MAKALAH
DISUSUN OLEH:
Kelompok IV
Edon
Abdul Aziz
Wiwit cahya islami
Dwi Mitha Lestari
1
BAB I
PENDAHULUAN A.
Latar Belakang
Seiring dengan berputarnya zaman berbagai macam pemikiran manusia pun terus
berkembang, baik dari belahan bumi timur, barat, selatan dan utara semua menjadi dekat
dengan berbagai macam sarana kemajuan alat komunikasi.
Setiap manusia menyadari bahwa mereka tidaklah hidup sendiri, mereka senantiasa hidup
berdampingan dengan berbagai elemen masyarakat. Pelan tapi pasti berbagai pemikiran
manusia yang mulanya hanya seputar politik ataupun ekonomi kini pemikiran tersebut telah
menyentuh ranah agama.
Dizaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam jika ada pemikiran yang menyimpang
mengenai agama yang dibawanya tentu beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak akan tinggal
diam, apalagi mengatasnamakan Islam sebagi alirannya. Beliau awali dengan dakwah,
mengingatkan dengan kelemah lembutan beliau, hingga akhirnya peperangan pun tidak ragu
untuk beliau perintahkan kepada para sahabatnya. Sebagai contoh kecil adalah Musailamah Al-
Kadzab, Ia merupakan seseorang yang mengaku Nabi Palsu dizaman beliau
Berbagai macam fitnah telah Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam sabdakan sejak 1.400
tahun yang lalu, mengenai berbagai macam golongan-golongan sesat yang membangkang
kepada ajarannya. Dan yang menentang para Khulafaur Rasyidin dan memisahkan diri dari
kaum muslimin. Dengan berbagtai macam dalih hawa nafsu, merekapun membuat kelompok
baru dan sungguh benar apa yang dikatakan Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam pun benar-
benar terjadi, mulai dari dibunuhnya Sayyidina Umar Radhiallahu ‘Anhu ketika Sholat,
dibunuhnya Sayyidina Ustman Bin Affan oleh para pemberontak, hingga fitnah yang menimpa
Sayyidina Ali Radhiallahu ‘Anhu
Pada makalah ini kami selaku penyusun makalah secara ringkas Akan membahas
mengenai sejarah dan apapun yang berkaitan dengan Mu’tazilah dan Syi’ah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Inti dari Pemahaman Mu’tazilah?
2. Bagaimana Inti dari Pemahaman Syi’ah?
3. Bagaimana Sejarah Awal Mulanya Mu’tazilah dan Syi’ah Muncul?
C. Tujuan Penulisan
1. Agar kita mengetahui Inti Pemahaman Mu’tazilah.
2. Agar kita mengetahui Inti Pemahaman Syi’ah.
3. Agar Kita Bisa Memahami Awal Mula Munculnya Aliran Mu’tazilah dan
Syi’ah.
2
BAB II PEMBAHASAN
Perpecahan umat islam memang telah jauh-jauh hari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam sabdakan sejak 1.400 tahun yang lalu. Dan tidaklah seseorang itu berada pada
kebenaran kecuali kepada apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala, dan apa-apa yang
telah Rasulullah Shallallahu ‘Alihi Wasallam contohkan pada kita melalui sunnah-sunnahnya
yang mulia. Pembahasan kali ini penyusun makalah akan mengajak pembaca untuk menelusuri
aliran Mu’tazilah dan Syi’ah baik itu sejarahnya ataupun segala sesuatu yang berkaitan
dengannya.
A. Mu’tazilah
1. Sejarah Munculnya Mu’tazilah
Kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara
tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan
khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid
Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota
Madinah pada tahun 80 H dan mati pada tahun 131 H. Di dalam menyebarkan pemikiran
barunya dalam beragama, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyyah
kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran baru dalam agama, yaitu
mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah. (Lihat Firaq Mu’ashirah, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali
Awaji, 2/821, Siyar A’lam An-Nubala, karya Adz-Dzahabi, 5/464-465, dan Al-Milal
WanNihal, karya Asy-Syihristani hal. 46-48).
