk memasuki Masjid. Sebelum terjadinya
malapetaka ini, Washil bin ‘Atha, ia sukses dalam meraih tokoh yang menjadi
pengikutnya lalu mereka dikirim menjadi Da’i ke setiap daerah dan Negarauntuk
menyebarkan faham i,tizalinya kepada masyarakat. Abdullah ibn al-Harist dikirim ke
wilayah barat, Hafidz bin Salim di kirim ke wilayah Khurasan dan Tarmudz, juga di
utus untuk berdebat dengan Jahm ibn Shafwan sampai akhirnya Jahm kalah olehNya.
Al-Qosim dikirim ke daerah Yaman, Ayub ke daerah semenanjung arab, Hasan ibn
Dakwan ke Kuffah dan mengutus Utsman ath-Athawil ke Armenia. Seluruh Da’i ini
sangat bertanggung jawab keberhasilan misi masing-masing. Dalam menjalankan
tugasnya, mereka banyak mendapatkan serangan yang sengit, terutama dari para
Ulama setempat sehingga misi mereka hampir tidak berhasil dan barulah mereka
mendapatkan banyak pengikut setelah masa inkuisi ( dukungan ) yang diintruksikan
Khalifah al-Makmun. Pada zaman inilah kekuatan mereka semakinmkokoh,
kekuasaan mereka makin meluas sampai Yakut berkata : “Pengikut Washil ibn ‘Atha
sangat banyak jumlahnya. Mereka hampir mencapai 30.000 orang dalam setiap
halaqohnya”. Hal yang senada juga diungkapkan oleh ash-Safadiy seraya berkata :
Barang siapa yang menelusuri rangkaian pengikutnya lewat jalur Abdul Jabbar, maka
ia akan mengetahui sejumlah pengikutnya yang sangat banyak.
PENUTUP
Kesimpulan
Perkataan Mu’tazilah berasal dari bahasa Arab (I’tazala) yang artinya
“meninggalkan“ atau “menjauhkan diri“. Mu’tazilah adalah salah satu madzhab Theologi
dalam Islam. Kelahiran Mu’tazilah, oleh lawan-lawannya, biasanya dikaitkannya dengan
keluarnya Washil ibn Atha dari halaqoh GuruNya, Hasan Basri, karena perbedaan tentang
status orang Islam yang melakukan dosa besar.
Diantara Doktrin aliran Mu’tazilah yang dimunculkan oleh mereka adalah mengenai
kalam Mu’tazilah, yang dirumuskan dalam 5 (lima) prinsip pokok yang disebut “al – Ushul
al – Khamsah“ yaitu:
1. Tauhid
2. Keadilan Tuhan
3. Al-Wa’du wal wa’id (Janji dan Ancaman)
4. Manzilah bainal Manzilatain (Tempat diantara dua tempat)
5. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar (perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat)
DAFTAR PUSTAKA