Anda di halaman 1dari 15

MU’TAZILAH DAN MURJIAH

TOKOH DAN AJARANNYA

MAKALAH

Oleh:

1. RUDI ZULFITRI
2. SELVY ASVANIA

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SYAIKH ABDURRAHMAN SIDDIK
BANGKA BELITUNG
2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, dengan
ini kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada
kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang kami beri judul " Mu’tazilah dan
Murjiah; Tokoh dan ajarannya ".
Adapun makalah tentang " Mu’tazilah dan Murjiah; Tokoh dan ajarannya " ini telah
kami usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan dari banyak pihak, sehingga
dapat memperlancar proses pembuatan makalah ini. Oleh sebab itu, kami juga ingin
menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak terutama Dosen
Pengajar dan teman-teman sejawad yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.
Akhirnya penyusun mengharapkan semoga dari makalah ini dapat diambil manfaatnya
sehingga dapat memberikan inpirasi terhadap pembaca. Selain itu, kritik dan saran dari Anda kami
tunggu untuk perbaikan makalah ini nantinya.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, terdapat berbagai aliran pemikiran kalam. Diawali
oleh pertentangan politik antara Ali bin Abi Thalib dan Mu‘awiyah bin Abi Sufyan –yang berujung pada
peristiwa tahkim- mencuatlah pertentangan-pertentangan teologis di kalangan umat Islam. Sebagai akibat
adanya konsensus tahkim tersebut, muncullah aliran teologi yang pertama dalam sejarah Islam, yaitu
Khawarij.
Dalam pandangan Khawarij, penyelesaian sengketa antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu‘awiyah
yang berakhir dengan tahkim tersebut bukanlah penyelesaian yang sesuai dengan tuntunan Allah dalam al-
Qur’an. Dengan berpijak pada QS. al-Maidah [5]: 44, mereka menganggap orang-orang yang menerima
tahkim, sebagai pelaku dosa besar dan dihukumi telah kafir. Atas pernyataan aliran Khawarij tersebut,
kemudian muncul aliran kedua, yaitu
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu
adalah orang-orang kafir”.
Murji‘ah, sebagai antitesa bagi Khawarij. Aliran ini berpendapat bahwa orang mukmin yang
melakukan dosa besar tidaklah menjadi kafir melainkan tetap mukmin, karena ia masih memiliki harapan
mendapatkan ampunan dari Allah, dan pembicaraan mengenai statusnya pun ditangguhkan sampai hari akhir.
Disebabkan perdebatan kedua aliran tersebut, kemudian muncul aliran Mu‘tazilah dengan paham
posisi tengah. Aliran ini tidak menyebut pelaku dosa besar sebagai kafir sebagaimana aliran Khawarij, juga
tidak menyebut mukmin sebagaimana golongan Murji‘ah. Namun, mereka memberikan predikat kepada
pelaku dosa besar sebagai fasiq.
Semua ajaran Islam, khususnya tauhid yang dibahas dalam ilmu kalam tersebut bersumber dari al-
Qur’an dan al-hadith. Seluruh aliran kalam, baik Khawarij, Murji‘ah, Mu‘tazilah, maupun Ash‘ariyah dan
Maturidiyah, mendasarkan pandangan dan pendapat-pendapat mereka kepada kedua sumber ajaran Islam
tersebut. Namun demikian, pandangan dan pendapat-pendapat mereka berpijak dan berdasar atas sumber yang
sama, disebabkan oleh perbedaan interpretasi dan pemahaman terhadap kedua sumber tersebut, menghasilkan
pemahaman yang berbeda, yang kemudian menimbulkan aliran kalam yang
berbeda pula.
Pendapat-pendapat yang diambilnya dari berbagai aliran mungkin dikompromikan dan mungkin
sebaliknya, dipilih salah satu yang dianggap paling –mendekati- benar. Dengan demikian, pandangan dan
pemikiran yang berbeda dengan mainstream, bahkan yang bertentangan dimungkinkan sering muncul.
Artinya, berbagai kemungkinan jawaban dapat ditemukan dalam penelitian ini, yang mungkin tidak sesuai
dengan asumsi-asumsi yang muncul sebelumnya.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah pada makalah Ajaran dan Tokoh
Mu’tazilah dan Murji’ah sebagai berikut :
1. Bagaimana sejarah munculnya ajaran Mu’tazilah dan Murji’ah?
2. Siapa saja tokoh di balik ajaran-ajaran Mu’tazilah dan Murji’ah?
BAB II
PEMBAHASAN

