Dosen Pengampu:
Disusun Oleh
AL-LATHIFIYYAH PALEMBANG
1. Latar Belakang
Terjadinya perpecahan mulai dari munculnya aliran-alirann yang menipu dan
mengelabui orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal
pada porsi yang benar. sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus
masuk ke pemikiran kelompok ini.
Akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang
telah diajarkan Rasulullah dan para sahabat-sahabatnya. Akibat dari hal itu munculah
bi’ah-bid’ah yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin sehingga melemahkan
kekuatan dan kesatuan mereka, bahkan dalam kelompok ini terdapat halhal yang sangat
berbahaya bagi islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal. Oleh karena itu kami akan
sedikit membahas tentang Aliran dari Mu’tazilah.
1
PEMBAHASAN
2
tetap mukmin. Sementara Hasan Basri sedang berfikir, Wasil mengemukakan
pendapatnya bahwa orang yang melakukan dosa besar bukanlah kafir dan
bukan pula mukmin. Setelah itu ia berdiri menjauhkan diri dari Hasan Basri
lantaran mereka tak sependapat dengannya, lalu pergi ke tempat lain di masjid
itu juga. Di sana ia membentuk pengajian sendiri dan mengulangi pendapatnya.
Atas peristiwa ini, Hasan Basri berkata: “Wasil menjauhkan diri dari kita
(i’tazala’anna). Kemudian mereka disebut Mu'tazilah, artinya orang yang
menjauhkan diri”3
2. Menurut Ahmad Amin, sebutan Mu'tazilah sudah ada kurang lebih 100 tahun
sebelum terjadinya perselisihan pendapat Wasil bin Atha dengan Hasan Basri
di masjid Basrah. Golongan yang disebut Mu'tazilah pada waktu itu adalah
mereka yang tidak ikut melibatkan diri dalam pertikaian sepeninggal khalifah
Utsman bin Affan wafat. Kelompok yang bertikai yaitu Thalhah dan Zubair di
satu pihak dengan khalifah Ali bin Abi Thalib di lain pihak, juga antara Ali
dengan Mua’wiyah. Perselisihan itu muncul karena pembunuhan atas diri
khalifah Utsman bin Affan, dan karena pro dan kontra terhadap pengangkatan
Ali sebagai khalifah. Meskipun persoalan itu bersifat politik, namun
mempunyai corak agama, sebab dalam Islam persoalan hidup sosial, ekonomi,
politik, dan sebagainya bercorak agama. Golongan yang tidak ikut pertikaian
itu mengatakan, “Kebenaran tidak mesti ada pada salah satu pihak yang
bertikai, melainkan kedua-duanya bisa salah, sekurangkurangnya tidak jelas
siapa yang benar. Sedangkan agama hanya memerintahkan memerangi orang-
orang yang menyeleweng. Kalau keduanya golongan menyeleweng, maka
kami harus menjauhkan diri (i’tazalna). Golongan yang menjauhkan diri ini
memang dijumpai dalam buku-buku sejarah. Al-Tabari umpamanya menyebut-
kan bahwa sewaktu Qais Ibn Sa’ad sampai di Mesir sebagai Gubernur pada
zaman khalifah Ali bi Abi Thalib, ia menjumpai pertikaian di sana, satu
golongan turut padanya, dan satu golongan lagi melarikan diri ke Kharbita
(i’tazalat ila Kharbita). Dalam suratnya yang ia kirimkan kepada khalifah, Qais
3
Hasan Basri dkk,Ilmu kalam sejarah dan pokok aliran-aliran(Bandung: Azkia Pustaka
Utama,2006), Hal 38
3
menamai mereka Mu’tazilin. Kalau al-Tabari menyebut nama Mu’tazilin, Abu
al-Fida menyebutnya Mu'tazilah4
4
lainnya. An-Nazzham memiliki ketajaman berfikir yang luar biasa, antara
lain tentang metode keraguan (method of doubt) dan metode empirika yang
merupakan cikal bakal renaissance (pembaharuan) di Eropa. 8
5. Al-Jubba’i (302 H). Nama lengkapnya Abu Ali Muhammad ibn Abdul
Wahhab Al-Jubba’i. Sebutan al-Jubba’i diambil dari mana tempat
kelahirannya, yaitu satu tempat bernama Jubba, di propinsi Chuzestan-Iran.