Oleh karena itu, tidaklah aneh bila kaidah nomor satu mereka berbunyi: “Akal lebih
didahulukan daripada syariat (Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’, pen) dan akal-lah sebagai kata
pemutus dalam segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal –menurut persangkaan
mereka– maka sungguh syariat tersebut harus dibuang atau ditakwil.1
2. Mengapa Disebut Mu’tazilah?
Mu’tazilah, secara etimologis bermakna: orang-orang yang memisahkan diri. Sebutan ini
mempunyai suatu kronologi yang tidak bisa dipisahkan dengan sosok Al-Hasan Al-Bashri,
salah seorang imam di kalangan tabi’in.
1
. Lihat kata pengantar kitab Al-Intishar Firraddi ‘alal Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 1/65. Perlu
diketahui bagi pembaca bahwa Ini merupakan kaidah yang batil, karena kalaulah akal itu lebih utama dari
syariat maka Allah subhaanahu wata'aala akan perintahkan kita untuk merujuk kepadanya ketika terjadi
perselisihan. Namun kenyataannya Allah perintahkan kita untuk merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah,
sebagaimana yang terdapat dalam Surat An-Nisa: 59. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah
subhaanahu wata'aala tidak akan mengutus para Rasul pada tiap-tiap umat dalam rangka membimbing mereka
menuju jalan yang benar sebagaimana yang terdapat dalam An-Nahl: 36. Kalaulah akal itu lebih utama dari
syariat maka akal siapakah yang dijadikan sebagai tolok ukur?! Dan banyak hujjah-hujjah lain yang
menunjukkan batilnya kaidah ini. Untuk lebih rincinya lihat kitab Dar’u Ta’arrudhil ‘Aqli wan Naqli, karya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan kitab Ash-Shawa’iq Al-Mursalah ‘Alal-Jahmiyyatil- Mu’aththilah, karya
Al-Imam Ibnul-Qayyim.)
3
Asy-Syihristani berkata: (Suatu hari) datanglah seorang laki-laki kepada Al-Hasan Al
Bashri seraya berkata: “Wahai imam dalam agama, telah muncul di zaman kita ini kelompok
yang mengkafirkan pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik). Dan dosa tersebut diyakini
sebagai suatu kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama, mereka adalah kaum
Khawarij.Sedangkan kelompok yang lainnya sangat toleran terhadap pelaku dosa besar (di
bawah dosa syirik), dan dosa tersebut tidak berpengaruh terhadap keimanan. Karena dalam
madzhab mereka, suatu amalan bukanlah rukun dari keimanan dan kemaksiatan tidak
berpengaruh terhadap keimanan sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh terhadap kekafiran,
mereka adalah Murji’ah umat ini. Bagaimanakah pendapatmu dalam permasalahan ini agar
kami bisa menjadikannya sebagai prinsip (dalam beragama)?”
Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir sejenak dalam permasalahan tersebut. Sebelum beliau
menjawab, tiba-tiba dengan lancangnya Washil bin Atha’ berseloroh: “Menurutku pelaku dosa
besar bukan seorang mukmin, namun ia juga tidak kafir, bahkan ia berada pada suatu keadaan
di antara dua keadaan, tidak mukmin dan juga tidak kafir.” Lalu ia berdiri dan duduk
menyendiri di salah satu tiang masjid sambil tetap menyatakan pendapatnya tersebut kepada
murid-murid Hasan Al-Bashri lainnya. Maka Al-Hasan Al-Bashri berkata: اص ل ِ ”اِعْتزَ ََ َل َعنَّا َو
“Washil telah memisahkan diri dari kita”, maka disebutlah dia dan para pengikutnya dengan
sebutan Mu’tazilah.2
Yang mereka maksud dengan At-Tauhid adalah mengingkari dan meniadakan sifat-sifat
Allah, dengan dalil bahwa menetapkan sifat-sifat tersebut berarti telah menetapkan untuk
masing- masingnya tuhan, dan ini suatu kesyirikan kepada Allah, menurut mereka (Firaq
Mu’ashirah, 2/832). Oleh karena itu mereka menamakan diri dengan Ahlut-Tauhid atau
AlMunazihuuna lillah (orang-orang yang mensucikan Allah).
