Anda di halaman 1dari 13

Journal Ability : : Journal of Education and Social Analysis

Volume 2, Issue 3, Juli 2021

Teologi Pemikiran Klasik Mu’tazilah dan Murji’ah

Ishak Hasibuan
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan

Corresponding Author : ishakhasibuan3@gmail.com


ABSTRACT
Mempelajari mata kuliah ilmu kalam ini merupakan salah satu hal yang
paling penting dan termasuk ke dalam komponen utama rukun iman.
Yaitu yang pertama, kita mengucapkan dengan lisan, yang kedua,
melaksanakan dengan rukun-rukun dengan perbuatan dan yang ke tiga,
meyakini dalam hati. Agar keyakinan itu tumbuh dengan kokoh, kita
harus mengkaji dan mendalami teologi ilmu kalam ini. Untuk menjadikan
ucapan lisan secara meyakinkan dan kokoh kita perlu ilmunya, yaitu ilmu
tauhid, ilmu yang membahas tentang ketuhanan. Dan ilmu tauhid ini
telah berkembang menjadi ilmu kalam. Pada karya ilmiah ini penulis
berusaha ingin menjelaskan sejarah ilmu kalam, mempelajari teologi
dalam ilmu kalam. Terutama pada teologi kalam yakni aliran Mu‟tazilah
dan murji’ah. Agar penulis dan pembaca bisa menambah wawasan
tentang apa itu Mu‟tazilah dan murji’ah?, bagaimana asal-usul
Mu‟tazilah dan Murji’ah?, siapa saja tokoh-tokoh Mu‟tazilah dan
Murji’ah? dan apa saja ajaran-ajaran Mu‟tazilah dan Murji’ah? Disini
penulis berusaha menjelaskan permasalahan tentang kedua kelompok
tersebut. Untuk memahami tentang teologi kalam secara mendalam dan
mengenali pemikiran-pemikiran yang terdapat di dalamnya, tokoh-tokoh,
karya-karya, gagasan para teolog serta aliran-aliran yang muncul pada
teologi kalam. Penulis menggunakan dua metode yakni yang pertama,
membaca buku dan mengunjungi perpustakaan kampus maupun di
daerah setempat, dan metode yang kedua dengan mengunakan sarana
internet sehingga mendapat tambahan referensi-referensi yang cukup.
Dengan demikian aliran Mu‟tazilah dan Murji’ah merupakan salah satu
aliran teologi dalam islam yang dapat dikelompokan sebagai kaum
rasionalis.

Kata Kunci Pemikiran Klasik, Mu’tazilah, Murji’ah

How to cite (2021). Jurnal Ability, 2(3).

PENDAHULUAN
Sejarah telah mencatat bahwa perpecahan umat Islam sebagian besar
dipengaruhi oleh perbedaan pandangan pada suatu persoalan subtansi agama.
Ini telah dicontohkan adanya perpecahan pada umat Islam pasca meninggalnya
Nabi Muhammad SAW, zaman khulafaurrosidin, bani Umayyah dan bani
Abbasiyah. Umat Islam semakin mengeneralisasi pada saat perbedaan
pemikiran dan pandangan telah masuk dalam ranah teologi, dan hukum.

52
Ability : Journal of Education and Social Analysis
Volume 2, Issue 3, Juli 2021
Page : 52-64

Perpecahan umat Islam tidak berhenti pada ranah pemikiran namun juga
telah masuk pada ranah action, bukan hanya perbedaaan pendapat namun juga
berbeda aliran, dan diperparah lagi perbedaan itu berkahir dengan
pertumpahan darah. Dari rangkaian diatas maka penulis mencoba mengurai
kembali sejarah kedua aliran yakni Mu’tazilah dan Murji’ah perpecahan umat
Islam dalam sudut pandang salah satu aliran yang fenomenal dalam sejarah
pemikiran Islam agar tidak terjadi kesalah pahaman terhadap generasi
selanjutnya.
Adapun tulisan ini membahas tentang bagaimana sejarah munculnya
aliran Mu‟tazilah dan Murji’ah, siapa saja tokoh-tokoh dan pemikirannya dan
bagaimana aliran ini sebagai aliran teologi.

METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan studi kepustakaan (library research). Dalam
memperoleh data penelitian, peneliti mengumpulkan, menganalisis,
mengorganisasi, sumber dari artikel, buku, penelitian terdahulu tentang
implementasi manajemen strategi dalam bidang pendidikan. Kemudian
peneliti menyimpulkan dan menyajikan data-data manajemen strategi untuk
peningkatan mutu pendidikan (Danandjaja, 2014; Sari & Asmendri, 2020; Zed,
2014).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Sejarah Munculnya Aliran Mu’tazilah
Kaum Mu`tazilah merupakan sekelompok manusia yang pernah
menggemparkan dunia Islam selama lebih dari 300 tahun akibat fatwa-fatwa
mereka yang menghebohkan, selama waktu itu pula kelompok ini telah
menumpahkan ribuan darah kaum muslimin terutama para ulama Ahlus
Sunnah yang bersikukuh dengan pedoman mereka.
Sejarah munculnya aliran Mu‟tazilah muncul di kota Bashrah (Iraq) pada
abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan
khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik.
Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-
Bashri yang bernama Washil bin Atha‟ Al-Makhzumi Al-Ghozzal yang lahir di
Madinah tahun 700 M, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha‟
berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir
yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar
masih berstatus mukmin.

53
Ability : Journal of Education and Social Analysis
Volume 2, Issue 3, Juli 2021
Page : 52-64

Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut


antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu‟tazilah pun dinisbahkan
kepadanya. Sehingga kelompok Mu‟tazilah semakin berkembang dengan
sekian banyak sektenya. kemudian para petinggi mereka mendalami buku-
buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah AlMakmun. Maka sejak
saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli kalam yang
berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur‟an dan As
Sunnah (Hanum 1986).
Secara harfiah kata Mu‟tazilah berasal dari I‟tazala yang berarti berpisah
atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri,
Mu‟tazilah, secara etimologis bermakna: orang-orang yang memisahkan diri.
Sebutan ini mempunyai suatu kronologi yang tidak bisa dipisahkan dengan
sosok Al-Hasan Al-Bashri, salah seorang imam di kalangan tabi’in. Asy-
Syihristani berkata: Suatu hari datanglah seorang laki-laki kepada Al-Hasan Al-
Bashri seraya berkata: “Wahai imam dalam agama, telah muncul di zaman kita
ini kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa besar. Dan dosa tersebut
diyakini sebagai suatu kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari
agama, mereka adalah kaum Khawarij. Sedangkan kelompok yang lainnya
sangat toleran terhadap pelaku dosa besar, dan dosa tersebut tidak
berpengaruh terhadap keimanan. Karena dalam madzhab mereka, suatu
amalan bukanlah rukun dari keimanan dan kemaksiatan tidak berpengaruh
terhadap keimanan sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh terhadap
kekafiran, mereka adalah Murji‟ah umat ini. Bagaimanakah pendapatmu
dalam permasalahan ini agar kami bisa menjadikannya sebagai prinsip dalam
beragama.
Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir sejenak dalam permasalahan tersebut.
Sebelum beliau menjawab, tiba-tiba dengan lancangnya Washil bin Atha‟
berseloroh: “Menurutku pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, namun ia
juga tidak kafir, bahkan ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan,
tidak mukmin dan juga tidak kafir.” Lalu ia berdiri dan duduk menyendiri di
salah satu tiang masjid sambil tetap menyatakan pendapatnya tersebut kepada
murid-murid Hasan Al-Bashri lainnya. Maka AlHasan Al-Bashri berkata:
“Washil telah memisahkan diri dari kita”, maka disebutlah dia dan para
pengikutnya dengan sebutan Mu‟tazilah. Pertanyaan itu pun akhirnya dijawab
oleh Al-Hasan Al-Bashri dengan jawaban Ahlussunnah Wal Jamaah:
“Sesungguhnya pelaku dosa besar adalah seorang mukmin yang tidak
sempurna imannya. Karena keimanannya, ia masih disebut mukmin dan