I. MU’TAZILAH
A. Munculnya golongan atau kelompok Mu’tazilah
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut
muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa
pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya
adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’
Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha’ berpendapat bahwa muslim
berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat
mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan
perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan
kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya.
kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa
khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli
kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah).
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berisah atau memisahkan diri,
yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk ada dua
golongan.
Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini
tumbuh sebahai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani
pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan
Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah
karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik
tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh dikemudian hari.
Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang
berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul
karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status
kafir kepada yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah II inilah yang akan dikaji dalam bab ini yang sejarah
kemunculannya memiliki banyak versi.

B. Tokoh-Tokoh Aliran Mu’Tazilah serta Ajarannya


1. Wasil bin Atha.
Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran Muktazilah.
Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain, paham
Kadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariah), dan paham
peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Muktazilah,
yaitu al-manzilah bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.
2. Abu Huzail al-Allaf.
Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha, mendirikan sekolah
Mu’tazilah pertama di kotaBashrah. Lewat sekolah ini, pemikiran Mu’tazilah dikaji dan
dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran
dan hukum Islam.
Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti Abbasiyah).
Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara. Dukungan politik dari pihak rezim makin
mengokohkan dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang, tragedi mihnah telah mencoreng
madzhab rasionalisme dalam Islam ini.
Abu Huzail al-Allaf adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak falsafah yunani dan itu
memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Muktazilah yang bercorak filsafat. Ia antara lain
membuat uraian mengenai pengertian nafy as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha
Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-
Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan
seterusnya. Penjelasan dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang kadim
selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan),
berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa kepada kemusyrikan. Ajarannya yang lain adalah
bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar digunakan untuk membedakan yang
baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan
yang buruk. Dengan akal itu pula menusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan
dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar dari
ajaran as-salãh wa al-aslah.
3. Al-Jubba’i.
Al-Jubba’I adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah. Pendapatnya yang
masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya
akal. Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau
dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan
mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia
membaginya ke dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia
melalui akalnya (wãjibah ‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melaui ajaran-ajaran
yang dibawa para rasul dan nabi (wãjibah syar’iah).
4. An-Nazzam
An-Nazzam : pendapatnya yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu
Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini berpendapat lebih jauh dari
gurunya, al-Allaf. Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada
hamba-Nya, maka an-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan
Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa pebuatan zalim
hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan
yang demikian. Ia juga mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat al-Quran. Menurutnya,
mukjizat al-quran terletak pada kandungannya, bukan pada uslūb (gaya bahasa) dan balāgah
(retorika)-Nya. Ia juga memberi penjelasan tentang kalam Allah SWT. Kalam adalah segalanya
sesuatu yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Karena itu, kalam adalah sesuatu yang
bersifat baru dan tidak kadim.
5. Al- jahiz
Al- jahiz : dalam tulisan-tulisan al-jahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai paham naturalism atau
kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum muktazilah disebut Sunnah Allah. Ia antara lain
menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia
itu sendiri, malainkan ada pengaruh hukum alam.
6. Mu’ammar bin Abbad
Mu’ammar bin Abbad : Mu’ammar bin Abbad adalah pendiri muktazilah aliran Baghdad.
pendapatnya tentang kepercayaan pada hukum alam. Pendapatnya ini sama dengan pendapat al-
jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi. Adapun al-‘arad atau
accidents (sesuatu yang datang pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam. Misalnya,
jika sebuah batu dilemparkan ke dalam air, maka gelombang yang dihasilkan oleh lemparan batu
itu adalah hasil atau kreasi dari batu itu, bukan hasil ciptaan Tuhan.
7. Bisyr al-Mu’tamir
Bisyr al-Mu’tamir : Ajarannya yang penting menyangkut pertanggungjawaban perbuatan
manusia. Anak kecil baginya tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat
kelak karena ia belum *mukalaf. Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu mengulangi
lagi berbuat dosa besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya
yang terdahulu.
8. Abu Musa al-Mudrar
Abu Musa al-Mudrar : al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin muktazilah yang sangat ekstrim,
karena pendapatnya yang mudah mengafirkan orang lain.Menurut Syahristani,ia menuduh kafir
semua orang yang mempercayai kekadiman Al-Quran. Ia juga menolak pendapat bahwa di
akhirat Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala.
9. Hisyam bin Amr al-Fuwati
Hisyam bin Amr al-Fuwati : Al-Fuwati berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga dan neraka
hanyalah ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alas$an yang dikemukakan adalah tidak ada
gunanya menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum waktunya orang memasuki surga
dan neraka.