2
. Al-Milal Wan-Nihal,hal.47-48. Pertanyaan itu pun akhirnya dijawab oleh Al-Hasan Al-Bashri dengan
jawaban Ahlussunnah Wal Jamaah: “Sesungguhnya pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik) adalah seorang
mukmin yang tidak sempurna imannya. Karena keimanannya, ia masih disebut mukmin dan karena dosa
besarnya ia disebut fasiq (dan keimanannya pun menjadi tidak sempurna).” (Lihat kitab Lamhah ‘Anil-Firaq
Adh-Dhallah, karya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal.42).
4
“Dan Allah tidak suka terhadap kerusakan.” (Al-Baqarah: 205)
Selain dari Lima landasan diatas, mu’tazilah juga memiliki banyak sekali pemikiran
lainnya, diantarannya adalah:
5
Mereka juga memvonis terhadap salah satu dari dua kelompok yang terlibat dalam
pertempuran Jamal dan Shiffin (dari kalangan shahabat dan tabi’in), bahwa mereka adalah
orang-orang fasiq (pelaku dosa besar) dan tidak diterima persaksiannya. Dan kita sudah tahu
prinsip mereka tentang pelaku dosa besar, di dunia tidak mukmin dan juga tidak kafir,
sedangkan di akhirat kekal abadi di dalam an-naar. Mereka memiliki pandangan bahwa
meniadakan sifat-sifat Allah, dengan alasan bahwa menetapkannya merupakan kesyirikan.
Namun ternyata mereka mentakwil sifat Kalam (berbicara) bagi Allah dengan sifat
Menciptakan, sehingga mereka terjerumus ke dalam keyakinan kufur bahwa Al-Qur’an itu
makhluq, bukan Kalamullah. Demikian pula mereka mentakwil sifat Istiwaa’ Allah dengan
sifat Istilaa’ (menguasai).3
B. SYI’AH
1. Sejarah Munculnya Syi’ah
Secara fisik, sulit dibedakan antara penganut Islam dengan Syi’ah. Akan tetapi jika diteliti
lebih dalam terutama dari sisi akidah, perbedaan di antara keduanya ibarat minyak dan air.
Sehingga tidak mungkin disatukan. Syiah menurut etimologi bahasa Arab bermakna pembela
dan pengikut seseorang, selain itu juga bermakna setiap kaum yang berkumpul diatas suatu
perkara. (Tahdzibul Lughah, 3/61 karya Azhari dan Taajul Arus, 5/405, karya Az-Zabidi)
Adapun menurut terminologi syariat, syiah bermakna mereka yang menyatakan bahwa Ali
bin Abu Thalib lebih utama dari seluruh sahabat dan lebih berhak untuk menjadi khalifah kaum
muslimin, begitu pula sepeninggal beliau (Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal karya
Ibnu Hazm). Syiah mulai muncul setelah pembunuhan khalifah Utsman bin ‘Affan. Pada masa
kekhalifahan Abu Bakar, Umar, masa-masa awal kekhalifahan Utsman yaitu pada masa
tahuntahun awal jabatannya, Umat Islam bersatu, tidak ada perselisihan. Kemudian pada akhir
kekhalifahan Utsman terjadilah berbagai peristiwa yang mengakibatkan timbulnya
3
. Novi Effendi, Mu'tazilah, Kelompok Sesat Pemuja Akal, Diringkas dari kitab Lamhah ‘Anil-Firaq Adh-
Dhallah, hal. 44-45. Penulis: Al Ustadz Ruwaifi' bin Sulaimi Lc
6
21Sep2011 Pukul : 9:52 AM. (http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=171) publish ulang
http://www.assunnah-qatar.com/artikel/manhaj/item/1070-mutazilah-kelompok-sesat-pemuja-akal.html 4 .