54
Ability : Journal of Education and Social Analysis
Volume 2, Issue 3, Juli 2021
Page : 52-64

karena dosa besarnya ia disebut fasiq yakni keimanannya menjadi tidak


sempurna.
Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa
Qatadah bin Da‟mah pada suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung
dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majlis Hasan Al Basri.
Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan Al Basri, ia
berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum Mu‟tazilah.” Sejak
itulah kaum tersebut dinamakan Mu‟tazilah.AlMas‟udi memberikan
keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu‟tazilah tanpa menyangkut-
pautkan dengan peristiwa antara Washil dan Hasan Al Basri. Mereka diberi
nama Mu‟tazilah, katanya, karena berpendapat bahwa orang yang berdosa
bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat diantara
kafir dan mukmin (al-manzilah bain al-manzilatain) (Rosihoa, 2009).
Tokoh-Tokoh Mu’tazilah dan Pemikiranya
1. Wasil bin Atha
Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar
ajaran Muktazilah. Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu
paham almanzilah bain al-manzilatain, paham Kadariyah (yang
diambilnya dari Ma‟bad dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariah), dan
paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu kemudian
menjadi doktrin ajaran Muktazilah, yaitu almanzilah bain al-manzilatain
dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.
2. Abu Huzail al-Allaf
Abu Huzail al-„Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha,
mendirikan sekolah Mu‟tazilah pertama di kotaBashrah. Lewat sekolah
ini, pemikiran Mu‟tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini
menekankan pengajaran tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran
dan hukum Islam. Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah
Al-Makmun (Dinasti Abbasiyah). Mu‟tazilah sempat menjadi madzhab
resmi negara. Dukungan politik dari pihak rezim makin mengokohkan
dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang, tragedi mihnah telah
mencoreng madzhab rasionalisme dalam Islam ini. Abu Huzail al-Allaf
adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak falsafah yunani dan
itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Mu’tazilah yang
bercorak filsafat. Ia antara lain membuat uraian mengenai pengertian
nafy as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan
pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan
Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan KekuasaanNya dan Kekuasaan-

55
Ability : Journal of Education and Social Analysis
Volume 2, Issue 3, Juli 2021
Page : 52-64

Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan dimaksudkan oleh Abu-


Huzail untuk menghindari adanya yang kadim selain Tuhan karena
kalau dikatakan ada sifat dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat
Tuhan, berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa kepada
kemusyrikan. Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan
menganugerahkan akal kepada manusia agar digunakan untuk
membedakan yang baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan
perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal
itu pula menusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya
Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu
ia melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salãh wa alaslah (Goldziher,
2010).
3. Al-Jubba’i
Al-Jubba‟I adalah guru Abu Hasan al-Asy‟ari, pendiri aliran Asy‟ariah.
Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat
Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai sifat Allah
SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau
dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia
berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan
dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke
dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui
manusia melalui akalnya (wajibah aqliah) dan kewajiban-kewajiban
yang diketahui melalui ajaran-ajaran yang dibawa para rasul dan nabi
(wajibah syar’iah).
4. An-Nazzam
An-Nazzam : pendapatnya yang terpenting adalah mengenai keadilan
Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku
zalim. Dalam hal ini berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-Allaf.
Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim
kepada hamba-Nya, maka an-Nazzam menegaskan bahwa hal itu
bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai
kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa pebuatan zalim
hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna,
sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian. Ia juga
mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat al-Quran. Menurutnya,
mukjizat al-quran terletak pada kandungannya, bukan pada uslub atau
gaya bahasa dan balagah (retorika)-Nya. Ia juga memberi penjelasan
tentang kalam Allah SWT. Kalam adalah segalanya sesuatu yang