C. Beberapa Versi Tentang Nama Mu’tazilah


Beberapa versi tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada golongan kedua ini berpusat pada
peristiwa yang terjadi antara wasil bin ata serta temannya, Amr bin Ubaid, dan hasan Al-Basri di
basrah. Ketika wasil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al Basri di masjid Basrah.,
datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al Basri tentang orang yang berdosa
besar. Ketika Hasan Al Basri masih berpikir, hasil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan
“Saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir,
tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.” Kemudian wasil
menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan pergi ke tempat lain di lingkungan mesjid. Di sana wasil
mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini, Hasan Al Basri
berkata: “Wasil menjauhkan diri dari kita (i’tazaala anna).” Menurut Asy-Syahrastani, kelompok
yang memisahkan diri dari peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan oleh Al-Baghdadi. Ia mengatakan bahwa Wasil dan temannya, Amr
bin Ubaid bin Bab, diusir oleh Hasan Al Basri dari majelisnya karena adanya pertikaian diantara
mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan
Al Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir.
Oleh karena itu golongan ini dinamakan Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin Da’mah pada
suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya
adalah majlis Hasan Al Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan
Al Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itulah
kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.
Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa
menyangkut-pautkan dengan peristiwa antara Wasil dan Hasan Al Basri. Mereka diberi nama
Mu’tazilah, katanya, karena berpendapat bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan
pula kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir dan mukmin (al-manjilah bain al-manjilatain).
Dalam artian mereka member status orang yang berbuat dosa besar itu jauh dari golongan mukmin
dan kafir.