Abu Mushlih Ari Wahyudi, Beberapa Aliran Sesat, Artikel www.muslim.or.id
https://muslim.or.id/1963beberapa-aliran-sesat.html ,3 February 2010.
Perpecahan, muncullah kelompok pembuat fitnah dan kezhaliman, mereka membunuh Utsman,
sehingga setelah itu umat Islam pun berpecah-belah.
Dalam perkembangan selanjutnya, syi’ah Ali yang murni ini tidak bertahan lama dan pada
abad berikutnya menjadi sarang persembunyian para musuh, dan para pendengki Islam yang
hendak membuat makar terhadap Islam dan kaum muslimin.3
Pada masa kekhalifahan Ali juga muncul golongan syiah Akan tetapi mereka
menyembunyikan pemahaman mereka, mereka tidak menampakkannya kepada Ali dan para
pengikutnya.
1. Golongan yang menganggap Ali sebagai Tuhan. Ketika mengetahui sekte ini Ali
membakar mereka dan membuat parit-parit di depan pintu masjid Bani Kandah untuk
membakar mereka. Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab shahihnya, dari Ibnu Abbas ia
mengatakan, “Suatu ketika Ali memerangi dan membakar orang-orang zindiq (Syiah yang
menuhankan Ali). Andaikan aku yang melakukannya aku tidak akan membakar mereka
karena Nabi pernah melarang penyiksaan sebagaimana siksaan Allah (dibakar), akan tetapi
aku pasti akan memenggal batang leher mereka, karena Nabi bersabda:
”Siapa yang mengganti agamanya, bunuhlah dia.” (HR. Bukhari 3017, Nasai 4059, dan yang
lainnya).
2. Golongan Sabbah (pencela). Ali mendengar tentang Abu Sauda (Abdullah bin
Saba’) bahwa ia pernah mencela Abu Bakar dan Umar, maka Ali mencarinya. Ada yang
mengatakan bahwa Ali mencarinya untuk membunuhnya, akan tetapi ia melarikan diri
3
. Tim penulis MUI Pusat, Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan SYI’AH di
Indonesia.(FORMAS, (Forum Masjid Ahlussunnah:tth) hal ; 30-31.
7
3. Golongan Mufadhdhilah, yaitu mereka yang mengutamakan Ali atas Abu Bakar dan
Umar. Padahal telah diriwayatkan oleh Imam Tirmizi dan yang lainnya meriwayatkan sebuah
hadits secara marfû’ dari Ali Radhiyallahu anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
ketika Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu
anhuma sedang berjalan menuju Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu
‘Alaihi wa sallam bersabda :
“Dua orang ini merupakan dua tokoh tua4 penduduk surga dari orang-orang yang terdahulu
sampai yang terakhir. Wahai Ali! Janganlah kamu beritahukan hal ini kepada mereka“,(HR
at-Tirmizdi ( 4/310)).
Riwayat semacam ini dibawakan oleh imam Bukhari dalam kitab shahihnya, dari
Muhammad bin Hanafiyyah bahwa ia bertanya kepada ayahnya, siapakah manusa terbaik
setelah Rasulullah, ia menjawab Abu Bakar, kemudian siapa? dijawabnya, Umar.
Dalam sejarah syiah mereka terpecah menjadi lima sekte yang utama yaitu Kaisaniyyah,
Imamiyyah (rafidhah), Zaidiyyah, Ghulat dan Ismailliyah. Dari kelima sekte tersebut lahir
sekian banyak cabang-cabang sekte lainnya.
Dari lima sekte tersebut yang paling penting untuk diangkat adalah sekte imamiyyah atau
rafidhah yang sejak dahulu hingga saat ini senantiasa berjuang keras untuk menghancurkan
islam dan kaum muslimin, dengan berbagai cara kelompok ini terus berusaha menyebarkan
berbagai macam kesesatannya, terlebih setelah berdirinya negara syiah, Iran yang
menggulingkan rezim Syah Reza Pahlevi.