56
Ability : Journal of Education and Social Analysis
Volume 2, Issue 3, Juli 2021
Page : 52-64

tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Karena itu, kalam adalah
sesuatu yang bersifat baru dan tidak kadim.
5. Al-Jahis
Al- jahiz : dalam tulisan-tulisan aljahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai
paham naturalism atau kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum
mu’tazilah disebut Sunnah Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa
perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh
manusia itu sendiri, malainkan ada pengaruh hukum alam.
6. Mu’ammar bin Abbad
Mu’ammar bin Abbad : Mu’ammar bin Abbad adalah pendiri mu’tazilah
aliran Baghdad. pendapatnya tentang kepercayaan pada hukum alam.
Pendapatnya ini sama dengan pendapat al-jahiz. Ia mengatakan bahwa
Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi. Adapun al-„arad atau
accidents (sesuatu yang datang pada benda-benda) itu adalah hasil dari
hukum alam. Misalnya, jika sebuah batu dilemparkan ke dalam air,
maka gelombang yang dihasilkan oleh lemparan batu itu adalah hasil
atau kreasi dari batu itu, bukan hasil ciptaan Tuhan.
7. Bisyr al-Mu’tamir
Bisyr al-Mu‟tamir : Ajarannya yang penting menyangkut
pertanggungjawaban perbuatan manusia. Anak kecil baginya tidak
dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat kelak karena
ia belum mukalaf. Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu
mengulangi lagi berbuat dosa besar, akan mendapat siksa ganda,
meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu.
8. Abu Musa Al-Mudrar
Abu Musa al-Mudrar : al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin
mu’tazilah yang sangat ekstrim, karena pendapatnya yang mudah
mengafirkan orang lain.Menurut Syahristani,ia menuduh kafir semua
orang yang mempercayai kekadiman Al-Quran. Ia juga menolak
pendapat bahwa di akhirat Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala.
9. Hisyam bin Amr al-Fuwati
Hisyam bin Amr al-Fuwati : AlFuwati berpendapat bahwa apa yang
dinamakan surga dan neraka hanyalah ilusi, belum ada wujudnya
sekarang. Alasan yang dikemukakan adalah tidak ada gunanya
menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum waktunya orang
memasuki surga dan neraka (Hanafi, 2001).

57
Ability : Journal of Education and Social Analysis
Volume 2, Issue 3, Juli 2021
Page : 52-64

Ajaran-ajaran Aliran Mu’tazilah


Kelompok mu‟tazilah merupakan kelompok yang sanyat mementingkan
akal pikiran (Rasionalistas). Kelompok mu‟tazilah sangat kritis, tidak hanya
terhadap hadits nabi dan cara-cara penafsiran al-Qur‟an tetapi juga kritis
terhadap pengaruh ajaran filsafat yunani, seperti Aristoteles, Plato, Neo
Platonis, dan sebagainya. Inilah yang memberi inspirasi sehingga
memunculkan ilmu-ilmu baru yang disebut lmu kalam, yang
mengompromikan antara pendapat filsafat dan agama. Oleh sebab itu, mereka
lebih mengutamakan akal pikiran, setelah itu al-Qur’an dan al-Hadits (taqdim
al-aql ala an-Nash) (Saehudin, 2016)..
Ada lima doktrin utama yang menurut kaum Mu‟tazilah itu sendiri,
sehingga menjadi ajaran atau perinsip utama mereka. Kelima doktrin itu
disebut Al-Ushul Al-Khamsah. Penjelasannya sebagai berikut:
1. Tauhid
Tauhid (Pengesaan Allah) adalah ajaran islam pertama dan utama.
Sebenarnya tauhid ini bukan milik khusus golongan Mu‟tazilah tetapi karena
mereka menafsirkannya sedemikian rupa dan mempertahankannya dengan
sungguh-sungguh maka mereka terkenal sebagai ahli tauhid.
Menurut Mu‟tazilah, sifat adalah dzat Tuhan. Abu Al-Hudzail dalam hal
ini pernah berkata, “Tuhan mengetahui dengan ilmu dan ilmu itu adalah
Tuhan, berkuasa dengan kekuasaan dan kekuasaan itu adalah Tuhan.” Dengan
demikian, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan, yaitu dzat dan esensi Tuhan,
bukan sifat yang menempel pada dzat-Nya.
2. Al-Adl
Al-Adl berarti Tuhan Maha adil. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan
Tuhan Tuhan yang adil menurut sudut pandang manusia. Tuhan dipandang
adil apabila bertindak hanya yang baik (al-Shalah) dan terbaik (al-Ashlah),
bukan yang tidak baik. Demikian pula, Tuhan itu adil apabila tidak melanggar
janji-Nya.
3. Al-Wa’d Wal Wa’id
Allah akan memberikan balasan berupa pahala bagi yang taat, dan
memberikan hukuman bagi yang durhaka dan tidak ada yang samr mengenai
hal ini. Karena itu Allah baru akan memberikan ampunan-Nya jika si pendosa
bertobat, tidak mungkin ada ampunan tanpa adanya tobat.
Perinsip ini adalah kelanjutan perinsip keadilan yang harus ada pada
Tuhan. Golongan Mu‟tazilah yakin bahwa janji Tuhan akan memberikan
pahala dan ancaman-Nya akan menjatuhkan siksa atau neraka pasti akan di
laksanakan, karena Tuhan sudah menjanjikan demikian. Siapa yang berbuat