D. Ajaran yang Diajarkan oleh Golongan Mu’tazilah


Ada beberapa ajaran yang di ajarkan oleh golongan Mu’tazilah yaitu misalnya: Al – ‘adl
(Keadilan). Yang mereka maksud dengan keadilan adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu
datang dari Allah, sedangkan. Dalilnya kejelekan datang dari makhluk dan di luar kehendak
(masyi’ah) Allah adalah firman Allah : “Dan Allah tidak suka terhadap kerusakan.” (Al-Baqarah:
205) “Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya”. (Az-Zumar:7) Menurut mereka
kesukaan dan keinginan merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga mustahil bila
Allah tidak suka terhadap kejelekan, kemudian menghendaki atau menginginkan untuk terjadi
(mentaqdirkannya) oleh karena itu merekan menamakan diri mereka dengan nama Ahlul ‘Adl atau
Al – ‘Adliyyah. Al-Wa’du Wal-Wa’id. Yang mereka maksud dengan landasan ini adalah bahwa
wajib bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke
dalam Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di
bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi
Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah.
Kaum mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih
mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum khawarij dan
murji’ah. dalam pembahasan , mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama
“kaum rasionalis Islam”.
Aliran mu’tazilah merupakan aliran teologi Islam yang terbesar dan tertua, aliran ini telah
memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia Islam. Orang yang ingin mempelajari
filsafat Islam sesungguhnya dan yang berhubungan dengan agama dan sejarah Islam, haruslah
menggali buku-buku yang dikarang oleh orang-orang mu’tazilah, bukan oleh mereka yang lazim
disebut filosof-filosof Islam.
II. MURJI’AH
A. Awal Kemunculan Aliran Murji’ah
Asal usul kemunculan kelompok Murji’ah dapat dibagi menjadi 2 sebab yaitu:
1. Permasalahan Politik
Ketika terjadi pertikaian antara Ali dan Mu’awiyah, dilakukanlah tahkim (arbitrase) atas
usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Mu’awiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi 2 kubu,
yang pro dan kontra. Mereka memandang bahwa tahkim bertentangan dengan Al-Qur’an,
dengan pengertian, tidak ber-tahkim dengan hukum Allah. Oleh karena itu mereka
berpendapat bahwa melakukan tahkim adalah dosa besar, dan pelakunya dapat dihukumi kafir,
sama seperti perbuatan dosa besar yang lain.
Seperti yang telah disebutkan di atas Kaum khawarij, pada mulanya adalah penyokong
Ali bin Abi thalib tetapi kemudian berbalik menjadi musuhnya. Karena ada perlawanan ini,
pendukung-pendukung yang tetap setia pada Ali bin Abi Thalib bertambah keras dan kuat
membelanya dan akhirnya mereka merupakan golongan lain dalam islam yang dikenal dengan
nama Syi’ah.
Dalam suasana pertentangan inilah, timbul suatu golongan baru yang ingin bersikap
netral tidak mau turut dalam praktek kafir mengkafirkan yang terjadi antara golongan yang
bertentangan ini. Bagi mereka sahabat-sahabat yang bertentangan ini merupakan orang-orang
yang dapat dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu mereka tidak
mengeluarkan pendapat siapa sebenarnya yang salah, dan lebih baik menunda (arja’a) yang
berarti penyelesaian persoalan ini di hari perhitungan di depan Tuhan.
Gagasan irja’ atau arja yang dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan
menjamin persatuan dan kesatuan umat islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga
bertujuan menghindari sekatrianisme.
2. Permasalahan Ke-Tuhanan
Dari permasalahan politik, mereka kaum Mur’jiah pindah kepada permasalahan
ketuhanan (teologi) yaitu persoalan dosa besar yang ditimbulkan kaum khawarij, mau tidak
mau menjadi perhatian dan pembahasan pula bagi mereka. Kalau kaum Khawarij menjatuhkan
hukum kafir bagi orang yang membuat dosa besar, kaum Murji’ah menjatuhkan hukum
mukmin.
Pendapat penjatuhan hukum kafir pada orang yang melakukan dosa besar oleh kaum
Khawarij ditentang sekelompok sahabat yang kemudian disebut Mur’jiah yang mengatakan
bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada
Allah, apakah dia akan mengampuninya atau tidak.
Aliran Murji’ah menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam
peristiwa tahkim itu di hadapan Tuhan, karena hanya Tuhan-lah yang mengetahui keadaan
iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar masih di anggap
mukmindi hadapan mereka. Orang mukmin yang melakukan dosar besar itu dianggap tetap
mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Dengan
kata lain bahwa orang mukmin sekalipun melakukan dosa besar masih tetap mengucapkan dua
kalimat syahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu, orang tersebut masih
tetap mukmin, bukan kafir.
Pandangan golongan ini dapat dilihat terlihat dari kataMurji’ah itu sendiri yang berasal
dari kata arja’a yang berarti orang yang menangguhkan, mengakhirkan dan memberikan
pengaharapan. Menangguhkan berarti bahwa mereka menunda soal siksaan seseorang di
tangan Tuhan, yakni jika Tuhan mau memaafkan ia akan langsung masuk surga, sedangkan
jika tidak, maka ia akan disiksa sesuai dengan dosanya, setelah ia akan dimasukkan ke dalam
surga. Dan mengakhirkan dimaksudkan karena mereka memandang bahan perbuatan atau
amal sebagai hal yang nomor dua bukan yang pertama. Selanjutnya kata menangguhkan,
dimaksudkan karena mereka menangguhkan keputusan hukum bagi orang-orang yang
melakukan dosa di hadapan Tuhan.
Golongan Murji’ah berpendapat bahwa yang terpenting dalam kehidupan beragama
adalah aspek iman dan kemudian amal. Jika seseorang masih beriman berarti dia tetap
mukmin, bukan kafir, kendatipun ia melakukan dosa besar. Adapun hukuman bagi dosa besar
itu terserah kepada Tuhan, akan ia ampuni atau tidak. Pendapat ini menjadi doktrin ajaran
Murji’ah.
Nama Murji’ah diambil dari irja’ atau arja’a yang bermakna penundaan, penengguhan,
dan pengharapan. Kata Arja’a mengandung pula arti memberi harapan, yakni memberi
harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Alloh. Selain
itu, arja’a berarti pula meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang
mengemudikan amal dari iman. Oleh karena itu Murji’ah, artinya orang yang menunda
penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya
masing-masing ke hari kiamat kelak.
Pendapat lain asal-usul atau timbulnya aliran Murji’ah adalah al-Irja’a yang mempunyai
dua arti, yaitu :
1. At Taakhir, yang artinya mengkemudiankan atau menunda. Pengertian ini menunjukkan
bahwa aliran Murji’ah menunda amal dari niat.
2. I’thoarojaah, maksudnya memberi pengharapan. Pengertian ini menunjukkan bahwa
iman seseorang itu tidak rusak karena perbuatan dosa, begitu pula perbuatan kafir tidak
merusak ketaatan.

