Anda di halaman 1dari 14

POKOK-POKOK AJARAN MUKTAZILAH, AHLU SUNNAH WAL JAMA’AH

DAN TOKOH-TOKOHNYA

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ilmu Tauhid

(Dosen Pengampu: Syibromilisi, M.Pd.)

Disusun Oleh Kelompok 11 :

Muhammad Masruri_2281131859
Heri Andriyan_2281131856
Siti Nur Azizah_2281131881
Asrafal Anam_2281131894

PROGRAM PJJ PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON

TAHUN PELAJARAN 2023/ 2024


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejarah telah mencatat bahwa perpecahan umat Islam sebagian besar dipengaruhi oleh
perbedaan pandangan pada suatu persoalan subtansi agama. Ini telah dicontohkan adanya
perpecahan pada umat Islam pasca meninggalnya Nabi Muhammad SAW, zaman
khulafaurrosidin, bani Umayyah dan bani Abbasiyah. Umat Islam semakin mengeneralisasi
pada saat perbedaan pemikiran dan pandangan telah masuk dalam ranah teologi, dan hukum. 1
Perpecahan umat Islam tidak berhenti pada ranah pemikiran namun juga telah masuk
pada ranah action, bukan hanya perbedaaan pendapat namun juga berbeda aliran, dan
diperparah lagi perbedaan itu berakahir dengan pertumpahan darah. Dari rangkaian diatas maka
akan kami coba mengurai kembali sejarah penyebab perpecahan umat Islam dalam sudut
pandang salah satu aliran yang fenomenal dalam sejarah pemikiran Islam agar tidak terjadi
kesalahpahaman terhadap generasi selanjutnya. Adapun makalah ini membahas tentang
bagaimana sejarah munculnya aliran Mu‟tazilah, dan Ahlu Sunnah wal Jama’ah serta siapa
saja tokoh-tokoh dan pemikirannya dan bagaimana perkembangan aliran-aliran tersebut.
B. Rumusan Masalah
Dari judul makalah sesuai permasalahan diatas ada beberapa hal yang akan kami
sampaikan dalam pembahasan kali ini diantaranya:
1. Bagaimana sejarah perkembangan munculnya aliran Mu‟tazilah, dan Ahlu Sunnah wal
Jama’ah?
2. Siapa tokoh-tokoh yang memprakarsai aliran Mu‟tazilah, dan Ahlu Sunnah wal
Jama’ah beserta pemikirannya?
3. Bagaimana perkembangan kedua aliran tersebut?
C. Tujuan Pembahasan
Ada beberapa rumusan masalah yang dapat kami sampaikan dalam makalah ini, hal ini
bertujuan untuk:
1. Mengetahui sejauh manasejarah kemunculan aliran Mu‟tazilah, dan Ahlu Sunnah wal
Jama’ah di awal kemunculannya.
2. Mengetahui tokoh-tokoh pemrakarsa kedua aliran tersebut beserta pemikirannya.
3. Mengetahui perkembangan kedua aliran tersebut.

1
Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir: dari klasik hingga modern, (Yogyakarta, eLSAQ Press, 2010) h. 129
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Kemunculan Aliran Mu’tazilah dan Ahlu Sunnah wal Jama’ah


1. Aliran Mu’tazilah
Kaum Mu`tazilah merupakan sekelompok manusia yang pernah menggemparkan
dunia Islam selama lebih dari 300 tahun akibat fatwa-fatwa mereka yang menghebohkan,
selama waktu itu pula kelompok ini telah menumpahkan ribuan darah kaum muslimin
terutama para ulama Ahlus Sunnah yang bersikukuh dengan pedoman mereka. Sejarah
munculnya aliran Mu‟tazilah muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun
105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan
khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan
murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha‟ Al-Makhzumi Al-Ghozzal yang
lahir di Madinah tahun 700 M, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha‟ berpendapat
bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam
Hasan alBashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin.
Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan
Guru, dan akhirnya golongan mu‟tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok
Mu‟tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para petinggi
mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun.
Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli kalam yang
berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah.2
Secara harfiah kata Mu‟tazilah berasal dari I‟tazala yang berarti berpisah atau
memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri, Mu‟tazilah, secara
etimologis bermakna: orang-orang yang memisahkan diri. Sebutan ini mempunyai suatu
kronologi yang tidak bisa dipisahkan dengan sosok Al-Hasan Al-Bashri, salah seorang imam
di kalangan tabiin. Asy-Syihristani berkata: Suatu hari datanglah seorang laki-laki kepada Al-
Hasan Al-Bashri seraya berkata: “Wahai imam dalam agama, telah muncul di zaman kita ini
kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa besar. Dan dosa tersebut diyakini sebagai suatu
kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama, mereka adalah kaum Khawarij.
Sedangkan kelompok yang lainnya sangat toleran terhadap pelaku dosa besar, dan dosa
tersebut tidak berpengaruh terhadap keimanan. Karena dalam madzhab mereka, suatu amalan