58
Ability : Journal of Education and Social Analysis
Volume 2, Issue 3, Juli 2021
Page : 52-64

baik maka akan dibalas dengan kebaikan dan siapa yang berbuat jahat maka
dibalas dengan kejahatan pula. Tidak ada pengampunan terhadap dosa besar
tanpa taubat sebagaiman tidak mungkin orang yang berbuat baik dihalang-
halangi menerima pahala. Pendapat golongan Mu‟tazilah tersebut merupakan
tolak belakang pendapat golongan Murji‟ah sebagaiman ketaatan tidak akan
berguna disamping kekafiran. Kalau ada pendapat ini dibenarkan, maka
ancaman tuhan tidak akan ada artinya sama sekali, suatu hal yang mustahil ada
pada Tuhan (Muthahhari, 2002).
4. Al-Manzilah Bain Al-Manzilahtain
Perinsip ini sangat pentingyang karenanya Washil bin „Atha memisahkan
diri dari Hasan Basri. Washil memutuskan bahwa orang yang berbuat dosa
besar selain syirik, tidak mukmin dan tidak pula kafir, tetapi fasik. Jadi
kefasikan adalah suatu hal yang berdiri sendiri antara iman dan kafir.
Tingkatan orang fasik di bawah orang mukmin dan di atas orang kafir.
Menurut pandangan Mu‟tazilah pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan
sebagai mukmin secara mutlak karena iman menuntut adanya kepatuhan
kepada Tuhan, tidak cukup hanya dengan pengakuan dan pembenaran.
Berdosa besar bukanlah kepatuhan, melainkan masih percaya kepada Tuhan,
Rasulnya dan mengerjakan pekerjaan yang baik. Jika meninggal sebelum
bertobat, ia dimasukan ke neraka dan kekal didalamnya karena di akhirat
hanya terdapat dua pilihan yaitu surga dan neraka. Orang mukmin masuk
surga dan orang kafir masuk neraka. Orang fasik dimasukan ke neraka hanya
saja siksaannya lebih ringan dari pada orang kafir.
5. Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa Al-Nahy ‘an Al-Munkar
Ajaran dasar ke lima ini perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat,
dianggap sebagai kewajiban bukan oleh kaum Mu‟tazilah saja, tetapi juga oleh
golongan umat islam lainnya. Perbedaan yang terdapat antara golongan-
golongan itu adalah tentang pelaksanaannya. Apakah perintah dan larangan
cukup dijalankan dengan penjelasan dan seruan saja, ataukah perlu
diwujudkan dengan paksaan dan kekerasan. Kaum Mu‟tazilah berpendapat
kalau dapat cukup dengan seruan, tetapi kalau perlu dengan kekerasan. Sejarah
membuktikan bahwa mereka pernah memakai kekerasan saat menyiarkan
ajaran-ajaran mereka.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mukmin dalam
beramar ma‟ruf dan nahi munkar seperti yang dijelaskan oleh Abd AlJabbar,
yaitu:
1) Mengetahui perbuatan yang disuruh itu memang ma‟ruf dan yang
dilarang itu memang munkar;