B. Sekte-Sekte Aliran Murji’ah dan Para Tokohnya


Kemunculan sekte-sekte dalam kelompok Murji’ah tampaknya dipicu oleh perbedaan
penadapat di kalangan para pendukung Murji’ah sendiri. Dalam hal ini, terdapat problem yang
cukup mendasar ketika para pengamat mengklasifikasikan sekte-sekte Murji’ah.
Pada umunmnya kaum Murji’ah di golongkan menjadi dua golongan besar, yaitu Golongan
Moderat dan golongan Ekstrim.
a. Golongan Moderat
Tokoh-tokoh kelompok moderat adalah Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib,
Abu Hanifah (Imam Hanafi), Abu Yusuf dan beberapa ahli hadits. Golongan moderat
berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka.
Tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada
kemungkinan bahwa tuhan akan mengampuni dosanya dan oleh karena itu tidak akan masuk
neraka sama sekali.
Golongan Murji’ah yang moderat ini termasuk Al-Hasan Ibn Muhammad Ibn ’Ali
binAbi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli Hadits. Menurut golongan ini,
bahwa orang islam yang berdosa besar masih tetap mukmin. Dalam hubungan ini Abu
Hanifah memberikan definisi iman sebagai berikut: iman adalah pengetahuan dan pengakuan
adanya Tuhan, Rasul-rasul-Nya dan tentang segala yang datang dari Tuhan dalam
keseluruhan tidak dalam perincian; iman tidak mempunyai sifat bertambah dan berkurang,
tidak ada perbedaan manusia dalam hal iman.
Dengan gambaran serupa itu, maka iman semua orang islam di anggap sama, tidak ada
perbedaan antara iman orang islam yang berdosa besar dan iman orang islam yang patuh
menjalankan perintah-perinyah Allah. Jalan pikiran yang dikemukakan oleh Abu Hanifah itu
dapat membawa kesimpulan bahwa perbuatan kurang penting dibandingkan dengan iman.
b. Golongan Murji’ah Ekstrim
Adapun yang termasuk ke dalam kelompok ekstrim adalah Al-Jahmiyah, Ash-
Shalihiyah, Al-Yunusiyah, Al-Ubaidiyah dan Al-Hasaniyah, Al-Ghailaniyah, As-
Saubaniyah, Al-Marisiyah, dan Al-Karamiyah. Pandangan tiap kelompok ini dapat
dijelaskan sebagi berikut:
 Kelompok Al-Jahmiyah
Adapun golongan Murji’ah ekstrim adalah Jahm bin Safwan dan pengikutnya disebut al-
Jahmiah. Golongan ini berpendapat bahwa orang Islam yang percaya pada Tuhan,
kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan, tidaklah menjadi kafir, karena kafir
dan iman tempatnya bukan dalam bagian tubuh manusia tetapi dalam hati sanubari. Lebih
lanjut mereka mengatakan bahwa orang yang telah menyatakan iman, meskipun
menyembah berhala, melaksanakan ajaran-ajaran agama Yahudi degan menyembah
berhala atau Kristen dengan menyembah salib, menyatakan percaya pada trinitas,
kemudian mati, tidaklah menjadi kafir, melainkan tetap mukmin dalam pandangan Allah.
Dan orang yang demikian bagi Allah merupakan mukmin yang sempurna imannya.
 Kelompok Ash-Shalihiyah
Bagi kelompok pengikut Abu Al-Hasan Al-Salihi iman adalah megetahui Tuhan danKufr
adalah tidak tahu pada Tuhan. Dalam pengertian bahwa mereka sembahyang tidaklah
ibadah kepada Allah, karena yang disebut ibadat adalah iman kepadanya, dalam arti
mengetahui Tuhan. Begitu pula zakat, puasa dan haji bukanlah ibadah melainkan sekedar