2
Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya ( Jakarta, UI Press, 1986) h. 36
bukanlah rukun dari keimanan dan kemaksiatan tidak berpengaruh terhadap keimanan
sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh terhadap kekafiran, mereka adalah Murji‟ah umat
ini. Bagaimanakah pendapatmu dalam permasalahan ini agar kami bisa menjadikannya
sebagai prinsip dalam beragama.
Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir sejenak dalam permasalahan tersebut. Sebelum
beliau menjawab, tiba-tiba dengan lancangnya Washil bin Atha‟ berseloroh: “Menurutku
pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, namun ia juga tidak kafir, bahkan ia berada pada
suatu keadaan di antara dua keadaan, tidak mukmin dan juga tidak kafir.” Lalu ia berdiri dan
duduk menyendiri di salah satu tiang masjid sambil tetap menyatakan pendapatnya tersebut
kepada muridmurid Hasan Al-Bashri lainnya. Maka AlHasan Al-Bashri berkata: “Washil
telah memisahkan diri dari kita”, maka disebutlah dia dan para pengikutnya dengan sebutan
Mu‟tazilah. Pertanyaan itu pun akhirnya dijawab oleh Al-Hasan Al-Bashri dengan jawaban
Ahlussunnah Wal Jamaah: “Sesungguhnya pelaku dosa besar adalah seorang mukmin yang
tidak sempurna imannya. Karena keimanannya, ia masih disebut mukmin dan karena dosa
besarnya ia disebut fasiq yakni keimanannya menjadi tidak sempurna.3
Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin
Da‟mah pada suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid
yang disangkanya adalah majlis Hasan Al Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis
tersebut bukan majelis Hasan Al Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata,
“ini kaum Mu‟tazilah.” Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mu‟tazilah.AlMas‟udi
memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu‟tazilah tanpa menyangkut-pautkan
dengan peristiwa antara Washil dan Hasan Al Basri. Mereka diberi nama Mu‟tazilah, katanya,
karena berpendapat bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi
menduduki tempat diantara kafir dan mukmin (al-manzilah bain al-manzilatain).4
2. Aliran Ahlu Sunnah wal Jam’ah
Secara etimologis ahlusunnah berasal dari kata ahlu, yang berarti golongan, kelompok,
keluarga, memiliki, penduduk dan lainnya. Sedangkan as-sunah berarti hadis atau tradisi nabi
muhammad saw. al-jama’ah (ammah al-muslimin, al-jama’ah al kasiroh, al-a’zham), berarti
mayoritas.5 Secara terminologis, ahlussunnah waljama’ah adalah sebutkan atau klaim
terhadap sebuah firqoh (aliran teologi) yang dimotori oleh Abu Hasan Al Asyari dan Abu
Mansur Maturidi. terminologi ini sesungguhnya bukan dari Al-Quran atau hadis nabi