59
Ability : Journal of Education and Social Analysis
Volume 2, Issue 3, Juli 2021
Page : 52-64

2) Mengetahui bahwa kemunkaran telah nyata dilakukan orang;


3) Mengetahui bahwa perbuatan amar ma‟ruf nahi munkar tidak akan
membawa mudarat yang lebih besar;
4) Mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak
akan membahayakan dirinya dan hartanya.
Perbedaan mazhab Mu‟tazilah dengan mazhab lain mengenai ajaran ini
terletak pada tatanan pelaksanaanya. Menurut Mu‟tazilah, jika memang
diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut.
Sejarah munculnya aliran Murji’ah
Kelompok ini muncul pertama kali pada masa sahabat yaitu di akhir
pemerintahan Uṡmān bin Affān, setelah tersebarnya berita akan adanya
sebagian kelompok yang ingin menurunkan dari tampuk kepemimpinan, dan
munculnya fitnah, yang menyebabkan terbunuhnya Uṡmān, sebagian sahabat
Rasulullah menarik diri dari pertikaan yang terjadi dengan berdalilkan sebuah
hadits yang diriwayatkan dari Abu Bakar dimana Rasulullah bersada:
“Akan terjadi huruhara (fitnah) dimana ketika itu orang yang duduk lebih baik
dari pada yang berjalan, yang berjalan lebih baik dari yang berlari lari kecil (ikut
dalam kekacauan). Jika saja kalian mendapati zaman tersebut, maka barangsiapa
yang memiliki onta maka sebaiknya dia mengembala ontanya, barangsiapa yang
memiliki kambing hendaknya dia mengembalakan kambingnya, dan barangsiapa
yang memiliki sebidang tanah maka hendaknya dia menggarap tanahnya,
“kemudian salah seorang sahabat bertanya.” Wahai Rasulullah! Bagaimana
pendapat anda bagi orang yang tidak memiliki onta, kambing, dan sebidang
tanah? “beliau menjawab,” hendaknya diamengambil pedangnya dan
memukulkannya ke sebuah batu, kemudian mencari tempat yang lebih baik
umtuknya.
Kumpulan sahabat inilah yang tidak ikut dalam pertikaian yang terjadi
antara Muawiyah dan Ali, mereka tidak bisa menentukan (mengakhirkan)
siapa diantara kedua kelompok ini yang paling benar.Kalau kita melihat
kepada kumpulan sahabat yang tidak ikut pada perselisihan, maka mereka
masuk dalam katagori irja’ dari sisi bahasa. Pastinya apa yang dilakukan ini
adalah hal yang baik dalam rangka persatuan.Akan tetapi ketika perpecahan
dan perselisihan semakin membesar, ditambah lagi dengan Khawārij yang
mengkafirkan dengan sangat mudahnya, maka kaum Murjiah datang sebagai
tandingan yang pada awalnya memiliki teori yang sangat bagus yaitu
menangguhkan hukum pelaku dosa besar hanya kepada Allah (Anwar, 2015) .
Bersama dengan berlalunya waktu, maka datanglah generasi yang jauh
dari konsep awal yang mengatakan bahwa:“Kemaksiatan tidak akan
mempengaruhi keimanan seseorang.Bagi mereka keimanan hanyalah