mengamabrkan kepatuhan.
 Kelompok Al-Yunusiyah
Kaum Yunusiyah yaitu pengikut- pengikut Yunus ibnu ’Aun an Numairi berpendapat
bahwa ”iman” itu adalah mengenai Allah, dan menundukkan diri padanya dan
mencintainya sepenuh hati. Apabila sifat-sifat tersebut sudah terkumpul pada diri
seseorang, maka dia adalah mukmin. Adapun sifat-sifat lainnya, seperti “taat” misalnya,
bukanlah termasuk iman, dan orang yang meninggalkan bukanlah iman, dan orang yang
meninggalkan ketaatan tidak akan disiksa karenanya, asalkan saja imannya itu benar-
benar murni dan keyakinannya itu betul- betul benar.
 Kelompok Al-Ubaidiyah
Al-Ubaidiyah di pelopori oleh Ubaid Al-Muktaib. Pada dasarnya pendapat mereka sama
dengan sekte Al-Yunusiyah. Melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat atau
perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan
perbuatan- perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan.
Dalam hal ini, Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat banyak atau
sedikit, tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik (politheist).
 Kelompok Al-Hasaniyah
Kelompok ini mengatakan bahwa, ”saya tahu tuhan melarang makan babi, tetapi saya
tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini,” maka orang tersebut
tetap mukmin bukan kafir. Begitu pula orang yang mengatakan ”saya tahu Tuhan
mewajibkan naik haji ke Ka’bah, tetapi saya tidak tahu apakah Ka’bah di India atau di
tempat lain”, orang yang demikian juga tetap mukmin.
 Al-Ghailaniyah
Al-Ghailaniyah di pelopori oleh Ghailan Ad-Dimasyqi. Menurut mereka, iman adalah
ma’rifat kepada Allah SWT melalui nalar dan menunjukkan sikap mahabah dan tunduk
kepada-Nya.
 As-Saubaniyah
As-Saubaniyah yang dipimpin oleh Abu Sauban mempunyai prinsip ajaran yang sama
dengan paham Al-Ghailaniyah. Hanya mereka menambahkan bahwa yang termasuk iman
adalah mengetahui dan mengakui sesuatu yang menurut akal wajib dikerjakan. Berarti,
kelompok ini mengakui adanya kewajiban-kewajiban yang dapat diketahui akal sebelum
datangnya syari’at.
 Al-Marisiyah
Al-Marisiyah di pelopori oleh Bisyar Al-Marisi. Menurut paham ini, iman disamping
meyakini dalam hati bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad SAW itu
rasul-Nya, juga harus di ucapkan secara lisan. Jika tidak di yakini dalam hati dan
diucapkan dengan lisan, maka bukan iman namanya. Adapun kufur merupakan kebalikan
dari iman.
 Al-Karamiyah
Al-Karamiyah yang perintisnya adalah Muhammad bin Karram mempunyai pendapat
bahwa iman adalah pengakuan secara lisan dan kufur adalah pengingkaran secara lisan.
Mukmin dan kafirnya sesseorang dapat di ketahui melalui pengakuannya secara lisan.
Sebagai aliran yang berdiri sendiri, kelompok Murji’ah ekstrem sudah tidak didapati lagi
sekarang. Walaupun demikian, ajaran-ajarannya yang ekstrem itu masih didapati pada
sebagian umat Islam. Adapun ajaran-ajaran dari kelompok Murji’ah moderat, terutama
mengenai pelaku dosa-dosa besar serta pengertian iman dan kufur, menjadi ajaran yang
umum disepakati oleh umat Islam.