3
Harun Nasution, Ibid, h. 47
4
Abdul Rozak,Anwar ,Rosihoa. Ilmu Kalam, cet.iv, (Bandung : CV. PustakaSetia 2009), h. 78
5
Harun Nasution. Ahlusunnah wal-jama’ah, (1986) h. 64
muhammad saw, walaupun kata kata ini telah ada saat Al Ma’mun menulis surat tercantum
kata-kata : wanasabu anfusahum ila assunnah (mereka menisbahkan diri mereka kepada
sunnah) dan ahlu al-haq wa aladin wa al-jama’ah (ahli kebenaran, agama dan jama’ah).
Ahlus-sunnah Wal Jamaah sebagai sebuah aliran diperkirakan muncul tahun 300
Hijriyah. sekitar 289 tahun setelah Nabi SAW wafat, sebagai lawan (antithesis / Rival) saat
itu dari minoritas mu'tazilah terutama setelah khalifah al-makmun dan Al Wasiq meninggal
dunia. Khalifah al- Mutawakkil membatalkan aliran mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara.
Secara historis, pendiri aliran Ahlussunnah Wal Jamaah adalah Abu Al Hasan Al Asy'ari tahun
260 Hijriyah. Sebelum mendirikan aliran Ahlussunnah Wal Jamaah Al Asy'ari adalah tokoh
mu'tazilah, namun keluar dari mu'tazilah setelah 40 tahun mengikutinya.
Selama ini yang kita ketahui tentang ahlusunnah waljama'ah adalah madzhab yang
dalam masalah aqidah mengikuti Imam Abu Hasan Al Asy'ari dan Abu Mansur Al Maturidi.
Dalam praktek peribadatan mengikuti salah satu madzhab empat, dan dalam bertawasuf
mengikuti imam Abu Qosim Al Junandi dan imam Abu khamid Al Gozali. Jika kita
mempelajari Ahlussunnah dengan batasan seperti itu tampak begitu sederhana karena
pengertian tersebut menciptakan definisi yang sangat eksklusif. Aswaja hanyalah sebuah
manhaj (cara berpikir) tertentu yang digariskan oleh para sahabat dan muridnya, yaitu generasi
tabi'in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam situasi politik ketika itu.
Meski demikian, bukan berarti dalam kedudukannya sebagai Manhaj Al fikr termasuk produk
yang baku dan harus diikuti oleh semua orang, karena awalnya gagasan ini menengahi antara
mu’tazilah, qadariyah dan jabariayah saat itu.
Ahlu al-Sunnah dapat diartikan dengan orang-orang yang mengikuti sunah dan
berpegang teguh padanya dalam segala perkara baik dalam perkataan pemikiran dan
perbuatan, merujuk kepada apa saja yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dan para
sahabatnya dalam sebuah hadits disebutkan Ma ana-alaihi wa ashabi, dan orang-orang yang
mengikuti mereka sampai hari Qiamat. Seseorang dikatakan mengikuti al-Sunah, jika ia
beramal menurut apa yang diamalkan oleh Nabi SAW berdasarkan dalil syari, baik hal itu
terdapat dalam al Qur’an, hadits Nabi SAW, ataupun merupakan ijtihad para shahabat.
Adapun al-Jama‘ah, berasal dari kata jama‘a dengan akar kata yajma’u jama’atan
yang berarti “menyetujui” atau “bersepakat.” Dalam hal ini, al jama’ah juga berarti berpegang
teguh pada tali Allah SWT secara berjamaah, tidak berpecah dan berselisih. Pernyataan ini
sesuai dengan riwayat Ali bin Abi Thalib ra yang mengatakan: “Tetapkanlah oleh kamu
sekalian sebagaimana yang kamu tetapkan, sesungguhnya aku benci perselisihan hingga
manusia menjadi berjamah”. Secara terminologi berarti segolongan umat Islam dalam bidang
Tauhid mengikuti pemikiran Imam Abu Hasan Al Asy‘ari dan Abu Mansur Al Maturidi,
sedangkan dalam bidang ilmu fiqih menganut Imam Madzhab 4 (Hanafi, Maliki, Syafi‘i,
Hambali) serta dalam bidang tasawuf menganut pada Imam Al Ghazali dan Imam Junaid al
Baghdadi. Penggunaan istilah Ahlus Sunnah Wal Jamaah, Az Zabidi dalam Ithaf Sadatul
Muttaqin, penjelasan atau syarah dari Ihya Ulumuddin Al-Ghazali: jika disebutkan
ahlussunnah, maka yang dimaksud adalah pengikut Al-Asy‘ari dan Al-Maturidi.
B. Tokoh-Tokoh Pemrakarsa Aliran Mu’tazilah dan Ahlu Sunnah wal Jama’ah dan
Pemikirannya
1. Tokoh Aliran Mu’tazilah dan Pemikirannya
a) Wasil bin Atha
Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran
Muktazilah. Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham almanzilah bain
al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya dari Ma‟bad dan Gailan, dua
tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran
itu kemudian menjadi doktrin ajaran Muktazilah, yaitu almanzilah bain al-manzilatain
dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.
b) Abu Huzail al-Allaf
Abu Huzail al-„Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha,
mendirikan sekolah Mu‟tazilah pertama di kotaBashrah. Lewat sekolah ini, pemikiran
Mu‟tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran tentang
rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam. Aliran teologis ini pernah
berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti Abbasiyah). Mu‟tazilah sempat
menjadi madzhab resmi negara. Dukungan politik dari pihak rezim makin
mengokohkan dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang, tragedi mihnah telah
mencoreng madzhab rasionalisme dalam Islam ini.