Al-Jubbai’ adalah guru imam AlAsyari, tokoh utama dalam aliran
Asy`ariyah. Ketika al-Asy'ari keluar dari barisan Mu'tazilah dan menyerang
pendapatnya, ia membalas serangan Al-Asy’ari tersebut. Pikiran-pikirannya
tentang tafsiran Al-Qur’an banyak diambil oleh AzZamakhsyari. Al-Jubba’i
dan anaknya yaitu Abu Hasyim AlJubbai mencerminkan akhir kejayaan
aliran Mu'tazilah.9
6. Al-Khayyat (wafat 300 H). Abu al-Husein al-Khayyat termasuk tokoh
Mu'tazilah Baghdad. Bukunya yang berjudul Al-Intishar berisi pembelaan
aliran Mu'tazilah dari serangan Ibnu arRawandi. Ia hidup pada masa
kemunduran aliran Mu'tazilah.10
7. Al-Qadhi Abdul Jabbar (wafat 1024 H). Ia diangkat sebagai kepala hakim
oleh Ibnu Abad. Di antara karyanya yang besar adalah ulasan tentang pokok-
pokok ajaran Mu'tazilah. Karangan tersebut demikian luas dan amat
mendalam yang ia namakan Al-Mughni. Kitab ini begitu besar, satu kitab
yang terdiri lebih dari lima belas jilid. Al-Qadhi Abdul Jabbar termasuk
tokoh yang hidup pada masa kemunduran aliran Mu'tazilah, namun ia mampu
berprestasi baik dalam bidang ilmu maupun dalam jabatan kenegaraan. 11
8. Az-Zamakhsyari (467– 538 H). Nama lengkapnya adalah Jarullah Abul
Qasim Muhammad bin Umar. Ia dilahirkan di desa Zamakhsyar, Khawarizm,
Iran. Sebutan Jarullah artinya tetangga Allah, karena beliau lama tinggal di
Mekkah, dekat Ka’bah. Ia terkenal sebagai tokoh dalam ilmu tafsir, nahwu
(gramatika) dan paramasastra (lexiology). Dalam karangannya ia dengan
terang-terangan menonjolkan paham Mu'tazilah, misalnya dalam kitab tafsir
Al-Kassyaf, ia berusaha menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan
ajaran-ajaran Mu'tazilah, terutama lima prinsip ajarannya yang akan
diuraikan pada pasal berikutnya. Selain itu kitab Al-Kassyaf diuraikan dalam
8
ibid
9
ibid
10
ibid
11
ibid
5
ilmu Balaghah yang tinggi, sehingga para mufassirin banyak yang
menggunakannya hingga saat ini.12
12
ibid
13
Jamaludin dan Shabri Shaleh Anwar,Ilmu Kalam KhazanahIntelektual Pemikiran dalam
Islam(Indragiri Hilir: Indragiridotcom, 2020) Hal 101
6
atau seseorang dilarang untuk melakukan sesuatu, tetapi ia dipaksa
melakukannya, maka balasan untuk orang tersebut bukanlah
cerminan dari keadilan. Oleh karena itu, maka keadilan Tuhan
hanya bisa dipahami, jika Tuhan memberikan taklif kepada manusia
dan sekaligus memberikan kekuasaan dan kebebasan untuk
menentukan perbuatan mereka sendiri.14
C. Al-Wa‘d wa al-Wa‘id
Konsekuensi logis dari pemikiran di atas adalah kepastian
penerimaan pahala bagi orang yang berbuat baik dan siksaan bagi
orang yang berbuat jahat. Tuhan hanya bisa dikatakan adil apabila
Ia memberi pahala untuk orang yang berbuat baik, begitu pula
sebaliknya. Perbuatan dosa takkan diampuni tanpa bertobat lebih
dahulu, sehingga bila ada orang mukmin mati dalam keadaan dosa
besar dan belum bertobat, dia akan mendapat siksaan yang kekal di
neraka, sekalipun demikian, ia disiksa dengan siksaan yang lebih
ringan dari siksaan orang kafir.15
D. Al-Manzilah bain al-Manzilatain
Prinsip di atas berkaitan dengan perdebatan teologis tentang nasib
orang mukmin yang mati dalam keadaan pernah melakukan dosa
besar dan belum bertobat. Seperti telah diketahui, Khawarij