C. PAHAM-PAHAM ALIRAN MURJI’AH


Ajaran pokok Murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin irja’at au arja’a
yang diaplikasikan dalam banyak persoalan, baik persoalan politik maupun persoalan teologis.
Dibidang politik, doktrinirja’ diimplementasikan dengan sikap politik netral atau nonblok, yang
hampir selalu diekspresikan dengan sikap diam. Itulah sebabnya, kelompokMurji’ah di kenal pula
denganThe Queitists (kelompok bungkam). Sikap ini akhirnya berimplikasi jauh sehingga
membuatMurji’ah selalu diam dalam persoalan politik.
Secara umum kelompok Murji’ah menyusun teori-teori keagamaan yang independen, sebagai
dasar gerakannya, yang intisarinya sebagai berikut : (menurut Abu A’la Al-Maududi)
1. Iman
Adalah cukup dengan mengakui dan percaya kepada Allah dan Rasulnya saja. Adapun amal
atau perbuatan, tidak merupakan sesuatu keharusan bagai adanya iman. Berdasarkan hal ini,
seseorang tetap dianggap sebagai mukmin walaupun ia meninggalkan apa yang difardhukan
kepadanya dan melakukan perbuatan-perbuatan dosa besar.
2. Dasar keselamatan
Adalah iman semata-mata. Selama masih ada iman dihati, maka setiap maksiat tidak akan
mendatangkanmudharat ataupun gangguan atas diri seseorang. Untuk mendapatkan
pengampunan, manusia hanya cukup dengan menjauhkan diri syirik dan mati dalam keadaan
akidah tauhid.
Dengan kata lain, kelompok murji’ah memandang bahwa perbuatan atau amal tidaklah
sepenting iman, yang kemudian menngkat pada pengertian bahwa, hanyalah imanlah yang penting
dan yang menentukan mukmin atau tidak mukminnya seseorang; perbuatan-perbuatan tidak
memiliki pengaruh dalam hal ini. Iman letaknya dalam hati seseorang dan tidak diketahui manusia
lain; selanjutnya perbuatan-perbuatan manusia tidak menggambarkan apa yang ada dalam hatinya.
Oleh karena itu ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan seseorang tidak mesti mengandung arti
bahwa ia tidak memiliki iman. Yang penting ialah iman yang ada dalam hati. Dengan demikian
ucapan dan perbuatan- perbuatan tidak merusak iman seseorang.
Berkaitan dengan Murji’ah, W. Montgomery Watt merincinya sebagai berikut :
a. Penangguhan keputusan Ali dan Mu’awiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat.
b. Penangguhan Ali untuk menduduki rangking keempat dalam peringkat Al-Khalifah Ar-
Rasyidin.
c. Pemberian harapan (giving hope) terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk
memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
d. Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (mazhab) para skeptis
dan empiris dari kalangan Helenis.

Harun Nasution menyebutkan ada empat ajaran pokok dalam doktrin teologi Murji’ah yaitu :
a. Menunda hukuman atas Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah, Amr bn Ash, dan Abu Musa Al-
Asy’ ary yang terlibattahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
b. Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
c. menyerahkan meletakkan iman dari pada amal.
d. Memberikan pengaharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan
dan rahmat dari Allah.

Paham aliran murjiah di masyarakat juga ada baiknya, karena aliran ini sangat mementingkan
kehormatan, kebaikan tehadap sesama manusia. Disisi lain, aliran ini juga ada negatifnya yaitu
masalah keimanan seseorang. Karena menurut mereka iman hanyalah meyakini dalam hati saja.
Walaupun perbuatan-perbuatan yang dilakukan melanggar syariat Islam, tetapi kalau hatinya iman,
aliran tersebut masih mengatakan orang itu mukmin.

D. Kelebihan Dan Kekurangan Aliran Murji’ah


Kelebihan dari aliran ini adalah golongan ini tidak akan memudaratkan perbuatan maksiat itu
terhadap keimanan. Demikian juga sebaliknya, “tidaklah akan memberi manfaat dan memberi faedah
ketaatan seseorang terhadap kekafirannya”. Artinya, tidaklah akan berguna dan tidaklah akan diberi
pahala perbuatan baik yang dilakukan oleh orang kafir. Maka dari itu, mereka tidak mau mengkafirkan
seseorang yang telah masuk Islam, sebab golongan ini sagat mementingakan kewajiban sesama
manusia.
Kekurangan aliran ini adalah lebih mementingkan urusan dunia dari pada akhirat. Karena
menurut mereka, iman adalah mengetahui dan mengakui sesuatu yang menurut akal wajib dikerjakan.
Berarti, kelompok ini mengakui adanya kewajiban-kewajiban yang dapat diketahui akal sebelum
datangnya syariat.
Firman Allah SWT dalam surat Ar Ra’du ayat 28 :

‫الّذين امنوا وتطمئنّ قلوبهم بذكر هللا قلى اال بذكر هللا تطمئنّ القلوب‬
Artinya : “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan
mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati akan menjadi tenteram”.
Apabila seseorang sudah mempercayai Allah SWT dan rasul-rasul-Nya dan segala sesuatu yang
datang dari Allah SWT, berarti ia mukmin meskipun ia menyatakan dalam perbuatannya hal-hal yang
bertentangan dengan imannya. Seperti berbuat dosa, menyembah berhala, dan minum-minuman keras.
Golongan ini juga meyakini bahwa surga dan neraka itu tidak abadi, karena keabadian hanya bagi
Allah SWT semata.
Firman Allah SWT dalam surat Al Anfal ayat 2 disebutkan :