60
Ability : Journal of Education and Social Analysis
Volume 2, Issue 3, Juli 2021
Page : 52-64

pengucapan, meyakini dan mengetahui, yang ketika seorang melakukan


maksiat setelah itu, maka keimanan mereka tidak akan terganggu,karena
keimanan itu terpisah dari amal ibadah.Bahkan sebahagian Murjiah aliran
keras mengatakan bahwasanya keimanan itu hanya percaya didalam hati,
seorang akan tetap beriman walaupun mereka meninggal setelah mengucapkan
kalimat kekufuran, menyembah berhala, membantu kaum Yahudi dan Nasrani
dalam memusuhi kaum Muslimin, beriman kepada trinitas. Adapun Ibnu
Taimiyyah mengatakan salah satu perselisihan yang paling pertama terjadi di
kalangan kaum Muslimin adalah permasalahan Iman, yang mengakibatkan
perseteruan sampai pada taraf saling mengkafirkan.Khawarij adalah kelompok
pertama yang terjatuh dimana mereka mengkafirkan kaum Muslimin yang
melakukan dosa, slogan mereka yang paling terkenal “manusia hanya pada
dua kondisi entah beriman atau kafir”. Maka muncullah Murjiah sebagai
tandingan yang mengatakan seorang fasik keimanannya tetap sempurnah.
Kelompok-kelompok Aliran Murji’ah
Kemunculan sekte-sekte dalam kelompok Murji‘ah tampaknya dipicu
oleh perbedaan-pendapat (bahkan dalam hal intensitas) di kalangan para
pendukung Murji‘ah sendiri. Dalam hal ini terdapat problem yang cukup
mendasar ketika pengamat mengklasifikasikan sekte-sekte Murji‘ah. Wahbah al
Zuhailī mengatakan terdapat sekte-sekte kelompok Murjiah antara lain :
1. Murji’ah Sunnah
Kelompok ini adalah yang meyakini bahwa para pelaku dosa akan dibalas
sesuai dengan kadar dosa yang telah dia lakukan, mereka tidak kekal di nereka
dan boleh saja Allah mengampuni mereka, sebagaimana firman Allah:”
Demikianlah keutamaan yang Allah berikan kepada siapa saja yang Allah
kehendaki”
2. Murji’ah Bi’dah
Mereka inilah yang disebut dalam banyak istilah Murji’ah.
Adapun ulama Al Firaq menyimpulkan beberapa kelompok Murji’ah:
a) Murji’ah Al Jabariah: mereka adalah pengikut Jaham bin Sofwan,
mereka inilah yang berpendapat bahwa keimanan hanya
pengetahuan dalam hati, dosa tidak akan pernah mempengaruhi
keimanan, dan bahwasanya pengucapan dengan lisan dan amalan
soleh bukanlah bagian dari iman.
b) Murji’ah Al Qadariyah: mereka adalah kelompok yang dipimpin
oleh Gilan Ad Dimisqi yang juga dijuluki Al Gilaniyah.
c) Murjiah Al Khalisah: mereka adalah kelompok yang para ulama
masih berselisih penamaan mereka.

61
Ability : Journal of Education and Social Analysis
Volume 2, Issue 3, Juli 2021
Page : 52-64

d) Murjiah Al Karramiyah: Pengikut Muhammad bin Karram, mereka


berpendapat, bahwa keimanan adalah pengucapan dengan lisan,
dan pembuktian dengan lisan, dan keimanan tidak membutuhkan
persaksian hati.
e) Murjiah Al Khawarij: mereka ini adalah kelompok yang mirip
dengan salah satu kelompok Sufi, yang berpemahaman bahwa
kami tidak memberikan hukum apapun kepada para pelaku dosa
besar.
Ajaran-ajaran Murji’ah
Secara umum, pokok ajaran dari Murji’ah dapat dilihat dari beberapa
pendapatnya, sebagai berikut:
1. Rukun iman ada dua, yaitu: iman kepada Allah dan iman kepada utusan
Allah.
2. Orang yang berbuat dosa besar tetap mukmin selama ia telah beriman,
dan bila meninggal dunia dalam keadaan berdosa, maka segala
ketentuannya tergantung Allah di akhirat kelak.
3. Perbuatan kemaksiatan tidak berdampak apa pun terhadap orang bila
telah beriman.
4. Perbuatan kebajikan tidak berarti apa pun apabila dilakukan di saat
kafir. Ini berarti perbuatan-perbuatan baik tidak dapat menghapuskan
kekafirannya dan bila telah muslim tidak juga bermanfaat, karena
melakukannya sebelum masuk Islam.
5. Golongan Murji‗ah tidak mau mengkafirkan orang yang telah masuk
Islam, sekalipun orang tersebut zalim, berbuat maksiat dan lain-lain,
sebab mereka mempunyai keyakinan bahwa dosa sebesar apa pun tidak
dapat memengaruhi keimanan seseorang selama orang tersebut masih
muslim.
Golongan Murji‗ah tidak mau mengkafirkan orang yang telah masuk
Islam, sekalipun orang tersebut zalim, berbuat maksiat dan lain-lain,
sebab mereka mempunyai keyakinan bahwa dosa sebesar apa pun tidak
dapat memengaruhi keimanan seseorang selama orang tersebut masih
muslim.
6. Aliran Murji‗ah juga menganggap bahwa orang yang lahirnya terlihat
atau menampakkan kekufuran, namun bila batinnya tidak, maka orang
tersebut tidak dapat dihukum kafir, sebab penilaian kafir atau tiaknya
seseorang itu tidak dilihat dari segi lahirnya namun tergantung
batinnya. Sebab ketentuan ada pada i‗tiqad seseorang dan bukan segi
lahiriahnya (Burhanuddin, 2016).