Abu Huzail al-Allaf adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak
falsafah yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Muktazilah
yang bercorak filsafat. Ia antara lain membuat uraian mengenai pengertian nafy as-
sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan
pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan
KekuasaanNya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan
dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang kadim selain Tuhan
karena kalau dikatakan ada sifat dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan,
berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa kepada kemusyrikan.
Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada
manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, manusia wajib
mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal
itu pula menusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang
kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar dari
ajaran as-salãh wa al-aslah.
c) Al-Jubba’i
Al-Jubba‟I adalah guru Abu Hasan al-Asy‟ari, pendiri aliran Asy‟ariah.
Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT,
kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa
Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan
mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya,
bukan dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke dalam
dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya
(wãjibah „aqliah) dan kewajibankewajiban yang diketahui melalui ajaranajaran yang
dibawa para rasul dan nabi (wãjibah syar‟iah).
d) Al-Jahiz
Al- jahiz : dalam tulisan-tulisan aljahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai paham
naturalism atau kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum muktazilah disebut
Sunnah Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia
tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri, malainkan ada pengaruh
hukum alam.
e) An-Nazzam
An-Nazzam : pendapatnya yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan.
Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini
berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-Allaf. Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa
Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka an-Nazzam menegaskan
bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai
kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa pebuatan zalim hanya
dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari
keadaan yang demikian. Ia juga mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat al-Quran.
Menurutnya, mukjizat al-quran terletak pada kandungannya, bukan pada uslūb atau
gaya bahasa dan balāgah (retorika)-Nya. Ia juga memberi penjelasan tentang kalam
Allah SWT. Kalam adalah segalanya sesuatu yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat
didengar. Karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat baru dan tidak kadim.
2. Tokoh Aliran Ahlu Sunnah wal Jama’ah dan Pemikirannya
a) Abu Hasan Al-Asy’ari
Nama lengkap Al-Asy’ari adalah Abu Al-Hasan ‘Ali bin Isma’il bin Ishaq bin
Salim bin I’smail bin ‘Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-
Asy’ari.8 Menurut beberapa riwayat, Al-Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun
260H/875M. Beliau wafat di Baghdad pada tahun 324H/935M. Sebelumnya, Al-
Asy’ari merupakan salah satu murid dari tokoh Mu’tazilah Abu ‘Ali Al-Jubbai.
Sebagai murid, Al-Asy’ari sering di tunjukAl-Jubbai menggantikannya dalam
perdebatan menentang lawanlawan Mu’tazilah dan banyak menulis buku yang
membela alirannya.6
Pemikiran-pemikiran Al-Asy’ari yang terpenting antara lain:7
1) Tuhan dan sifat-sifatnya Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah mempunyai
sifat-sifat (bertentangan dengan Mu’tazilah) dan sifat- sifat itu tidak boleh
diartikan secara harfiah tetapi secara simbolis.
2) Kebebasan dalam berkehendak Allah adalah pencipta (kha>liq) perbuatan
manusia, sedangkan manusia adalah yang mengupayakannya (muktasib).
3) Qadimnya Al-Qur’an Al-Qur’an terdiri atas kata-kata , huruf dan bunyi,
teatapihal itu tidak melekat pada esensi Allah dan tidak qadim.
4) Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk Dalam menghadapi persoalan
yang memperoleh penjelasan kontradiktif, serta dalam menentukan baik dan
buruk, Al-Asy’ari lebih mengutamakan wahyu daripada akal.
5) Melihat Allah Allah dapat dilihat di akhirat kelak, tetapi tidak dapat
digambarkan. Dan kalau dikatakan Allah dapat dilihat, itu tidak mengandung
pengertian seperti bahwa apa yang bisa dilihat harus bersifat diciptakan.
6) Kedudukan orang yang berdosa Orang mukmin yang berdosa besar adalah
mukmin yang fasik sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.
Dalam kenyataan, Iman adalah lawan dari kufur, predikat seseorang harus
berada satu diantaranya. Jika tidak mukmin, maka ia kafir.