2 : ‫)واذا تليت عليهم اياته زادتهم ايمانا (االنفال‬


Artinya : “Dan apabila dibacakan terhadap ayat-ayat-Nya, maka ayat-ayat itu menambah iman
mereka”. (Al Anfal : 2).
BAB III

KESIMPULAN

A. KESIMPULAN

Secara harfiah Mu’tazilah adalah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah. Aliran Mu’taziliyah
(memisahkan diri) muncul di basra, irak pada abad 2 H. Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin
Atha (700-750 M) berpisah dari gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat. Wasil bin
Atha berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan kafir yang berarti ia fasik
Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar aliran Mu’tazilah yang menolak
pandangan-pandangan kedua aliran di atas. Bagi Mu’tazilah orang yang berdosa besar tidaklah kafir, tetapi
bukan pula mukmin. Mereka menyebut orang demikian dengan istilah al-manzilah bain al-manzilatain
(posisi di antara dua posisi). Aliran ini lebih bersifat rasional bahkan liberal dalam beragama.
Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional dan cenderung liberal ini mendapat tantangan keras dari
kelompok tradisonal Islam, terutama golongan Hambali, pengikut mazhab Ibn Hambal. Sepeninggal al-
Ma’mun pada masa Dinasti Abbasiyah tahun 833 M., syi’ar Mu’tazilah berkurang, bahkan berujung pada
dibatalkannya sebagai mazhab resmi negara oleh Khalifah al-Mutawwakil pada tahun 856 M.
Perlawanan terhadap Mu’tazilah pun tetap berlangsung. Mereka (yang menentang) kemudian
membentuk aliran teologi tradisional yang digagas oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (935 M) yang semula
seorang Mu’tazilah. Aliran ini lebih dikenal dengan al-Asy’ariah.
Di Samarkand muncul pula penentang Mu’tazilah yang dimotori oleh Abu Mansyur Muhammad al-
Maturidi (w.944 M). aliran ini dikenal dengan teologi al-Maturidiah. Aliran ini tidak setradisional al-
Asy’ariah tetapi juga tidak seliberal Mu’tazilah.
Dari beberapa pendapat yang telah disampaikan diatas bahwa aliran Murji’ah yang terpenting dalam
kehidupan beragama adalah aspek iman dan kemudian amal. Jika seseorang masih beriman, berarti dia
tetap mukmin, bukan kafir walaupun ia melakukan dosa besar. Adapun hukuman bagi dosa besar itu
terserah kepada Tuhan, akan diampuni atau tidak. Dan dikatakan Murji’ah karena ada sekelompok orang
yang menyatakan diri tidak ingin terlibat dalam pertentangan politik yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah.

B. SARAN

Pada hakikatnya semua aliran tersebut tidaklah keluar dari Islam, tetapi tetap Islam. Dengan demikian
tiap umat Islam bebas memilih salah satu aliran dari aliran-aliran teologi tersebut, yaitu mana yang sesuai
dengan jiwa dan pendapatnya. Hal ini tidak ubahnya pula dengan kebebasan tiap orang Islam memilih madzab
fikih mana yang sesuai dengan jiwa dan kecenderungannya. Disinilah hikmah sabda Nabi Muhammad SAW:
“perbedaan paham dikalangan umatku membawa rahmat”. Memang rahmat besarlah kalau kaum terpelajar
menjumpai dalam Islam aliran-aliran yang sesuai dengan jiwa dan pembawaannya, dan kalaU pula kaum
awam memperoleh dalamnya aliran-aliran yang dapat mengisi kebutuhan rohaninya.
DAFTAR PUSTAKA

Rojak Abdul, Anwar Rosihon. ilmu kalam. 2006. CV Pustaka Setia, Bandung.

Jauhari, Heri, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, CV Pustaka Setia, Bandung

http://www.almanhaj.or.id/content/1985/slash/0

http://blog.uin-malang.ac.id/fityanku/makalah-aliran-murjiah/

Anda mungkin juga menyukai