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa
Rafidhah itu?” Maka beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang mencela Abu Bakr
dan Umar.” (ash-Sharimul Maslul ‘Ala Syatimir Rasul hlm. 567, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah)
Sebutan “Rafidhah” ini erat kaitannya dengan Zaid bin ‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin Abu
Thalib dan para pengikutnya ketika memberontak kepada Hisyam bin Abdul Malik bin
Marwan di tahun 121 H. (Badzlul Majhud, 1/86)
Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari berkata, “Tatkala Zaid bin ‘Ali muncul di Kufah, di
tengahtengah para pengikut yang membai’atnya, ia mendengar dari sebagian mereka celaan
4
. Ini diungkapkan dengan menggunakan istilah saat mereka berada di dunia, karena di surga tidak ada
yang tua
8
terhadap Abu Bakr dan ‘Umar. Ia pun mengingkarinya, hingga akhirnya mereka (para
pengikutnya) meninggalkannya. Maka beliaupun mengatakan kepada mereka:
Maka dikatakanlah bahwa penamaan mereka dengan Rafidhah dikarenakan perkataan Zaid
kepada mereka “Rafadhtumuunii.” (MaqalatulIslamiyyin, 1/137). Demikian pula yang
dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa (13/36). Pencetus paham
syiah ini adalah seorang yahudi dari negeri Yaman (Shan’a) yang bernama Abdullah bin saba’
al-himyari, yang menampakkan keislaman di masa kekhalifahan Utsman bin Affan. Abdullah
bin Saba’ mengenalkan ajarannya secaraterang-terangan, ia kemudian menggalang massa,
mengumumkan bahwa kepemimpinan (imamah) sesudahNabi Muhammad seharusnya jatuh
ketangan Ali bin Abi Thalib karena petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihiwasallam (menurut
persangkaan mereka). Menurut Abdullah bin Saba’, Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman
telah mengambil alih kedudukan tersebut. Dalam Majmu’ Fatawa, 4/435, Abdullah bin Shaba
menampakkan sikap ekstrem di dalam memuliakan Ali, dengan suatu slogan bahwa Ali yang
berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari segala
dosa).
9
Rafidhah pasti Syi’ah, sedangkan Syi’ah belum tentu Rafidhah. Karena tidak semua Syi’ah
membenci Abu Bakr dan ‘Umar sebagaimana keadaan Syi’ah Zaidiyyah, sekte syiah yang
paling ringan kesalahannya.5
3. Faham Tentang Kedudukan Imam Syi’ah
Ajaran Syi’ah menyatakan bahwa para imam mereka memiliki derajat yang lebih tinggi
dari para Nabi dan Rasul. Imam Khumaini (imam mereka) menyatakan bahwa, ‘Sesungguhnya
imam mempunyai kedudukan yang terpuji, derajat yang mulia dan kepemimpinan mendunia,
dimana seisi alam ini tunduk dibawah wilayah kekuasaanya. Dan termasuk para Imam kita
mempunyai kedudukan yang tidak bisa dicapai oleh malaikat muqarrabin ataupun nabi yang
diutus”.6
4. Nikah Mut’ah
Menutut Syi’ah, nikah mut’ah boleh bahkan Akan mendapat pahala yang besar. Ulama
Syi’ah menyatakan bahwa nikah mut’ah (kawin kontrak) tidak perlu mempedulikan apakah si
wanita punya suami atau tidak. Boleh juga nikah mut’ah dengan pelacur.9 Nuri Al-Thabarsi
(ulama Syi’ah), menjelaskan bahwa dalam nikah mut’ah boleh dengan wanita bersuami asal
dia mengaku tidak punya suami.7
5. Pemahaman Syi’ah Mengenai Al-Qur’an
Berhubung mereka sangat membenci dan bahkan mengkafirkan para sahabat dan istri-istri
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, sudah tidak heran jika mereka akhirnya mempunyai
pandangan baru dalam memahami Al-Qur’an. Menurut seorang ulama Syi’ah al-Mufid dalam
kitab Awail al-Maqalat, menyatakan bahwa Al-Qur’an yang ada saat ini tidak orisinil.