6
Hammudah Gurabah, Abu Al-Hasan Al-Asy’ari, Al-Hai’at Al-‘Ammah li Syu’un AlMathabi’ Al-‘Amiriah,
(Kairo,1973). h. 60-61
7
Abdur Rozak, op. cit. h. 147-150
7) Keadilan Allah memiliki kekuasaan mutlak, tak ada satupun yang wajib bagi-
Nya dan Allah berbuat sekehendaknya.
b) Abu Manshur al-Maturidi
Nama lengkapnya adalah Abu Manshur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud
al-Maturidi, lahir di Maturid, daerah Samarkand (Uzbekistan). Tahun kelahirannya
tidak diketahui pasti, namun diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3H. Beliau
wafat pada tahun 333H/944M. Gurunya dalam bidang fiqh dan teologi antara lain,
Nasyr bin Yahya al-Balakhi dan Ia juga pengikut Abu Hanifah yang banyak memakai
rasio dalam pandangan keagamaannya, sehingga banyak persamaan di sistem teologi
yang di timbulkannya namun termasuk dalam golongan teori Ahli Sunnah yang
kemudian dikenal dengan nama al-Maturidiyah.
Pemikiran-pemikiran Al-Maturidi antara lain:
1) Akal dan wahyu Dalam pemikiran teologi, Al-Maturidi mendasar pada Al-
Qur’an dan akal, namun porsi yang diberikan pada akal lebih besar daripada
yang diberikan pada Al-Asy’ari.
2) Perbuatan manusia Perbuatan manusia adalah ciptaan Allah karena segala
sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Beliau mempertemukan antara
ikhtiar sebagai perbuatan manusia dengan qudrat Allah sebagai pencipta
perbuatan manusia.
3) Melihat Allah Manusia dapat melihat Allah. Namun melihat Allah, kelak di
akherat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena keadaan di akherat tidak
sama dengan keadaan di dunia.
4) Kalam Tuhan Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan
huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau kalam
abstrak). Kala>m nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang
tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadist). Kalam nafsi tidak dapat
kita ketahui hakikatnya bagaimana Allah bersifat dengannya (bila kaifa) tidak
di ketahui, kecuali dengan suatu perantara.
5) Pelaku dosa besar Orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal dalam
neraka walaupun ia meninggal sebelum bertaubat. Hal ini karena Allah telah
menjanjikan dan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan
amal perbuatannya. Perbuatan dosa besar selain syirik tidak menjadikan
seorang kafir atau murtad.
6) Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan Qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang
(absolut), tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan
hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.
c) Imam Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad Ibn
Muhammad al-Ghazali, adalah seorang persia asli. Ia lahir di Thus sebuah kota kecil
di Khurasan (sekarang Iran) tahun 450H/1058M, beliau wafat pada tahun
505H/1111M. Adapun karya-karya dari Al-Ghazali, antara lain:
1) Al-Iqtisad fi Al-I’tiqa>d (480H), karya kalam terbesar Al-Ghazali untuk
mempertahankan akidah Aswaja secara rasional.
2) Al-Ris>lat Al-Qudsiyyah, karya Al-Ghazali yang di sajikan secara ringan untuk
mempertahankan akidah Aswaja.
3) Qowa’id Al-Aqo’id, karya teologi yang mendeskripsikan materi akidah
yangbenar menurut paham Aswaja.
4) Ihya Ulumuddin, karya tulis Al-Ghazali yang terbesar yang memuat ide-ide
sentral Al-Ghazali untuk menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama Islam
termasuk teologi.
d) Imam Hanafi
Nama sebenar beliau ialah An-Nu`man bin Tsabit bin Zauta bin Maha At-Taymiy.
Beliau dilahirkan di Kufah, Iraq pada tahun 80H/699M . Abu Hanifah membangun
mazhabnya di atas fondasi Al-Kitab, Al-Sunnah, ijma’, qiyas dan istihsan. Aliran
mazhab Imam Abu Hanifah dikenali dengan nama Mazhab Hanafi. Sejak ia muncul,
ia tersebar luas dan begitu berpengaruh di Iraq. Mazhab Hanafi ialah mazhab rasmi
Dawlah `Usmaniyyah, dan masih berpengaruh di negara-negara bekas jajahan
Dawlah `Usmaniyyah seperti Mesir, Syria, Lubnan, Bosnia dan Turki. Karya-karya
Abu Hanifah antara lain adalah Kitab Al-Fiqh Al-Akbar, Kitab Al-Fiqh Al-Absat},
Kitab Al-Risalah, Kitab Al-‘Alim wa Al-Muta’allim dan Kitab Al-Washiyyah. Dalam
bidang fiqih, Abu Hanifah tidak menulis karangan. Akan tetapi, murid-muridnya
telah merekam semua pandangan dan hasil ijtihad Abu Hanifah secara lengkap
sehingga menjadi mazhab yang diikuti oleh kaum Muslimin.
e) Imam Maliki
Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir
bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al Asbahi, lahir di
Madinah pada tahun 712 M dan wafat tahun 796 M. Imam Maliki tak hanya
meninggalkan warisan buku. Ia juga mewariskan mazhab fikih di kalangan Islam
Sunni, yang disebut sebagai Mazhab Maliki. Selain fatwa-fatwa Imam Malik dan Al
Muwatta', kitab-kitab seperti Al Mudawwanah al Kubra, Bidayatul Mujtahid wa
Nihaayatul Muqtasid (karya Ibnu Rusyd), Matan ar Risalah fi al Fiqh al Maliki (karya
Abu Muhammad Abdullah bin Zaid), Asl al Madarik Syarh Irsyad al Masalik fi Fiqh
al Imam Malik (karya Shihabuddin al Baghdadi), dan Bulgah as Salik li Aqrab al
Masalik (karya Syeikh Ahmad as Sawi), menjadi rujukan utama mazhab Maliki
f) Imam Syafi’i
Nama lengkapnya adalah Abū ʿAbdullāh Muhammad bin Idrīs alShafiʿī atau
Muhammad bin Idris asy-Syafi’i. Beliau lahir di Ashkelon, Gaza, Palestina, 150
H/767M (bertepatan dengan tahun wafatnya seorang ulama besar Sunni,Imam Abu
Hanifah).Beliau wafat pada hari Kamis di awal bulan Sya’ban tahun 204 H dan umur
beliau sekitar 54 tahun.Beliau pelopor dalam menulis di bidang ilmu Ushul Fiqih,
karyanya yang monumental Risalah. Dalam bidang fiqih, beliau menulis kitab Al-
Umm dan kitab Jima’ul Ilmi.
C. Perkembangan Aliran Mu’tazilah dan Ahlu Sunnah wal Jama’ah
Aliran Mu‟tazilah melewati dua fase yang berbeda. Fase Abbasiyah (100 H - 237 M)
dan fase Bani Buwaihi (334 H). Generasi pertama mereka hidup di bawah pemerintahan Bani
Umayah untuk waktu yang tidak terlalu lama. Kemudian memenuhi zaman awal Daulah
Abbasiyah dengan aktivitas, gerak, teori, diskusi dan pembelaan terhadap agama, dalam
suasana yang dipenuhi oleh pemikiran baru. Dimulai di Basrah. Kemudian di sini berdiri
cabang sampai ke Baghdad. Orang-orang Mu‟tazilah Basrah bersikap hati-hati dalam
menghadapi masalah politik, tetapi kelompok Mu‟tazilah Baghdad justru terlibat jauh dalam
politik. Mereka ambil bagian dalam menyulut dan mengobarkan api inquisisi bahwa “Al
Qur‟an adalah makhluk”. Memang pada awalnya Mu‟tazilah menghabiskan waktu sekitar
dua abad untuk tidak mendukung sikap bermazhab, mengutamakan sikap netral dalam
pendapat dan tindakan. Konon ini merupakan salah satu sebab mengapa mereka disebut
Mu‟tazilah. Mu‟tazilah tidak mengisolir diri dalam menanggapi problematika imamah –
sebagai sumber perpecahan pertama- tetapi mengambil sikap tengah dengan mengajukan teori
“al manzilah bainal manzilatain”. Akan tetapi di bawah tekanan Asy‟ariah nampaknya mereka
berlindung kepada Bani Buwaihi.8