62
Ability : Journal of Education and Social Analysis
Volume 2, Issue 3, Juli 2021
Page : 52-64

KESIMPULAN
Awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar
murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu‟tazilah pun dinisbahkan
kepadanya. Sehingga kelompok Mu‟tazilah semakin berkembang dengan
sekian banyak sektenya. kemudian para petinggi mereka mendalami buku-
buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah AlMakmun. Maka sejak
saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli kalam yang
berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur‟an dan As
Sunnah
Ajaran pokok mu‟tazilah yakni tentang : Keesaan (at-Tauhid), Keadilan
Tuhan (Al-Adlu), Janji dan ancaman (al-Wa‟du wal Wa‟idu), Tempat di antara
dua tempat (Al manzilatu bainal manzilatain), Menyuruh kebaikan dan
melarang keburukan („amar ma‟ruf nahi munkar). Dan yang paling penting
yakni kegiatan orang-orang mu‟tazilah baru hilang sama sekali setelah terjadi
serangan orang-orang mongolia atas dunia islam.
Kelompok Murji’ah muncul pertama kali pada masa sahabat yaitu di
akhir pemerintahan Uṡmān bin Affān, setelah tersebarnya berita akan adanya
sebagian kelompok yang ingin menurunkan dari tampuk kepemimpinan, dan
munculnya fitnah, yang menyebabkan terbunuhnya Uṡmān, sebagian sahabat
Rasulullah menarik diri dari pertikaan yang terjadi.
Konsep Murjiah adalah sekali beriman akan tetap beriman selama-
lamanya, walaupun orang tersebut melakukan hal-hal yang bisa
mengeluarkannya dari Islam. Setiap kelompok yang muncul begitu mudahnya
terpecah, hanya karena permasalahn sepeleh. Setiap kelompok memiliki
pemimpin dan prinsip masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rozak,Anwar ,Rosihoa. Ilmu Kalam, cet.iv, (Bandung : CV.
PustakaSetia 2009)
Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta, Bulan Bintang, 2001)
Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, ( UI Press, 1986) jilid
II
Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir: dari klasik hingga modern, (Yogyakarta,
eLSAQ Press, 2010)
Muhammad Abu Zahrah, Tārīkh Al Mazahib Al Islamiayah fi As Siasah wa
Al Aqaid wa Tarikh al Mazahib Al Fiqhiyah

63
Ability : Journal of Education and Social Analysis
Volume 2, Issue 3, Juli 2021
Page : 52-64

Murtadha Muthahhari, Mengenal Ilmu Kalam :Cara Mudah Menembus


Kebuntuan Berpikir, (Jakarta, Pustaka Zahra, 2002)
Nunu Burhanuddin, Ilmu Kalam: Dari Tauhid Menuju Keadilan; Ilmu Kalam
Tematik, Klasik, dan Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2016)
Rosihon Anwar dan Saehudin, Akidah Akhlak, (Bandung, Pustaka Setia,
2016).

64

Anda mungkin juga menyukai