AlQur’an sekarang sudah mengalami distorsi, penambahan dan pengurangan.11 Hal senada juga
dikatakan imam-imam mereka seperti Al-Qummi seorang tokoh mufassir Syi’ah, Ahmad bin
Ali al-Thabarsi seorang tokoh syi’ah abad ke 6 H, Ni’matullah al-Jazairi dll.
Kiranya salah satu ulama mashur di negri kita sudah cukup untuk memberikan
pengetahuan pada kita Akan extreme dan alangkah bahayanya ajaran mereka tersebut, adalah
Ra’is Akbar Nahdlatul Ulama Hadratu Syaikh Hasyim Asy’ari rahimahullah (1875-1947) yang
berfatwa mengenai aliran ini, berikut fatwa beliau,
“Di antara mereka juga ada golongan Rafidhah yang suka mencac Sayidina Abu Bakar
dan Umar radhiyallahuanhuma., membenci para sahabat nabi dan berlebihan dalam mencintai
Sayidina Ali da anggota keluarganya, semoga Allah meridhai mereka semua. Berkata Sayyid
5
. [Disusun dari dari berbagai sumber, di antaranya kitab Al-Furqon Bainal Haq Wal Batil tulisan Syaikhul
Islam IbnuTaimiyyah, judul bahasa indonesia “Membedah Firqoh Sesat” penerbit Al-Qowam]
https://muslim.or.id/8770-sejarah-kemunculan-syi.html
6
. Ayatullah Khumaini, Al-Hukumat Al-Islamiyyah, Hal:52. Lihat Tim penulis MUI Pusat, Mengenal
dan Mewaspadai Penyimpangan SYI’AH di Indonesia.(FORMAS, (Forum Masjid Ahlussunnah:tth) hal ; 76. 9
. Al-Khumaini, Tahrir Al-Wasilah, vol.2/216. Ibid, hal: 81.
7
. Nuri Ath-Thabarsi, Mustadrak Al-Wasail, Hal. 485. Ibid. 11
. al- Mufid, Awail al-Maqalaat, Hal. 80-81. Ibid, hal : 45.
10
Muhammad dalam Syarah Qamus, sebagian mereka bahkan sampai pada tingkatan kafir dan
zindiq, semoga Allah melindungi kita dan umat Islam dari aliran ini.
Berkata Al Qadhi Iyadh dalam kitab AsySyifa bi Ta’rif Huquq Al Musthafa, dari Abdillah ibn
Mughafal, Rasulullah shallallahul’aihiwasallam bersabda: Takutlah kepada Allah, takutlah
kepada Allah mengenai sahabat-sahabatku. Janganlah kamu menjadikan mereka sebagai
sasaran caci maki sesudah aku tiada. Barangsiapa mencintai mereka, maka semata-mata karena
mencintaiku. Dan barangsiapa membenci mereka, maka berarti semata-mata karena
membenciku. Dan barangsiapa menyakiti mereka berarti dia telah menyakiti aku, dan
barangsiapa menyakiti aku berarti dia telah menyakiti Allah. Dan barangsiapa telah menyakiti
Allah dikhawatirkan Allah Akan menghukumnya. (Hadits riwayat Tirmidzi dalam Sunan At-
Tirmidzi Juz V hal. 696 hadits no.3762). Rasulullah shallallahu’alayhi wasallam bersabda:
“Janganlah kamu mencela para sahabatku, Maka siapa yang mencela mereka, atasnya laknat
dari Allah, para malaikat dan seluruh manusia. Allah Ta’ala tidak Akan menerima amal darinya
pada hari kiamat, baik yang wajib maupun yang Sunnah.” (HR. Abu Nu’aim, Al-Thabrani dan
8
. Tim penulis MUI Pusat, Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan SYI’AH di
Indonesia.(FORMAS, (Forum Masjid Ahlussunnah:tth) hal ; 133-136.
11
Kaisaniyyah, Imamiyyah (rafidhah), Zaidiyyah, Ghulat dan Ismailliyah. Dari kelima sekte
tersebut lahir sekian banyak cabang-cabang sekte lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
As-syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, (bina ilmu;2009)
12