8
Madkour, Ibrahim. Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta PT. Bumi Aksara, 2009) h. 46-47.
Golongan pertama, (disebut Mu‟tazilah I) muncul sebagai respon politik murni.
Golongan ini tumbuh sebahai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam
menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah,
Aisyah, dan Abdullah bin Zubair golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu‟tazilah
karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral
politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu‟tazilah yang tumbuh dikemudian
hari. Golongan kedua, (disebut Mu‟tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang
berkembang di kalangan Khawarij dan Mur‟jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan
ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur‟jiah tentang
pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Mu‟tazilah II inilah yang dikaji dalam
bab ini yang sejarah kemunculannya memiliki banyak versi.
Secara harfiyah, Ahlu Sunnah wal Jama’ah, adalah para pengikut tradisi Nabi
Muhammad SAW dan ijma’. 9 Istilah ASWAJA sering digunakan untuk menyebut kaum
atau komunitas yang menganut paham teologi (kalam) Asy’ariyah- Maturidiyah,
menganut fiqh empat madzhab, utamanya Syafi’iyah dan tasawuf mengikuti pola pemikiran
Imam al- Ghazali dan Syaikh Junaid al Bagdadi. Dahulu, mereka yang
berpandangan seperti ini adalah orang-orang Nahdhatul Ulama (NU). Kaum NU
inilah yang disebut dengan ASWAJA. Doktrin ASWAJA juga menjadi ciri utama dalam
kurikulum pendidikan dan pelatihan kader organisasi seperti Gerakan Pemuda Ansor
(GP Ansor), Ikatan Pelajar Nahdhatul Ulama (IPNU), Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII).