menghukuminya sebagai orang kafir dan akan kekal di neraka. Bagi
Mu‘tazilah, orang seperti itu, bukan mukmin, bukan pula kafir,
tetapi statusnya berada di antara posisi mukmin dan kafir
(almanzilah bain al-manzilatain). Seperti telah dikutip oleh Abu
Zahrah, Wasil bin ‗Ata‘ menjelaskan logika posisi tengah ini
sebagai berikut: ―Iman adalah suatu gambaran tentang macam-
macam kebaikan. Jika kebaikan itu terhimpun dalam diri seseorang,
maka ia disebut mukmin. Akan tetapi orang yang fasik, ia tidak
dinamakan orang mukmin, tidak pula kafir, karena ia mengucapkan
shahadatain dan pada dirinya terdapat berbagai kebaikan yang tidak
14
Jamaludin dan Shabri Shaleh Anwar,Ilmu Kalam KhazanahIntelektual Pemikiran dalam
Islam(Indragiri Hilir: Indragiridotcom, 2020) Hal 104
15
Jamaludin dan Shabri Shaleh Anwar,Ilmu Kalam KhazanahIntelektual Pemikiran dalam
Islam(Indragiri Hilir: Indragiridotcom, 2020) Hal 105
7
bisa dipungkiri. Karena itu, jika ia mati tanpa bertobat dari dosa
besarnya, ia menjadi ahli neraka dan akan kekal di dalamnya, sebab
di akhirat hanya ada dua kelompok, yaitu kelompok yang berada di
surga dan kelompok yang berada di neraka, namun siksaan yang
dirasakannya lebih ringan. 16
16
ibid
17
Jamaludin dan Shabri Shaleh Anwar,Ilmu Kalam KhazanahIntelektual Pemikiran dalam
Islam(Indragiri Hilir: Indragiridotcom, 2020) Hal 106
8
kaum Mu'tazilah dalam membela Islam terhadap seranganserangan dari luar
Islam yang terjadi pada zaman mereka.18
Kesimpulan
Hasan Basri dkk,Ilmu kalam sejarah dan pokok aliran-aliran(Bandung: Azkia Pustaka
18
Utama,2006), Hal 46
19
Iskandar Zulkarnaen,Kalam Mecawanakan Akidah Meningkatkan Keimanan(Yogyakarta:
Penerbit FA Press, 2018) Hal 23
9
1. Mu’tazilah muncul dari peristiwa Wasil bin Atha’ dengan Hasan Basri
mengenai kedudukan orang yang berbuat dosa besar, yang berakhir Wasil
menjauhkan diri dari tempat Hasan Basri.
2. Menurut Al-Syahrastani, penamaan mu’tazilah diawali peristiwa wasil bin
atha’ yang menjauhkan diri (i’tazala’anna) dari majelis Hasan Basri.
3. Tokoh-tokoh aliran Mu'tazilah antara lain: Wasil bin Atha, Abu Huzail bin
Huzail Al-Allaf, Bisyir bin Al-Mu‟tamar, Ibrahim bin Sayyar bin Hani An-
Nazzham, Abu Ali Muhammad bin Ali Jubba‟i, Abu Husein Al-Khayyat, Al-
Qadhi Abd al-Jabbar, dan Jarullah Abdul Qasim Muhammad bin Umar Az-
Zamakhsyari.
4. Ajaran-ajaran pokok aliran Mu'tazilah adalah: At-Tauhid (Ke-Mahaesaan
Tuhan), Al-Adl (Keadilan), Al-Wa‟d wal Wa‟id (Janji dan Ancaman), Al-
Manzilah bain al-Manzilatain (Posisi diantara dua posisi), dan Amar ma‟ruf Nahi
Munkar (Menyuruh Berbuat Baik dan melarang berbuat jahat.
5. Aliran Mu'tazilah dalam pendapatnya berpegang kuat pada akal pikiran (rasio).
Oleh sebab itu mereka hanya mau menerima dalil naqli yang sesuai dengan dalil-
dalil akal pikiran.
6. Menurut Washil bin Atha’,Tuhan bersifat bijaksana dan adil. Tuhan tidak akan
berbuat jahat dan zalim pada manusia. Dan juga menurut al-Nazhzham Tuhan
tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa
perbuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna,
sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian.
DAFTAR PUSAKA
10
Hasbi, Muhammad. Ilmu kalam, Memotret Berbagai Aliran Teologi
Dalam Islam. Yogyakarta: Trustmedia Publishing, 2015
11