9
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. (Jakarta:
LP3ES, 1982). h. 148.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Aliran mu‟tazilah merupakan aliran teologi Islam yang terbesar dan tertua Kaum
mu‟tazilah secara teknis terdiri dari dua golongan dan masing-masing golongan mempunyai
pandangan yang berbeda. Golongan tersebut ialah golongan pertama, (disebut Mu‟tazilah I)
muncul sebagai respon politik murni dan golongan kedua, (disebut Mu‟tazilah II) muncul
sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur‟jiah akibat
adanya peristiwa tahkim. Banyak sebutan mengenai kaum mu‟tazilah salah satunya Ahlul ‘Adl
Wa atTauhid (golongan yang mempertahankan keadilan dan keesaan Allah). Sedangkan ajaran
pokok mu‟tazilah yakni tentang : Keesaan (at-Tauhid), Keadilan Tuhan (AlAdlu), Janji dan
ancaman (al-Wa‟du wal Wa‟idu), Tempat di antara dua tempat (Al manzilatu bainal
manzilatain), Menyuruh kebaikan dan melarang keburukan („amar ma‟ruf nahi munkar). Dan
yang paling penting yakni kegiatan orang-orang mu‟tazilah baru hilang sama sekali setelah
terjadi serangan orang-orang mongolia atas dunia islam.
Faham Aswaja yang telah menjadi bagian dari sistem keberagamaan
masyarakat muslim Indonesia terus menerus mengalami penilaian dan kritik secara
internal, dikoreksi dan disesuaikan dengan perkembangan. Pengertian Aswaja
secara sempit sudah ditinggalkan, dan pengertian secara inklusif diterima dan
dikembangkan. Namun watak dan corak khas faham Aswaja; moderasi (tawashut),
keseimbangan (tawazun), dan berkeadilan (adalah) tetap dijaga dan dipelihara. Meskipun
orientasi keagamaan sebagian penganut Aswaja telah berubah ke arah fundamental-
radikal, atau progresif liberal, tradisi yang selama ini berkembang dalam masyarakat
tetap terpelihara dengan baik. Bahkan beberapa dekade terakhir telah terjadi konvergensi
pemahaman di kalangan umat. Tantangan yang paling mengkhawatirkan adalah
berkembangannya faham dan sikap hidup materialistik, yang juga sudah disinyalir
dalam al-Qur’an (bal tu’sirunal hayata al-dunya, wa al-akhiratu khairun wa abqa).
Daftar Pustaka

Abdul Rozak. Anwar ,Rosihoa. (2009) Ilmu Kalam, cet.iv, Bandung : CV. PustakaSetia.

Dhofier, Zamakhsyari. (1982). Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup Kyai.
(Jakarta: LP3ES.

Harun Nasution. (1986). Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Jakarta, UI Press.

Hammudah Gurabah. (1973). Abu Al-Hasan Al-Asy’ari, Al-Hai’at Al-‘Ammah li Syu’un


AlMathabi’ Al-‘Amiriah, Kairo.

Ignaz Goldziher. (2010.) Mazhab Tafsir: dari klasik hingga modern, Yogyakarta, eLSAQ
Press.

Madkour, Ibrahim. (2009). Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta PT. Bumi Aksara.

Anda mungkin juga menyukai